You are on page 1of 8

Pengendalian Kualitas Produksi Gula Kristal Pada Pengarjin Gula Kristal

Di Kabupaten Banyumas

Oleh:

Sri Hermawati1
srihermawati@staff.gunadarma.ac.id

Yusye Milawati2
yusye@staff.gunadarma.ac.id

Abstrak
Brown sugar became one of the commodities that are traded in Indonesia because this
commodity widely used in various types of traditional foods. since many years ago people
got to reduce dependence on sugar cane. They consume coconut sugar. diversification of
coconut sugar into crystals sugar opened opportunities to reduce dependence on sugar cane.
One of the fundamental problems that often occur on crystals sugar craftsman level are still
high levels of diversity and quality deviations. The producers were not aware that the
demands of quality becomes an important factor in product marketing. This study was
conducted to evaluate the quality of the sugar crystals from the sides of moisture content, ash
content and insoluble solids. various elements of the content that has been analyzed
chemically and the results have been statistically tested. statistical test result show that the
quality of the sugar has not fully meet the quality standard of SNI 01-3743-1995. Some of the
products produced by craftman still has a moisture content and ash content higher than the
existing standard. Nevertheless the overall based on the seven standards conformance test ,
quality of sugar can be stated that the sugar production process is still at the limit of
production quality control.

Pendahuluan
Gula merah menjadi salah satu komoditi yang banyak diperdagangkan di tanah air
karena komoditi ini banyak dipergunakan pada berbagai jenis makanan tradisional.
Ketersediaan produk ini di pasaran tidak hanya ditunggu oleh konsumen akhir tetapi juga
masyarakat industri makanan. Untuk mengurangi ketergantungan akan gula tebu sejak dahulu
masyarakat sudah mengkomsusi gula kelapa. Diversifikasi produk gula kelapa menjadi gula
kristal membuka peluang untuk mengurangi ketergantungan pada gula tebu. Dalam
perkembangan selanjutnya gula kristal juga mengalami diversifikai menjadi gula kristal
dengan berbagai cita rasa tambahan. Gula semut merupaka gula merah versi bubuk dan sering
pula disebut sebagai gula kristal. Gula semut kaya akan nutrisi, baik bagi kesehatan tubuh
manusia, karenamengandung serat pada warna coklatnya, kalori, kalsium, protein kasar,
mineral, vitamin dan senyawa- senyawa yang berfungsi menghabat penyerapam kolesterol di
saluran pencernaan (Kristianingrum, 2009)
Produksi gula kelapa rata-rata pertahun di Banyumas sebesar 60.459 ton per tahun. Dari
jumlah tersebut di tahun 2014 produksi rata-rata perbulan gula kristal 300 ton, sedangkan
mulai 2014 produksi gula semut meningkat mencapai 1.200 ton per bulan (Suara Merdeka,
2015). Namun demikian menurut ketua koperasi pengrajin gula kristal Banyumas, produksi
di tahun 2013 belum mampu memenuhi permitaan pasar (Suara Merdeka, 2015). Melihat
tingginya permintaan dan potensi lahan kelapa yang luas di daerahnya, pemerintah daerah
mencanangkan industri gula merah sebagai salah satu industri unggulan selain perikanan.
Proses produksi yang tradisional membuat jumlah produksi terbatas, meskipun sebenarnya
jumlah produksi lebih dipengaruhi dari ketersediaan bahan baku. Ketergantungan mereka
hanya pada nira dari kebun sendiri menjadikan jumlah produksi mereka terbatas.
Salah satu permasalahan mendasar yang sering terjadi ditingkat pengrajin gula aren kristal
adalah masih tingginya keragaman dan tingkat penyimpangan mutu gula arena kristal
sehingga produk yang dihasilkan mempunyai mutu yang kurang sesuai dengan standar mutu
nasional (Susi,2013). Rendahnya mutu produk tentu akan berimbas pada harga jual yang
rendah dan tertututpnya peluang pasar.
Masalah mutu produk harus menjadi masalah yang serius karena produksi yang
berbasis industri rumah tangga ini dianggap dapat dilakukan oleh siapapun di pedesaan. Cara
pemrosesan dari mulai awal pengambilan air nira sampai proses pemasakan dianggap telah
dikuasi secara turun temurun dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Sebagai akibatnya,
industri berbasis rumah tangga ini memberikan hasil yang berbeda beda mutunya.
Masyarakat pengrajin kurang menyadari bahwa tuntutan mutu menjadi salah satu faktor
penting dalam pemasaran produk. Standarisasi mutu masih perlu di sosialiasasikan sehingga
hasil produksi dapat memenuhi standar mutu permintaan pasar. Oleh karena itu penelitian ini
dilakukan untuk untuk mengevaluasi kualitas produk gula kristal dari sisi variabel
kandungan air, kandungan abu dan padatan tak larut

