You are on page 1of 18

Cara pemberian dana ke bhikkhu

 Tujuh jenis persembahan kepada Saṅgha

Di dalam Dakkhiṇā Vibhaṅga sutta, Majjhima Nikāya, Buddha menjelaskan


kepada Yang Mulia Ānanda :

“Ānanda, terdapat tujuh jenis persembahan yang diberikan kepada Saṅgha


( Saṅghika-Dāna ). Apakah ketujuh jenis tersebut ?”

1. Seseorang yang memberikan persembahan kepada Saṅgha yang dipimpin


oleh Buddha yang terdiri dari para bhikkhu dan bhikkhuni; inilah jenis
pertama persembahan kepada Saṅgha.
2. Seseorang yang memberikan persembahan kepada Saṅgha yang terdiri
dari para bhikkhu dan bhikkhuni setelah Buddha
mencapai Parinibbāna; inilah jenis kedua persembahan kepada Saṅgha.
3. Seseorang yang memberikan persembahan kepada Saṅgha yang hanya
terdiri dari para bhikkhu; inilah jenis ketiga persembahan kepada Saṅgha.
4. Seseorang yang memberikan persembahan kepada Saṅgha yang hanya
terdiri dari para bhikkhuni; inilah jenis keempat persembahan
kepada Saṅgha.
5. Seseorang yang memberikan persembahan kepada Saṅgha dengan
mengatakan : “Semoga Saṅgha menunjuk sekian banyak orang bhikkhu
dan bhikkhuni untuk menerima persembahan dari saya”; inilah jenis
kelima persembahan kepada Saṅgha.
6. Seseorang yang memberikan persembahan kepada Saṅgha dengan
mengatakan : “Semoga Saṅgha menunjuk sekian banyak orang bhikkhu
untuk menerima persembahan dari saya”; inilah jenis keenam
persembahan kepada Saṅgha.
7. Seseorang yang memberikan persembahan kepada Saṅgha dengan
mengatakan : “Semoga Saṅgha menunjuk sekian banyak orang bhikkhuni
untuk menerima persembahan dari saya”; inilah jenis ketujuh
persembahan kepada Saṅgha.

Inilah ketujuh jenis persembahan yang diberikan kepada Saṅgha. Buddha kemudian
membandingkan pemberian kepada pribadi dengan pemberian kepada Saṅgha :

“Ānanda, pada masa yang akan datang, akan terdapat mereka dari kaum tertentu
yang memakai sehelai jubah kuning yang mengelilingi lehernya, yang tidak
memiliki moralitas, dan berperilaku buruk. Orang-orang akan memberikan
persembahan kepada mereka yang tidak bermoral ini sebagai perwakilan
dari Saṅgha. Bahkan meskipun demikian, Aku katakan, suatu persembahan yang
diberikan kepada Saṅgha adalah tidak terhitung, tidak terukur. Dan Aku katakan
bahwa tidak mungkin suatu persembahan yang diberikan kepada seorang individu
akan berbuah lebih besar daripada persembahan yang diberikan kepada Saṅgha.”

Ini berarti persembahan yang diberikan kepada Saṅgha ( Saṅghika-Dāna ) jauh


lebih bermanfaat dibandingkan dengan pemberian kepada pribadi ( pāṭipuggalika
dakkhiṇa).

Jika Mahāpajāpati Gotamī mempersembahkan jubah kepada Saṅgha yang dipimpin


oleh Buddha, maka itu akan jauh lebih bermanfaat. Hasilnya akan tidak terhitung
dan tidak terukur. Sehingga Buddha mendorongnya untuk mempersembahkan jubah
tersebut kepada Saṅgha.
 14 Jenis Pemberian Kepada Pribadi

Di dalam Dakkhiṇā Vibhaṅga sutta, Majjhima Nikāya, dikisahkan tentang


keinginan Mahāpajāpati Gotamī mempersembahkan sepasang jubah baru
kepada Buddha. Kisahnya seperti berikut ini :

Pada suatu ketika Buddha berdiam di negeri Sakya, di kota Kapilavatthu, di taman
Nigrodha. Pada waktu itu, Mahāpajāpati Gotamī pergi bertemu dengan Buddha
dengan membawa sepasang jubah baru, yang dia buat dengan keterampilan menenun
yang baik. Setelah memberikan penghormatan kepada Buddha, dia duduk pada satu
sisi dan berkata kepada Buddha :

“Yang Mulia, sepasang jubah baru ini telah dipintal oleh saya , dan ditenun oleh
saya, khusus untuk dipersembahkan kepada Buddha. Yang Mulia, sudilah Bhagavā
menerima persembahanku ini demi belas kasih”.

