You are on page 1of 15

Local Bossism : Indonesia dan Thailand dalam Perspektif Komparatif

16 April 2012 10:53 Diperbarui: 25 Juni 2015 06:33 515 0 0

Abstract
At the end of twentieth century democratization deemed, either by political elites or society
as a whole, as panacea in crafting democratic polity. Political reform deliberately enacted,
constitution was amended and martial law was revoked. Through the same vein,
decentralisation and good governance were considered as catalyst to foster a more
democratic, responsive and accountable local government underpinned by societal
participation. On contrary, it created a seedbed for a handful of elites to regained their
position through democratic means. However, this new democratic polity was enciting old
preponderant societal power who remain intact after political reform to got theirself
participated in. By and by, democratization was hijacked by spurious societal power,
notorious old political elites who adroitly adapt in new democratic polity with new
innocent images, by tacitly exercising rent-seeking activities or monopolizing (black)
economy in their personal bailiwicks. All in all, lack of law enforcement, authoritarian
inheritance or what is to be called as patrimonialistic relations amidst elites were
considered to be the crucial factor in bolstering up such condition. Hence, it is tantalising to
compare how local bossism, a novel concept coined by Sidel, prevails in Indonesia and
Thailand. Indeed, historical explanations of socio-political configuration is necessary to
make this phenomenon come to light. In this paper, I purport to revise Sidel’s thesis on local
bossism in Indonesia.

Kata Kunci : local bossism, democratic transition, illiberal democracy, patrimonialism and
good governance
Latar Belakang

Pada penghujung abad dua puluh demokrasi telah menjadi pilihan dari elit maupun
masyarakat yang merindukan terwujudnya masyarakat yang terbuka. Rezim otoritarian
yang korosif telah mengikis terlalu lama kebebasan sipil. Selain itu, demokratisasi dianggap
menjadi alternatif bagi negara dunia ketiga yang mengalami krisis. Sejarah telah
menunjukkan bahwa demokratisasi di regional Asia Tenggara telah menempuh trajektori
yang hampir serupa, krisis politik dan ekonomi telah menjadi katalisator bagi runtuhnya
otoritarianisme. Namun demikian, sebagaimana yang umumnya terjadi pada negara-negara
Asia Tenggara, dan ironisnya, demokratisasi tidak diikuti dengan konsolidasi demokrasi,
menuju pada zona abu-abu yang umumnya kurang mendapatkan perhatian oleh para
penganjurnya.

Disisi lain, pemerintahan yang sentralistik, yang identik dengan pemerintahan otoritarian
perlu disusun ulang sesuai dengan kepentingan masyarakat lokal, pihak yang kurang
dilibatkan dalam perumusan kebijakan. Sejalan dengan ini, desentralisasi dianggap sebagai
seperangkat kelembagaan yang paling tepat dalam mewujudkan masyarakat yang
demokratis, responsif dengan mendekatkan negara dengan masyarakat. Demokrasi dengan
desentralisasi sebagai panacea, khususnya yang terjadi pada kedua negara yang akan
menjadi fokus dalam tulisan ini, Thailand dan Indonesia, memiliki kecenderungan untuk
dibajak oleh kepentingan-kepentingan predatoris yang mampu secara cekatan beradaptasi
dengan lingkup politik baru yang demokratis.

Sebenarnya ada banyak aspek turunan dari argumen bahwa demokrasi kedua negara
cenderung hanya menjadi panggung dari pementasan aktor-aktor dengan masing-masing
kepentingannya yang haus terhadap kekayaan dan kekuasaan, namun pada konteks ini
penulis hanya membatasi pada naiknya kekuatan-kekuatan sosial (aktor) yang sebelumnya
terbungkam oleh cengkraman kuat rezim represif otoritarian.
Pada kasus Thailand, kekuatan sosial yang memperoleh kekuasaan lebih besar adalah chao
pho , sekelompok mafia yang memperoleh manfaat cukup besar dari hubungan klientalistik
dengan penguasa politik. Disisi lain, jika mengacu pada kasus Indonesia kekuatan sosial
yang ada lebih kurang nampak secara jelas jika mengacu pada politik lokal. Berdirinya
dinasti politik di beberapa daerah telah menjadi sebuah bukti yang menjadi jelas dengan
sendirinya. Berdasarkan penjabaran diatas maka dua jenis pertanyaan dengan demikian
muncul, yaitu; Bagaimana konfigurasi sosial dan politik di masing-masing negara sehingga
memungkinkan naiknya aktor-aktor lokal ‘bos-bos lokal’ ? Lalu berdasarkan analisa, apa
yang membedakan antara local bossism di Thailand dengan di Indonesia?

