You are on page 1of 8

Kebijakan Pangan dan Pembangunan Pertanian

1. Kebijakanan Pangan dan Sektor Pertanian Pada Masa Penjajahan


Belanda
Seperti yang diketahui negara Indonesia memiliki wilayah pertanian yang sangat
luas, berbeda dengan negara penjajah yaitu Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia
Belanda tidak banyak perhatian yang diberikan pada sektor pertanian. Hal ini tidak
lepas dengan sistem perekonomian Belanda, yakni kapitalisasi. Perkembangan sektor
pertanian diserahkan secara penuh kepada kekuatan permintaan dan penawaran, dan
membiarkan perkembangan sektor ini atas kekuatan pasar, terutama pada bidang
perkebunan. Muncul perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di bidang
perkebunan seperti komoditas kelapa, karet, rempah-rempah, lada, tembakau, teh dan
tebu menandakan bahwa teknologi perkebunan diserahkan secara mandiri oleh
perusahaan perkebunan besar yang hasilnya diekspor ke pasar Eropa sebagai bahan
mentah untuk industrial negara tersebut.
Namun pemerintah Belanda memiliki kebijakan khusus pada sektor beras, selain
sebagai bahan makanan pokok untuk pegawai pemerintahan jajahan. Beras digunakan
untuk membayar upah pegawai swasta dibidang perkebunan. Hal ini berarti selain
untuk komoditas ekonomi beras juga digunakan sebagai komoditas politik dimana
harga beras dibuat selalu murah dipasaran. Tahun 1863, karena kegagalan panen
pemerintah Hindia Belanda menghapus bea masuk beras impor agar harga beras tetap
murah.
Menjelang tahun 1939 dibentuknya suatu badan pemerintah khusus melaksanakan
dan mengawasi kebijakan pemerintahan dalam bidang pemasaran beras yang bernama
Stiching Het Voedingsmidlenfons (VMF). Badan ini merupakan pendahulu Bulog, yang
bertugas mengendalikan di bidang pangan yang sangat penting pada pemerintahan Orde
Baru.
Selanjutnya Jepang mengambil alih VMF sampai akhir Perang Dunia II. Pada
masa pemerintahan Jepang kebutuhan dibidang pertanian ditujukan pada pemenuhan
kebutuhan militer. Bersamaan dengan kebijakan Jepang dan ditambahkan dengan
kebijakan pemerintahan Belanda sebelumya maka akan meninggalkan berbagai
kebijakan beras pada pemerintahan Indonesia selama 20 tahun setelahnya, dimana
ekspor hasil pertanian dan perkebunan merupakan sumber devisa terbesar sampai akhir
1
tahun 1960an sehingga struktur perekonomian seperti hal tersebut memerlukan
kebijakan harga beras rendah dan tingkat upah yang rendah.

2. Kebijaksanaan Pangan Pada Pemerintahan Orde Lama


Pemerintahan orde lama tidak memiliki kesempatan menunjukkan perkembangan
ekonomi, termasuk perkembangan subsektor perkebunan. Ada sedikit peningkatan saat
dimana subsektor perkebunan besar milik Belanda dinasionalisasi menjadi milik
negara. Selain hal tersebut tidak ada yang berubah, dimana kebijaksanaan
pengembangannya masih sama dengan yang sebelumnya begitu pula untuk subsektor
perkembangan rakyat.
Dibidang produksi, beberapa program swasembada dilakukan ditahun 50an
hingga 60an. Ini didasari oleh terbatasnya devisa dalam negeri. Adapun contohnya
Program Kesejahteraan Kasino ditahun 1952 yang bertujuan mencapai swasembada
beras sebelum tahun 1956, yang menggunakan pendekatan program penyuluhan
percontohan. Program tersebut hampir sama dengan program Olie Vlek dimasa
penjajahan Belanda, yang berbeda hanya terletak pada jumlah petak percontohan yang
lebih banyak. Pada 1959 terdapat Program Padi Sentra yang bertujuan mencapai
swasembada sebelum tahun 1963 yang merupakan program gagal, namun program
tersebut menciptakan satu organisasi yaitu BUUD (Badan Usaha Unit Desa), KUD
(Koperasi Unit Desa) & BRI unit desa yang berfungsi sebagai penyedia dana kredit.
Program Padi Sentra di smping itu memberikan pembelajaran mengenai bahayanya
penetapan harga padi oleh petani yang terlalu rendah. Selain itu, program ini juga
menjelaskan pentingnya peranan saluran perkreditan yang baik serta perkembangan staf
yang berkompeten dibidangnya.
Pada tahun 1963 presiden Soekarno menjalankan gerakan mengganti beras
dengan jagung. Dapat dilihat dari penerimaan jatah Pegawai Negeri Sipil & Militer
yang semula memperoleh jatah beras menjadi 75% beras dan 25% jagung. Program ini
mengalami banyak kesulitan, mulai dari penyaluran hingga reaksi negatif dari
masyarakat sehingga dihentikan. Program tersebut memberi pembelajaran dimana
setiap penyedia jagung atau bahan makanan lainnya selain beras, perlu memenuhi
kekurangan beras, agar program ini lebih direncanakan dengan matang agar dapat
berjalan dengan baik.

