You are on page 1of 10

Hukum

 Classic
 Flipcard
 Magazine
 Mosaic
 Sidebar
 Snapshot
 Timeslide

hukum pidana

hukum pidana
SEBAB AKIBAT (KAUSALITAS) DALAM TINDAK PIDANA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ajaran kausalitas mempunyai sejarah panjang dalam dunia hokum. Meski sebelumnya
ajaran kausalitas lebih popular dalam ranah ilmu pengetahuan alam dan filsafat, kepopuleran
kausalitas merentang dalam listas disiplin ilmu terutama ilmu hokum. Berbeda debgan ilmu alam
yang melihat kausalitas secara umum, hukum melihat hubungan kausalitas dari segi
partikularistik. Hokum berkonsentrasi apakah A mengkibatkan terjadinya kebakaran terhadap B,
dan bukan apakah A mengkibatkatkan kebakaran saja. Dalam ilmu ekonomi dan hokum perdata,
ajaran kausalitas dipergunakan dalam membahas limitasi pertanggung jawaban atas kejahatan
yang mengandung ketidakpastian kausal (kausal uncertainty).
Sebelum hokum pidana mengenal ajaran kausalitas (abad 19), masyarakat memandang bahwa
melukai sebagai satu-satunya penyebab matinya orang. Kemudian muncul pendapat yang lebih
kritis yang mengatakan tidak semua tindakan melukai dapat mengkibatkan kematian tetapi harus
dilihat dulu apkah luka itu menurut sifatnya dapat mengkibatkan matinya orang.
Tidak disangkal lagi, bahwa suatu kejadian atau peristiwa selalu ada penyebabnya.
Apabila ditelusuri penyebab-penyebabnya dari suatu kejadian, dengan menjadikan penyebab
yang terdekat (kepada kejadian) menjadi “kejadian” yang harus dicari lagi penyebabnya maka
tidak akn habis-habisnya.
Apabila diteliti dari hakeka-thakekat penyebab tersebut, akan ternyata bahwa penyebab-
penyebab itu pada suatu saat dapat berupa suatu perbuatan tertentu, pada saat yang lain berupa
kehendak, suatu keadaan, suatu dorongan dan lain sebagainya. Pencarian penyebab tidak terbatas
untuk semua kejadian/peristiwa.
B. Rumusan Masalah
Dalam pandangan common law yang manyoritas mengnut minostis, ajaran kausalitas
berjalin kelindan dengan prinsip pertanggung jawaban pidana. Kendati literature common law
mengakui ajaran kausalitas terdiri dari perbuatab, akibat dan kesalahan (pertanggungjawaban
pidana), pemhasan kausalitas lebih cenderung menitikberatkan pertanggungjawaban pidana
secara tidak seimbang dengan perbuatan dan akibatnya. Ketidakseimbangan ini terjadi lantaran
atribusi pertanggungjawaban dalam kerangka kausalitas lebih sulit dibandingkan tentang
perbuatan.
Pembuat undang-undang tidak merumuskan sesuatu ketentuan dalam KUHP mengenai
sebab akibat. Teteapi dalam beberapa pasal tertentu dalam Undang-Undang Hukum Pidana,
dirumuskan kelakuan-kelakuan (gedragingen) yang merupakan “sebab” (oorzak, causa) dari
suatu akibat tertentu. Misalnya dalam pasal 187 ke-3 KUHP disebutkan: kebakaran, peledakan,
pembanjiran; pada pasal 194 (2) KUHP dicantumkan: membahayakan jalan kereta api yng
digunakan untuk lalu lintas umum, yang merupakan sebab, dan kemudian menimbulkan akibat,
berupa matinya orang dan sebagainya.
Dari uraian diatas, yang jadi permasalahan adalah:
1. Mengapa pentingnya ajaran kausalitas(sebab-akibat) dalam hukum pidana?
2. Apa saja teori-teori dalam hubungan kausalitas?
3. Bagaimana ajaran kausalitas dalam hal perbuatan pasif?
C. Tujuan dan Mamfaat Penulisan
Makalah yang berjudul “Sebab Akibat Tindak Pidana (kausalitas)” ini memiliki tujuan
dan mamfaat penulisan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui hubungan dan menentukan hubungan kausal sbab dan akibat yang berarti
menentukan ada tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana.
