Professional Documents
Culture Documents
untuk menetapkan pola metilasi sitosin DNA (Phillips et al., 1990; Jaligot et al., 2000).
genom ES kotiledon normal dan abnormal, Matthes et al. (2001) menyatakan adanya
sebagai pembanding adalah ortet yang normal. korelasi yang nyata antara hipometilasi
DNA genom contoh dipotong dengan enzim dengan pembungaan mantel pada bibit
HpaII dan MspI yang mengenali situs CCGG,
selanjutnya diamplifikasi dengan RAF. Enzim
kelapa sawit asal kultur jaringan. Menurut
HpaII memotong sekuen mCCGG tetapi jika C Kaepller et al. (2000) adanya hubungan
kedua mengalami metilasi sekuen tersebut antara hipermetilasi dari residu sitosin
tidak terpotong. Msp1 akan memotong apabila DNA dalam gen atau promoter gen yang
sitosin internal termetilasi (CmCGG). Hasil menekan ekspresi gen. Grandbastein
yang diperoleh menunjukkan bahwa terjadi (1998) mengemukakan bahwa akibat ter-
perubahan situs metilasi antara ortet normal jadinya metilasi secara konsisten menye-
dan ES kotiledon abnormal. Perubahan situs babkan adanya abnormalitas pembungaan
metilasi sitosin dapat dibedakan dengan primer tanaman kelapa sawit setelah beberapa
RAF, yaitu AB16, AE11, AO12 dan AP12.
Hasil analisis RP-HPLC menunjukkan bahwa
tahun di lapang.
perbedaan kandungan metilasi sitosin DNA ES Berbagai analisis digunakan untuk
globular maupun kotiledon masing-masing mengungkapkan kejadian abnormalitas
antara yang normal dan abnormal, serta antara bunga dan buah kelapa sawit yang berasal
planlet dan ortet normal sangat kecil. dari kultur jaringan. Studi ploidi (Rival
Kandungan metil sitosin berkisar antara 0,25 – et al., 2004) dan transposon (Kubis et al.,
2,72 %. Tampak bahwa pada 124 - 457 pb 2003) menunjukkan bahwa tidak ada
terjadi metilasi internal, eksternal maupun hubungan abnormalitas buah bersayap
metilasi penuh. Pada ES abnormal klon dengan perbedaan ploidi dan aktivitas
MK638 menunjukkan terjadi hipometilasi
sitosin. Perbedaan kandungan metilasi sitosin
transposon, tetapi berhubungan dengan
yang sangat kecil diduga tidak berpengaruh perubahan pola metilasi DNA.
langsung terhadap proses abnormalitas. Bentuk metilasi DNA genom yang
Abnormalitas yang terjadi pada ES globular umum adalah metilasi pada basa sitosin
dan kotiledon kemungkinan akibat terjadinya yang dikatalisis oleh enzim metiltrans-
perubahan sekuens DNA genom. ferase dengan menambahkan gugus metil
ke basa sitosin (Martienssen & Colot,
2001). Metilasi DNA pada tanaman
Pendahuluan diimplikasikan pada pengaturan ekspresi
gen, yaitu berpengaruh langsung terhadap
Abnormalitas pembuahan pada transkripsi DNA atau tidak langsung
tanaman kelapa sawit asal kultur jaringan melalui perubahan struktur kromatin
dikenal dengan istilah mantel, yaitu (Antequera & Bird, 1988; Adams, 1990).
mesokarp tidak berkembang dan dapat Kaliz & Purugganan (2004) melaporkan
juga terjadi bunga jantan steril (Corley bahwa ada dua tipe utama metilasi yang
et al., 1986). Abnormalitas terjadi pada dihubungkan dengan perubahan epi-
rata-rata 5-10 % dari populasi bibit asal genetik, yaitu metilasi DNA dan Histon.
