You are on page 1of 10

Indonesian of Health Information Management Journal

Vol.x, No.x, Juni 201x, pp. xx~xx ISSN: 2354-8932

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besaran Selisih Tarif Klaim


Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs) Pada Kasus Penyakit Infeksi
dan Sistem Pencernaan Di Rumah Sakit TNI AU Dr. Salamun Bandung

Anastasia Febrina Dwijayanti¹,dr. Mayang Anggraini Naga², Rudy J. Mandels3


¹,3STIKes Santo Borromeus, Bandung, Indonesia
²Universitas Esa Unggul, Jakarta
anas.febrina@gmail.com1, rudymandels@gmail.com3

Abstract
Efforts made by the government in the welfare of the Indonesian people especially in the field of health through JKN program in
which the payment pattern INA-CBGs affect the financing in TNI AU Dr. Salamun Hospital Bandung has implemented the
program since 2011. However, there has never been any special review of INA-CBGs claims report, so there are no known factors
affecting INA-CBGs claim rates to minimize financial risk.
Research conducted at TNI AU Dr. Salamun Hospital Bandung with type of research that cross sectional study design. The
population in this study in total 7011 patients with a sample size of 124 people. Sampling technique using purposive sample
technique or also called judgment sampling. The data examined were from the hospital's INA-CBGs report of 2017, obtained from
Head of Medical Information Data analysis technique used univariate and bivariate analysis with multiple linear regression test and
independent T test.
The results showed that there was a significant correlation between patient age, hospital class, length of stay and primary selection
diagnosis by level of INA-CBGs measurement and found tariff between main diagnostic code which was case of infectious diseases
and diagnosis code which became case of digestive system disease with p -value 0.002 <0.05.

Keywords : factors, tariff, INA-CBGs, TNI AU Dr. Salamnun Hospital Bandung

Abstrak
Upaya yang dilakukan pemerintah dalam mensejahterakan bangsa Indonesia khususnya dalam bidang
kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional yang didalamnya pola pembayaran INA-CBGs
berpotensi mempengaruhi pembiayaan di rumah sakit. Rumah Sakit TNI AU Dr. Salamun Bandung sudah
menerapkan program tersebut sejak tahun 2011. Namun belum pernah terdapat kajian khusus terhadap laporan
klaim INA-CBGs, sehingga belum dapat diketahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi besaran tarif klaim
INA-CBGs untuk meminimalisir resiko keuangan.
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit TNI AU Dr. Salamun. Jenis penelitian kuantitatif dengan rancangan
penelitian cross sectional. Populasi pada penelitian ini berjumlah 7011 dengan besar sampel 124. Teknik
pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sample atau disebut juga judgement sampling. Data yang diteliti
berasal dari laporan INA-CBGs rumah sakit tahun 2017, yang diperoleh dari Kepala Urusan Informasi Medis.
Teknik analisis data menggunakan analisis univariat dan bivariat dengan uji regresi linier berganda dan uji T
independent.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara umur pasien, kelas rawat,
lama rawat dan pemilihan diagnosa utama terhadap besaran tarif klaim INA-CBGs dan terdapat perbedaan tarif
antara kode diagnosa utama yang merupakan kasus penyakit infeksi dan kode diagnosa utama yang merupakan
kasus penyakit sistem pencernaan dengan p-value 0,002 < 0,05.

Kata kunci : faktor, tarif, INA-CBGs, Rumah Sakit TNI AU Dr. Salamun

Pendahuluan
Guna melaksanakan sistem jaminan sosial nasional, pemerintah membentuk Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial pengertian BPJS adalah badan hukum yang
dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial, dimana jaminan sosial adalah salah satu
bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya yang layak. Dalam PerMenKes RI No.27 menyebutkan bahwa implementasi Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) telah diatur pola pembayaran kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan
adalah dengan INA-CBGS (Indonesia Case Based Grups) sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 12
Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam Media Internal Resmi BPJS Kesehatan Edisi VIII