Kajian pustaka
Standarisasi mutu produk tetap menjadi acuan sebagai upaya untuk meningatkan
pemasaran gula kristal ke pasar. Secara umum standar mutu gula kristal berdasarkan SNI
dilihat dari kadar air dalam gula, kadar abu dan padatan tak larut. Penelitian tentang kualitas
gula kristal sebelumnya telah dilakukan oleh Mustaufik dan Haryati(2009) dan Susi (2013),
namun hasil penelitian ini hanya menunjukkan kualitas gula kelapa dari sisi kandungan yang
ada atau produk akhir. Bahkan Mustaufik dan Haryati menganjurkan penelitian selanjutnya
seharusnya menggunakan metode statistik untuk melihat apa yang harus diperbaiki dari
beberapa kualitas gula kelapa yang ada di pengrajin.
Kualitas menjadi salah satu pertimbangan disaat seseorang memutuskan untuk
melakukan pembelian. Untuk gula kristasl konsuen melihat kualitas gula kristal dari sisi
tampilan fisik. Tampilan fisik dapat dilihat dari bentuk, warna, aroma dan rasa. Salah satu
variabel yang menentukan bentuk gula kristal adalah kandungan air. Menurut Susi(2013)
Kadar air yang tinggi maka akan ditunjukkan tekstur produk sedikit lembab. Gula sifatnya
higroskopis, yakni mudah menyerap air, kadar air yang tinggi akan memudahkan untuk
penyerapan air dari udara sehingga daya simpan produk akan lebih pendek. Kadar air gula
semut yang tinggi akan memicu terjadinya penggumpalan gula (clumping), hal ini juga akan
mengurangi kualitas fisik produk.
Secara umum telah diketahui bahwa dalam memutuskan pembelian produk minimal
konsumen akan melihat dari sisi harga yang ditawarkan, kemampuan atau daya belinya dan
kualitas produk. Kualitas yang dilihat oleh konsumen meruakan kualitas yang kasat
mata.Salah satu faktor penentu kualitas produk adalah proses produksi yang terkendali sesuai
standar. Pengendalian proses produksi dilakukan untuk memastikan bahwa out put yang
dihasilkan dapat diterima sebagai produk yang baik. Menurut Stevenson (2010) pengawasan
yang efektif terdiri beberapa rangkaian proses yaitu pendifinisian tentang pengawasan,
pengukuran hasil luaran, membandingkan hasil luaran dengan standar, mengevaluasi,
pengambilan tindakan koreksi jika diperlukan dan evaluasi tindakan koreksi tersebut.
Pengukuran kualitas dapat dilakukan dari sisi variabel ataupun atribut. Pengukuran
berdasarkan pada variabel akan melihat kualitas produk dari sisi tiap variabel kerusakan.
Pada penelitian ini pengukuran kualitas gula kristal akan dilihat dari sisi kandungan air,
kandungan abu dan padatan tak larut. Karena masing-masing variabel ini terpisah maka
pengukuran menggunakan mean chrat. Penggunaan mean chart didasarkan pada teorema
central limit yang menyatakan distribusi rata-rata sampel yang diambil dari satu proses akan
berdistribusi normal. Kalaupun tidak berdistribusi normal untuk sampel yang besar akan
berdistribusi normal. Sampel besar menurut Stevenson (2010) adalah sampel berjumlah lebih
dari 30. Pengukuran kualitas dasi isi atribut dalam penelitian ini menggunakan c chart. C
chart digunakan jika tujuan pengendalian kualitas adalah jumlah kerusakan pada setiap unit
produk. Karen dalam satu produk gula kristal bisa terdeteksi lebih dari satu variabel ini maka
digunakan c chart.

