Professional Documents
Culture Documents
Classic
Flipcard
Magazine
Mosaic
Sidebar
Snapshot
Timeslide
hukum pidana
hukum pidana
SEBAB AKIBAT (KAUSALITAS) DALAM TINDAK PIDANA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ajaran kausalitas mempunyai sejarah panjang dalam dunia hokum. Meski sebelumnya
ajaran kausalitas lebih popular dalam ranah ilmu pengetahuan alam dan filsafat, kepopuleran
kausalitas merentang dalam listas disiplin ilmu terutama ilmu hokum. Berbeda debgan ilmu alam
yang melihat kausalitas secara umum, hukum melihat hubungan kausalitas dari segi
partikularistik. Hokum berkonsentrasi apakah A mengkibatkan terjadinya kebakaran terhadap B,
dan bukan apakah A mengkibatkatkan kebakaran saja. Dalam ilmu ekonomi dan hokum perdata,
ajaran kausalitas dipergunakan dalam membahas limitasi pertanggung jawaban atas kejahatan
yang mengandung ketidakpastian kausal (kausal uncertainty).
Sebelum hokum pidana mengenal ajaran kausalitas (abad 19), masyarakat memandang bahwa
melukai sebagai satu-satunya penyebab matinya orang. Kemudian muncul pendapat yang lebih
kritis yang mengatakan tidak semua tindakan melukai dapat mengkibatkan kematian tetapi harus
dilihat dulu apkah luka itu menurut sifatnya dapat mengkibatkan matinya orang.
Tidak disangkal lagi, bahwa suatu kejadian atau peristiwa selalu ada penyebabnya.
Apabila ditelusuri penyebab-penyebabnya dari suatu kejadian, dengan menjadikan penyebab
yang terdekat (kepada kejadian) menjadi “kejadian” yang harus dicari lagi penyebabnya maka
tidak akn habis-habisnya.
Apabila diteliti dari hakeka-thakekat penyebab tersebut, akan ternyata bahwa penyebab-
penyebab itu pada suatu saat dapat berupa suatu perbuatan tertentu, pada saat yang lain berupa
kehendak, suatu keadaan, suatu dorongan dan lain sebagainya. Pencarian penyebab tidak terbatas
untuk semua kejadian/peristiwa.
B. Rumusan Masalah
Dalam pandangan common law yang manyoritas mengnut minostis, ajaran kausalitas
berjalin kelindan dengan prinsip pertanggung jawaban pidana. Kendati literature common law
mengakui ajaran kausalitas terdiri dari perbuatab, akibat dan kesalahan (pertanggungjawaban
pidana), pemhasan kausalitas lebih cenderung menitikberatkan pertanggungjawaban pidana
secara tidak seimbang dengan perbuatan dan akibatnya. Ketidakseimbangan ini terjadi lantaran
atribusi pertanggungjawaban dalam kerangka kausalitas lebih sulit dibandingkan tentang
perbuatan.
Pembuat undang-undang tidak merumuskan sesuatu ketentuan dalam KUHP mengenai
sebab akibat. Teteapi dalam beberapa pasal tertentu dalam Undang-Undang Hukum Pidana,
dirumuskan kelakuan-kelakuan (gedragingen) yang merupakan “sebab” (oorzak, causa) dari
suatu akibat tertentu. Misalnya dalam pasal 187 ke-3 KUHP disebutkan: kebakaran, peledakan,
pembanjiran; pada pasal 194 (2) KUHP dicantumkan: membahayakan jalan kereta api yng
digunakan untuk lalu lintas umum, yang merupakan sebab, dan kemudian menimbulkan akibat,
berupa matinya orang dan sebagainya.
Dari uraian diatas, yang jadi permasalahan adalah:
1. Mengapa pentingnya ajaran kausalitas(sebab-akibat) dalam hukum pidana?
2. Apa saja teori-teori dalam hubungan kausalitas?
3. Bagaimana ajaran kausalitas dalam hal perbuatan pasif?
C. Tujuan dan Mamfaat Penulisan
Makalah yang berjudul “Sebab Akibat Tindak Pidana (kausalitas)” ini memiliki tujuan
dan mamfaat penulisan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui hubungan dan menentukan hubungan kausal sbab dan akibat yang berarti
menentukan ada tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana.
2. a. Mamfaat secara teoritis
Penulis berharap kiranya penulisan makalah ini bermamfaat untuk dapat memberikan masukan
sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literature dalam dunia akademis,
khususnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan hubungan sebab akibat (kausalitas) dalam
hokum pidana dan penerapannya dalam praktek.
b. Mamfaat secara praktis
secara praktis penulis berharap agar penulisan makalah ini dapat memberi pengetahuan tentang
bagaimana hubungan sebab akibat (kausalitas) dalam hokum pidana dan penerapannya dalam
praktek.
D. Metode Penelitian
Penelitan dalam makalah ini merupakan penelitian hokum normatif. Penelitian dilakukan
dengan mempelajari berbagai literature dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan permasalahan dalam makalah ini.