INOHIM Vol. x, No. x, Juni 201x: xx – xx


ISSN: 2354-8932

(2014) menyebutkan bahwa INA-CBGS adalah sistem pengelompokan penyakit didasarkan pada ciri
klinis yang sama dan juga sumber daya yang digunakan dalam pengobatan. Menurut PerMenKes RI
No.27/2014, INA-CBGS merupakan pengelompokan yang menggunakan sistem kodefikasi dari
diagnosis akhir dan tindakan/prosedur yang menjadi hasil akhir dari pelayanan, dengan acuan
International Classification International of Disease tenth revision (ICD-10) untuk diagnosis dan Internal
Classification of Disease Clinical Modification ninth revision (ICD-9-CM) untuk tindakan/prosedur.
Kodefikasi merupakan kegiatan menetapkan kode penyakit dan tindakan dengan tepat sesuai dengan
klasifikasi yang telah ditetapkan tentang penyakit dan tindakan medis dalam pelayanan dan manajemen
kesehatan.
Rumah sakit merupakan suatu sarana pelayanan kesehatan secara merata dengan mengutamakan
upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Keterkaitan antara rumah sakit dengan BPJS
yaitu rumah sakit sebagai salah satu institusi pelayanan kesehatan yang menjadi pelaksana penyedia
pelayanan dari program pemerintah, sedangkan BPJS sebagai badan hukum yang berwenang dalam
melakukan pembayaran terhadap pelayanan yang telah diberikan rumah sakit kepada pasien JKN.
Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, rumah sakit didukung oleh unit-unit penunjang yang saling
berhubungan satu sama lain. Salah satu unit tersebut adalah unit Rekam Medis. Dalam pelaksanaan
Case Mix INA-CBGSs, rumah sakit memerlukan hasil kodefikasi penyakit maupun tindakan untuk
kepentingan pengajuan klaim terhadap biaya yang telah dikeluarkan pelayanan kesehatan bagi pasien
JKN. (Inka, 2015, h. 2).
Unit rekam medis merupakan unit yang melakukan proses kodefikasi tersebut. Berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 337/Menkes/SK/III/2007 tentang
Standar Profesi Rekam Medis dan Informasi Kesehatan, bahwa seorang profesional Perekam Medis
dan Informasi Kesehatan harus mampu menjadi seorang coder dan melakukan kegiatan kodefikasi.
Hasil dari kodefikasi inilah yang digunakan untuk menentukan tarif yang besaran biayanya telah
ditetapkan. Dalam kaidah INA-CBGs pada pelaksanaan kodefikasi harus ditentukan mana yang
menjadi diagnosis utama dan mana yang ditentukan sebagai diagnosis penyerta (diagnosis tambahan).
Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan dalam hal ini harus mampu mengkaji dan meneliti
rekam medis pasien untuk penentuan diagnosis utama, diagnosis penyerta, tindakan/prosedur, agar
menghasilkan kode yang tepat. Ketepatan dalam kodefikasi tersebut dapat mempengaruhi penentuan
pengelompokan sistem INA-CBGs. Pengelompokan sistem INA-CBGs dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain yaitu ketepatan pada seleksi diagnosis utama dan ketepatan pengkodean diagnosis
yang telah ditetapkan oleh seorang coder. Kesalahan pada seleksi diagnosis utama akan berakibat pada
kesalahan dalam pemberian kode diagnose yang potensial berpengaruh pada pengelompokan INA-
CBGs.
Berdasarkan PerMenKes RI No.27 Tahun 2014, pengelompokan INA-CBGs berdasarkan pada
penentuan main condition dan other condition pada saat kodefikasi. Main condition (diagnosa utama)
berpotensi mempengaruhi ketepatan pengelompokan INA-CBGs dan other condition (diagnose
penyerta) seperti komorbiditas atau komplikasi akan mempengaruhi severity level (tingkat keparahan)
yang diderita pasien. Dimana hasil dari pengelompokkan ini akan menentukan perhitungan besaran
tarif yang akan dikeluarkan, apabila terdapat ketidaktepatan dalam kodefikasi maka berpotensi
berpengaruh pada ketepatan sistem pengelompokan INA-CBGs yang mana hasil dari ketepatan pada
sistem pengelempokan INA-CBGs juga terdapat kemungkinan mempengaruhi besaran tarif yang
dikeluarkan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan adanya kerugian bagi pihak
rumah sakit maupun kemungkinan adanya kegiatan menaikkan tarif (up) dari yang seharusnya
diklaimkan oleh pihak rumah sakit. Selain hasil pemilihan kode diagnosa utama, besaran tarif klaim
INA-CBGs juga diduga dapat dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti usia pasien, jenis kelamin pasien,
kelas rawat, lama rawat/ LOS (Lenght Of Stay) dan jumlah diagnosa tambahan yang dimasukkan ke
dalam sistem e-klaim INA-CBGSs 5.2.
Data INA-CBGSs rumah sakit dapat digunakan/dimanfaatkan tidak hanya untuk klaim tetapi
juga dapat digunakan untuk menilai performance rumah sakit dan performance SDM khususnya profesi
dokter. Data INA-CBGs bisa juga digabungkan dengan data HIMS (Health Information Management
System) bahkan bisa dibandingkan dengan rumah sakit lain yang sekelas. Hal ini berarti data INA-CBGs
dan data klaim dapat digunakan sebagai bahan untuk pengambilan keputusan/kebijakan tingkat rumah
sakit. Hasil pengamatan peneliti di Rumah Sakit TNI AU Dr. Salamun Bandung, peneliti menemukan
belum pernah dilakukannya kajian terhadap data klaim INA-CBGs sehingga belum diketahui faktor-

INOHIM Vol. x, No. x, (bulan) 201x : xx – xx


INOHIM ISSN: 2354-8932

faktor yang dapat mempengaruhi besaran tarif klaim INA-CBGs, dimana kajian tersebut dapat
digunakan sebagai bahan untuk mempertimbangkan pengambilan keputusan terkait resiko keuangan
rumah sakit apabila terjadi selisih negatif. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Besaran Selisih Tarif Klaim
INA-CBGs Pada Kasus Penyakit Infeksi Dan Kasus Penyakit Pada Sistem Pencernaan Di
Rumah Sakit TNI AU Dr. Salamun Bandung.

Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik, desain penelitian yang
digunakan adalah cross sectional. Perhitungan sampel pada penelitian ini berdasarkan data pasien rawat
inap pasien BPJS yang tercantum pada laporan klaim INA-CBGs tahun 2017 kasus infeksi dan kasus
sistem pencernaan yang berjumlah 124 data. Pengambilan sampel menggunakan metode non probability
sampling yaitu dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dengan cara observasi.
Teknik analisa data dilakukan dengan uji statistik yang terbagi atas dua kelompok yaitu untuk analisa
data univariat dengan menggunakan uji normalitas liliefors dan analisa data bivariat dengan
menggunakan uji regresi berganda dan uji t-independent.