Kerangka Konseptual

Sebelumnya penting untuk dipahami bahwa tulisan ini banyak mengacu pada tulisan John
Sidel (2005), namun penting untuk dipahami bahwa percepatan arus perubahan sosial dan
politik selama beberapa tahun terakhir membuat fondasi dari beberapa tesis Sidel kurang
dapat lagi dipertahankan pada titik tertentu. Tulisan ini adalah semacam sedikit revisi atas
tesis Sidel mengenai fenomena bos lokal, khususnya yang terjadi di Indonesia.
Secara konseptual perlu bagi penulis untuk membahas atau mengulas pembahasan
mengenai apa yang dimaksudkan dengan bossism. Bossism, secara konseptual adalah
istilah yang muncul dari kritik Sidel atas ‘Local Strongmen’ Joel Migdal. Analisa migdal
didasarkan pada studi empiris yang ditemukan pada negara poskolonial pada dekade 1970,
temuan Migdal menunjukkan bahwa dalam weak state ternyata terkandung strong society
yang didominasi oleh elit tradisional dan local strongmen.

Setidaknya ada tiga proposisi yang diajukan oleh Migdal dalam meninjau konsep ini,
pertama, Local Strongmen hanya dapat berdiri jika tidak terdapat kontrol sosial yang kuat,
fragmentasi atas kontrol memungkinkan aktor ini dapat bergerak bebas dalam memperluas
wilayah kekuasaan, termasuk ‘bekerjasama’ dengan elit negara ataupun birokrat lokal.
Kedua, local strongmen umumnya memiliki strategi bertahan dengan menguasai hajat
hidup penduduk lokal, yang berdasarkan kondisi ini ia memperoleh basis legitimasi yang
kuat di kalangan grassroot. Ketiga, pembangunan nasional seringkali terhambat dengan
eksistensi local strongmen, kasus yang bagi Migdal banyak terjadi di negara dunia ketiga.
Lalu apa yang dimaksudkan dengan Bossism oleh Sidel? Karena perbedaan karakteristik di
beberapa negara yang diteliti (Filipina, Indonesia dan Thailand), konsep ini jadi memiliki
karakteristik yang beragam di masing-masing negara. Namun secara umum, bos lokal
adalah local power broker yang memperoleh posisi monopoli terhadap kekerasan dan
sumber daya ekonomi dalam wilayahnya masing-masing seperti penguasaan atas kontrak
infrastruktur, kontrak pertambangan atau penebangan kayu, perusahaan transportasi atau
aktifitas ekonomi ilegal termasuk diantaranya kemampuan untuk memobilisasi suara dan
vote buying. Konsep boss, berbeda dari patron, karena tingkat monopoli diperoleh melalui
koersi sebagai pilar utama, dan disisi lain otoritas bos, tidak bergantung pada afeksi dan
status, melainkan atas dasar hasrat untuk bertindak. Berbeda dari local strongmen yang
berada di laur jangkauan ‘weak state’ , local bossism menggunakan dan bergantung pada
agen dan sumberdaya milik negara.

Satu hal yang menjadi kelemahan argumen Sidel, berhadapan dengan perubahan sosial
yang terjadi, adalah bahwa dalam konteks Indonesia, dinasti politik atau orang kuat lokal
menjadi tidak mungkin memperoleh tempat. Baginya konsep seperti mafia lokal menjadi
lebih tepat untuk Indonesia karena pervasif, fluid, dan lebih longgar karena mafia lokal
dapat didefinisikan sebagai pejabat lokal dan pengusaha. Selain itu, konsep seperti neo-
patrimonialisme kurang mendapatkan perhatian serius dalam analisa Sidel mengenai
Indonesia. Kenyataan menunjukkan bahwa dinasti politik, yang dibangun berdasarkan
nilai-nilai neo-patrimonial, telah menjamur di beberapa daerah, dasar inilah yang menjadi
sebagian dari titik pembahasan dalam analisa.