2. a. Mamfaat secara teoritis
Penulis berharap kiranya penulisan makalah ini bermamfaat untuk dapat memberikan masukan
sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literature dalam dunia akademis,
khususnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan hubungan sebab akibat (kausalitas) dalam
hokum pidana dan penerapannya dalam praktek.
b. Mamfaat secara praktis
secara praktis penulis berharap agar penulisan makalah ini dapat memberi pengetahuan tentang
bagaimana hubungan sebab akibat (kausalitas) dalam hokum pidana dan penerapannya dalam
praktek.

D. Metode Penelitian
Penelitan dalam makalah ini merupakan penelitian hokum normatif. Penelitian dilakukan
dengan mempelajari berbagai literature dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan permasalahan dalam makalah ini.
Data yang dipergunakan dalam makalah ini adalah data sekunder. Pengumpulan data
dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library Research). Data yang diperoleh kemudian
dianalisis secara kualitif untuk menjawab permasalahan dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hokum pidana Belanda
yaitu”strafbaar feit”, tetapi tidak ada pebjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan
strafbaar feit. Karena itu para ahli hokum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah
tersebut.
Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun
yang ada dalam berbagai literature hokum sebagai terjemahan dari istilah, strafbaar feit, yaitu:
1. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang didefinisikan sebagai perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hokum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Pompe merumuskan bahwa strafbaar feit adalah tindakan yang menurut sesuatu rumusan
undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.
3. Vos merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh
peraturan perundang-undangan.
4. R. Tresna menggunakan istilah peristiwa pidana yaitu suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan
manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya,
terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.
B. Pentingnya Ajaran Kausalitas
Apabila dilihat dari cara peremusannya, maka tindak pidana dapat dibedakan (1) tindak
pidana yang dirumuskan secara formil, disebut dengan tindak pidana formil (formeel delicten),
dan (2) tindak pidana yang dirumuskan secara materil, disebut dengan tindak pidana materil
(materiel delicten).
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang melakukan
tingkah laku tertentu, aratinya dalam rumusan itu secara tegas disebutnya wujud perbuatan
tertentu yang terlarang. Perbuatan tertentu inilan yang menjadi pokok larangan dalam tindak
pidana formil. Dalam hubungannya dengan penyelesaian tindak pidana formil, kriterianya ialah
pada perbuatan yang dilarang tersebut. Apabila perbuatan terlarang selesai dilakukan, maka
selesai pulalah pidana , tanpa melihat atau bergantung pada akibat apa dari perbuatan itu.
Contohnya pencurian (362), apabila perbuatan mengambil selesai, maka pencurian itu selesai.
Penyuapan (209), apabila perbuatan memberi sesuatu atau menjajikan sesuatu sesuatu (pada
pegawai negeri) selesai dilakukan, maka selesai pulalah kejahatan itu.
Sedangkan tindak pidana materil, ialah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang
menimbulkan akibat tertentu disebutakibat terlarang. Titik beratnya larangan pada menimbulkan
akibat terlarang (unsur akibat konstitutif). Walaupun dalam urusan tindak pidana disebut juga
unsure tingkah laku (misalnya menghilangkan nyawa pada pembunuhan: 338, atau
menggerakkan pada penipuan:387), namun untuk penyelesaian tindak pidana tidak bergantung
pada selesainya mewujudkan tinkah laku, akan tetapi apakah dari wujud tingkah laku telah
menimbulkan aibat terlarang ataukah tidk incasu pada pembunuhan (338) hilangnya nywa orang
lain, atau pada penipuan telah telah menimbulkan akibat orang menyerahkan benda , membuat
utang atau menghapuskan piutang. Mewujudkan tingkah laku menhilangkan nyawa, misalnya
dengan wujud konkretnya: menusuk (dengan pisau) tidaklah dengan demikian melahirkan tindak
pidana pembunuhan, apabila dari perbuatan menusuk itu tidak melahirkan akibat matinya
korban. Mewujudkan perbuatan menggerakkan dengan cara-cara seperti serangkaian
kebohongan atau tipu muslihat, tidak demikian terwujudnya penipuan, melainkan tergantung
pada apakah dari wujud perbuatan itu telah menimbulkan akibat orang menyerahkan benda,
membuat hutang ataukah tidak/tidak.