Buddha kemudian berkata :

“Persembahkanlah jubah tersebut kepada Saṅgha, Gotamī. Ketika kamu


mempersembahkannya kepada Saṅgha, maka persembahan tersebut sudah
termasuk persembahan kepada Saya maupun Saṅgha“.

Dia memohon Buddha dengan cara yang sama sebanyak tiga kali, dan Buddha
menjawab dengan cara yang sama sebanyak tiga kali juga. Kemudian Yang Mulia
Ānanda berkata kepada Buddha :

“Bhante, sudilah Bhagavā menerima persembahan sepasang jubah baru ini


dari Mahāpajāpati Gotamī. Mahāpajāpati Gotamī telah sangat berjasa kepada
Buddha. Meskipun dia adalah adik perempuan dari ibu-Nya, tetapi dia yang
merawat-Nya, membesarkan-Nya dan memberikan air susunya sendiri kepada-Nya.
Dia menyusui Bhagavā ketika ibunda-Nya telah meninggal dunia”.

“Bhagavā juga sangat berjasa bagi Mahāpajāpati Gotamī. Adalah berkat Bhagavā
maka Mahāpajāpati Gotamī telah berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Saṅgha.
Adalah berkat Bhagavā maka Mahāpajāpati Gotamī telah menghindari pembunuhan
makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari
perilaku salah dalam kesenangan indria, menghindari kebohongan, dan menghindari
minuman memabukkan, yang menjadi landasan dari kelengahan.
Adalah berkat Bhagavā maka Mahāpajāpati Gotamī memiliki keyakinan yang tak
tergoyahkan kepada Buddha, Dhamma dan Saṅgha, dan memiliki moralitas yang
disenangi oleh para mulia. Adalah berkat Bhagavā maka Mahāpajāpati Gotamī
terbebas dari keragu-raguan terhadap kebenaran mulia tentang penderitaan ( Dukkha
Sacca ), kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan ( Samudaya Sacca ),
kebenaran mulia tentang lenyapnya penderitaan ( Nirodha Sacca ), dan kebenaran
mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan ( Magga Sacca ). Bhagavā juga
telah sangat berjasa bagi Mahāpajāpati Gotamī”.

Selanjutnya di dalam Dakkhiṇā Vibhaṅga sutta, Buddha menjelaskan tentang 14


jenis pemberian/persembahan kepada pribadi tertentu ( pāṭipuggalika dakkhiṇa )
sebagai berikut :

1. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang Buddha,


yang telah tercerahkan sempurna; ini adalah pemberian pribadi jenis
pertama.
2. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang
Paccekabuddha; ini adalah pemberian pribadi jenis kedua.
3. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang Arahant,
siswa Buddha; ini adalah pemberian pribadi jenis ketiga.
4. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang telah
memasuki jalan untuk mencapai buah ke-Arahant-an; ini adalah
pemberian pribadi jenis keempat.
5. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang Yang
Tidak Kembali ( Anāgāmi ); ini adalah pemberian pribadi jenis kelima.
6. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang telah
memasuki jalan untuk mencapai buah Yang Tidak Kembali; ini adalah
pemberian pribadi jenis keenam.
7. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang Yang
Kembali Sekali ( Sakadāgāmi ); ini adalah pemberian pribadi jenis
ketujuh.
8. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang telah
memasuki jalan untuk mencapai buah Yang Kembali Sekali; ini adalah
pemberian pribadi jenis kedelapan.
9. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang Pemasuk
Arus ( Sotapanna ); ini adalah pemberian pribadi jenis kesembilan.
10.Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang telah
memasuki jalan untuk mencapai buah Pemasuk Arus; ini adalah
pemberian pribadi jenis kesepuluh.
11.Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang
berada di luar Pengajaran yang terbebas dari kesenangan nafsu indria
karena pencapaian jhāna; ini adalah pemberian pribadi jenis kesebelas.
12.Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang biasa yang
bermoral ( puthujjana ); ini adalah pemberian pribadi jenis keduabelas.
13.Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang biasa yang
tidak bermoral; ini adalah pemberian pribadi jenis ketigabelas.
14.Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seekor binatang; ini
adalah pemberian pribadi jenis keempat belas.

