You are on page 1of 9

A.

INFORMASI YANG DIHARAPKAN


SISTEM PERINGATAN DINI (Early Warning System)
Sistem peringatan dini (early warning system) ini dibangun dengan maksud
bahwa agar para pengambil kebijakan di bidang mitigasi dan penanggulangan
bencana alam lebih mudah dalam mengambil keputusan untuk melakukan tindakan
apa yang dapat dipersiapkan sebelum, pada saat, maupun pasca kejadian suatu
bencana.
Sistem peringatan dini inipun dapat dibangun manakala semua unsur, mulai
dari masyarakat, aparat di daerah sampai kepada pada pengambil kebijakan pada
organisasi penanggulangan bencana di tingkat pusat sudah sepakat dan satu
persepsi tentang pengertian bencana dan penanggulangannya. Lain dari itu,
pendefinisian akan faktor-faktor penyebab dan jenis/klasifikasi bencana juga telah
disepakati sebagai suatu acuan dalam upaya penanggulangan bencana dimaksud.
Untuk tindakan penanggulangan bencana, diperlukan data yang akurat
tentang kejadian bencana itu sendiri. Diantara data yang diperlukan tersebut adalah
sebagai berikut:

a. Lokasi bencana (where), hal ini perlu diketahui sebagai dasar untuk perencanaan
pelaksanaan penanggulangan bencana; kemudian juga tentu bencana yang terjadi
di perkotaan akan jauh berbeda kerugian atau kehilangan jiwa maupun hartanya
dibanding dengan bencana yang terjadi di pedesaan.

b. Penyebab bencana (why), ini dapat diperkirakan melalui analisis peta atau
analisis lapangan,

c. Waktu kejadian bencana (when), waktu kejadian yang tepat mungkin sulit
diramal, namun dapat diperkirakan; perkiraan waktu kejadian dapat didasarkan
pada data historis, dara seri dan data hasil pemantauan; perkiraan dapat juga
didasarkan pada perubahan gejala alam dan perilaku makhluk hidup (binatang).
d. Bagaimana kejadian dari bencana (how), kejadian proses berlangsungnya
bencana itu dapat dibedakan berdasarkan kecepatan dan besarannya, durasi
kejadiannya.

Dari data yang diperoleh tersebut di atas, dihimpun dan selanjutnya dianalisis serta
diteliti apakah peringatan dini terhadap suatu kejadian bencana itu dapat dilakukan
atau tidak. Sebab sistem peringatan dini (early warning system) ini dapat dilakukan
tergantung pada jenis bencana dan data yang tersedia. Bila data pemantauan cukup
akurat, maka peringatan dini dapat dilaksanakan dengan baik. Apabila terjadi
fenomena alam yang melebihi normal cenderung meningkat, maka peringatan dini
dapat dilakukan. Namun sesungguhnya yang perlu dicatat adalah, bahwa tidak
semua jenis bencana dapat dilakukan peringatan dini.

Hal lain disamping adanya peringatan dini terhadap bencana yang mungkin terjadi
dan akan menimpa kehidupan masyarakat, perlu juga dibuat simulasi-simulasi dari
berbagai kemungkinan kejadian bencana, baik itu bencana alam maupun bencana
akibat ulah manusia, tentu pada daerah-daerah rewan bencana.

Selanjutnya hal itu perlu disosialisasikan dan atau dikampanyekan kepada


masyarakat melalui organisasi penanggulangan bencana yang berwenang, seperti
BAKORNAS PBP (Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan
Pengungsian), SATKORLAK PBP (Satuan Koordinasi Pelaksanaan
Penanggulangan Bencana dan Pengungsian), maupun Pemerintah Daerah setempat.
Hal itu dimaksudkan agar masyarakat paham akan bencana yang mungkin akan
terjadi di daerahnya, serta mengerti akan langkah-langkah penanggulangan bencana
tersebut jika sewaktu-waktu terjadi.