Hasil dan Pembahasan


Identifikasi Laporan Klaim INA-CBGs Rumah Sakit TNI AU Dr. Salamun Bandung tahun
2017
Hasil penelitian yang dilakukan di RS TNI AU Dr. Salamun tahun 2017, peneliti menemukan
bahwa besaran selisih tarif klaim INA-CBGs yang bernilai negatif untuk kasus infeksi dan sistem
pencernaan di Rumah Sakit TNI AU Dr. Salamun, paling banyak terdapat pada pasien dewasa dengan
kasus infeksi (18,5%) yang menempati kelas 3 rawat inap (21%) dan dirawat selama 4-5 hari (27,4%),
dimana pada pasien tersebut, besaran selisih tarif klaim INA-CBGs bernilai negatif berada diantara
min1 sampai min5 yang artinya selisih tarif negatif berkisar antara kurang dari Rp 1.000.000,00 sampai
dengan kurang dari Rp 5.000.000,00. Kasus infeksi dan saluran pencernaan yang berkontribusi dalam
selisih tarif negatif sebesar 27,4% (34 pasien dari 124 pasien) dengan rata-rata selisih tarif bernilai
negatif yaitu sebesar Rp 841.023,00, dimana diagnosa terbanyak adalah diagnosa other and unspescified
gastroentritis and colitis of infectious origin (A09.0) sebagai diagnosa utama dan diagnosa chronic gastritis,
unspecified (K29.5). Adapun dari 34 pasien, kasus typhoid fever (A01.0) sebesar 23,5% dan kasus other and
unspescified gastroentritis and colitis of infectious origin (A09.0) sebesar 76,5%. Dimana prosentase frekuensi
kombinasi kasus yang mendominasi selisih negatif dikelompokkan sebagai berikut :
Tabel 11.
Frekuensi Kombinasi Diagnosa yang Mendominasi Selisih Negatif
Diagnosa
No Frekuensi Prosentase
Utama Tambahan
1 A01.0 K29.1 1 2,9
2 A01.0 K29.5 2 5,9
3 A01.0 K29.7 2 5,9
4 A09.0 K29.5 17 50
5 A09.0 K29.7 9 26,5
6 A09.9 K29.5 1 2,9
7 A09.9 K29.7 2 5,9
Jumlah 34 100
Keterangan kode :
A01.0 = Typhoid fever
A09.0 = Other and unspescified gastroentritis and colitis of infectious origin
A09.9 = Gastroentritis and colitis of unspecified origin
K29.1 = Other acute gastritis
K29.5 = Chronic gastritis, unspecified
K29.7 = Gastritis, unspecified

Berdasarkan tabel 11. didapatkan hasil bahwa kombinasi antara diagnosa utama other and
unspescified gastroentritis and colitis of infectious origin (A09.0) dengan diagnosa tambahan chronic gastritis,
unspecified (K29.5) yakni sebesar 50% (17 pasien dari 34 pasien). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
INOHIM Vol. x, Juni 201x : xx - xx
ISSN: 2354-8932

kasus infeksi dan saluran pencernaan berkontribusi dalam selisih tarif negatif sebesar 27,4% (34 pasien
dari 124 pasien), dimana yang mendominasi adalah diagnosa other and unspescified gastroentritis and colitis of
infectious origin (A09.0) sebagai diagnosa utama dan diagnosa chronic gastritis, unspecified (K29.5) dengan
jumlah pasien sebanyak 17 pasien. Berdasarkan Permenkes No 76 tahun 2016, peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah turut mempengaruhi besaran selisih tarif, dimana pada Permenkes
tersebut tertulis bahwa :
“Terdapat pembayaran tambahan (Top Up) dalam sistem INA-CBG untuk kasus–kasus tertentu yang
masuk dalam Special Case Mix Group (CMG), meliputi : a. Special Procedure, b. Special Drugs, c. Special
Investigation, d. Special Prosthesis, e. Subacute cases, f. Chronic cases Special”
Sehingga berdasarkan pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa salah satu faktor lain yang
mempengaruhi besaran selisih tarif klaim INA-CBGs adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Terkait pernyataan tersebut, kasus chronic gastritis berpotensi menaikkan selisih positif apabila dipilih
sebagai diagnosa utama, hal ini dikarenakan chronic gastritis termasuk dalam spesial CMG, yaitu pada
kategori chronic cases special.
Data penelitian menunjukkan adanya kemungkinan kesalahan pemilihan diagnosa utama
berdampak pada tarif INA-CBGs, yang mana juga potensial mempengaruhi besaran selisih tarif INA-
CBGs. Dalam penelitian ini sebanyak 13 (26%) rekam medis dari 50 rekam medis rawat inap kasus
infeksi dan sistem pencernaan menunjukkan adanya kemungkinan kesalahan petugas dalam memilih
diagnosa utama dimana 13 rekam medis tersebut yang terbanyak adalah kesalahan pemilihan pada
diagnosa GEA dengan gastritis kronik yakni sebanyak 4 (30%) dari 13 rekam medis. Pemilihan
diagnosa utama tersebut dilakukan peneliti berdasarkan aturan kodefikasi morbiditas yaitu Rules MB 1
– 5. Sehingga apabila terdapat kesalahan dalam pemilihan diagnosa utama pada kasus Gastritis kronik
menjadi GEA, maka berpotensi menimbulkan perbedaan rata-rata selisih positif sebesar Rp 701.000,00.
Pengamatan lain pada formulir resume medis menunjukkan bahwa pada item diagnosa tidak terdapat
kolom pembeda antara diagnosa utama dan diagnosa tambahan, sehingga apabila kolom diagnosa
untuk pembeda antara diagnosa utama keluar dan diagnosa tambahan tidak tersedia secara spesifik,
maka petugas medis yang mengisi kolom resume juga berpotensi tidak akan menuliskan secara spesifik
untuk menunjukkan mana yang merupakan diagnosa utama maupun diagnosa tambahan. Padahal
formulir dibuat dengan tujuan memudahkan dalam pengumpulan data, semakin spesifik item yang
disediakan, maka memudahkan pihak lain untuk mendapatkan data yang jugas lebih spesifik.
Peneliti melakukan identifikasi pemilihan diagnosa utama pada 50 rekam medis kasus infeksi dan
sistem pencernaan di RS TNI AU Dr. Salamun tahun 2017, ditemukan bahwa dari 50 rekam medis
sebanyak 13 rekam medis memiliki kemungkinan kesalahan pemilihan diagnosa utama, dimana
diagnosa dispepsia dengan gastritis sebanyak 1 rekam medis, GEA dengan gastritis kronik sebanyak 4
rekam medis, GEA dengan gastritis kronik dan PPOK sebanyak 1 rekam medis, GEA dengan Gastritis
akut sebanyak 1 rekam medis, gastritis kronik dengan GEA sebanyak 2 rekam medis, dispepsi dengan
GEA, vertigo, dan bronchitis sebanyak 1 rekam medis, DHF dengan gastritis kronik dan bronkhis
sebanyak 1 rekam medis, GERD dengan GEA sebanyak 1 rekam medis dan GEA dengan Gastropaty
erosif sebanyak 1 rekam medis. Sehingga berdasarkan data tersebut maka kesalahan pemilihan diagnosa
utama terbanyak adalah pada kasus GEA dengan gastritis kronik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi besaran selisih tarif klaim INA-CBGs pada kasus penyakit
infeksi dan kasus penyakit pada sistem pencernaan di Rumah Sakit TNI AU Dr. Salamun
Bandung
Tabel 3.
Nilai Koefisien Korelasi Variabel Bebas (Tanpa Variabel Jenis Kelamin dan Jumlah Diagnosa
Tambahan) terhadap Variabel Terikat
Variabel Nilai koef. Nilai koef. Nilai R2
Variabel Bebas Interpretasi
Terikat Korelasi (R) Determinasi (R2) Adjusted
Umur pasien (tahun) Hubungan antar variabel
Lama rawat (hari) Besaran bersifat sedang dan variasi
selisih tarif besaran selisih tarif klaim
Kelas rawat 0,617 0,380 0,359
klaim INA- INA-CBGs yang dapat
Pemilihan diagnosa CBGs dijelaskan oleh variabel
utama bebas sebesar 38%

