You are on page 1of 13

Spondilitis TB

A. Pengertian

Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi


granulomatosis di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycubacterium tuberculosa yang
mengenai tulang vertebra (Abdurrahman, et al 1994; 144 )

Spondilitis TB adalah peradangan granulonatosa yang bersifat kronis, destruktif oleh


mikrobakterium TB. TB tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari focus
ditempat lain dalam tubuh. Percivall (1973) adalah penulis pertama tentang penyakit ini
dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulnag
belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott. (Rasjad,
1998).

Spondilitis TB disebut juga penyakit Pott bila disertai paraplegi atau defisit
neurologis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra Th 8-L3 dan paling
jarang pada vertebra C2. Spondilitis TB biasanya mengenai korpus vertebra, sehingga
jarang menyerang arkus vertebra (Mansjoer, 2000).

Penyakit Pott adalah osteomielitis tuberculosis yang mengenai tulang belakang.


(Brooker. 2001)

Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa


merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif yang disebabkan
oleh mikobakterium tuberkulosa.

Tuberkulosis yang muncul pada tulang belakang merupakan tuberkulosis sekunder


yang biasanya berasal dari tuberkulosis ginjal. Berdasarkan statistik, spondilitis
tuberkulosis atau Pott’s disease paling sering ditemukan pada vertebra torakalis segmen
posterior dan vertebra lumbalis segmen anterior (T8-L3), coxae dan lutut serta paling
jarang pada vertebra C1-2. (1,2,3,4)
Tuberkulosis pada vertebra ini sering terlambat dideteksi karena hanya terasa nyeri
punggung/pinggang yang ringan. Pasien baru memeriksakan penyakitnya bila sudah
timbul abses ataupun kifosis.

B. Etiologi
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di
tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari
tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik.
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB
cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di
tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur
lama selama beberapa tahun. (Rasjad. 1998)

C. Manifestasi Klinis
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala
tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat
badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit
pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
(Rasjad. 1998)
Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut,kemudian
diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus,, hiper-
refleksia dan refleks Babinski bilateral. Pada stadium awal ini belum ditemukan
deformitas tulang vertebra, demikian pula belum terdapat nyeri ketok pada vertebra yang
bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi
neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis
terjadi pada sekitar 50% kasus,termasuk akibat penekanan medulla spinalis yang
menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa
ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah
paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah disebutkan di atas.
(Harsono,2003)
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah belakang kepala,
gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Harus
diingat pada mulanya penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang
muncul terutama gangguan motorik. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang
dijumpai kecuali bila bagian posterior tulang juga terlibat. (Harsono,2003)

D. Patofisiologi
Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya sekunder
dari TBC tempat lain di tubuh. Penyebarannya secara hematogen, di duga terjadinya
penyakit tersebut sering karena penyebaran hematogen dari infeksi traktus urinarius
melalui leksus Batson. Infeksi TBC vertebra di tandai dengan proses destruksi tulang
progresif tetapi lambat di bagian depan (anterior vertebral body).Penyebaran dari jaringan
yang mengalami pengejuan akan menghalangi proses pembentukan tulang sehingga
berbentuk "tuberculos squestra". Sedang jaringan granulasi TBC akan penetrasi ke
korteks dan terbentuk abses para vertebral yang dapat menjalar ke atas / bawah lewat
ligamentum longitudinal anterior dan posterior. Sedang diskus Intervertebralis oleh
karena avaskular lebih resisten tetapi akan mengalami dehidrasi dan terjadi penyempitan
oleh karenadirusak jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagian anterior vertebra
akan menimbulkan kiposis.
E. Pathway

F. Komplikasi
Komplikasi dari spondilitis tuberkulosis yang paling serius adalah Pott’s paraplegia yang
apabila muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun
sequester, atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis dan bila muncul pada
stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau
perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.
Mielografi dan MRI sangatlah bermanfaat untuk membedakan penyebab paraplegi ini.
Paraplegi yang disebabkan oleh tekanan ekstradural oleh pus ataupun sequester
membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medulla spinalis dan saraf.
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah ruptur dari abses paravertebra torakal ke
dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis, sedangkan pada vertebra
lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan
cold abscess.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap :leukositosis, LED meningkat
b. Uji mantoux (+) TB
c. Uji kultur : biakan batkeri
d. Biopsi, jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional
e. Pemeriksaan hispatologis : dapat ditemukan tuberkel
2. Pemeriksaan Radiologis
a. Foto toraks / X – ray
b. Pemeriksaan foto dengan zat kontras
c. Foto polos vertebra
d. Pemeriksaan mielografi
e. CT scan atau CT dengan mielografi
f. MRI
H. Penatalaksanaan Medis
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Pengobatan terdiri atas :