Selain Local Bossism agaknya cukup tepat jika menggunakan kerangka konseptual yang
dikembangkan oleh Vedi dalam melihat desentralisasi di Indonesia. Bagi Vedi,
desentralisasi dan good governance yang menjadi dasar pertimbangan pemerintah dan
lembaga donor bukanlah tanpa resiko, kenyataan menunjukkan bahwa dengan terdapatnya
devolusi kekuasaan ke daerah, maka desentralisasi korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi
tidak terhindarkan.

Diterapkannya desentralisasi, sebagaimana yang telah banyak diprediksi sebelumnya, telah


melahirkan berbagai kekuatan predator lokal yang berusaha untuk membajak
desentralisasi dengan politik uang, kekerasan dan pemaksaan melalui premanisme politik.
Mereka adalah aktor yang terinkubasi oleh rezim represif Orde Baru, ketika keterbukaan
politik melalui cara-cara demokratis telah tersedia, kelompok ini dengan mudah
menyesuaikan diri dengan aturan main yang berlaku. Demokrasi dalam definisinya yang
minimal sebagaimana yang dinyatakan oleh Schumpeter, terdapatnya pemilu yang bebas
dan adil, tidak memiliki relevansi dengan kedua negara yang menjadi perbandingan disini.
Satu faktor yang luput dari analisa Schumpeter bahwa kekuatan-kekuatan sosial memiliki
pengaruh dalam membentuk corak demokrasi. Selain itu, penting untuk diingat bahwa
konsep oligarki tidak menjadi perhatian dalam tulisan ini, penggunaan dua konsep yang
hampir serupa sekaligus dapat mengaburkan analisa.

Konvergensi Predatoris Thailand : Parlemen dan chao pho

Dalam banyak hal, Thailand memiliki berbagai kesamaan dengan Indonesia, khususnya jika
mengacu pada kondisi kontemporer politik kedua negara. Namun demikian, agaknya masih
jarang sarjana yang melakukan studi perbandingan antara kedua negara. Jika dilihat dari
lensa desentralisasi, Thailand nampak hampir serupa, dan barangkali cenderung lebih
buruk dari pada kasus di Indonesia, bahwa desentralisasi di Thailand tidak membawa
dampak apapun. Temuan menunjukkan bahwa selain terdapatnya bossism, politik di
Thailand juga ditandai dengan dinasti politik- penempatan keluarga atau kerabat dalam
jajaran pejabat publik untuk memperoleh kekuasaan lebih besar, selain itu tidak dapat
perubahan yang berarti dalam jajaran pejabat birokrasi dan kabinet ketika desentralisasi
telah digulirkan.

Inter alia, Ruth Mcvey adalah salah satu scholar yang mengkaji cukup dalam mengenai
politik lokal di Thailand, khususnya dalam mengamati mafia politik Thailand atau apa yang
kerap disebut sebagai chao pho. Mcvey pernah memetakan genealogi kelompok chao pho,
dalam studinya ia memetakan tiga tahapan bagi pertumbuhan chao pho. Pertama, sebelum
tahun 1960. Setidaknya ada dua kondisi yang memungkinkan kemunculan chao pho,
pertama adalah budaya masyarakat di tingkat lokal yaitu budaya masyarakat yang
cenderung mengidolakan tipologi pemimpin lokal yang memiliki keberanian, kesiapan
untuk bertempur, kesetiaan pada kawan dan kepatuhan dan penghargaan pada pemimpin
feudal dan orang tua.

Kedua, walaupun reformasi pemerintahan Raja Chulalongkorn telah digulirkan sejak akhir
abad ke-19, pengawasannya di tingkat pedesaan atau daerah pedalaman sangat jauh dari
efektif. Penting untuk dipahami bahwa pada konteks ini peran chao pho menjadi sangat
menentukan sebagai aktor yang menjadi perantara antara pemerintahan pusat dengan
daerah pinggiran.