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survey yang dilakukan pada sentra industri gula
kelapa di 24 kecamatan penghasil gula kelapa di Kabupaten Banyumas. Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer diperoleh melalui survey pada
masyarakat pengrajin gula kristal dari kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Dalam
survey ini selain akan dilakukan pengamatan proses produksi juga dilakukan wawancara
untuk mendapatkan informasi terkait dengan kendala dalam pemenuhan standar produksi
nasional maupun internasional.
Populasi pengrajin gula kelapa di Kabupaten Banyumas lebih dari 25.000 orang.
Diantara mereka ada yang membentuk kelompok. Sampel diambil dari pengarajin di
kecamatan Cilongok karena kecamatan ini merupakan sentra terbesar pengrajin gula kristal
yang berorientasi ekspor. Dari kelompok pengrajin ini diambil 35 pengrajin dari lima desa
yang saat penelitian dilakukan sedang berproduksi.
Mutu gula akan dilihat dari kandungan air, kandungan abu dan padatan tak larut.
Pengujian kandungan mineral tersebut diuji di Laboratoeium kimia Organik pada suatu
lembaga pendidikan tinggi. Dari hasil laboratprium akan dicocokkan dengan standar mutu
nasional gula yaitu SNI 01-3743-1995.

Tabel 1: Standar Mutu Produk Gula Pelam Berdasar SNI 01-3743-1995


Variable Indiktor Difinisi
Kandungan air Maksimum 3%
Kandungan abu Maksimum 2%
Padatan tak larut Maksimum 1%
Kebersihan kuali - Kebersihan peralatan
Higienitas nira (organik) - Kualitas nira tanpa bahan kimia
Bentuk Kristal Butiran gula
Warna Coklat keemasan Warna kekuningan dari gula kristal

Untuk menguji apakah nilai kandungan mineral hasil uji laboratorium berbeda dengan
standar yang ditetapkan digunakan uji t dengan tingat kesalahan 5%. Setiap hasil produksi
akan dilihat berapa kriteria mutu yang tidak terpenuhi. Jumlah kriteria yang digunakan ada 7
yaitu kadar air, kadar abu,kadar gula, sukrosa, Cu, Pb dan Sn.
Untuk mengukur apakah kualitas gula kristal dilihat kadar air, atau kadar abu, atau
padatan tak larut dalam gula kristal masih berada pada batas pengendalian kualitas digunakan
c chart. C chart digunakan bila tujuan pengukuran adalah mengntrol jumlah kerusakan yang
ada pada setiap unit produk yang dihasilkan. Dimana kerusakan yang ada pada tiap unit
produk dapat berupa satu atau lebih jenis kerusakan. Rumus yang digunakan untuk
pembuatan bagan pengendalian sebagai berikut (Stevenson, 2010):

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙


𝑐=
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

𝑈𝑝𝑝𝑒𝑟 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑙𝑖𝑚𝑖𝑡 (𝑈𝐶𝐿) = c + 2√c


𝐿𝑜𝑤𝑒𝑟 𝐶𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝐿𝑖𝑚𝑖𝑡 (𝐿𝐶𝐿) = 𝑐 − 2√𝑐
Hasil dan Pembahasan
Pemasaran gula kelompok ini adalah pasar internasional. Dengan demikian menjadi
sangat penting pengujian kualitas untuk kelompok pengrajin yang masuk dalam koperasi ini.
Pasaran mereka adalah pasar Jerman, Amerika, Jepang dan timur tengah. Standar kualitas
yang dituntut adalah standar kualitas internasional yang sebenarnya sama dengan Standar
Nasional Indonesia (SNI). Kandungan yang dilihat adalah kadar air, kadar abu, gula
pereduksi, gula sukrosa, kandungan logam. Kandungan logam yang di lihat hanya kandungan
Pb, Cu dan Sn.
Sampel diambil dari 35 kali produksi yang dilakukan oleh 35 pengrajin. Hasil uji
laboratorium organik menunjukkan sebagian besar produk telah memenuhi standar mutu
yang ditetapkan. Hasi selengkapnya unutk uji kandungan air, bahan terlarut dan kandungan
logam tertera pada tabel 2.