Untuk mendapatkan data daerah rawan bencana seperti dimaksud di atas, maka
tentu sebelumnya perlu dilakukan survei dan pemetaan daerah rawan bencana, baik
bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia. Saat ini dengan berbagai
macam teknologi yang ada, kiranya hal itu dapat dilakukan dengan mudah , dalam
rangka meningkatkan pengkajian daerah rawan bahaya maupun mitigasinya.
Aplikasi teknologi Penginderaan Jauh (Remote Sensing), GIS (Geographic
Information System), dan GPS (Global Positioning System) yang terintegrasi dalam
upaya pengkajian daerah rawan bencana alam dan mitigasi adalah salah satu
jawaban dan upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalisasikan kerugian dan
korban akibat bencana.

Dari aplikasi teknologi di atas, bisa didapatkan berbagai macam data tentang daerah
rawan bencana alam, seperti:

Letusan gunungapi,

Gempa bumi,

Longsoran, gerakan tanah/gerakan massa batuan,

Banjir,

Gelombang pasang/Tsunami,

Kebakaran hutan.

Selain itu, dapat juga disusun database atau basisdata dari bencana alam, baik pada
level nasional, provinsi, maupun kabupaten dan kota. Dalam upaya penyusunan
sistem informasi bencana alam, tentunya diperlukan penyebaran basisdata bencana
alam dan integrasi metadata bencana alam secara baik dan sistematis.

V. PENANGGULANGAN BENCANA ALAM

Sebagaimana diketahui, penanganan bencana yang efektif dan efisien perlu


didukung oleh ketersediaan data yang akurat, oleh karenanya data untuk
pengelolaan bencana perlu diketahui. Ketersediaan data bencana tersebut dapat
dijadikan dasar untuk merencanakan dan menggariskan kebijakan yang diperlukan
dalam menanggulangi, termasuk dalam hal pengorganisasian dan teknis
pelaksanaan penanggulangan bencana.
Dalam hal upaya penanggulangan bencana, perlu kiranya dilakukan hal-hal sebagai
berikut:

Identifikasi faktor penyebab bencana,

Pengklasifikasian bencana dan pendeskripsian karakteristiknya,

Identifikasi kebutuhan data yang diperlukan dalam penanggulangan bencana,

Memahami kebijakan dan organisasi dalam penanggulangan bencana,

Mengetahui teknik pelaksanaan penanggulangan bencana,

Selanjutnya, perlu juga dipahami akan tindakan-tindakan yang perlu dipersiapkan


sebelum, pada saat, maupun pasca kejadian bencana; tindakan yang dimaksud
adalah sebagai berikut:

Tindakan yang harus dilakukan sebelum terjadi bencana, adalah: pencegahan,


mitigasi, dan kesiap-siagaan,

Tindakan yang harus dilakukan pada saat terjadi bencana, adalah: tanggap darurat,
konsolidasi, dan rehabilitasi,

Tindakan yang harus dilakukan pasca bencana, adalah: rekonstruksi dan


pembangunan.

Adapun dalam hal strategi dan koordinasi penanggulangan suatu bencana, yang
perlu dilakukan adalah:

Melakukan koordinasi dengan BAKORNAS PBP, SATKORLAK PBP, dan


SATLAK,

Membuat jaringan lokal, regional, nasional, dan internasional, tergantung pada


besaran/tingkat bencananya,
Melaksanakan tindakan sesuai dengan kewenangan dan bidang tugas masing-
masing.

