Professional Documents
Culture Documents
Inilah ketujuh jenis persembahan yang diberikan kepada Saṅgha. Buddha kemudian
membandingkan pemberian kepada pribadi dengan pemberian kepada Saṅgha :
“Ānanda, pada masa yang akan datang, akan terdapat mereka dari kaum tertentu
yang memakai sehelai jubah kuning yang mengelilingi lehernya, yang tidak
memiliki moralitas, dan berperilaku buruk. Orang-orang akan memberikan
persembahan kepada mereka yang tidak bermoral ini sebagai perwakilan
dari Saṅgha. Bahkan meskipun demikian, Aku katakan, suatu persembahan yang
diberikan kepada Saṅgha adalah tidak terhitung, tidak terukur. Dan Aku katakan
bahwa tidak mungkin suatu persembahan yang diberikan kepada seorang individu
akan berbuah lebih besar daripada persembahan yang diberikan kepada Saṅgha.”
Pada suatu ketika Buddha berdiam di negeri Sakya, di kota Kapilavatthu, di taman
Nigrodha. Pada waktu itu, Mahāpajāpati Gotamī pergi bertemu dengan Buddha
dengan membawa sepasang jubah baru, yang dia buat dengan keterampilan menenun
yang baik. Setelah memberikan penghormatan kepada Buddha, dia duduk pada satu
sisi dan berkata kepada Buddha :
“Yang Mulia, sepasang jubah baru ini telah dipintal oleh saya , dan ditenun oleh
saya, khusus untuk dipersembahkan kepada Buddha. Yang Mulia, sudilah Bhagavā
menerima persembahanku ini demi belas kasih”.
Dia memohon Buddha dengan cara yang sama sebanyak tiga kali, dan Buddha
menjawab dengan cara yang sama sebanyak tiga kali juga. Kemudian Yang Mulia
Ānanda berkata kepada Buddha :
“Bhagavā juga sangat berjasa bagi Mahāpajāpati Gotamī. Adalah berkat Bhagavā
maka Mahāpajāpati Gotamī telah berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Saṅgha.
Adalah berkat Bhagavā maka Mahāpajāpati Gotamī telah menghindari pembunuhan
makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari
perilaku salah dalam kesenangan indria, menghindari kebohongan, dan menghindari
minuman memabukkan, yang menjadi landasan dari kelengahan.
Adalah berkat Bhagavā maka Mahāpajāpati Gotamī memiliki keyakinan yang tak
tergoyahkan kepada Buddha, Dhamma dan Saṅgha, dan memiliki moralitas yang
disenangi oleh para mulia. Adalah berkat Bhagavā maka Mahāpajāpati Gotamī
terbebas dari keragu-raguan terhadap kebenaran mulia tentang penderitaan ( Dukkha
Sacca ), kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan ( Samudaya Sacca ),
kebenaran mulia tentang lenyapnya penderitaan ( Nirodha Sacca ), dan kebenaran
mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan ( Magga Sacca ). Bhagavā juga
telah sangat berjasa bagi Mahāpajāpati Gotamī”.
Itu berarti pemberian tersebut akan memberikan hasil dalam seratus kali kehidupan.
Di sini “pikiran yang murni” berarti tanpa mengharapkan imbalan apapun, seperti
mengharapkan bantuan dari si penerima. Seseorang memberikan suatu pemberian
hanya untuk mengakumulasi kamma yang bajik, dengan keyakinan yang kuat
terhadap Hukum Kamma.
Seandainya seseorang memberi makan seekor anjing dengan pikiran : “Ini adalah
anjing milikku”. Pikiran seperti itu bukanlah kondisi pikiran yang murni. Tetapi bila
seseorang memberi makan kepada sekelompok burung, seperti burung merpati,
maka pemberian tersebut adalah murni, karena dia tidak mengharapkan imbalan
apapun dari burung-burung tersebut.
Hal seperti ini juga berlaku untuk contoh berikutnya.
