You are on page 1of 8

Peningkatan Produktivitas Padi melalui Introduksi Teknologi VUB Padi

(Studi Kasus di Desa Lekopancing Kabupaten Maros)


Eka Triana Yuniarsih1), Abd. Gaffar1) dan M. Isya Anshari2)
1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 17,5, Sudiang, Makassar
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimnatan Selatan
Jl. Panglima Batur Barat No. 4, Banjarbaru, Kalsel
E-mail : ekatriana.yuniarsih@yahoo.com

Abstrak

Padi merupakan komoditas tanaman pangan yang sangat potensial dikembangkan di Kabupaten
Bone. Pada tahun 2013 luas panen padi mencapai 46.441 ha dan produksinya sebanyak 299.838
ton atau produktivitasnya sudah mencapai 6,26 ton/ha. Sebagai salah satu lumbung padi di
Sulawesi Selatan, peningkatan produksi hasil panen padi di kabupaten Marso merupakan upaya
yang harus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dikarenakan semakin menyusutnya lahan
persawahan sebagai akibat pertambahan penduduk, sektor industry dan peruntukan lainnya.
Metode pengkajian yang digunakan dengan metode pendampingan melalui introduksi teknologi
VUB Inpari 4. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa teknologi introduksi masing-masing VUB
memberikan produksi sebesar 6,9 ton/ha. Penerimaannya mencapai Rp. 22.080.000,-/ha sehingga
pendapatan bersih yang diterima sebesar Rp. 15.456.000,- per ha. Nilai R/C pada usahatani padi
di desa Lekopancing sebesar 5,8. Dengan demikian jika dikeluarkan biaya sebesar Rp. 1.000,-
maka akan diperoleh penerimaan sebesar Rp. 5.800,-
.
Kata kunci : Introduksi, Padi, Produktivitas

Pendahuluan
Beras merupakan komoditas pangan terpenting dan mempunyai nilai strategis nasional
yang menyumbang sekitar dua pertiga (60%) jumlah kalori bagi penduduk. Jumlah penduduk
Indonesia sudah mencapai lebih 234,42 juta jiwa (Tahun 2010), sebagian kebutuhan pokoknya
adalah beras. Usaha tani padi mampu menyerap tenaga kerja sekitar 21 juta rumah tangga tani
(Suryana, 2002). Hal tersebut menuntut Pemerintah untuk membuat terobosan dalam upaya
peningkatan produksi beras murah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Program peningkatan
beras sudah terimplementasi dalam program Peningkatan Produksi Beras Nasional atau P2BN
(Anonim, 2008) peningkatan produksi tersebut untuk mencapai pembangunan pertanian. Adapun
Sasaran pembangunan pertanian salah satunya adalah pengembangan sistem dan usaha pertanian
yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Kebutuhan beras mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Simarmata dan Yuwariah
(2008) melaporkan bahwa pada Tahun 2008 kebutuhan beras mencapai 34 juta ton atau setara
dengan 54 juta ton gabah kering giling (GKG). Pada laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,49%,
mengakibatkan untuk Tahun 2025 diproyeksikan jumlah penduduk mencapai 296 juta jiwa. Hal
tersebut akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan beras sekitar 41,5 juta ton atau 65,9 juta ton
GKG (Simarmata dan Yuwariah, 2008).
Sulawesi Selatan sebagai salah satu lumbung pangan nasional khususnya dalam memasok
kebutuhan beras di Kawasan Timur Indoensia. Produksi padi di Provinsi Sulawesi Selatan berasal
dari lahan sawah mencapai 4,08 juta ton GKG, yang terdiri dari padi sawah 4,06 juta ton dan padi
ladang 0,02 juta ton. Luas areal pengembangan padi di Sulawesi Selatan mencapai 581.499 ha,
yang tersebar di 23 Kabupaten berupa sawah irigasi seluas 154.423 Ha, sawah setengah teknis

