You are on page 1of 14

Hubungan Teori Hukum Kontrak klasik dan modern

1) Teori Hukum Kontrak Klasik

A. Teori Kontrak Henry James Sumner Maine


Menurut Sir Henry Maine dalam teorinya yang terkenal perihal perkembangan hukum
dari status ke kontrak sejalan dengan perkembangan masyarakat yang sederhana ke masyarakat
yang modern dan kompleks, hubungan hukum yang didasarkan pada status warga-warga
masyarakat yang masih sederhana berangsur-angsur akan hilang apabila masyarakat tadi
berkembang menjadi masyarakat yang modern dan kompleks, hubungan-hubungan hukum
didasarkan pada sistem-sistem hak dan kewajiban yang didasarkan pada kontrak yang secara
sukarela dibuat dan dilakukan oleh para pihak. Dengan demikian dalam dunia hukum (khususnya
hukum bisnis), hampir dapat dipastikan bahwa abad mendatang akan merupakan abad kontrak.
Untuk menunjang kegiatan-kegiatan bisnis atau transaksi-transaksi dagang yang semakin modern
dan mengglobal tersebut, peranan hukum kontrak sangat diperlukan. Kontrak yang dibuat pun
semakin berkembang, klausul-kalusul yang dimuat dalam kontrak tersebut disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan transaksi. Terdapat keterkaitan yang erat antara perluasan pasar dengan
kebebasan berkontrak, pihak yang lebih memiliki kekuatan pasar mempunyai bargaining position
yang lebih tinggi untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah.

B. Teori Kontrak Roscoe Pound


Kontrak merupakan pembentuk realitas yang dapat mempengaruhi para pihak selaku
subjek kontrak dan lingkungan hidup sebagai objek kontrak. Kontrak membuat realitas baru dari
realitas sebelumnya. Realitas kontrak pada masa pra-kontraktual akan menjadi berbeda dengan
realitas kontrak pada masa pasca kontraktual. Pound menjelaskan bahwa kontrak adalah janji
yang dibuat oleh para pihak. Kontrak yang dimaksudkan oleh Pound adalah kontrak privat.
Walaupun kontrak itu bersifat privat, tetapi pada hakikatnya kontrak harus mengedepankan
keseimbangan dalam melakukan kontrak. Perlunya keseimbangan karena manusia dihadapkan
oleh kehendak bebasnya dengan kehendak untuk mentaati janjinya. Pound menyebutkan dalam
menepati janji terhadap pemenuhan kontrak maka itu bagian dari kepentingan masyarakat sosial.
Kontrak yang berkaitan dengan lingkungan hidup sebagai objek kontrak harus di posisikan
seimbang. Seimbang dalam memperlakukan objek kontrak yaitu lingkungan hidup, sehingga
lingkungan tidak dijadikan sebagai pemuas kebutuhan manusia, melainkan sebagai pemenuhan
keseimbangan manusia pada saat manusia itu hidup.