Pada periode kedua yaitu berkisar antara dekade 1960 hingga awal 1970-an, penting untuk
dipahami bahwa sebelumnya Thailand, sebagaimana yang terjadi di Indonesia pada masa
Orde Baru, ditandai dengan berkuasanya pemerintahan birokratis pada dekade 1970.
Pemerintahan diisi oleh birokrat sipil dan militer sekaligus yang menjadi inti dari kekuatan
kelompok elit Thailand. Bagaimanapun juga, pemerintahan birokratis yang sentralistik
telah memberikan landasan embrionik bagi penguatan pengaruh kekuatan local power
broker di tingkat lokal. Ditunjang dengan tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi,
kelompok kelas menengah perkotaan secara perlahan mulai tumbuh, termasuk
pertumbuhan di tingkat pedesaan.

Perubahaan cukup penting telah terjadi di wilayah pedesaan, telah terjadi transformasi dari
pemilik tanah kecil, pemberi pinjaman, dan pemilik penggilingan beras menjadi pengusaha
tingkat provinsi yang memiliki beragam kepentingan. Inilah yang menjadi embrio awal
bagi tumbuhnya pengusaha di tingkat lokal, yang pada gilirannya akan menjadi penguasa di
tingkat nasional. Bagaimanapun juga tingkat kemajuan ekonomi yang pesat tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh investasi yang masif dari Amerika Serikat, dan disisi lain, chao
pho memanfaatkan peluang besar ini dengan meletakan diri mereka dalam jabatan publik
di tingkat lokal.

Periode ketiga dimulai ketika militer mulai mundur dari puncak kekuasaan pada tahun
1973. Sebagai konsekuensi dari adanya faksi dalam tubuh militer, maka usaha militer untuk
kembali menyusun kembali pemerintahan birokratis memperoleh hambatan yang cukup
berarti. Kondisi ini pada gilirannya memungkinkan parlemen memperoleh kewenangan
dan kekuasaan yang cukup besar. Dengan beralihnya kekuasaan ke tangan politisi sipil,
maka poros hubungan patronase juga turut mengalami pergeseran. Akhirnya perhatian
para pengusaha seperti pengusaha agrobisnis, perbankan, komersial dan industri beralih
pada anggota parlemen, baik melobi maupun berpartisipasi untuk mencapai posisi sebagai
anggota parlemen. Bagi sidel, dengan letak konstituen yang berada di tingkat pedesaan,
maka tidak mengherankan bahwa pada tahun 1990, hampir dari setengah anggota kabinet
adalah pengusaha provinsi yang bonafit.

Periode ini telah menjadi periode pematangan bagi chao pho untuk berkontestasi dalam
pemberian ‘jasa’ di tingkat nasional. Bagaimanapun juga chao po cukup memiliki peran
yang cukup determinan dalam penentuan arah politik nasional, tentu saja secara illegal,
melalui pengamanan pemilu bagi calon anggota parlemen dan intimidasi politik. Berkaitan
dengan intimidasi, secara kekuatan fisik chao pho dipersenjatai, membuat kelompok ini
cukup berbahaya. Selain itu, kekuasaan non-fisik chao-pho dapat dilihat dari
kemampuannya mengontrol sekitar tujuh anggota parlemen nasional sebagai klien, seperti
yang terlihat pada kasus Kamnan Poh yang melakukan pemerasan atas pajak kendaraan
bermotor, penyelundupan minuman keras dan senjata, penjualan manusia, perjudian,
mengoordinasi hitmen, dan berbagai pelanggaran berat lainnya. Kemampuan chao pho
mengelola sedemikian besar bisnis illegal sekaligus dipersenjatai memiliki keidentikan,
meskipun tidak terlalu besar dalam jumlah kekayaan, dengan oligarki sultanistik di Filipina.

Kekuatan lain yang penting untuk dipertimbangkan adalah kemampuan chao pho untuk
memobilisasi suara. Ada beberapa cara bagi chao pho untuk memobilisasi suara seperti
melalui pemaksaan, intimidasi dan iming-iming melalui hiburan sekaligus pemberian uang
bagi penduduk desa. Pada konteks ini, chao pho memperoleh keuntungan dengan
menyumbangkan suara bagi klien atau dirinya sendiri jika diperlukan. Imbalan yang
setimpal atas jasa mobilisasi suara dapat berupa kemudahan akses dan perlindungan
terhadap kontrak pertambangan, ekstraksi batu, illegal logging, perjudian, penyelundupan
dan bisnis illegal lainnya. Selain itu, faktor kultural juga menyumbangkan pengaruh yang
cukup besar pada proses vote buying. Budaya seperti bunkhun, serupa dengan nilai balas
budi atas kebaikan orang lain termasuk uang sogokan pemilu, masih mengakar cukup kuat
pada masyarakat pedesaan dengan tingkat pendidikan yang terbatas, memudahkan para
chao pho untuk mendulang dukungan di bilik suara bagi kliennya yang menunggu
kepastian hasil penghitungan.

