Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
3) Etiologi
Penyakit PPOK menyebabkan obstruksi saluran pernapasan yang bersifat
ireversibel. Gejala yang ditimbulkan pada PPOK biasanya terjadi bersama-
sama dengan gejala primer dari penyebab penyakit ini. Etiologi PPOK yang
utama adalah emfisema, bronkitis kronik, dan faktor resiko lain.
a. Bronkhitis Kronis
Bronkhitis kronis adalah keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus
trakheobronkhial yang berlebihan, sehingga menimbulkan batuk yang
terjadi paling sedikit selama tiga bulan dalam waktu satu tahun untuk lebih
dari dua tahun secara berturut-turut (Somantri, 2007). Somantri (2007)
menjelaskan bahwa terdapat 3 jenis penyebab bronkhitis yaitu sebagai
berikut.
1. Infeksi stafilokokus, streptokokus, pneumokokus, haemophilus
influenzae.
2. Alergi
3. Rangsangan lingkungan misalnya asap pabrik, asap mobil, asap rokok
dll
b. Emfisema
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai
oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi
jaringan(Somantri, 2007). Etiologi emfisema menurut Somantri (2007)
yaitu sebagai berikut.
1. Genetik yaitu atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau
peningkatan kadar imunoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper-
responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga,
dan defisiensi protein alfa-1 anti tripsin.
2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase
dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan
keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak sehingga
timbul emfisema.
5
Tabel 2.2
Skala sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
dan indeks massa tubuh (IMT) untuk menilai angkaharapan hidup pasien
PPOK. BODE index adalah singkatan dari Body mass index, Obstruction
[FEV1], Dyspnea (modified Medical Research Council dyspnea scale), dan
Exercise capacity. Penghitungannya melalui perhitungan skor 4 faktor berikut
ini.
a. Body Mass Index
1) Lebih dari 21 = 0 poin
2) Kurang dari 21 = 1 poin
b. Obstruction ; dilihat dari nilai FEV1
1) >65% = 0 poin
2) 50-64% = 1 poin
3) 36-49% = 2 poin
4) <35% = 3 poin
c. Dyspnea scale [MMRC]
1) MMRC 0= Sesak dalam latihan berat = 0 poin
2) MMRC 1 = Sesak dalam berjalan sedikit menanjak = 0 poin
3) MMRC 2 = sesak ketika berjalan dan harus berhenti karena
kehabisan napas = 1 poin
4) MMRC 3 = sesak ketika berjalan 100 m atau beberapa menit = 2
poin
5) MMRC 4 = tidak bisa keluar rumah; sesak napas terus menerus
dalam pekerjaan sehari-hari = 3 poin
d. Exercise dihitung dari jarak tempuh pasien dalam berjalan selama 6
menit
1) > 350 meter = 0 poin
2) 250 – 349 meter = 1 poin
3) 150-249 meter = 2 poin
4) < 149 meter = 3 poin
Berdasarkan skor diatas, angka harapan hidup dalam 4 tahun pasien dapat
diketahui dengan menjumlahkan semua poin yang didapat.
a. 0-2 points = 80%
11
d. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clockwise jantung. Bila sudah
terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal
pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah pada V1 rasio R/S
lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1.
e. Kultur sputum untuk mengetahui petogen penyebab infeksi
f. Laboratorium darah lengkap: hitung sel darah putih
8) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi
obstruksi yang terjadi seminimal mungkin agar secepatnya oksigenasi dapat
kembali normal. Keadaan ini diusahakan dan dipertahankan untuk
menghindari perburukan penyakit. Secara garis besar penatalaksanaan PPOK
dibagi menjadi 4 kelompok, sebagai berikut.
a. Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan umum meliputi pendidikan pada pasien dan keluarga,
menghentikan merokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi,
menciptakan lingkungan yang sehat, mencukupi kebutuhan cairan,
mengkonsumsi diet yang cukup dan memberikan imunoterapi bagi pasien
yang punya riwayat alergi. Penatalaksanaan umum meliputi pendidikan
pada pasien dan keluarga, menghentikan merokok dan zat-zat inhalasi
yang bersifat iritasi, menciptakan lingkungan yang sehat, mencukupi
kebutuhan cairan, mengkonsumsi diet yang cukup dan memberikan
imunoterapi bagi pasien yang punya riwayat alergi.
b. Pemberian obat-obatan
1. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengurangi/mengatasi
obstruksi saluran nafas yang terdapat pada penyakit paru obstruktif.
Obat-obat golonganbronkodilator adalah obat-obat utama untuk
manajemen PPOK. Bronkodilator golongan inhalasi lebih disukai
terutama jenis long acting karena lebih efektif dan nyaman, pilihan
obat diantarnya adalah golongan β2 Agonis, Antikolinergik, Teofilin
atau kombinasi. (GOLD, 2014).