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 257


Banjarbaru, 20 Juli 2016
seluas 64.366 Ha, dan sawah irigasi sederhana seluas 49.485 (BPS Sulsel, 2009).
Kabupaten Maros sebagian penopang pemasokan beras di Sulawesi selatan memiliki lahan
persawahan berpengairan intensif seluas 8.707 ha, terdiri dari sawah irigasi teknis 4.824 ha, sawah
irigasi semi teknis 2.566 ha, dan sawah irigasi sederhana 1.317 ha (BPS Sulsel, 2009).
Pemberdayaan lahan sawah diharapkan mampu mendukung peningkatan produktivitas,
pendapatan, dan kesejahteraan petani. Produktivitas padi yang dicapai baik di tingkat Provinsi
Sulawesi Selatan maupun Kabupaten Maros masih rendah yaitu sebesar 5,54 ton/ha (BPS Sulsel
2009). Sedangkan Potensi produktivitas padi mencapai 11,40 ton/ha (Suprihatna dkk, 2006;
Sirappa dkk, 2006; Sirappa dkk, 2007; Suprihatna dkk, 2010).
Menurut Hernanto (1994), besarnya pendapatan yang akan diperoleh dari suatu kegiatan
usahatani tergantung dari beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti luas lahan, tingkat
produksi, identitas pengusaha, pertanaman, dan efisiensi penggunaan tenaga kerja. Dalam
melakukan kegiatan usahatani, petani berharap dapat meningkatkan pendapatannya sehingga
kebutuhan hidup sehari-hari dapat terpenuhi. Harga dan produktivitas merupakan sumber dari
faktor ketidakpastian, sehingga bila harga dan produksi berubah maka pendapatan yang diterima
petani juga berubah (Soekartawi, 1990).
Menurut Gustiyana (2003), pendapatan dapat dibedakan menjadi dua yaitu pendapatan
usahatani dan pendapatan rumah tangga. Pendapatan merupakan pengurangan dari penerimaan
dengan biaya total. Pendapatan rumah tangga yaitu pendapatan yang diperoleh dari kegiatan
usahatani ditambah dengan pendapatan yang berasal dari kegiatan diluar usahatani. Pendapatan
usahatani adalah selisih antara pendapatan kotor (output) dan biaya produksi (input) yang dihitung
dalam per bulan, per tahun, per musim tanam. Pendapatan luar usahatani adalah pendapatan yang
diperoleh sebagai akibat melakukan kegiatan diluar usahatani seperti berdagang, mengojek, dll.
Pendapatan usahatani menurut Gustiyana (2004), dapat dibagi menjadi dua pengertian,
yaitu (1) pendapatan kotor, yaitu seluruh pendapatan yang diperoleh petani dalam usahatani
selama satu tahun yang dapat diperhitungkan dari hasil penjualan atau pertukaran hasil produksi
yang dinilai dalam rupiah berdasarkan harga per satuan berat pada saat pemungutan hasil, (2)
pendapatan bersih, yaitu seluruh pendapatan yang diperoleh petani dalam satu tahun dikurangi
dengan biaya produksi selama proses produksi. Biaya produksi meliputi biaya riil tenaga kerja dan
biaya riil sarana produksi.
Dalam pendapatan usahatani ada dua unsur yang digunakan yaitu unsur penerimaan dan
pengeluaran dari usahatani tersebut. Penerimaan adalah hasil perkalian jumlah produk total
dengan satuan harga jual, sedangkan pengeluaran atau biaya yang dimaksudkan sebagai nilai
penggunaan sarana produksi dan lain-lain yang dikeluarkan pada proses produksi tersebut
(Ahmadi, 2001). Produksi berkaitan dengan penerimaan dan biaya produksi, penerimaan tersebut
diterima petani karena masih harus dikurangi dengan biaya produksi yaitu keseluruhan biaya yang
dipakai dalam proses produksi tersebut (Mubyarto, 1989).

Metodologi

Lokasi dan Waktu

Praktek lapang ini dilaksanakan di Desa Lekopancing Januari-Juni tahun 2016. Penelitian
dilakukan dilakukan untuk kelompok komoditas tanaman pangan yaitu padi Survey berkaitan

258 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian


Banjarbaru, 20 Juli 2016
dengan penggalian data primer dengan menggunakan instrumen berupa kuisioner yang disusun
tim. Jumlah responden sebanyak 30 responden.

Analisis yang digunakan

Dalam penelitian ini, metode analisis yang digunakan adalah analisis pendapatan, analisis
kelayakan usahatani, dan analisis deskripsi (Soekatawi, 2002). Adapun formulanya adalah sebagai
berikut: masukkan rumus pendapatn dan R/C.
TR = Y . Py
TC = X . Px
R/C = TR / TC
Keterangan: R/C = Revenue atau penerimaan dibagi cost atau biaya.
TR = Total revenue atau jumlah penerimaan.
TC = Total cost atau jumlah biaya usahatani.
Y = Produksi dari usahatani.
Px = Harga satuan produksi.
X = Jenis Biaya.
Px = Harga jenis biaya per unit.

