Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
kelamaan ia membentuk sebuah kelompok pro-kontra yang berjuang pada
kebencian, permusuhan dan bahkan peperangan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
b. Dasar ilmu Kalam ialah dalil-dalil fikiran dan pengaruh dalil fikiran ini
tampak jelas dalam pembicaraan para mutakallimin. Mereka jarang
mempergunakan dalil naqli (Al-Qur’an dan hadits), kecuali sesudah
menetapkan benarnya pokok persoalan terlebih dahulu berdasarkan dalili-
dalil fikiran.
c. Dinamakan Ilmu Kalam karena pembicaraan tentang Tuhan dibahas
dengan logika. Maksudnya menggunakan dalil-dalil aqliyah ; dari
permasalahan masalah sifat-sifat kalam bagi Allah.
Dan masih terdapat juga di dalam QS. Asyura :7, QS. Al furqan 59, QS. Al
fath 10 dan masih banyak lagi ayat-ayat yang berkaitan dengan dzat, sifat, asma,
perbuatan, tuntunan dan hal-hal lain yang berkenaan dengan eksistensi Tuhan.
Hanya saja penjelasan rincinya tidak ditemukan.
b. Hadis
Hadis Nabi SAW pun banyak membicarakan masalah-masalah yang dibahas
ilmu kalam yang dipahami sebagian ulama sebagai prediksi Nabi mengenai
kemunculan berbagai golongan dalam ilmu kalam, diantaranya adalah:
“hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. ia mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda, “orang-orang Yahudi akan terpecah belah menjadi tujuh
puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh golongan.”
4
c. Pemikiran manusia
Pemikiran manusia dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat Islam sendiri
atau pemikiran yang berasal dari luar umat Islam. Sebelum filsafat Yunani masuk
dan berkembang di dunia Islam, umat Islam sendiri telah menggunakan pemikiran
rasionalnya untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-quran,
terutama yang belum jelas maksudnya (al-mutasyabihat).[1]
Seperti halnya filosof muslim yaitu Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Al-
Razi atau yang di kenal dengan Al-Razi yang mendukung penggunaan akal dalam
memahami kalam Ilahi, ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk
mengetahui yang baik serta apa yang buruk, untuk tahu kepada Tuhan, dan untuk
mengatur hidup manusia di dunia.[2]
d. Insting
Secara instingtif, manusia selalu ingin bertuhan, oleh karena itu kepercayaaan
adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama. William L. Reese
mengataakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan ini yang dikenal
dengan istilah theologia, telah bekembang sejak lama. Ia bahkan mengatakan
bahwa teologi muncul dari sebuah mitos. Selanjutnya teologi itu berkembang
menjadi teologi alam dan teologi wahyu.[3]
Sebelum membahas mengenai ruang lingkup ilmu kalam kita harus
mengetahui ajaran dasar agama yang oleh para mutakalimun tidak boleh
diperselisihkan seperti:
1. Allah maha Esa
2. Muhammad adalah Rasul
3. Al-Quran adalah wahyu
4. Hari akhirat itu pasti
5. Surge dan neraka itu ada.
Selanjutnya yang menjadi tema besar ajaran ilmu kalam (ruang lingkup),
seperti:
1. Allah mempunyai sifat diluar dzat atau tidak
2. Diutusnya Rasul wajib atau tidak
5
3. Al-quran Qadim atau baharu
4. Surga dan neraka itu jasmani atau rohani
5. Melihat Tuhan di akhirat, dengan jasmani atau rohani
6. Dan lain-lain.[4]
6
Akhirnya mereka menganggap Ali dan Muawiyah telah kafir. Dan hal itu
berkembang bukan lagi menjadi masalah politik namun telah menjadi masalah
teologi. Mereka inilah yang dikenal dengan kaum Khawarij.[6]
7
C. Posisi ilmu kalam dalam kurikulum PAI
Di dalam kurikulum untuk sekolah seperti SD/MI, SMP/MTS dan SMA/MA
mata pelajaran ilmu kalam tidak di pelajari, baik itu dari jurusan Bahasa, IPA,
IPS, maupun keagamaannya, yang di pelajari dalam pendidikan keagamaannya
hanyalah Bahasa Arab, fiqh, akidah akhlak, al-quran dan hadits dan sejarah
kebudayaan Islam itupun untuk tingkat MI, MTS dan MA saja.