Tabel 2: Nilai Rata-Rata, Standar Deviasi dan Signifikasi Kandungan Mineral Gula Kristal
Unsur Satuan Rata-rata kan- Standar Batas t hitung Sig.(2-
dungan mineral Deviasi maksimum tailed)
Air % 4,0897 1,40766 3 4,580 0,000
Abu % 2,2463 ,32056 2 4,545 0,000
Gula % 6,129466 ,1275684 6 6,004 0,000
Sukrosa % 87,479646 1,6632833 90 -8,965 0,000
Pb mg/kg 6,8369 17,04473 2 1,679 0,102
Cu mg/kg 2,0726 ,95775 10 -48,968 0,000
Sn mg/kg 1,7520 3,29592 40 -68,654 0,000

Kadar air hasil produksi pengraji berdasar SNI 1995 tidak boleh lebih dari 3%. Karena
hasil uji menunjukkan nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka dapat disimpulkan terdapat
perbedaan antara kadar air gula produksi dengan standar yang ditetapkan. Dari hasil uji
terhadap 35 produksi diketahui rata rata kadar air produksi mereka sebesar 4,0897% dengan
standar deviasi 1,4077. Hanya 20 % dari sample yang memiliki kadar air dibawah 3%,
sehingga disimpulkan produksi mereka masih memiliki kadar air yang tinggi.
Semua hasil gula pengrajin yang dijadikan sampel masih memiliki kadar air yang
melebihi batas standar. Tidak terpenuhinya standar kandungan air bisa terjadi karena faktor
cuaca selama produksi. Proses pengeringan hasil produksi masih bergantung pada panas
matahari. Penelitian ini dilakukan untuk produksi di akhir mei dimana cuaca masih belum
terlalu panas. Dari hasil wawancara dengan pengarajin diketahui bahwa proses pengeringan
produk memerlukan waktu dua hari jika cuaca tidak terlalu panas. Dengan demikian mutu ini
relatif tidak dapat dikendalikan apalagi jika tiba produksi di musim hujan.
Para pengrajin dapat melihat kandungan air yang tinggi pada hasil produksinya hanya
berdasar pada tampilan gula. Gula yang kering akan berwarna lebih terang dibandingkan
yang berkadar air lebih tinggi. Kadar air sebenarnya berkurang saat nira dipanaskan selama
proses produksi. Menurut Muhandri dan Suswantinah (2014) peningkatan kadar gula nira
juga meningkatan titik didih larutan seperti tampak pada meningkatnya suhu produk. Suhu
akhir pemasakan menentukan karakteristik gula semut. Jika suhu pemasakan masih terlalu
rendah, maka kandungan air dalam adonan masih tinggi sehinggi proses kristalisasinya
kurang sempurna dan kristal gula kurang pourus. Sebaliknya jika suhu akhir pemasakan
terlalu tinggi maka warna gula lebih gelap dan proses kristalisasinya agak sulit, karena gula
sudah mengeras.
Untuk mengetahui kadar abu yang terkandung dalam gua kristal, diambil sample
seberat tertentu kemudian di furnace pada emperatur 550°C selama kurang lebih 3 jam. Rata
rata kadar abu sample adalah 2,2463% dengan standar deviasi 0,32056. Batas maksimum
kadar abu adalah 2%. Hasil ini mengindikasikan banyak hasil produksi gula pada koperasi
yang melebihi ambang batas kandungan abu. Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan
yang signifikan antara hasil pengujian laboratorium dengan standar yang ditetapkan. Dari 35