15
2. Antikolinergik
Golongan antikolinergik seperti Ipatropium Bromide mempunyai
efek bronkodilator yang lebih baik bila dibandingkan dengan
golongan simpatomimetik. Penambahan antikolenergik pada pasien
yang telah mendapatkan golongan simpatomimetik akan
mendapatkan efek bronkodilator yang lebih besar (Sharma, 2010)
3. Metilxantin
Golongan xantin yaitu teofilin bekerja dengan menghambat enzim
fosfodiesterase yang menginaktifkan siklik AMP. Pemberian
kombinasi xantin dan simpatomimetik memberikan efek sinergis
sehinga efek optimal dapat dicapai dengan dosis masing-masing
lebih rendah dan efek samping juga berkurang. Golongan ini tidak
hanya bekerja sebagai bronkodilator tetapi mempunyai efek yang
kuat untuk meningkatkan kontraktilitas diafragma dan daya tahan
terhadap kelelahan otot pada pasien PPOK (Sharma, 2010).
4. Glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid bermanfaat dalam pengelolaan eksaserbasi
PPOK, dengan memperpendek waktu pemulihan, meningkatkan
fungsi paru dan mengurangi hipoksemia. Disamping itu
glukokortikosteroid juga dapat mengurangi risiko kekambuhan yang
lebih awal, kegagalan pengobatan dan memperpendek masa rawat
inap di RS (GOLD, 2014)
5. Obat-obatan lainnya
1) Vaksin
Pemberian vaksin influenza dapat mengurangi risiko penyakit
yang parah dan menurunkan angka kematian sekitar 50%. Vaksin
mengandung virus yang telah dilemahkan lebih efektif diberikan
kepada pasien PPOK lanjut, yang diberikan setiap satu tahun
sekali. Vaksin Pneumokokkal Polisakarida dianjurkan untuk
pasien PPOK usia 65 tahun keatas (GOLD, 2014).
16
2) Alpha 1 Antitripsin
Alpha 1 Antitripsin direkomendasikan untuk pasien PPOK
dengan usia muda yang mengalami defisiensi enzim Alpha 1
Antitripsin sangat berat. Terapi ini sangat mahal dan belum
tersedia disetiap negara (GOLD, 2014).
3) Antibiotik
Pada pasien PPOK infeksi kronis pada saluran nafas biasanya
berasal dari Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza
dan Moraxella catarrhlis. Diperlukan pemeriksaan kultur untuk
mendapatkan antibiotik yang sesuai. Tujuan pemberian
antibiotika adalah untuk mengurangi lama dan beratnya
eksaserbasi akut, yang ditandai oleh peningkatan produksi
sputum, dipsnue, demam dan leukositosis (GOLD, 2014)
4) Mukolitik
Mukolitik diberikan untuk mengurangi produksi dan kekentalan
sputum. Sputum kental pada pasien PPOK terdiri dari derivat
glikoprotein dan derivate lekosit DNA (GOLD, 2014)
5) Agen antioksidan
Agen antioksidan khususnya N-Acetilsistein telah dilaporkan
mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien PPOK (GOLD,
2014)
6) Imunoregulator
Pada sebuah studi penggunaan imuniregulator pada pasien PPOK
dapat menurunkan angka keparahan dan frekuensi eksaserbasi
(GOLD, 2014)
7) Antitusif
Meskipun batuk merupakan salah satu gejala PPOK yang
merepotkan, tetapi batuk mempunyai peran yang signifikan
sebagai mekanisme protektif. Dengan demikian penggunaan
antitusif secara rutin tidak direkomendasikan pada PPOK stabil
(GOLD, 2014)
17
8) Vasodilator
Berbagai upayaa pada hipertensi pulmonal telah dilakukan
diantaraanya mengurangi beban ventrikel kanan, meningkatkan
curah jantung, dan meningkatkan perfusi oksigen jaringan.
Hipoksemia pada PPOK terutama disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi bukan karena
peningkatan shunt intrapulmonari (seperti pada oedem paru
nonkardiogenik) dimana pemberian oksida nitrat dapat
memperburuk keseimbangan ventilasi dan perfusi. Sehingga
oksida nitrat merupakan kontraindikasi pada PPOK stabil
(GOLD, 2014)
9) Narkotin (Morfin)
Morfin secara oral ataupun parenteral efektif untuk mengurangi
dipsnue pada pasien PPOK pada tahap lanjut.Nikotin juga
diberikan sebagai obat antidepresan pada pasien dengan dengan
sindrom paska merokok (GOLD, 2014)
c. Terapi oksigen
PPOK umumnya dikaitkan dengan hipoksemia progresif, pemberian
terapi oksigen bertujuan untuk mempertahankan hemodinamika paru.