INOHIM Vol. x, No. x, (bulan) 201x : xx – xx


INOHIM ISSN: 2354-8932

Berdasarkan tabel nilai Koefisien Korelasi (R) sebesar 0,617 yang berarti hubungan antar
variabel berkorelasi sedang. Nilai Koefisien Determinasi (R2) sebesar 0,380 dan nilai R2 Adjusted
sebesar 0,359 artinya variasi besaran selisih tarif klaim INA-CBGs yang dapat dijelaskan oleh variabel
bebas sebesar 38%. Hal ini berarti terdapat faktor lain sebesar 62% yang dapat mempengaruhi besaran
selisih tarif klaim INA-CBGs. Berdasarkan penelitian terdahulu, besaran selisih tarif klaim INA-CBGs
dapat dipengaruhi oleh prosedur medis, obat/terapi, tindakan dan kualitas pendokumentasian.
Sedangkan berdasarkan Permenkes 76 tahun 2016, tipe kelas rumah sakit juga menjadi salah satu faktor
yang mempengaruhi penetapan terhadap tarif INA-CBGs yang mana juga berpengaruh terhadap
besaran selisih tarif klaim INA-CBGs.
Persamaan garis linier yang diambil dari Unstandardized Coefficients-B, garis prediksi besaran selisih
tarif klaim INA-CBGs adalah
Besaran selisih tarif klaim = (-49.102,6) + (- 30.764,6 (umur pasien)) + (- 541.320,1 (los)) +
INA-CBGs 624.970,5 (kelas rawat) + 1.171.997,7 (pemilihan diagnosa utama)
Berdasarkan interpretasi garis prediksi tersebut, terdapat 2 variabel yang diprediksi berpotensi
menurunkan besaran tarif, variabel tersebut antara lain variabel umur dan lama perawatan. Sedangkan 2
variabel lainnya, yaitu variabel kelas rawat dan pemilihan diagnosa utama, berpotensi menikkan besaran
tarif. Berdasarkan uji statsitisk variabel yang paling mendominasi adalah variabel lama rawat diikuti
umur pasien, pemilihan diagnosa dan kelas rawat.
Umur Pasien
Pada variabel umur, setiap kenaikan 1 tahun umur pasien potensial menurunkan besaran selisih
tarif klaim INA-CBGs sebesar 30.764,6 rupiah. Data di bawah ini merupakan data yang digunakan
sebagai analisis terhadap pengaruh umur terhadap besaran selisih tarif klaim, sebagai berikut :
Tabel 6.
Contoh Data Klaim INA-CBGs Terkait Umur Pasien yang Berpotensi Mempengaruhi Besaran
Selisih tarif Klaim INA-CBGs tahun 2017
no_urut Mrn umur sex los kls_rwt diaglist trf_ina trf_rs selisih
35 3 DU:A09.0 1.667.900 1.601.500 66.400
2446 279381 P III
tahun hari DT:K29.5 rupiah rupiah rupiah
64 3 DU:A09.0 1.667.900 2.018.100 -350.200
5426 197233 L III
tahun hari DT:K29.5 rupiah rupiah rupiah

Berdasarkan tabel 6. mengenai contoh data klaim INA-CBGs terkait umur pasien berpotensi
mempengaruhi besaran selisih tarif klaim INA-CBGs, berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa
umur pasien belum dapat dipastikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap besaran selisih tarif
klaim INA-CBGs. Hal ini karena terdapat faktor lain seperti prosedur medis yang berbeda pada kedua
pasien tersebut. Faktor lain yang tidak dapat ditampilkan oleh peneliti adalah faktor obat/terapi yang
diberikan kepada pasien.
Lama Rawat
Pada variabel lama rawat hasil uji statistik menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 hari lama rawat
berpotensi menurunkan besaran selisih tarif klaim INA-CBGs sebesar 518.846,9 rupiah. Artinya bahwa
semakin lama pasien INA-CBGs menjalani perawatan di ruang rawat inap, rumah sakit berpotensi
mengalami kerugian. Berdasarkan laporan klaim tarif INA-CBGs tahun 2017 di Rumah Sakit TNI AU
Dr. Salamun, data yang dapat menunjukkan bahwa lama rawat mempengaruhi besaran selisih tarif
rumah sakit, namun tidak mempengaruhi besaran selisih tarif INA-CBGs sehingga mempengaruhi
besaran selisih tarif yang diterima rumah sakit, sebagai berikut :

Tabel 7.
Contoh Data Klaim INA-CBGs Terkait Lama Rawat Yang Berpotensi Mempengaruhi Besaran Selisih
tarif Klaim INA-CBGs Tahun 2017
No.
No. Kls Tarif INA-
Urut Umur JK LOS Diagnosa Tarif RS Selisih Keterangan
RM Rwt CBGs
Data
9 4 DU : K29.1 Rp Rp Rp
885 157819 P II Selisih positif
tahun hari DT : A01.0 4.608.600,00 2.080.300,00 2.528.300,00