Misalnya : jika seseorang memberikan suatu kebutuhan tertentu kepada seorang
Bhikkhu, dengan pikiran bahwa pemberian tersebut akan mengkondisikan
kesuksesan dalam bisnisnya, maka pemberian ini tidak dilakukan dengan pikiran
yang murni. Pemberian seperti ini tidak memberikan manfaat atau hasil yang
superior ( unggul ).
Buddha menjelaskan lebih lanjut mengenai manfaat dari ke empat belas jenis
pemberian tersebut :
Dalam hal ini, sebuah pemberian itu adalah seseorang memberikan makanan
yang cukup untuk satu kali makan saja. Jika seorang pendana sering memberi,
misalnya dalam banyak hari atau banyak bulan, maka tidak ada kata-kata yang
bisa melukiskan betapa besarnya manfaat dari pemberian tersebut. Inilah
berbagai jenis pemberian kepada pribadi ( pāṭipuggalika dakkhiṇa ).
Ketika pemberian seseorang dicemari oleh milyaran kesadaran tidak bajik yang tidak
terhitung banyaknya, yang berakar pada keserakahan ( lobha ), kebencian ( dosa ),
dan kebodohan batin/delusi ( moha ), maka pemberian tersebut adalah pemberian
yang inferior ( kurang bermutu ).
Jika dalam kasus seperti ini, seseorang yang tidak mengerti hukum kamma, maka
batin orang tersebut tidak bersekutu dengan ketidak-bodohan batin ( amoha ), yang
membuat pemberiannya tersebut menjadi pemberian yang inferior, berakar dua
( dvi-hetuka ) : yang berarti kesadaran yang dihasilkan akan menjadi tanpa akar
( ahetuka ).
Jika seseorang mengerti hukum kamma, dan batin orang tersebut bersekutu dengan
ketidak-bodohan batin ( amoha ), namun dikarenakan pencemaran dari kesadaran
tidak bajik yang tidak terhitung membuat pemberiannya menjadi inferior, berakar
tiga ( ti-hetuka ) : yang berarti kesadaran yang dihasilkan hanya berakar dua ( dvi-
hetuka ).
Di dalam teks Pali, ada sebuah contoh mengenai seorang laki-laki yang membuat
pemberian yang inferior. Dalam salah satu kehidupan-Nya yang lampau, ketika
masih sebagai seorang Bodhisatta, Sang Buddha adalah seorang pertapa ( tāpasa )
bernama Kaṇhadīpayana. Suatu hari, ada seorang ayah dan ibu membawa putranya
yang masih muda ke tempatnya, karena putranya tersebut telah digigit oleh seekor
ular. Dan demi untuk menetralkan racunnya, mereka semua memutuskan untuk
membuat sebuah pernyataan kebenaran ( Sacca-kiriya ).
Ini adalah contoh dari pemberian seseorang yang diselingi oleh milyaran kesadaran
bajik yang tidak terhitung banyaknya yang bersekutu dengan ketidak-serakahan
( alobha ), tidak benci ( adosa ), dan kegembiraan batin ( pīti ).
Jika seseorang tidak mengerti hukum kamma, maka batin orang tersebut tidak
bersekutu dengan ketidak-bodohan batin ( amoha ), yang membuat pemberiannya
menjadi superior, berakar dua ( dvi-hetuka ) : yang berarti kesadaran yang dihasilkan
adalah berakar dua.
Jika seseorang mengerti hukum kamma, dan batin orang tersebut bersekutu dengan
ketidak-bodohan batin ( amoha ), yang membuat pemberiannya menjadi superior,
berakar tiga ( ti-hetuka ) : yang berarti kesadaran yang dihasilkan adalah berakar
tiga.
Cara berdana kebutuhan Bhikkhu
Jika seorang Bhikkhu menerima persembahan dana dalam bentuk uang, maka
Bhikkhu tersebut telah melanggar aturan vinaya kebhikkhuan. Umat juga tidak
seharusnya mempersembahkan dana yang kurang pantas seperti rokok, minuman
keras, daging yang tidak diizinkan, kosmetika, senjata, emas, perak, dan batu mulia
lainnya.
