You are on page 1of 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Medis COPD


1) Pengertian
Penyakit paru-paru obstrutif kronis (PPOK) atau Chronic obstructive
pulmonary diseases (COPD) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif non-reversibel
atau reversibel parsial. PPOK atau Chronic obstructive pulmonary diseases
(COPD) merupakan istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit
paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Somantri,
2007). PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya. Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh
batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya
dua tahun berturut-turut dan tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema
adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli (PDPI,
2003).
2) Epidemiologi
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa tahun 2020
prevalensi PPOK akan meningkat. Di Indonesia tidak ditemukan data yang
akurat tentang kekerapan PPOK. Hasil survei penyakit tidak menular oleh
Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 Rumah Sakit Propinsi di Indonesia (Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada
tahun 2013, menunjukkan PPOK menempati urutan ke-2 penyumbang angka
kesakitan (morbiditas) (Depkes RI, 2013). Prevalensi terjadinya penyakit ini
lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan meningkat dengan
bertambahnya usia. PPOK lebih sering terjadi pada orang yang masih aktif
merokok dan bekas perokok serta meningkat dengan banyak jumlah rokok
yang dikonsumsi (GOLD, 2014).

3
4

3) Etiologi
Penyakit PPOK menyebabkan obstruksi saluran pernapasan yang bersifat
ireversibel. Gejala yang ditimbulkan pada PPOK biasanya terjadi bersama-
sama dengan gejala primer dari penyebab penyakit ini. Etiologi PPOK yang
utama adalah emfisema, bronkitis kronik, dan faktor resiko lain.
a. Bronkhitis Kronis
Bronkhitis kronis adalah keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus
trakheobronkhial yang berlebihan, sehingga menimbulkan batuk yang
terjadi paling sedikit selama tiga bulan dalam waktu satu tahun untuk lebih
dari dua tahun secara berturut-turut (Somantri, 2007). Somantri (2007)
menjelaskan bahwa terdapat 3 jenis penyebab bronkhitis yaitu sebagai
berikut.
1. Infeksi stafilokokus, streptokokus, pneumokokus, haemophilus
influenzae.
2. Alergi
3. Rangsangan lingkungan misalnya asap pabrik, asap mobil, asap rokok
dll
b. Emfisema
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai
oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi
jaringan(Somantri, 2007). Etiologi emfisema menurut Somantri (2007)
yaitu sebagai berikut.
1. Genetik yaitu atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau
peningkatan kadar imunoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper-
responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga,
dan defisiensi protein alfa-1 anti tripsin.
2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase
dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan
keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak sehingga
timbul emfisema.
5

3. Rokok menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas,


menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi, dan
hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia epitel skuamus
saluran pernapasan.
4. Infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkhiolitis akut, dan asma
bronkial dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada
akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema.
5. Polusiudara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan
gangguan pada silia yang dapat menghambat fungsi makrofag
alveolar.
6. Faktor Sosial Ekonomi
7. Usia
c. Faktor resiko lainnya
Faktor resiko lainnya menurut PDPI (2003) yaitu kebiasaan merokok,
riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja,
hipereaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran napas bawah berulang,
defisiensi antitripsin alfa-1.Merokok merupakan satu-satunya penyebab
kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
1. Riwayat merokok
a. Perokok aktif
b. Perokok pasif
c. Bekas perokok
2. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB) yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun
a. Kategori Ringan : 0-200
b. Sedang : 200-600
c. Berat : >600
6

Sedangkan menurut Mansjoer (2001) Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya


PPOK, yaitu:
1. Kebiasaan merokok
2. Polusi udara
3. Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja
4. Riwayat infeksi saluran napas
5. Bersifat genetik yaitu defisiensi α-1 antitripsin

4) Klasifikasi dan Manifestasi Klinis


Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan
klasifikasi (derajat) PPOK yaitu sebagai berikut (GOLD, 2014).
Tabel 2.1
Klasifikasi PPOK

Sumber : GOLD, 2014


7

Tabel 2.2
Skala sesak menurut British Medical Research Council (MRC)