Dalam hal percobaan tindak pidana materil juga digantungkan pada unsure konstitutif,
bukan pada tingkah laku. Tingkah laku misalnya telah melepaskan tembakan, tetapi dari wujud
tingkah laku itu tidak atau belum menimbulkan akibat terlarang yakni matinya korban, maka
yang terjadi barulah percobaaan pembunuhan (338 jo 53). Terwujudnya tindak pidana materill
secara sempurna adalah akibat terlarang telah timbul dari tingkah laku.
Dalam hal terwujudnya tindak pidana materil secara sempurna diperlukan 3 syarat
esensial, yaitu:
1. Terwujudnya tingkah laku;
2. Terwujudnya akibat (akibat konstitutif atau constietutief gevolg); dan
3. Ada hubungan kausal (causal verband) antara wujud tingkah laku dengan akibat konstitutif.
Tiga syarat itu ialah satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk terwujudnya tindak
pidana materil. Untuk menentukan (dalam praktek digunakan istilah untuk membuktikan)
terwujudnya tingkah laku untuk dengan terwujudnya akibat, tidak terdapat kesukaran.
Contohnya, seorang bapak mengenderai sepeda motor hendak menyebrang mengambil
jalur yang lain dengan berbelok ke kanan tanpa memperhatikan kendaraan dari arah belakang,
dan ketika itu ada sebuah mobil yang melaju dari arah belakang. Menghadapi kendaraan seperti
itu sipengendara mobil menginjak rem sekuat tenaga sehingga mengeluarkan suara gesekan ban
di jalan yang keras, yang menyebabkan bapak tadi terkejut. Walaupun mobil tidak sampai
menabrak/membentur keras sepeda motor, namun tiba-tiba didepan mobil yang telah berhenti
dan masih duduk diatas sadel sepeda motornya, bapak itu rubuh dan jatuh pingsan. Kemudian
segera dilarikan kerumah sakit. Di rumah sakir ia tidak segera mendapatkan pertolongan,
setengah jam meninggal dunia.
Penyidikan dilakukan terhadap pengendara mobil dengan sangkaan kurang hati-hati
menybabkan orang lain meninggal dunia (359). Hasil otopsi menyebutkan bahwa “kematiam
korban, disebabkan karena serangan jantung”. Terbuti secara medid bapak tadi penyakit jantung,
yang sewaktu-waktu dapat kambuh dan menjadi akibat kematiannya. Dengan berdasarkan hasil
otopsi tersebut, penyidikan dihentikan. Akan tetapi hli waris korban tidak menerima penghentian
penyidikan ini, dan mengjukan upaya pra peradilan (77 KUHAP) terhadap penyidik ke
Pengadilan negeri agar pengadilan menetapkan bahwa penghentian penyidikan tidak sah dan
memerintahkan kepada penyidik untuk meruskan penyidikan perkara itu. Pengadilan tentu
mendapatkan kesukaran dalam hal menilai untukmengambil keputusan tentang benar tidaknya
alas an penyidik menhentikan penyidkian, yang berhubungan dengan persoalan yang menjadi
penyebab kematian orang itu.
Peristiwa diatas, merupakan satu contoh yang sulit dalam praktik hokum untuk
menentukan ada tidaknya causal verband antara wujud perbuatan (pada contoh diatas:
mengemudikan kendaraan dengan tiba-tiba menginjak rem) dengan akibat yang timbul yakni
kematian bapak tadi. Apakah yang menjadi penebab kematian bapak tdi? Pada peristiwa di atas,
terdapat beberapa factor yang berpengaruh sehingga pada ujungnya menimbulkan kematian.
Rangkaian faktoe itulah:
1. Korban berbelok kanan-menyebrang dengan tiba-tiba;
2. Pengemudi dengan sekuat tenaga menginjak rem;
3. Adanya bunyi keras dari gesekan ban dengan aspal; menyebabkan
4. Korban terkejut; menyebabkan
5. Kambuhnya penyakit jantung korban;
6. Tidak segera mendapatkan pertolongan medis.
Dalam peristiwa diatas ada 6 faktor yang ikut memengaruhi sehingga pada ujungnya ada
akibat kematian. Dalam hubungannya dengan penetuan pertanggungan jawab pidana, tidak
mudah untuk menentukan factor yang manakah yang menyebabkan kematian. Dalm menhadapi
persoalan mencari dan menetapkan adanya hububungan kausal antara wujud perbuatan dengan
dengan akibat semacam contoh di atas, ajaran kausalitas menjadi oenting. Ajaran kaausalitas
adalah suatu ajaran yang berusaha untuk menacari jawaban dari dari masalah seperti peristiwa di
atas. Ajaran kausalitas dapat membantu para praktisi hokum terutama hakim dalam mencari dan
menetukan ada atau tidak adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat yang
timbul.

