You are on page 1of 4

Hikayat Datuk Budian

Asarpin
Seperti tercatat dalam sebuah nujuman, pada 933 Hijriah, 8 Juli 1567, seorang lelaki, putra
Raja Buay Betanding, memiliki sebilah keris sakti. Matanya berkilat-kilat seperti atap seng
yang baru saja dibeli. Ia terlihat sedang menggosok-gosokkan tangannya yang kejang ke
bajunya supaya lemas jari-jemarinya. Seperti pernah dituturkan oleh Nurdin Belang, gurunya,
sarat untuk menjadi petarung kampung yang tangguh, jari-jemarimu harus lemas, sebab
empat puluh empat jurus pencak silat lahir dari jar-jari tangan yang lemas. Kemudian lelaki
tua itu mengambil dua lingkar tali pengikat yang terikat pada tonggak pohon, lalu diletakkan
di kepalanya pada dua belah tangannya.
“Akan kutebas lehermu,” ancam lelaki tua itu kepada temannya. Meski dalam kondisi tubuh
yang ringkih, ia berkali-kali berhasil membunuh musuh-musuhnya. Ia perlahan-lahan bangkit
berdiri seraya tangannya menyangga lutut, matanya menatap tegak lurus ke langit. Tampak
dari kejauhan lelaki tua itu merendam tubuhnya ke dalam air laut. Ia betul-betul letih setelah
bertarung seharian.
Di bawah cahaya bintang ia menghabiskan setengah botol arak yang sudah dicampur dengan
ketan hitam. Di depannya, ombak laut bergulung-gulung menghampiri tubuhnya, kian ke
selatan gelombang itu mendekat persis di depannya. Dalam imaji diam, hatiku berbisik,
gindom lawok kabelah, samekheh nyayang hiu . *
Lelaki tua itu bergegas menyalin pakaiannya, kemudian melanjutkan perjalanan menuju
Teluk Betung. Di sebuah pulau kecil perahunya terdampar. Tubuhnya meliuk-meregang
menahan gelombang yang kian mendekat ke arah perahunya. Matanya terbelalak
menyaksikan gundukan tubuh yang menghadang di depan perahunya. Dengan cepat ia
melepaskan tali ke arahnya, lalu mengangkat harpunnya setinggi mungkin dan dengan
segenap tenaganya—lebih besar dari sekadar tenaga dalamnya—ditancapkannya harpun itu
tepat di sirip belakangnya, lalu tubuh itu terangkat tinggi-tinggi di udara sampai sejajar
dengan dadanya.
Perahunya masih saja bergoyang karena buaya raksasa itu masih menarik harpunnya. Ia
mengerahkan kembali tenaganya yang membuat perahunya miring ke sisi kiri, hampir saja
terbalik, namun dengan cepat ia melompat ke sisi kanan, lantas berdiri sambil menarik napas
perlahan-lahan. Datuk Budian terlihat letih berkeringat. Ia memang petarung sakti dan
memiliki ilmu batin yang hampir tak tertandingi oleh Harimau Sumatera sekali pun.
Demikianlah, pada hari yang dianggap baik untuk berlayar, para periwayat mencatat
peristiwa pertarungan Datuk Budian dengan buaya di Teluk Semaka. Hasrat mendapatkan
Bukha Semaka** berbalas dengan mempertaruhkan nyawa bertarung dengan buaya raksasa.
Bila saja Datuk Budian mau mengikuti perintah baginda Raja Buay Betanding, ia tak akan
mengalami kesulitan berlayar. Ia tak perlu mengerahkan energi bertarung dengan buaya bila
ia berlayar melewati Way Gelang menyusuri hiliran Way Awi, lalu ke arah timur mengikuti
hiliran sungai Hulu Belu dan berlabuh ke bandar Way Ngarip.
Sejarak sepuluh kilometer dari kampung Siring Betik, ia akan menemukan istana Siti Indra
Puri dan Pangeran Paksi Marga. Tapi sebelum nasehat kakeknya berakhir sampai di situ, ia
memutuskan untuk berlayar melalui Selat Sunda menuju Teluk Betung tanpa penunjuk arah.
Baginya, lebih baik mati bertarung melawan buaya di Teluk Semaka daripada harus
bertarung dengan Harimau Sumatera.
Keesokan harinya beberapa orang penduduk kampung Gedung Putih dan Datuk Budian
berangkat memeriksa daerah yang ditunjukkan oleh Penyimbang Gedung. Sesampainya di
sana, dipelajarinya tempat itu, dari pokok ke pokok, yang tinggi dan rendah yang kering dan
berair diperiksanya semua.
Di hatinya bergumam, daerah ini memang daerah angker, selain terdapar ratu buaya putih,
terdapat banyak roh halus yang ganas. Lebih lagi bila mendengar cerita penduduk
sekampung, di seberang utara kampung Padang Ratu terdapat sebuah kampung Ngakhas.