2
Pada tahun 1963, program penyuluhan yang di lakukan para mahasiswa Fakultas
Pertanian Universitas Indonesia yang kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor,
merupakan sumber inspirasi bagi berkembangnya Program Bimas (Bimbingan
Massal). Program Bimas memberikan kerangka dasar organisasi program intensifikasi
produksi padi. Program Bimas yang di perluas mulai berlangsung tahun 1964 dan
menjadi terkenal karena semboyan Panca Usaha, yakni lima cara ke arah usaha tani
yang baik. Kelima cara ini mencakup penggunaan dan pengendalian air yang lebih
baik, penggunaan bibit pilihan, pupuk dan pestisida, cara bercocok tanam yang baik dan
koperasi yang kuat. Panca Usaha justru tidak menekankan aspek inovasi seperti yang
di cetuskan dalam program penyuluhan percontohan Bimas sebelumnya. Dalam
program ini para mahasiswa penyuluh hidup dan bekerja bersama-sama dengan petani
di desa-desa.
Sewaktu pemerintahan orde Baru memegang kekuasaan, sektor perberasan di
Indonesia berada dalam keadaan menyedihkan. Produksi beras di Jawa hanya 2 % lebih
tinggi dari produksi tahun 1954. Hasil beras per hektar di Indonesia tidak menunjukan
kenaikan selama sepuluh tahun. Kenaikan produksi bersumber dari luar Jawa kenaikan
rata-rata sebesar 1 persen setahun karena perluasan areal produksi. Menurunya
kesediaan beras perkapita dari 107 kg dalam tahun 1960 menjadi 92 kg dalam tahun
1965. Produksi ubi jalar tidak mengalami kenaikan dan hanya produksi jagung yang
melebihi tingkat pertumbuhan penduduk.
Selama tahun 1960an, lebih dari satu juta ton beras di impor setiap tahun ke
dalam negeri. Dalam tahun 1965 harga nominal beras adalah seratus kali harga beras
tahun 1960 dan harga bahan makanan lainya menunjukan kenaikan hampir sama
dengan harga beras. Hal ini berdampak pasa menciutnya cadangan devisa impor beras
sehingga menurun menjadi 200.000 ton dalam tahun 1965. Satu-satunya titik cerah
dengan situasi pangan adalah adanya kemungkinan menaikan produksi beras melalui
program Bimas.

3. Kebijaksanaan Pangan dan Sektor Pertanian pada Pemerintahan


Orde Baru
Pemerintahan Orde Baru menyadari pentingnya penyediaan beras yang cukup
dalam usaha memperbaiki pelaksanaan program Bimas, beberapa kebijaksanaan baru
diambil untuk mempermudah pembiayaan sarana produksi dan BRI (saat itu isebut