Hasil dan Pembahasan


Keadaan Umum Wilayah
Kabupaten Maros terletak di
bagian sebelah utara dari Kota Makassar
Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan.
Posisi geografis wilayah Kabupaten
Maros adalah antara 40 0 45' 50 LS dan
1090 12' BT. Wilayah Kabupaten Maros
sebelah Utara berbatasan dengan
Kabupaten Pangkep, sebelah Selatan
berbatasan dengan kota Makassar dan
Kabupaten Gowa, sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Bone, dan
sebelah Barat berbatasan dengan Selat
Makassar. Kondisi iklim di Kabupaten
Maros tergolong iklim tropis basah
dengan curah hujan berkisar 422 hari
(tahun 2006), kisaran suhu udara
minimum 20,0o C – 23,6o C dan kisaran
suhu udara maksimum perbulan adalah
29,9o C -33,7o C. Wilayah Kabupaten
Maros seluas 161.911 ha terbagi mejadi 103 desa/kelurahan. Secara geografis wilayah Kabupaten
Maros terdiri dari 10% (10 desa) merupakan daerah pantai, 5% (5 desa) adalah kawasan lembah,
27% (28 desa) adalah lereng/bukit, dan 58% (60 desa) merupakan dataran. Berdasarkan
topografinya 70 desa (68%) adalah dataran dan 33 desa (32%) merupakan daerah yang berbukit-
bukit.

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 259


Banjarbaru, 20 Juli 2016
Pemanfaatan lahan yang berada di wilayah Kabupaten didukung dengan sumberdaya
manusia (petani). Jumlah penduduk di Kabupaten Maros Mencapai 303.211 jiwa, sebagian
penduduk bermata pencaharian pada sektor pertanian sekitar 60 %. Komoditas pertanian yang
dominan diusahakan oleh petani di wilayah maros antara lain; padi, dan palawija.

Karakteristik Responden
Responden merupakan salah satu petani yang saat ini sedang mengusahakan komoditas
padi di desa Lekopancing. Riwayat Pendidikan terakhir beliau adalah merupakan lulusan SMA,
bertempat tinggal di Desa Lekopancing Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros dan saat ini beliau
berusia 51 tahun dan pengalaman bekerja sebagai petani hampir 25 tahun. Lahan sawah yang
dikelola adalah milik pribadi. Petani responden adalah ketua kelompok tani di Desa Lekopancing.

Produktivitas Padi Eksisting


Rata-rata luas panen padi di Kabupaten Maros sejak dari tahun 2009 sampai dengan tahun
2013 yaitu seluas 46.441 hektar dengan tingkat perkembangan rata-rata luas panen setiap tahun
yaitu sebesar 2,08% , namun pada tahun 2011 luas panen menurun sebesar 0,12% dan pada tahun
2013 sebesar 2,34%. Sedangkan produktivitas padi di Kabupaten Maros sejak dari tahun 2009
sampai dengan tahun 2013 yaitu sebesar 62,57 kwintal per hektar dengan tingkat perkembangan
peningkatan produktivitas 0,05% setiap tahun, namun pada tahun 2013 mengalami penurunan
produktivitas sebesar 10,53%, hal ini juga berdampak pada penurunan produksi padi kabupaten
Maros pada tahun 2013 mengalami penurunan sebesar 12,62 %, namun produksi padi kabupaten
Maros untuk lima tahun terakhir menunjukkan kenaikan rata-rata sebesar 2,32% setiap tahun. Hal
ini sejalan dengan pendapat Hernanto (1991) bahwa lahan yang sempit kurang dapat memberi
keuntungan dan produksi yang tinggi sebaliknya semakin luas lahan yang digarap maka
menghasilkan produksi dan keuntungan yang tinggi bagi petani.

Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi 2009-2013 Kabupaten
Maros.
Luas Panen Produktivitas Produksi
No Tahun Kenaikan / Kenaikan/ Kenaikan /
Ha Penurunan Ton/Ha Penurunan Ton Penurunan
(%) (%) (%)
1 2009 43500 60,5 263578,91
2 2010 46550 6,79 6,24 3,25 290630,50 10,26
3 2011 46492 (0,12) 6,28 0,50 291723,20 0,38
4 2012 48353 4,00 6,71 6,99 324620,73 11,28
5 2013 47220 (2,34) 6,01 (10,53) 283641,42 (12,62)
Rata-rata 46441 2,08 6,26 0,05 290838,95 2,32
Sumber : Data sekunder 2014

Varietas padi yang sudah eksisting di Kabupaten Maros meliputi Varietas Ciherang, Situ
Bagendit dan Cisantana. Rataan produtivitas yang dicapai adalah 6,22 ton/ha. Adapun tingkat
produktivitas beberapa varietas padi yang sudah eksisting disajikan pada Tabel 2.

260 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian


Banjarbaru, 20 Juli 2016
Tabel 2. Tingkat Produktivitas Beberapa Varietas Padi di Kabupaten Maros

Rataan
Kisaran Jumlah
No. Varietas Produktivitas KK (%)
(ton/ha) Pengamatan
(ton/ha)
1. Ciherang 6,02 4,18-7,03 18 11,94
2. Situ Bagendit 6,45 5,25-7,40 13 11,74
3. Cisantana 6,20 6,00-6,40 2 4,56
Rataan 6,22 - 11 9,413
Sumber : Data Sekunder, 2016

Kendala dan Hambatan Usahatani Padi


Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, diperoleh beberapa kendala dan
hambatan pada usahatani padi di desa Lekopancing yang disajikan pada tabel berikut :

.Tabel 3. Kendala dan hambatan dalam berusaha tani di Desa Lekopancing, Maros

Adanya
No Uraian kendala/hambatan Keterangan
Ya Tidak
1 Iklim/cuaca √ Ada tudang sipulung sebelum
penanaman
2 Ketersediaan benih √ Jumlahnya sangat sedikit dan sulit
diperoleh VUB
3 Ketersediaan pupuk √ Jumlahnya terbatas, dan setiap lahan
kebutuhannya berbeda-beda tergantung
kepada tingkat kesuburan tanah
4 Ketersediaan pestisida √ Banyak tersedia di toko tani
5 Ketersediaan Tenaga √ Sudah menggunakan mesin
kerja
6 Ketersediaan √ Sangat terbatas karena harus digilir
pengairan sistem pengairannya dengan desa lain
7 Serangan √ Blast, busuk leher
hama/penyakit
8 Harga gabah √ Harga pada semua jenis gabah sama rata,
tidak ada standar harga untuk setiap jenis
varietas padi, sehingga petani lebih
memilih menjual ke pedagang
pengumpul karena harganya sama rata.
Sumber : Data primer 2016

Ketersediaan benih, pupuk, pengairan, serangan hama/penyakit dan tidak ada standar
harga gabah baik yang unggul maupun yang lokal menjadi kendala responden dalam berusaha tani
padi di Kab. Maros. Ketersediaan benih bermutu ditingkat petani sangat kurang padahal benih
menjadi faktor utama dalam keberhasilan usahatani padi. Penggunaan benih bermutu dapat
mengurangi resiko kegagalan budidaya karena bebas dari serangan hama dihan penyakit, tanaman
akan dapat tumbuh baik pada kondisi lahan yang kurang menguntungkan dan berbagai faktor
tumbuh lainnya. (Wirawan dan Wahyuni, 2002). Benih yang dibagikan oleh Dinas tidak
mencukupi untuk seluruh anggota Kelompok Tani sehingga petani menggunakan kembali sebagian
hasil panennya untuk musim tanam berikutnya.
Pupuk yang dibagikan secara gratis oleh pemerintah kepada petani untuk usahataninya
dianggap kurang karena tidak sesuai dengan jumlah luasan lahan yang ditanami dengan jumlah