Konon kampung ini tempat orang-orang sakti menguji ilmunya. Bila ia masih bisa kembali ke
kampung halamannya dengan selamat, maka orang-orang menganggapnya memiliki ilmu
sakti dan dihormati ke mana pun ia pergi.
Demi perintah Penyimbang Gedung dan demi menjaga nama baiknya, ia terus melanjutkan
perjalanan menyusuri teluk demi teluk yang ganas. Datuk Budian memang tak pernah merasa
putus asa. “Kalau pun aku harus dikalahkan, biarlah tubuhku dimakamkan di negeri orang
daripada menyerah sebelum berusaha, rasa malu akan membuntuti keluargaku turun
temurun,” pikirnya.
Kini sampailah aku pada titik paling sulit dalam kisah ini. Sebab tak banyak pengetahuan
hingga membuatku tidak cukup fasih untuk memaknai kisah ini kembali, kecuali
mengetengahkan percakapan yang terjadi lima abad yang lampau. Apalagi mengatasi
berbagai peristiwa yang hadir di sekelilingku. Banyak pertanyaan yang tumbuh di kepalaku.
Sedang setiap jawaban yang kudapatkan selalu melahirkan lebih banyak pertanyaan.
Kegelisahan tetap menggeliat dalam imaji diam. Merintih-meliuk
seperti orang-orang kelaparan.
Aku tak akan mereduksi kata-katanya, yang kini tak lagi terengkuh. Kebimbangan masih
tetap menggeliat-meragu. Aku hanya bisa meraba sebuah cermin besar yang memantulkan
berbagai lelucon dan tragedi yang sama: ketidakberdayaan sama dengan pertumbuhan yang
nyaris selalu dibarengi dengan penghancuran sisi-sisi yang lain.
Impian mempersunting Siti Indra Puri merupakan ketakjuban yang tak terelakkan, seperti
paket kilat khusus yang membawa kabar gembira. “Aku tak pernah mampu menghindar
sekali pun masih ada nurani, juga tidak sungguh-sungguh memahami dan tidak sungguh-
sungguh peduli pada keselamatan diriku!” pikirnya.
Aku harus kembali belajar merasakan getar gelombang yang menerpa perahunya. Peristiwa-
peristiwa yang menimpa Datuk Budian membuat sekujur tubuhku kembali tegang. Segera
setelah semua riwayat berakhir,
sementara yang lain belum usai tumbuh, bahkan belum ada tanda-tanda kehidupan, Datuk
Budian dan aku akan terus berjalan menyusuri teluk demi teluk mencari petunjuk bagi
perjalanan kafilah agar tak sesat arah.
Seperti yang lalu-lalu, kesunyian hanya tinggal sebagai teman lamunan. Itulah yang dapat
kulihat dalam seberkas cahaya di wajah Datuk Budian sebelum kemudian ia pergi
meninggalkanku. Aku masih ingat tentang mimpinya saat berlayar bersama perahunya dan
terdampar ke Pulau Tabu-an. Ambisi mempersunting Siti Indra Puri harus kandas di Teluk
Semaka. Seperti termaktub dalam hikayat Datuk Budian, sosok Dewa yang lahir dari Dunia
Atas, diturunkan ke Dunia Tengah untuk memimpin perjalanan kafilah atas persetujuan
penguasa Dunia Bawah, terdampar di Dunia Tengah. Sebuah ambisi setinggi langit dengan
puncak menggapai Dunia Atas. Aku melihat wajahnya yang murung muncul dari rasa sepi
yang sunyi. Setiap malam aku merasakan seperti berada dalam kuburan bersamanya, tapi
malam-malam seperti ini terlalu kecil untuk dapat menampung semangat lelaki tua itu.
Fajar telah mengambang di ufuk tiap pagi membawa ingatan jernih akan jalan setapak
bercecabang. Kekosongan sesudah tikungan jalan itu, orang-orang berlalu membuat pagi
cepat menjadi petang. “Tikungan jalan bukanlah tempat untuk menemui orang-orang
mati,” ujarnya. Ia juga bukan penjahat yang licin seperti belut. Karena sudah bertekad
mengajakku untuk minum arak, meski mereka semua tertawa karena leluconnya, aku tetap
ingin bersamanya.
Setelah semuanya selesai, dan hari mulai menjelang magrib, berangkatlah Datuk Budian
seorang diri melanjutkan perjalanan menuju Negeri Padang Ratu. Kali ini ia tak melewati
Teluk Betung tapi berlayar dari Way Jelai menuju Negeri Ratu dan beristirah di Negara
Batin. Setelah tubuh segar kembali ia melanjutkan perjalanan menyusuri Way Belu hingga
tiba di Way Ngarip. Dengan cepat ia mengambil tali pengikat lalu lompat sembari tangannya
mengikatkan tali perahunya.