Sumber : GOLD, 2014


Manifestasi klinis PPOK berdasarkan peenyakit menurut Somantri (2007) yaitu
sebagai berikut.
a. Bronkhitis kronik
1. Penampilan umum: cenderung overweight, sianosis akibat pengaruh
sekunder polisitemia, edema (akibat CHF), dan barrel chest
2. Usia: 45-65 tahun
3. Pengkajian: Batuk persisten, produksi sputum seperti kopi, dispnea
dalam beberapa keadaan, variabel wheezing pada saat ekspirasi, serta
seringnya infeksi pada sistem respirasi. Gejala biasanya timbul pada
waktu yang lama
4. Jantung: pembesaran jantung, cor pulmonal, dan Hematokrit > 60%
5. Riwayat merokok positif (+)
b. Emfisema
1. Penampilan umum: kurus, warna kulit pucat, flattened hemidiafragma.
Tidak ada tanda CHF dengan edema dependen pada stadium akhir. Berat
badan biasanya menurun akibat nafsu makan yang menurun
2. Usia 65-75 tahun
3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium: nafas pendek persisten dengan
peningkatan dipsnea, infeksi sistem respirasi, auskultasi terdapat
penurunan suara nafas meskipun dengan nafas dalam, wheezing
ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas, produksi sputum dan batuk
jarang
4. Hematokrit <60%
8

5. Pemeriksaan jantung: tidak terjadi pembesaran jantung, cor pulmonal


timbul pada stadium akhir
6. Riwayat merokok biasanya didapatkan, tetapi tidak selalu ada riwayat
merokok
5) Patofisiologi
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air
sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi,
difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari
dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan
pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah
teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu
gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan
aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat
gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan
obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1),
dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa
(VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap


rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain
itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional
serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia
ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan
mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas.
Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab
infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan
edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul
hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat
mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD, 2014).
9

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan


kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak
struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara
dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps
terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan
(recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak
terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran
udara kolaps (GOLD, 2014).

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa


eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK
predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag
untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak
diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan. Selama
eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya
ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan
adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi
mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada
arteriol (Chojnowski, 2003).

Pada bronchitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitaan saluran napas.


Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas dan menimbulkan
sesak. Pada bronchitis kronik, saluran pernapasan kecil yang berdiameter
kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok. Penyempitan ini
terjadi karena hipertrofi dan hiperplasi jaringan mucus. Pada emfisema paru
terjadi obstruksi pada pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida akibat
kerusakan dinding aveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang udara
dalam paru (Smelzer & Bare, 2002).
6) Prognosis dan Komplikasi
Prognosis pada pasien PPOK dapat dinilai dengan BODE Index yang
dikemukakan oleh Celli, et al. pada tahun 2004. BODE Index terdiri atas nilai
FEV1/VEP1, jarak jalan yangdapat ditempuh dalam 6 menit, skala dispnea,
10

dan indeks massa tubuh (IMT) untuk menilai angkaharapan hidup pasien
PPOK. BODE index adalah singkatan dari Body mass index, Obstruction
[FEV1], Dyspnea (modified Medical Research Council dyspnea scale), dan
Exercise capacity. Penghitungannya melalui perhitungan skor 4 faktor berikut
ini.
a. Body Mass Index
1) Lebih dari 21 = 0 poin
2) Kurang dari 21 = 1 poin
b. Obstruction ; dilihat dari nilai FEV1
1) >65% = 0 poin
2) 50-64% = 1 poin
3) 36-49% = 2 poin
4) <35% = 3 poin
c. Dyspnea scale [MMRC]
1) MMRC 0= Sesak dalam latihan berat = 0 poin
2) MMRC 1 = Sesak dalam berjalan sedikit menanjak = 0 poin
3) MMRC 2 = sesak ketika berjalan dan harus berhenti karena
kehabisan napas = 1 poin
4) MMRC 3 = sesak ketika berjalan 100 m atau beberapa menit = 2
poin
5) MMRC 4 = tidak bisa keluar rumah; sesak napas terus menerus
dalam pekerjaan sehari-hari = 3 poin
d. Exercise dihitung dari jarak tempuh pasien dalam berjalan selama 6
menit
1) > 350 meter = 0 poin
2) 250 – 349 meter = 1 poin
3) 150-249 meter = 2 poin
4) < 149 meter = 3 poin

