You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN

Ilmu kalam merupakan objek kajian berupa ilmu pengetahuan dalam


agama Islam yang dikaji dengan menggunakan dasar berfikir berupa logika dan
dasar kepercayaan-kepercayaaan pribadi atau suatu golongan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan akan eksistensi atau keberadaan Tuhan, bagaimana Tuhan,
seperti apa wujudnya dan pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya yang
berhubungan dengan Tuhan.
Dalam pembahasan kali ini akan membahas yaitu tentang pengertian dari
ilmu kalam, dasar-dasar ilmu kalam, sejarah timbulnya ilmu kalam, posisi ilmu
kalam dalam Islam, posisi ilmu kalam dalam kurikulum PAI, upaya teologi untuk
produktivitas umat Islam, dasar pemikiran tradisionalis dan rasionalis dan kritikan
para ulama terkait teologi Islam.
Pembahasan di atas terlihat merupakan dasar-dasar dari pembahasan ilmu
kalam itu sendiri dan bagaimana peranannya atau korelasinya dengan kurikulum
pendidikan agama islam. Dengan begitu diharapkan kita mampu meenguasai
dasar pembahasan tentang ilmu kalam dan korelasinya dengan kurikulum
pendidikan Islam.
Adapun tujuan utama dari ilmu kalam adalah untuk menjelaskan landasan
keimanan umat Islam dalam tatanan yang filosofis dan logis. Bagi orang yang
beriman, bukti mengenai eksistensi dan segala hal yang menyangkut dengan
Tuhan yang ada dalam al-Qur’an, Hadits, ucapan sahabat yang mendengar
langsung perkataan Nabi dan lain sebaganya, sudah cukup. Namun tatkala
masalah ini dihadapkan pada dunia yang lebih luas dan terbuka, maka dalil-dalil
naqli tersebut tidak begitu berperan. Sebab, tidak semua orang meyakini
kebenaran al-Qur’an dan beriman kepadanya. Karenanya diperlukan lagi
interpretasi akal terhadap dalil yang sudah ada dalam al-Qur'an tersebut untuk
menjelasakannya. Awalnya perbincangan mengenai teologi ini hanyalah debat
biasa sebagai diskusi untuk mempertajam pemahaman keIslaman, namun lama-

1
kelamaan ia membentuk sebuah kelompok pro-kontra yang berjuang pada
kebencian, permusuhan dan bahkan peperangan.

Penulis berharap dengan ditulisnya materi Ilmu Kalam ini dapat


memberikan efek positif kepada kita yang tengah menjalani mata kuliah Ilmu
Kalam ini. Dengan pembahasan yang sederhana ini mudah-mudahan dapat
membantu kita untuk memberikan suatu motivasi dan pemahaman untuk kita
dalam menjalani hidup dan kehidupan beragama kita sekarang hingga akhir nanti.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian, dasar-dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam


1. Pengertian ilmu kalam
Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain:ilmu
ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh Al-Akbar, dan teologi Islam. Disebut ilmu
ushuluddin karena karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama. Disebut ilmu
tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah SWT. Namun argumentasi ilmu
kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika.
Teologi Islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari
Bahasa Inggris, theology. William L. Reese mendefisinikannya dengan discourse
or reason concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan).
Sementara itu Musthafa Abdul Raziq berkomentar, “ilmu ini (ilmu kalam)
yang berkaitan dengan akidah imani ini sesungguhnya dibangun di atas
argumentasi-argumentasi rasional. Atau, ilmu yang berkaitan dengan akidah
Islami ini bertolak atas bantuan nalar ”. sementara itu Al-Farabi mendefinisikan
ilmu kalam sebagai berikut : “ilmu kalam adalah disiplinilmu yang membahas
Dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang
berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan
doktrin Islam. Stressing akhirnya adalah memproduksi ilmu ketuhanan secara
filosofis”
Ibnu Khaldun mendefinisikan ilmu kalam sebagai berikut:
“ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagai aargumentasi
tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional”.

Adapun ilmu ini dinamakan ilmu Kalam, disebabkan :


a. Persoalan yang terpenting yang menjadi pembicaraan pada abad-abad
permulaan hijriah ialah apakah Kalam Allah (Al-qur’an) itu qadim atau
hadits.