B. Tujuan Sistem Informasi Manajemen

Sistem informasi manajemen (SIM) adalah bagian dari pengendalian


internal suatu bisnis yang meliputi pemanfaatan manusia,dokumen, teknologi,
dan prosedur oleh akuntansi manajemen untuk memecahkan masalah bisnis
seperti biaya produk, layanan, atau suatu strategi bisnis. Sistem informasi
manajemen dibedakan dengan sistem informasi biasa karena SIM digunakan untuk
menganalisis sistem informasi lain yang diterapkan pada aktivitas operasional
organisasi. Secara akademis, istilah ini umumnya digunakan untuk merujuk pada
kelompok metode manajemen informasi yang bertalian dengan otomasi atau
dukungan terhadap pengambilan keputusan manusia, misalnya sistem pendukung
keputusan, sistem pakar, dan sistem informasi eksekutif.
Tujuan dari Sistem Informasi Manajemen (SIM):
 Menyediakan informasi yang dipergunakan di dalam perhitungan harga pokok
jasa, produk, dan tujuan lain yang diinginkan manajemen.
 Menyediakan informasi yang dipergunakan dalam perencanaan, pengendalian,
pengevaluasian, dan perbaikan berkelanjutan.
 Menyediakan informasi untuk pengambilan keputusan.
Ketiga tujuan tersebut menunjukkan bahwa manajer dan pengguna lainnya perlu
memiliki akses ke informasi akuntansi manajemen dan mengetahui bagaimana cara
menggunakannya. Informasi akuntansi manajemen dapat membantu mereka
mengidentifikasi suatu masalah, menyelesaikan masalah, dan mengevaluasi kinerja
(informasi akuntansi dibutuhkan dam dipergunakan dalam semua tahap
manajemen, termasuk perencanaan, pengendalian dan pengambilan keputusan).
SIM yang baik adalah SIM yang mampu menyeimbangkan biaya dan manfaat yang
akan diperoleh artinya SIM akan menghemat biaya, meningkatkan pendapatan serta
tak terukur yang muncul dari informasi yang sangat bermanfaat.

Organisasi harus menyadari apabila mereka cukup realistis dalam keinginan


mereka, cermat dalam merancang dan menerapkan SIM agar sesuai keinginan serta
wajar dalam menentukan batas biaya dari titik manfaat yang akan diperoleh, maka
SIM yang dihasilkan akan memberikan keuntungan dan uang.
Secara teoritis komputer bukan prasyarat mutlak bagi sebuah SIM, namun
dalam praktek SIM yang baik tidak akan ada tanpa bantuan kemampuan
pemrosesan komputer. Prinsip utama perancangan SIM : SIM harus dijalin secara
teliti agar mampu melayani tugas utama.
Tujuan sistem informasi manajemen adalah memenuhi kebutuhan informasi
umum semua manajer dalam perusahaan atau dalam subunit organisasional
perusahaan. SIM menyediakan informasi bagi pemakai dalam bentuk laporan dan
output dari berbagai simulasi model matematika.

C. Sumber-Sumber, Alat dan Alur Penyampaian Informasi


1. Alat Penyampaian Informasi
Berdasarkan zaman dan waktu penggunaan nya alat komunikasi di golongkan
menjadi 2 macam yaitu :
a. Alat komunikasi masalalu ( alat komunikasi Tradisional )
1) Kentongan
2) Lonceng
3) Bedug
4) Surat
5) Merpati POS
6) Api
7) Asap
8) Prasasti
9) Daun Lontar
b. Alat komunikasi modern
1) Telegrap
2) Telepon
3) Televisi
4) Telepon Genggam
5) Faximili (FAX)
6) Radio
7) Pager
8) Internet
2. Alur Penyampaian Informasi:
a. Menemukan Informasi : Pelapor menemukan informasi untuk
dipublikasikan seperti potensi desa, produk, berita desa, pengumuman dll
b. Lapor pada PLAID (Pengelola Layanan Administrasi dan Informasi Desa)
: Pelapor mendatangi ruangan PLAID dan melaporkan informasi yang
dimiliki kepada (pengelola WEB desa)

c. Koreksi Berita : Administrator PLAID (WEB desa) menghubungi bagian


redaksi untuk mengoreksi informasi yang akan diupload
d. Upload Berita : Redaksi menghubungi bagian operator untuk mengupload
informasi yang siap untuk dipublikasikan