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 261


Banjarbaru, 20 Juli 2016
anggota kelompok tani, sehingga petani perlu mengeluarkan biaya untuk pembelian pupuk dimana
harga pupuk sangat mahal terutama pupuk anorganik, sedangkan kemampuan petani untuk
membeli pupuk sangat rendah. Kemampuan petani untuk membiayai usahataninya sangat terbatas
sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial. Suratiyah (2006:68)
menyatakan bahwa modal (biaya) yang tersedia berhubungan langsung dengan peran petani
sebagai manajer dan buruh tani dalam mengelola usaha taninya. Penggunaan faktor produksi
tergantung pada modal yang dimiliki petani. Oleh karena petani sebagai manajer tidak dapat
menyediakan dana maka terpaksa penggunaan faktor produksi tidak sesuai dengan ketentuan yang
seharusnya, sehingga produktivitas rendah dan pendapatan juga rendah.
Dalam usahatani sangat dibutuhkan pengairan yang intens. Total kebutuhan air untuk
tanaman padi pada lahan yang tergenang termasuk persiapan lahan berkisar antara 1300-1900 mm
(Bouman et al., 2005). Rendahnya daya dukung waduk-waduk tersebut mengakibatkan terjadinya
kekeringan pada areal sawah di daerah produksi beras. Sehingga usahatani padi yang tidak
diimbangi dengan ketersediaan air irigasi yang cukup menyebabkan petani padi dihadapkan pada
tiga tantangan besar, yaitu: (1) menghemat penggunaan air; (2) meningkatkan produktivitas air;
dan (3) meningkatkan produksi beras dengan sedikit air (Bouman et a.l, 2007).
Serangan hama/penyakit menjadi masalah klasik yang dihadapi petani. Perubahan iklim
dan cuaca akhir-akhir ini juga menyebabkan ledakan populasi hama dan penyakit tanaman. Hal ini
disebabkan karena hama sama seperti mahluk hidup lainnya, perkembangan hidupnya dipengaruhi
oleh faktor iklim, seperti suhu, kelembaban udara, dan sebagainya. Faktor iklim tersebut
berpengaruh terhadap siklus hidup, keperidian atau kemampuan untuk menghasilkan keturunan,
lama hidup, dan sebagainya. Pengaruh perubahan iklim juga akan sangat spesifik untuk masing
masing penyakit tanaman padi. Pengendalian hama dan penyakit dilaksanakan jika populasi hama
atau intensitas kerusakan akibat penyakit telah memperlihatkan akan terjadi kerugian dalam usaha
pertanian (Darwis, 2006). Pada dasarnya keuntungan penggunaan insektisida adalah karena
kemudahan, kesederhanaan, keefektifan, fleksibilitas dan ekonomis. Sedangkan kelemahannya
terutama sekali didasarkan pada dampak sampingnya, yaitu adanya residu insektisida, pencemaran
lingkungan, bahaya bagi kesehatan manusia dan hewanhewan domestik, pengaruh terhadap
organisme non target lainnya (antara lain musuh- musuh alami, serangga polinator) dan
kemampuan hama untuk mengembangkan ketahanan (Sembel, 2012). Oleh karena itu pestisida
merupakan alternatif terakhir bagi petani jika hama dan penyakit tidak dapat dikendalikan.

4. Analisis Pendapatan Petani


Petani selaku manager dalam kegiatan usahatani padi mempunyai peranan yang sangat
penting dalam menentukan bentuk dan pola usaha yang dilakukan. Kegiatan usahatani padi petani
mempunyai harapan untuk memperoleh produksi yang maksimal yang dapat dinilai uang untuk
memperoleh penerimaan yang optimal. Adapun analisis biaya, penerimaan, dan pendapatan
usahatani padi disajikan pada Tabel 4.

262 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian


Banjarbaru, 20 Juli 2016
Tabel 4. Analisis Usahatani Padi di Desa Lekopancing di Kabupaten Maros.

No. Uraian Volume (unit) Harga Satuan Jumlah (Rp)


(Rp/Unit)
1. Biaya saprodi
a. Benih Inpari 4 25 Kg Rp. 10000/Kg 250.000
b. Pupuk Urea 250 Kg Rp. 1600/Kg 400.000
c. Pupuk NPK 250 Kg Rp. 2300/Kg 575.000
2. Penyusutan Alat Pertanian 1 paket Rp .250.000/paket 250.000
Jumlah Biaya (1+2) 1.475.000
3. Biaya Tenaga Kerja 1 Paket Rp. 6.624.000
Jumlah Biaya (1+2+3) 3.805.000
4. Penerimaan 6,9 Kg Rp. 3.200/Kg 22.080.000
5. Pendapatan (4-3) 15.456.000
6. R/C 5,80
Data Primer : Setelah diolah.