Kemudian, Buddha menjelaskan manfaat dari ke empat belas jenis pemberian


tersebut :

 Dengan memberikan suatu pemberian kepada seekor binatang, dengan pikiran


yang murni, maka pemberian itu diharapkan akan menghasilkan balasan seratus
kali lipat.

Itu berarti pemberian tersebut akan memberikan hasil dalam seratus kali kehidupan.
Di sini “pikiran yang murni” berarti tanpa mengharapkan imbalan apapun, seperti
mengharapkan bantuan dari si penerima. Seseorang memberikan suatu pemberian
hanya untuk mengakumulasi kamma yang bajik, dengan keyakinan yang kuat
terhadap Hukum Kamma.

Seandainya seseorang memberi makan seekor anjing dengan pikiran : “Ini adalah
anjing milikku”. Pikiran seperti itu bukanlah kondisi pikiran yang murni. Tetapi bila
seseorang memberi makan kepada sekelompok burung, seperti burung merpati,
maka pemberian tersebut adalah murni, karena dia tidak mengharapkan imbalan
apapun dari burung-burung tersebut.
Hal seperti ini juga berlaku untuk contoh berikutnya.
Misalnya : jika seseorang memberikan suatu kebutuhan tertentu kepada seorang
Bhikkhu, dengan pikiran bahwa pemberian tersebut akan mengkondisikan
kesuksesan dalam bisnisnya, maka pemberian ini tidak dilakukan dengan pikiran
yang murni. Pemberian seperti ini tidak memberikan manfaat atau hasil yang
superior ( unggul ).

Buddha menjelaskan lebih lanjut mengenai manfaat dari ke empat belas jenis
pemberian tersebut :

 Dengan memberikan suatu pemberian dengan pikiran yang murni kepada


seorang biasa yang tidak bermoral, maka pemberian itu diharapkan akan
menghasilkan balasan seribu kali lipat.
 Dengan memberikan suatu pemberian kepada seorang biasa yang bermoral,
maka pemberian itu diharapkan akan menghasilkan balasan seratus ribu kali
lipat.
 Dengan memberikan suatu pemberian kepada seorang di luar Pengajaran, yang
terbebas dari kesenangan nafsu indria karena pencapaian jhāna, maka
pemberian itu diharapkan akan menghasilkan balasan seratus ribu kali seratus
ribu kali lipat.
 Dengan memberikan suatu pemberian kepada seorang yang telah memasuki
jalan untuk mencapai buah Pemasuk Arus, maka pemberian itu diharapkan akan
menghasilkan balasan yang tak terhitung, tak terukur.
 Apa lagi yang harus dikatakan tentang memberikan suatu pemberian kepada
seorang Pemasuk Arus; atau kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk
mencapai buah Yang Kembali Sekali, atau kepada seorang Yang Kembali Sekali;
atau kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah Yang
Tidak Kembali, atau kepada seorang Yang Tidak Kembali; atau kepada seorang
yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah Arahant, atau kepada seorang
Arahant; atau kepada seorang Paccekabuddha, atau kepada seorang Buddha,
yang telah tercerahkan sempurna ?

Dalam hal ini, sebuah pemberian itu adalah seseorang memberikan makanan
yang cukup untuk satu kali makan saja. Jika seorang pendana sering memberi,
misalnya dalam banyak hari atau banyak bulan, maka tidak ada kata-kata yang
bisa melukiskan betapa besarnya manfaat dari pemberian tersebut. Inilah
berbagai jenis pemberian kepada pribadi ( pāṭipuggalika dakkhiṇa ).

 Pemberian Inferior dan Pemberian Superior

Pemberian yang Inferior ( kurang bermutu )


Apakah faktor-faktor dari pemberian yang inferior ( omaka ) ? Ada 4 faktor
yaitu :
1. Pemberi dāna mendapatkan kebutuhan tersebut dengan penghidupan
yang salah.
2. Pemberi dāna memiliki moralitas yang rendah atau tidak memiliki
moralitas sama sekali. Dia hanya menjaga beberapa sīla, atau sama sekali
tidak menjaga sīla.
3. Kesadaran kamma si pemberi dāna pada saat sebelum atau sesudah
pemberian tersebut bersekutu dengan pikiran yang tidak bajik. Sebagai
contoh : sebelum memberi, dia mungkin marah atau tidak sabar, dia tidak
puas dengan dāna kebutuhan yang akan dia berikan, atau dia memberi
dengan sikap yang acuh atau kurang perhatian. Sesudah memberi, dia
menyesali perbuatannya, dia memiliki keyakinan yang rendah terhadap
hukum kamma, atau dia memberi dengan harapan mendapatkan perolehan
duniawi, atau mendapatkan kesenangan indriawi di kehidupan mendatang
mungkin sebagai manusia yang kaya raya atau deva.
4. Penerima dāna memiliki moralitas yang rendah atau tidak memiliki
moralitas sama sekali. Dia hanya menjaga beberapa sīla, atau sama sekali
tidak menjaga sīla.