3
b. Dasar ilmu Kalam ialah dalil-dalil fikiran dan pengaruh dalil fikiran ini
tampak jelas dalam pembicaraan para mutakallimin. Mereka jarang
mempergunakan dalil naqli (Al-Qur’an dan hadits), kecuali sesudah
menetapkan benarnya pokok persoalan terlebih dahulu berdasarkan dalili-
dalil fikiran.
c. Dinamakan Ilmu Kalam karena pembicaraan tentang Tuhan dibahas
dengan logika. Maksudnya menggunakan dalil-dalil aqliyah ; dari
permasalahan masalah sifat-sifat kalam bagi Allah.

2. Dasar-dasar dan ruang lingkup ilmu kalam


a. Al-quran
Sebagai dasar dan sumber ilmu kalam, Al-quran banyak menyinggung hal
yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantaranya adalah:
Artinya:
“Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakan (3) dan tidak ada sesuatu yang
sama denganDia (4)”

Dan masih terdapat juga di dalam QS. Asyura :7, QS. Al furqan 59, QS. Al
fath 10 dan masih banyak lagi ayat-ayat yang berkaitan dengan dzat, sifat, asma,
perbuatan, tuntunan dan hal-hal lain yang berkenaan dengan eksistensi Tuhan.
Hanya saja penjelasan rincinya tidak ditemukan.

b. Hadis
Hadis Nabi SAW pun banyak membicarakan masalah-masalah yang dibahas
ilmu kalam yang dipahami sebagian ulama sebagai prediksi Nabi mengenai
kemunculan berbagai golongan dalam ilmu kalam, diantaranya adalah:
“hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. ia mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda, “orang-orang Yahudi akan terpecah belah menjadi tujuh
puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh golongan.”

4
c. Pemikiran manusia
Pemikiran manusia dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat Islam sendiri
atau pemikiran yang berasal dari luar umat Islam. Sebelum filsafat Yunani masuk
dan berkembang di dunia Islam, umat Islam sendiri telah menggunakan pemikiran
rasionalnya untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-quran,
terutama yang belum jelas maksudnya (al-mutasyabihat).[1]
Seperti halnya filosof muslim yaitu Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Al-
Razi atau yang di kenal dengan Al-Razi yang mendukung penggunaan akal dalam
memahami kalam Ilahi, ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk
mengetahui yang baik serta apa yang buruk, untuk tahu kepada Tuhan, dan untuk
mengatur hidup manusia di dunia.[2]

d. Insting
Secara instingtif, manusia selalu ingin bertuhan, oleh karena itu kepercayaaan
adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama. William L. Reese
mengataakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan ini yang dikenal
dengan istilah theologia, telah bekembang sejak lama. Ia bahkan mengatakan
bahwa teologi muncul dari sebuah mitos. Selanjutnya teologi itu berkembang
menjadi teologi alam dan teologi wahyu.[3]
Sebelum membahas mengenai ruang lingkup ilmu kalam kita harus
mengetahui ajaran dasar agama yang oleh para mutakalimun tidak boleh
diperselisihkan seperti:
1. Allah maha Esa
2. Muhammad adalah Rasul
3. Al-Quran adalah wahyu
4. Hari akhirat itu pasti
5. Surge dan neraka itu ada.
Selanjutnya yang menjadi tema besar ajaran ilmu kalam (ruang lingkup),
seperti:
1. Allah mempunyai sifat diluar dzat atau tidak
2. Diutusnya Rasul wajib atau tidak

5
3. Al-quran Qadim atau baharu
4. Surga dan neraka itu jasmani atau rohani
5. Melihat Tuhan di akhirat, dengan jasmani atau rohani
6. Dan lain-lain.[4]

3. Sejarah timbulnya ilmu kalam


Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan
politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan utsman bin affan yang berbuntut
pada penolakan muawiyah atas kekhalifahan Ali bin abi thalib. Ketegangan
tersebut mengkristal menjadi perang Siffin yang berakhir dengan keputusan
tahkim (arbitrase). Sikap Ali menerima tipu muslihat Amr bin Al ash, utusan dari
pihak Muawiyah dalam tahkim. Kelompok yang awalnya berada dengan Ali
menolak keputusan tahkim tersebut mereka menganggap Ali telah berbuat salah
atas keputusan tersebut sehingga mereka meninggalkan barisannya, kelompok ini
dikenal dengan nama khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri.
Diluar pasukan yang membelot Ali, adapula yang sebagian besar tetap
mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok syiah.
Harun lebih jauh melihat bahwa persoalan kalam yang pertama muncul
adalaah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir.[5]
Sementara itu menurut Dr. M. Yunan yusuf masalah ilmu kalam ini timbul
berawal dari masalah politik yaitu ketika usman bin affan wafat terbunuh dalam
suatu pemberontakan . sebagai gantinya Ali dicalonkan sebagai khalifah namun
pencalonan Ali ini banyak mendapat pertentangan dari para pemuka sahabat di
Mekah. Tantangan kedua datang dari Muawiyah, gubernur Damaskus salah
seorang keluarga dekat Usman bin Affan. Ia pun tidak mau pengangkatan Ali
sebagai khalifah. Muawiyah menuntut untuk menghukum para pembunuh Usman
bin Affan.
Hingga sampai terjadinya peristiwa tahkim yang membuat Muawiyah naik
tahta secara illegal. Ketika Ali membiarkan hal itu terjadi sebagian tentara Ali
tidak menyetujui hal tersebut.mereka memandang Ali telah berbuat salah dan
berdosa dengan menerima keputusan (arbitrase) itu.