sampel yag diteliti hanya 25% yang memenuhi standar dengan kandungan abu kurang dari
2%.
Suhu pemasakan dan penambahan natrium metabisulfit memberikan pengaruh yang
nyata terhadap kadar abu gula merah tebu (Maharani dkk,2014). Maharani dkk (2014)
menyatakan bahwa suhu 70o C merupakan suhu optimum untuk menghasilkan kadar abu
yang rendah.Apabila suhu ditingkatkan lebih tinggi lagi maka menyebabkan kotoran bukan
gula akan muncul dan meningkatkan kadar abu. penambahan natrium metabisulfit maka
kadar abu cenderung semakin tinggi. Hal ini dikarenakan kadar abu yang terhitung dalam
gula merah adalah kandungan natrium metabisulfit dan mineral lain seperti kapur untuk
penjernihan nira tebu.
Pembuatan gila kristal di wilayah Cilongok juga menggunakan kapur sirih yang
dilarutkan dalam air rendaman kulit manggis untuk mengendalikan pH nira. Menurut
Muhandri dan Suswantinah (2014) Nira segar yang belum mengalami proses fermentasi
mempunyai rasa manis, berbau harum dan jernih, serta mempunyai pH 6-7,Pada penyadapan
siang hari pH nira relatif lebih asam, dan pada beberapa kasus nira telah terfermentasi, total
gulanya relatif lebih tinggi, sedangkan pada penyadapan malam hari biasanya kondisi nira
lebih segar pada kondisi cuaca yang sama. Hal ini disebabkan karena kondisi suhu udara pada
siang hari lebih tinggi dibandingkan pada malam hari sehingga proses fermentasi pada siang
lebih cepat dibandingkan pada malam hari.
Makin tinggi kadar abu, maka makin rendah kualitas gulanya, sebab kadar abu
menunjukkan bahan anorganik yang akan berpengaruh pada warna dan sifat higroskopisitas
gula. Oleh karena itu pengarajin perlu memahami berapa banyak kapur sirih boleh ditabahkan
dalam air rendaman kulit manggis agar dapat menyeimbangkan antar keinginan untuk
mempertahan kan kualitas nira dengan mempertahankan kualitas produk akhirnya.
Standar kadar gula untuk produk gula kristal sebesar 6%. Yang dimaksud kadar gula
dalam pengukuran kualitas adalah kadar gula pereduksi. Gula pereduksi merupakan golongan
gula (karbohidrat) yang dapat mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron, contohnya
adalah glukosa dan fruktosa. Pengujian kadar gula pereduksi dilakukan dengan cara
mengambil sebagian produk dilarutkan dalam akuades untuk kemudian digunakan sebagai
larutan titran untuk menitrasi campuran larutan Fehlin A dan B (dengan perbandingan 1:1)
dalam keadaan mendidih menggunakan indikator methylene blue hingga larutan titir berubah
menjadi merah atau jingga. Reaksi gula pereduksi dengan amino protein menghasilkan
warna coklat pada bahan yang dikehendaki atau malah menjadi pertanda penurunan mutu.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata hasil produksi sample memiliki kadar gula
pereduksi 6,12946% dengan standar deviasi 0,12756. Hasil uji statisti menunjukkan bahwa
nilai rata rata kadar gula sebesar 6,129% berbeda dengan nilai 6% yang distandarkan, oleh