Berdasarkan skor diatas, angka harapan hidup dalam 4 tahun pasien dapat
diketahui dengan menjumlahkan semua poin yang didapat.
a. 0-2 points = 80%
11

b. 3-4 points = 67%


c. 5-6 points = 57%
d. 7-10 points = 18%
Komplikasi yang dapat muncul pada pasien PPOK yaitu sebagai berikut.
a. Insufisiensi pernapasan
Pasien PPOK dapat mengalami gagal napas kronis secara bertahap ketika
struktur paru mengalami kerusakan secara ireversibel. Gagal nafas terjadi
apabila penurunan oksigen terhadap karbondioksida dalam paru
menyebabkan ketidakmampuan memelihara laju kebutuhan oksigen. Hal
ini akan mengakibatkan tekanan oksigen arteri <50 mmHg (hipoksia) dan
peningkatan tekanan karbondioksida <45 mmHg (hiperkapnia) (Smelzer
& Bare, 2008).
b. Atelektasis
Obstruksi bronkial oleh sekresi merupakan penyebab utama terjadinya
kolap pada alveolus, lobus, atau unit paru yang lebih besar. Sumbatan
akan mengganggu alveoli yang normalnya menerima udara dari bronkus.
Udara alveolar yang terperangkap menjadi terserap kedalam pembuluh
darah tetapi udara luar tidak dapat menggantikan udara yang terserap
karena obstruksi. Akibatnya paru menjadi terisolasi karena kekurangan
udara danukurannya menyusut dan bagian sisa paru lainnya
berkembangsecara berlebihan (Smelzer & Bare, 2008).
c. Pneumonia
Pneumonia adalah proses inflamatori parenkim paru yang disebabkan
oleh agen infeksius. PPOK mendasari terjadinya pneumoni karena flora
normal terganggu oleh turunnya daya tahan hospes. Hal ini menyebabkan
tubuh menjadi rentan terhadap infeksi termasuk diantaranya pasien yang
mendapat terapi kortikosteroid dan agen imunosupresan lainnya (Smelzer
& Bare, 2008).
d. Pneumothoraks
Pneumotorak spontaneous sering terjadi sebagai komplikasi dari PPOK
karena adanya ruptur paru yang berawal dari pneumototak tertutup.
Pneumotorak terjadi apabila adanya hubungan antara bronkus dan
12

alveolus dengan rongga pleura, sehingga udara masuk kedalam rongga


pleura melalui kerusakan yang ada (Price & Wilson, 2006)
e. Hipertensi pulmonal
Hipertensi pulmonal ringan atau sedang meskipun lambat akan muncul
pada kasus PPOK karena hipoksia yang menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah kecil paru. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan
struktural yang meliputi hiperplasia intimal dan hipertrophi atau
hiperplasia otot halus. Pada pembuluh darah saluran udara yang sama
akan mengalami respon inflamasi dan sel endotel mengalami disfungsi.
Hilangnya pembuluh darah kapiler paru pada emfisema memberikan
kontribusi terhadap peningkatan tekanan sirkulasi paru. Hipertensi
pulmonal yang progresif akan menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan
dan akhirnya menyebabkan gagal jantung kanan (cor pulmonale)
(GOLD, 2014)
7) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien PPOK menurut
Mansjoer et al.(2000) adalah sebagai berikut.
a. Pemeriksaan radiologis
Pada bronkhitis kronik yang perlu diperhatikan yaitu
1. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang
paralel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut
adalah bayangan bronkus yang menebal.
2. Corak paru yang bertambah.

Gambar 2.1 Bronkhitis kronik


13

Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:


1. Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia
dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema
panlobular dan pink puffer.
2. Corakan paru yang bertambah.

Gambar 2.2 Bula pada kasus emfisema parah


b. Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang
bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat
penurunan VEP1, KV, dan KAEM (Kecepatan Arum Ekspirasi
Maksimal) atau MEFR (Maximal Expiratory Flow Rate), kenaikan KRF
dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih
jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya
pada saluran napas kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi
menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
c. Analisis gas darah
Pada bronkhitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul
sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan
eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin
sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun,
polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan
merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
14

d. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clockwise jantung. Bila sudah
terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal
pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah pada V1 rasio R/S
lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1.
e. Kultur sputum untuk mengetahui petogen penyebab infeksi
f. Laboratorium darah lengkap: hitung sel darah putih
8) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi
obstruksi yang terjadi seminimal mungkin agar secepatnya oksigenasi dapat
kembali normal. Keadaan ini diusahakan dan dipertahankan untuk
menghindari perburukan penyakit. Secara garis besar penatalaksanaan PPOK
dibagi menjadi 4 kelompok, sebagai berikut.
a. Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan umum meliputi pendidikan pada pasien dan keluarga,
menghentikan merokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi,
menciptakan lingkungan yang sehat, mencukupi kebutuhan cairan,
mengkonsumsi diet yang cukup dan memberikan imunoterapi bagi pasien
yang punya riwayat alergi. Penatalaksanaan umum meliputi pendidikan
pada pasien dan keluarga, menghentikan merokok dan zat-zat inhalasi
yang bersifat iritasi, menciptakan lingkungan yang sehat, mencukupi
kebutuhan cairan, mengkonsumsi diet yang cukup dan memberikan
imunoterapi bagi pasien yang punya riwayat alergi.
b. Pemberian obat-obatan
1. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengurangi/mengatasi
obstruksi saluran nafas yang terdapat pada penyakit paru obstruktif.
Obat-obat golonganbronkodilator adalah obat-obat utama untuk
manajemen PPOK. Bronkodilator golongan inhalasi lebih disukai
terutama jenis long acting karena lebih efektif dan nyaman, pilihan
obat diantarnya adalah golongan β2 Agonis, Antikolinergik, Teofilin
atau kombinasi. (GOLD, 2014).
15

2. Antikolinergik
Golongan antikolinergik seperti Ipatropium Bromide mempunyai
efek bronkodilator yang lebih baik bila dibandingkan dengan
golongan simpatomimetik. Penambahan antikolenergik pada pasien
yang telah mendapatkan golongan simpatomimetik akan
mendapatkan efek bronkodilator yang lebih besar (Sharma, 2010)
3. Metilxantin
Golongan xantin yaitu teofilin bekerja dengan menghambat enzim
fosfodiesterase yang menginaktifkan siklik AMP. Pemberian
kombinasi xantin dan simpatomimetik memberikan efek sinergis
sehinga efek optimal dapat dicapai dengan dosis masing-masing
lebih rendah dan efek samping juga berkurang. Golongan ini tidak
hanya bekerja sebagai bronkodilator tetapi mempunyai efek yang
kuat untuk meningkatkan kontraktilitas diafragma dan daya tahan
terhadap kelelahan otot pada pasien PPOK (Sharma, 2010).
4. Glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid bermanfaat dalam pengelolaan eksaserbasi
PPOK, dengan memperpendek waktu pemulihan, meningkatkan
fungsi paru dan mengurangi hipoksemia. Disamping itu
glukokortikosteroid juga dapat mengurangi risiko kekambuhan yang
lebih awal, kegagalan pengobatan dan memperpendek masa rawat
inap di RS (GOLD, 2014)
5. Obat-obatan lainnya
1) Vaksin
Pemberian vaksin influenza dapat mengurangi risiko penyakit
yang parah dan menurunkan angka kematian sekitar 50%. Vaksin
mengandung virus yang telah dilemahkan lebih efektif diberikan
kepada pasien PPOK lanjut, yang diberikan setiap satu tahun
sekali. Vaksin Pneumokokkal Polisakarida dianjurkan untuk
pasien PPOK usia 65 tahun keatas (GOLD, 2014).
16

2) Alpha 1 Antitripsin
Alpha 1 Antitripsin direkomendasikan untuk pasien PPOK
dengan usia muda yang mengalami defisiensi enzim Alpha 1
Antitripsin sangat berat. Terapi ini sangat mahal dan belum
tersedia disetiap negara (GOLD, 2014).
3) Antibiotik
Pada pasien PPOK infeksi kronis pada saluran nafas biasanya
berasal dari Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza
dan Moraxella catarrhlis. Diperlukan pemeriksaan kultur untuk
mendapatkan antibiotik yang sesuai. Tujuan pemberian
antibiotika adalah untuk mengurangi lama dan beratnya
eksaserbasi akut, yang ditandai oleh peningkatan produksi
sputum, dipsnue, demam dan leukositosis (GOLD, 2014)
4) Mukolitik
Mukolitik diberikan untuk mengurangi produksi dan kekentalan
sputum. Sputum kental pada pasien PPOK terdiri dari derivat
glikoprotein dan derivate lekosit DNA (GOLD, 2014)
5) Agen antioksidan
Agen antioksidan khususnya N-Acetilsistein telah dilaporkan
mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien PPOK (GOLD,
2014)
6) Imunoregulator
Pada sebuah studi penggunaan imuniregulator pada pasien PPOK
dapat menurunkan angka keparahan dan frekuensi eksaserbasi
(GOLD, 2014)
7) Antitusif
Meskipun batuk merupakan salah satu gejala PPOK yang
merepotkan, tetapi batuk mempunyai peran yang signifikan
sebagai mekanisme protektif. Dengan demikian penggunaan
antitusif secara rutin tidak direkomendasikan pada PPOK stabil
(GOLD, 2014)
17

