You are on page 1of 12

BAB.

I
KONSEP DASAR
ASUHAN KEPERAWATAN PADA TRAUMA SPINAL

A. Definisi
Trauma medula spinalis adalah trauma langsung atau tidak langsung pada tulang
belakang yang menyebabkan lesi medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan
neurologik, yang dapat berakibat kecacatan menetap atau kematian.
Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal,meliputi spinal
collumna maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang, jaringan lunak, dan
struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma berupa jatuh dari
ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga, dan sebagainya. Trauma
spinalis menyebabkan ketidakstabilan kolumna vertebral dan injuri saraf yang aktual
maupun potensial sehingga mengakibatkan defisit neurologi.

B. Klasifikasi
Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain :
1. Cedera Cervikal
a. Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma masih
berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada
gerakan volunter (baik secara fisik maupun fungsional). Di bawah transeksi
spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1-C3 meliputi oksipital,
telinga dan beberapa daerah wajah. Pasien pada quadriplegia C1, C2 dan C3
membutuhkan perhatian penuh karena ketergantungan terhadap ventilator
dan pemenuhan ADL. Quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan
ventilator mekanis hanya secara intermiten saja.
b. Lesi C 5
Kerusakan lesi ini mengakibatkan fungsi diafragma rusak sekunder terhadap
edema pascatrauma akut. Paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat
disertai depresi pernafasan. Quadriplegia C5 mengalami ketergantungan dalam
melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur, tetapi pasien
mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik.
c. Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis
intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi
gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada
perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih dapat melakukan aktivitas
higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan melepaskan baju.
d. Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris
untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan
biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7 mempunyai
potensi hidup mandiri tanpa perawatan dan perhatian khusus. Pemindahan
mandiri, seperti berpakaian dan melepas pakaian melalui ekstrimitas atas dan
bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan dan memasak.
e. Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk
karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat diminimalkan
dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari
tangan pasien biasanya mencengkram. Quadriplegia C8 harus mampu hidup
mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan pakaian, mengemudikan
mobil, merawat rumah, dan perawatan diri.

2. Cedera Torakal
a. Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan diafragmatik.
Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi pada toraks.
Hipotensi postural biasanya muncul. Timbul paralisis parsial dari otot adductor
pollici, interoseus, dan otot lumrikal tangan, seperti kehilangan sensori
sentuhan, nyeri, dan suhu.
b. Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari tingkat T6 ke
bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12, semua
refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah. Pasien
dengan lesi pada tingkat torakal harus befungsi secara mandiri.
Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:

T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas


T3 Aksilla T7, T8 Margin kostal bawah


T5 Putting susu T10 Umbilikus
T6 Prosesus xifoid T12 Lipat paha

3. Cedera Lumbal
a. Lesi L1-L5
Kehilangan sensori lesi pada L1- L5 yaitu:

L1 Ekstrimitas bawah,ke lipat paha & bagian belakang bokong.


L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha
L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel.
L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.
L5 Aspek luar kaki,pergelangan kaki, ekstrimitas bawah dan area sadel.

4. Cedera Sakral


Lesi S1-S6. Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa
perubahan posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot
kaki. Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis, perineum,
area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.

C. Etiologi
1. Kecelakaan lalu lintas/jalan raya adalah penyebab terbesar.

2. Injuri atau jatuh dari ketinggian. 


3. Kecelakaan karena olah raga. (tersering : menyelam pada air yang sangat dangkal )


4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra. 


5. Pergerakan yang berlebih: hiperfleksi, hiperekstensi, rotasi berlebih, stress 
 lateral,

distraksi (stretching berlebih), penekanan. 


6. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti :

spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan


mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar; mielitis akibat
proses inflamasi infeksi maupun noninfeksi; osteoporosis yang disebabkan oleh
fraktur kompresi pada vertebrata; siringmielia; tumor infiltrasi maupun kompresi;

dan penyakit vaskuler. 