kultur jaringan (Jaligot et al., 2000), dan Gardner et al. (1991) melaporkan bahwa
bersifat epigenetik (Tregear et al., 2002). pada eukariot metilasi yang tinggi
Abnormalitas yang terjadi pada bibit mengakibatkan rendahnya ekspresi gen
klonal kelapa sawit tersebut diduga atau sebaliknya. Davey et al. (1997)
berhubungan erat dengan perubahan pola berpendapat bahwa regulasi ekspresi gen
metilasi DNA selama dalam kultur terjadi melalui perubahan struktur
62
Deteksi metilasi DNA genom Elaeis guineensis Jacq hasil kultur jaringan.....
kromatin lokal. Metilasi dan demetilasi pada tempat yang termetilasi merupakan
sitosin pada daerah promotor merupakan penyebab tidak aktifnya transkripsi.
mekanisme yang penting meregulasi Beberapa teknik digunakan untuk
ekspresi gen pada sel dan jaringan spesifik mempelajari keberadaan atau lokasi ter-
(Boyes & Bird ,1991). jadinya metil sitosin dalam genom, salah
Fraga & Esteller (2002) menyatakan satunya dengan teknik Randomly
bahwa metilasi sitosin pada posisi lima Amplified Fingerprinting (RAF) DNA,
dari cincin pirimidin merupakan epi- yaitu teknik yang mengkombinasikan
genetik yang sangat penting pada antara teknik RFLP dan cDNA Ampli-
tanaman, metil sitosin umumnya ditemu- fication Fingerprinting (DAF). Dalam
kan pada sitosin yang terikat pada basa teknik RAF, pada tahap awal DNA
guanin dengan sekuens trinukleotida genom dipotong dengan enzim kemudian
(CpNpG). Ehrlich & Ehrlich (1998) diamplifikasi menggunakan teknik RAF.
mengemukakan bahwa adanya lima Sedang tingkat metil sitosin dalam DNA
metilsitosin pada promoter gen spesifik genom dapat diukur dengan Reverese
akan mengubah pelekatan faktor transkrip- Phase High Performance Liquid Chroma-
sional dan protein lainnya pada DNA. Di tography (RP-HPLC) atau dengan sistem
samping itu dapat juga terjadi penarikan enzim maupun kimiawi (Fraga et al.,
metil-DNA-binding protein dan histon 2002). Matthes et al. (2001) membuktikan
deasetilase yang akan mengubah struktur penurunan metilasi diperoleh pada situs
kromatin di sekitar daerah awal trasnkripsi CCGG.
pada gen. Kedua mekanisme tersebut Penelitian ini bertujuan untuk me-
memblok transkripsi dan menyebabkan netapkan kuantitas metilasi DNA sitosin
gen silencing. Wolffe et al. (1999) dan posisi terjadinya metilasi dihubungkan
menyatakan bahwa residu metilasi C dengan abnormalitas pada ortet, embrio
dalam DNA genomik memegang peranan somatik serta planlet, masing-masing
dalam regulasi ekspresi gen. menggunakan teknik RP-HPLC dan
Menurut Lewin (1997) enzim HpaII teknik RAF.
memotong sekuen CCGG tetapi apabila C
keduanya mengalami metilasi, sekuen
tersebut tidak terpotong. MspI tidak Bahan dan Metode
memotong apabila C eksternal termetilasi
(mCCGG) tetapi akan memotong apabila Bahan tanam yang digunakan dalam
sitosin internal termetilasi (CmCGG) percobaan ini adalah ES fase globular dan
(McClelland et al., 1994). Matthes et al. kotiledon, sedang planlet dan ortet
(2001) membuktikan penurunan metilasi digunakan sebagai pembanding. Masing-
diperoleh pada situs CCGG. Sekuen masing sampel dari klon MK 638 yang
CCGG ini berhubungan dengan ekspresi memiliki morfologi normal dan abnormal.