INOHIM Vol. x, Juni 201x : xx - xx


ISSN: 2354-8932

14 10 DU : K29.1 Rp Rp -Rp Selisih


2187 252515 L II
tahun hari DT : A01.0 4.608.600,00 4.915.300,00 306.700,00 negatif

Berdasarkan tabel 7. dapat disimpulkan bahwa lama rawat berpengaruh terhadap tarif yang
dikeluarkan rumah sakit, namun pada tarif INA-CBGs lamanya hari perawatan tidak menyebabkan
perubahan yang signifikan, namun demikian, lama rawat tetap berpotensi menimbulkan selisih positif
maupun selisih negatif terhadap besaran selisih tarif klaim INA-CBGs. Semakin lama pasien BPJS
mendapatkan perawatan rawat inap, maka semakin berpotensi menimbulkan selisih negatif bagi rumah
sakit. Penelitian lain yang dilakukan oleh Arifanda dan Sri T (2015) di Rumah Sakit Kalisat Jember
mengenai Analisis Perbedaan Pembiayaan Berbasis Tarif INA-CBGs Dengan Tarif Riil Rumah Sakit
Pada Pasien Peserta JKN Kasus Diabetes Mellitus Tipe II Rawat Inap Kelas III menunjukkan bahwa
lama rawat juga turut mempengaruhi perbedaan tarif riil dengan tarif paket INA-CBGs. Hal tersebut
dikarenakan lama rawat pada tarif riil dihitung per hari, sehingga semakin lama pasien dirawat semakin
besar biayanya. Sedangkan pada INA-CBGs lama rawat sudah ditentukan standarnya, sehingga meski
pasien dirawat lama ataupun sebentar tarifnya akan tetap sesuai kode diagnosis dan kode prosedurnya.
Menurut Thabrani dalam penelitian yang dilakukan oleh Arifanda dan Sri T (2015), faktor-faktor yang
mempengaruhi biaya kesehatan yaitu komponen inflasi biaya rumah sakit, kebijakan pemerintah,
pembayar pihak ketiga (asuransi), maupun tenaga kesehatan sendiri.
Penelitian di Rumah Sakit TNI AU Dr. Salamun tahun 2017 bahwa rata-rata selisih negatif
berada pada pasien berdiagnosa utama penyakit infeksi dengan lama rawat 4 hari dimana diagnosa
terbanyak adalah diagnosa GEA (A09) yaitu sebanyak 35 (36%) pasien dari 96 pasien dengan diagnosa
utama kasus infeksi. Berdasarkan standar lama rawat terhadap kasus inxfeksi dengan diagnosa penyakit
GEA, menunjukkan bahwa rata-rata lama rawat pasien dewasa dengan diagnosa GEA adalah selama
kurang dari 7 hari, dapat disimpulkan bahwa rata-rata lama rawat pasien GEA di Rumah Sakit TNI AU
Dr. Salamun sudah memenuhi standar lama rawat yang ada. Berdasarkan peneltian yang dilakukan oleh
Raniah (2007) bahwa rentang lama perawatan pasien gastritis berjenis kelamin perempuan adalah 4-6
hari dan laki-laki 1-3 hari. Rata-rata lama rawat kasus sistem pencernaan di Rumah Sakit Salamun pada
tahun 2017 pada pasien dengan diagnosa gastritis (K29) pada pasien laki-laki (4 pasien dari 15 pasien
gastritis) adalah selama 5,5 hari. Adapun standar lama rawat pasien dewasa laki-laki dengan diagnosa
utama gastritis adalah selama 1-3 hari, sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata lama rawat pasien
dewasa kasus gastritis berjenis kelamin laki-laki di Rumah Sakit TNI AU Dr. Salamun belum
memenuhi standar lama rawat yang ada. Hal tersebut dapat berdampak pada besaran selisih negatif tarif
klaim INA-CBGs.
Kelas Rawat Inap
Pada variabel kelas rawat, hasil uji statistik menunjukkan bahwa setiap turun kelas dari kelas I ke
kelas II atau III berpotensi menaikan besaran selisih tarif klaim INA-CBGs sebesar 624.970,5 rupiah.
Berikut ini merupakan gambaran rata besaran selisih tarif klaim INA-CBGs per kelas rawat inap pada
kasus penyakit infeksi dan sistem pencernaan.
Tabel 8.
Rata-Rata Besaran selisih tarif Klaim INA-CBGs per Kelas Rawat Inap Kasus Penyakit Infeksi dan
Sistem Pencernaan
Kelas Rawat Rata-Rata Tarif Rata-Rata Tarif Rata-Rata Besaran selisih
Inap INA-CBGs Rumah Sakit tarif Klaim INA-CBGs
kelas 1 3.162.477 rupiah 4.879.298 rupiah - 1.716.821 rupiah
kelas 2 2.890.988 rupiah 4.320.614 rupiah - 1.429.626 rupiah
kelas 3 2.999.074 rupiah 3.351.552 rupiah - 352.478 rupiah

Berdasarkan tabel 8., pada kelas rawat inap I, rata-rata tarif INA-CBGs sebesar 3.162.477 rupiah,
rata-rata tarif yang dikeluarkan rumah sakit sebesar 4.879.298 rupiah dan rata-rata besaran selisih tarif
klaim INA-CBGs sebesar –1.716.821 rupiah. Pada kelas rawat inap II, rata-rata tarif INA-CBGs
sebesar 2.890.988 rupiah, rata-rata tarif yang dikeluarkan rumah sakit sebesar 4.320.614 rupiah dan rata-
rata besaran selisih tarif klaim INA-CBGs sebesar –1.429.626 rupiah. Pada kelas rawat inap III, rata-
rata tarif INA-CBGs sebesar 2.999.074 rupiah, rata-rata tarif yang dikeluarkan rumah sakit sebesar
3.351.552 rupiah dan rata-rata besaran selisih tarif klaim INA-CBGs sebesar –352.478 rupiah. Data