8) Vasodilator
Berbagai upayaa pada hipertensi pulmonal telah dilakukan
diantaraanya mengurangi beban ventrikel kanan, meningkatkan
curah jantung, dan meningkatkan perfusi oksigen jaringan.
Hipoksemia pada PPOK terutama disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi bukan karena
peningkatan shunt intrapulmonari (seperti pada oedem paru
nonkardiogenik) dimana pemberian oksida nitrat dapat
memperburuk keseimbangan ventilasi dan perfusi. Sehingga
oksida nitrat merupakan kontraindikasi pada PPOK stabil
(GOLD, 2014)
9) Narkotin (Morfin)
Morfin secara oral ataupun parenteral efektif untuk mengurangi
dipsnue pada pasien PPOK pada tahap lanjut.Nikotin juga
diberikan sebagai obat antidepresan pada pasien dengan dengan
sindrom paska merokok (GOLD, 2014)
c. Terapi oksigen
PPOK umumnya dikaitkan dengan hipoksemia progresif, pemberian
terapi oksigen bertujuan untuk mempertahankan hemodinamika paru.
Terapi oksigen jangka panjang dapat meningkatkan kelangsungan hidup
2 kali lipat pada hipoksemia pasien PPOK. Hipoksemia didefinisikan
sebagai PaO2< 55 mmHg atau saturasi oksigen <90%. Gejala gangguan
tidur, gelisah, sakit kepala merupakan petunjuk perlunya oksigen
tambahan. Terapi oksigen dengan konsentrasi rendah 1-3 liter/menit
secara terus menerus dapat memberikan perbaikan psikis, koordinasi
otot, toleransi beban kerja, dan pola tidur. Terapi oksigen bertujuan
memperbaiki kandungan oksigen arteri dan memperbanyak aliran
oksigen ke jantung, otak serta organ vital lainnya, memperbaiki
vasokonstriksi pulmonal, dan menurunkan tekanan vaskular pulmonal
(Sharma, 2010).
18

d. Rehabilitasi
Rehabilitasi pulmonal melibatkan berbagai multidisiplin keilmuan
termasuk diantaranya dokter, perawat, fisioterapis pernapasan, fisioterapi
secara umum, okupasional terapi, psikolog, dan pekerja soisal. Sharma
(2010) menjelaskan program rehabilitasi paru secara komprehensif
adalah meliputi sebagai berikut.
1. Exercise training dan respiratory muscle training
Latihan otot ekstremitas maupun latihan otot pernapasan merupakan
latihan dasar dari proses rehabilitasi paru. Latihan ditargetkan
mencapai 60% dari beban maksimal selama 20-30 menit diulang 2-5
kali seminggu. Latihan mengacu pada otot-otot tertentu yang terlibat
dalam aktifitas kesehariannya, terutama otot lengan dan otot kaki
(Sharma, 2010).
2. Pendidikan kesehatan
a. Konservasi energi dan penyederhanaan kerja
Prinsip ini membantu pasien PPOK untuk mempertahankan
aktifitas sehari-hari dan pekerjaannya. Metode kegiatannya
meliputi latihan pernapasan, optimalisasi mekanika tubuh,
prioritas kegiatan dan penggunaan alat bantu (Sharma, 2010).
b. Obat dan terapi lainnya
Pendidikan kesehatan tentang obat-obatan termasuk didalamnya
jenis, dosis, cara penggunaan, efek samping merupakan hal
penting untuk diketahui oleh pasien PPOK (Sharma, 2010).
c. Pendidikan kesehatan mempersiapkan akhir kehidupan
Risiko kegagalan pernapasankarena ventilasi mekanik yang
memburuk pada PPOK mengakibatkan penyakit ini bersifat
progresif. Pendidikan kesehatan tentang bagaimana melakukan
perawatan diri yang tepat dalam mempertahankan kehidupan
perlu dilakukan kepada pasien PPOK (Sharma, 2010).
19