gen karena ditemui juga pada daerah Penetapan bentuk normal dan abnormal
promotor, yaitu pada GC boks. Metilasi berdasarkan Sianipar et al. (2007). DNA
DNA dapat menghambat transkripsi contoh diisolasi menggunakan metode
secara langsung dengan menghalangi Orozco-Castillo et al. (1994) dengan
penempelan faktor transkripsi ke memodifikasi beberapa komponen dalam
promotor. Ng & Bird (1999) menge- proses awal ekstrasi DNA. Uji kualitas
mukakan pembentukan struktur kromatin dan penetapan kuantitas DNA dilakukan
63
Toruan-Mathius et al.
dengan metode elektroforesis gel agarose Amplifikasi DNA yang telah dipotong
menurut Sambrook et al. (1989). dengan enzim MspI atau HpaII dilakukan
menggunakan primer 10-mer oligonuk-
Deteksi situs metilasi DNA dengan teknik leotida yang sudah dilabel dengan FAM
RAF-sensitif metilasi (6- karboksi fluoresein). Reaksi amplifi-
kasi dilakukan menggunakan alat Thermal
Deteksi situs metilasi sitosin DNA cycler Gene PCR (ABI 9700) dengan
yang digunakan berdasarkan protokol siklus termal sebanyak 30 kali dengan
RAF menurut Waldron et al. (2002) yang tahapan sebagai berikut : denaturasi lima
dimodifikasi, khususnya pemotongan menit pada suhu 94°C kemudian setengah
DNA genom yang diuji dengan enzim menit pada suhu 94°C; penempelan satu
sensitif metilasi DNA. Sebanyak 0,5 µg menit pada suhu 57°C, satu menit pada
DNA genom yang diuji dipotong dengan suhu 56°C, satu menit pada suhu 55°C,
5 U HpaII dan 5 U MspI, dalam 5 µL satu menit suhu 54°C, satu menit 53°C
bufer Tango 10 X yang mengandung dan waktu ekstensi (tahap ramping) lima
10 mM Tris-Asam asetat pH 7,4; 10 mM menit pada suhu tetap 72°C. Hasil PCR
Magnesium asetat; 66 mM Potasium diencerkan sebanyak 10 kali dengan TE
asetat; dan 0,1 mg/mL BSA diinkubasi bufer dan disimpan pada suhu -20 oC.
pada suhu 37oC selama dua jam. Hasil Fragmentasi DNA hasil amplifikasi
pemotongan enzim difraksinasi dengan dilakukan dengan elektroforesis meng-
elektroforesis 1,4 % gel agarose dalam gunakan 2 µL sampel ditambah dengan
bufer 1 x TAE, dan diberi pewarnaan 0,2 uL Gene ScanTM -500 LIZ dan 7,8µL
0,5 ug/mL etidium bromida. DNA yang HiDi pewarna formamid. Campuran
telah dipotong dengan enzim HpaII dan didenaturasi pada suhu 95o C selama lima
MspI diencerkan 10 kali dengan bufer TE menit dan didinginkan dalam es selama 10
kemudian disimpan di lemari pendingin menit. Campuran kemudian dimasukkan
untuk digunakan dalam percobaan ke dalam kapiler yang panjangnya 50 cm
selanjutnya. pada alat 3130 DNA Analyser (Applied
Biosystems) selama 32 menit untuk empat
Teknik RAF-sensitif metilasi contoh. Data berupa fragmen RAF-sensitif
metilasi adalah dalam bentuk elektro-
Amplifikasi DNA dengan PCR ferogram, yang disimpan menggunakan
dilakukan berdasarkan metode Waldron software ABI 3130.
et al. (2002) menggunakan empat primer
RAF 10-mer. Sebelum melakukan PCR Kuantifikasi metilasi sitosin dengan RP-
dibuat campuran utama (master mix) lalu HPLC
di masukkan ke dalam Eppendorf 0,5 mL.