3
Bank Koperasi Tani dan Nelayan) memerlukan bantuan usahanya dalam memenuhi
kebutuhan dana para petani. Pada 1966, Kolognas satu badan yang baru dibentuk untuk
menangani masalah logistik distribusi barang-barang kebutuhan pokok. Saat itu devisa
yang tersedia untuk mengimpor pupuk masih sangat terbatas dan sistem distribusinya
tidak efisien. Karena terbatasnya devisa, impor beras juga terhambat. Karena tidak
mencapai tingkat yang diperlukan Bulognas kemudian dibubarkan pada tahun 1967 dan
diganti dengan Bulog, yaitu sebuah badan yang mengelola persediaan pangan dan
bertamggung jawab langsung kepada Presiden.
Pada tahun 1967 panen ternyata gagal dan produksi menurun drastis akibat
kekeringan yang melanda Asia Tenggara. Harga beras melonjak tinggi karena
minimnya persediaan beras. Saat itu sebuah perusahaan swasta, Mantrust, mendirikan
pabrik beras sintetis, tapi usaha ini gagal karena beras terbuat terbuat dari tepung
gandum yang dibentuk menyerupai beras, tetapi setelah dimasak beras itu menyerupai
bubur bukan nasi.
Pada tahun 1968 diadakan perubahan kebijaksanaan beras pemerintah, dan
perubahan ini merupakan awal kebijaksanaan harga produksi dan mengimpor beras.
Pada waktu itu dicetuskan “rumus Tani” yang dijadikan pegangan dalam pelaksanaan
kebijaksanaan harga.
Kondisi ini diperburuk oleh adanya konversi lahan subur di Jawa, sehingga
pertumbuhan produksi padi agak melandai. Namun demikian, terobosan alam
meningkatkan produksi padi terus diusahakan, meskipun konversi lahan terus
berlangsung. Berbagai studi menunjukkan bahwa lahan sawah merupakan sumber
utama produksi padi.
Pada tahun 2008, Indonesia dinyatakan sebagai negaa yang berswasembada
beras. Pencapaian status swasembada beras pada saat itu karena pada saat itu dunia
tengah mengalami krisis pangan. Saat itu, produksi pangan dunia menurun dan
harganya bergejolak naik.
Stok beras di dalam negeripun bertambah. Kemampuan ekspor ini telah
mengubah Indonesia yang sebelum program revitalisasi pertanian masih impor beras,
kini sudah tidak impor lagi. Tanaman pangan lainnya seperti ubi jalar, kacang tanah,
kacang kedelai, dan kacang hijau juga membantu ketahanan pangan Indonesia di masa
mendatang walaupun tidak terjadi peningkatan produksi yang berarti untuk komoditas
tersebut.

4
4. Pembangunan Tanaman Non Pangan
Pembahasan sampai sejauh ini terfokus pada kebijaksanaan tanaman pangan,
sehingga memberikan kesan bahwa sektor pertanian di Indonesia adalah pangan saja.
Hal ini merupakan tidak tepat. Pada tanaman pangan pun tidak hanya padi, melainkan
juga meliputi tanaman jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, dan tanaman pangan
lainnya.
Tanaman non pangan meliputi tanaman mangga, jeruk, teh, tembakau, kelapa,
kelapa sawit, panili, kakao (cokelat), karet, lada, dan sebagainya. Tanaman non pangan
ini sering juga disebut tanaman tahunan, tanaman perkebunan, tanaman pohon, tanaman
kas. Perkembangan tanaman non pangan ini pada penjajahan Belanda diserahkan
kepada perusahaan besar perkebunan milik swasta belanda, dan untuk perkebunan
rakyatnya boleh dikatakan dibiarkan berkembang sendiri. Tanaman perkebunan ini
tumbuh di ladang (lahan kering) karena kurangnya perhatian pemerintah, dan banyak
ladang milik rakyat terlantar kosong tidak ditanami. Setelah kira-kira pertengahan
1970an, ketika tanaman pangan padi telah mendapatkan perhatian yang

Mengenai kebijakan pemasaran ini, mungkin ada baiknya kita membandingkan


cara yang dilakukan di Negara lain. Misalnya di Brazilia pada saat panen kopi raya,
produksi kopi melonjak dengan tajam. Pada saat itu pemerintah Brazilia membeli kopi
rakyat dan dibuang ke laut hanya untuk mempertahankan harga. Berbeda halnya dengan
di Negara maju Eropa dan Amerika Serikat, dimana pada saat kelebihan produksi
pemerintah membeli hasil produksi rakyat, untuk kemudian, karena tidak ada pembeli
potensial maka disumbangkan ke luar negeri. Itulah sebabnya kita mengenal dan
melihat adanya konsumsi susu gratis untuk siswa sekolah dasar, yang tidak lain
merupakan sumbangan Negara maju karena kelebihan produksi. Jadi di Negara maju,
stabilitas harga untuk tanaman perkebunan ditangani oleh pemerintah baik dengan cara
membuang ke laut (Brazilia), ataupun disumbangkan ke Negara miskin (Amerika
Serikat), namun di Indonesia karena kesulitan dana maka diserahkan kepada petani
sendiri.

