You are on page 1of 14

Table of Contents

No. Title Page


1 Literature on Indonesia’s Democratisation: Plenty of Empirical Details, Lack of 203 - 211
Theories
2 How is Indonesia Posible? 211 - 220
3 Memahami Teori Konstruksi Sosial 221 - 230
4 The Construction of Cultural Identity in Local Television Station’s Programs in 231 - 235
Indonesia
5 Peran Benda Cagar Budaya dalam Proses Pembelajaran 236 - 244
6 Slang sebagai Simbol Replikasi Klas di Yogyakarta 245 - 249
7 Studi Etnografi Semiotika: Angkutan Umum sebagai Gaya Hidup Metropolitan 250 - 256
dalam Kartun Benny Rachmadi
8 Metafora Budaya sebagai Pendekatan Manajemen 257 - 263
9 Penerapan POLDA Jatim Standard Organisation (PJSO) 2006: Studi Evaluasi 276 - 271
10 Acromiocristalis Populasi Pygmy Rampasasa (Kabupaten Manggarai, Pulau 272 - 282
Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur )
Vol. 21 - No. 3 / 2008-07
TOC : 3, and page : 221 - 230

Memahami Teori Konstruksi Sosial

Understanding The Theory of Social Construction

Author :
I. B. Putera Manuaba | ibteram@yahoo.com
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

Abstract

The theory of social construction is a theory of contemporary sociology its born was based on the combination of the
previous of so many social theories. Social contruction theory then becomes an independent theory and is being applied
in the study everyday life. As a social theory, the social construction is not only applied in empirical study but also
explored to the textual study.

Keyword : , the, theory, of, social, construction, application, empirical, and, textual, ,

Daftar Pustaka :
1. Peter L. Berger, (1990). Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari
buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basari). Jakarta : LP3ES
2. Thomas Luckmann, (1990). Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan
dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basari). Jakarta : LP3ES
3. Peter L. Berger, (1992). Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia (diterjemahkan dari buku asli The
Homeless Mind: Modernization and Consciousness). Yogyakarta : Kanisius
4. Thomas Luckmann, (1992). Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia (diterjemahkan dari buku asli
The Homeless Mind: Modernization and Consciousness). Yogyakarta : Kanisius
5. Peter L. Berger, (1994). Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (diterajemahkan dari buku asli Sacred Canopy
oleh Hartono) . Jakarta : Pustaka LP3ES
6. Thomas Luckmann, (1994). Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (diterajemahkan dari buku asli Sacred
Canopy oleh Hartono) . Jakarta : Pustaka LP3ES
7. Mohammad Dimyati, (2000). Penelitian Kualitatif: Paradigma, Epistemologi. Pendekatan, Metode, dan Terapan .
Malang : IPTI dan UNM

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)


Daftar Isi

Literature on Indonesia’s Democratisation: Plenty of Empirical Details,


Lack of Theories
Ulla Fionna.......................................................................................................... 203–211

How is Indonesia Possible?


Anton Novenanto................................................................................................ 212–220

Memahami Teori Konstruksi Sosial


I. B. Putera Manuaba.......................................................................................... 221–230

The Construction of Cultural Identity in Local Television Station’s


Programs in Indonesia
Yuyun W.I Surya................................................................................................. 231–235

Peran Benda Cagar Budaya dalam Proses Pembelajaran


Djoko Adi Prasetyo............................................................................................. 236–244

Slang sebagai Simbol Replikasi Klas di Yogyakarta


Yusuf Ernawan.................................................................................................... 245–249

Studi Etnografi Semiotika: Angkutan Umum sebagai Gaya Hidup


Metropolitan dalam Kartun Benny Rachmadi
Roikan................................................................................................................. 250–256

Metafora Budaya sebagai Pendekatan Manajemen


Siswanto.............................................................................................................. 257–263

Penerapan POLDA Jatim Standard Organisation (PJSO) 2006: Studi


Evaluasi
Yan Yan Cahyana................................................................................................ 264–271

Acromiocristalis Populasi Pygmy Rampasasa (Kabupaten Manggarai,


Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur)
Rusyad Adi Suriyanto, Janatin Hastuti, Neni Trilusiana Rahmawati,
Koeshardjono dan T. Jacob................................................................................. 272–282


Memahami Teori Konstruksi Sosial
I. B. Putera Manuaba1
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

Abstract
The theory of social construction is a theory of contemporary sociology its born was based on the combination of the
previous of so many social theories. Social contruction theory then becomes an independent theory and is being applied
in the study everyday life. As a social theory, the social construction is not only applied in empirical study but also
explored to the textual study.

Key words: theory, application, empirical, and textual study

Teori konstruksi sosial (social construction) Berger kehidupan sehari-hari merupakan suatu kenyataan
dan Lukmann merupakan teori sosiologi kontemporer seperti yang dialaminya.
yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Dalam Dunia kehidupan sehari-hari yang dialami tidak
teori ini terkandung pemahaman bahwa kenyataan hanya nyata tetapi juga bermakna. Kebermaknaannya
dibangun secara sosial, serta kenyataan dan adalah subjektif, artinya dianggap benar atau
pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk begitulah adanya sebagaimana yang dipersepsi
memahaminya. Kenyataan adalah suatu kualitas manusia. Misalnya, Bali dalam masyarakat modern
yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang campur-aduk, itulah kenyataannya yang ada dalam
diakui memiliki keberadaan (being)-nya sendiri kehidupan sehari-hari. Masyarakat modern berarti
sehingga tidak tergantung kepada kehendak manusia; masyarakat yang mengalami modernitas. Modernitas
sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa merupakan gejala sejarah atau fenomena sosial.
fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki Sebagai fenomena sosial, modernitas memang tidak
karakteristik yang spesifik (Berger, 1990: 1). terelakkan. Bagi Berger, modernitas dipengaruhi
Oleh karena konstruksi sosial merupakan oleh kapitalisme, yang tumbuh dalam waktu yang
sosiologi pengetahuan maka implikasinya harus lama (Berger, 1990: 11–19).
menekuni pengetahuan yang ada dalam masyarakat Sebagai suatu yang berpengaruh bagi perubahan
dan sekaligus proses-proses yang membuat setiap sosial, kapitalisme tidak hanya berkait dengan
perangkat pengetahuan yang ditetapkan sebagai masalah kapital, tetapi mengandung konsep yang
kenyataan. Sosiologi pengetahuan harus menekuni luas. Perannya tidak hanya ada dalam pengembangan
apa saja yang dianggap sebagai pengetahuan dalam kapital, tetapi juga sosial politik, budaya, dan nilai-
masyarakat. nilai. Menurut Berger (1990: 21), kapitalisme
Sosiologi pengetahuan, yang dikembangkan selalu dikombinasikan dengan industrialisme
Berger dan Luckmann, mendasarkan untuk menciptakan apa yang sekarang disebut
pengetahuannya dalam dunia kehidupan sehari- dunia modern. Berger (1990: 24) menyatakan,
hari masyarakat sebagai kenyataan. Bagi mereka secara historis, perkembangan kapitalisme terjadi
(1990: 31–32), kenyataan kehidupan sehari-hari bersamaan dengan fenomena industrialisme.
dianggap menampilkan diri sebagai kenyataan par Modernitas berkait dengan pengalaman modern,
excellence sehingga disebutnya sebagai kenyataan seperti pengalaman kehidupan kota dan pengalaman
utama (paramount). Berger dan Luckmann komunikasi massa modern. Kota, merupakan
(1990: 28) menyatakan dunia kehidupan sehari- tempat pertemuan orang atau kelompok yang sangat
hari menampilkan diri sebagai kenyataan yang berbeda-beda. Kota mendorong para penghuninya
ditafsirkan oleh manusia. Maka itu, apa yang menjadi “urban” terhadap orang-orang asing.
menurut manusia nyata ditemukan dalam dunia Modernitas (kemodernan), di masyarakat mana pun,

1 
Korespondensi: I. B. Putera Manuaba. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga. Jl. Dharmawangsa Dalam Surabaya 60286, Indonesia.
Telp: 031-8550421, 08155091319. E-mail: ibteram@yahoo.com

221
222 Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th. XXI. No. 3, Juli–September 2008, 221–230

telah berarti perkembangan kota dalam kapasitas dan dipelihara sebagai yang nyata dalam pikiran
besar (Berger et al., 1992: 63). Kotalah yang telah dan tindakan. Atas dasar itulah kemudian Berger
menciptakan gaya hidup (termasuk gaya pikir, gaya dan Luckmann (1990: 29) menyatakan bahwa
rasa, dan pada umumnya gaya mengalami realitas), dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-
yang sekarang menjadi standard untuk masyarakat hari adalah objektivasi (pengobjektivan) dari proses-
luas (Berger et al., 1992: 65). Modernitas lebih proses (dan makna-makna) subjektif dengan mana
dipahami sebagai “cara hidup yang lebih modern dunia akal-sehat intersubjektif dibentuk.
dan bercorak kekinian”. Dalam proses pengobjektifan, Berger dan
Kota, yang identik dengan masyarakat urban Luckman (1990: 30) menekankan adanya
(urban society), mengalami pengurbanisasian yang kesadaran, dan kesadaran itu selalu intensional
diakibatkan terutama oleh media modern komunikasi karena ia selalu terarah pada objek. Dasar
massa. Melalui publikasi massa, film, radio, dan kesadaran (esensi) memang tidak pernah dapat
televisi, serta media modern lainnya, batasan- disadari, karena manusia hanya memiliki kesadaran
batasan kognitif dan normatif tentang realitas yang tentang sesuatu (fenomena); baik menyangkut
diciptakan di kota dengan cepat menyebar di seluruh kenyataan fisik lahiriah maupun kenyataan
masyarakat (Berger et al., 1992: 65). subjektif batiniah. Seperti halnya manusia, yang
Modernitas, juga berkait dengan soal identitas juga memiliki kesadaran tentang dunia kehidupan
(modern).2 Setidaknya, ada empat segi yang dapat sehari-harinya sebagaimana yang dipersepsinya. Di
dikemukakan berkait dengan identitas modern. sini dapat dilihat bahwa analisis fenomenologis akan
Pertama, identitas modern bersifat terbuka. Kedua, mencoba menyingkap berbagai lapisan pengalaman
identitas modern berdiferensiasi secara khas. dan berbagai struktur makna yang ada dalam dunia
Ketiga, identitas modern bersifat reflektif secara kehidupan sehari-hari.
khas. Keempat, identitas modern terindividukan Bagi Berger dan Luckmann (1990: 32),
secara khas (Berger et al., 1992: 73–74). Apa yang kenyataan hidup sehari-hari sebagai kenyataan yang
digambarkan Berger dkk. tentang identitas itu, lebih tertib dan tertata. Fenomena-fenomenanya seperti
diarahkan pada identitas modern. Modernitas pada sudah tersusun sejak semula dalam bentuk pola-
manusia, dilihat dari empat segi itu. pola, yang tidak tergantung kepada pemahaman
Apa yang disebut modernitas adalah sebagai seseorang. Kenyataan hidup sehari-hari tampak
pengaruh kapitalisme. Kapitalisme, dari paradigma sudah diobjektivasi, sudah dibentuk oleh suatu
Marxis, sebagai kekuatan yang penting dalam tatanan objek-objek sejak sebelum seseorang
dunia modern. Paradigma modernisasi memandang hadir. Dalam hal ini, bahasa yang digunakan dalam
kapitalisme sebagai satu penyebab yang penting; kehidupan sehari-hari terus-menerus, dipakai sebagai
kapitalismelah yang menyebabkan terjadinya sarana objektivasi yang membuat tatanan menjadi
serangkaian proses besar (Berger, 1990b: 40–41). bermakna.
Implikasinya, modernitas itu sendiri ditandai dengan Kenyataan hidup sehari-hari bersifat
cara hidup modern, yang digerakkan oleh industri intersubjektif, dipahami bersama-sama oleh orang
dan teknologi modern. Kehidupan modern, ditandai yang hidup dalam masyarakat sebagai kenyataan
dengan kecepatan dan percepatan, produksi yang yang dialami. Kendatipun kenyataan hidup sehari-
besar, pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya hari merupakan dunia intersubjektif namun bukan
(Berger, 1990b: 43–49). Modernitas dibentuk oleh berarti antara orang yang satu dengan orang yang
rasionalitas, birokrasi (institusi), industrialisasi lain selalu memiliki kesamaan perspektif dalam
(teknologi), kapitalisme, dan pluralitas. Modernitas, memandang dunia bersama. Setiap orang memiliki
lebih dipahami sebagai upaya manusia yang perspektif berbeda-beda dalam memandang dunia
senantiasa mengusahakan kehidupan terus-menerus bersama yang bersifat intersubjektif. Perspektif
agar sesuai dengan apa yang seharusnya dalam orang yang satu dengan yang lain tidak hanya
kehidupan kekinian sebagai dunia kehidupan sehari- berbeda tetapi sangat mungkin juga bertentangan.
hari. Namun, bagi Berger dan Luckmann (1990: 34), ada
Dunia kehidupan sehari-hari merupakan suatu persesuaian yang berlangsung terus-menerus antara
yang berasal dari pikiran dan tindakan manusia, makna-makna orang yang satu dengan yang lain

2 
Lihat Peter L. Berger et al., Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 1992), halaman 73. Di sini identitas
dipahami sebagai cara individu menentukan dan membatasi diri mereka sendiri. Identitas merupakan unsur hakiki struktur khusus kesadaran dan
dengan demikian terhadapnya dapat dilakukan deskripsi fenomenologis.
I. Manuaba: Memahami Teori Konstruksi Sosial 223

tadi. Ada kesadaran bersama mengenai kenyataan di Tipifikasi yang ada dan baru terbentuk terjadi secara
dalamnya menuju sikap alamiah atau sikap kesadaran berkesinambungan.
akal sehat. Sikap ini kemudian mengacu kepada Oleh karena itu, pandangan Berger dan Luckmann
suatu dunia yang sama-sama dialami banyak orang. (1990: 47) dapat dimengerti bahwa kenyataan
Jika ini sudah terjadi maka dapat disebut dengan sosial kehidupan sehari-hari dipahami dalam suatu
pengetahuan akal sehat (common-sense knowledge), rangkaian (continuum) berbagai tipifikasi, yang
yakni pengetahuan yang dimiliki semua orang dalam menjadi semakin anonim dengan semakin jauhnya
kegiatan rutin yang normal dan sudah jelas dengan tipifikasi itu dari di sini dan sekarang dalam situasi
sendirinya dalam kehidupan sehari-hari. tatap-muka. Pada satu sisi, di dalam rangkaian itu
Kenyataan hidup sehari-hari, yang diterima terdapat orang-orang yang saling berinteraksi secara
sebagai kenyataan oleh masyarakat merupakan intensif dalam situasi tatap muka; dan di sisi lain,
faktisitas yang memaksa dan sudah jelas dengan terdapat abstraksi-abstraksi yang sangat anonim
sendirinya, dan juga akan berlangsung terus-menerus. karena sifatnya yang tidak terlibat dalam tatap muka.
Namun, masyarakat dapat saja menyangsikan atau Dalam konteks ini, struktur sosial merupakan jumlah
mengubahnya. Untuk mengubah kenyataan, perlu keseluruhan tipifikasi dan pola-pola interaksi yang
peralihan yang sangat besar, kerja keras, dan pikiran terjadi berulang-ulang melalui tipifikasi, dan ia
kritis. Sepanjang kenyataan hidup--misalnya berupa merupakan satu unsur yang esensial dari kenyataan
kegiatan rutin sehari-hari--berlangsung terus tanpa hidup sehari-hari.
interupsi maka kenyataan itu tidak menimbulkan Berbagai skema tipifikasi, dengan kemampuan
masalah. Kesinambungan kenyataan baru terpotong ekspresi diri, manusia mampu mengadakan
manakala muncul masalah. Misalnya, dalam objektivasi (objectivation). Manusia dapat
masyarakat Bali, sepanjang tidak menimbulkan memanifestasikan diri dalam produk-produk
masalah maka adat akan berlaku terus-menerus; dan kegiatannya yang tersedia, baik bagi produsen-
kesinambungannya baru terpotong manakala adat produsennya maupun bagi orang lain sebagai
tidak lagi kondusif bagi masyarakatnya. unsur-unsur dari dunia bersama. Objektivasi itu
Kenyataan hidup sehari-hari dialami bersama merupakan isyarat-isyarat yang bersifat tahan-lama
oleh orang-orang. Pengalaman terpenting orang- dari proses-proses subjektif para produsennya,
orang berlangsung dalam situasi tatap-muka, sebagai sehingga memungkinkan objektivasi dapat dipakai
proses interaksi sosial (Berger dan Luckmann, 1990: melampaui situasi tatap-muka.
41). Dalam situasi tatap-muka ini, orang-orang Kenyataan hidup, tentunya tidak hanya berisi
terus-menerus saling bersentuhan, berinteraksi, objektivasi-objektivasi; juga berisi signifikasi,
dan berekspresi. Dalam situasi itu pula terjadi yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Sebuah
interpretasi dan refleksi. Interaksi tatap-muka sangat tanda (sign), dapat dibedakan dari objektivasi. Jika
memungkinkan mengubah skema-skema tipifikasi objektivasi lebih berupa ekspresi diri dalam wujud
orang. Perjumpaan tatap-muka yang terjadi terus- produk, signifikasi berupa ekspresi diri berupa bahasa.
menerus dapat memengaruhi tipifikasi orang sebagai Namun, keduanya dapat digunakan sebagai tanda,
pendiam, pendendam, periang, dan sebagainya. Pada dan terkadang kabur penggunaannya. Signifikasi
gilirannya, interaksi itu kembali melahirkan tipifikasi bahasa menjadi yang terpenting dalam kehidupan
baru. sehari-hari, karena dengan dan melalui bahasa. Suatu
Suatu tipifikasi akan berlaku sampai ada pemahaman mengenai bahasa, merupakan hal yang
perkembangan lain, yang menentukan tindakan- pokok bagi setiap pemahaman mengenai kenyataan
tindakan seseorang. Tipifikasi yang ada pada orang- hidup sehari-hari. Bahasa lahir dari situasi tatap
orang yang berinteraksi, saling terbuka bagi adanya muka, dan dengan mudah dapat dilepaskan darinya.
campur-tangan. Skema tipifikasi itu “bernegosiasi” Ia juga dapat menjadi tempat penyimpanan yang
terus-menerus dalam situasi tatap-muka. Misalnya, objektif dari akumulasi makna dan pengalaman yang
interaksi orang-orang Bali dengan orang luar besar dan yang kemudian dilestarikan dalam waktu
Bali, menimbulkan adanya skema tipifikasi yang dan diteruskan kepada generasi-generasi berikutnya.
baru. Skema itu di antaranya dapat dilihat dari Ia memiliki sistem tanda yang khas, yang bersifat
sikap-sikap, tindakan-tindakan, dan sifat-sifatnya. objektif, yang tidak dimiliki sistem tanda lainnya.

3 
Mohammad Dimyati, Penelitian Kualitatif: Paradigma, Epistemologi, Pendekatan, Metode, dan Terapan (Malang: IPTPI dan UNM, 2000),
hlm. 68–71.
224 Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th. XXI. No. 3, Juli–September 2008, 221–230

Ia sebagai faktisitas, yang memiliki sifat memaksa; Adapun Berger dan Luckmann (1990: 67–73)
karena memaksa orang masuk ke dalam pola- menyatakan bahwa hubungan antara manusia
polanya. dengan lingkungannya bercirikan keterbukaan
Oleh karena yang dicoba dipahami di sini adalah dunia sehingga memungkinkan manusia melakukan
kesadaran kenyataan sebagaimana yang dipersepsi berbagai aktivitas. Adanya keterhubungan manusia
pengarang maka--sebagaimana yang dikemukakan dengan lingkungannya seperti itu, membuat ia
Berger dan Luckmann (1990: 29) -- metodennya mengembangkan dirinya bukan berdasarkan naluri
yang representatif adalah metode fenomenologis. tetapi melalui banyak macam kegiatan terus-menerus
Metode yang berlandaskan pada pemikiran penuh variasi. Maka itu, dalam mengembangkan
fenomenologi Husserl ini mencoba memahami dirinya manusia tidak hanya berhubungan secara
gejala-gejala yang tampak atau fenomena-fenomena timbal-balik dengan lingkungan alam tertentu
yang berupa kesadaran yang ada dalam masyarakat. tetapi juga dengan tatanan sosial dan budaya yang
Metode fenomenologi adalah suatu metode yang spesifik, yang dihubungkan melalui perantaraan
secara sistematis berpangkal pada pengalaman, orang-orang yang berpengaruh (significant-others).
sehingga metode ini mengharuskan terus-menerus Perkembangan manusia sejak kecil hingga dewasa
mengadakan kontak dengan pengalaman. memang sangat ditentukan secara sosial.
Maka itu, secara metodis, pengguna metode ini Organisme manusia pun menunjukkan
melakukan tiga tingkat pembebasan diri berupa: “kekenyalan” yang luar biasa dalam berhadapan
(1) pembebasan diri dari unsur-unsur subjektif, dengan lingkungan sosialnya. Di sini kodrat
(2) pembebasan diri dari kungkungan hipotesis, insani manusia terbentuk dari konstanta-konstanta
dan (3) pembebasan diri dari doktrin-doktrin antropologis (keterbukaan dunia dan kekenyalan
tradisional.3 Dengan demikian, kebenaran kenyataan struktur naluri) yang membatasi dan memungkinkan
dan pengetahuan, nantinya hanya diperoleh dari bentukan-bentukan sosio kultural manusia.
pengalaman. Manusia secara bersama-sama menghasilkan suatu
lingkungan manusiawi, dengan totalitas bentukan-
bentukan sosio kultural dan psikologisnya. Semua
Masyarakat sebagai Kenyataan Objektif
bentukan itu merupakan hasil dari aktivitas produktif
dan Subjektif manusia. Oleh karena itulah Berger dan Luckmann
menyatakan bahwa tidak mungkin bagi manusia
Bagi Berger dan Luckmann (1990: 66), masyarakat
untuk berkembang sebagai manusia dalam keadaan
merupakan kenyataan objektif, dan sekaligus
terisolasi untuk menghasilkan suatu lingkungan
kenyataan subjektif. Sebagai kenyataan objektif,
manusiawi.
individu berada di luar diri manusia dan berhadap-
Oleh karena manusia membutuhkan kestabilan
hadapan dengannya; sedangkan sebagai kenyataan
dalam hidupnya maka keterbukaan dunia eksistensi
subjektif, individu berada di dalam masyarakat
manusia harus ditransformasikan ke dalam tatanan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Individu
sosial yang berupa ketertutupan-dunia yang relatif.
adalah pembentuk masyarakat; dan masyarakat
Dengan demikian, tatanan sosial merupakan produk
adalah pembentuk individu. Maka itu, kenyataan
manusia yang berlangsung terus-menerus, sepanjang
sosial bersifat ganda dan bukan tunggal, yaitu
eksternalisasinya juga terus-menerus berlangsung.
kenyataan objektif dan sekaligus subjektif (Berger
Tatanan sosial tidak diberikan secara biologis, tidak
dan Luckmann, 1990: 28–65).
diberikan oleh lingkungan alam, tidak merupakan
Masyarakat sebagai kenyataan objektif, menurut
kodrat alam, dan tidak dapat dijabarkan dari hukum
Berger dan Luckmann (1990: 66–67), terjadi
alam. Tatanan sosial ada sebagai produk aktivitas
melalui pelembagaan dan legitimasi. Pelembagaan
manusia (Berger dan Luckmann, 1990: 74–75).
(institusionalisasi), terjadi dari aktivitas yang
dilakukan individu-individu manusia, dan dilakukan
karena mereka tidak memiliki dunia sendiri, serta Proses Sosial Momen Eksternalisasi
harus membangun dunianya sendiri. Ini karena
manusia menempati kedudukan yang khas, yang Produk aktivitas manusia--yang berupa produk-
berbeda dengan binatang. Artinya, manusia tidak produk sosial terlahir dari eksternalisasi manusia.
memiliki dunia seperti halnya dunia binatang yang Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian
terbatas pada suatu distribusi geografis yang khas manusia terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam
dan bersifat tertutup. aktivitas fisis maupun mentalnya. Eksternalisasi
I. Manuaba: Memahami Teori Konstruksi Sosial 225

merupakan keharusan antropologis; keberadaan merupakan aktivitas kolektif. Kolektivitas itulah


manusia tidak mungkin berlangsung dalam suatu yang melakukan pembangunan-dunia, yang
lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa-gerak. merupakan realitas sosial. Manusia menciptakan alat-
Keberadaannya harus terus-menerus mencurahkan alat, bahasa, menganut nilai-nilai, dan membentuk
kediriannya dalam aktivitas. Keharusan antropologis lembaga-lembaga. Manusia juga yang melakukan
itu berakar dalam kelengkapan biologis manusia yang proses sosial sebagai pemelihara aturan-aturan sosial
tidak stabil untuk berhadapan dengan lingkungannya (Berger, 1994: 9210).
(Berger dan Luckmann, 1990: 75: Berger,
1994: 5–6).
Proses Sosial Momen Objektivasi
Kedirian manusia adalah melakukan eksternalisasi
yang terjadi sejak awal, karena ia dilahirkan belum Bagi Berger, masyarakat adalah produk manusia,
selesai, berbeda dengan binatang yang dilahirkan berakar pada fenomena eksternalisasi. Produk
dengan organisme yang lengkap. Untuk menjadi manusia (termasuk dunianya sendiri), kemudian
manusia, ia harus mengalami perkembangan berada di luar dirinya, menghadapkan produk-
kepribadian dan perolehan budaya (Berger, 1994: produk sebagai faktisitas yang ada di luar dirinya.
5–6). Keadaan manusia yang belum selesai pada Meskipun semua produk kebudayaan berasal dari
saat dilahirkan, membuat dirinya tidak terspesialisasi (berakar dalam) kesadaran manusia, namun produk
dari struktur instinktualnya, atau dunianya tidak bukan serta-merta dapat diserap kembali begitu saja
terprogram. Dunia manusia adalah dunia yang ke dalam kesadaran. Kebudayaan berada di luar
dibentuk (dikonstruksi) oleh aktivitas manusia subjektivitas manusia, menjadi dunianya sendiri.
sendiri; ia harus membentuk dunianya sendiri dalam Dunia yang diproduksi manusia memperoleh sifat
hubungannya dengan dunia (Berger, 1994: 6–7). realitas objektif (Berger, 1994: 11–12). Semua
Dunia manusia yang dibentuk itu adalah kebudayaan, aktivitas manusia yang terjadi dalam eksternalisasi,
yang tujuannya memberikan struktur-struktur yang menurut Berger dan Luckmann (1990: 75–76),
kokoh yang sebelumnya tidak dimilikinya secara dapat mengalami proses pembiasaan (habitualisasi)
biologis. Oleh karena merupakan bentukan manusia, yang kemudian mengalami pelembagaan
struktur-struktur itu bersifat tidak stabil dan selalu (institusionalisasi) (Berger dan Luckmann, 1990:
memiliki kemungkinan berubah. Itulah sebabnya, 75–76).
kebudayaan selalu dihasilkan dan dihasilkan kembali Kelembagaan berasal dari proses pembiasaan
oleh manusia. Ia terdiri atas totalitas produk-produk atas aktivitas manusia. Setiap tindakan yang sering
manusia, baik yang berupa material dan nonmaterial diulangi, akan menjadi pola. Pembiasaan, yang
(Berger, 1994: 8). Manusia menghasilkan berbagai berupa pola, dapat dilakukan kembali di masa
jenis alat, dan dengan alat-alat itu pula manusia mendatang dengan cara yang sama, dan juga dapat
mengubah lingkungan fisis dan alam sesuai dengan dilakukan di mana saja. Di balik pembiasaan ini,
kehendaknya. Manusia menciptakan bahasa dan juga sangat mungkin terjadi inovasi. Namun, proses-
membangun simbol-simbol yang meresapi semua proses pembiasaan mendahului sikap pelembagaan.
aspek kehidupannya. Pelembagaan, bagi Berger dan Luckmann (1990:
Adapun pembentukan kebudayaan nonmaterial 77–84), terjadi apabila ada tipifikasi yang timbal-
selalu sejalan dengan aktivitas manusia yang balik dari tindakan-tindakan yang terbiasakan bagi
secara fisis mengubah lingkungannya. Akibatnya, berbagai tipe pelaku. Tiap tipifikasi semacam itu
masyarakat merupakan bagian tidak terpisahkan dari merupakan suatu lembaga. Tipifikasi tindakan-
kebudayaan nonmaterial. Masyarakat adalah aspek tindakan yang sudah dijadikan kebiasaan, yang
dari kebudayaan nonmaterial yang membentuk membentuk lembaga-lembaga, merupakan milik
hubungan kesinambungan antara manusia dengan bersama. Tipifikasi-tipifikasi itu tersedia bagi semua
sesamanya, sehingga ia menghasilkan suatu dunia, anggota kelompok sosial tertentu, dan lembaga-
yakni dunia sosial (Berger, 1994: 8–9). lembaga itu mentipifikasi pelaku-pelaku individual
Masyarakat merupakan bentuk formasi sosial atau pun tindakan-tindakannya. Tipifikasi-tipifikasi
manusia yang paling istimewa, dan ini lekat dengan timbal-balik itu terjadi secara diakronik dan bukan
keberadaan manusia sebagai homo sapiens (makhluk seketika. Lembaga-lembaga juga mengendalikan
sosial). Maka itu, manusia selalu hidup dalam perilaku manusia dengan menciptakan pola-pola
kolektivitas, dan akan kehilangan kolektivitasnya perilaku. Pola-pola inilah yang kemudian mengontrol
jika terisolir dari manusia lainnya. Aktivitas yang melekat pada pelembagaan. Segmen kegiatan
manusia dalam membangun-dunia pada hakikatnya manusia yang telah dilembagakan berarti telah
226 Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th. XXI. No. 3, Juli–September 2008, 221–230

ditempatkan di bawah kendali sosial. Misalnya, menghasilkan dunia manusiawi; dan seterusnya
dalam masyarakat Bali, lembaga hukum adat dapat dialektika antara manusia yang memproduksi dan
memberikan sanksi kepada anggota masyarakat yang produknya sudah hilang dalam kesadaran. Dunia
melanggar adat. yang direifikasi telah menjadi dunia yang tidak
Dalam konteks inilah semua itu baru dapat manusiawi lagi. Ia dialami manusia sebagai faktisitas
disebut sebagai dunia sosial, sebuah kenyataan yang asing, suatu karya asing yang berada di luar
yang komprehensif dan diberikan, yang dihadapi kendalinya, dan bukan sebagai karya sendiri dari
oleh individu dengan cara yang analog dengan kegiatan produksinya sendiri (Berger dan Luckmann,
kenyataan dunia alamiah. Sebagai dunia objektif, 1990: 127–128). Ketika dunia sosial yang objektif
bentukan-bentukan sosial dapat diteruskan kepada sudah tercipta, di situ telah terjadi reifikasi.
generasi selanjutnya lewat sosialisasi. Dalam Objektivitas dunia sosial berarti ia dihadapi oleh
fase-fase awal sosialisasi, si anak belum mampu manusia sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya.
untuk membedakan antara objektivitas fenomena- Dalam objektivasi ini, penting juga dilihat tatanan
fenomena alam dan objektivitas bentukan-bentukan kelembagaan. Asal-mula tatanan kelembagaan
sosial (Berger dan Luckmann, 1990: 85). Contohnya, terletak dalam tipifikasi kegiatan-kegiatan seseorang
bahasa bagi anak seperti tampak sudah melekat dan orang-orang lain. Hal ini mengandung arti bahwa
pada kodrat benda-benda. Begitupun adat dalam setiap orang mempunyai tujuan-tujuan yang sama
masyarakat Bali, seperti sudah ada melekat, padahal dan terlibat dalam fase-fase yang jalin-menjalin.
itu sebagai bentukan sosial. Anggapan inilah yang Apabila tipifikasi sudah diobjektivasi pada
terkadang membuat semua itu given, tidak dapat kolektivitas pelaku-pelaku maka akan menyangkut
diubah lagi, dan pengarang cenderung bertitik-tolak peranan. Peranan biasanya diobjektivasi melalui
dari pengalaman. Semua lembaga sama tampil bahasa. Dengan memainkan peranan berarti individu
seperti itu. Kelembagaan, memiliki sifat nyata atau berpartisipasi dalam suatu dunia sosial. Dengan
faktisitas yang historis dan objektif. Inilah yang menginternalisasi peranan, dunia secara objektif
membuat Berger dan Luckmann (1990: 86–87) menjadi nyata baginya. Bagi Berger dan Luckmann
menganggap dunia kelembagaan atau lembaga- (1990: 106–109), yang penting dalam peranan adalah
lembaga berada sebagai kenyataan eksternal. proses pembiasaan. Peranan itu terdapat dalam
Untuk memahaminya, individu harus “keluar” interaksi sosial dan mendahului pelembagaan. Semua
dan belajar mengetahui tentang lembaga-lembaga, perilaku yang sudah dilembagakan, melibatkan
sama seperti dalam memahami alam. Cara itu harus berbagai peranan. Karena itu, peranan memiliki sifat
dilakukan oleh individu, meskipun kenyataan buatan mengendalikan pelembagaan. Begitu pelaku-pelaku
manusia. Proses dengan mana produk-produk sudah ditipifikasi sebagai peranan, perilakunya
aktivitas manusia yang dieksternalisasi memperoleh dapat dipaksakan. Maka, mau tidak mau, individu
sifat objektif inilah yang disebut objektivasi. Jadi, manusia harus menaati norma-norma peranan
objektivasi berarti disandangnya produk-produk yang sudah disepakati secara sosial. Di sinilah
aktivitas (baik fisis maupun mental), suatu realitas peranan merepresentasikan tatanan kelembagaan.
yang berhadapan dengan produsennya semula, dalam Misalnya, peranan desa adat dalam masyarakat
bentuk kefaktaan (faktisitas) yang bersifat eksternal. Bali, merepresentasikan kelembagaan desa adat
Dunia kelembagaan adalah aktivitas manusia yang (pakraman).
diobjektivasi. Dunia sosial yang telah memperoleh Berger dan Luckmann (1990: 116) menyatakan
sifat objektif, tetap tidak dapat dilepaskan dari bahwa pelembagaan bukanlah suatu proses yang stabil
status ontologisnya, dari aktivitas manusia yang walaupun dalam kenyataannya lembaga-lembaga
menghasilkannya. sudah terbentuk dan mempunyai kecenderungan untuk
Tatanan kelembagaan itu diobjektivasi dengan bertahan terus. Akibat berbagai sebab historis, lingkup
cara reifikasi, pemahaman atas fenomena-fenomena tindakan-tindakan yang sudah dilembagakan mungkin
manusiawi seolah-olah semua itu “benda-benda” saja mengalami pembongkaran lembaga (deinstitusi
(things), bukan manusiawi atau adi-manusiawi onalization). Proses-proses kelembagaan ini acapkali
(suprahuman). Reifikasi adalah pemahaman produk- diikuti dengan objektivasi makna “tingkat kedua”
produk kegiatan manusia dengan cara seolah-olah yang disebut legitimasi. Fungsi legitimasi adalah
hal itu bukan produk manusia--seperti fakta- untuk membuat objektivasi “tingkat pertama” yang
fakta alam, akibat-akibat kosmis, atau manifestasi sudah dilembagakan menjadi tersedia secara objektif
kehendak ilahi. Reifikasi mengimplikasikan manusia dan masuk akal secara subjektif. Legitimasi harus
mampu melupakan kenyataan, ia sendirilah yang melakukan penjelasan-penjelasan dan pembenaran-
I. Manuaba: Memahami Teori Konstruksi Sosial 227