C. Teori Hak Robert Nozick


Teori hak libertarian dirumuskan secara memikat oleh Nozick dalam Anarchy, State, and
Utopia (1974). Setelah mengkritisi pandangan kaum anarkis yang menolak eksistensi
negara, Nozick menguraikan secara panjang lebar pandangannya tentang hak-hak individu
sebagai basis bagi keadilan. Menurut Nozick, keadilan mengandaikan adanya hak. Mustahil
membayangkan keadilan tanpa hak. Adil bersesuaian dengan hak-hak yang terdapat pada setiap
orang. Nozick mengritik pendekatan normatif yang berorientasi pada tujuan (goals) dan
menawarkan pendekatan normatif berbasis kekangan (constraints). Menurut Nozick, hak
bukanlah tujuan yang harus direalisasikan oleh suatu tatanan sosial, tetapi aksioma dari tatanan
sosial yang bersifat aktif dan mengekang berbagai bentuk tindakan yang hendak melanggarnya.
Nozick mengawali teori haknya dengan kritik terhadap konsep “keadilan distributif” (distributive
justice). Dalam pandangan Nozick, konsep keadilan distributif cenderung tidak dimaknai secara
netral, yang mana kata “distribusi” diasosiasikan dengan adanya “sesuatu” atau “mekanisme”
yang berdasarkan kriteria tertentu segala hal dibagikan. Keadilan, dalam perkataan lain,
dibayangkan sebagai unit-unit yang dibagi-bagi secara sentralistik oleh suatu agen berdasarkan
kriteria-kriteria tertentu. Bagi Nozick, konsep distribusi ini tidak dapat diterima. Dalam keadaan
alamiah, keadilan terwujud dalam proses distribusi yang tidak tersentralisasi pada suatu agen
—“tidak ada seseorang atau kelompok yang memiliki hak mengontrol seluruh sumber
daya.” Dalam masyarakat yang bebas, setiap orang, menurut Nozick, memiliki sesuatu karena
mendapatkannya dari orang lain, apakah melalui proses pertukaran ataukah sebagai hadiah. Ini
terjadi karena berbagai sumber daya dikuasai oleh orang-orang yang berbeda (diverse persons
control different resources), yang mana pemilik-pemilik baru bermunculan melalui proses
pertukaran dan tindakan orang per orang yang bersifat sukarela.
Berdasarkan pengandaian tersebut, Nozick melihat bahwa keadilan harus didasarkan pada
tiga prinsip: pertama, asal-usul kepemilikan (original acquisition of holdings); kedua, peralihan
kepemilikan (transfer of holdings); dan ketiga, pembetulan atas ketidakadilan atau pelanggaran
atas prinsip pertama dan kedua (rectification of injustice). Berdasarkan tiga prinsip ini, Nozick
merumuskan sebuah kerangka umum tentang keadilan yang berciri transitif dan sekaligus
evaluatif. Disebut transitif karena apapun yang muncul dari sebuah situasi yang adil, melalui
langkah yang adil, adalah juga adil. Disebut evaluatif karena, dalam kerangka umum tersebut,
terjadi evaluasi yang bersifat historis, di mana adil atau tidaknya suatu situasi kepemilikan
didasarkan pada proses kesejarahan yang memunculkan situasi tersebut, mulai dari proses awal
hingga peralihan kepemilikan. Nozick menyebut historisitas ini sebagai “asas historis” dan ia
perlawankan dengan “asas hasil-akhir” yang menjadi ciri pendekatan welfare economics, yang
mengevaluasi adil atau tidaknya distribusi kepemilikan dalam masyarakat dengan mengabaikan
faktor sejarah dan mematok terlebih dulu model keadilan yang diidealkan.
Lebih lanjut lagi, Nozick membedakan dua model teori hak: teori hak yang terpola
(patterned) dan yang tak terpola. Dalam masyarakat tradisional, misalnya, seorang tetua adat atau
dukun kampung memiliki hak yang lebih besar daripada orang lain karena distribusi hak dalam
masyarakat itu ditentukan ‘berdasarkan pada kontribusi moral’ dari agen yang terlibat. Teori hak
yang terpola selalu berlandaskan pada kriteria kontribusi sosial tertentu, entah itu moral, kerja,
kebutuhan dalam masyarakat, dst. Sementara teori hak yang diajukan Nozick tidak terpola. Tidak
ada kriteria formal yang menstruktur proses distribusi kepemilikan dalam masyarakat.
Kebebasan menjadi situasi yang memungkinkan keadilan berbasis hak: “Dari masing-masing
sesuai yang mereka pilih, bagi mereka yang dipilih.”

Hubungan Teori Hukum Kontrak Klasik dan Modern

A. Teori Kepentingan (UtilitarianismeTheory) dari Jeremy Bentham.


Kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebas yang
dipelopori oleh Adam Smith. Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya mendasari
pemikirannya pada ajaran hukum alam, hal yang sama menjadi dasar pemikiran Jeremy Bentham
yang dikenal dengan utilitarianisme. Utilatarianism dan teori klasik ekonomi laissez faire,
dianggap saling melengkapi dan sama-sama menghidupkan pemikiran liberlis individualistis.
Jeremy Bentham dalam bukunya “Introduction to the Morals and Legislation” berpendapat
bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang.
Menurut Teory Utilitis, tujuan hukum ialah menjamin adanya kebahagian sebesar-besarnya pada
orang sebanyak-banyaknya. Kepastian melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan
utama dari pada hukum. Dalam hal ini pendapat Bentham dititik beratkan pada hal-hal yang
berfaedah dan bersifat umum.
Peraturan-peraturan yang timbul dari norma hukum (kaedah hukum), dibuat oleh
penguasa Negara, isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan
segala paksaan oleh alat-alat Negara. Keistimewaan dari norma hukum justru terletak dalam
sifatnya yang memaksa, dengan sanksinya berupa ancaman hukuman. Bahwa undang-undang
adalah keputusan kehendak dari satu pihak; perjanjian, keputusan kehendak dari dua pihak;
dengan kata lain, bahwa orang terikat pada perjanjian berdasar atas kehendaknya sendiri, pada
undang-undang terlepas dari kehendaknya.