Meskipun agak sulit untuk didefinisikan secara pasti dan rigid, penting untuk diberikan
penjelasan bahwa chao pho bukanlah sekelompok preman atau gangster, namun sebagian
besar berprofesi sebagai pengusaha di tingkat lokal, mereka adalah keturunan sino-thai
dari generasi kedua ataupun ketiga, bisnis atau aktifitas patronase dengan menggunakan
kekerasanlah yang menjadikan mereka sebagai chao pho atau mafioso. Karena kontestasi
atau berpartisipasi di lingkup politik nasional terlalu beresiko, seperti sorotan media yang
mampu menghancurkan reputasi, maka chao pho lebih memilih bersikap low profile dan
memberikan jejaring patronase pada elit politik nasional. Sebagaimana yang terjadi pada
sebuah contoh kasus , kemampuan monopoli chao pho dalam industri transportasi massal
yang memiliki henchman yang sigap untuk menyerang siapapun rival bisnis, justru
membuat reputasi pemiliknya, politisi-chao pho, semakin memburuk, ketika isu ini menjadi
sorotan media, dan pada gilirannya membuat karir politik politisi-chao pho berakhir
ditengah jalan.

Bossisme di Indonesia : Naiknya sebuah Konsep

Berbeda dari kerabatnya di Thailand yang lahir dari transformasi akibat percepatan
pertumbuhan ekonomi sebagai dampak dari rezim otoritarianisme-pembangunan rente,
bossisme di Indonesia memiliki sejarah yang cukup berbeda. Berbeda dari situasi di
Thailand yang mendasarkan rentang waktu pembentukan embryo bossisme sejak akhir
abad sembilan belas, Sidel melacak sejarah munculnya bossisme sejak suksesi politik
Sukarno ke Suharto. Dengan berdirinya rezim otoritarian Suharto, perekonomian mulai
dipulihkan melalui berbagai pinjaman, termasuk bantuan dan dukungan dari kelompok
ekonom neo-klasik FEUI yang menjadi arsitek Orde Baru, yang tergabung di dalamnya Prof.
Widjojo Nitisastro. Dengan didukung oleh perspektif Huntingtonian yang kuat
mempengaruhi berbagai rezim pembangunan di dunia, Orde Baru berusaha mengukuhkan
posisinya berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial melalui penguatan lembaga politik
untuk menciptakan stabilitas demi kelancaran pembangunan.
Demi kelancaran pembangunan, intervensi militer dalam politik bukan menjadi persoalan,
termasuk diantaranya pemangkasan partai melalui kebijakan fusi partai pada tahun 1973.
Selain pembungkaman aspirasi politik, penting bagi Orde Baru untuk menempatkan
berbagai personel militernya di berbagai penjuru daerah untuk menciptakan stabilitas,
sekaligus sebagai agen pembangunan hingga ke desa-desa. Segala pertanggung jawaban
atas pejabat lokal maupun personel militer yang ditempatkan di daerah langsung
bertanggung jawab pada pusat, pimpinan di atas yang tidak lain adalah Suharto. Selain itu
pemberlakuan rotasi bagi para pejabat lokal seperti gubernur ataupun pejabat militer di
tingkat lokal menjadi penting, karena tindakan ini mampu mencegah aktor semacam ini
untuk membuat sejenis kerajaan kecil. Kondisi ini, bagaimanapun juga berhasil membatasi
naiknya bossisme ke permukaan pada era Orde Baru.

Namun demikian, kondisi yang terbatas ini, dalam artian bahwa segala keputusan dan
monitor berada di tingkat pusat bukan berarti meninggalkan sedikit kemungkinan bagi
pejabat lokal seperti gubernur untuk bertindak atas diskresinya sendiri atas nama perintah
pusat seperti pemberian lisensi dan izin bagi perusahaan kontraktor, pertambangan,
logging, yang pada gilirannya memungkinkan pejabat lokal semacam ini untuk memperoleh
keuntungan dari aktifitas rent-seeking. Pemerintahan yang sentralistik juga memberikan
celah bagi para aktor tertentu, khususnya pensiunan pejabat militer yang diuntungkan,
untuk membentuk sebuah basis kekuatan di tingkat lokal melalui pembuatan bisnis yang
didukung oleh negara.