C. Macam-Macam Ajaran Kausalitas


Ada beberapa macam ajaran kausalitas, yang dapat dikelompokkan kedalam 3 teori yang
beasar, yaitu:
1. Teori Conditio Sine Qua Non
Teori berasal dari Von Buri, seorang ahli hkum jerman yang pernah menjabat sebagai
Presiden Reichtgetricht (Mahkamah Agung Jerman), yang menulis dua buku mengenai hokum
ialah (1) Uber Kausalitat und deren Verantwortung, dan (2) Die Kausalitat und ihre
Strafrechtliche Beziebungen. Tentang ajaran yang pertama kali dicetuskan oleh beliau dalam
tahun 1873 ini, menyatakan bahwa penyebab adalah semua factor yang ada dan tidak dapat
dihilangkan untuk menumbulkan suatu akibat.
Menurut teori ini, tidak membedakan mana factor syarat dan yang yang mana factor
penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam sutu peristiwa sehingga melahirkan suatu
akibat adalah termasuk menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, menurut teori ini, keenam factor
yang menjadi contoh dalam peristiwa matinya bapak tadi, di antara sekian dari serangkaian
factor, tidak ada yang merupakan syarat, semuanya menjadi factor penyebabnya. Semua factor
dinilai sama pengaruhnya atau andil/perananya terhadap timbulnya akibat yang dilarang. Tanpa
salah satu atau dihilangkannya salah satu dari rangkaian factor tersebut tidak akan terjadi akibat
menurut waktu, tempat dan keadaan senyatanya dalam peristiwa itu.
Teori ini disebut juga dengan teori ekivalensi (aquivelenz-theorie) atau bedingungtheorie.
Disebut dengan teori ekivalensi, karena ajaran von Buri ini menilai semua factor adalah sama
pentingnya terhadap timbulnya suatu akibat. Disebut dengan bedingungstheorie oleh karena
dalam ajran ini tidak membedakan anatara factor syarat (bedingung) dan mana factor penyebab
(causa).
2. Teori-teori Yang Mengindividualisir
Teori yang mengindividualisir, ialah teri yang dalam usahanya mencari factor penyebaba
dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada factor yang ada atau terdapat setelah
perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar-benar terjadi
secara konkret (post factum). Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi. Maka diantara sekian
rangkaian factor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya merupakan factor penyebab.
Factor penyebab itu adalah hanya berupa factor yang paling berperan atau dominan atau
mempunyai andil yang paling kuat terhadap timbulnya suatu akibat, sedangkan factor lain adalah
dinilai sebagai factor syarat saja dan bukan factor penyebab. Pendukung yang
mengindividualisir ini antara lain Birkmeyer dan Karl Binding.
Menurut Birkmeyer (teorinya d’sebut dengan de meest werkzame factor): tidak semua
factor yang tidak bias dihilangkan dapat dinilai sebagai factor penyebab, melainkan hanya
terhadap factor yang menurut kenyataannya setelah peristiwa itu terjadi secara konkret (post
factum) adalah merupakan factor yang paling dominan atau paling kuat pengaruhnya terhadap
timbulnya akibat. Menurut pendapat ini pada contoh diatas tadi, setelah peristiwa terjadi beserta
akibatnya, maka dicari dan dinilai diantara serangkaian factor yang berkaitan dengan kematian
itu, kiranya factor “serangan penyakit” jantunglah yang paling dominan peranannya terhadap
kematian itu. Apabila ajaran Birkmeyer digunakan pula pada peristiwa ini, maka perbuatan
pengendara mobil menginjak rem dengan kuat yang menimbulkan suara keras dari gesekan ban
dengan aspal, bukanlah sebagai factor penyebab matinya korban itu, tetapa sebagai factor syarat
saja. Karenanya dari sudut hokum pidana dia tidak bertanggung jawab atas kematian itu.
Walaupun teori ini lebih baik dari pada yang sebelumnya, pada teori yang
mengindividualisir ini terdapat kelemahan berhubung adanya kesulitan dalam dua hal, yaitu:
1. Dalam kriteria untuk menentukan factor mana yang mempunyai pengaruh yang paling kuat, dan
2. Dalam apabila factor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu dan sama kuat pengaruhnya
terhadap akibat yang timbul.