Selanjutnya sebanyak 5 µL (10ng/µL) DNA genom diisolasi dari 0,5 g
DNA dari masing-masing contoh yang bahan tanam yang diuji menurut metode
diuji dimasukkan ke dalam Eppendorf Orozco-Castillo et al. (1994). Tingkat
0,2 mL steril, kemudian ditambahkan metilasi absolut diukur dengan teknik RP-
15 µL campuran utama dan disentri- HPLC dengan metode enzimatik menurut
fugasi dengan kecepatan 5000 rpm Kubis et al. (2003). Sebanyak 1-10 µg
selama lima menit. DNA yang diuji diencerkan dalam air,
64
Deteksi metilasi DNA genom Elaeis guineensis Jacq hasil kultur jaringan.....
selanjutnya dipanaskan selama dua menit Dari enam primer yang diuji ternyata
dalam air mendidih dan segera didingin- hanya primer AB-16, AE - 11, AO-12 dan
kan dalam es. Sebanyak 5 µL 10 mM AP-20 yang dapat mengamplifikasi DNA
ZnSO4 dan 10 µL nuklease S1 (1U/µL contoh setelah dipotong dengan enzim
dalam 30 mM Sodium asetat pH 5,4) MspI dan Hpa II. Amplifikasi DNA
ditambahkan kemasing-masing sampel genom ES kotiledon normal menggunakan
dan campuran kemudian diinkubasi pada primer AB-16 menunjukkan bahwa terjadi
37o C selama 16 jam. Sebanyak 10 µL metilasi sitosin pada lokasi sekitar 124 pb
dari 0,5 M Tris pH 8,3 dan 10 µL alkalin sampai 385 pb. Namun, pada ES kotiledon
fosfatase (Sigma, 100 U/mL dalam 2,5 M abnormal di lokasi yang sama (124 pb)
amonium sulfat) dan campuran diinkubasi tidak ditemukan metilasi sitosin terme-
pada suhu 37o C selama dua jam, dan tilasi. Hal ini berarti terjadi perubahan
disentrifugasi untuk membuang protein. sekuens basa DNA sehingga DNA genom
Sebanyak 20 µL sampel DNA yang ES kotiledon normal sebagai cetakan tidak
diuji disuntikkan ke dalam suatu kolom komplemen dengan basa-basa nukleotida
superkoil LC-18S (150 mm x 4,6 mm, primer AB-16.
Supelco) dan dipisahkan dengan alat Hasil elektroforegram menunjukkan
Waters otomatis HPLC. Elusi dilakukan bahwa pada ortet normal terjadi metilasi
dalam fase mobil pada 0,05 M NH4 H2 penuh (mCmCGG) yang terdapat di lokasi
PO4, 8% metanol pH 4,2 dengan sekitar 124 pb (Tabel 1 & Gambar 1).
kecepatan aliran 1 mL/menit pada suhu Tampak bahwa pola metilasi yang terjadi
ruang. Identifikasi puncak nukleosida pada ortet normal dan ES kotiledon
spesifik yang diperoleh dibandingkan abnormal adalah berbeda. Pada ortet
dengan sampel standar sitidin, 5-metil- normal situs metilasi sitosin terdapat di
sitidin dan campuran uji nukleosida. sekitar 124 pb dan 378 pb, sedangkan
Pengujian dilakukan secara duplo. Basa pada ES kotiledon abnormal dilokasi
nukleotida dideteksi pada 254 nm, sedang sekitar 138 pb, 375 pb dan 385 pb. Pada
presentase 5-metilsitidin (5mC) dihitung ES kotiledon abnormal terjadi metilasi
dengan rumus (5 mC/[5mC + C] x 100. eksternal pada sekitar 375 pb dan 385 pb,
serta metilasi penuh di situs 138 pb (Tabel
Hasil dan Pembahasan 1 & Gambar 1).