Bisnis ini biasanya melibatkan unsur monopoli dalam tingkat lokal, dan yang umumnya
terjadi, racketeering atau protection racket. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai cara,
seperti saling membantu dengan aliansi lokal, seperti menikah atau menikahkan anaknya
dengan penduduk setempat, menjadikan penduduk lokal partner bisnis ataupun
memanipulasi pejabat militer baru yang belum berpengalaman. Namun penting untuk
dicatat bahwa mafia lokal ini tidak terbatas pada kalangan militer. Pada dekade 1970 telah
terjadi transformasi di kalangan pejabat publik seperti Ketua DPRD, Sekwilda dan Bupati
yang berubah dalam waktu singkat menjadi pemilik perusahaan plantasi, pembudidayaan
ikan, pabrik semen, penebangan hutan, perbankan, perusahaan konstruksi, hotel dan resort
bagi para turis sebagai dampak yang luar biasa dari oil boom. Tentu saja, pengaruh
kekuasaan bos perlu diperluas dengan terdapatnya organisasi paramiliter baik untuk
melindungi bisnis atau menghancurkan rival bisnis ataupun untuk memobilisasi suara bagi
rezim yang berkuasa, pada konteks inilah peran dari Pemuda Pancasila perlu diletakkan.
Dengan terbukanya partisipasi politik di tingkat lokal melalui desentralisasi, semakin
memudahkan jalan bagi berbagai bos lokal untuk memanfaatkan berbagai kesempatan
yang ada. By hook or by crook, aktor predatoris berusaha untuk memperkuat posisinya
dalam aktifitas rent seeking atau akumulasi modal primitif, termasuk dengan cara
kekerasan melalui premanisme. Dasar inilah yang menjadi banyak penyebab dari
kerusakan bangunan, pembakaran gedung dan dokumen menyusul kekalahan kandidat
dalam pemilu Kepala Daerah di banyak tempat di Indonesia.

Pengalaman Banten : Konvergensi Local Bossism dan Dinasti Politik

Contoh yang paling mudah dan cukup mencolok mata dari fenomena bossime di Indonesia
adalah bangkitnya dinasti politik di Banten dan di beberapa daerah lain, meskipun cukup
banyak scholar yang meneliti gejala Banten melalui perspektif local strongmen Joel Migdal
yang sebenarnya agak kurang relevan. Sidel (2005) sebelumnya menegasikan kemungkinan
munculnya dinasti politik, sub-bab ini akan mengisi kekurangan Sidel dalam memahami
munculnya politik dinasti dalam kerangka local bossism. Dalam mengamati fenomena
dinasti politik Banten, umumnya scholar mengacu pada shadow state William Reno
ataupun beralih pada Migdal.

Sebelumnya penting untuk membahas secara singkat sejarah keterlibatan jawara dalam
politik. Jawara adalah figur atau sosok pendekar tradisional banten, yang berjuang untuk
kepentingan rakyat kecil dengan merampas dari pihak yang kaya seperti penduduk
kolonial. Kedekatan mereka dengan golongan ulama sejak masa kolonial memberikan nilai
lebih bagi posisi tawar mereka dalam regional Banten. Selain itu, jawara memiliki kekuatan
fisik dan non-fisik yang membuat mereka memiliki kekuatan sosial yang cukup disegani.
Kondisi ini tidak berubah hingga pada akhirnya TB Chasan Sochib berhasil menyatukan
sekitar 100 tokoh Jawara dengan mendirikan Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni
Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI). Selain itu, Chasan merupakan by product dari
pembangunan Orde Baru. Disatu sisi, melalui jawara Chasan berhasil menjadi mesin politik
Golkar dalam memobilisasi suara di regional banten, dan sebagai balas jasa, Suharto
‘menghadiahkan’ Tb. Chasan kontrak proyek pemerintah yang membuat keuntungan
perusahaannya, PT Sinar Ciomas Raya, dengan cepat meroket. Kondisi ini membuat jawara
bertransformasi, menikmati dua status sosial sekaligus, sebagai jawara dan pengusaha
pada saat bersamaan. Sebagai jaringan pengaman, Tb. Chasan membentuk sebuah jaringan
patron-klien antara jawara-pengusaha yang disebut sebagai ‘kelompok Rawu’. Dengan
banyaknya proyek pembangunan provinsi Banten, membuat provinsi ini cukup maju dari
segi pembangunan infrastruktur meskipun melalui cara monopoli. Bagaimanapun juga,
kasus Banten ini telah membantah argumen Joel Migdal bahwa keberadaan local
strongmen hanya menjadi penghambat bagi pembangunan, konsep yang dikembangkan
oleh Sidel menunjukkan argumen yang sebaliknya.