Oleh karena terdapat kelemahan-kelemahan itu, menimbulkan rasa ketidakpuasan bagi
sebagian ahli hokum terhahadap tori-teori yang mngindividualisir, maka timbullah teori-teori
yang menggeneralisir.
3. Teori-teori Menggeneralisir
Teori yang menggeneralisir adalah teri yang dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian
factor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat adalah dengan melihat dan
menilai pada factor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada
umumnya dapat menimbulkan suatu akibat. Jadi mencari factor penyebab dan menilainya tidak
berdasarkan pada factor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapai pada pengalaman
pada umumnya menurut akal dan kewajaran manusia atau disebut secara abstracto, tidak secara
inconcrito.
Penggunaan teori ini dapat diberikan contoh ialah, karena jengkel kepada bawahannya
yang berbuat salah, bawahannya itu ditempelengnya dengan tangan kosong yang secara wajar
menurut akal dan pengalaman orang pada umumnya tida akn menimbulkan kematian, tetapi
kemudian korban pingsan dan meninggal. Menurut teori ini, kematian bawahan ini bukan
disebabkan oleh perbuatan menempeleng oleh atasannya, karena secara wajar dan akal serta
pengalaman orang pada umumnya perbuatan memenpeleng tidaklah menimbulkan akibat
kematian. Kematian itu mestilah diakibatkan oleh selain perbuatan menempeleng, mungkin
karena sebab penyakit seperti jantung atau darah tinggi. Perbuatan menempeleng sekadar factor
syarat belaka.
Persoalannya ialah bagaimana cara menentukan, bahwa suatu sebab itu pada umumnya
secara wajar dan menurut akal dapat menimbulkan suatu akibat? Membahas mengenai persoalan
ini, maka timbullah dua pendirian, yakni pendirian yang subjektif yang disebut dengan teori
adequate subjektif, dan pendirian objektif yang kemudian disebut dengan teori adequate objektif.
a. Teori Adequat Subjektif
teori adequate subjektif dipelopori oleh J. Von Kries, yang menyatakan bahwa factor
penyebab adalah factor yang menuntut kejadian yang normal adalah adequqt (sebanding) atau
layak dengan akibat yang timbul, yang factor mana diketahui atau disadari oleh si pembuat
sebagai adequate untuk menimbulkan akibat tersebut. Jadi dalam teori ini factor subjektif atau
sikap batin sebelum sipembuat berbuat adalah amat penting dalam menentukan adanya hubungan
kausal, sikap batin mana berupa pengetahuan (sadar) bahwa perbuatan yang akan dilakukan itu
adalah adequate untuk menimbulkan akibat yang timbul, dan kelayakan ini harus didasarkan
pada pengalaman manusia pada umumnya.gan teori
Oleh karena ajaran von Kries dalam mencari factor penyebab itu adalah pada
dibayangkannya dapat menimbulkan akibat, maka disebut juga dengan teori subjective
progenose (peramalan subjektif).
Pada contoh diatas tentang meninggalnya bapak pengidap penyakit jantung tadi, menurut
teori adequate subjektif, maka pengendara mobil tidaaklah dapat dipersalahkan atas kematian
bapak tadi, karena factor menginjak rem dan demikiana menimbulkan suara (gesekan ban
dengan aspal) tidak dapat dibayangkan pada umumnya adequate untuk menimbulkan kematian
orang.
b. Teori Adequat Objektif
berbeda dengan teori dari von Kries yang dalam hal mencari factor penyebab itu pada
kesadaran sipembuat bahwa pada kejadian normal pada umumnya factor itu layak atau sebanding
untuk menimbulkan suatu akibat. Pada ajaran adequate objektif ini, tidak memperhatikan
bagaimana sikap batin sipembuat sebelum berbuat, akan tetapi pada factor-faktor yang ada
setelah (post factum) peristiwa senyatanya beserta akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan secara
akal (objektif) factor-faktor itu dapat menimbulkan akibat. Tentang bagaimana alam
pikiran/sikap batin sipembuat sebelum ia berbuat tidakalah penting, melainkan bagaimana
kenyataan setelah peristiea terjadi beserta akibatnya, apakah fakator tersebut meneurut akal dapat
dipikirkan untuk menimbulkan akibat.