D. Faktor resiko

1. Pria 80 % sedangkan wanita hanya 20 %. 


2. Usia 16-30 tahun. Kecelakaan sering terjadi pada usia di bawah 65 tahun
dibandingkan usia di atas 65 tahun, tersering pada usia 16-30 tahun.

3. Beberapa kegiatan olah raga seperti gulat, menyelam, berselancar, roller- 
 skating,

in-line skating, hockey, berselancar di atas salju.

4. Memiliki kelainan tulang atau sendi seperti arthritis dan osteoporosis. 


E. Manifestasi Klinis

1. Nyeri pada area spinal atau paraspinal 


2. Nyeri kepala bagian belakang, pundak, tangan, kaki 


3. Kelemahan/penurunan/kehilangan fungsi motorik (kelemahan, paralisis)


4. Penurunan/kehilangan sensasi (mati rasa/hilang sensasi nyeri, kaku, parestesis,

hilang sensasi pada suhu, posisi, dan sentuhan) 


5. Paralisis dinding dada menyebabkan pernapasan diafrgma 


6. Shock dengan kecepatan jantung menurun 


7. Priapism 


8. Kerusakan kardiovaskuler 

9. Kerusakan pernapasan 


10. Kesadaran menurun 


11. Tanda spinal shock (pemotongan komplit rangsangan), meliputi: Flaccid 
 paralisis

di bawah batas luka, hilangnya sensasi di bawah batas luka, hilangnya reflek-reflek
spinal di bawah batas luka, hilangnya tonus vasomotor (hipotensi), Tidak ada
keringat dibawah batas luka, inkontinensia urine dan retensi feses jika berlangsung
lama akan menyebabkan hiperreflek/paralisis spastic
12. Pemotongan sebagian rangsangan: tidak simetrisnya flaccid paralisis, tidak
simetrisnya hilangnya reflek di bawah batas luka, beberapa sensasi tetap utuh di
bawah batas luka, vasomotor menurun, menurunnya bladder atau bowel,

berkurangnya keluarnya keringat satu sisi tubuh. 


F. Patofisiologi
G. Pemeriksaan penunjang

1. Spinal X-ray: melihat fraktur / pergeseran vertebra 


2. Myelogram: Lokasi obstuksi aliran CSF, melihat lebih jelas saraf spinal 


3. CT Scan: melihat lebih jelas kelainan yang ditemukan pada hasil X-ray 


4. MRI: membantu melihat spinal cord dan mengidentifikasi adanya 
 pembekuan

darah atau massa lain yang mungkin menekan spinal cord. 


H. Penatalaksanaan
1. Cidera pada cervikal
a. Immobilisasi sederhana
b. Traksi skeletal
c. Pembedahan untuk spinal dekompresi
2. Cidera pada thoracal dan lumbal
a. Immobilisasi pada lokasi fraktur

b. Hiperekstensi dan branching


c. Bed-rest 


3. Obat: adrenal corticosteroid untuk mencegah dan mengurangi edema medulla


spinalis 


I. Prinsip-prinsip utama penatalaksanaan trauma spinal


1. Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan sampai
ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher dalam
posisi normal; dengan menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar leher tidak terputar
(rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas
yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara ”4 men lift” atau menggunakan
’Robinson’s orthopaedic stretcher’.
2. Stabilisasi Medis
Terutama sekali pada penderita tetraparesis/etraplegia:

a. Periksa vital signs 


b. Pasang ’nasogastric tube’ 


c. Pasang kateter urin 


d. Segera normalkan ’vital signs’.
 Pertahankan tekanan darah yang normal dan

perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu
monitor AGD (analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock.
Pemberian megadose Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun
waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.
3. Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi
diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai
terjadi reduksi.
4. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’ dengan cara
tertutup ini gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan stabilisasi dengan
’approach’anterior atau posterior.
5. Rehabilitasi.
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini
adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot pernafasan, pencapaian
optimal fungsi – fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita
paraparesis/paraplegia.