pembenaran mengenai unsur-unsur penting dari ilahi. Dalam masyarakat Bali misalnya, gagasan
tradisi kelembagaan. Legitimasi menjelaskan tatanan dharma (kewajiban sosial) yang menghubungkan
kelembagaan dengan memberikan kesahihan kognitif individu dengan tatanan universal semesta alam
dan martabat normatif. Namun, semua legitimasi bertahan terhadap reinterpretasi-reinterpretasi
merupakan buatan manusia (Berger dan Luckmann, makna-maknanya. Sepanjang skema mikrokosmos
1990: 132–184). dan makrokosmos berhasil ditembus, sepanjang itu
Dalam pemahaman Berger (1994: 36), semua pula agama terus menjadi pelaku pemberi legitimasi
dunia yang dibangun secara sosial adalah rawan, sentral.
karena keberadaannya terancam oleh kepentingan Agama yang secara historis penting dalam proses
diri manusia atau kebodohan manusia. Karena itu, legitimasi, semakin jelas lagi kalau disadari perihal
diperlukan legitimasi untuk pemeliharaan dunia. kemampuan unik dirinya untuk “menempatkan”
Banyak legitimasi yang ada untuk pemeliharaan- fenomena-fenomena manusia di dalam suatu acuan
dunia. Namun, agama, secara historis, merupakan kosmik. Semua legitimasi bertindak memelihara
instrumentalis legitimasi yang paling tersebar realitas sebagai suatu kolektivitas manusia
dan efektif. Semua legitimasi mempertahankan tertentu. Legitimasi religius (yang diberi agama)
realitas yang didefinisikan secara sosial. Agama menghubungkan realitas yang didefinisikan secara
melegitimasikan sedemikian efektifnya, karena manusiawi dengan realitas purna yang universal
agama menghubungkan konstruksi-konstruksi dan keramat. Di sini konstruksi-konstruksi aktivitas
realitas rawan dari masyarakat-masyarakat empiris manusia yang rawan dan bersifat sementara
dengan realitas purna. mendapatkan kemantapan dan ketetapan purna
Berger (1994: 41–42) menyebut agama (Berger, 1994: 44).
melegitimasi lembaga-lembaga sosial dengan Kendatipun realitas dunia yang dibangun secara
memberikannya status ontologis yang absah, yaitu sosial dipertahankan oleh legitimasi-legitimasi
dengan meletakkan lembaga-lembaga di dalam suatu religius, namun dalam sehari-hari realitas dunia
kerangka acuan keramat dan kosmik. Konstruksi- terus-menerus dikelilingi bayang-bayang dari realitas
konstruksi historis aktivitas manusia dilihat dari suatu sosial yang berbeda, yang diakibatkan oleh suatu
titik tinggi yang mengatasi (transcend) sejarah atau kesadaran yang memiliki status kognitif khusus,
pun manusia. Sesuatu yang transcend melegitimasi misalnya kesadaran manusia modern. Agama di sini
apa yang ada di bawahnya. Bentuk legitimasi yang bertindak mengintegrasikan realitas-realitas dengan
paling kuno adalah tatanan kelembagaan yang realitas kehidupan sehari-hari, dengan memberikan
langsung mencerminkan atau mewujudkan struktur realitas-realitas suatu status kognitif yang lebih
ilahi, yaitu konsepsi hubungan antara masyarakat tinggi.
dan kosmos sebagai hubungan antara mikrokosmos Keseluruhan deskripsi tersebut menyangkut
dan makrokosmos. Segala yang “di bawah sini” masyarakat yang dipahami sebagai kenyataan
memiliki analog dengan yang “di atas sana”. objektif. Namun, dalam waktu yang serentak juga,
Dengan berpartisipasi dalam tatanan kelembagaan masyarakat dipahami sebagai kenyataan subjektif. Ini
maka manusia berpartisipasi dalam kosmos ilahiah. terjadi dalam momen internalisasi, yang dilakukan
Struktur kekerabatan di Bali misalnya, menjangkau dalam bentuk sosialisasi primer dan sekunder.
melewati wilayah manusiawi, dengan semua kedirian
(termasuk kedirian ilahi) dibayangkan dalam struktur
Proses Sosial Momen Internalisasi
kekerabatan sebagai tercetak dalam masyarakat.
Seksualitas mencerminkan kreativitas ilahi. Setiap Masyarakat dipahami juga sebagai kenyataan
keluarga manusia merupakan perwujudan struktur subjektif, yang dilakukan melalui internalisasi.
kosmos ilahi. Struktur politis merupakan perluasan Internalisasi adalah suatu pemahaman atau
dari kekuasaan kosmos ilahi. Wewenang politis penafsiran individu secara langsung atas peristiwa
dibayangkan sebagai wakil kosmos ilahi atau objektif sebagai pengungkapan makna. Berger
inkarnasi ilahi. Kekuasaan manusia, pemerintah, dan Luckmann (1990: 87) menyatakan, dalam
dan hukuman menjadi fenomena-fenomena internalisasi, individu mengidentifikasikan diri
sakramental, yaitu saluran-saluran yang dipakai dengan berbagai lembaga sosial atau organisasi sosial
sebagai kekuatan-kekuatan ilahi untuk menyentuh di mana individu menjadi anggotanya. Internalisasi
kehidupan-kehidupan manusia. Penguasa bersabda merupakan peresapan kembali realitas oleh manusia
demi kosmos ilahi, dan mematuhinya berarti dan mentransformasikannya kembali dari struktur-
berada dalam hubungan yang benar dengan dunia struktur dunia objektif ke dalam struktur-struktur
228 Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th. XXI. No. 3, Juli–September 2008, 221–230