karen itu dapat dikatakan kadar gula melebihi standar. Dari 35 sample diketahui hanya 5,7%
yang memiliki kadar gula hingga batas maksimum 6%. Namun demikian melihat nilai
standar deviasi yang ada, penyimpangan standar mutu tidak jauh. Kadar
Batas maksimum kadar gula sebagai sukrosa adalah 90%. Sukrosa adalah salah satu
jenis gula reduksi. Sukrosa adalah senyawa yang dalam kehidupan sehari-hari dikenal sebagai
gula. Hasil pengujian sample diketahui rata rata kadar sukrosa 87,479% dengan standar
deviasi 17,044. Dari kedua hasil ini dapat diketahui bahwa semua sampel yang diambil
memliki kadar sukrosa yang memenuhi standar mutu SNI 1995. Dari tabel 6 diketahui bahwa
100% sampel memenuhi standar mutu kandungan sukrosa minimal 90%.
Batas maksimum kandungan logam Pb dalam standar mutu gula adalah 2 mg /kg. Hasil
uji laboratorium menunjukkanbahwa rata rata kandungan Pb dalam sample gula kristal adalah
6,8369% dengan standar deviasi 17,044. Standar deviasi yang tinggi ini disebabkankarena
produk akhir empat pengrajin memiliki kandungan Pb yang sangat tinggiyaitu 31 mg/kg, 50
mg/kg, 51 mg/kg dan 73 mg/kg. Namun demikian hasil uji statistik juga menyatakan tidak
ada perbedaan antara nilai 6,8369% dengan nilai 2 yang disayaratkan dalam mutu gula kristal
yang berarti kadar Pb dalam gula kristasl tidak melewati batas yang ditentukan.
Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa rata rata kandungan Cu dalam sample gula
kristas lebih rendah dari yang disayaratkan SNI. Demikian juga untuk uji kandungan logam
Sn pada produk gula kristal. Sebanyak 100% dari sample gula kristasl memiliki kadar Sn
yang lebih rendah dari yang disyaratkan SNI 01-3743-1995.
Mutu gula kristal yang dihasilkan dari sisi kadar sukrosa, Pb, Cu dan Sn telah
memenuhi standar yang ditetapkan. Sebanyak 73,4% dari produksi pengrajin yang dijadikan
sample pengujian kadar kandungan Pb, telah memenuhi standar mutu yang ditetapkan.
Untuk uji kandungan sukrosa, Cu dan Sn telah terpenuhi oleh semua hasil produksi
responden.
Rendahnya kandungan logam merupakan upaya yang dilakukan pengrajin dengan tidak
menambahkan bahan kimia dalam proses pemasakan. Untuk mempertahankan kualitas nira
agar tetap prima dari saat dipanen hingga dimasak mereka menggunakan bahan alami. Nira
biasanya diambil di pagi hari dan sore hari. Nira dimasak jika telah terkumpul banyak tetapi
masih pada hari yang sama dengan saat panen. Penurunan kualitas nira terjadi jika nira terlalu
lama didiamkan. Untuk mempertahankan kualitas nira digunakan bahan alami berupa larutan
kapur yang dicampur dengan rendaman kulit manggis.
Untuk mengetahui apakah produksi para pengrajin masih ada pada batas pengendalian
kualitasyang ada digunakan uji kualitas proses produksi berdasar c chart. C chart digunakan
karena akan dilihat pengendalian kulitas proses produksi berdara hasil yang dinilai dari
beberapa etribut yang ada.Dalam satu produksi boleh jadi akan terdapat lebih dari satu
kriteria yang tidak dipenuhi.
6
5

