Professional Documents
Culture Documents
2
Pada tahun 1963, program penyuluhan yang di lakukan para mahasiswa Fakultas
Pertanian Universitas Indonesia yang kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor,
merupakan sumber inspirasi bagi berkembangnya Program Bimas (Bimbingan
Massal). Program Bimas memberikan kerangka dasar organisasi program intensifikasi
produksi padi. Program Bimas yang di perluas mulai berlangsung tahun 1964 dan
menjadi terkenal karena semboyan Panca Usaha, yakni lima cara ke arah usaha tani
yang baik. Kelima cara ini mencakup penggunaan dan pengendalian air yang lebih
baik, penggunaan bibit pilihan, pupuk dan pestisida, cara bercocok tanam yang baik dan
koperasi yang kuat. Panca Usaha justru tidak menekankan aspek inovasi seperti yang
di cetuskan dalam program penyuluhan percontohan Bimas sebelumnya. Dalam
program ini para mahasiswa penyuluh hidup dan bekerja bersama-sama dengan petani
di desa-desa.
Sewaktu pemerintahan orde Baru memegang kekuasaan, sektor perberasan di
Indonesia berada dalam keadaan menyedihkan. Produksi beras di Jawa hanya 2 % lebih
tinggi dari produksi tahun 1954. Hasil beras per hektar di Indonesia tidak menunjukan
kenaikan selama sepuluh tahun. Kenaikan produksi bersumber dari luar Jawa kenaikan
rata-rata sebesar 1 persen setahun karena perluasan areal produksi. Menurunya
kesediaan beras perkapita dari 107 kg dalam tahun 1960 menjadi 92 kg dalam tahun
1965. Produksi ubi jalar tidak mengalami kenaikan dan hanya produksi jagung yang
melebihi tingkat pertumbuhan penduduk.
Selama tahun 1960an, lebih dari satu juta ton beras di impor setiap tahun ke
dalam negeri. Dalam tahun 1965 harga nominal beras adalah seratus kali harga beras
tahun 1960 dan harga bahan makanan lainya menunjukan kenaikan hampir sama
dengan harga beras. Hal ini berdampak pasa menciutnya cadangan devisa impor beras
sehingga menurun menjadi 200.000 ton dalam tahun 1965. Satu-satunya titik cerah
dengan situasi pangan adalah adanya kemungkinan menaikan produksi beras melalui
program Bimas.
3
Bank Koperasi Tani dan Nelayan) memerlukan bantuan usahanya dalam memenuhi
kebutuhan dana para petani. Pada 1966, Kolognas satu badan yang baru dibentuk untuk
menangani masalah logistik distribusi barang-barang kebutuhan pokok. Saat itu devisa
yang tersedia untuk mengimpor pupuk masih sangat terbatas dan sistem distribusinya
tidak efisien. Karena terbatasnya devisa, impor beras juga terhambat. Karena tidak
mencapai tingkat yang diperlukan Bulognas kemudian dibubarkan pada tahun 1967 dan
diganti dengan Bulog, yaitu sebuah badan yang mengelola persediaan pangan dan
bertamggung jawab langsung kepada Presiden.
Pada tahun 1967 panen ternyata gagal dan produksi menurun drastis akibat
kekeringan yang melanda Asia Tenggara. Harga beras melonjak tinggi karena
minimnya persediaan beras. Saat itu sebuah perusahaan swasta, Mantrust, mendirikan
pabrik beras sintetis, tapi usaha ini gagal karena beras terbuat terbuat dari tepung
gandum yang dibentuk menyerupai beras, tetapi setelah dimasak beras itu menyerupai
bubur bukan nasi.
Pada tahun 1968 diadakan perubahan kebijaksanaan beras pemerintah, dan
perubahan ini merupakan awal kebijaksanaan harga produksi dan mengimpor beras.
Pada waktu itu dicetuskan “rumus Tani” yang dijadikan pegangan dalam pelaksanaan
kebijaksanaan harga.
Kondisi ini diperburuk oleh adanya konversi lahan subur di Jawa, sehingga
pertumbuhan produksi padi agak melandai. Namun demikian, terobosan alam
meningkatkan produksi padi terus diusahakan, meskipun konversi lahan terus
berlangsung. Berbagai studi menunjukkan bahwa lahan sawah merupakan sumber
utama produksi padi.
Pada tahun 2008, Indonesia dinyatakan sebagai negaa yang berswasembada
beras. Pencapaian status swasembada beras pada saat itu karena pada saat itu dunia
tengah mengalami krisis pangan. Saat itu, produksi pangan dunia menurun dan
harganya bergejolak naik.
Stok beras di dalam negeripun bertambah. Kemampuan ekspor ini telah
mengubah Indonesia yang sebelum program revitalisasi pertanian masih impor beras,
kini sudah tidak impor lagi. Tanaman pangan lainnya seperti ubi jalar, kacang tanah,
kacang kedelai, dan kacang hijau juga membantu ketahanan pangan Indonesia di masa
mendatang walaupun tidak terjadi peningkatan produksi yang berarti untuk komoditas
tersebut.
4
4. Pembangunan Tanaman Non Pangan
Pembahasan sampai sejauh ini terfokus pada kebijaksanaan tanaman pangan,
sehingga memberikan kesan bahwa sektor pertanian di Indonesia adalah pangan saja.
Hal ini merupakan tidak tepat. Pada tanaman pangan pun tidak hanya padi, melainkan
juga meliputi tanaman jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, dan tanaman pangan
lainnya.