J. Komplikasi
1. Perubahan tekanan darah, bisa menjadi ekstrim (autonomic hyperreflexia)
2. Komplikasi akibat imobilisasi:
a. Deep vein thrombosis (DVT)
b. Infeksi pulmonal : atelektasis, pneumonia

c. Kerusakan integritas kulit : decubitus,

d. Kontraktur

3. Peningkatan resiko injuri pada bagian tubuh yang mati rasa 


4. Meningkatkan resiko gagal ginjal dan resiko infeksi saluran kemih


5. Hilangnya kontrol pada bladder dan bowel
6. Kehilangan sensasi atau bahkan nyeri berlebih

7. Disfungsi seksual (impoten pada pria) 


8. Spasme otot, paralysis otot pernapasan, paralysis (paraplegia, quadriplegia) 


9. Shock

K. Prognosis

Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada 
 pasien

dengan lesi komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun pada
pasien dengan trauma quadriplegia mencapai 90 %. Perbaikan yang terjadi dikaitkan
dengan pemakaian antibiotik untuk mengobati pneumonia dan infeksi traktus urinarius.
Pasien dengan trauma tulang belakang komplit berpeluang sembuh < 5 %. Jika
terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma, peluang perbaikan adalah
0 %. Prognosis trauma tulang belakang inkomplit lebih baik. Jika fungsi sensoris masih

ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali > 50 %. 



BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN TRAUMA SPINAL

A. Pengkajian.
Identitas klien : nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda), jenis kelamin
(kebanyakan laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor tanpa
pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam
masuk rumah sakit (MRS), nomor register, dan diagnosis medis.
Pengkajian pasien dengan kondisi gawat darurat dilakukan dengan tekhnik primary
dan secondary survey.
1. Primary survey
a. Airway
b. Breathing
c. Circulation
d. Drug / disability
e. E…
2. Secondary survey
a. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolong-an kesehatan
adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine dan
inkontinensia alvi, nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma, dan
deformitas pada daerah trauma.
b. Riwayat penyakit sekarang. Kaji adanya riwayat trauma tulang bela-kang akibat
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari pohon
atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma karena tali pengaman (fraktur
chance), dan kejatuhan benda keras. Pengkajian yang didapat meliputi hilangnya
sensibilitas, paralisis (dimulai dari paralisis layu disertai hilangnya sensibilitas secara
total dan melemah/ menghilangnya refleks alat dalam) ileus paralitik, retensi urine,
dan hilangnya refleks-refleks.
c. Riwayat kesehatan dahulu. Merupakan data yang diperlukan untuk mengetahui
kondisi kesehatan klien sebelum menderita penyakit sekarang , berupa riwayat
trauma medula spinalis. Biasanya ada trauma/ kecelakaan.
d. Riwayat kesehatan keluarga. Untuk mengetahui ada penyebab herediter atau
tidak
e. Masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan alkohol.
f. Riwayat penyakit dahulu. Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
penyakit degeneratif pada tulang belakang, seperti osteoporosis dan osteoarthritis.
Pengkajian psikososiospiritual.