Namun untuk kurikulum perguruan tinggi Islam ilmu kalam mendapat tempat
sebagai materi kuliah yang di ajarkan sebagai mata kuliah keilmuan.
Artinya:
“Carilah apa yang di anugerahkan Allah bagimu di akhirat dan jangan lupakan
bagianmu di dunia”
8
Dan sebuah hadits menyatakan:
“berbuatlah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya, dan
berbuatlah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati esok hari”
9
segala bidang kehidupan tidak berkembang, bahkan berhenti. Yang ada hanya
sikap taklid, yakni mengikuti pemikiran ulama zaman klasik sebagaimana adanya,
tidak ada kemajuan dalam pemikiran.
Setelah Eropa mampu menguasai ilmu pengetahuan hingga tibalah bagi
Umat Islam pada abad ke Sembilan belas yang memasuki zaman modern, Eropa
pun masuk ke dunia Islam. Dan muncul kesadaran dari umat Islam bahwa mereka
telah mundur dan jauh ditinggalkan Eropa. Muncullah kemudian ulama dan
pemikir-pemikir Islam dengan ide-ide yang bertujuan memajukan kembali dunia
Islam. Salah satu jalan yang dilihat oleh para ulama dan pemikir seperti Jamaludin
Al-afghani, Muhammad Abduh di Mesir, Zia Gokalp di Turki dan Sayyid Ahmad
Khan di India adalah kembali ke teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional,
filosofis dan ilmiah. Di samping itu mereka melihat sains yang telah berkembang
di Eropa, perlu dikuasai kembali oleh ulama dan kaum terpelajar Islam.
Namun sayangnya di Indonesia sendiri teologi sunnatullah tersebut kurang
berkembang yang dipercaya adalah teologi kehendak mutlak Tuhan. Untuk
meningkatkan produktivitas itu, teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional,
filosofis dan ilmiahnya perlu dikembangkan dikalangan umat Islam di Indonesia.
Sementara itu perlu dikembangkan pula keseimbangan antara orientasi spiritual
keakhiratan dan orientasi keduniawian.[8]
Jadi begitu pentingnya kedudukan teologi atau ilmu kalam bagi kita
sebagai jalan kemajuan bagi umat Islam itu sendiri untuk menjawab tantangan
global yang tengah berkembang saat ini, tugas tersebut ada pada pundak kaum
intelektual muslim.
E. Dasar-dasar metode berfikir aliran teologi Islam antara tradisionalisme dan
rasionalisme.
Dasar pertama tradisionalisme pada masa Islam saat itu adalah berpegang
teguh kepada ajaran al-Quran, Sunnah Nabi dan ijma’ para ulama generasi
pertama. Jika tiga unsur tradisionalisme ini digabungkan maka ketiganya akan
menjadi pandangan yang benar dan pasti, yang tidak dapat ditentang oleh
penafsiran dengan cara apapun.
10
Dasar kedua kaum tradisionalisme ini adalah pemikiran bahwa dasar agama
yang bersumber dari ketiga dasar yang disebutkan di atas yaitu al-Quran, sunnah
dan ijma’, adalah sama. Oleh karena itu, setiap ketidaksetujuan terhadap dasar
tersebut adalah tercela.
Selanjutnya dasar bagi kaum rasionalisme adalah mereka memegang paham
bahwa Allah dan alam dapat diketahui dengan akal yang diciptakan oleh Allah
dalam diri manusia. Dasar rasionalisme lainnya adalah kedudukan akal diatas
wahyu. Karena akal adalah prinsip yang mengatur alam, maka pertentangan antara
akal dan wahyu harus dapat diselesaikan oleh akal.[9]
11
BAB III
PENUTUP
12
DAFTAR PUSTAKA
[1] Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN,
PTAIS, Bandung: Pustaka Setia,2009, h. 13-21.
[2] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1999, h. 18.
[3] op. cit. h. 26-27
[4] M. Yunan Yusuf, Diktat Ilmu Kalam, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah,
2001, h. 8-9.
[5] op.cit. h. 27-28.
[6] M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, Jakarta: Perkasa,
1990, h. 3-6.
[7] Muslim Nasution, Transformasi Akidah Dalam Kehidupan, h. 39.
[8] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan,
1995, h. 111-121.
[9] Binyamin Abrahamov, Ilmu Kalam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002,
h. 18-73.
[10] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992, h.
13