3. Penatalaksanaan fisik
a. Fisioterapi dada dan teknik pernapasan Ada 2 teknik utama
pernapasanyang dapat dilakukan diantaranya sebagai berikut.
1) Pursed lip breathing
Pasien menghirup nafas melalui hidung sambil menghitung
sampai 3 (waktu yang dibutuhkan untuk mengatakan “smell
a rose”). Hembuskan dengan lambat dan rata melalui bibir
yang dirapatkan sambil mengencangkan otot-otot abdomen
(merapatkan bibir meningkatkan tekanan intratrakeal,
menghembuskan udara melalui mulut memberikan tahanan
lebih sedikit pada udara yang dihembuskan). Hitung hingga
7 sambil memperpanjang ekspirasi melalui bibir yang
dirapatkan yang dibutuhkan untuk menagatakan ‘blow out
the candle”. Sambil duduk dikursi lipat tangan diatas
abdomen, hirup nafas melalui hidung sambil menghitung
hingg 3, membungkuk kedepan dan hembuskan dengan
lambat melalui bibir yang dirapatkan sambil menghitung
hingga 7. Pernapasan bibir akan memperpanjang ekshalasi
dan meningkatkan tekanan jalan nafas selama ekspirasi
sehingga mengurangi jumlah udara yang terjebak dan
jumlah tahanan jalan nafas (Black, 2005)

Gambar 2.3 Pursed lip breathing


2) Diaphragmatic breathing
Pasien diminta meletakkan satu tangan diatas abdomen
(tepat dibawah iga) dan tangan lainnya ditengah-tengah
dada untuk meningkatkan kesadaran diafragma dan
20

fungsinya dalam pernapasan. Nafaslah dengan lambat dan


dalam melalui hidung, biarkan abdomen menonjol sebesar
mungkin. Hembuskan nafas melalui bibir yang dirapatkan
sambil mengencangkan (mengkonstraksi) otot-otot
abdomen. Tekan dengan kuat kearah dalam dan kearah atas
pada abdomen sambil menghembuskan nafas. Ulangi
selama 1 menit, ikuti dengan periode istirahat selama 2
menit. Lakukan selama 5 menit, beberapa kali sehari
(sebelum makan dan waktu tidur). Pernapasandiafragma
dapat menguatkan diafrgama selama pernapasansehingga
meningkatkan asupan oksigen (Black & Jacob, 2005)

Gambar 2.4 Diaphragmatic breathing


b. Nutrisi
Penurunan berat badan pada pasien dengan penyakit pernapasan
kronis menunjukkan prognosis yang buruk. Pasien PPOK yang
dirawat di rumah sakit sebanyak 50% dilaporkan kekurangan
gizi kalori dan protein. Ketidakseimbangan energi dan
penurunan berat badan progresif terjadi karena asupan makanan
yang tidak memadai, pengeluaran energi yang meningkat, dan
kegagalan respon adaptif gizi. Pemeliharaan status gizi yang
memadai sangat penting bagi pasien PPOK untuk menjaga berat
badan dan massa jaringan otot (Sharma, 2010). Diet cukup
protein 1,2-1,5 gr/BB, karbohidrat 40- 55% dari total kalori,
lemak mudah dicerna 30-40%, cukup vitamin dan mineral untuk
memenuhi asupan nutrisi (Taatuji, 2004)
21

4. Penatalaksanaan psikososial
Kecemasan, depresi dan ketidakmampuan dalam mengatasi penyakit
kronis memberikan kontribusi terjadinya kecacatan. Intervensi
psikososial dapat diberikan melalui pendidikan kesehatan secara
individu, dukungan keluarga ataupun dukungan kelompok sosial
yang berfokus pada masalah pasien. Relaksasi otot progresif,
pengurangan stres, dan pengendalian panik dapat menurunkan
dipsneaserta kecemasan (Sharma, 2010).