Jika seorang umat berkeinginan kuat untuk melakukan persembahan dana tetapi
tidak bisa memastikan apa yang dibutuhkan oleh Bhikkhu, maka dia bisa
mengundang Bhikkhu dan menanyakan apakah Bhikkhu tersebut membutuhkan
sesuatu yang diizinkan.
Atau dengan cara lain, umat tersebut bisa meminta bantuan dari seorang kappiya
Bhikkhu ( pembantu Bhikkhu ). Dikarenakan seorang kappiya mengetahui lebih
jelas apa saja yang dibutuhkan oleh seorang Bhikkhu, maka dari itu si pendana bisa
meminta bantuan kappiya untuk mengatur ( = membeli ) kebutuhan yang diizinkan
untuk didanakan kepada Bhikkhu. Setelah si pendana memberikan sejumlah uang
kepada kappiya, maka dia bisa menyampaikan undangan secara lisan maupun tulisan
kepada Bhikkhu sebagai berikut ini :
( Versi English )
“Sayadaw/Bhante,
I/We wish to offer bhante allowable requisites to the value of Rp.xxx. If you
need any allowable requisites, please request them from your kappiya ….. (
kappiya’s name ). “
( Versi Indonesia )
“Sayadaw/Bhante,
Saya/kami ingin berdana kebutuhan Bhante yang diizinkan yang setara dengan
nilai Rp. xxx. Jika Bhante memerlukan kebutuhan yang diizinkan tersebut,
mohon bisa meminta dari kappiya Bhante …… ( nama kappiya Bhante ).”
Buddha juga menetapkan peraturan bagi para bhikkhu untuk tidak mengambil
makanan yang didanakan dengan cara yang tidak tepat. Untuk itu bagi umat yang
berdana makanan seyogyanya berdiri atau berlutut dalam jarak yang cukup yang
bisa di jangkau oleh lengan bhikkhu, artinya umat harus menghindari berdiri atau
berlutut terlalu jauh.
Ketika mendanakan buah-buahan atau sayuran yang memiliki biji, maka dana
makanan tersebut harus dibuat “layak makan” terlebih dahulu. Bhikkhu akan
memegang buah atau sayuran tersebut dan berkata kepada umat : “Kappiyam
karohi“, yang artinya : “Buatlah buah/sayuran ini layak makan.” Umat yang
berdana harus menjawab : “Kappiyam, Bhante“, yang artinya : “Bhante, ini layak
makan”.
Bila terdapat banyak makanan yang harus di kappiya, pada saat mengerjakannya,
makanan yang di kappiyaitu harus berhubungan langsung ( saling melekat ) satu
sama lain, agar tidak perlu melakukan kappiya satu persatu terhadap makanan-
makanan tersebut. Dengan perlakuan demikian, berarti makanan tersebut telah layak
makan kappiya, sehingga bhikkhu bisa memakannya dengan bebas, walaupun
dengan sengaja atau tidak, telah menggigit pecah biji buah-buahan atau memakan
sayur mentah ( lalapan ).
Bila makanan belum di kappiya, bila seorang bhikkhu menggigit pecah, makan
lalapan atau umbi obat-abatan, ia telah melanggar vinaya pacittiya, karena dianggap
telah merusak tumbuh-tumbuhan.
Bila bhikkhu tidak meminta untuk membuat makanan menjadi kappiya, ia telah
melanggar vinaya dukkata, karena kelengahannya. Dan, bila ia menggigit pecah biji
buah-buahan yang ia makan, maka ia telah melanggar vinaya dukkata dan pacittiya.
Tahu mana yang benar dan tahu mana yang tidak benar. Tahu mana yang patut dan
tahu mana yang tidak patut. Saddha yang dikendalikan oleh kebijaksanaan akan
muncul dan berkembang, karena melihat dan mengerti bahwa para bhikkhu
melaksanakan vinaya dengan benar dan indah.
Saddha berkembang terus, karena yakin bahwa bhikkhu Sangha tempat menanam
kebajikan yang kita hormati benar-benar sebagai: