You are on page 1of 27

Ampas Tebu

Syaiful Anwar (Alumni TIP – FTP – UB)

Tebu (Saccharum officinarum) adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula.
Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk
jenis rumput-rumputan. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai
kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan
Sumatra (Anonim, 2007e).

Ampas tebu atau lazimnya disebut bagas, adalah hasil samping dari proses ekstraksi
(pemerahan) cairan tebu. Dari satu pabrik dihasilkan ampas tebu sekitar 35 – 40% dari
berat tebu yang digiling (Indriani dan Sumiarsih, 1992). Husin (2007) menambahkan,
berdasarkan data dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) ampas tebu
yang dihasilkan sebanyak 32% dari berat tebu giling. Pada musim giling 2006 lalu,
data yang diperoleh dari Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) menunjukkan bahwa
jumlah tebu yang digiling oleh 57 pabrik gula di Indonesia mencapai sekitar 30 juta
ton (Anonim, 2007b), sehingga ampas tebu yang dihasilkan diperkirakan mencapai
9.640.000 ton. Namun, sebanyak 60% dari ampas tebu tersebut dimanfaatkan oleh
pabrik gula sebagai bahan bakar, bahan baku untuk kertas, bahan baku industri kanvas
rem, industri jamur dan lain-lain. Oleh karena itu diperkirakan sebanyak 45 % dari
ampas tebu tersebut belum dimanfaatkan
(Husin, 2007).

Ampas tebu sebagian besar mengandung ligno-cellulose. Panjang seratnya antara 1,7
sampai 2 mm dengan diameter sekitar 20 mikro, sehingga ampas tebu ini dapat
memenuhi persyaratan untuk diolah menjadi papan-papan buatan. Bagase
mengandung air 48 - 52%, gula rata-rata 3,3% dan serat rata-rata 47,7%. Serat bagase
tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri dari selulosa, pentosan dan lignin
(Husin, 2007).

Menurut Husin (2007) hasil analisis serat bagas adalah seperti dalam Tabel 2. berikut:

Tabel 2. Komposisi kimia ampas tebu

Kandungan Kadar (%)


Abu 3,82

Lignin 22,09

Selulosa 37,65

Sari 1,81

Pentosan 27,97

SiO2 3,01
Pada umumnya, pabrik gula di Indonesia memanfaatkan ampas tebu sebagai bahan
bakar bagi pabrik yang bersangkutan, setelah ampas tebu tersebut mengalami
pengeringan. Disamping untuk bahan bakar, ampas tebu juga banyak digunakan
sebagai bahan baku pada industri kertas, particleboard, fibreboard, dan lain-lain
(Indriani dan Sumiarsih, 1992).

BIOETANOL

15 Juni 2009 oleh adha panca wardhanu

Bioetanol adalah etanol yang diproduksi dengan cara fermentasi menggunakan bahan
baku hayati. Etanol adalah ethyl alkohol (C2H5OH) yang dapat dibuat dengan cara
sintesis ethylen atau dengan fermentasi glukosa. Bioetanol dapat dibuat dari pati
jagung yang telah diproses menjadi glukosa.

Di Amerika, kebutuhan jagung terus meningkat karena selain untuk pakan juga
digunakan sebagai bahan baku bioetanol. Etanol diproduksi melalui hidrasi katalitik
dari etilen atau melalui proses fermentasi gula menggunakan ragi Saccharomyces
cerevisiae. Beberapa bakteri seperti Zymomonas mobilis juga diketahui memiliki
kemampuan untuk melakukan fermentasi dalam memproduksi etanol (Gokarn et
al.1997).

Secara teoritis, hidrolisis glukosa akan menghasilkan etanol dan karbondioksida.


Perbandingan mol antara glukosa dan etanol dapat dilihat pada reaksi berikut ini:

C6H12O6 —————-> 2 C2H5OH + 2 CO2

Satu mol glukosa menghasilkan 2 mol ethanol dan 2 mol karbondioksida, atau dengan
perbandingan bobot tiap 180 g glukosa akan menghasilkan 90 g etanol. Dengan
melihat kondisi tersebut, perlu diupayakan penggunaan substrat yang murah untuk
dapat menekan biaya produksi etanol sehingga harganya bisa lebih mudah.

Penggunaan bioetanol di antaranya adalah sebagai bahan baku industri, minuman,


farmasi, kosmetika, dan bahan bakar. Beberapa jenis etanol berdasarkan kandungan
alkohol dan penggunaannya adalah (1) Industrial crude (90-94,9% v/v), rectified (95-
96,5% v/v), (2) jenis etanol yang netral, aman untuk bahan minuman dan farmasi (96-
99,5% v/v), dan (3) etanol untuk bahan bakar, fuel grade etanol (99,5-100% v/v).

Keuntungan penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak


bumi adalah tidak memberikan tambahan netto karbondioksida pada lingkungan
karena CO2 yang dihasilkan dari pembakaran etanol diserap kembali oleh tumbuhan
dan dengan bantuan sinar matahari CO2 digunakan dalam proses fotosintesis. Di
samping itu, bahan bakar bioetanol memiliki nilai oktan tinggi sehingga dapat
digunakan sebagai bahan peningkat oktan (octane enhancer) menggantikan senyawa
eter dan logam berat seperti Pb sebagai anti-knocking agent yang memiliki dampak
buruk terhadap lingkungan. Dengan nilai oktan yang tinggi, maka proses pembakaran
menjadi lebih sempurna dan emisi gas buang hasil pembakaran dalam mesin
kendaraan bermotor lebih baik.

Bioetanol bisa digunakan dalam bentuk murni atau sebagai campuran bahan bakar
gasolin (bensin). Dibanding bensin, etanol lebih baik karena memiliki angka research
octane 108,6 dan motor octane 89,7, angka tersebut melampaui nilai maksimum yang
mungkin dicapai oleh gasolin, yaitu research octane 88.

Pustaka :
Nur Richana dan Suarni, 2005. Teknologi Pengolahan Jagung. 1Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Pascapanen, Bogor.

Sunday, 15 February 2009

Ethanol

Tentang Alkohol

Salah satu fungsi alkohol adalah sebagai octane booster, artinya alkohol mampu
menaikkan nilai oktan dengan positif terhadap efisiensi bahan bakar dan
menyelamatkan mesin. Fungsi lain ialah oxigenating agent, yakni mengandung
oksigen sehingga menyempurnakan pembakaran bahan bakan dengan efek positif
meminimalkan pencemaran udara. Bahkan, alkohol berfungsi sebagai fuel extender,
yaitu menghemat bahan bakar fosil. Seperti kita ketahui, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam pidato pada tanggal 27 September 2005 mengingatkan bahwa
cadangan minyak bumi cukup untuk 18 tahun mendatang.
a. Pengertian Alkohol
Alkohol berasal dari bahasa arab yakni al-kuhl (al kohl), artinya senyawa yang mudah
menguap. Bahan kimia organikini adalah salah satu senyawa kimia tertua yang telah
manusia. Alkohol berupa larutan jernih tak berwarna, beraroma khas yang dapat
diterima, berfasa cair pada temperatur kamar, dan mudah terbakar.

Siapa yang tidak akrab dengan alkohol, karena ia terdapat di rokok kretek, obat
bentuk cair, effervescent, ekstrak herbal (tumbuh-tumbuhan), parfum, kosmetika,
desinfektan, larutan sterilisasi, penolak nyamuk, tinta cetak, spiritus bakar, minuman
keras, makanan tradisional, (gin, bir, wine, tuak, legen, saguer, sopi, moke, ciu, cap
tikus, balo, anding,air kata-kata, air anggur, sake, tape, brem, dan lain-lain), dan juga
bahan kendaraan anda.
Alkohol adalah senyawa hidrokarbon berupa guaguahydroxyl (-OH) dengan 2 atom
karbon (C). Spesies alkohol yang banyak digunakan adalah CH3CH2OH yang disebut
metil alkohol (metanol),C2H5OH yang diberi nama etil alkohol (etanol), dan
C3H7OH yang disebut propil alkohol (IPA) atau propanol -2. Dalam dunia
perdagangan yang disebut alkohol adalah etanol atau etil alkohol atau metil karbinol
dengan rumus kimia C2H5OH.

b. Jenis-Jenis Alkohol
Etanol sintesis, sering disebut metanol atau atau metil alkohol atau alkohol kayu,
terbuat dari etilen, salah satu derivat, minyak bumi atau batubara. Bahan ini diperoleh
dari proses sintesa kimia yang disebut hidrasi, sedangkan bioetanol direkayasa dari
biomassa (tanaman) melalui proses biologi (enzimatk dan fermentasi). Bahan baku
bioetanol sebagai berikut :

 Bahan berpati, singkong, atau ubi kayu, ubi jalar, tepung sagu, biji jagung, biji
sorgum,gandum kentang, ganyong, garut, umbi dahlia, dan lain-lain.

 Bahan bergula, berbentuk molasess (tetes tebu), nira tebu, nila kelapa, nila
batang sorgum manis, nira aren (enau), nira nipah, gewang, nira lontar dan
lain-lain.

 Bahan berselulosa, berupa limbah logging,limbah pertanian seperti jerami


padi, ampas tebu, jenggel (tongkol) jagung, onggok (limbah tapioka), batang
pisang, serbuk gergaji (grajen) dan lain-lain.

c. Bahan baku yang Lebih Efisien untuk dibuat Etanol

Posted by Joko at 08:31 0 comments

Saturday, 31 January 2009

Ethanol dari Jerami Padi

Ethanol dari Jerami Padi

Jerami padi mengandung kurang lebih 39% sellulosa dan 27,5% hemiselullosa. Kedua
bahan polysakarida ini dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana yang selanjutnya
dapat difermentasi menjadi ethanol. Potensi produksi jerami padi per ha kurang lebih
10 – 15 ton, jerami basah dengan kadar air kurang lebih 60%. Jika seluruh jerami per
ha ini diolah menjadi ethanol (fuel grade ethanol), maka potensi produksinya kurang
lebih 766 hingga 1,148 liter/ha FGE (perhitungan ada di lampiran). Dengan asumsi
harga ethanol fuel grade sekarang adalah Rp. 5500,- (harga dari pertamina), maka
nilai ekonominya kurang lebih Rp. 4,210,765 hingga 6,316,148 /ha. Lumayan besar
juga.

Menurut data BPS tahun 2006, luas sawah di Indonesia adalah 11.9 juta ha. Artinya,
potensi jerami padinya kurang lebih adalah 119 juta ton. Apabila seluruh jerami ini
diolah menjadi ethanol maka akan diperoleh sekitar 9,1 milyar liter ethanol (FGE)
dengan nilai ekonomi Rp. 50,1 trilyun. Jika dihitung-hitung ethanol dari jerami sudah
cukup untuk memenuhi kebutuhan bensin nasional. Tapi ini hanya teoritis di atas
kertas saja lho…… Realitanya….. itu tantangan saya sebagai peneliti.
Oleh : Isroi
Posted by Joko at 10:44 1 comments

Friday, 16 January 2009

Bioethanol, Alternatif Energi Terbarukan: Kajian Prestasi Mesin dan


Implementasi di Lapangan

Bioethanol, Alternatif Energi Terbarukan: Kajian Prestasi Mesin dan Implementasi di


Lapangan

Kontinuitas penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuel) memunculkan - paling sedikit
Edua ancaman serius: (1) faktor ekonomi, berupa jaminan ketersediaan bahan bakar
fosil untuk beberapa dekade mendatang, masalah suplai, harga, dan fluktuasinya (2)
polusi akibat emisi pembakaran bahan bakar fosil ke lingkungan. Polusi yang
ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil memiliki dampak langsung maupun
tidak langsung kepada derajad kesehatan manusia. Polusi langsung bisa berupa gas-
gas berbahaya, seperti CO, NOx, dan UHC (unburn hydrocarbon), juga unsur metalik
seperti timbal (Pb). Sedangkan polusi tidak langsung mayoritas berupa ledakan
jumlah molekul CO2 yang berdampak pada pemanasan global (Global Warming
Potential). Kesadaran terhadap ancaman serius tersebut telah mengintensifkan
berbagai riset yang bertujuan menghasilkan sumber-sumber energi (energy resources)
ataupun pembawa energi (energy carrier) yang lebih terjamin keberlanjutannya
(sustainable) dan lebih ramah lingkungan.

Alkohol untuk bahan bakar

Penggunaan alkohol sebagai bahan bakar mulai diteliti dan diimplementasikan di


USA dan Brazil sejak terjadinya krisis bahan bakar fosil di kedua negara tersebut pada
tahun 1970-an. Brazil tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki keseriusan
tinggi dalam implementasi bahan bakar alkohol untuk keperluan kendaraan bermotor
dengan tingkat penggunaan bahan bakar ethanol saat ini mencapai 40ecara nasional
(Nature, 1 July 2005). Di USA, bahan bakar relatif murah, E85, yang mengandung
ethanol 85emakin populer di masyarakat (Nature, 1 July 2005).
Selain ethanol, methanol juga tercatat digunakan sebagai bahan bakar alkohol di
Rusia (Wikipedia), sedangkan Kementrian Lingkungan Hidup Jepang telah
mentargetkan pada tahun 2008 campuran gasolin + ethanol 10kan digunakan untuk
menggantikan gasolin di seluruh Jepang. Kementrian yang sama juga meminta
produsen otomotif di Jepang untuk membuat kendaraan yang mampu beroperasi
dengan bahan bakar campuran tersebut mulai tahun 2003 (The Japan Times, 17
December 2002).

Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementrian Negara Riset dan Teknologi telah
mentargetkan pembuatan minimal satu pabrik biodiesel dan gasohol (campuran
gasolin dan alkohol) pada tahun 2005-2006. Selain itu, ditargetkan juga bahwa
penggunaan bioenergy tersebut akan mencapai 30ari pasokan energi nasional pada
tahun 2025 (Kompas, 26 Mei 2005).

Ethanol bisa digunakan dalam bentuk murni ataupun sebagai campuran untuk bahan
bakar gasolin (bensin) maupun hidrogen. Interaksi ethanol dengan hidrogen bisa
dimanfaatkan sebagai sumber energi fuel cell ataupun dalam mesin pembakaran
dalam (internal combustion engine) konvensional. Pada tulisan ini, dibahas secara
singkat: (1) dampak penggunaan ethanol pada mesin pembakaran dalam dengan
penyalaan busi (spark ignition), dan (2) implementasi bahan bakar ethanol di Brazil
-negara yang telah serius menggunakan bahan bakar ethanol.

Penggunaan ethanol pada mesin pembakaran dalam


Dewasa ini, hampir seluruh mesin pembangkit daya yang digunakan pada kendaraan
bermotor menggunakan mesin pembakaran dalam. Mesin bensin (Otto) dan diesel
adalah dua jenis mesin pembakaran dalam yang paling banyak digunakan di dunia.
Mesin diesel, yang memiliki efisiensi lebih tinggi, tumbuh pesat di Eropa, sedangkan
komunitas USA yang cenderung khawatir pada tingkat polusi sulfur dan UHC pada
diesel, lebih memilih mesin bensin. Meski saat ini, mutu solar dan mesin diesel yang
digunakan di Eropa sudah semakin baik yang berimplikasi pada rendahnya emisi
sulfur dan UHC. Ethanol yang secara teoritik memiliki angka oktan di atas standard
maksimal bensin, cocok diterapkan sebagai substitusi sebagian ataupun keseluruhan
pada mesin bensin.

Terdapat beberapa karakteristik internal ethanol yang menyebabkan penggunaan


ethanol pada mesin Otto lebih baik daripada gasolin. Ethanol memiliki angka research
octane 108.6 dan motor octane 89.7 ( Yuksel dkk, 2004). Angka tersebut (terutama
research octane) melampaui nilai maksimal yang mungkin dicapai oleh gasolin (pun
setelah ditambahkan aditif tertentu pada gasolin). Sebagai catatan, bensin yang dijual
Pertamina memiliki angka research octane 88 (Website Pertamina) (catatan: tidak
tersedia informasi motor octane untuk gasolin di Website Pertamina, namun umumnya
motor octane lebih rendah daripada research octane).

Angka oktan pada bahan bakar mesin Otto menunjukkan kemampuannya


menghindari terbakarnya campuran udara-bahan bakar sebelum waktunya (self-
ignition). Terbakarnya campuran udara-bahan bakar di dalam mesin Otto sebelum
waktunya akan menimbulkan fenomena ketuk (knocking) yang berpotensi
menurunkan daya mesin, bahkan bisa menimbulkan kerusakan serius pada komponen
mesin. Selama ini, fenomena ketuk membatasi penggunaan rasio kompresi
(perbandingan antara volume silinder terhadap volume sisa) yang tinggi pada mesin
bensin. Tingginya angka oktan pada ethanol memungkinkan penggunaan rasio
kompresi yang tinggi pada mesin Otto. Korelasi antara efisiensi dengan rasio
kompresi berimplikasi pada fakta bahwa mesin Otto berbahan bakar ethanol (sebagian
atau seluruhnya) memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan
bakar gasoline ( Yuksel dkk, 2004), (Al-Baghdadi, 2003). Untuk rasio campuran
ethanol:gasoline mencapai 60:40tercatat peningkatan efisiensi hingga 10 Yuksel dkk,
2004).

Ethanol memiliki satu molekul OH dalam susunan molekulnya. Oksigen yang inheren
di dalam molekul ethanol tersebut membantu penyempurnaan pembakaran antara
campuran udara-bahan bakar di dalam silinder. Ditambah dengan rentang
keterbakaran (flammability) yang lebar, yakni 4.3 - 19 voldibandingkan dengan
gasoline yang memiliki rentang keterbakaran 1.4 - 7.6 vol pembakaran campuran
udara-bahan bakar ethanol menjadi lebih baik -ini dipercaya sebagai faktor penyebab
relatif rendahnya emisi CO dibandingkan dengan pembakaran udara-gasolin, yakni
sekitar 4 dkk, 2004). Ethanol juga memiliki panas penguapan (heat of vaporization)
yang tinggi, yakni 842 kJ/kg (Al-Baghdadi, 2003). Tingginya panas penguapan ini
menyebabkan energi yang dipergunakan untuk menguapkan ethanol lebih besar
dibandingkan gasolin. Konsekuensi lanjut dari hal tersebut adalah temperatur puncak
di dalam silinder akan lebih rendah pada pembakaran ethanol dibandingkan dengan
gasolin.

Rendahnya emisi NO, yang dalam kondisi atmosfer akan membentuk NO2 yang
bersifat racun, dipercaya sebagai akibat relatif rendahnya temperatur puncak
pembakaran ethanol di dalam silinder. Pada rasio kompresi 7, penurunan emisi NOx
tersebut bisa mencapai 33ibandingkan terhadap emisi NOx yang dihasilkan
pembakaran gasolin pada rasio kompresi yang sama (Al-Baghdadi, 2003). Dari
susunan molekulnya, ethanol memiliki rantai karbon yang lebih pendek dibandingkan
gasolin (rumus molekul ethanol adalah C2H5OH, sedangkan gasolin memiliki rantai
C6-C12 (Wikipedia) dengan perbandingan antara atom H dan C adalah 2:1 (Rostrup-
Nielsen, 2005)). Pendeknya rantai atom karbon pada ethanol menyebabkan emisi
UHC pada pembakaran ethanol relatif lebih rendah dibandingkan dengan gasolin,
yakni berselisih hingga 130 ppm (Yuksel dkk, 2004).

Dari paparan di atas, terlihat bahwa penggunaan ethanol (sebagian atau seluruhnya)
pada mesin Otto, positif menyebabkan kenaikan efisiensi mesin dan turunnya emisi
CO, NOx, dan UHC dibandingkan dengan penggunaan gasolin. Namun perlu dicatat
bahwa emisi aldehyde lebih tinggi pada penggunaan ethanol Emeski bahaya emisi
aldehyde terhadap lingkungan adalah lebih rendah daripada berbagai emisi gasolin
( dkk, 2004). Selain itu, pada prinsipnya emisi CO2 yang dihasilkan pada pembakaran
ethanol juga akan dipergunakan oleh tumbuhan penghasil ethanol tersebut. Sehingga
berbeda dengan bahan bakar fosil, pembakaran ethanol tidak menciptakan sejumlah
CO2 baru ke lingkungan. Terlebih untuk kasus di Indonesia, dimana bensin yang
dijual Pertamina masih mengandung timbal (TEL) sebesar 0.3 g/L serta sulfur 0.2
wtWebsite Pertamina), penggunaan ethanol jelas lebih baik dari bensin. Seperti
diketahui, TEL adalah salah satu zat aditif yang digunakan untuk meningkatkan angka
oktan bensin -dan zat ini telah dilarang di berbagai negara di dunia karena sifat
racunnya. Keberadaan sulfur juga menjadi perhatian di USA dan Eropa karena
dampak yang ditimbulkannya bagi kesehatan.
Ethanol murni akan bereaksi dengan karet dan plastik (Wikipedia). Oleh karena itu,
ethanol murni hanya bisa digunakan pada mesin yang telah dimodifikasi. Dianjurkan
untuk menggunakan karet fluorokarbon sebagai pengganti komponen karet pada
mesin Otto konvensional. Selain itu, molekul ethanol yang bersifat polar akan sulit
bercampur secara sempurna dengan gasolin yang relatif non-polar, terutama dalam
kondisi cair. Oleh karena itu modifikasi perlu dilakukan pada mesin yang
menggunakan campuran bahan bakar ethanol-gasolin agar kedua jenis bahan bakar
tersebut bisa tercampur secara merata di dalam ruang bakar. Salah satu inovasi pada
permasalahan ini adalah pembuatan karburator tambahan khusus untuk ethanol
(Yuksel dkk, 2004). Pada saat langkah hisap, uap ethanol dan gasolin akan tercampur
selama perjalanan dari karburator hingga ruang bakar Ememberikan tingkat
pencampuran yang lebih baik.
Studi kasus penggunaan bahan bakar ethanol di Brazil
Brazil mencanangkan program bahan bakar ethanol dalam skala besar sejak terjadinya
krisis minyak pada era 1970-an (Riberio dkk, 1997). Ethanol diekstrak dari tebu
(sugarcane). Bagian tanaman yang tidak digunakan dalam produksi gula / ethanol,
yakni bagasse, digunakan pula sebagai bahan bakar untuk distilasi ethanol dan untuk
menghasilkan listrik Ebaik untuk memenuhi kebutuhan listrik pabrik ethanol serta
dijual ke masyarakat. Pembakaran bagasse relatif ramah lingkungan dibandingkan
bahan bakar minyak dan batu bara. Kandungan abu bagasse hanya 2.5dibandingkan
batu bara: antara 30-50 dan bagasse juga tidak mengandung sulfur (Wikipedia).
Dengan menggunakan bagasse, pabrik ethanol tidak memerlukan asupan energi dari
luar, justru dia bisa menjual sisa listrik yang dihasilkannya ke masyarakat. Terlebih
karena hal tersebut terjadi di musim panas, manakala pembangkit listrik tenaga air
tidak bisa maksimal dalam memenuhi kebutuhan listrik masyarakat (Wikipedia).
Posisi program bahan bakar ethanol dan produk sampingnya di Brazil pada periode
2003/2004 (kecual disebutkan lain) adalah:
Areal pertanian : 45,000 m2 pada tahun 2000 Pekerja : 1 juta pekerjaan -(50ertani,
50emrosesan) Sugarcane : 344 juta ton (50-50 untuk gula dan alkohol) Gula : 23 juta
ton (30ieksport) Ethanol : 14 juta m3 (7.5 anhydrous, 6.5 hydrated; 2.4ieksport)
Bagasse kering : 50 juta ton Listrik dihasilkan : 1350 MW (1200 MW dipergunakan
pabrik ethanol, 150 MW dijual ke masyarakat) pada tahun 2000
Sumber: Wikipedia *Sebagai perbandingan, PLTU Suralaya yang merupakan
pemasok sekitar 25ebutuhan listrik Jawa-Bali memiliki kapasitas 3,400 MW (Sumber:
Miningindo).
Penggunaan bahan bakar ethanol (murni ataupun campuran dengan gasolin)
diperhitungkan telah menekan emisi CO2 di Brazil dari tahun 1995-2010 sebesar 293
ton (hipotesis rendah) hingga 461 ton (hipotesis tinggi). Ini berarti emisi CO2 tahunan
yang bisa dikurangi di Brazil adalah sekitar 12ila menggunakan hipotesis tinggi
(Riberio dkk, 1997).

Implementasi bahan bakar ethanol di Brazil tidak selamanya berjalan mulus.


Dukungan politik dan insentif pemerintah diperlukan guna keberlanjutan program
tersebut. Di awal implementasi program penggunaan bahan bakar ethanol, yakni di
era 1980-an, lebih dari 90obil yang terjual di Brazil adalah mobil yang berbahan bakar
khusus ethanol (Riberio dkk, 1997). Namun tidak lancarnya pasokan ethanol di awal
1990-an menyebabkan penjualan mobil yang sama hanya mencapai kurang dari 1i
tahun 1997 (Riberio dkk, 1997). Pada tahun 1997, hanya separuh dari seluruh jumlah
mobil di Brazil yang menggunakan bahan bakar khusus ethanol, sedangkan sisanya
menggunakan campuran gasolin + ethanol (hingga 22(Riberio dkk, 1997). Sedangkan
saat ini, seperti dikemukakan di awal, 40asokan energi di Brazil berasal dari
bioethanol (Nature, 1 July 2005).

Pengaruh terhadap lingkungan


Beberapa ilmuwan Amerika penentang implementasi bioethanol mengangkat
permasalahan lingkungan yang dimunculkan oleh mata rantai produksi bioethanol.
Ilmuwan tersebut menyoroti praktek pembakaran ladang guna memudahkan panen
tebu, kerusakan tanah akibat ancaman terhadap keanekaragaman hayati, penggunaan
air dalam jumlah besar untuk membersihkan sugarcane, serta erosi tanah yang
disebabkan praktek penanaman tebu (Nature, 1 July 2005). Selain itu, beberapa
kalangan juga mempertanyakan rasio antara energi yang dihasilkan terhadap energi
yang diperlukan dalam produksi ethanol yang hanya mencapai 1.1 (Rostrup-Nielsen,
2005).

Untuk meminimalkan dampak negatif mata rantai produksi ethanol, pemerintah Brazil
telah mengeluarkan aturan yang melarang pembakaran ladang sebelum panen tebu;
dan sebagai gantinya digunakan mesin pemanen untuk memudahkan dan
mempercepat panen (Wikipedia). Menilai implementasi ethanol secara kuantitatif,
seperti yang dipraktekkan di Brazil, seharusnya juga perlu diperhitungkan faktor
produk samping berupa bagasse yang menghasilkan listrik (dalam jumlah signifikan)
serta efek pengurangan emisi CO2 yang berkorelasi positif terhadap tingkat kesehatan
masyarakat. Dalam kasus penggunaan bahan bakar hidrogen, Jacobson dkk (2005)
memperkirakan bahwa sekitar 3,700 - 6,400 orang per tahun akan terselamatkan bila
seluruh kendaraan bermotor di USA bermigrasi menggunakan bahan bakar hidrogen
yang dibangkitkan dari energi angin. Oleh karena itu, bila factor-faktor tersebut turut
diperhitungkan, nampaknya penggunaan bioethanol akan lebih superior terhadap
gasolin. Sedangkan ancaman terhadap keanekaragaman hayati mungkin bisa
dipecahkan dengan menggunakan beberapa tanaman sebagai sumber ethanol. Meski
relatif lebih menyulitkan dalam pengaturannya, praktek multikultur tersebut
diharapkan akan menekan penurunan kualitas tanah secara radikal.

Kesimpulan
Dua ancaman serius yang muncul akibat ketergantungan terhadap bahan bakar fosil,
yakni: faktor ekonomi (keterbatasan eksplorasi yang berakibat pada suplai, harga; dan
fluktuasinya), serta faktor polusi bahan bakar fosil yang merugikan lingkungan hidup,
mau tidak mau memaksa umat manusia untuk memikirkan alternatif energi yang lebih
terjamin pengadaannya serta ramah terhadap lingkungan. Gasohol adalah salah satu
alternatif yang memungkinkan transisi ke arah implementasi energi alternatif berjalan
dengan mulus.
Dari sisi teknik pembangkitan daya dan emisi gas buang, ethanol (dalam bentuk
murni ataupun campuran) relatif superior terhadap gasolin. Penggunaan ethanol
sebagai bahan bakar pada mesin pembakaran dalam akan meningkatkan efisiensi
mesin, serta menurunkan kadar emisi gas yang berbahaya bagi lingkungan (relatif
terhadap gasolin). Produk samping berupa listrik, serta dampak penurunan emisi CO2
merupakan dua nilai tambah yang sangat berkontribusi positif terhadap lingkungan
hidup.

Terdapat beberapa hal yang bisa dipelajari dari Brazil dalam implementasi bahan
bakar bioethanol, yakni:
(1) Perlunya diversifikasi sumber ethanol untuk menghindari penurunan kualitas
tanah secara radikal

(2) Implementasi bahan bakar bioethanol lebih baik dimulai dari pencampuran
gasoline + ethanol, bukan dari penggunaan bioethanol 100Hal tersebut akan
menjamin transisi ke arah bioenergy secara lebih mulus Esembari menyiapkan secara
lebih matang seandainya era penggunaan bioethanol 100ipandang sudah tiba
(3) Perlunya kerjasama yang erat dengan pihak industri otomotif untuk menyediakan
kendaraan yang optimal bagi implementasi bahan bakar gasoline + ethanol

(4) Perlu sinergi antar instansi serta antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka
penyediaan bahan baku, pemrosesan, serta distribusi bahan bakar bioethanol.

Sumber : Berita Iptek


Posted by Joko at 01:34 1 comments

Bio-ethanol dari Singkong Gantikan Minyak Tanah

Minggu, 13 Juli 2008 15:34


(Surabaya)- Peneliti ITS Surabaya menemukan bio-ethanol dari singkong, atau bahan
berkarbohidrat tinggi lainnya untuk menggantikan minyak tanah. Dengan
menggunakan Bio ethanol ini pengguna dapat menghemat biaya karena perbandingan
1 liternya sama dengan 9 liter minyak tanah.
“Bio-ethanol itu sangat hemat, karena satu liter minyak bio-ethanol setara dengan
sembilan liter minyak tanah biasa”, kata peneliti bio-ethanol, Ir Sri Nurhatika MP di
Surabaya, kemarin.
Didampingi Pembantu Rektor (PR) IV ITS Surabaya, Prof Ir Eko Budi Djatmiko, ia
mengatakan, harga satu liter bio-ethanol Rp 10.000, sedang sembilan liter minyak
tanah berkisar Rp 27.000 dengan asumsi harga Rp 3.000/liter.
“Tidak hanya itu, bio-ethanol juga dapat dibuat sendiri oleh masyarakat, karena bahan
pembuatan ethanol dapat ditemukan di pasar dan cara pembuatannya pun mudah”,
terangnya.
Menurut Nurhatika, ethanol dapat dibuat dari bahan yang mengandung karbohidrat,
diantaranya ubi kayu, walur, kelapa sawit, tetes tebu, kacang koro, limbah tahu,
limbah sampah dan sebagainya.
“Bahan paling ideal adalah ubi kayu yang di Jawa dikenal dengan sebutan singkong
gendruwo, karena tingkat karbohidrat-nya cukup tinggi. Singkong gendruwo juga
mengandung pati (racun) yang tak layak dikonsumsi,” jelasnya.Cara pembuatannya,
kata dosen senior Biologi ITS Surabaya itu, singkong gendruwo itu ditumbuk halus,
kemudian dimasak dengan panci sampai menjadi bubur.
“Hasilnya diberi ragi (proses fermentasi) dan didiamkan selama 4-5 hari sampai
keluar ethanol-nya dengan kadar 90 persen. Kami menyebutnya dengan minyak tanah
BE.40". Namun, kadar ethanol 90 persen itu belum cukup untuk berfungsi seperti
minyak tanah, sebab kadar ethanol yang dibutuhkan adalah 95 persen. Karena itu,
perlu ditingkatkan.
“Kalau kadar ethanol-nya di bawah 95 persen masih mengandung Pb (timbal),
sedangkan bahan bakar harus bebas dari Pb, sebab kalau ada Pb-nya bisa meledak”,
urainya. Untuk menaikkan kadar ethanol itu, katanya, perlu ditambahkan batu kapur
(gamping), sehingga ethanol-nya menjadi 'bersih' dari Pb.
Selain itu, kompor minyak tanah bio-ethanol itu juga tidak bersumbu, sehingga
dirinya bekerja sama dengan peneliti Teknik Mesin ITS Surabaya untuk membuat
desain kompor bio-ethanol.
“Hasil desain Teknik Mesin ITS itu akhirnya kami kerjasamakan dengan Koperasi
Manunggal Sejahtera Yogyakarta, untuk memproduksi kompor tanpa sumbu yang
harganya Rp 40.000, ucap Nurhatika.
Oleh karena itu, minyak tanah bio-ethanol tidak hanya ekonomis, tapi juga terbukti
tanpa jelaga. “Mungkin pemanasan minyak bio-ethanol yang agak lama. Misalnya,
untuk memasak mie, kompor minyak tanah biasa hanya membutuhkan waktu 10
menit, sedangkan kompor bio-ethanol 2-3 menit lebih lama”, jelasnya meyakinkan.
(Teknologitinggi/Nunyunda/IOT-03)
Posted by Joko at 01:27 0 comments

Produksi Bioethanol

Produksi Bioetanol Oleh Achmad N Hidayat - Nawapanca Engineering


http://www.migas-indonesia.com/
TEKNOLOGI
Teknologi produksi bioethanol berikut ini diasumsikan menggunakan jagung sebagai
bahan baku, tetapi tidak menutup kemungkinan digunakannya biomassa yang lain,
terutama molase.Secara umum, produksi bioethanol ini mencakup 3 (tiga) rangkaian
proses, yaitu: Persiapan Bahan baku, Fermentasi, dan Pemurnian. Persiapan Bahan
BakuBahan baku untuk produksi biethanol bisa didapatkan dari berbagai tanaman,
baik yang secara langsung menghasilkan gula sederhana semisal Tebu (sugarcane),
gandum manis (sweet sorghum) atau yang menghasilkan tepung seperti jagung (corn),
singkong (cassava) dan gandum (grain sorghum) disamping bahan lainnya.

Persiapan bahan baku beragam bergantung pada bahan bakunya, tetapi secara umum
terbagi menjadi beberapa proses, yaitu:
 Tebu dan Gandum manis harus digiling untuk mengektrak gula - Tepung dan
material selulosa harus dihancurkan untuk memecahkan susunan tepungnya
agar bisa berinteraksi dengan air secara baik - Pemasakan, Tepung dikonversi
menjadi gula melalui proses pemecahan menjadi gula kompleks (liquefaction)
dan sakarifikasi (Saccharification) dengan penambahan air, enzyme serta
panas (enzim hidrolisis). Pemilihan jenis enzim sangat bergantung terhadap
supplier untuk menentukan pengontrolan proses pemasakan.
 Tahap Liquefaction memerlukan penanganan sebagai berikut:
Pencampuran dengan air secara merata hingga menjadi bubur - Pengaturan pH
agar sesuai dengan kondisi kerja enzim - Penambahan enzim (alpha-amilase)
dengan perbandingan yang tepat - Pemanasan bubur hingga kisaran 80 sd 90
C, dimana tepung-tepung yang bebas akan mengalami gelatinasi (mengental
seperti Jelly) seiring dengan kenaikan suhu, sampai suhu optimum enzim
bekerja memecahkan struktur tepung secara kimiawi menjadi gula komplek
(dextrin). Proses Liquefaction selesai ditandai dengan parameter dimana bubur
yang diproses menjadi lebih cair seperti sup.
 Tahap sakarifikasi (pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana)
melibatkan proses sebagai berikut:
- Pendinginan bubur sampai suhu optimum enzim sakarifikasi bekerja -
Pengaturan pH optimum enzim - Penambahan enzim (glukoamilase) secara
tepat - Mempertahankan pH dan temperature pada rentang 50 sd 60 C sampai
proses sakarifikasi selesai (dilakukan dengan pengetesan gula sederhana yang
dihasilkan)

 FermentasiPada tahap ini, tepung telah sampai pada titik telah berubah
menjadi gula sederhana (glukosa dan sebagian fruktosa) dimana proses
selanjutnya melibatkan penambahan enzim yang diletakkan pada ragi (yeast)
agar dapat bekerja pada suhu optimum. Proses fermentasi ini akan
menghasilkan etanol dan CO2.
Bubur kemudian dialirkan kedalam tangki fermentasi dan didinginkan pada
suhu optimum kisaran 27 sd 32 C, dan membutuhkan ketelitian agar tidak
terkontaminasi oleh mikroba lainnya. Karena itu keseluruhan rangkaian proses
dari liquefaction, sakarifikasi dan fermentasi haruslah dilakukan pada kondisi
bebas kontaminan.
 Selanjutnya ragi akan menghasilkan ethanol sampai kandungan etanol dalam
tangki mencapai 8 sd 12 % (biasa disebut dengan cairan beer), dan selanjutnya
ragi tersebut akan menjadi tidak aktif, karena kelebihan etanol akan berakibat
racun bagi ragi.Dan tahap selanjutnya yang dilakukan adalah destilasi, namun
sebelum destilasi perlu dilakukan pemisahan padatan-cairan, untuk
menghindari terjadinya clogging selama proses distilasi.
Distilasi Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari beer (sebagian
besar adalah air dan etanol).Titik didih etanol murni adalah 78 C sedangkan air
adalah 100 C (Kondisi standar). Dengan memanaskan larutan pada suhu
rentang 78 - 100 C akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan
melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 %
volume.

Adapun rangkaian peralatan proses adalah sebagai berikut:

 Peralatan penggilingan
 Pemasak, termasuk support, pengaduk dan motor, steam line dan insulasi
 External Heat Exchanger
 Pemisah padatan - cairan (Solid Liquid Separators)
 Tangki Penampung Bubur
 Unit Fermentasi (Fermentor) dengan pengaduk serta motor
 Unit Distilasi, termasuk pompa, heat exchanger dan alat kontrol
 Boiler, termasuk system feed water dan softener
 Tangki Penyimpan sisa, termasuk fitting
 Tangki penyimpan air hangat, termasuk pompa dan pneumatik
 Pompa Utilitas, Kompresor dan kontrol
 Perpipaan dan Electrikal
 Peralatan Laboratorium
 Lain-lain, termasuk alat-alat maintenance

Posted by Joko at 00:07 0 comments

Tuesday, 1 January 2008

Bensin

Seperti diketahui, bahan bakar minyak (BBM) mengambil porsi 52% dalam
kebutuhan energi nasional. Sebagian besar BBM adalah bersubsidi, bahkan pada
tahun 2006 besar subsidi berjumlah 60,6 triliun dan sekitar 43% kebutuhan BBM
dalam negeri masih diimpor. (Timmas BBN, 2006). Pada tahun 2006 volume BBM
mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2005, sebagai dampak Peraturan
Presiden No. 5 tanggal 30 September 2005 yang menaikkan harga premium 188%,
solar 20,5% dan minyak tanah 286%.

Bensin dan premium merupakan BBM peringkat kedua terbesar penggunaannya


setelah minyak solar dengan kebutuhan yang meningkat dari tahun ke tahun. Dengan
pertumbuhan sebesar 7%. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI
memperkirakan kebutuhan bensin (premium) di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 21
juta kilometer.

Bensin mengandung energi kimia. Energi ini diubah menjadi energi panas melalui
proses pembakaran (oksidasi) dengan udara didalam mesin atau motor bakar. Energi
panas ini meningkatkan temperatur dan tekanan gas pada ruang bakar. Gas bertekanan
tinggi tersebut berekspansi melawan mekanisme-mekanisme mesin. Ekspansi itu
diubah oleh mekanisme link menjadi putaran carnkshaft sebagai output dari mesin
tersebut. Selanjutnya carnkshaft dihubungkan kea system transmisi oleh sebuah poros
untuk mentransmisikan daya atau energy putaran mekanis. Energi ini kemudian
dimanfaatkan sesuai dengan keperluan, misalnya untuk menggerakkan roda motor
atau mobil.

Secara sederhana, bensin tersusun dari hidrokarbon rantai lurus dengan rumus kimia
CnH2n+2, mulai dari C7 (heptana) sampai dengan Cn. Dengan kata lain, bensin
terbuat dari molekul yang hanya terdiri dari hydrogen dan karbon saling terikat satu
dengan lainya sehingga membentuk rantai.

Molekul hidrokarbon sengan panjang yang berbeda memiliki sifat dan kelakuan
berbeda pula. CH4 (metana) merupakan molekul paling “ringan”, bertambahnya atom
C dalam rantai tersebut membuatnya semakin “berat”. Empat molekul pertama
hidrokarbon adalah metana, etana, propane dan pbutana.Pada temperature dan tekanan
kamar, keempatnya berwujud gas dengan titik didih masing-masing -107o , -67o,
-43o, dan -18oC. Berikutnya dari C5 sampai C18 berwujud cair dan mulai dari C19
keatas berwujud padat.

Di Indonesia terdapat beberapa bahan bakar jenis bensin yang memiliki nilai mutu
pembakaran berbeda. Nilai mutu jenis BBM bensin ditemukan berdasarkan nilai RON
(reserch octane number).
· Premium (RON 88) Premium adalah bahan bakar minyak jenis distilat berwarna
kuning jernih. Warna tersebut akibat adanya zat pewarna tambahan (dye). Umumnya,
premium digunakan untuk bahan bakar kendaraan bermesin bensin, seperti mobil,
sepeda motor, dan motor tempel. Bahan bakar ini sering juga disebut motor gasoline
atau petrol.

· Pertamax (RON 92), Pertamax ditujukan untuk kendaraan yang mensyaratkan


penggunaan bahan bakar beroktan tinggi tanpa timbel (unleaded). Pertamax juga
direkomendasikan untuk kendaraan yang diproduksi diatas tahun 1990, terutama yang
telah menggunakan teknologi setara dengan electronic fuel injection dan xatalytic
converters.Pertamax Plus (RON 95), jenis BBM ini mempunyai nilai oktan tinggi
(95). Pertamax dan Pertamax Plus dipasarkan sejak 10 Desember 2002. Pertamax Plus
ditujuka untuk kendaraan berteknologi mutakhir yang mensyaratkan penggunaan
bahan bakar beroktan tinggi dan ramah lingkungan. Pertamax Plus sangat
direkomendasikan untuk kendaraan yang memiliki kompresi ratio lebih besar dari
10,5 dan menggunakan teknologi electronic fuel injection (EFI), variable valve timing
(VVT-I pada Toyota, VVT pada Suzuki, VTEC pada Honda dan VANOS/Valvetronic
pada BMW), turbochargers, serta catalic converters
Posted by Joko

MAKALAH ”PEMBUATAN PULP DAN KERTAS DARI AMPAS


TEBU DENGAN PROSES ACETOSOLV”

BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Kita semua tentu sering menggunakan kertas untuk berbagai kepentingan, baik untuk
menulis, membaca, atau untuk membungkus gorengan barangkali. Kertas yang sering
kita gunakan itu biasanya terbuat dari kayu yang diolah dengan teknologi modern
sehingga sampai ke tangan kita.

Penggunaan kertas di dunia saat ini telah mencapai angka yang sangat tinggi.
Menyikapi hal ini pemerintah berencana menjadi produsen pulp dan kertas terbesar
dunia (Syafii, 2000). Permasalahannya adalah, produsen pulp dan kertas di tanah air
pada umumnya menggunakan kayu hutan sebagai bahan baku. Simajuntak (1994)
mengemukakan 90% pulp dan kertas yang dihasilkan menggunakan bahan baku kayu
sebagai sumber bahan berserat selulosa. Dapat diprediksikan bahwa akan terjadi
eksploitasi hutan secara besar-besaran apabila kelak Indonesia menjadi produsen pulp
terbesar di dunia. Terganggunya kestabilan lingkungan menjadi dampak yang perlu
mendapat perhatian khusus. Untuk mengatasi hal ini pemerintah harus mencari
alternatif penggunaan kayu hutan sebagai bahan baku pembuat pulp dan kertas.

Pulp diproduksi dari bahan baku yang mengandung selulosa. Baskoro (1986)
mengatakan bahwa ampas tebu (bagase), limbah dari batang tebu setelah dilakukan
pengempaan dan pemerasan, secara umum mempunyai sifat serat yang hampir sama
dengan sifat serat kayu daun lebar. Berdasarkan pustaka (Paturau, 1982), komponen
utama ampas tebu terdiri dari serat sekitar 43-52%, dan padatan terlarut 2-3%.
Panjang serat 1,43 mm dan nisbah antara panjang serat dangan diameter 138,43
(Baskoro,1986). Lampung memiliki pabrik pengolahan tebu menjadi gula yang
menghasilkan ampas tebu (bagase) sebagai limbah pengolahan, tetapi menurut
pengamatan bagase yang dihasilkan belum dapat dimanfaatkan secara optimal
sehingga keberadaannya yang menggunung menjadi faktor yang perlu
dipertimbangkan.

Proses pembuatan pulp pada umumnya menggunakan proses kimia, yaitu proses soda,
sulfat (kraft), sulfit, dan organosolv. Hasil penelitian mengenai pembuatan pulp
dengan proses soda-antraquinon dengan bahan baku serbuk menunjukkan reaksi yang
baik dalam rendemen maupun sifat lain dari pulp yang dihasilkan. Namun produksi
pulp secara kimia menimbulkan pencemaran yang cukup serius karena hasil samping
yang diproduksi. Polutan atau limbah utama yang dihasilkan adalah komponen gas
yang mengandung senyawa sulfur dan klor yang dihasilkan dari proses kraft atau
sulfit dengan larutan pemasak Na2S atau NaHSO2 (Simanjutak, 1994).
Dengan keluarnya larangan pemerintah dalam investasi baru dibidang industri
menggunakan klorin dan kepada industri yang terlanjur menggunakannya secara
bertahap akan disingkirkan (Suara Pembaruan, 3 Mei 1994 dalam Simanjutak, 1994),
membuat industri pulp dan kertas dalam kondisi terancam. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian tentang penggunaan bahan-bahan organik dalam produksi pulp
dan kertas. Penggunaan pelarut organik sebagai bahan pemasak pulp disebut dengan
proses organosolv (Young dan Akhtar, 1998).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan pada makalah ini adalah :

1. Apakah ampas tebu atau bagase bisa menjadi alternatif sebagai bahan baku
pembuat pulp dan kertas ?
2. Bagaimana proses pembuatan pulp dan kertas dari bahan baku ampas tebu dengan
proses acetosolv?

1.3 Tujuan

1. Mempublikasikan ampas tebu atau bagase menjadi alternatif sebagai bahan baku
pembuat pulp dan kertas dengan proses acetosolv.
2. Mempublikasikan proses pembuatan pulp dan kertas dari bahan baku ampas tebu
dengan proses acetosolv.
3. Memenuhi tugas mata kuliah Kimia Kayu dan Pulp

1.4 Manfaat

Hasil penyusunan makalah ini diharapkan bermanfaat untuk :


1. Alternatif pengganti penggunaan kayu hutan sebagai bahan baku pembuat pulp dan
kertas.
2. Sebagai referensi bagi penelitian atau pembuatan makalah sejenis.

BAB II

ISI

2. 1 TEBU (SACCHARUM)

Tebu (bahasa Inggris: sugar cane) adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku
gula. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tanaman ini
termasuk jenis rumput-rumputan. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen
mencapai kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau
Jawa dan Sumatra.
Klasifikasi ilmiah dari tebu:
Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Liliopsida
Ordo: Poales
Famili: Poaceae
Genus: Saccharum

Gambar 1. Tebu

a. Bagase

Gambar 2. Bagase

Bagase adalah hasil samping industri gula yang merupakan residu berserat dari
tanaman tebu (Saccharum officinarum) setalah dilakukan ekstraksi dan pengempaan
(Casey, 1960). Menurut Baskoro (1986) bagase mempunyai komposisi yang hampir
sama dengan komposisi kimia kayu daun lebar, kecuali kadar airnya. Misra (1980
dalam Baskoro, 1986) menyebutkan bahwa bagase terdiri dari tiga komponen, yaitu:
(1) kulit (rind) yang meliputi epidermis, kortek, dan perisikel, (2) ikatan serat
pembuluh, (3) jaringan dasar (parenkim) atau pith dengan ikatan yang tersebar tidak
teratur. Ampas tebu merupakan limbah lignoselulosa yang dihasilkan oleh pabrik gula
setelah tebu diambil niranya.

Komponen utama ampas tebu antara lain fiber (serat) sekitar 43 – 52 %, air 46 – 52
%, dan padatan terlarut 2 – 3 %. Syarat bahan baku yang dapat dijadikan pulp dan
kertas adalah bahan baku yang mempunyai serat yang panjang, luas dengan kadar
hemiselulosa tinggi dan ampas tebu memiliki syarat tersebut

Berdasarkan penelitian tentang dimensi serat, bagase yang dipakai untuk bahan baku
pulp dan kertas oleh PT Kertas Leces, Probolinggo, rata-rata memiliki panjang serat
1,43 mm, diameter 10,33 nm, tebal dinding serat 0,68 nm, diameter lumen 8,51 nm,
dan nisbah serat dengan diameter serat 138,43 (Baskoro,1986).

Pemisahan jaringan dasar merupakan langkah penting untuk meningkatkan kualitas


bagase, sebagai bahan baku proses pulping (Ruwelih,1990). Secara umum disepakati
bahwa pith (parenkim) harus dihilangkan dari bagase, jika kelak akan digunakan
untuk produksi pulp kimia yang menghasilkan kertas dengan kualitas baik
(Stephenson, 1951 dalam Baskoro 1986). Clark (1985) menyebutkan bahwa bagase
mengandung 25%-35% pith yang terdiri dari sel-sel parenkim, jika tidak dihilangkan
maka akan menyerap larutan pemasak kimia dan tidak diharapkan untuk kertas.

b. Klasifikasi kelas kualitas serat kayu untuk bahan baku pulp dan kertas

Kualitas Keterangan
Kelas I Serat panjang sampai panjang sekali, dinding sel tipis sekali dan lumen lebar.
Serat akan mudah digiling. Diduga akan menghasilkan lembaran dengan kekuatan
sobek, retak dan tarik yang tinggi.
Kelas II Serat kayu sedang sampai panjang, mempunyai dinding sel tipis dan lumen
agak lebar. Serat akan mudah menggepeng waktu digiling dan ikatan seratnya baik.
Serat jenis ini diduga akan menghasilkan lembaran dengan kekuatan sobek, retak dan
tarik cukup tinggi.
Kelas III Serat kayu berukuran pendek sampai sedang, dinding sel dan lumen sedang.
Dalam lembaran pulp kertas, serat agak menggepeng dan ikatan antar seratnya masih
baik. Diduga akan menghasilkan lembaran dengan kekuatan sobek, retak dan tarik
sedang.
Kelas IV Serat kayu pendek, dinding sel tebal dan lumen serat sempit. Serat akan sulit
menggepeng waktu digiling. Jenis ini diduga akan menghasilkan lembaran dengan
kekuatan sobek, retak dan tarik yang rendah.

2. 2 SELULOSA

Selulosa merupakan bagian utama susunan jaringan tanaman berkayu, bahan tersebut
terdapat juga pada tumbuhan perdu seperti paku, lumut, ganggang dan jamur.
Penggunaan terbesar selulosa yang berupa serat kayu dalam industri kertas dan
produk turunan kertas lainnya.

Selulosa merupakan komponen penting dari kayu yang digunakan sebagai bahan baku
pembuatan kertas. Selulosa, oleh Casey (1960), didefinisikan sebagai karbohidrat
yang dalam porsi besar mengandung lapisan dinding sebagian besar sel tumbuhan.
Winarno (1997) menyebutkan bahwa selulosa merupakan serat-serat panjang yang
bersama hemiselulosa, pektin, dan protein membentuk struktur jaringan yang
memperkuat dinding sel tanaman. Macdonald dan Franklin (1969) menyebutkan
bahwa selulosa adalah senyawa organik yang terdapat paling banyak di dunia dan
merupakan bagian dari kayu dan tumbuhan tingkat tinggi lainnya. Fengel dan
Wegener 1995) menyatakan bahwa selulosa terdapat pada semua tanaman dari pohon
bertingkat tinggi hingga organisme primitif seperti rumput laut, flagelata, dan bakteri.

a. Lignin
Lignin merupakan bagian terbesar dari selulosa. Penyerapan sinar (warna) oleh pulp
terutama berkaitan dengan komponen ligninnya. Untuk mencapai derajat keputihan
yang tinggi, lignin tersisa harus dihilangkan dari pulp, dibebaskan dari gugus yang
menyerap sinar kuat sesempurna mungkin. Lignin akan mengikat serat selulosa yang
kecil menjadi serat-serat panjang. Lignin tidak akan larut dalam larutan asam tetapi
mudah larut dalam alkali encer dan mudah diserang oleh zat-zat oksida lainnya.

b. Delignifikasi

Ada beberapa metode untuk pembuatan pulp yang merupakan proses pemisahan
selulosa dari senyawa pengikatnya, terutama lignin yaitu secara mekanis, semikimia
dan kimia. Pada proses secara kimia ada beberapa cara tergantung dari larutan
pemasak yang digunakan, yaitu proses sulfit, proses sulfat, proses kraft dan lain-lain.

Pembuatan pulp pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu :

1. Pembuatan Pulp Mekanik, merupakan proses penyerutan kayu dimana kayu


gelondong setelah dikuliti diserut dalam batu asah yang diberi semprotan air. Akibat
proses ini banyak serat kayu yang rusak.

2. Pembuatan Pulp Secara Kimia adalah proses dimana lignin dihilangkan sama sekali
hingga serat-serat kayu mudah dilepaskan pada pembongkaran dari bejana pemasak
(digester) atau paling tidak setelah perlakuan mekanik lunak.

a. Pembuatan Pulp Sulfit


Pulp sulfit rendemen tinggi dapat dihasilkan dengan proses sulfit bersifat asam,
bisulfit atau sulfit bersifat basa.

b. Pembuatan Pulp Sulfat(kraft)


Proses ini menggunakan natrium sulfat yang direduksi didalam tungku
pemulihan menjadi natrium sulfit, yang merupakan bahan kimia kunci yang
dibutuhkan untuk delignifikasi.

c. Pembuatan Pulp Soda


Proses soda umumnya digunakan untuk bahan baku dari limbah pertanian seperti
merang, katebon, bagase serta kayu lunak.

d. Organosolv
Organosolv merupakan proses pulping yang menggunakan bahan yang lebih mudah
didegradasi seperti pelarut organik. Pada proses ini, penguraian lignin terutama
disebabkan oleh pemutusan ikatan eter (Donough, 1993). Beberapa senyawa organik
yang dapat digunakan antara lain adalah asam asetat, etanol dan metanol.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses delignifikasi ini adalah:

1. Waktu pemasakan
2. Konsentrasi larutan pemasak
3. Pencampuran bahan
4. Perbandingan larutan pemasak dengan bahan baku
5. Ukuran bahan
6. Suhu dan Tekanan
7. Konsentrasi Katalis

2. 3 ORGANOSOLV

Proses organosolv adalah proses pemisahan serat dengan menggunakan bahan kimia
organik seperti misalnya metanol, etanol, aseton, asam asetat, dan lain-lain. Proses ini
telah terbukti memberikan dampak yang baik bagi lingkungan dan sangat efisien
dalam pemanfaatan sumber daya hutan.

Dengan menggunakan proses organosolv diharapkan permasalahan lingkungan yang


dihadapi oleh industri pulp dan kertas akan dapat diatasi. Hal ini karena proses
organosolv memberikan beberapa keuntungan, antara lain yaitu rendemen pulp yang
dihasilkan tinggi, daur ulang lindi hitam dapat dilakukan dengan mudah, tidak
menggunakan unsur sulfur sehingga lebih aman terhadap lingkungan, dapat
menghasilkan by-products (hasil sampingan) berupa lignin dan hemiselulosa dengan
tingkat kemurnian tinggi. Ini secara ekonomis dapat mengurangi biaya produksi, dan
dapat dioperasikan secara ekonomis pada kapasitas terpasang yang relatif kecil yaitu
sekitar 200 ton pulp per hari.

Penelitian mengenai penggunaan bahan kimia organik sebagai bahan pemasak dalam
proses pulping sebenarnya telah lama dilakukan. Ada berbagai macam jenis proses
organosolv, namun yang telah berkembang pesat pada saat ini adalah proses alcell
(alcohol cellulose) yaitu proses pulping dengan menggunakan bahan kimia pemasak
alkohol, proses acetocell (menggunakan asam asetat), dan proses organocell
(menggunakan metanol).

Proses alcell telah memasuki tahap pabrik percontohan di beberapa negara misalnya
di Kanada dan Amerika Serikat, sedangkan proses acetocell mulai diterapkan dalam
beberapa pabrik di Jerman pada tahun 1990-an. Proses alcell yang telah beroperasi
dalam skala pabrik di New Brunswick (Kanada) terbukti mampu manghasilkan pulp
dengan kekuatan setara pulp kraft, rendemen tinggi, dan sifat pendauran bahan kimia
yang sangat baik.

2. 4 PROSES ACETOSOLV

Penggunaan asam asetat sebagai pelarut organik disebut dengan proses acetosolv.
Proses acetosolv dalam pengolahan pulp memiliki beberapa keunggulan, antara lain:
bebas senyawa sulfur, daur ulang limbah dapat dilakukan hanya dengan metode
penguapan dengan tingkat kemurnian yang cukup tinggi, dan nilai hasil daur ulangnya
jauh lebih mahal dibanding dengan hasil daur ulang limbah kraft (Simanjutak, 1994).
Lebih dari itu Aziz dan Sarkanen (1989) menguatkan pernyataan tersebut dengan
mengatakan bahwa rendemen pulp lebih tinggi, pendauran lindi hitam dapat
dilakukan dengan mudah, dapat diperoleh hasil samping berupa lignin dan furfural
dengan kemurnian yang relatif tinggi, dan ekonomis dalam skala yang relatif kecil.
Nimz dan Casten (1984 dalam Muladi, 1992), yang mempatenkan proses pulping
dengan menggunakan asam asetat terhadap kayu atau tanaman semusim ditambah
sedikit garam asam sebagai katalisator, menyebutkan bahwa keuntungan dari proses
acetosolv adalah bahwa bahan pemasak yang digunakan dapat diambil kembali tanpa
adanya proses pembakaran bahan bekas pemasak. Selain itu proses tersebut dapat
dilakukan tanpa menggunakan bahan-bahan organik.

2. 5 ASAM ASETAT

Gambar 3. Asam Asetat

Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang
dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka
memilikietat rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3-
COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat murni (disebut asam asetat glasial)
adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan memiliki titik beku 16.7°C.
Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana, setelah asam
format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya
terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-. Asam asetat merupakan pereaksi
kimia dan bahan baku industri yang penting. Asam asetat digunakan dalam produksi
polimer seperti polietilena tereftalat, selulosa asetat, dan polivinil asetat, maupun
berbagai macam serat dan kain. Dalam industri makanan, asam asetat digunakan
sebagai pengatur keasaman. Di rumah tangga, asam asetat encer juga sering
digunakan sebagai pelunak air. Dalam setahun, kebutuhan dunia akan asam asetat
mencapai 6,5 juta ton per tahun. 1.5 juta ton per tahun diperoleh dari hasil daur ulang,
sisanya diperoleh dari industri petrokimia maupun dari sumber hayati.

2. 6 PULPING PROSES DALAM SKEMA PEMBUATAN KERTAS


Gambar 4. Skema pembuatan kertas

Secara garis besar ada 2 tahapan proses pembuatan kertas, yaitu;

1. Proses membuat pulp atau bubur kertas; dari skema diatas dimulai dari "woodyard"
sampai dengan proses pemutihan atau "bleaching",

2. Proses membuat lembaran kertas; dimulai saat bubur kertas atau pulp mulai masuk
ke mesin kertas atau paper mesin sampai dengan lembaran kertas tergulung rapi
dalam gelondongan atau roll.
Pada prakteknya kedua proses besar diatas tidaklah perlu menjadi satu kesatuan
proses dalam suatu pabrik kertas atau terintegrasi. Bukannya tidak umum suatu pabrik
kertas harus membeli bubur kertas dari perusahaan pulp. Pabrik kertas tersebut hanya
memiliki mesin kertas saja. Demikian pula suatu pabrik bubur kertas atas
pertimbangan strategi bisnisnya, hanya mempunyai mesin "pulping" bubur kertas
saja. Walaupun proses pembuatan pulp dan kertas adalah dua proses yang berbeda,
namun mereka terkait erat satu sama lain dan saling mempengaruhi dalam proses dan
produksi lembaran kertas. Seperti air sungai dimana air di hilir dipengaruhi oleh
sumber di hulu.

2. 7 PEMBUATAN PULP DAN KERTAS DARI AMPAS TEBU DENGAN


PROSES ASETOSOLV

2. 7. 1 Pelaksanaan

A. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah oven, rotary digester, disintegrator, hidrolic screener,
centrifuge, niagara heater hollander, canadian standar freeness, stock chest, alat pres
lembaran pulp, ember, saringan kawat, alat pembentuk lembaran pulp, tearing tester,
folding tester, dan brightness tester.
Bahan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp adalah 24 kg bagase.
Larutan pemasak yang digunakan adalah asam asetat glasial (konsentrasi 96%)
sebanyak 168 L dan 72 L air.

B. Persiapan Bagase

Proses pembuatan pulp dimulai dengan mencuci ampas tebu dan dijemur sampai
kering, kemudian dihilangkan empulurnya dengan menumbuk ampas tebu sampai
tinggal serat-seratnya (depithing), ditampi kemudian diambil 1000 g per satu kali
masak.

C. Pemasakan Pulp

Pemasakan dilakukan dengan pelarut asam asetat dan air (proses acetosolv). Sebanyak
1000 g ampas tebu dimasukkan ke dalam rotary digester (alat pemasak, gambar 5 ).
Pemasakan menggunakan perbedaan konsentrasi asetat yang berbeda (100%,80%, dan
60%) dan nisbah larutan pemasak dengan bobot serpih bagase 8:1 dan 12:1. Suhu
pemasakan maksimum 160 C dengan tekanan yang terjadi pada suhu tersebut, waktu
tuju ke suhu maksimum 69-90 menit, waktu pada suhu maksimum 90 menit. Proses
ini bertujuan untuk memisahkan selulosa dari lignin (delignifikasi) melalui proses
hidrolisis.

Gambar 5. Rotary digister

D. Pencucian Pulp

Pulp hasil pemasakan selanjutnya dicuci dengan menggunakan air. Proses ini
bertujuan membebaskan pulp dari larutan pemasak. Pencucian dilakukan hingga pulp
tidak mengandung lagi asam asetat yang ditandai dengan hasil cucian bening.

E. Disintegrasi
Gambar 6. Disintegrator

Disintegrasi adalah proses yang bertujuan untuk memisahkan serat. Proses ini
dilakukan dengan disintegrator yang memiliki prinsip kerja seperti blender. Pulp yang
telah jenuh dimasukkan ke dalam disintegrator dengan menggunakan air sebagai
media pemisahan serat. Disintegrasi dilakukan hingga pulp terurai menjadi serat-serat
mandiri. Proses ini dilakukan selama 3-5 menit.

F. Penyaringan Pulp

Pulp disaring dengan menggunakan hidrolic screener. Hidrolic screener bekerja


menyaring pulp yang telah menjadi serat-serat yang mandiri pada kisaran 80 mesh.
Setelah pulp tersaring, dikeringkan dengan memasukkan pulp tersaring ke dalam
centrifuge. Pulp hasil sentrifugasi ditimbang untuk ditentukan rendemennya.

G. Penggilingan Pulp

Pulp digiling dengan menggunakan niagara beater hollander. Untuk membuat


lembaran pulp dengan gramatur kurang lebih 60 g/m2 atau untuk setiap lembaran
dengan diameter 21,5 cm dibutuhkan pulp sebanyak 2,1783 g pulp kering oven.

Pulp sebanyak 234 g kering oven, ditambah air hingga mencapai 15,4 L kemudian
dimasukkan ke dalam niagara beater hollander. Mesin dijalankan selama 15-20 menit.
Uji derajat freeness pada waktu 0 menit dilakukan dengan mesin dalam keadaan
beroperasi. Memberi beban 5500 g dan uji kembali derjat freeness pada waktu yang
dikehendaki (sesuai penelitian). Pengujian derajat freeness dilakukan secara duplo
hingga pulp mencapai 200-300 derjat freeness. Setelah waktu giling dicapai, angkat
beban dan ambil sampel untuk pengujian derajat freeness dan untuk pembuatan
lembaran.

Pengujian derajat freeness dilakukan dengan mengambil 200 mL suspensi pulp (setara
dengan 3 g pulp kering oven) masukkan ke dalam gelas ukur dan tambahkan air
sampai 1000 mL. Memasukkan ke dalam alat uji canadian standar freeness dan uji
derjat freness-nya. Uji dilakukan secara duplo dengan menggunakan alat uji derajat
freeness..
Gambar 7. Canadian Standar Freeness

H. Pembuatan Lembaran Pulp

Lembaran pulp dibentuk pada derajat kehalusan 200-300 derajat freeness. Suspensi
pulp sebanyak 1430 ML dimasukkan ke dalam stock chest (pengaduk), ditambahkan
air sampai 10 L untuk10 lembaran pulp. Bentuk lembaran dengan setiap pengambilan
suspensi dari stock chest. Bentuk lembaran sampai suspensi dalam stock chest habis,
yaitu 10 lembar pulp.

I. Pembuatan Lembaran Kertas

Proses membuat lembaran kertas dimulai saat pulp mulai masuk ke mesin kertas atau
paper machine sampai dengan lembaran kertas tergulung rapi dalam gelondongan atau
roll

2. 7. 2 Pengamatan

Pengujian sifat fisik meliputi ketahanan sobek, ketahanan lipat, dan sifat optik (derajat
putih). Sampel yang akan diuji diambil dengan cara mengikuti aturan TAPPI T220 sp-
96. Sebelum lembaran diuji sifat fisiknya, terlebih dahulu dilakukan conditioning
dalam ruang uji dengan kelembaban nisbi 50+2% dan suhu 23+2 °C

2. 7. 3 Rendemen Pulp

Pulp hasil pemasakan (yang keluar dari centrifuge) ditimbang dalam keadaan basah
(A g), kemudian diambil contoh pulp sebanyak B g dan dikeringkan dalam oven pada
suhu 105 C selama 3 jam. Pengeringan diulang hingga dicapai bobot konstan selama
24 jam.
Rendemen dihitung dengan menggunakan rumus:

Rendemen %= C/B x A x 100%


A=Bobot total pulp basah
B=Bobot contoh pulp basah
C=Bobot contoh pulp kering

2. 7. 4 Sifat Ketahanan Sobek

Ketahanan sobek adalah gaya yang diperlukan untuk menyobek lembaran kertas yang
dinyatakan dalam gram gaya (gf) atau miliNewton (mN) yang diukur pada kodisi
standar. Nilai ketahanan sobek dinyatakan dengan indeks sobek, yaitu ketahanan
sobek dibagi dengan gramatur kertas (SNI 14-0436-1989). Pengujian ini dilakukan
dengan menggunakan alat tearing tester
Ketahanan sobek dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:
(1) jumlah total serat yang berpartisipasi dalam ketahanan fisik kertas,
(2) panjang serat,
(3) jumlah dan kekuatan ikatan antar serat (Casey, 1981).
Panjang serat merupakan faktor penting dalam ketahanan sobek.
Ketahanan sobek (KS) = S x 9.807
Indeks sobek (Nm2/kg) = KS/G
Keterangan : S = Ketahanan sobek contoh uji
G = Gramatur (gr/m2)

2. 7. 5 Ketahanan lipat

Ketahanan lipat adalah angka yang menunjukkan berapa kali kertas tersebut dapat
dilipat sampai putus pada kondisi standar (SNI 14-0491-1989). Pengujian ketahanan
lipat dilakukan dengan menggunakan alat folding tester. Menurut Casey (1981)
ketahanan lipat adalah pengujian empiris yang mengukur jumlah lipatan yang
dilakukan terhadap kertas sampai kekuatannya di bawah nilai standar (sampai kertas
terbagi).

Ketahanan lipat adalah modifikasi penentuan ketahan kertas, tetapi hasilnya secara
dominan dipengaruhi oleh kemampuan lengkung kertas. Dalam pengujian ini serat
tidak terputus (rusak), tetapi ikatan serat akan berkurang secara bertahap yang
menurunkan daya tahan kertas.

2. 7. 6 Derajat Putih

Derajat putih adalah perbandingan antara intensitas cahaya biru dengan panjang
gelombang 457 nm yang dipantulkan oleh permukaan lembaran pulp dengan cahaya
sejenis yang dipantulkan oleh permukaan lapisan magnesium oksida (MgO) pada
kondisi sudut datang cahaya 45 dan sudut pantul 0 serta dinyatakan dalam % GE (SNI
14-0436-1989). Derajat putih diukur dengan alat brightness tester. Nilai derajat putih
pulp bisa langsung dibaca pada alat.
Gambar 8. Brightness tester

2. 8 STANDAR UJI KERTAS dan KARTON SNI

Sifat Fisik
1 Cara uji ketahanan sobek kertas (Elemendorf) 14. 0436 – 1989
2 Cara uji ketahanan tarik dan daya regang lembaran pulp, kertas dan karton (Metode
kecepatan pembebanan tetap) 14. 0437 – 1989
Cara uji ketahanan tarik dan daya regang lembaran pulp, kertas dan karton (Metode
kecepatan pembebanan tetap) (revisi) 14. 0437 – 1998
3 Cara pengambilan contoh kertas dan karton 14. 1764 – 1990
4 Cara uji ketahanan tekan tepi kertas medium 14. 1560 – 1989
5 Cara uji kelicinan kertas (Metode Bekk) 14. 0586 – 1989

Sifat Kimia
6 Cara uji kadar abu kertas 14. 0442 – 1989
7 Cara uji ketahanan kertas dan karton terhadap jamur (revisi) 14. 1558 – 1998
8 Cara uji keasaman dan kebasaan kertas yang terekstraksi dalam air panas 14. 4990 –
1999
9 Cara uji ketahanan kertas dan karton terhadap jamur (revisi) 14. 1558 – 1998
10 Cara uji pH permukaan kertas 14. 4735 – 1998
11 Cara uji kuantitatif mineral pengisi dan mineral salut dalam kertas dan karton 14.
1039 – 1989

BAB III
PENUTUP

3. 1 Kesimpulan
Syarat bahan baku yang dapat dijadikan pulp dan kertas adalah bahan baku yang
mempunyai serat yang panjang, luas dengan kadar hemiselulosa tinggi dan
berdasarkan penelitian tentang dimensi serat, bagase yang dipakai untuk bahan baku
pulp dan kertas oleh PT Kertas Leces, Probolinggo, rata-rata memiliki panjang serat
1,43 mm, diameter 10,33 nm, tebal dinding serat 0,68 nm, diameter lumen 8,51 nm,
dan nisbah serat dengan diameter serat 138,43. Oleh karena itu ampas tebu memenuhi
syarat tersebut untuk menjadi alternatif sebagai bahan baku pembuatan pulp dan
kertas.

3.2 Saran

Perlu dilakukan uji aktivitas lain untuk mengetahui hasil pulp dan kertas dari ampas
tebu dengan menggunakan proses yang lain

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Pembuatan Kertas dari Tebu (online).


http://pemdesjatimulyo.blogspot.com/2009/03 /pembuatan-kertas-dari-tebu.html,
(Diakses pada tanggal 2 Desember 2009)

Anonim. 2005. Industri Kertas (online). http://www.kertasgrafis.com. (Diakseses pada


tanggal 2 Desember 2009)

Anonim. 2009. Teknologi Ramah Lingkungan Untuk Industri Pulp & Kertas (online).
http://greenhouse-idea.blogspot.com/. (Diakses pada tanggal 2 Desember 2009)

Hidayati, Sri. 2009. Mempelajari Pembuatan Pulp Acetocell dari Ampas Tebu dan
Pemutih Terhadap Sifat Pulp yang Dihasilkan (online).
http://pustakailmiah.unila.ac.id/2009/07/06/mempelajari-pembuatan-pulp-acetocell-
dari-ampas-tebu-dan-pemutih-terhadap-sifat-pulp-yang-dihasilkan/. (Diakses pada
tanggal 2 Desember 2009)

Prades, Elki. 2009. Ilmu Pulp dan Kertas (online).


http://ilmupulpdankertas.blogspot.com. (Diakses pada tanggal 2 Desember 2009)

Setyo, Daru. 2008. Pengetahuan Tentang Kertas (online).


http://pembalutanion.multiply.com/journal/item/5/pengetahuan_tentang_kertas.
(Diakses pada tanggal 2 Desember 2009)

You might also like