B. Teori Kedaulatan Hukum dari Krabbe


Dikatakan Krabbe: “aldus moet ook van recht de heerscappij gezocht worden in de
reactie van het rechtsgevoel, en ligt dus het gezag niet buiten maar in den mens”, kurang lebih
artinya, demikian halnya dengan kekuasan hukum yang harus kami cari dari dalam reaksi
perasaan hukum; jadi, kekuasaan hukum itu tidak terletak diluar manusia tetapi didalam manusia.
Hukum berdaulat yaitu diatas segala sesuatu, termasuk Negara. Oleh karena itu menurut Krabbe;
Negara yang baik adalah Negara hukum (rechtstaat), tiap tindakan Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada hukum.
Azas kebebasan berkontrak dalam melakukan suatu perjanjian merupakan bentuk dari
adanya suatu kedaulatan hukum yang dipunyai oleh setiap individu dalam melakukan suatu
perbuatan hukum. Setiap individu menurut kepentingannya secara otonom berhak untuk
melakukan perjanjian dengan individu lain atau kelompok masyarakat lainnya.

C. Teori 3 P
Teori ini didasarkan kepada pemilikiran Scoott J. Burham yang mendasarkan dalam
penyusunan suatu kontrak haruslah dimulai mendasari dengan pemikiran-pemikiran sebagai
berikut:
1. Predictable, dalam perancangan dan analisa kontrak seorang darfter harus dapat meramalkan
atau melakukan prediksi mengenai kemungkinan-kemngkinan apa yang akan terjadi yang ada
kaitannya dengan kontrak yang disusun.
2. Provider, yaitu Siap-siap terhadap kemungkinan yang akan terjadi.
3. Protect of Law, perlindungan hukum terhadap kontrak yang telah dirancang dan dianalisa
sehingga dapat melindungi klien atau pelaku bisinis dari kemungkinan kemungkin terburuk
dalam menjalankan bisnis.
Lebih dari seabad yang lalu (tahun 1861), ahli hukum Inggris yang masyur Sir Hendry
Maine menerbitkan buku berjudul Ancient Law (Hukum Kuno). Dalam bagian yang terkenal.
Maine mencoba menjelaskan bagaimana hukum berevolusi selama bertahun-tahun pada
masyarakat yang “progresif” (yaitu, yang modern). Maine menunjukan bahwa pada masyarakat
seperti itu hukum begerak “dari satus ke kontrak”. Maksudnya, hubungan hukum dalam
masyarakat modern tidak tergantung secara khusus pada kelahiran atau kasta; hubungan hukum
itu tergantung pada perjanjian sukarela. Kontrak adalah perangkat hukum yang umumnya
berkenaan dengan perjanjian sukarela.
Hukum kontrak di Indonesia diatur dalam Buku III KUHPerdata Bab Kedua yang
mengatur tentang perikatan-perikaan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. Pengertian
kontrak dengan persetujuan adalah sama seperti terlihat yang didefinisikan pada pasal 1313
KUHPerdata. Hukum kontrak hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis
perjanjian tertentu. Sekalipun demikian mungkin kontrak adalah bagian yang kurang menonjol
dari hukum yang hidup (living law) dibandingkan bidang lain yang berkembang berdasarkan
hukum kontrak atau pemikiran tentang kontrak.
Secara akademis, terdapat berbagai macam teori tentang kontrak, yang masing-
masingnya mencoba menjelaskan berdasarkan pengelompokannya dan kriterinya masing-
masing. Menurut Munir Fuady ada beberapa teori hukum tentang kontrak, yaitu:

D. Teori-teori berdasarkan Prestasi Kedua Belah Pihak.


Teori-teori berdasarkan prestasi kedua belah pihak, menurut Roscoe Pound, sebagaimana yang
dikutib Munir Fuady terdapat berbagai teori kontrak:
1. Teori Hasrat (Will Theory). Teori hasrat ini menekankan kepada pentingnya “hasrat” (will
atau intend) dari pihak yang memberikan janji. Ukuran dari eksistensi, kekuatan berlaku dan
substansi dari suatu kontrak diukur dari hasrat tersebut. Menurut teori ini yang terpenting dalam
suatu kontrak bukan apa yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut, akan tetapi apa
yang mereka inginkan.
2. Teori Tawar Menawar (Bargaining Theory). Teori ini merupakan perkembangan dari teori
“sama nilai” (equivalent theory) dan sangat mendapat tempat dalam Negara-negara yang
menganut system Common Law. Teori sama nilai ini mengajarkan bahwa suatu kontrak hanya
mengikat sejauh apa yang dineosiasikan (tawar menawar) dan kemudian disetujui oleh para
pihak.
3. Teory sama nilai (Equivalent Theory). Teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak baru
mengikat jika para pihak dalam kontrak tersebut memberikan prestasinya yang seimbang atau
sama nilai (equivalent).
4. Teori kepercayaan merugi (Injurious Reliance Theory). Teori ini mengajarkan bahwa
kontrak sudah dianggap ada jika dengan kontrak yang bersangkutan sudah menimbulkan
kepercayaan bagi pihak terhadap siapa janji itu diberikan sehingga pihak yang menerima janji
tersebut karena kepercayaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji itu tidak terlaksana.

E. Teori-teori berdasarkan Formasi Kontrak.


Dalam ilmu hukum ada empat teori yang mendasar dalam teori formasi kontrak, yaitu:
1. Teori kontrak defacto. Kontrak de facto (implied in-fact) dalah kontrak yang tidak pernah
disebutkan dengan tegas tetapi ada dalam kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima sebagai
kontrak yang sempurna.
2. Teori kontrak ekpresif. Bahwa setiap kontrak yang dinyatakan dengan tegas (ekpresif) oleh
para pihak baik dengan tertulis ataupun secara lisan, sejauh memenuhi syarat-syarat syahnya
kontrak, dianggap sebagai ikatan yang sempurna bagi para pihak.
3. Teori promissory estoppel. Disebut juga dengan detrimental reliance, dengan adanya
persesuaian kehendak diantara pihak jika pihak lawan telah melakukan sesuatu sebagai akibat
dari tindakan-tindakan pihak lainnya yang dianggap merupakan tawaran untuk suatu ikatan
kontrak.
4. Teori kontrak quasi (pura-pura). Disebut juga quasi contract atau implied in law, dalam hal
tertentu apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu, maka hukum dapat dianggap adanya kontrak
diantara para pihak dengan berbagai konsekwensinya, sungguhpun dalam kenyataannya kontrak
tersebut tidak pernah ada.

Asas-asas Hukum Kontrak di Indonesia


Menurut Paul Scholten, asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di
dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan
dan keputusan-keputusan individu yang dapat dipandang sebagai penjabarannya. Pada umumnya
asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk yang konkrit, misalnya “asas konsensualitas” yang
terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu, “sepakat mereka yang mengikatkan diri”. Untuk
menemukan asas hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam kaedah atau peraturan yang konkrit.
Dalam tulisannya Johannes Gunawan menyebutkan, ada Asas-asas Hukum Kontrak
yang tersirat dalam Kitab KUHPerdata, yaitu, Asas Kebebasan Berkontrak,Asas Mengikat
Sebagai Undang undang, Asas Konsensualitas, dan Asas Itikad Baik.

1. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract),


Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan lahirnya
paham individualisme. Paham individualisme secara embrional lahir pada zaman Yunani yang
kemudian diteruskan oleh kaum epicuristen dan berkembang pesat pada zaman renaissance
melalui ajaran-ajaran antara lain ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan
Rousseau. Asas Kebebasan berkontrak terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
Kebebasan dalam membuat perjanjian dimana para pihak dapat dengan bebas mengatur hak dan
kewajiban dalam perjanjian yang disepakati. Menurut Subekti dalam Bukunya Hukum
Perjanjian, Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang
pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan keteriban umum. Kebebasan berkontrak
bukan berarti para pihak dapat membuat kontrak (perjanjian) secara bebas, akan tetapi tetap
mengindahkan syarat-syarat sahnya pernjanjian, baik syarat umum sebagaimana yang ditentukan
oleh pasal 1320 KUHPerdata, maupun syarat khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu.
Pendekatan terhadap asas kebebasan berkontrak berdasarkan hukum alam,
dikemukakan oleh Hugo de Groot dan Thomas Hobbes. Grotius sebagai penganjur terkemuka
dari ajaran hukum alam berpendapat bahwa hak untuk mengadakan perjanjian adalah hak asasi
manusia. Ia beranggapan, suatu kontrak adalah suatu tindakan sukarela dari seseorang yang
berjanji sesuatu kepada orang lain dengan maksud orang lain itu menerimanya. Kontrak lebih
dari sekedar janji karena suatu janji tidak dapat memberikan hak kepada pihak lain atas
pelaksanaan janji itu. Selanjutnya Hobbes menyatakan bahwa kebebasan berkontrak sebagai
kebebasan manusia yang fundamental. Kontrak adalah metode dimana hak-hak fundamental
manusia dapat dialihkan.
Menurut Munir Fuady, Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasan untuk mengatur
sendiri isi kontrak tersebut. Asas ini tersirat dalam pasal 1338 KUHPerdata, pada intinya
menyatakan bahwa terdapat kebebasan membuat kontrak apapun sejauh tidak bertentangan
dengan hukum, ketertiban dan kesusilaan. Subekti dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perdata,
menyebutkan orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban
umum atau kesusilaan, pada umumnya juga boleh mengenyampingkan peraturan-peraturan yang
termuat dalam Buku III karena Buku III merupakan “hukum pelengkap” (aanvullend recht)
bukan hukum keras atau hukum yang memaksa. Secara Historis kebebasan berkontrak
sebenarnya meliputi lima macam kebebasan, yaitu:
a) kebebasan para pihak menutup atau tidak menutup kontrak.
b) kebebasan menentukan dengan siapa para pihak akan menutup kontrak.
c) kebebasan para pihak menetukan bentuk kontrak.
d) kebebasan para pihak menentukan isi kontrak.
e) kebebasan pada pihak menentukan cara penutupan kontrak.
Menurut Felix.O. Soebagjo, dalam penerapan asas kebebasan berkontrak, bukan berarti
dapat dilakukan bebas sebebasnya, akan tetapi juga ada pembatasan yang diterapkan oleh
pembuat peraturan perundang-undangan, yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kepatutan dan kesusilaan. Dengan demikian kita melihat bahwa asas kebebasan ini tidak hanya
milik KUHPerdata, akan tetapi bersifat universal.
Sehubungan dengan itu, teori-teori hukum Common Law tertentu membolehkan untuk
membatalkan kontrak-kontrak yang bersifat menindas atau adanya unsur ketidakadilan sebagai
bentuk adanya pembatasan kebebasan berkontrak. Dorongan pembatasan kebebasan berkontrak
ini tampil ke permukaan guna lebih menyediakan ruang dan peluang yang lebih besar pada
pengertian-pengertian keadilan, kebenaran, kesusilaan serta ketertiban umum. Karenanya
kontrak merupakan dasar dari banyak kegiatan bisnis dan hampir semua kegiatan bisnis diawali
oleh adanya kontrak, meskipun kontrak dalam tampilan yang sangat sederhana sekalipun.
2. Asas Mengikat Sebagai Undang undang,
Pacta Sun Servanda, bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya
atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya dan perjanjian-perjanjian itu tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan para pihak atau karena alasan-alasan yang telah
ditetapkan oleh undang-undang. Dan perjanjian harus dilakukan dengan itikat baik. Suatu hal
yang penting yang patut diperhatikan bahwa, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Asas hukum ini, telah
meletakan posisi perjanjian yang dibuat oleh masyarakat menjadi undang-undang baginya
sehingga Negara tidak berwenang lagi ikut campur dalam perjanjian.
Kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan yang tak terbatas, karena tetap ada
batasannya dan akan ada akibat hukum yang timbul terhadap kebebasan yang tak terbatas itu.
Sutan Remi Sjahdeini, menyebutkan adanya batas-batas kebebasan berkontrak, yaitu bila suatu
kontrak melanggar peraturan perundang-undangan atau suatu public policy, maka kontrak
tersebut menjadi illegal. Apa yang dimaksud dengan public policy amat tergantung kepada nilai-
nilai yang ada dalam suatu masyarakat. Asas ini tercantum dalam pasal yang sama dengan pasal
yang berisi asas kebebasan berkontrak, yaitu pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa
“semua kontrak yang dibuat secara sah akan mengikat sebagai undang undang bagi para pihak
dalam kontrak tersebut”. Pemuatan dua asas hukum, yaitu asas kebebasan berkontrak dan
asas mengikat sebagai undang-undang di dalam satu pasal yang sama, menurut logika hukum
berarti:
1) Kedua asas hukum tersebut tidak boleh bertentangan satu dengan yang lainnya;
2) Kontrak baru akan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak dalam kontrak tersebut,
apabila di dalam pembuatannya terpenuhi asas kebebasan berkontrak yang terdiri atas lima
macam kebebasan.
Asas bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka terima sebagai kewajiban
masing-masing karena persetujuan merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang
mengadakannya dan kekuatan mengikatnya dianggap sama dengan kekuatan undang-undang,
sehigga istilah Pacta Sun Servanda berarti “janji itu mengikat”. Terikatnya para pihak pada
perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap
beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan secara moral.

3. Asas Konsensualitas (Consensualitas)


Sebagaimana yang tersirat dalam pasal 1320 KUHPerdata, bahwa sebuat kontrak sudah
terjadi dan karenannya mengikat para pihak dalam kontrak sejak terjadi kata sepakat tentang
unsur pokok dari kontrak tersebut. Dengan kata lain, kontrak sudah sah apabila sudah tercapai
kesepakatan mengenai unsur pokok kontrak dan tidak diperlukan formalitas tertentu. Banyak
pertanyaan, kapan saatnya kesepakatan dalam perjanjian itu terjadi. Kesepakatan itu akan timbul
apabila para pihak yang membuat perjanjian itu pada suatu saat bersama-sama berada disatu satu
tempat dan disitulah terjadi kesepakatan itu. Akan tetapi dalam praktek tidak sedemikian sering
terjadi, dan banyak perjanjian terjadi melalui surat menyurat, sehingga juga timbul persoalan
kapan kesepakatan itu terjadi. Hal ini penting dikarenakan untuk perjanjian-perjanjian yang
tunduk pada azas konsensualitas, saat terjadinya kesepakatan merupakan saat terjadinya
perjanjian. Kekuatan mengikat dari suatu kontrak adalah lahir ketika telah adanya kata sepakat,
atau dikenal dengan asas konsensualitas, dimana para pihak yang berjanji telah sepakat untuk
mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian hukum.
Subekti, dalam bukunya Hukum Perjanjian menyatakan bahwa menurut ajaran yang
lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang
melakukan penawaran (efferter) menerima yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik
itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwasanya mungkin ia tidak
membaca menjadi tanggungjawabnya sendiri. Ia dianggap sepantasnya membaca surat-surat
yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Menurut Wirjono Prodjodikoro
sebagaimana yang dikutip oleh Riduan Syahrani, ontvangs theorie dan verneming theorie dapat
dikawinkan sedemikian rupa, yaitu dalam keadaan biasa perjanjian harus dianggap terjadi pda
saat surat penerimaan sampai pada alamat penawar (ontvangs theorie), tetapi dalam keadaan luar
biasa kepada si penawar diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa itu mungkin dapat
mengetahui isi surat penerimaan pada saat surat itu sampai dialamatnya, melainkan baru
beberapa hari kemudian atau beberapa bulan kemudian, misalnya karena bepergian atau sakit
keras.
Asas ini juga dapat ditemukan dalam pasal 1338 KUHPerdata, dalam istilah “semua”.
Kata-kata “semua” menunjukan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan
keinginan (will) yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian.