Aku bisa menghayut saja dan tidur dan mengikatkan tali di jari kaki supaya bisa terbangun,
pikirnya. Tapi malam mulai gelap, buaya-buaya dari Teluk Semaka pasti bertandang ke sini.
Bukankah jarak Teluk Semaka dengan Way Ngarip hanya selangkah lompatan macan? Maka
ia memutuskan untuk berjalan kaki menuju istana Padang Ratu meski menurut orang-orang
kampung daerah ini terdapat banyak harimau.
Sejarak sepuluh kilometer, Siti Indra Puri terlihat duduk merenung di beranda rumahnya.
Sementara perempuan-perempuan seumurnya sibuk menumbuk beras sambil sesekali mereka
membicarakan rencana pernikahan dirinya. Di antara mereka, terdapat seorang perempuan
yang dengan penuh semangat terus menumbuk beras tanpa menghiraukan percakapan teman-
temannya. Dia adalah Juhana, putri Batin Zainuddin, yang dipercaya Pangeran Paksi Marga
sebagai pengganti dirinya.
Hingga menjelang tengah malam, tampak Datuk Budian berjalan seorang diri ke tempat
perkampungan yang dihuni oleh banyak putri ratu keturunan Sultan Banten. Setelah bulan
persis di atas kepalanya, tampaklah olehnya obor-obor berdatangan, sebentar kemudian obor-
obor itu diam tak bergerak. Tak lama aku menyaksikan gadis-gadis itu, tiba-tiba terdengar
suara gong yang menusuk gendang telingaku. Tak sekejap pun mataku lepas mengawasi
gerak-gerik orang-orang di lingkungan istana Pangeran Paksi Marga. Semua saling membisu,
tunggang-langgang saling menatap, lantas beringsut masuk ke dalam.
Di kejauhan, terlihat oleh Datuk Budian sinar
lampu obor yang datang ke arah yang berlawanan dengannya. Sinar obor itu kian mendekat
ke arahnya, membuat sekujur tubuhnya menggigil. Sepasang tangannya mulai gemetar,
kesepuluh jarinya terkepal, seperti petinju yang siap melayangkan pukulan. Getar badannya
kian besar, ke dalam tengadah kedua telapak tangan, tiba-tiba muncul suara,
“aummmmm!” Harimau kelaparan menghadang langkahnya.
Di beranda rumah Siti Indra Puri masih melamun seorang diri. Matanya termangu menatap
onggokan tunggu tua tempat segala kebalauan tumpah, melepas semua beban dari tubuh yang
ringkih. Di hatinya bertumpuk seribu satu pertanyaan yang diikuti rasa nyeri tak menentu.
“Djikalau aku sekuntum bunga, tuan, dikau djustru baru mulai mekar sesudah badai lewat,”
ungkapnya. “Basahnja bertolak kering. Getar-getarnya hilang. Jang ada hanjalah sepasang
mata. Kelopakku terbuka lebar-lebar, mentjoba menembus kelam. Satu-satunja jang
memetjah kesunjian, tuanku, suara dari satu pernafasan jang berangsur kembali teratur.”
Suara itu menggema seperti rintihan jiwa yang tertekan bertahun-tahun. “Aku tak pernah
mengerti, sebab suatu waktu tuan akan berhenti, tak lagi menjadi kafilah yang terus berjalan
tanpa arah. Selanjutnya aku tinggal menunggu waktu lagi. Dan status sesudahnya sudah tak
dianggap sebagai kramat yang syahdu lagi. Seperti sebuah kelahiran tanpa makna, kemati-an
tanpa makna, igauan tanpa makna, kata-kata tanpa makna. Semua tanpa makna. Semua telah
berlalu mengikuti rombongan kafilah.”. Kata-kata itu meluncur bagai anak panah lepas dari
busurnya.
Sejenak suara itu terhenti. Ia tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya. Dewi Bumi telah
berjanji untuk tidak membawa kabar kematian.
Sesudah itu aku tinggal mencari waktu untuk mengajak mereka memainkan jurus-jurus
mengelak dari malakulmaut. Aku akan meminum arak lagi sampai aku mabok bersama
mereka, mandi di kolam dan berenang bersama mereka. Sesudah itu…..
Lama juga Datuk Budian berdiri di tikungan jalanan, jalan raya yang mulai lengang. Matanya
menatap tegak lurus ke langit. Seekor merpati mengepak-ngepakkan sayapnya tanpa nafsu,
air menetes di depannya, kelewat bening.
Angin sayup-sayup menembus kulitnya. Sepasang telinga menangkap nyanyian putri
kahyangan. Kucoba mengikuti, meniru, menghapalnya, lalu kukunci erat-erat dalam laci
kenangan.
Sanak ngawil di bom, ngaliak buha laga, mati temadan bihom, disium bakas tuha.
Ha…ha…ha!

You might also like