Untuk lebih jelasnya tentang perbedaan anatara teori adequat subjektif dengan teori
adequate objektif serta penerapannya, sungguh tepat contoh yang diberikan oleh Prof. Moeljatno
di bawah ini.
Seorang juru rawat telah dilarang oleh dokter untuk memberikan obat tertentu pada
seorang pasien, diberikan juga olehnya. Sebelum obat itu diberikan pada pasien, ada orang lain
yng bermaksud membunuh sipasian dengan memasukkan racun pada obat itu yang tidak
diketahui oleh juru rawat. Karena meminum obat yamh telah dimasuki racun, maka racun itu
menimbulkan akibat matinya pasien.
Menurut ajaran von Kries (adequate subjektif), karena juru rawat tidak dapat
membayangkan atau tidak mengetahui perihal dimasukkannya rancun pada obat yang dapat
menimbulkan kematian jika diminum, maka perbuatan meminumkan obat pada pasien bukanlah
penyebab kematian pasien. Perbuatan meminumkan obat dengan kematian tidak ada hubungan
kausal atau hubungan sebab-akibat.

D. Ajaran kausalitas Dalam Hal Perbuatan Pasif


Dilihat dari macam unsure tingkah lakunya, tindak pidana dibedakan antara tindak pidana
aktif atau tindak pidana positif (tindak pidana commissi) dan tindak pidana pasif atau tindak
pidana negative (tindak pidana omisi). Tindak pidana omisi adalah tindak pidana yanf
terwujudnya oleh sebab perbuatan pasif atau tidak berbuat aktif, tidak berbuat mana melanggar
suatu kewajiban hokum (rechtsplicht) untuk berbuat sesuatu. Barangsiapa oleh hokum
diwajibkan untuk melakukan suatu perbuatan dimana ia tidak mwlakukannya misalnya
membiarkan (304) atau tidak dating (522), atau seorang ibu dengan maksud membunuh
suaminya sengaja tidak menyusuinya (wujud dari perbuatan menghilangkan nyawa secara pasif
dari 338), maka dia telah melakukan tindak pidana pasif.
Apakah ajaran kausalitas berlaku juga pada tindak pidana pasif? Untuk tindak pidana
pasif murni (eigenlijke omissie delicten) tidaklah merupakan persoalan, oleh sebab tindak pidana
pasif murni itu adalah murni berupa tindak pidana formil, yang dalam hal terwujudnya tidak
penting akibat, atau tidak bergantung pada akibat, misalnya pada pasal 304 atau 522. Dengan
terwujudnya perbuatan membiarkan (304) atau tidak dating (522) tindak pidana itu telah terjadi
secara sempurna. Lain halnya dengan tindak pidana pasif yang tidak murni (oneigenlijke omissie
delicten atau comissionis per ommisionem commissa). Tindak pidan pasif yang tidak murni
adlah berupa tindak pidana pasif yang terjadi pada tindak pidana materil. Sebagaimana diketahui
bahwa pada tindak pidana materil tertentu dapat terjadi dengan tidak berbuat, seperti pada contoh
diatas “tidak menyusui”, yang dapat menimbulkan kematian bayi yang wajib disusui oleh
seorang ibu yang melahirkannya. Terwujudnya perbuatan tidak menyusui (wujud perbuatan
menghilangkan nyawa pada 338) tidak dengan demikian otomatis menimbulkan akibat kematian
pada bayinya, mungkin pada saat setelah beberapa hari tidak disusui (perbuatan tidak menyusui
telah selesai), teteapi bayinya belom meninggal, bias jadi sedang sekarat yang kemudia diketahui
orang dan lalu segera dilakukan pertolongan medis, maka bayinya tidak mati, maka yang terjadi
adalah berupa percobaan pembunuhan (338 jo 53).
E. Contoh-contoh Kasus
1. kasus yang disidangkan di pengadilan Nederland pada tahun 1939.