kesadaran subjektif (Berger, 1994: 5). berpengaruh tidak dipilih. Anak harus menerima
Subjektivitas itu tersedia secara objektif bagi orang-orang yang berpengaruh itu apa adanya,
orang yang menginternalisasi dan bermakna, tidak ibarat nasib, dan terjadi secara kuasi-otomatis.
peduli apakah ada kesesuaian antara kedua makna Anak menginternalisasi dunia orang-orang yang
subjektifnya. Dalam konteks ini, internalisasi berpengaruh tidak sebagai satu di antara banyak
dipahami dalam arti umum, yakni merupakan dasar: dunia yang mungkin, sebagai kenyataan yang tidak
pertama, bagi pemahaman mengenai sesama, dan terelakkan. Anak menginternalisasinya sebagai dunia
kedua, bagi pemahaman mengenai dunia sebagai satu-satunya yang ada dan yang dapat dipahami.
sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial (Berger Oleh karena itulah dunia yang diinternalisasi dalam
dan Luckmann, 1990: 186). Selanjutnya dikatakan sosialisasi primer jauh lebih kuat tertanam dalam
Berger dan Luckmann (1990: 187), baru setelah kesadaran dibandingkan dengan dunia-dunia yang
mencapai taraf internalisasi inilah individu menjadi diinternalisasi dalam sosialisasi sekunder. Hal yang
anggota masyarakat. Proses untuk mencapai taraf pertama sekali harus diinternalisasi adalah bahasa.
itu dilakukan dengan sosialisasi. Ada dua macam Dengan bahasa, sebagai perantaraannya, berbagai
sosialisasi, yakni: pertama, sosialisasi primer, adalah skema motivasi dan interpretasi diinternalisasi
sosialisasi pertama yang dialami individu dalam sebagai sudah didefinisikan secara kelembagaan.
masa kanak-kanak. Kedua, sosialisasi sekunder, Yang jelas, dalam sosialisasi primerlah dunia pertama
adalah setiap proses berikutnya ke dalam sektor- individu terbentuk.
sektor baru dunia objektif masyarakatnya. Sosialisasi primer, bagi Berger dan Luckmann
Sosialisasi primer merupakan yang paling (1990: 197), akan berakhir manakala konsep tentang
penting bagi individu, sebab struktur dasar dari orang lain pada umumnya (dan segala sesuatu yang
semua sosialisasi sekunder harus mempunyai menyertainya) telah terbentuk dan tertanam dalam
kemiripan dengan struktur dasar sosialisasi primer. kesadaran individu. Ia sudah merupakan anggota
Setiap individu dilahirkan ke dalam suatu struktur masyarakat dan secara subjektif telah memiliki
sosial yang objektif, dan di sinilah ia menjumpai suatu diri dan sebuah dunia. Namun, internalisasi
orang-orang yang berpengaruh dan yang bertugas masyarakat, identitas, dan kenyataan, tidak terjadi
mensosialisasikannya. Ia dilahirkan tidak hanya sekali jadi dan selesai tuntas. Sosialisasi tidak pernah
ke dalam suatu struktur sosial yang objektif, tetapi total dan tidak pernah selesai. Hal ini menghadapkan
juga ke dalam dunia sosial subjektif. Orang-orang pada dua masalah lain, yakni: pertama, bagaimana
yang berpengaruh itu mengantarai dunia dengan diri, kenyataan yang sudah diinternalisasi dalam
memodifikasi dunia atau menyeleksi aspek-aspek sosialisasi primer dipertahankan dalam kesadaran;
dari dunia yang sekiranya sesuai dengan lokasi kedua, bagaimana sosialisasi berikutnya berlangsung.
dan watak khas mereka yang berakar pada biografi Dalam hal ini, ada kecenderungan dalam masyarakat
masing-masing. --yang khasanah pengetahuannya sederhana--tidak
Internalisasi berlangsung karena adanya upaya akan terjadi sosialisasi lebih lanjut. Namun, perlu
untuk identifikasi. Si anak mengoper peranan diingat juga bahwa semua masyarakat mempunyai
dan sikap orang-orang yang berpengaruh, dan pembagian kerja sehingga terjadi tingkat distribusi
menginternalisasi serta menjadikannya peranan sikap pengetahuan, dan sosialisasi sekunder terjadi (Berger
dirinya. Dengan mengidentifikasi orang-orang yang dan Luckmann, 1990: 198).
berpengaruh itulah anak mampu mengidentifikasi Sebagaimana dikemukakan Berger bahwa dalam
dirinya sendiri, untuk memperoleh suatu identitas sosialisasi primer memang sudah terjadi pluralisasi.
yang secara subjektif koheren dan masuk akal. Diri Namun, menurut Berger (1992: 65–66), pluralisasi
merupakan suatu entitas yang direfleksikan, yang tingkat tinggi baru terjadi pada sosialisasi sekunder.
memantulkan sikap yang mula-mula diambil dari Sosialisasi sekunder baru terjadi setelah pembentukan
orang-orang yang berpengaruh terhadap entitas diri pada tahap awal. Proses sosialisasi sekunder,
diri itu. Sosialisasi primer menciptakan di dalam diwujudkan sejak lembaga anak menempuh
kesadaran anak suatu abstraksi yang semakin tinggi pendidikan formal--dari taman kanak-kanak sampai
dari peranan-peranan dan sikap orang-orang lain bekerja.
tertentu ke peranan-peranan dan sikap-sikap pada Berger dan Luckmann (1990: 198–199)
umumnya. menegaskan bahwa sosialisasi sekunder adalah
Dalam sosialisasi primer biasanya tidak ada sosialisasi sejumlah “subdunia” kelembagaan, atau
masalah dalam identifikasi, karena orang-orang yang yang berlandaskan lembaga. Lingkup jangkauan dan
I. Manuaba: Memahami Teori Konstruksi Sosial 229