INOHIM Vol. x, No. x, (bulan) 201x : xx – xx


INOHIM ISSN: 2354-8932

yang dapat menunjukkan adanya pengaruh kelas rawat inap terhadap besaran selisih tarif klaim, sebagai
berikut :
Tabel 9.
Contoh Data Klaim INA-CBGs Terkait Kelas Rawat Inap Yang Berpotensi Mempengaruhi Besaran
selisih tarif Klaim INA-CBGs

no_urut no_rm Umur sex Los kls_rwt Diaglist trf_ina trf_rs selisih
DU : K29.5 3.152.900 3.589.900 -437.000
5270 291012 50 th P 3 I
DT : A09.0 rupiah rupiah rupiah
DU : K29.5 2.702.500 2.664.800 37.700
4970 210842 18 th P 3 II
DT : A09.0 rupiah rupiah rupiah
DU : K29.5 2.252.100 1.607.100 645.000
4012 208222 76 th L 3 III
DT : A09.0 rupiah rupiah Rupiah

Berdasarkan tabel 9. dapat disimpulkan bahwa semakin turun kelas rawat inap, maka besaran
selisih positif tarif klaim semakin naik.
Pemilihan Diagnosa Utama
Kodefikasi adalah kegiatan memberikan kode diagnosis utama dan diagnosis sekunder sesuai
dengan ICD-10 serta memberikan kode prosedur sesuai dengan ICD-9-CM. Kodefikasi sangat
menentukan dalam sistem pembiayaan prospektif yang akan menentukan besarnya biaya yang
dibayarkan ke Rumah Sakit. Kodefikasi dalam INA–CBGs menggunakan ICD-10 Tahun 2010 untuk
mengkode diagnosis utama dan sekunder. Sumber data untuk mengkodefikasi berasal dari rekam medis
yaitu data diagnosis dan tindakan/prosedur yang terdapat pada resume medis pasien. Ketepatan
kodefikasi diagnosis dan prosedur sangat berpengaruh terhadap hasil grouper dalam aplikasi INA-
CBG. Tarif INA-CBGs sangat ditentukan oleh output pelayanan yang tergambar pada diagnosis akhir
(baik diagnosis utama maupun diagnosis sekunder) dan prosedur yang telah dilakukan selama proses
perawatan. Berdasarkan uji statistik menunjukkan prediksi pengaruh pemilihan diagnosa utama
terhadap besaran selisih tarif klaim INA-CBGs dimana apabila pemilihan diagnosa utama kode A
menjadi kode K berpotensi menaikkan besaran selisih tarif klaim INA-CBGs sebesar 1.171.997,7
rupiah. Contoh kasus tersebut berdasarkan data laporan klaim INA-CBGs Rumah Sakit TNI AU Dr.
Salamun tahun 2017 adalah sebagai berikut :
Tabel 10.
Contoh Data Klaim INA-CBGs Terkait Pemilihan Diagnosa Utama Yang Berpotensi Mempengaruhi
Besaran selisih tarif Klaim INA-CBGs
No.
No. Kls Tarif INA-
Urut Umur JK LOS Diagnosa Tarif RS Selisih Keterangan
RM Rwt CBGs
Data
43 5 DU : A09.0 Rp Rp Rp
1417 280411 L II Selisih positif
tahun hari DT : K29.1 2.464.800,00 2.457.100,00 7.700,00
25 5 DU : K29.1 Rp Rp - Rp Selisih
402 198687 L II
tahun hari DT : A09.0 2.702.500,00 2.933.400,00 230.900,00 negatif

Berdasarkan tabel 10. dapat disimpulkan bahwa pemilihan diagnosa utama memiliki pengaruh
terhadap besaran selisih tarif klaim INA-CBGs. Hasil uji stastistik pada pemilihan diagnosa utama,
apabila pemilihan diagnosa utama kode A menjadi kode K berpotensi menaikkan besaran selisih tarif
klaim INA-CBGs sebesar 1.171.997,7 rupiah. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rudy J. M. dan
Calvin (2013), menunjukkan bahwa ketepatan kodefikasi diagnosis dipengaruhi beberapa faktor antara
lain tulisan dokter sulit terbaca 14,1%, ketidaklengkapan informasi penunjang 10,8% dan penggunaan
singkatan yang tidak umum. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut bahwa masih terdapat faktor
lainnya secara tidak langsung berpotensi mempengaruhi besaran selisih tarif klaim. Penelitian lain
dilakukan oleh Ignatius Dwi (2016) mengenai kasus partus dengan section caesar, penelitian menunjukkan
adanya ketidakakuratan pemilihan diagnosa utama sebanyak 54% yang mana ketidakakuratan tersebut
berpengaruh terhadap grouper yang berbeda, sehingga perbedaan tarif berdasarkan pengelompokan
INA-CBGs didapatkan hasil selisih positif yang mana pada penelitian tersebut resiko keuangan yang
ditanggung rumah sakit apabila BPJS melakukan klaim ulang, biaya yang dikeluarkan sebesar Rp
34.181.700,-. Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit TNI AU Dr. Salamun tahun 2017

INOHIM Vol. x, Juni 201x : xx - xx


ISSN: 2354-8932

menunjukkan terdapat contoh data yang kemungkinan memiliki kesalahan dalam pemilihan diagnosa
utamanya, sebagai berikut :
Tabel 12.
Contoh Data yang Memiliki Kemungkinan Kesalahan Pada Pemilihan Diagnosa Utamanya