Tanaman non pangan meliputi tanaman mangga, jeruk, teh, tembakau, kelapa,
kelapa sawit, panili, kakao (cokelat), karet, lada, dan sebagainya. Tanaman non pangan
ini sering juga disebut tanaman tahunan, tanaman perkebunan, tanaman pohon, tanaman
kas. Perkembangan tanaman non pangan ini pada penjajahan Belanda diserahkan
kepada perusahaan besar perkebunan milik swasta belanda, dan untuk perkebunan
rakyatnya boleh dikatakan dibiarkan berkembang sendiri. Tanaman perkebunan ini
tumbuh di ladang (lahan kering) karena kurangnya perhatian pemerintah, dan banyak
ladang milik rakyat terlantar kosong tidak ditanami. Setelah kira-kira pertengahan
1970an, ketika tanaman pangan padi telah mendapatkan perhatian yang
5
5. Perubahan Struktur Ekonomi
A. Peran Sektor Pertanian
Pada awal kehidupan suatu negara pasti mempunyai sektor pertanian yang
mendominasi. Pengan pembangunan ekonomi, peran ekonomi sektor pertanian
biasanya mengalami penurunan dibarengi makin meningkatnyaperan sektor lain,
terutama sektor industri. Oleh karena itu perubahan struktur perekonimian satu
negara biasanya dimulai dengan sektor pertanian kemudian sektor industri dan
jasa.
1. Menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang
kian meningkat. Jika output meningkat karena meningkatnya produktivitas,
maka pendapatan para petani meningkat. Kenaikan pendapatan per kapita
akan sangan meningkatkan permintaan pangan.
2. Meningkatkan permintaan akan produk industri dengan demikian
mendorong keharusan diperluasnya sektor sekunder dan tersier. Kenaikan
daya beli daerah pedesaan, sebagai akibat surplus pertanian, merupakan
perangsang kuat terhadap perkembangan industri.
3. Menyediakan tambahan penghasilan devisa untuk import barang modal
bagi pembangunan bagi pembangunan melalui ekspor hasil pertanian.
Kebanyakan negara berkembang mengkhususkan diri pada beberapa barang
pertanian untuk ekspor.
4. Meningkatkan pendapatan desa untuk dimobilisasi oleh pemerintah
(tabungan). Setiap negara memerlukan sejumlah besar modal untuk
membiayai pembangunan, perluasan infrastruktur, pengembangan industri
dasar, dan industri berat.
5. Memperbaiki kesejahteraan masyarakat pedesaan. Kenaikan pendapatan
daerah pedesaan sebagai akibat surplus hasil pertanian cenderung
memperbaiki kesejahteraan daerah pedesaan.
B. Perubahan Struktur
Besarnya sumbangan dari berbagai macam sektor perekonomian terhadap
penghasilan nasional atau terhadap produk domestik bruto akan mengakibatkan
terjadinya perubahan struktur perekonomian. Misalnya, negara agraris yang
perekonomiannya lebih besar di dukung oleh sektor pertanian. Begitupun dengan
negara yang mendapat sebutan negara industri tentunya sumbangan sektor
6
industri yang menonjol di negara tersebut. Contohnya negara Singapura yang
melakukan perubahan terhadap struktur perekonomiannya dari negara agraris ke
negara jasa. Hal demikian juga terjadi di Bali, yang dari sektor agraris ke sektor
jasa.
Tabel Produk Domestik Bruto menurut Sektor Asal (dalam %)
1960 1977 2007 (Agustus)
1. Pertanian, Pertambangan, dan Penggalian 57,6 46,9 22,5
2. Industri Pengolahan 8,4 11,9 27,4
3. Jasa (Listrik, Air, Gas, Konstruksi, 34,0 53,2 50,1
Pengangkutan, Perdagangan, dan Jasa Lain)
Jumlah 100 100 100
Sumber: 1960 dan 1977 dari A.Booth dan P.Mc Cawley, Tabel 1.2, hal 6 (diolah) 2007
(Agustus) BPS seperti pada BI LPI 2007, Tabel 2.7 (diolah).
Data mengenai sumbangan masing-masing sektor (pertanian, industri pengolahan,
dan jasa) dalam Pembentukan Produk Domestik Bruto di Indonesia untuk tahun 1960,
1977, dan 2007 (Agustus). Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa peran sektor
pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto telah mengalami penurunan dari
57,6% pada tahun 1960 menjadi 46,9% pada tahun 1977 dan akhirnya hanya menjadi
22,5% pada tahun 2007 (Agustus). Sedangkan sumbangan sektor industri terus
mengalami kenaikan dari 8,4% pada tahun 1960, telah menjadi 11,9% pada tahun 1977,
dan sekarang ini telah mencapai lebih dari 27% sektor industri yang paling menonjol
adalah pada masa akhir pemerintahan Soeharto sampai sekarang, yakni setelah tahun
1980an. Jika di perhatikan tabel diatas, peran sektor jasa tertinggi pada tahun 1977
yaitu sebesar 53,2%. Angka ini tidaklah negara Indonesia adalah negara jasa sejak
1977. Jadi, kesimpulannya Indonesia sudah memasuki masa negara industri.
Ada alternatif lain untuk melihat perubahan struktur ekonomi satu negara yaitu
dengan melihat jumlah atau persentase angkatan kerja pada masing-masing sektor.
Namun alternatif ini sering membingungkan penggunanya, karena serapan sektor
industri yang sangat pelan terhadap tenaga kerja, karena teknologi yang dipakai adalah
teknologi padat modal.
DAFTAR PUSTAKA
7
Nehen, Ketut.2012.Perekonomian Indonesia.Denpasar: Udayana University Press.