sifat sosialisasi ini, ditentukan oleh kompleksitas itu muncul identitas-identitas khusus; tetapi sejarah-
pembagian kerja dan distribusi pengetahuan dalam sejarah itu dibuat oleh manusia dengan identitas-
masyarakat yang menyertainya. Sosialisasi sekunder identitas tertentu (Berger dan Luckmann, 1990:
adalah proses memperoleh pengetahuan khusus 248). Jika kita memahami dialektika ini, kita akan
sesuai dengan peranannya (role specific knowledge), dapat menghindari pengertian yang menyesatkan
dan peranan ditentukan berdasarkan pembagian tentang identitas-identitas kolektif yang tidak
kerja. memperhitungkan keunikan dari eksistensi individu.
Berger dan Luckmann (1990: 224) menyatakan Struktur-struktur sosial historis tertentu melahirkan
bahwa kenyataan subjektif itulah yang mesti tipe-tipe identitas, yang dapat dikenali dalam kasus-
dipertahankan, sebab sosialisasi mengimplikasikan kasus individual.
kemungkinan bahwa kenyataan subjektif dapat Hanya dengan mengalihkan dunia sosial kepada
ditransformasikan. Berada dalam suatu masyarakat generasi baru maka dialektika sosial yang mendasar
berarti melibatkan diri dalam proses yang terus- dapat tampil dalam totalitasnya. Hanya dengan
menerus untuk memodifikasi kenyataan subjektif; munculnya satu generasi baru, kita benar-benar dapat
dan kenyataan subjektif tidak pernah disosialisasikan berbicara tentang suatu dunia sosial.
sepenuhnya, karena ia tidak pernah dapat
ditransformasikan sepenuhnya oleh proses-proses
Kesimpulan
sosial.
Keberhasilan sosialisasi, menurut Berger (1994: Dalam memahami teori konstruksi sosial Bergerian,
19–20), sangat tergantung pada adanya simetri antara ada tiga momen penting yang harus dipahami secara
dunia objektif masyarakat dengan dunia subjektif simultan. Ketiga momen itu adalah eksternalisasi,
individu. Apabila kita mengandaikan seorang objektivasi, dan internalisasi, yang bagi Berger,
individu yang tersosialisasi total, berarti setiap makna memiliki hubungan dasar dan dipahami sebagai satu
yang secara objektif terdapat dalam dunia sosial akan proses yang berdialektika (interplay) satu sama lain.
mempunyai makna analognya secara subjektif dalam Masing-masing dari ketiga momen itu berkesesuaian
kesadaran individu itu sendiri. Hanya saja, sosialisasi dengan suatu karakterisasi yang esensial dari
total semacam itu tidak akan ada, dan secara teoretis dunia sosial. Melalui eksternalisasi, masyarakat
pun tidak mungkin ada. Kendati demikian, terdapat merupakan produk manusia; melalui objektivasi,
tingkat keberhasilan dalam sosialisasi. Sosialisasi masyarakat menjadi realitas sui generis, unik; dan
yang berhasil, akan memberikan suatu simetri melalui internalisasi, manusia merupakan produk
objektif dan subjektif tingkat tinggi. masyarakat (Berger, 1994:5). Ada proses menarik
Adapun kegagalan sosialisasi, mengarah pada keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal
berbagai tingkat asimetri. Jika sosialisasi tidak itu berada di luar (objektivasi), dan lebih lanjut ada
berhasil menginternalisasi--sekurang-kurangnya proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi)
makna paling penting dari suatu masyarakat tertentu- sehingga yang berada di luar seakan-akan berada di
-maka masyarakat itu tidak akan berhasil membentuk dalam diri.
tradisi dan menjamin kelestarian masyarakat itu Hubungan antara manusia (sebagai produsen) dan
sendiri. Berger dan Luckmann (1990: 239), ketika dunia sosial (sebagai produknya), tetap merupakan
menjelaskan sosialisasi primer, cenderung melihat hubungan yang dialektis. Manusia dan dunia
bahwa kegagalan sosialisasi dapat disebabkan karena sosialnya berinteraksi satu sama lain, dan produk
pengasuh yang berlainan mengantarkan berbagai berbalik memengaruhi produsennya. Eksternalisasi,
kenyataan objektif kepada individu. Kegagalan objektivasi, dan internalisasi merupakan momen
sosialisasi dapat merupakan akibat heterogenitas di dalam suatu proses dialektis yang berlangsung terus-
kalangan personil sosialisasinya. menerus. Masyarakat adalah produk manusia (society
Identitas merupakan satu unsur kunci kenyataan is a human product); masyarakat adalah kenyataan
subjektif dan berhubungan secara dialektis dengan objektif (man is an objective reality); dan manusia
masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses adalah produk sosial (man is a social product). Jika
sosial. Begitu ia memperoleh wujudnya, ia dipelihara, dalam proses ini ada satu momen diabaikan maka
dimodifikasi, atau malahan dibentuk-ulang oleh mengakibatkan terjadinya distorsi. Teori tentang
hubungan-hubungan sosial. Proses-proses sosial yang masyarakat konstruksi sosial Bergerian melihatnya
terlibat dalam membentuk dan mempertahankan dari ketiga momen dialektik itu.
identitas ditentukan oleh struktur sosial. Masyarakat
mempunyai sejarah dan di dalam perjalanan sejarah
230 Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th. XXI. No. 3, Juli–September 2008, 221–230

Daftar Pustaka Modernization and Consciousness). Yogyakarta:


Kanisius.
Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1990. Tafsir Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1994. Langit
Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (diterjemahkan
Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social dari buku asli Sacred Canopy oleh Hartono). Jakarta:
Construction of Reality oleh Hasan Basari). Jakarta: Pustaka LP3ES.
LP3ES. Dimyati, Mohammad. 2000. Penelitian Kualitatif:
Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1992. Pikiran Paradigma, Epistemologi. Pendekatan, Metode, dan
Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia Terapan (Malang: IPTI dan UNM).
(diterjemahkan dari buku asli The Homeless Mind:

You might also like