1. Terapi konservatif berupa:


Tirah baring (bed rest)
Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra
Memperbaiki keadaan umum penderita
Pengobatan antituberkulosa
Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :
a. Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA(-)/rontgen (+), diberikan dalam 2 tahap ;
Tahap 1 : Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan Pirazinamid
1.500 mg. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
Tahap 2: Rifampisin 450 mg, INH 600 mg, diberikan 3 kali seminggu
(intermitten) selama 4 bulan (54 kali).
b. Kategori 2
Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan,
termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam 2
tahap yaitu :
Tahap I diberikan Streptomisin 750 mg , INH 300 mg, Rifampisin 450 mg,
Pirazinamid 1500mg dan Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan setiap hari ,
Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3
bulan (90 kali).
Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg.
Obat diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita
bertambah baik, laju endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala klinis
berupa nyeri dan spasme berkurang serta gambaran radiologik ditemukan adanya
union pada vertebra.
2. Terapi operatif
Indikasi operasi yaitu:
Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin
berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis
tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan
sekaligus debrideman serta bone graft.
Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan
CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis.
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita
tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan
penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi
tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.

Abses Dingin (Cold Abses)


Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi
resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan
drainase bedah. Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
a. Debrideman fokal
b. Kosto-transveresektomi
c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.

Paraplegia

Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:

a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata


b. Laminektomi
c. Kosto-transveresektomi
d. Operasi radikal
e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
Operasi kifosis

Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat,. Kifosis mempunyai
tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat
berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.

Operasi PSSW

Operasi PSSW adalah operasi fraktur tulang belakang dan pengobatan tbc tulang
belakang yang disebut total treatment (1989).

Metode ini mengobati tbc tulang belakang berdasarkan masalah dan bukan hanya
sebagai infeksi tbc yang dapat dilakukan oleh semua dokter. Tujuannya,
penyembuhan TBC tulang belakang dengan tulang belakang yang stabil, tidak ada
rasa nyeri, tanpa deformitas yang menyolok dan dengan kembalinya fungsi tulang
belakang, penderita dapat kembali ke dalam masyarakat, kembali pada pekerjaan dan
keluarganya.

I. Dampak Masalah
1. Terhadap Individu.
Sebagai orang sakit, khusus klien spondilitis tuberkolosa akan mengalami suatau
perubahan, baik iru bio, psiko sosial dan spiritual yang akan selalu menimbulkan
dampak yang di karenakan baik itu oleh proses penyakit ataupun pengobatan dan
perawatan oelh karena adanya perubahan tersebut akan mempengaruhi pola - pola
fungsi kesehatan antara lain :
a. Pola nutrisi dan metabolisme.
Akibat proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemah dan
anoreksia, sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh semakin meningkat sehingga
klien akan mengalami gangguan pada status nutrisinya.
b. Pola aktifitas.
Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik nyeri pada punggung menyebabkan
klien membatasi aktifitas fisik dan berkurangnya kemampuan dalam
melaksanakan aktifitas fisik tersebut.
c. Pola persepsi dan konsep diri.
Klien dengan Spondilitis teberkulosa seringkali merasa malu terhadap bentuk
tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
2. Dampak terhadap keluarga.
Dalam sebuah keluarga, jika salah satu anggota keluarga sakit, maka yang lain akan
merasakan akibatnya yang akan mempengaruhi atau merubah segala kondisi aktivitas
rutin dalam keluarga itu.
J. Diagnosa Keperawatan.
Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan dari masalah klien yang nyata
ataupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan, yang pemecahannya dapat
dilakukan dalam batas wewenang perawat untuk melakukannya. ( Tim Departemen
Kesehatan RI, 1991 : 17 ).
Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien Spondilitis tuberkulosa adalah:
1. Gangguan mobilitas fisik
2. Gangguan rasa nyaman ; nyeri sendi dan otot.
3. Perubahan konsep diri : Body image.
4. Kurang pengetahuan tentang perawatan di rumah.

( Susan Martin Tucker, 1998 : 445 )

K. Perencanaan Keperawatan.
Perencanaan keperawatan adalah menyusun rencana tindakan keperawatan yang akan di
laksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan yang
telah di tentukan dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan klien.
( Tim Departemen Kesehatan RI, 1991 :20 ).
Adapun perencanaan masalah yang penulis susun sebagai berikut :
 Diagnosa Perawatan I
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal dan nyeri.
Tujuan
Klien dapat melakukan mobilisasi secara optimal.
Kriteria hasil
1. Klien dapat ikut serta dalam program latihan
2. Mencari bantuan sesuai kebutuhan
3. Mempertahankan koordinasi dan mobilitas sesuai tingkat optimal.

Rencana tindakan

1. Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan.


2. Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi.
3. Memelihara bentuk spinal yaitu dengan cara :
a. Mattress
b. Bed Board ( tempat tidur dengan alas kayu, atau kasur busa yang keras yang
tidak menimbulkan lekukan saat klien tidur.
4. Mempertahankan postur tubuh yang baik dan latihan pernapasan ;
a. Latihan ekstensi batang tubuh baik posisi berdiri ( bersandar pada tembok )
maupun posisi menelungkup dengan cara mengangkat ekstremitas atas dan
kepala serta ekstremitas bawah secara bersamaan.
b. Menelungkup sebanyak 3 – 4 kali sehari selama 15 – 30 menit.
c. Latihan pernapasan yang akan dapat meningkatkan kapasitas pernapasan.
5. Monitor tanda –tanda vital setiap 4 jam.
6. Pantau kulit dan membran mukosa terhadap iritasi, kemerahan atau lecet – lecet.
7. Perbanyak masukan cairan sampai 2500 ml/hari bila tidak ada kontra indikasi.
8. Berikan anti inflamasi sesuai program dokter. Observasi terhadap efek samping :
bisa tak nyaman pada lambung atau diare.