Data yang dipergunakan dalam makalah ini adalah data sekunder. Pengumpulan data
dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library Research). Data yang diperoleh kemudian
dianalisis secara kualitif untuk menjawab permasalahan dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hokum pidana Belanda
yaitu”strafbaar feit”, tetapi tidak ada pebjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan
strafbaar feit. Karena itu para ahli hokum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah
tersebut.
Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun
yang ada dalam berbagai literature hokum sebagai terjemahan dari istilah, strafbaar feit, yaitu:
1. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang didefinisikan sebagai perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hokum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Pompe merumuskan bahwa strafbaar feit adalah tindakan yang menurut sesuatu rumusan
undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.
3. Vos merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh
peraturan perundang-undangan.
4. R. Tresna menggunakan istilah peristiwa pidana yaitu suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan
manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya,
terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.
B. Pentingnya Ajaran Kausalitas
Apabila dilihat dari cara peremusannya, maka tindak pidana dapat dibedakan (1) tindak
pidana yang dirumuskan secara formil, disebut dengan tindak pidana formil (formeel delicten),
dan (2) tindak pidana yang dirumuskan secara materil, disebut dengan tindak pidana materil
(materiel delicten).
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang melakukan
tingkah laku tertentu, aratinya dalam rumusan itu secara tegas disebutnya wujud perbuatan
tertentu yang terlarang. Perbuatan tertentu inilan yang menjadi pokok larangan dalam tindak
pidana formil. Dalam hubungannya dengan penyelesaian tindak pidana formil, kriterianya ialah
pada perbuatan yang dilarang tersebut. Apabila perbuatan terlarang selesai dilakukan, maka
selesai pulalah pidana , tanpa melihat atau bergantung pada akibat apa dari perbuatan itu.
Contohnya pencurian (362), apabila perbuatan mengambil selesai, maka pencurian itu selesai.
Penyuapan (209), apabila perbuatan memberi sesuatu atau menjajikan sesuatu sesuatu (pada
pegawai negeri) selesai dilakukan, maka selesai pulalah kejahatan itu.
Sedangkan tindak pidana materil, ialah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang
menimbulkan akibat tertentu disebutakibat terlarang. Titik beratnya larangan pada menimbulkan
akibat terlarang (unsur akibat konstitutif). Walaupun dalam urusan tindak pidana disebut juga
unsure tingkah laku (misalnya menghilangkan nyawa pada pembunuhan: 338, atau
menggerakkan pada penipuan:387), namun untuk penyelesaian tindak pidana tidak bergantung
pada selesainya mewujudkan tinkah laku, akan tetapi apakah dari wujud tingkah laku telah
menimbulkan aibat terlarang ataukah tidk incasu pada pembunuhan (338) hilangnya nywa orang
lain, atau pada penipuan telah telah menimbulkan akibat orang menyerahkan benda , membuat
utang atau menghapuskan piutang. Mewujudkan tingkah laku menhilangkan nyawa, misalnya
dengan wujud konkretnya: menusuk (dengan pisau) tidaklah dengan demikian melahirkan tindak
pidana pembunuhan, apabila dari perbuatan menusuk itu tidak melahirkan akibat matinya
korban. Mewujudkan perbuatan menggerakkan dengan cara-cara seperti serangkaian
kebohongan atau tipu muslihat, tidak demikian terwujudnya penipuan, melainkan tergantung
pada apakah dari wujud perbuatan itu telah menimbulkan akibat orang menyerahkan benda,
membuat hutang ataukah tidak/tidak.
Dalam hal percobaan tindak pidana materil juga digantungkan pada unsure konstitutif,
bukan pada tingkah laku. Tingkah laku misalnya telah melepaskan tembakan, tetapi dari wujud
tingkah laku itu tidak atau belum menimbulkan akibat terlarang yakni matinya korban, maka
yang terjadi barulah percobaaan pembunuhan (338 jo 53). Terwujudnya tindak pidana materill
secara sempurna adalah akibat terlarang telah timbul dari tingkah laku.
Dalam hal terwujudnya tindak pidana materil secara sempurna diperlukan 3 syarat
esensial, yaitu:
1. Terwujudnya tingkah laku;
2. Terwujudnya akibat (akibat konstitutif atau constietutief gevolg); dan
3. Ada hubungan kausal (causal verband) antara wujud tingkah laku dengan akibat konstitutif.
Tiga syarat itu ialah satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk terwujudnya tindak
pidana materil. Untuk menentukan (dalam praktek digunakan istilah untuk membuktikan)
terwujudnya tingkah laku untuk dengan terwujudnya akibat, tidak terdapat kesukaran.