Data Sebelum dilakukan perubahan Pada Diagnosa Utama


No.RM : 210972 Tarif Besaran
Umur : 56 thn Kelas rawat 1 INA- Tarif RS selisih tarif
Jenis Kelamin : P Lama dirawat : 3 hari CBGs Klaim
DPJP : Sp.PD
Diagnosa Utama K30 Dyspepsia
Gastroentritis and colitis of
Diagnosa Tambahan A09.9 Rp Rp Rp
unspecified origin
1.974.700 3.703.900 (1.729.200,
percutaneous transcatheter infusion
99.29 ,00 ,00 00)
embolization
Prosedur medis
Microscopic examination of blood,
90.59
other microscopic examination
Data Setelah dilakukan perubahan Pada Diagnosa Utama
No.RM : 210972 Tarif Besaran
Umur : 56 thn Kelas rawat 1 INA- Tarif RS selisih tarif
Jenis Kelamin : P Lama dirawat : 3 hari CBGs Klaim
DPJP : Sp.PD
Gastroentritis and colitis of
Diagnosa Utama A09.9
unspecified origin
Rp Rp Rp
Diagnosa Tambahan K30 Dyspepsia
2.335.100 3.703.900 (1.368.800,
percutaneous transcatheter infusion
99.29 ,00 ,00 00)
embolization
Prosedur medis
Microscopic examination of blood,
90.59
other microscopic examination
Berdasarkan tabel 12. mengenai contoh data yang memiliki kemungkinan kesalahan pada
pemilihan diagnosa utamanya, dapat disimpulkan bahwa dalam proses pemilihan diagnosa utama
penting bagi petugas kodefikasi untuk perlu mempertimbangkan pemilihan diganosa utama tersebut
berdasarkan informasi medis salah satunya penunjang medis dengan menggunakan aturan morbiditas,
karena dapat berdampak pada besaran selisih tarif yang dapat diklaimkan, dimana pada kasus ini,
apabila kode A09.9 menjadi diagnosa utama, maka selisih negatif yang dapat dihindari rumah sakit
sebesar Rp 360.400,00.
Jumlah Diagnosa Tambahan
Berdasarkan hasil uji statistik, jumlah diagnosa tambahan tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap besaran selisih tarif klaim INA-CBGs, namun berdasarkan penelitian yang dilakukan pada
laporan klaim tarif INA-CBGs tahun 2017 di Rumah Sakit TNI AU Dr. Salamun, terdapat data yang
dapat menunjukkan adanya pengaruh jumlah diagnosa tambahan terhadap besaran selisih tarif klaim,
sebagai berikut :
Tabel 13.
Contoh Data Klaim INA-CBGs Terkait Jumlah Diagnosa Tambahan Yang Menyebabkan Perubahan
Tarif INA-CBGs dan Memiliki Pengaruh Terhadap Besaran selisih tarif Klaim INA-CBGs Kasus
Infeksi dan Sistem Pencernaan Tahun 2017
No. Urut No. Kls Tarif INA-
Umur JK LOS Diagnosa Tarif RS Selisih Keterangan
Data RM Rwt CBGs
DU : A09.0
62 7 2.001.500 4.053.500 -2.052.000 Selisih
4272 262507 P II DT : 1. E14.9
tahun hari rupiah rupiah rupiah negatif
2. K29.5
DU : A09.0
69 5 DT : 1. E14.9 2.957.800 4.783.200 -1.825.400 Selisih
4076 223587 P II
tahun hari 2. K29.5 rupiah rupiah rupiah negatif
3. I11.0
Selisih tarif (956.300) (729.700) (226.600)

INOHIM Vol. x, No. x, (bulan) 201x : xx – xx


INOHIM ISSN: 2354-8932

Berdasarkan tabel 13. bahwa penambahan jumlah diagnosa tambahan menyebabkan perubahan
tarif INA-CBGs maupun tarif RS, sehingga menyebabkan perubahan terhadap besaran selisih tarif
klaim INA-CBGs. Namun pada data lainnya, penulis menemukan bahwa penambahan jumlah diagnosa
tidak menyebabkan perubahan terhadap tarif INA-CBGs, yang mengalami perubahan adalah tarif
rumah sakit. Data tersebut sebagai berikut:
Tabel 14.
Contoh Data Klaim INA-CBGs Terkait Jumlah Diagnosa Tambahan Yang Tidak Menyebabkan
Perubahan Tarif INA-CBGs Namun Memiliki Pengaruh Terhadap Besaran selisih tarif Klaim INA-
CBGs
No. Tarif
No. Kls
Urut Umur JK LOS Diagnosa INA- Tarif RS Selisih Keterangan
RM Rwt
Data CBGs
79 3 DU : A91 2.840.700 1.467.700 1.373.000
4520 286985 P I Selisih positif
tahun hari DT : K29.5 rupiah rupiah rupiah
DU : A91
20 1 DT : 2.840.700 2.506.900 333.800
3936 286904 L I Selisih positif
tahun hari 1. K29.5 rupiah rupiah rupiah
2. J40

Berdasarkan tabel 14. penambahan jumlah diagnosa tambahan pada beberapa kasus memiliki
kemungkinan menyebabkan perubahan terhadap tarif INA-CBGs, pada kasus tersebut, yang dapat
menyebabkan perubahan tarif INA-CBGs adalah kasus penyakit jantung (Hypertensive heart disease with
(congestive) heart failure), sedangkan pada kasus penyakit paru (Bronchitis), tidak menyebabkan perubahan
pada tarif INA-CBGs, namun pada tarif rumah sakit, kedua kasus menyebabkan perubahan yang cukup
signifikan. Sehingga jumlah diagnosa tambahan tetap berpotensi berpengaruh terhadap besaran selisih
tarif klaim INA-CBGs.

Perbedaan Besaran Selisih Tarif Klaim INA-CBGs Antara Kode Diagnosa Utama
Yang Merupakan Kasus Penyakit Infeksi dan Kode Diagnosa Utama yang Merupakan
Kasus Penyakit Sistem Pencernaan
Tabel 15.
Nilai Signifikasi Uji T
Nilai Perbandingan
Nilai signifikanasi uji
signifikasi Nilai nilai sig. Uji T
Variabel Terikat T (Equal variances Keputusan Interpretasi
hasil uji alpha dengan nilai
assumed)
Levene alpha
Besaran selisih Ada perbedaan
0,941 0,002 0,05 0,002 < 0,05 H0 ditolak
tarif klaim (rupiah) besaran tarif