Dengan bergulirnya desentralisasi, Tb. Chasan semakin diuntungkan oleh lingkungan


politik yang baru. Melalui lobi dan intimidasi politik, termasuk vote-buying dan
‘pengamanan’ oleh jawara pada periode putaran akhir pemilihan pasangan, ia berhasil
membawa putrinya Atut menjadi wakil Gubernur Banten dan menjebloskan pasangannya,
Joko Munandar, kedalam skandal korupsi kemudian. Bagaimanapun juga, keleluasaan ini
membuat provinsi Banten menjadi serupa dengan private government Tb. Chasan,
monopoli proyek pembangunan tampak menjadi semakin jelas ketika tender proyek hanya
menjadi formalitas. Bagi rekan bisnis atau pesaingnya, dimana Tb. Chasan tidak melakukan
bisnisnya secara langsung, perlu untuk membayar pungutan sekitar 10-11%. Berikut
adalah data yang akurat dalam melihat persentase pungutan dan pembiayaan.

Selain monopoli bisnis, jejaring patronase perlu diperkuat melalui penempatan-


penempatan pejabat lokal berdasarkan patrimonial, berdasarkan nilai-nilai impersonal
tanpa melihat kapabilitas calon pejabat publik. Menjadikan provinsi Banten menjadi
pemerintahan keluarga jawara.

Kesimpulan

Local bossism telah menjadi gejala yang unik, yang menghinggapi negara dengan
demokratisasi yang terhambat. Namun demikian perlu diberikan catatan kritis bahwa
disetiap negara memiliki karakteristik yang berbeda, antara di Filipina, Thailand dan
Indonesia. Paling tidak ada beberapa perbandingan, sebagaimana yang diulas dalam tulisan
diatas, antara local bossism yang muncul di Thailand dengan di Indonesia.

Pertama, tesis Sidel bahwa local bossism tidak mungkin berkonvergensi dan bersimbiosis
dengan dinasti politik terbukti untenable, pada dua negara menunjukkan bahwa dinasti
politik telah tumbuh subur beberapa tahun setelah penelitian seminal Sidel memperoleh
popularitasnya dalam studi Asia Tenggara.

Kedua, berbeda dari pola genealogi yang terjadi di Thailand, bahwa chao pho berdiri
sebagai middlemen atau perantara independen antara Ibukota dengan daerah, pada kasus
Indonesia, embrio bos lokal terbentuk dari erzats capitalism, kapitalisme semu yang
bergantung pada negara, yang memperoleh bentuknya yang sempurna ketika memperoleh
bentuknya yang sempurna sebagai kapitalis murni.

Ketiga, perbedaan antara chao pho dengan bos lokal di Indonesia terletak pada derajat
penggunaan senjata api. Persebaran senjata api di Thailand cukup lebih mudah secara
umum, dibandingkan yang terjadi di Indonesia.

Keempat, saya sepakat dengan Sidel bahwa keduanya sama-sama tumbuh dan bergantung
pada sumber daya negara di bawah rezim otoritarian. Tidak dapat dipungkiri bahwa
naiknya para bos ke puncak kekuasaan dipengaruhi oleh dinamika ekonomi politik yang
ada pada rezim otoriarianisme pembangunan rente kedua negara.

Kelima, jika posisi militer kurang memperoleh posisi yang signifikan dalam jejaring chao
pho di Thailand (paling tidak berdasarkan berbagai temuan yang saya temukan), sementara
pada kasus Indonesia militer atau eks pejabat militer memegang peranan penting dalam
penguatan, sebagai partner local bossism, ataupun bossism bagi dirinya sendiri.