B. Konsep Dasar Aktivitas


1. Pengertian
Pengertian aktivitas adalah suatu energi atau keadaan bergerak dimana
manusia memerlukannya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Kemampuan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas seperti berdiri,
berjalan dan bekerja merupakan salah satu dari tanda kesehatan individu
tersebut dimana kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas dari
keadekuatan sistem persarafan dan muskuloskeletal. Aktivitas fisik yang
kurang memadai dapat menyebabkan berbagai gangguan pada sistem
musculoskeletal seperti atrofi otot, sendi menjadi kaku dan juga
menyebabkan ketidakefektifan fungsi organ internal lainnya.

Latihan merupakan suatu gerakan tubuh secara aktif yang dibutuhkkan


untuk menjaga kinerja otot dan mempertahankan postur tubuh. Latihan
dapat memelihara pergerakan dan fungsi sendi sehingga kondisinya dapat
setara dengan kekuatan dan fleksibilitas otot. Selain itu, latihan fisik dapat
membuat fungsi gastrointestinal dapat bekerja lebih optimal dengan
meningkatkan selera makan orang tersebut dan melancarkan eliminasinya
karena apabila seseorang tidak dapat melakukan aktifitas fisik secara
adekuat maka hal tersebut dapat membuat otot abdomen menjadi lemah
sehinga fungsi eliminasinya kuang efektif.
22

Aktivitas sehari-hari (ADL) merupakan salah satu bentuk latihan aktif


pada seseorang termasuk didalamnya adalah makan/minum, mandi,
toileting, berpakaian, mobilisasi tempat tidur, berpindah dan
ambulasi/ROM. Pemenuhan terhadap ADL ini dapat meningkatkan harga
diri serta gambaran diri pada seseorang, selain itu ADL merupakan
aktifitas dasar yang dapat mencegah individu tersebut dari suatu penyakit
sehingga tindakan yang menyangkut pemenuhan dalam mendukung
pemenuhan ADL pada klien dengan intoleransi aktifitas harus
diprioritaskan.

Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak


secara bebas, mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan guna mempertahankan kesehatannya. Kehilangan kemampuan
untuk bergerak menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan
tindakan keperawatan. Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan
kemandirian diri, meningkatkan kesehatan dan memperlambat proses
penyakit – khusunya proses degeneratif dan untuk aktualisasi diri (harga
diri dan citra tubuh). Imobilitas atau imobilisasi merupakan keadaan
dimana seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang
mengganggu pergerakan misalnya mengalami trauma tulang belakang,
cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas dan sebagainya.
2. Nilai-Nilai Normal
Kategori tingkat kemampuan aktivitas adalah sebagai berikut :
Tabel 2.3
Tingkat aktivitas/mobilisasi

Tingkat aktivitas / Kategori


mobilitas
Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh
Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat
Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan
orang lain
Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang
lain dan peralatan
Tingkat 4 Sangat tergantung dan tidak dapat
melakukan atau berpartisipasi dalam
perawatan
23

Keadaan postur yang seimbang sesuai dengan garis sumbu dengan


sentralnya adalah gravitasi. Kemampuan tubuh dalam mempertahankan
keseimbangan seperti kemampuan mangangkat beban, maksimal 57 %.
3. Hal-Hal Yang Perlu Dikaji Pada Klien Yang Mengalami Gangguan
Kebutuhan Aktivitas Dan Latihan
a. Tingkat aktivitas sehari-hari
- Pola aktivitas sehari-hari
- Jenis, frekuensi dan lamanya latihan fisik
b. Tingkat kelelahan
- Aktivitas yang membuat lelah
- Riwayat sesak napas
c. Gangguan pergerakan
- Penyebab gangguan pergerakan
- Tanda dan gejala
- Efek dari gangguan pergerakan
d. Pemeriksaan fisik
- Tingkat kesadaran
- Postur/bentuk tubuh (Skoliosis, Kiposis, Lordosis, Cara berjalan)
- Ekstremitas (Kelemahan, Gangguan sensorik, Tonus otot, Atropi,
Tremor, Gerakan tak terkendali, Kekuatan otot, Kemampuan jalan,
Kemampuan duduk, Kemampuan berdiri, Nyeri sendi, Kekakuan
sendi)
C. Konsep Keperawatan
a. Diagnosa
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dengan kebutuhan oksigen.
24

b. Tujuan dan Kriteria Hasil(NOC)