6
Akhirnya mereka menganggap Ali dan Muawiyah telah kafir. Dan hal itu
berkembang bukan lagi menjadi masalah politik namun telah menjadi masalah
teologi. Mereka inilah yang dikenal dengan kaum Khawarij.[6]

B. Possisi ilmu kalam dalam Islam


Untuk menjelaskan bagaimana keberadaan ilmu kalam dalam kedudukannya
dari keilmuan agama Islam yaitu bagaimana posisi awal timbulnya keilmuan ini,
sebenarnya sudah sejak zaman sahabat yaitu ketika peristiwa terbunuhnya
khalifah Usman bin affan ilmu kalam ini lahir.
Namun seiring berjalannya waktu dan penguasa umat Islam pada saat itu
maka keberadaan ilmu kalam ini seolah tenggelam dan hanya terdapat pada
individu-individu umat Islam sebagian adapun suatu kelompok tidak begitu besar
yang mempelajari ilmu kalam ini. Namun mereka senantiasa menanam akan
pengertian keilmuan ini kepada generasi penerus mereka hingga ilmu ini tetap
terpelihara.
Ketika memasuki periode kekuasaan Bani Abbasiyah barulah ilmu ini muncul
kembali ke permukaan seiring maraknya kajian keilmuan yang lainnya juga
terjadinya persentuhan dengan filsafat Yunani yang membuat ilmu ini
berkembang pesat. Walaupun terlihat dalam sejarah kailmuan Islam lebih dahulu
muncul yaitu ilmu kalam namun dalam pengkajiannya ilmu kalam ini seolah
dikesampingkan dari pada disiplin ilmu yang lainnya, seperti fiqh. Ushul fiqh,
tafsir, ulumul Quran dan Ulumul hadits.
Jadi sebutan ilmu kalam sebagai suatu disiplin ilmu baru muncul pada
penghujung abad pertaama hijriah ketika para ulama dengan bergairah
membicarakan Al-quran (kalam ilahi) yaitu apakah Al-quran itu qadim atau
baharu, permasalahan lain terkait masalah-masalah keimanan dan perkembangaan
disiplin ilmu ini berjalan dalam bentuk diskusi yang berkelanjutan.[7]

7
C. Posisi ilmu kalam dalam kurikulum PAI
Di dalam kurikulum untuk sekolah seperti SD/MI, SMP/MTS dan SMA/MA
mata pelajaran ilmu kalam tidak di pelajari, baik itu dari jurusan Bahasa, IPA,
IPS, maupun keagamaannya, yang di pelajari dalam pendidikan keagamaannya
hanyalah Bahasa Arab, fiqh, akidah akhlak, al-quran dan hadits dan sejarah
kebudayaan Islam itupun untuk tingkat MI, MTS dan MA saja.
Namun untuk kurikulum perguruan tinggi Islam ilmu kalam mendapat tempat
sebagai materi kuliah yang di ajarkan sebagai mata kuliah keilmuan.

D. Pentingnya kembali mempelajari teologi Islam demi upaya peningkatan


produktivitas umat Islam.
Dalam agama terdapat dua ajaran yang erat kaitannya dengan
produktivitas, pertama agama mengajarkan bahwa sesudah hidup pertama di dunia
yang bersifat material ini, ada hidup kedua nanti di akhirat yang bersifat spiritual.
Bagaimana pengaruh ajaran ini terhadap produktivitas dari penganut agama
bersangkutan sangat tergantung dari kedua corak pemikiran tersebut.
Kedua, agama mempunyai ajaran mengenai nasib dan perbuatan manusia.
Kalau nasib manusia telah ditentukan Tuhan sejak semula, dalam arti bahwa
perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan, maka produktivitas manusia yang
menganut paham keagamaan demikian, akan rendah sekali. Paham pertama
dikenal dengan filsafat fatalism atau jabariyah. Paham kedua disebut qadariyah.
Didalam Al-quran dan hadis hidup di dunia yang bersifat material dan hidup di
akhirat yang bersifat spiritual, sama pentingnya. Al-quran mengatakan:

Artinya:
“Carilah apa yang di anugerahkan Allah bagimu di akhirat dan jangan lupakan
bagianmu di dunia”

8
Dan sebuah hadits menyatakan:
“berbuatlah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya, dan
berbuatlah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati esok hari”

Pada zaman klasik berkembang teologi sunnatullah. Ciri-ciri teologi


sunnatullah adalah:
1. Kedudukan akal yang tinggi
2. Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan
3. Kebebasan berfikir hanya diikat oleh ajaran dasar dalam Al-quran dan hadits yang
sedikit sekali jumlahnya.
4. Percaya adanya sunnatullah dan kausalitas
5. Mengambil arti metaforis dari teks wahyu
6. Dinamika dalam sikap dan berfikir.
Teologi ini berkembang pada zaman klasik karena ulama pada zaman itu
sadar akan kedudukan akal yang tinggi dalam Al-quran dan hadis. Peran akal
yang tinggi itu bertemu dengan sains dan filsafat Yunani. Sains membuat mereka
mengembangkan konsep hokum alam ciptaan Tuhan, filsafat mendorong ulama
membangun teologi sunnatullah diatas.
Karena itu sikap umat Islam zaman itu adalah dinamis, orientasi dunia
mereka tidak dikalahkan oleh orientasi akhirat, keduanya berjalan seimbang
hingga produktivitas umat di zaman itu meningkat pesat. Ulama klasik pada
zaman klasik tersebut tidak hanya produktif untuk urusan dunia saja, ilmu
keagamaan juga dikembangkan pada saat itu hingga munculah ilmu-ilmu seperti
ilmu l-quran, tafsir, hadis, fiqh akidah, tasawuf dan lain-lain.
Sangat disayangkan teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional,
filosofis dan ilmiah itu hilang dari duni Islam dan berpindah ke Eropa melalui
mahasiswa-mahasiswa Barat yang datang belajar ke Andalusia, Spanyol dan
melalui penerjemahan buku-buku Islam kedalam bahasa Latin. Pada masa inilah
dunia Islam memasuki zaman pertengahan yang merupakan zaman kemunduran.
Teologi sunnatullah tersebut hilang dari dunia Islam digantikan oleh teologi
kehendak mutlak Tuhan. Kedudukan akal yang rendah membuat pemikiran dalam

9
segala bidang kehidupan tidak berkembang, bahkan berhenti. Yang ada hanya
sikap taklid, yakni mengikuti pemikiran ulama zaman klasik sebagaimana adanya,
tidak ada kemajuan dalam pemikiran.
Setelah Eropa mampu menguasai ilmu pengetahuan hingga tibalah bagi
Umat Islam pada abad ke Sembilan belas yang memasuki zaman modern, Eropa
pun masuk ke dunia Islam. Dan muncul kesadaran dari umat Islam bahwa mereka
telah mundur dan jauh ditinggalkan Eropa. Muncullah kemudian ulama dan
pemikir-pemikir Islam dengan ide-ide yang bertujuan memajukan kembali dunia
Islam. Salah satu jalan yang dilihat oleh para ulama dan pemikir seperti Jamaludin
Al-afghani, Muhammad Abduh di Mesir, Zia Gokalp di Turki dan Sayyid Ahmad
Khan di India adalah kembali ke teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional,
filosofis dan ilmiah. Di samping itu mereka melihat sains yang telah berkembang
di Eropa, perlu dikuasai kembali oleh ulama dan kaum terpelajar Islam.
Namun sayangnya di Indonesia sendiri teologi sunnatullah tersebut kurang
berkembang yang dipercaya adalah teologi kehendak mutlak Tuhan. Untuk
meningkatkan produktivitas itu, teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional,
filosofis dan ilmiahnya perlu dikembangkan dikalangan umat Islam di Indonesia.
Sementara itu perlu dikembangkan pula keseimbangan antara orientasi spiritual
keakhiratan dan orientasi keduniawian.[8]
Jadi begitu pentingnya kedudukan teologi atau ilmu kalam bagi kita
sebagai jalan kemajuan bagi umat Islam itu sendiri untuk menjawab tantangan
global yang tengah berkembang saat ini, tugas tersebut ada pada pundak kaum
intelektual muslim.
E. Dasar-dasar metode berfikir aliran teologi Islam antara tradisionalisme dan
rasionalisme.
Dasar pertama tradisionalisme pada masa Islam saat itu adalah berpegang
teguh kepada ajaran al-Quran, Sunnah Nabi dan ijma’ para ulama generasi
pertama. Jika tiga unsur tradisionalisme ini digabungkan maka ketiganya akan
menjadi pandangan yang benar dan pasti, yang tidak dapat ditentang oleh
penafsiran dengan cara apapun.