Contohnya, seorang bapak mengenderai sepeda motor hendak menyebrang mengambil
jalur yang lain dengan berbelok ke kanan tanpa memperhatikan kendaraan dari arah belakang,
dan ketika itu ada sebuah mobil yang melaju dari arah belakang. Menghadapi kendaraan seperti
itu sipengendara mobil menginjak rem sekuat tenaga sehingga mengeluarkan suara gesekan ban
di jalan yang keras, yang menyebabkan bapak tadi terkejut. Walaupun mobil tidak sampai
menabrak/membentur keras sepeda motor, namun tiba-tiba didepan mobil yang telah berhenti
dan masih duduk diatas sadel sepeda motornya, bapak itu rubuh dan jatuh pingsan. Kemudian
segera dilarikan kerumah sakit. Di rumah sakir ia tidak segera mendapatkan pertolongan,
setengah jam meninggal dunia.
Penyidikan dilakukan terhadap pengendara mobil dengan sangkaan kurang hati-hati
menybabkan orang lain meninggal dunia (359). Hasil otopsi menyebutkan bahwa “kematiam
korban, disebabkan karena serangan jantung”. Terbuti secara medid bapak tadi penyakit jantung,
yang sewaktu-waktu dapat kambuh dan menjadi akibat kematiannya. Dengan berdasarkan hasil
otopsi tersebut, penyidikan dihentikan. Akan tetapi hli waris korban tidak menerima penghentian
penyidikan ini, dan mengjukan upaya pra peradilan (77 KUHAP) terhadap penyidik ke
Pengadilan negeri agar pengadilan menetapkan bahwa penghentian penyidikan tidak sah dan
memerintahkan kepada penyidik untuk meruskan penyidikan perkara itu. Pengadilan tentu
mendapatkan kesukaran dalam hal menilai untukmengambil keputusan tentang benar tidaknya
alas an penyidik menhentikan penyidkian, yang berhubungan dengan persoalan yang menjadi
penyebab kematian orang itu.
Peristiwa diatas, merupakan satu contoh yang sulit dalam praktik hokum untuk
menentukan ada tidaknya causal verband antara wujud perbuatan (pada contoh diatas:
mengemudikan kendaraan dengan tiba-tiba menginjak rem) dengan akibat yang timbul yakni
kematian bapak tadi. Apakah yang menjadi penebab kematian bapak tdi? Pada peristiwa di atas,
terdapat beberapa factor yang berpengaruh sehingga pada ujungnya menimbulkan kematian.
Rangkaian faktoe itulah:
1. Korban berbelok kanan-menyebrang dengan tiba-tiba;
2. Pengemudi dengan sekuat tenaga menginjak rem;
3. Adanya bunyi keras dari gesekan ban dengan aspal; menyebabkan
4. Korban terkejut; menyebabkan
5. Kambuhnya penyakit jantung korban;
6. Tidak segera mendapatkan pertolongan medis.
Dalam peristiwa diatas ada 6 faktor yang ikut memengaruhi sehingga pada ujungnya ada
akibat kematian. Dalam hubungannya dengan penetuan pertanggungan jawab pidana, tidak
mudah untuk menentukan factor yang manakah yang menyebabkan kematian. Dalm menhadapi
persoalan mencari dan menetapkan adanya hububungan kausal antara wujud perbuatan dengan
dengan akibat semacam contoh di atas, ajaran kausalitas menjadi oenting. Ajaran kaausalitas
adalah suatu ajaran yang berusaha untuk menacari jawaban dari dari masalah seperti peristiwa di
atas. Ajaran kausalitas dapat membantu para praktisi hokum terutama hakim dalam mencari dan
menetukan ada atau tidak adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat yang
timbul.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hubungan motif (penyebab) dengan tindakan adalah bahwa motif itu merupakan
pendorong bagi pelaku untuk melakukan suatu tindakan. Hubungan tindakan dengan akibat
ialah, bahwa akibat itu dalam beberapa hal merupakan perwujudan dari kwhendak pelaku,
sedangkan dalam hal lainnya, akibat itu ialah merupakan kelanjutan logis dari suatu tindakan
yang merupakan sebab. Dan dapat juga dikatakan sebab akibat dari pelaku, dimana akibat yang
berada diluar kehendak pelaku.
Setiap membicarakan suatu kehendak pidana, maka dalam pembahasan tindak pidana
idak terlepas dari pembahasan sebab akibat, sifat melawan hokum dari tindakan dan kesalahan
yang tercakup dalam tindak pidana tersebut. Bahkan dalam beberapa hal, hubungan sebab akibat,
sifat melawan hokum, dan kesalahan mutlak harus dapat diperhatikan.
Ada beberapa ajaran kausalitas yang dapat dikelompokkan dalan 3 teori besar, yaitu:
Teori Conditio sine qua non, teori-teori yang mengindividualisir dan teori yang menggeneralisir.
Mengenai teori ini dikenal beberapa teori yang berbeda: teori adequate subjektif dan teori
adequate objektif.
DAFTAR PUSTAKA
Saleh, Roeslan, perbuatan pidana dan pertanggungan jawab pidana, Penerbit PT Citra Aditya:
Bandung.
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana 2, Penerbit PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
2002.
Http://www.google.com.