Jumlah Kerusakan 4
3 c
2 UCL
1 LCL
0
-1 1 3 5 7 911131517192123252729313335
Produksi ke

Gambar 1: Bagan pengendalian kualitas produksi

Dari tujuh kriteria standar kualitas gula kristal yang diteliti,rata rata jumlah kriteria
yang tidak terpenuhi oleh pengrajin adalah 2,54 dengan standar deviasi 0,726. Dengan
menggunakan bagan c chart diketahui batas atas kontrol (upper control limit) sebesar 5,174
dan batas bawah (lower control limit) sebesar -0,088.Berdasarkan bagan pengedalian tersebut
dapat diketahui bahwa semua kekurangan yang ada pada produk gula kristasl pengrajin
masih ada pada batas pengendalian. Meskipun dari tujuh kriteria mutu produk, kandungan air
pada produk gula kristal masih melebihi ambang batas yang diperkenankan, secara umum
dapat dilihat pada Gambar 1 bahwa proses produksi yang dilakukan masih ada pada batas
pengawasan kualitas yang ada.
Penjualan gula kristasl oleh pengrajin tidak dilakukan secara langsung. Mereka
menyetor hasil produksinya kepada koperasi yang ada. Standar kualitas akan dinilai dari
kasat mata oleh koperasi. Para pengrajin yang tergabung dalam koperasi sudah diberikan
pembekalan cara atau proses produksi standar yang harus diikuti. Koperasi sebagai ujung
tombak penjualan produk pengrajin melakukan upaya pengendalian akhir dalamproses
produksi agar produk dapat memenuhistandar yang ditetapkan konsumen.
Sebagai contoh jika kandungan air tinggi harga gula akan jatuh. Kadar air gula semut
yang tinggi akan memicu terjadinya penggumpalan gula (clumping), hal ini juga akan
mengurangi kualitas fisik produk (Susi,2013). Karena sebagain besar masih menggunakan
pengeringan cara alamiah, maka koperasi selalu mengendalikan mutu gula yang dipasarkan
dengan melakukan pengeringan ulang pada produk hasil pengrajin yang telah disetorkan.
Proses pengeringan oleh pengrajin sebenarnya dapat dibantu dengan pengeringan melalui
penggunaan oven. Demikian hanya dua dari responden penelitian ini yang dibantu dengan
menggunakan oven dalam proses pengeringan produk. Pengrajin yang lain belum
menggunakan teknik ini karena terkendala biaya. Pengeringan dengan menggunakan oven
berarti penambahan biaya untuk pembakaran dan pembelian oven.

Kesimpulan
Dari berbagai unsur kandungan yang telah dianalisis secara kimiawi dan hasil telah
diuji secara statistik dapat disimpulkan bahwa mutu gula belum seluruhnya memenuhi
standar kualitas SNI 01-3743-1995. Beberapa produk yang dihasilkan pengrajin masih
memiliki kadar air dan kandungan abu yang lebih tinggi dari standar yang ada. Meskipun
demikian secara keseluruhan berdasarkan uji kesesuaian dari tujuh standar mutu gula dapat
dinyatakan bahwa proses produksi gula masih berada pada batas pengawasan kualitas
produksi.
Daftar Pustaka

Anonim. 2015. Pembinaan Petani Digalakkan, Suara Merdeka,


http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/pembinaan-petani-digalakkan/
Diunduh pada 15 April 2015.

Kristianingrum, Susila.2009. Analisis nutrisi dalam Gula Semut, disampaikan dalam kegiatan
PPM teknologi pembuatan gula semut aneka rasa untuk menumbuhkan jiwa wirausaha
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, UNJ.

Latief, A. Sutowo dkk. 2010. Peningkatan Mutu Gula Tumbu Melalui Metode Sulfitasi
Dalam Laboratorium, Gema Teknologi, Vol. 16 No. 1, hal. 40-48.

Muhandri, Tjahja dan Antin Suswantinah.2014. Standarisasi-Proses-Pembuatan-Gula-Semut,


http://git-miti.com/standarisasi-proses-pembuatan-gula-semut/ , diakses pada tanggal 20 April
2015.

Maharani, Dewi Maya dkk. 2014. Pengaruh Penambahan Natrium Metabisulfit Dan Suhu
Pemasakan Dengan Menggunakan Teknologi Vakum Terhadap Kualitas Gula Merah
Tebu, Agritech, Vol. 34, No. 4, hal. 365-373.

Mustaufik dan Karseno. 2004. Penerapan dan Pengembangan Teknologi Produksi Gula
Semut Berstandar Mutu SNI untuk Meningkatkan Pendapatan Pengrajin Gula Kelapa di
Kabupaten Banyumas. Laporan Pengabdian Masyarakat. Program pengembangan
Teknologi Tepat Guna, Teknologi Pertanian Unsoed.

Susi. 2013. Pengaruh Keragaman Gula Aren Cetak Terhadap Kualitas Gula Aren Kristal
(Palm Sugar) Produksi Agroindustri Kecil, Ziraa’ah, Vol.36, No. 1,hal. 1-11

You might also like