4. Asas Itikad Baik


Asas itikad baik dalam suatu perjanjian terdapat dalam pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata. Yang menyatakan persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Akan tetapi dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara ekplisit apa yang dimaksud dengan
“itikad baik”. Akibatnya orang akan menenui kesulitan dalam menafsirkan dari itikad baik itu
sendiri. Karena itikat baik merupakan suatu pengertian yang abstrak yang berhubungan dengan
apa yang ada dalam alam pikiran manusia. Menurut James Gordley, sebagaimana yang dikutip
oleh Ridwan Khairandy, memang dalam kenyataannya sangat sulit untuk mendefinisikan itikad
baik. Dalam praktek pelaksanan perjanjian sering ditafsirkan sebagai hal yang berhubungan
dengan kepatuhan dan kepantasan dalam melaksanakan suatu kontrak.
Menurut teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi
dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibat ajaran ini tidak melindungi pihak
yang menderita kerugian dalam tahap pra kontrak atau tahap perundingan, karena dalam tahap
ini perjanjian belum menenuhi syarat tertentu.
Penerapan asas itikad baik dalam kontrak bisnis, haruslah sangat diperhatikan terutama
pada saat melakukan perjanjian pra kontrak atau negosiasi, karena itikad baik baru diakui pada
pada saat perjanjian sudah memenuhi syarat syahnya perjanjian atau setelah negosiasi dilakukan.
Terhadap kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pemberlakukan asas itikad baik ini,
Suharnoko menyebutkan bahwa secara implisit Undang undang Perlindungan Konsumen sudah
mengakui bahwa itikad baik sudah harus ada sebelum ditandatangani perjanjian, sehingga janji-
janji pra kontrak dapat diminta pertanggungjawaban berupa ganti rugi, apabila janji tersebut
diingkari.
Subekti, dalam bukunya Hukum Perjanjian, menyebutkan bahwa itikad baik itu
dikatakan sebagai suatu sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian. Sehingganya Riduan
Syahrani menyebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan perjanjian peranan itikad baik (te geder
trouw) sungguh mempunyai arti yang sangat penting sekali. Pemikiran ini berpijak dari
pemahaman bahwa itikad baik merupakan landasan dalam melaksanakan perjanjian dengan
sebaik baiknya dan semestinya.
Asas itikad baik menjadi salah satu instrument hukum untuk membatasi kebebasan
berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Dalam hukum kontrak itikad baik memiliki
tiga fungsi yaitu, fungsi yang pertama, semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad
baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah yaitu hakim dapat menambah isi perjanjian dan
menambah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu. Sedangkan
fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking
vande geode trouw). Dengan fungsi ini hakim dapat mengenyampingkan isi perjanjian yang
telah dibuat oleh para pihak. Tidak semua ahli hukum dan pengadilan menyetujui fungsi ini,
karena akan banyak hal bersinggungan dengan keadaan memaksa, sehingganya masih dalam
perdebatan dalam pelaksanaannya.
Pengertian itikad baik secara defenisi tidak ditemukan, begitu juga dalam KUHPerdata
tidak dijelaskan secara terperinci tentang apa yang dimaksud dengan itikad baik, pada pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata hanyalah disebutkan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan
dengan “itikad baik”. Menurut Wirjono Prodjodikoro dan Subekti, itikad baik (te goeder trouw)
yang sering diterjemahkan sebagai kejujuran, dibedakan menjadi dua macam, yaitu; (1) itikad
baik pada waktu akan mengadakan hubungan hukum atau perjanjian, dan (2) itikad baik pada
waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari hubungan hukum
tersebut.
Sampai sekarang tidak ada makna tunggal itikad baik dalam kontrak, sehingga masih
terjadi perdebatan megnenai bagaimana sebenarnya makna dari itikat baik itu. Itikad baik para
pihak, haruslah mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang ditengah masyarakat, sebab itikad
baik merupakan bagian dari masyarakat.
Sifat dari itikad baik dapat berupa subjektif, dikarenakan terhadap perbuatan ketika
akan mengadakan hubungan hukum maupun akan melaksanakan perjanjian adalah sikap mental
dari seseorang. Banyak penulis ahli hukum Indonesia menganggap itikad baik bersifat subjektif.
Akan tetapi sebagaiman dikutip Riduan Syahrani dalam bukunya Wirjono Prodjodikoro, Asas-
Asas Hukum Perjanjian, menyebutkan para kalangan ahli hukum Belanda antara lain Hofmann
dan Vollmar menganggap bahwa disamping adanya pengertian itikad baik yang subjektif, juga
ada itikad baik yang bersifat objektif, oleh mereka tidak lain maksudnya adalah k e p a t u t a n
(billikheid, redelijkheid).
HUBUNGAN TEORI HUKUM KONTRAK
KLASIK DAN MODERN

Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas


Teori dan Filsafat Hukum

Dosen Pengasuh :
DR. ZEN ZANIBAR MZ. S.H., M.H.

Mona Meilinda
02022681822010

MAGISTER KENOTARIATAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

PALEMBANG

2018

You might also like