10
Dasar kedua kaum tradisionalisme ini adalah pemikiran bahwa dasar agama
yang bersumber dari ketiga dasar yang disebutkan di atas yaitu al-Quran, sunnah
dan ijma’, adalah sama. Oleh karena itu, setiap ketidaksetujuan terhadap dasar
tersebut adalah tercela.
Selanjutnya dasar bagi kaum rasionalisme adalah mereka memegang paham
bahwa Allah dan alam dapat diketahui dengan akal yang diciptakan oleh Allah
dalam diri manusia. Dasar rasionalisme lainnya adalah kedudukan akal diatas
wahyu. Karena akal adalah prinsip yang mengatur alam, maka pertentangan antara
akal dan wahyu harus dapat diselesaikan oleh akal.[9]

F. Kritik para ulama terhadap teologi Islam


Disini akan dijelaskan komentar atau pendapat beberapa ulama tentang
penolakan atau kritikannya terhadap pandangan pemikiran teologi Islam,
diantaranya adalah:
Perkataan Imam Syafi’I
“keputusanku terhadap orang-orang teologi Islam adalah mereka harus didera
dengan cemati serta merta dan harus di arak keliling desa dan tempat-tempat
ramai, sambil diserukan: inilah akibat orang yang mengenyampingkan al-Quran
dab sunnah dan bertekun mempelajari teologi Islam”

Perkataan Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana yang di riwayatkan oleh


Ibnul Jauzi
“ahli ilmu kalam (teologi Islam) tidak bahagia selamanya. Ulama kalam adalah
orang-orang yang zindiq”

Al ghazali merasa tidak senang terhadap teologi Islam dan mengecam


orang-orangnya serta mengatakan bahwa qiyas-qiyas mereka mengeruhkan
ketenangan rasa agama, mengacaukan pikiran dan menggoncangkan iman orang
awam.[10]

11
BAB III
PENUTUP

Pembahasan di atas merupakan sebuah pengantar bagi kita untuk lebih


mendalami pembahasan tentang ilmu kalam atau yang biasa disebut teologi Islam.
Ketika kita telah mempelajari pembahasan tersebut besar harapan penulis untuk
kita lebih tahu lagi tentang arti dari sebuah perbedaan dengan berpegang pada
dasar pengertian yang relevan
Terlebih kita sebagai umat muslim perlu meningkatkan produktivitas
keilmuan kita dengan berfikir seperti apa yang dijalaskan di atas yaitu tetap
menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat agar seimbang apa yang kita
lakukan di mata Allah. Dan juga pembahasan ilmu kalam ini tidak terlepas dari
kritikan tajam dari para ulama sebagai warna perbedaan bagi kita untuk lebih
menyikapinya dengan arif dan bijaksana.
Semoga dengan kita telah memperdalam pembahasan ini kita
mendapatkan khazanah keilmuan yang bermanfaat bagi kita sebagai modal dalam
mengarungi kehidupan yang semakin rumit terutama problema-problema tentang
pemikiran antara kaum tradisionalisme dan rasionalisme mengenai teologi Islam
ini
Kritik dan saran yang membangun, penulis harapkan demi tercapainya
perbaikan kearah yang lebih positif dan bermanfaat.

12
DAFTAR PUSTAKA

[1] Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN,
PTAIS, Bandung: Pustaka Setia,2009, h. 13-21.
[2] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1999, h. 18.
[3] op. cit. h. 26-27
[4] M. Yunan Yusuf, Diktat Ilmu Kalam, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah,
2001, h. 8-9.
[5] op.cit. h. 27-28.

[6] M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, Jakarta: Perkasa,

1990, h. 3-6.
[7] Muslim Nasution, Transformasi Akidah Dalam Kehidupan, h. 39.

[8] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan,

1995, h. 111-121.
[9] Binyamin Abrahamov, Ilmu Kalam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002,

h. 18-73.
[10] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992, h.

13

You might also like