Berdasarkan Tabel diatas diperoleh jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan
usahatani padi lahan sawah sebesar Rp. 3.805.000,-/ha. Komponen biaya terbesar adalah untuk
pengeluaran biaya tenaga kerja baik dari tenaga rumah tangga maupun tenaga kerja luar keluarga
mencapai Rp. 6.624.000,-/ha. Tingginya biaya tenaga kerja karena untuk berbagai kegiatan
usahatani seperti pengolahan lahan, tanam, panen umumnya dilakukan oleh tenaga kerja luar
keluarga baik yang dibayar upahan, borongan ataupun natura. Tenaga kerja dalam keluarga
umumnya digunakan pada tahapan pemeliharaan dan pascapanen. Hasil ini sesuai dengan
penelitian Andriati dan Sudana (2007) yang memperoleh hasil bahwa komponen biaya tenaga
kerja pada usahatani padi sawah relatif lebih besar dibanding komponen biaya lainnya yaitu
sebesar 77% dari total biaya produksi.
Penerimaan sebagai perkalian antara hasil produksi dari usahatani dengan harga satuan
unitnya. Produksi padi rataannya mencapai 6,9 kg/ha. adapun harga gabah kering panen mencapai
Rp. 3.200/kg, dengan demikian penerimaannya mencapai Rp. 22.080.000,-/ha sehingga
pendapatan bersih yang diterima sebesar Rp. 15.456.000,- per ha. Nilai R/C pada usahatani padi
di desa Lekopancing sebesar 5,8. Dengan demikian jika dikeluarkan biaya sebesar Rp. 1.000,-
maka akan diperoleh penerimaan sebesar Rp. 5.800,-

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan
1. Wilayah Kabupaten Maros mempunyai potensi pengembangan padi sawah. Hal tersebut
didukung oleh sumberdaya lahan dan sumberdaya manusia (petani).
2. VUB jenis Inpari 4 di wilayah Kabupaten Maros mampu memberikan peningkatan
produktivitas. Produktivitas padi eksisting dari 6,2 ton/ha menjadi 6,9 ton/ha.
3. Usahatani padi pada VUB mampu memberikan penerimaan Rp. 15.456.000,- per ha. Nilai
R/C pada usahatani padi sebesar 5,8.

Saran
1. Hambatan dan kendala yang dihadapi oleh petani sebaiknya di atasi segera oleh pemerintah
setempat sehingga produksi padi dapat ditingkatkan
2. penyuluhan terhadap kelompok-kelompok tani rutin dilaksanakan sehingga pengetahuan
petani semakin bertambah

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 263


Banjarbaru, 20 Juli 2016
Daftar Pustaka

Andriati dan W. Sudana. 2007. Peningkatan Keragaan dan Analisis Finansial Usahatani Padi
(kasus desa Prima Tani, Kabupaten Karawang, Jawa Barat). Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Vol.10: 2.p. 105-117. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian.

Andrianto, Tuhana Taufiq. 2014. Pengantar Ilmu Pertanian. Yogyakarta : Global Pstaka Utama.

Bachtiar R, Hernanto. 1991. Ilmu Usahatani. Jakarta : Penebar Swadaya.

Bouman, B.A.M., S. Peng, A.R. Castaneda, and R.M. Visperas. 2005. Yield and water use of
irrigated tropical aerobic rice systems. Agric. Water Man. J. 74: 87-105.

Bouman, B.A.M., R.M. Lampayan, and T.P. Tuong. 2007. Water management in irrigated rice,
coping with water scarcity. International Rice Research Institute. http://www.irri.org. [6
Februari 2010].

Darwis, D. 2006. Sterilisasi Produk Kesehatan (Health Care Product) dengan Radiasi Berkas
Elektron. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Teknologi Ahelerator dan
Aplikasinya. Jakarta, Juli 2006. hal. 78-86.

Husaini, Muhammad. 2012. Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga dan Tingkat Ketahanan
Pangan Rumah Tangga Petani di Kabupaten Barito Kuala. Agribisnis Pedesaan , 2(4):
320-332.

Naibaho, Tota Totor., L. Fauzia, dan Emalisa. 2012. Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Petani
Terhadap Produksi Usaha Tani Sawi. Jurnal Ilmiah Universitas Sematera Utara.

Soekartawi, 2002. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil, Universitas
Indonesia. Press, Jakarta.

Suratiyah, Ken. (2006). Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya : Jakarta.

Suradisastro. 2008. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Petani. Forum Penelitian Agro


Ekonomi , 26(2): 82-91.

Surtarto. 2008. Hubungan Sosial Ekonomi Petani dengan Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi
Komoditas Jagung di Sidoharjo Wonogiri. Agritexts, nomor 24; 1-12.

Sembel, D. T. 2012. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Fakultas Pertanian Universitas Sam


Ratulangi, Manado

Wirawan, B., dan Sri Wahyuni. 2002. Memproduksi Benih Bersertifikat. Penebar Swadaya,
Jakarta.

264 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian


Banjarbaru, 20 Juli 2016

You might also like