Terapi oksigen jangka panjang dapat meningkatkan kelangsungan hidup
2 kali lipat pada hipoksemia pasien PPOK. Hipoksemia didefinisikan
sebagai PaO2< 55 mmHg atau saturasi oksigen <90%. Gejala gangguan
tidur, gelisah, sakit kepala merupakan petunjuk perlunya oksigen
tambahan. Terapi oksigen dengan konsentrasi rendah 1-3 liter/menit
secara terus menerus dapat memberikan perbaikan psikis, koordinasi
otot, toleransi beban kerja, dan pola tidur. Terapi oksigen bertujuan
memperbaiki kandungan oksigen arteri dan memperbanyak aliran
oksigen ke jantung, otak serta organ vital lainnya, memperbaiki
vasokonstriksi pulmonal, dan menurunkan tekanan vaskular pulmonal
(Sharma, 2010).
18
d. Rehabilitasi
Rehabilitasi pulmonal melibatkan berbagai multidisiplin keilmuan
termasuk diantaranya dokter, perawat, fisioterapis pernapasan, fisioterapi
secara umum, okupasional terapi, psikolog, dan pekerja soisal. Sharma
(2010) menjelaskan program rehabilitasi paru secara komprehensif
adalah meliputi sebagai berikut.
1. Exercise training dan respiratory muscle training
Latihan otot ekstremitas maupun latihan otot pernapasan merupakan
latihan dasar dari proses rehabilitasi paru. Latihan ditargetkan
mencapai 60% dari beban maksimal selama 20-30 menit diulang 2-5
kali seminggu. Latihan mengacu pada otot-otot tertentu yang terlibat
dalam aktifitas kesehariannya, terutama otot lengan dan otot kaki
(Sharma, 2010).
2. Pendidikan kesehatan
a. Konservasi energi dan penyederhanaan kerja
Prinsip ini membantu pasien PPOK untuk mempertahankan
aktifitas sehari-hari dan pekerjaannya. Metode kegiatannya
meliputi latihan pernapasan, optimalisasi mekanika tubuh,
prioritas kegiatan dan penggunaan alat bantu (Sharma, 2010).
b. Obat dan terapi lainnya
Pendidikan kesehatan tentang obat-obatan termasuk didalamnya
jenis, dosis, cara penggunaan, efek samping merupakan hal
penting untuk diketahui oleh pasien PPOK (Sharma, 2010).
c. Pendidikan kesehatan mempersiapkan akhir kehidupan
Risiko kegagalan pernapasankarena ventilasi mekanik yang
memburuk pada PPOK mengakibatkan penyakit ini bersifat
progresif. Pendidikan kesehatan tentang bagaimana melakukan
perawatan diri yang tepat dalam mempertahankan kehidupan
perlu dilakukan kepada pasien PPOK (Sharma, 2010).
19
3. Penatalaksanaan fisik
a. Fisioterapi dada dan teknik pernapasan Ada 2 teknik utama
pernapasanyang dapat dilakukan diantaranya sebagai berikut.
1) Pursed lip breathing
Pasien menghirup nafas melalui hidung sambil menghitung
sampai 3 (waktu yang dibutuhkan untuk mengatakan “smell
a rose”). Hembuskan dengan lambat dan rata melalui bibir
yang dirapatkan sambil mengencangkan otot-otot abdomen
(merapatkan bibir meningkatkan tekanan intratrakeal,
menghembuskan udara melalui mulut memberikan tahanan
lebih sedikit pada udara yang dihembuskan). Hitung hingga
7 sambil memperpanjang ekspirasi melalui bibir yang
dirapatkan yang dibutuhkan untuk menagatakan ‘blow out
the candle”. Sambil duduk dikursi lipat tangan diatas
abdomen, hirup nafas melalui hidung sambil menghitung
hingg 3, membungkuk kedepan dan hembuskan dengan
lambat melalui bibir yang dirapatkan sambil menghitung
hingga 7. Pernapasan bibir akan memperpanjang ekshalasi
dan meningkatkan tekanan jalan nafas selama ekspirasi
sehingga mengurangi jumlah udara yang terjebak dan
jumlah tahanan jalan nafas (Black, 2005)
4. Penatalaksanaan psikososial
Kecemasan, depresi dan ketidakmampuan dalam mengatasi penyakit
kronis memberikan kontribusi terjadinya kecacatan. Intervensi
psikososial dapat diberikan melalui pendidikan kesehatan secara
individu, dukungan keluarga ataupun dukungan kelompok sosial
yang berfokus pada masalah pasien. Relaksasi otot progresif,
pengurangan stres, dan pengendalian panik dapat menurunkan
dipsneaserta kecemasan (Sharma, 2010).
Penelitian serupa dilakukan Asyrofi, Ahmad (2016) pasien heart failure (HF)
juga sering mengalami intoleransi aktifitas dan keletihan yang membutuhkan
intervensi manajemen energi untuk menghasilkan toleransi aktifitas,
ketahanan, konservasi energi, dan self-care activity daily living. Metode:
Penelitian bertujuan menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan
manajemen energi pasien heart failure. Desain cross sectional, sampel 132
responden, teknik consecutive sampling. Hasil: menunjukkan hubungan
26