Rasional

1. Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.


2. Untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.
3. Mempertahankan posisi tulang belakang tetap rata.
4. Di lakukan untuk menegakkan postur dan menguatkan otot – otot paraspinal.
5. Untuk mendeteksi perubahan pada klien.
6. Deteksi diri dari kemungkinan komplikasi imobilisasi.
7. Cairan membantu menjaga faeces tetap lunak.
8. Obat anti inflamasi adalah suatu obat untuk mengurangi peradangan dan dapat
menimbulkan efek samping.
 Diagnosa Keperawatan II
Gangguan rasa nyaman : nyeri sendi dan otot sehubungan dengan adanya peradangan
sendi.
Tujuan
1. Rasa nyaman terpenuhi
2. Nyeri berkurang / hilang

Kriteria hasil

1. Klien melaporkan penurunan nyeri


2. Menunjukkan perilaku yang lebih relaks
3. Memperagakan keterampilan reduksi nyeri yang dipelajari dengan peningkatan
keberhasilan.

Rencana tindakan

1. Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri; observasi terhadap kemajuan nyeri ke daerah
yang baru.
2. Berikan analgesik sesuai terapi dokter dan kaji efektivitasnya terhadap nyeri.
3. Gunakan brace punggung atau korset bila di rencanakan demikian.
4. Berikan dorongan untuk mengubah posisi ringan dan sering untuk meningkatkan
rasa nyaman.
5. Ajarkan dan bantu dalam teknik alternatif penatalaksanaan nyeri.

Rasional.

1. Nyeri adalah pengalaman subjek yang hanya dapat di gambarkan oleh klien
sendiri.
2. Analgesik adalah obat untuk mengurangi rasa nyeri dan bagaimana reaksinya
terhadap nyeri klien.
3. Korset untuk mempertahankan posisi punggung.
4. Dengan ganti – ganti posisi agar otot – otot tidak terus spasme dan tegang
sehingga otot menjadi lemas dan nyeri berkurang.
5. Metode alternatif seperti relaksasi kadang lebih cepat menghilangkan nyeri atau
dengan mengalihkan perhatian klien sehingga nyeri berkurang.
 Diagnosa Keperawatan III
Gangguan citra tubuh sehubungan dengan gangguan struktur tubuh.
Tujuan
Klien dapa mengekspresikan perasaannya dan dapat menggunakan koping yang
adaptif.
Kriteria hasil
Klien dapat mengungkapkan perasaan / perhatian dan menggunakan keterampilan
koping yang positif dalam mengatasi perubahan citra.
Rencana tindakan
1. Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan. Perawat harus
mendengarkan dengan penuh perhatian.
2. Bersama – sama klien mencari alternatif koping yang positif.
3. Kembangkan komunikasi dan bina hubungan antara klien keluarga dan teman
serta berikan aktivitas rekreasi dan permainan guna mengatasi perubahan body
image.

Rasional

1. meningkatkan harga diri klien dan membina hubungan saling percaya dan dengan
ungkapan perasaan dapat membantu penerimaan diri.
2. Dukungan perawat pada klien dapat meningkatkan rasa percaya diri klien.
3. Memberikan semangat bagi klien agar dapat memandang dirinya secara positif
dan tidak merasa rendah diri.
 Diagnosa Keperawatan IV
Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurangnya informasi tentang
penatalaksanaan perawatan di rumah.
Tujuan
Klien dan keluarga dapat memahami cara perawatan di rumah.
Kriteria hasil
1. Klien dapat memperagakan pemasangan dan perawatan brace atau korset
2. Mengekspresikan pengertian tentang jadwal pengobatan
3. Klien mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit, rencana pengobatan,
dan gejala kemajuan penyakit.

Rencana tindakan

1. Diskusikan tentang pengobatan : nama, jadwal, tujuan, dosis dan efek


sampingnya.
2. Peragakan pemasangan dan perawatan brace atau korset.
3. Perbanyak diet nutrisi dan masukan cairan yang adekuat.
4. Tekankan pentingnya lingkungan yang aman untuk mencegah fraktur.
5. Diskusikan tanda dan gejala kemajuan penyakit, peningkatan nyeri dan mobilitas.
6. Tingkatkan kunjungan tindak lanjut dengan dokter.
7. Pelaksanaan
Yaitu perawat melaksanakan rencana asuhan keperawatan. Instruksi keperawatan
di implementasikan untuk membantu klien memenuhi kriteria hasil.
Komponen tahap Implementasi:
a. tindakan keperawatan mandiri
b. tindakan keperawatan kolaboratif
c. dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan
keperawatan.
( Carol vestal Allen, 1998 : 105 )

You might also like