Dalam kasus itu diceritakan bahwa:
“suami A, dituduh menganiaya istrinya, yaitu memukul kepalanya dengan selop
kemudian meninggal dunia sehingga melakukan perbuatan pidana termaktub dalam pasal 351
ayat 3 KUHP. Yang menjadi soal ialah apakah ada hubungan kausal antara pemukulan dengan
selop dan matinya istrinya tersebut tadi. Setelah pengadilan memeriksa barang bukti selop dan
bahwa benda selop tersebut adalah selop biasa saja, jadi misalnya bukan selop yang memakai
hak tebal dan berlapis besi, memutuskan bahwa pemukulan dengan selop biasa, sekalipun
dengan jarak dekat dibagian kepala, tidak mampu dan tidak wajar untuk menyebabkan maut,
sehingga perbuatan tersebeut tidak adekuat kausal dengan akibat tadi, dan terdakwa harus dilepas
dari tuntutan hokum. Karena pihak penuntut umum naik banding, maka perkara maju
kepegadilan tinggi. Di sini diadakan approach atau tanggapan lain. Bukan saja wujudnya selop
dan cara memukulnya yang dimasukkan dalam pertimbangan tetapi juga keadaan korban.
Menurut keterangan keahlian dari dokter (visum et repertum) ternyata wanita tersebut
mempunyai tulang kepala yang dinamakan “eierschedel”, tulang kepala telur, dan selop tersebut
justru mengenai tempat dimana tulangnya sangat tipis. Mengingat kenyataan ini, maka menurut
pengadilan tinggi si istri adalah akibat pemukulan selop oleh terdakwa, sehingga pasal 351 ayat 3
dapat dikenakan kepadanya”.
2. Putusan Raan Van Justitie Batavia 23 Juli1973.
Sebuah mobil menabrak pengendara sepeda motor. Pengendara sepeda motor tersebut
terpental keatas rel dan seketika itu ia dilindas oleh kereta api. Terlindasnya pengendara sepeda
motor oleh kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai akibat langsung dan segera dari
penabrakan sepeda motor oleh mobil. Maka matinya sikorban dapat dipertanggung jawabkan
atas kesalahan terdakwa (pengendara mobil).
3. Putusan Politierecter Bandung 5 April 1933.
Seorang ayah yang membiarkan anaknya yang berumur 14 tahun mengendarai sepeda
motornya. Anak tersebut menabrak orang. Di sini perbuatan ayah dapat disebut syarat
(voorwaarde) dari tabrakan itu, akan tetapi tidak disebut sebagai sebab dari tabrakan itu, oleh
karena perbuatan ayah dengan tabrakan itu tidak ada hubungan kausal yang langsung.
4. Putusan Pengadilan Negeri Pontianak 7 Mei 1951, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.
Terdakwa sebagai kerani bertanggung jawab atas tenggelamnya satu kapal yang
disebabkan oleh terlalu berat muatannya dan yang mengakibatkan 7 orang meninggal dunia, oleh
karena terdakwa sebagai orang yang mengatur pemasukan barang-barang angkutan dalam kapal
in casu tidak mempedulikan peringatan-peringatan dari berbagai pihak tentang terlalu beratnya
muatan pada waktu kapal akan berangkat. Di dalam pertimbangan juga disebutkan bahwa
perbuatan terdakwa, mempunyai hubungan erat dengan kecelakaan itu.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hubungan motif (penyebab) dengan tindakan adalah bahwa motif itu merupakan
pendorong bagi pelaku untuk melakukan suatu tindakan. Hubungan tindakan dengan akibat
ialah, bahwa akibat itu dalam beberapa hal merupakan perwujudan dari kwhendak pelaku,
sedangkan dalam hal lainnya, akibat itu ialah merupakan kelanjutan logis dari suatu tindakan
yang merupakan sebab. Dan dapat juga dikatakan sebab akibat dari pelaku, dimana akibat yang
berada diluar kehendak pelaku.
Setiap membicarakan suatu kehendak pidana, maka dalam pembahasan tindak pidana
idak terlepas dari pembahasan sebab akibat, sifat melawan hokum dari tindakan dan kesalahan
yang tercakup dalam tindak pidana tersebut. Bahkan dalam beberapa hal, hubungan sebab akibat,
sifat melawan hokum, dan kesalahan mutlak harus dapat diperhatikan.
Ada beberapa ajaran kausalitas yang dapat dikelompokkan dalan 3 teori besar, yaitu:
Teori Conditio sine qua non, teori-teori yang mengindividualisir dan teori yang menggeneralisir.
Mengenai teori ini dikenal beberapa teori yang berbeda: teori adequate subjektif dan teori
adequate objektif.

DAFTAR PUSTAKA
Saleh, Roeslan, perbuatan pidana dan pertanggungan jawab pidana, Penerbit PT Citra Aditya:
Bandung.
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana 2, Penerbit PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
2002.
Http://www.google.com.

You might also like