3. Pemeriksaan fisik.
a) Aktivitas isteraha
Tanda : kelumpuhan otot ( terjadi kelemahan selama syok spinal ) pada/ dibawah
lesi. Kelemahan umum/kelemahan otot ( trauma dan adanya kompresi saraf)
b) Sirkulasi
Gejala: Berdebar –Debar, pusing saat melakukan perubahan posisi atau bergerak.
Tanda : hipotensi, hipotensi postural, bradikardi, ektremias dingin dan pucat.
Hilangnya keringat pada daerah yang terkena.
c) Eliminasi
Tanda : inkontinensia defekasi dan berkemih. Retensi urine. Distensi abdomen,
peristaltic usus hilang. Melena, emesis berwarna seperti kopi tanah/hematemesis
d) Integritas Ego
Gejala : Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah.
Tanda : takut, cemas, gelisah , menarik diri.
e) Makanan/ Cairan
Tanda : mengalami distensi abdomen, peristaltic usus hilang (ileus paralitik)
f) Higyene
Tanda : sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
g) Neurosensori
Gejala : kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan /kaki. Paralysis
flaksid/spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi, tergantung pada area
spinal yang sakit.
Tanda : Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan
pada syok spinal.Kehilangan sensasi, kehilangan tonus otot/ vasomotor, kehilangan
refleks/ refleks asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil,ptosis,
kehilangan keringat dari bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma spinal.
h) Nyeri/kenyamanan
Gejala ; Nyeri tekan otot, hiperestesia tepat diatas daerah trauma
Tanda : Mengalami deformitas, postur,nyeritekan vertebral.

i) Pernapasan
Gejala : napas pendek, “ lapar udara” sulit bernapas.
Tanda : pernapasan dangkal/labored,periode apnea, penurunan bunyi napas,
ronki,pucat, sianosis.
j) Keamanan
gejala : suhu yang berfluktuasi
k) Seksualitas
gejala : keinginan untuk kembali seperti fungsi normal.
Tanda : Ereksi tidak terkendali (pripisme), menstruasi tidak teratur.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan integritas jaringan Kaji nyeri yang
dialami klien
2. Resti injuri / cedera korda spinalis b/d kompres korda sekunder dari cedera spinal
servikal tidak stsbil.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan fraktur lumbalis
4. Inkontinensia defekasi bd kerusakan saraf motorik bawah
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi

C. Intervensi Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan integritas jaringan Kaji nyeri yang
dialami klien
a) Kaji faktor yang menurunkan toleransi nyeri
b) Kurangi atau hilangkan faktor yang meningkatkan nyeri
c) Pantau tanda- tanda vital
d) Ajarkan tekhnik distraksi dan relaksasi
e) Kolaborasi dalam pemberian obat Analgetik
2. Resti injuri / cedera korda spinalis b/d kompres korda sekunder dari cedera spinal
servikal tidak stsbil.
a) Monitor TTV
b) Monitor tiap jam akan adanya syok spinal pada fase awal cedera selama 48
jam.
c) Lakukan Teknik Pengangkatan cara log rolling atau long back boord pada
setiap transportasi klien.
d) Imobilisasi leher terutama pada klien yang mengalami cedera spinal tidak
stabil.
e) Beri penjelasan tentang kondisi klien.
f) Kolaborasi dengan Tim medis.
g) Pemeriksaan radiologi
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan fraktur lumbalis
a) Tingkatkan mobilitas dan pergerakan yang optimal
b) Tingkatkan mobilitas ekstremitas atau Latih rentang pergerakan sendi pasif
c) Posisikan tubuh sejajar untuk mencegah komplikasi
d) Anjurkan keluarga untuk memandikan klien dengan air hangat.
e) Ubah posisi minimal setiap 2 jam sekali
f) Inspeksi kulit terutama yang bersentuhan dengan tempat tidur
4. Inkontinensia defekasi bd kerusakan saraf motorik bawah
a) Kaji adanya gangguan pola eliminasi (BAB)
b) Observasi adanya peses di pampers klien\
c) Anjurkan kepada klien untuk memberi tahu perawat atau keluarga kalau
terasa BAB
d) Anjurkan kepada keluarga untuk sering mengawasi klien
e) Jelaskan kepada klien tentang adanya gangguan pola eliminasi
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi
a) Kaji tingkat pengetahuan klien
b) Kaji latar belakang pendidikan klien
c) Berikan penkes kepada klien dan keluarga tentang penyakit dan diit makanan
yang dapat mempercepat penyembuhan
d) Berikan kesempatan klien untuk bertanya

You might also like