Berdasarkan tabel 15. mengenai nilai signifikansi uji T, nilai sig 0,941 > 0,05 maka hasil t-test
(sig) menggunakan sig pada baris pertama dengan asumsi varian kedua kelompok sama. Hasil uji T
pada baris pertama, nilai sig adalah 0,002 maka keputusannya Ho ditolak, Kesimpulannya adalah
dengan α = 0,05 peneliti meyakini bahwa ada perbedaan besaran tarif antara kode diagnosa utama yang
merupakan kasus penyakit infeksi dan kode diagnosa utama yang merupakan kasus penyakit sistem
pencernaan. (sig=0,002<0,05)
Tabel 16.
Rata-Rata Perbedaan Besaran selisih tarif Klaim INA-CBGs Berdasarkan Pemilihan Diagnosa Utama
Pada Kasus Penyakit Infeksi dan Sistem Pencernaan
Kode Diagnosa Rata-Rata Tarif Rata-Rata Tarif Rata-Rata Besaran selisih tarif
Utama INA-CBGs Rumah Sakit Klaim INA-CBGs
kode A Rp 2.712.730,00 Rp 4.103.095,00 Rp -1.410.872,00
kode K Rp 3.995.746,00 Rp 3.954.468,00 Rp 41.279,00
Selisih Rp 1.283.016,00 Rp 148.627,00 Rp -1.452.151,00

Berdasarkan tabel 16., menunjukkan bahwa rata-rata tarif yang dikeluarkan rumah sakit untuk
diagnosa utama kode A lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata tarif yang dikeluarkan untuk
INOHIM Vol. x, Juni 201x : xx - xx
ISSN: 2354-8932

diagnosa utama kode K. Sehingga apabila kasus penyakit infeksi (kode A) lebih banyak dibandingkan
kasus penyakit sistem pencernaan (kode K), maka besaran selisih tarif klaim INA-CBGs Rumah Sakit
TNI AU Dr. Salamun potensial bernilai negatif.

Kesimpulan
1. Laporan klaim INA-CBGs tahun 2017 kasus penyakit infeksi dan saluran pencernaan menunjukkan
bahwa sebanyak 34 pasien (27,4%) dari 124 pasien dengan kombinasi kasus infeksi sebagai diagnosa
utama dan kasus saluran pencernaan sebagai diagnosa tambahan rata-rata selisih tarif bernilai negatif
yaitu sebesar Rp 841.023,00. Adapun dari 34 pasien, kasus typhoid fever (A01.0) sebesar 23,5% dan
kasus other and unspescified gastroentritis and colitis of infectious origin (A09.0) sebesar 76,5%.
2. Terdapat pengaruh yang signifikan secara statisitik pada variabel umur, lama perawatan, kelas rawat
dan pemilihan diagnosa utama terhadap besaran selisih tarif klaim INA-CBGs. Sedangkan variabel
yang tidak signifikan secara statistik adalah variabel jenis kelamin dan jumlah diagnosa tambahan.
Pada penelitian ini besaran selisih tarif klaim INA-CBGs dapat dijelaskan oleh faktor umur pasien,
kelas rawat, pemilihan diagnosa utama dan lama perawatan sebesar 38%, sedangkan sisanya sebesar
62% dijelaskan oleh faktor lainnya. Faktor lain yang mempengaruhi besaran selisih tarif INA-CBGs
tersebut diantaranya yaitu prosedur medis, obat/terapi, tindakan, kualitas pendokumentasian,
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan instrumen pengumpulan data (formulir ringkasan
medis) yang terdapat di Rumah Sakit TNI AU Dr. Salamun Bandung.
3. Secara statistik terdapat perbedaan besaran selisih tarif klaim INA-CBGs pada pasien dengan
diagosa utama kasus penyakit infeksi (kode A) dan pada pasien dengan diagnosa utama kasus
penyakit saluran pencernaan (kode K), dimana perbedaan selisih tarif tersebut bernilai negatif yaitu
sebesar Rp 1.452.151,00. Sehingga dengan ditemukannya 34 pasien kasus infeksi yang menyebabkan
selisih negatif, maka pada tahun 2017, Rumah Sakit TNI AU Dr. Salamun berpotensi mengalami
selisih negatif sebesar Rp 49.373.134,00 untuk kasus infeksi.

Daftar Pustaka
1. Calvin Laurentius. Tingkat Akurasi Kodefikasi Morbiditas Rawat Inap Guna Menunjang Akurasi
Pelaporan Di Bagian Rekam Medis Rumah Sakit Cahya Kawaluyan. Bandung : Stikes Santo Borromeus;
2013.
2. Hatta, Gemala R. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta:
Universitas Indonesia; 2008.
3. Huffman, Edna K. Health Information Management Tenth Edition. AHIMA; 1994
4. Mandels, Rudy J. Pengantar Materi ICD 10. Modul perkuliahan : Mata kuliah Klasifikasi Penyakit
dan Tindakan Pertemuan I. Bandung; 2017.
5. Permenkes RI. No 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis. Jakarta: Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. 2008.
6. Permenkes RI. No 76/Menkes/Per/2016 tentang Pedoman Indonesian Case Base Groups (INA-
CBG) dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia. 2016.
7. Nichols, Joseph C MD. ICD-10;DRG Impacts at the Hospital Level. A Health Data Consulting
White Paper; 2011.
8. Pongpirul, Krit & Courtland Robinson. Hospital manipulations in the DRG system: a systematic
scoping review. Bangkok : Department of Preventive and Social Medicine, Faculty of Medicine,
Chulalongkorn University, Thailand United States of America; 2017.
9. Reid, Beth. The impact of different coding systems on DRG assignment and data. Health Policy Volume 17,
Issue 2, Pages 133-149. Kensington : School of Health Services Management, University of New
South Wales Australia; 1991.
10. Tionida, Inka N. Tinjauan Akurasi Kodefikasi Rawat Inap Pasien Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Guna Menunjang Ketepatan Pengelompokan Sistem INA-CBGs Di Rumah Sakit Dustira
Cimahi. Bandung; 2015.
11. World Health Organization.(2010b). International Statistical Classification of Diseases and Related Health
Health Problems Volume 2 Instruction Manual (Tenth Revision). Geneva.
12. World Health Organization. (2010c). International Statistical Classification of Diseases and Related
Health Health Problems Volume 3 Alphabetical Index (Tenth Revision). Geneva.

INOHIM Vol. x, No. x, (bulan) 201x : xx – xx

You might also like