Menurut McCleland et al. (1994) dan
Deteksi situs metilasi sitosin dengan Belluci et al. (2002) enzim MspI hanya
teknik RAF memotong C5mCGG, tetapi tidak me-
motong pada 5mCCGG. Oleh sebab itu
Hasil RAF yang diperoleh meng- metilasi internal terdeteksi dengan
hasilkan fragmen DNA yang polimorfis pemotongan enzim MspI yang tidak dapat
dalam bentuk elektroferogram (Gambar memotong pada sitosin, karena sitosin
1). Pola metilasi yang diperoleh setelah termetilasi (C5mCGG). Hasil RAF dari
pemotongan MspI dan HpaII dari ortet DNA ortet normal dengan primer AE-
normal dan ES kotiledon abnormal 11(5’-AAGACCGGGA-3’) menunjukkan
menghasilkan tiga kelas fragmen, yaitu bahwa terjadi metilasi secara penuh pada
terjadinya metilasi penuh (fully-metilated), 168 pb, sedangkan pada 446 pb dan 457
etilasi internal (hemimetilated) dan pb terjadi metilasi internal. Pada ES
metilasi eksternal. kotiledon abnormal terjadi mutasi titik
65
Toruan-Mathius et al.
pada 168 pb dan 446 pb, dan metilasi lokasi sekitar 195 pb dan 290 pb. Pada ES
internal pada 457 pb. Tampak bahwa baik kotiledon abnormal terjadi mutasi titik
pada ortet normal maupun ES kotiledon pada lokasi 195 pb dan 290 pb (Tabel 1 &
abnormal terjadi metilasi internal di Gambar 1). Hal ini berarti primer AO 12
lokasi sekitar 457 pb (Tabel 1 & Gambar komplemen dengan DNA tanaman
1). normal, sedangkan pada ES kotiledon
Hasil amplifikasi DNA genom tanpa abnormal tidak komplemen. Hasil yang
dan dengan pemotongan enzim meng- diperoleh kemungkinan disebabkan ada-
gunakan primer AO-12 (5’-TCCCGG nya perubahan satu basa dalam sekuens
TCTC-3’), menunjukkan bahwa pada DNA genom ES abnormal, yang disebut
ortet normal terjadi metilasi penuh pada sebagai mutasi titik.
R1_EG
110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 205 215 225 235 245 255 265 275 285
800 800
400 400
0 0
R1_2k-
110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 205 215 225 235 245 255 265 275 285
800
800
400
400
0 0
HR1_EG
110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 205 215 225 235 245 255 265 275 285
400 400
200 200
0 0
HR1_2k-
110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 205 215 225 235 245 255 265 275 285
400 400
200 200
0 0
MR1_EG
110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 205 215 225 235 245 255 265 275 285
400 400
200 200
0 0
MR1_2k-
110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 205 215 225 235 245 255 265 275 285
400 400
200 200
0 0
Gambar 1. Deteksi fluoresen teknik RAF dengan primer AB-16 (5’-CCCGGATGGT-3’) yang dilabel
dengan FAM (6-carboxy-fluorecein) pada tanaman kelapa sawit klon MK638. ( R1-EG)
ortet normal. (R1-2K-) kotiledon abnormal, (HR1-EG) ortet normal dipotong dengan Hpa
II, (HR1-2K-) ES kotiledon abnormal dipotong dengan Hpa II, (MR1-EG) ortet normal
dipotong dengan Msp I, (MR1-2K-) ES kotiledon abnormal dipotong dengan Msp I.
Figure 1. RAF fluorescense detection with AB-16 (5’-CCCGGATGGT-3’) primer labeled with FAM
(6-carboxy-fluorecein) of oil palm MK 638 clone. ( R1-EG) normal ortet. (R1-2K-)
abnormal cotyledone, (HR1-EG) normal ortet cut by Hpa II, (HR1-2K-) abnormal ES
cotyledone cut by Hpa II, (MR1-EG) normal ortet cut by Msp I, (MR1-2K-) abnormal ES
cotyledone cut by Msp I.
66
Deteksi metilasi DNA genom Elaeis guineensis Jacq hasil kultur jaringan.....