D. KOMUNIKASI KRISIS
Sebelum saya secara khusus mengamati bagaimana orang
berkomunikasi di masa bencana letusan Merapi 2010, saya belum pernah
tahu ada bidang khusus bernama komunikasi krisis. Saat saya membaca-
baca bagaimana pandangan ilmu komunikasi mengenai bencana, saya temui
bidang ini. Di dalamnya, krisis dimengerti sebagai "persepsi mengenai
kejadian yang mengancam harapan penting dari para pemangku
kepentingan dan dapat memengaruhi kinerja organisasi" (Coombs dalam
Heath & O'Hair, 2009). Saat membaca pengertian ini, pikiran saya
mendapati ketidaksesuaian antara dugaan saya sendiri dan kenyataan. Saya
menduga bahwa krisis mencakup peristiwa apa pun yang berubah mendadak
sehingga mengganggu perikehidupan bersama. Ternyata di bidang
komunikasi krisis yang disebut krisis hanyalah apa yang berhubungan
dengan para pemangku kepentingan dalam organisasi. Saya lanjutkan
dengan menelusuri berbagai penelitian komunikasi krisis, sama saja.
Beberapa buku yang saya pikir menjadi acuan di bidang ini juga sama.
Pengertian krisis dari sudut pandang organisasi berguna untuk
memahami bagaimana tanggapan organisasi dan apakah itu sudah baik atau
belum. Sebagai misal, kematian seorang pemimpin perusahaan besar bisa
menjadi krisis, meskipun kematian itu sendiri bukanlah krisis (ingat krisis
adalah persepsi). Atau contoh lain adalah soal pencemaran zat tertentu pada
makanan kaleng (seberapa besar reaksi orang dipengaruhi juga oleh
bagaimana persepsi tentang bahaya itu). Komunikasi krisis meneliti
bagaimana "pengumpulan, pengolahan, dan penyebaran informasi yang
diperlukan untuk menghadapi keadaan krisis" (Coombs, 2009).
Pengetahuan ini berguna bagi seorang pengelola perusahaan untuk
mengendalikan krisis, baik sebelum, semasa, maupun setelah terjadi. Di
samping sumbangan pemikirannya dan wawasannya dalam memahami
krisis, pengertian di atas mengandung keterbatasan.
Saat krisis hanya dimengerti sebagai apa yang terjadi pada
organisasi dan sangat sering terjadi organisasi yang dimaksud adalah
perusahaan dan badan pemerintah, maka lahirlah dua ciri utama yang
merupakan kelemahan: 1.) pelaku utama pengendalian krisis adalah
perusahaan/badan pemerintah, dan 2.) penerima dampak utama krisis adalah
perusahaan. Bidang komunikasi krisis sangat kuat diwarnai kehadiran para
ahli kehumasan baik dari perusahaan maupun pemerintah karena merekalah
pelaku utama. Benarkah demikian? Jika kita berkaca dari penelitian di
bidang sosiologi bencana, maka ada sangat banyak bukti bahwa pertolongan
pertama selalu diberikan oleh masyarakat setempat. Nah, berarti masyarakat
sebagai pelaku utama pengendalian krisis hilang dari dari pandangan.
Hilang pula peluang untuk memahami dan memperkuat peran masyarakat.
Kedua, melihat krisis dari kacamata organisasi juga mengabaikan kenyataan
bahwa masyarakat juga sebagai penerima dampak yang besar (kadang yang
terbesar). Memang masyarakat selalu lebih luas ketimbang pemangku
kepentingan sehingga lebih sulit dirangkum dan ditentukan. Namun,
kerumitan teknologi dan hubungan antarlembaga pada tataran negara
maupun dunia membuat gagasan pemangku kepentingan tidaklah memadai.
Sebagai contoh, saat zat beracun bocor dan mengalir ke air tanah dan
menguap ke udara dan terserap ke bahan mentah makanan, siapakah
pemangku kepentingan?
Kembali ke soal komunikasi krisis, mengingat perkembangannya
sekarang yang sangat terjalin dengan praktik kehumasan maka sulit
berharap komunikasi krisis bisa membantu saya memahami masyarakat
sebagai pelaku utama pengendalian krisis. Jadi, saya mesti bergerak kembali
ke kajian khalayak dan sedikit soal bencana. Tentang kedua bidang terakhir,
saya akan menulis lagi lain waktu.

You might also like