Dan terakhir, jika chao pho lebih memilih untuk bersikap low profile dalam jejaring
patronase, hal yang sebaliknya, jika mengacu pada pengalaman Banten bos lokal cenderung
ingin mengukuhkan posisinya dalam politik lokal dengan menjadi sorotan utama media.
Daftar Pustaka

Sumber Buku :

Aspinall, Edward and Gerry Van Klinken.(2011). The State and Illegality in Indonesia.
Leiden: KITLV Press.

Dick, Howard et.al.(2002). The Emergence of National Economy : an Economic History of


Indonesia 1800-2000. Hawai’i : University of Hawai’i Press.

Harriss, John, Kristian Stokke and Olle Tornquist.(2005). Politicising Democracy : The New
Local Politics of Democratization. New York : Palgrave Macmillan.

Kingsbury, Damien.(2003). Power Politics and The Indonesian Military. London: Routledge
Curzon.

MacIntyre, Andrew.(1992). Business and Politics in Indonesia. Australia : Allen & Unwin.

Marijan, Kacung. (2006). Demokratisasi di Daerah : Pelajaran dari Pilkada Secara Langsung.
Surabaya : Pustaka Eureka dan PusDeHam.

Migdal, Joel S.(1988). Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State
Capabilities in the Third World. Princeton: Princeton University Press.

Nordholt, Henk Schulte and Gerry van Klinken.(2007). Renegotiating Boundaries : Local
Politics in Post Suharto Indonesia. Leiden : KITLV Press.

White, Lynn T.(2009). Political Boom : Local Money and Power in Taiwan, East China,
Thailand and the Philippines. Singapore : World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd,

Winters, Jeffrey.(2011).Oligarki. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Sumber Jurnal :

Arghiros, Daniel. Democracy, Development and Decentralization in Provincial Thailand,


Review by John T. Sidel. Contemporary Southeast Asia, Vol. 23, No. 3 (December
2001), pp. 572-575
Callahan, William A. and Duncan McCargo, Vote-Buying in Thailand’s Northeast: The July
1995 General Election. Asian Survey, Vol. 36, No. 4 (Apr., 1996), pp. 376-392

Carothers, Thomas. “The ‘Sequencing’ Fallacy”, Journal of Democracy, Vol. 18, No. 1,
January, 2007

Hadiz, Vedi. Decentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist


Perspectives. Working Papers Series No. 47 May 2003. Southeast Asia Research
Center, University of Hongkong

Hadiz, Vedi . The Rise of neo-Third Worldism? The Indonesian Trajectory and Consolidation
of Illiberal Democracy. Third world Quarterly, vol 25, No 1, pp 55-71. 2004.

Ong, Elvin JY. The Effects of Democracy on the Different Poverty Reduction Trajectories of
Thailand and Philippines, paper presented at Political Studies Association Annual
Conference 2011 19-21 April 2011

Prisma Vol. 28, No. 2, Oktober 2009. Menuju Indonesia Masa Depan

Prisma Vol. 29, No. 3, Juli 2010. Otonomi Daerah untuk Siapa?

Sidel, John T. Capital, Coercion, and Crime: Bossism in the Philippines Review by Benedict J.
Tria Kerkvliet. The Journal of Asian Studies, Vol. 61, No. 4 (Nov., 2002), pp. 1440-
1442

Sidel, John T. Philippine Politics in Town, District, and Province: Bossism in Cavite and Cebu.
The Journal of Asian Studies, Vol. 56, No. 4 (Nov., 1997), pp. 949

Wongpreedee, Achakorn. Decentralization and Its Effect on Provincial Political Power in


Thailand. Asian and African Area Studies, 6 (2):2007, Hlm. 455

Sumber Internet :

Okamoto Masaaki, an Unholy Alliance: Political thugs and political Islam work together in
Banten. Thursday, 24 July 2008 Edition 93: Jul-Sep 2008 dapat diakses
melalui www.InsideIndonesia.org
Subono, Nur Iman. Raja Lokal, Bos Lokal, dan Chao Pho. Demos Indonesia, 01 Desember
2006. diakses melaluihttp://www.demosindonesia.org/diskursus/3104-raja-lokal-bos-
lokal-dan-chao-pho.html

You might also like