Energy conservation
Self Care : ADLs
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien kembali
toleran terhadap aktivitas dengan kriteria hasil:
1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan
tekanan darah, nadi dan RR.
2. Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri.
c. Intervensi (NIC)
1. Kaji respon pasien terhadap aktivitas (nadi, tekanan darah,
pernapasan)
2. Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas, istirahatkan klien
selama 3 menit kemudian ukur lagi tanda-tanda vital.
3. Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan
menggunakan treadmill dan exercycle, berjalan atau latihan lainnya
yang sesuai, seperti berjalan perlahan.
4. Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana
latihan berdasarkan pada status fungsi dasar.
5. Kolaborasi pemberian oksigen.
6. Tingkatkan aktivitas secara bertahap; pasien tirah baring lama
mulai melakukan rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari.
7. Tingkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan mendorong pasien
beraktivitas lebih lambat, atau waktu yang lebih singkat, dengan
istirahat yang lebih banyak atau dengan banyak bantuan.
8. Secara bertahap tingkatkan toleransi latihan.
d. Rasional
1. Mengetahui kondisi fisik pasien.
2. Mengetahui kemampuan fisik pasien.
3. Meningkatkan kemampuan pasien secara bertahap.
4. Mengetahui latihan yang sesuai dengan kondisi pasien.
5. Mencegah hipoksia.
6. Membantu pasien untuk beradaptasi.
25

7. Membantu pasien agar tidak kelelahan.


8. Memaksimalkan dengan kondisi yang dimiliki pasien agar pasien
dapat mampu untuk beradaptasi.
D. Penelitan Terkait
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hill, Bailey Patricia (2013) COPD
adalah masalah kesehatan yang semakin serius. Perawat memiliki kesempatan
signifikan untuk mempengaruhi secara positif hasil klien dan kualitas hidup
dengan menilai dyspnea, mengidentifikasi masalah, dan menerapkan bukti
berbasis bukti intervensi. Pedoman praktik terbaik yang dikembangkan
menyediakan kerangka kerja untuk meningkatkan praktik keperawatan dan
perawatan klien. Desain yang digunakan literatur review. Metode yang
digunakan sebuah tinjauan bukti terstruktur berdasarkan cakupan pedoman
asli dan didukung oleh tiga klinis. Pertanyaan dilakukan untuk menangkap
literatur dan pedoman yang relevan yang diterbitkan sejak publikasi asli.
Sebagai hasil dari rekomendasi kerja untuk praktik keperawatan dan
pendidikan ini dibahas. Organisasi dan rekomendasi kebijakan juga
digariskan. Perawat memiliki kesempatan untuk secara positif mempengaruhi
hasil dan kualitas hidup klien dengan menilai dyspnea, mengidentifikasi
masalah, dan menerapkan intervensi berbasis bukti yang sesuai. Dari hasil
penelitian ini didapatkan beberapa tindakan keperawatan yang sesuai
guideline yang dapat dilakukan untuk COPD diantaranya adalah education
recommendations yang didalamnya meliputi tindakan secretion clearance
strategies, energi conserving strategies, relaxation techniques, nutritional
strategies dan end of life care.

Penelitian serupa dilakukan Asyrofi, Ahmad (2016) pasien heart failure (HF)
juga sering mengalami intoleransi aktifitas dan keletihan yang membutuhkan
intervensi manajemen energi untuk menghasilkan toleransi aktifitas,
ketahanan, konservasi energi, dan self-care activity daily living. Metode:
Penelitian bertujuan menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan
manajemen energi pasien heart failure. Desain cross sectional, sampel 132
responden, teknik consecutive sampling. Hasil: menunjukkan hubungan
26

signifikanpengetahuan, ansietas, dan dukungan sosial dengan manajemen


energi, dan ansietas menjadi faktor dominan. Implikasi: pengkajian
keperawatan penting mengkaji faktor prediktor manajemen energi. Diskusi:
Intervensi program edukasi pasien, penurunan ansietas, dan edukasi keluarga
dapat meningkatkan pengetahuan, menurunkan ansietas, dan meningkatkan
dukungan kepada pasien heart failure agar dapat meningkatkan manajemen
energinya.

You might also like