Tabel 1. Hasil deteksi lokasi metilasi sitosin DNA genom dengan metode RAF pada klon MK 638.
Table 1. Location detection of DNA genom methylated cytosine by RAF technique of MK 638 clone.
Keterangan : EG (ortet normal), 2K- (ES kotiledon abnormal), ada fragmen (+), tidak ada fragmen (-)
67
Explanation : EG (normal ortet ), 2K- (Abnormal ES cotyledon), fragment present (+), No fragment (-)
Toruan-Mathius et al.
regional yang mempengaruhi daerah kro- mutasi. Hal ini masih perlu untuk diteliti
mosom. Fungsi metilasi regional adalah lebih lanjut.
untuk menginaktifkan heterokromatin dan Baurens et al. (2003) mengatakan
elemen pada atau dekat heterokromatin bahwa untuk mempelajari metilasi sitosin
yang menyebabkan frekuensi metilasi pada DNA genom dengan pengukuran
pada daerah kromatin lebih besar (Bird, jumlah sitosin yang termetilasi pada
1986). Struktur heterokromatin memper- tingkat genom, membutuhkan degradasi
lambat transkripsi, sedangkan struktur lengkap DNA secara enzimatik. Namun
eukromatin mengaktivasi gen (Richards & metode ini tidak dapat menentukan lokasi
Elgin, 2000). Beberapa pendapat menyata- sitosin termetilasi pada genom. Menurut
kan bahwa regulasi gen terjadi melalui Rival et al. (2004) ditemukan juga
perubahan struktur kromatin lokal (Davey hipometilasi pada kalus pertumbuhan
et al., 1997). cepat (100% regeran abnormal) diban-
Dapat disimpulkan bahwa pada ortet dingkan dengan kalus kompak (5%
normal primer AB-16, AE-11, dan AO-12 regeneran abnormal) pada klon yang
sedangkan pada ES kotiledon abnormal sama. Shah et al. (1999) membuktikan
hanya primer AB-16 yang dapat terjadi hipermetilasi pada tanaman kelapa
mendeteksi metilasi penuh. Situs terjadi- sawit abnormal. Kubis et al. (2003)
nya metilasi penuh berbeda pada ortet menyatakan perbedaan tingkat metilasi
normal dan ES kotiledon abnormal. sitosin antara kalus dan ortet adalah
sekitar 2,2 %, atau tidak berbeda nyata.
Kuantifikasi metilasi sistosin dengan Tingkat metilasi lebih rendah pada pohon-
teknik RP-HPLC pohon yang berasal dari klon buah
bersayap dibandingkan dengan ortet tetua
Kandungan metil sitosin dari ES fase Chen et al. (1988) dan Miura et al.
kotiledon, ES globular, planlet dan ortet (2001) mengatakan bahwa abnormalitas
yang normal dan abnormal adalah sangat fenotipik disebabkan akumulasi mutasi.
kecil. Pada klon 638 perbedaan kandungan Finnegan et al. (1996) menyatakan bahwa
metilsitosin antara ES globular normal dan sejumlah aberasi perkembangan yang
abnormal 0,64 %, antara ES kotiledon terjadi, dihipotesiskan sebagai hasil
normal dan abnormal 0,25 %, antara hipometilasi genom global yang diinduksi
planlet dan ortet normal 2,72%. Data ini secara genetik atau epigenetik dalam
menunjukkkan perubahan kandungan sekuens tunggal pada tanaman maupun
metil sitosin antara ES globular normal hewan. Kakutani et al. (1996) menemukan
dan abnormal menurun, perubahan ini terjadinya hipometilasi sitosin pada
disebut hipometilasi (Gambar 2). Hal ini tanaman Arabidopsis thaliana yang
menunjukkan bahwa perubahan metilasi termutasi. Jacobsen & Meyerowitz (1997)
sitosin pada DNA genom ES globular, ES menyatakan bahwa hipotemetilasi DNA
kotiledon, planlet dan ortet tidak dapat meningkatkan laju mutasi karena
berhubungan langsung dengan proses terjadi transposisi elemen atau pening-
abnormalitas. Abnormalitas yang terjadi katan laju rekombinasi penyusunan
diduga kemungkinan disebabkan oleh kembali genom. Perubahan pada level
perubahan sekuens DNA genom atau metilasi menginduksi mutasi atau supresi
69
gen. Metilasi menyebabkan perubahan tanaman.
morfologi dan fisiologi secara nyata pada
Toruan-Mathius et al.