5
5. Perubahan Struktur Ekonomi
A. Peran Sektor Pertanian
Pada awal kehidupan suatu negara pasti mempunyai sektor pertanian yang
mendominasi. Pengan pembangunan ekonomi, peran ekonomi sektor pertanian
biasanya mengalami penurunan dibarengi makin meningkatnyaperan sektor lain,
terutama sektor industri. Oleh karena itu perubahan struktur perekonimian satu
negara biasanya dimulai dengan sektor pertanian kemudian sektor industri dan
jasa.
1. Menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang
kian meningkat. Jika output meningkat karena meningkatnya produktivitas,
maka pendapatan para petani meningkat. Kenaikan pendapatan per kapita
akan sangan meningkatkan permintaan pangan.
2. Meningkatkan permintaan akan produk industri dengan demikian
mendorong keharusan diperluasnya sektor sekunder dan tersier. Kenaikan
daya beli daerah pedesaan, sebagai akibat surplus pertanian, merupakan
perangsang kuat terhadap perkembangan industri.
3. Menyediakan tambahan penghasilan devisa untuk import barang modal
bagi pembangunan bagi pembangunan melalui ekspor hasil pertanian.
Kebanyakan negara berkembang mengkhususkan diri pada beberapa barang
pertanian untuk ekspor.
4. Meningkatkan pendapatan desa untuk dimobilisasi oleh pemerintah
(tabungan). Setiap negara memerlukan sejumlah besar modal untuk
membiayai pembangunan, perluasan infrastruktur, pengembangan industri
dasar, dan industri berat.
5. Memperbaiki kesejahteraan masyarakat pedesaan. Kenaikan pendapatan
daerah pedesaan sebagai akibat surplus hasil pertanian cenderung
memperbaiki kesejahteraan daerah pedesaan.
B. Perubahan Struktur
Besarnya sumbangan dari berbagai macam sektor perekonomian terhadap
penghasilan nasional atau terhadap produk domestik bruto akan mengakibatkan
terjadinya perubahan struktur perekonomian. Misalnya, negara agraris yang
perekonomiannya lebih besar di dukung oleh sektor pertanian. Begitupun dengan
negara yang mendapat sebutan negara industri tentunya sumbangan sektor

6
industri yang menonjol di negara tersebut. Contohnya negara Singapura yang
melakukan perubahan terhadap struktur perekonomiannya dari negara agraris ke
negara jasa. Hal demikian juga terjadi di Bali, yang dari sektor agraris ke sektor
jasa.
Tabel Produk Domestik Bruto menurut Sektor Asal (dalam %)
1960 1977 2007 (Agustus)
1. Pertanian, Pertambangan, dan Penggalian 57,6 46,9 22,5
2. Industri Pengolahan 8,4 11,9 27,4
3. Jasa (Listrik, Air, Gas, Konstruksi, 34,0 53,2 50,1
Pengangkutan, Perdagangan, dan Jasa Lain)
Jumlah 100 100 100
Sumber: 1960 dan 1977 dari A.Booth dan P.Mc Cawley, Tabel 1.2, hal 6 (diolah) 2007
(Agustus) BPS seperti pada BI LPI 2007, Tabel 2.7 (diolah).
Data mengenai sumbangan masing-masing sektor (pertanian, industri pengolahan,
dan jasa) dalam Pembentukan Produk Domestik Bruto di Indonesia untuk tahun 1960,
1977, dan 2007 (Agustus). Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa peran sektor
pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto telah mengalami penurunan dari
57,6% pada tahun 1960 menjadi 46,9% pada tahun 1977 dan akhirnya hanya menjadi
22,5% pada tahun 2007 (Agustus). Sedangkan sumbangan sektor industri terus
mengalami kenaikan dari 8,4% pada tahun 1960, telah menjadi 11,9% pada tahun 1977,
dan sekarang ini telah mencapai lebih dari 27% sektor industri yang paling menonjol
adalah pada masa akhir pemerintahan Soeharto sampai sekarang, yakni setelah tahun
1980an. Jika di perhatikan tabel diatas, peran sektor jasa tertinggi pada tahun 1977
yaitu sebesar 53,2%. Angka ini tidaklah negara Indonesia adalah negara jasa sejak
1977. Jadi, kesimpulannya Indonesia sudah memasuki masa negara industri.
Ada alternatif lain untuk melihat perubahan struktur ekonomi satu negara yaitu
dengan melihat jumlah atau persentase angkatan kerja pada masing-masing sektor.
Namun alternatif ini sering membingungkan penggunanya, karena serapan sektor
industri yang sangat pelan terhadap tenaga kerja, karena teknologi yang dipakai adalah
teknologi padat modal.

DAFTAR PUSTAKA

7
Nehen, Ketut.2012.Perekonomian Indonesia.Denpasar: Udayana University Press.

You might also like