60
50
Percentage of 5mC
Persentase 5mC
71
Grandbastein, M.A. (1998). Activation of plant Trends Plant Sci., 3, 181-187.
retrotransposons under stress conditions.
Toruan-Mathius et al.
plants. In Advances in Genetic. Vol 29. (Elaeis guineensis Jacq.) dari eksplan
USA, Academic Press. Inc. p, 41-75. daun. J. Agro Biogen., 3 (1), 32-39.
Richards, E.J. & S.C.R. Elgin (2002). Tregear, J. W., F. Marcillo, A. Berger,
Epigenetic codes for heterochromatin R. Singh, S. C. Cheah, C. Hartman,
formation and silencing:rounding up the A. Rival & Y. Duval (2002). Charac-
usual suspects. Cell, 108, 489-500. terization of a defensin gene expressed in
oil palm inflorescence:induction during
Rival, A., E. Jaligot, T. Beule, J.L. Verdil & tissue culture and possible association
J. Tregear (2004). Inheritance of random with epigenetic somaclonal variation
amplified polymorphic DNA (RAPD) events. J.Exp Bot., 53(373),1387-1396.
marker in Theobroma cacao L. J Am. Soc.
Hort. Sci., 120(4), 681-686. Van Harten, A.M. (1998). Mutation Breeding.
Theory and Practical Applications.
Sambrook, J., E.F. Fritsch & T. Maniatis Cambridge, Cambridge Univ. Press. 353p.
(1989). Molecular Cloning. A. Laboratory
Manual. Cold Spring Harbor Lab. Press. Waldron, J. (2002). Randomly amplified DNA
2nd ed. fingerprinting: a culmination of DNA
marker technologies based on arbitrarily-
Shapiro, H.S. (1976). Distribution of purines
primed PCR amplification. J. Biomed. &
and pyrimidines in deoxyribonucleic
Biotech., 2(3), 141-150.
acids. In. Fasman, G.D. (Ed). CRC
Handbook of Biochemistry and Molecular
Wolffe, A.P., P.L. Jones & P.A. Wade (1999).
Biology vol 2. 3rd edition. Cleveland, CRC
DNA demethylation. PNAS, 96(11),
Press. p, 241-281.
5894-5896.
Shah, F.H., G.K.A. Parveez & A. B. Maharen
Xiong, L.Z., C.G. Xu, M.A. Saghai-Maroof &
(1999). Levels of C-methylation as
Q. Zang (1999). Patterns of cytosine
molecular markers in oil palm. In.
methylation in an elite rice hybrid and its
N. Rajanaidu & B.S. Jalani (Eds). Proc.
parental lines, detected by a methylation-
Symp. The Science of Oil Palm Breeding
sensitive amplification polymorphism
Kuala Lumpur, Palm Oil Res. Inst. of
technique. Mol. Gen. Genet., 261, 439-
Malaysia. p 256-273.
446.
Sianipar, N, F., G. A. Wattimena,
Xu Mingliang, Li Xiangqian & S.S. Korban
H. Aswidinnoor, M.S. Thenawidjaya,
(2004). DNA-methylation alterations and
N. Toruan-Mathius & G. Ginting (2007).
exchanges during in vitro cellular
Karakterisasi secara morfologi abnor-
differentiation in rose (Rosa hybrida L.).
malitas embriosomatik kelapa sawit
Theor. Appl. Genet., 109, 899-910.
73