Ketika pemberian seseorang dicemari oleh milyaran kesadaran tidak bajik yang tidak
terhitung banyaknya, yang berakar pada keserakahan ( lobha ), kebencian ( dosa ),
dan kebodohan batin/delusi ( moha ), maka pemberian tersebut adalah pemberian
yang inferior ( kurang bermutu ).

Jika dalam kasus seperti ini, seseorang yang tidak mengerti hukum kamma, maka
batin orang tersebut tidak bersekutu dengan ketidak-bodohan batin ( amoha ), yang
membuat pemberiannya tersebut menjadi pemberian yang inferior, berakar dua
( dvi-hetuka ) : yang berarti kesadaran yang dihasilkan akan menjadi tanpa akar
( ahetuka ).

Jika seseorang mengerti hukum kamma, dan batin orang tersebut bersekutu dengan
ketidak-bodohan batin ( amoha ), namun dikarenakan pencemaran dari kesadaran
tidak bajik yang tidak terhitung membuat pemberiannya menjadi inferior, berakar
tiga ( ti-hetuka ) : yang berarti kesadaran yang dihasilkan hanya berakar dua ( dvi-
hetuka ).
Di dalam teks Pali, ada sebuah contoh mengenai seorang laki-laki yang membuat
pemberian yang inferior. Dalam salah satu kehidupan-Nya yang lampau, ketika
masih sebagai seorang Bodhisatta, Sang Buddha adalah seorang pertapa ( tāpasa )
bernama Kaṇhadīpayana. Suatu hari, ada seorang ayah dan ibu membawa putranya
yang masih muda ke tempatnya, karena putranya tersebut telah digigit oleh seekor
ular. Dan demi untuk menetralkan racunnya, mereka semua memutuskan untuk
membuat sebuah pernyataan kebenaran ( Sacca-kiriya ).

Setelah Bodhisatta membuat pernyataan, sang ayah juga membuat pernyataannya.


Sang ayah menyatakan bahwa dia melakukan pemberian tanpa sukacita, dengan
segan, dan tidak memiliki keyakinan terhadap hasil dari pemberian, dia memberi
tanpa keyakinan. Itu berarti semua pemberiannya adalah bersifat inferior.

Pemberian yang Superior ( unggul )


Faktor-faktor dari pemberian yang superior ( ukkaṭṭha ) adalah kebalikannya :

1. Pemberi dāna mendapatkan kebutuhan tersebut dengan penghidupan


yang benar.
2. Pemberi dāna memiliki moralitas yang baik, menjaga sīla dengan baik.
3. Kesadaran si pemberi dāna pada saat sebelum atau sesudah pemberian
tersebut bersekutu dengan pikiran yang bajik. Sebagai contoh : sebelum
memberi, dia memiliki kegembiraan batin ( pīti ) karena sudah berusaha
untuk mendapatkan kebutuhan yang baik, dia memberi dengan sikap yang
penuh hormat, konsentrasi dan penuh kegembiraan. Sesudah memberi, dia
bersukacita karena sudah melakukan pemberian tersebut, dia memiliki
keyakinan yang mendalam terhadap hukum kamma, dia melakukan
pemberian tersebut dengan harapan tercapainya Nibbāna.
4. Penerima dāna memiliki moralitas yang baik, dia menjaga sīla dengan
baik. Penerima dāna yang paling unggul tentunya adalah Sang Buddha,
seorang Arahat, yang telah mencapai kesucian, atau orang yang sedang
berlatih untuk pencapaian ke-Arahat-an. Namun penerima dāna yang jauh
lebih superior lagi adalah seorang Bhikkhu atau beberapa Bhikkhu atau
samanera yang dilihat sebagai perwakilan dari Saṅgha.

Ini adalah contoh dari pemberian seseorang yang diselingi oleh milyaran kesadaran
bajik yang tidak terhitung banyaknya yang bersekutu dengan ketidak-serakahan
( alobha ), tidak benci ( adosa ), dan kegembiraan batin ( pīti ).

Jika seseorang tidak mengerti hukum kamma, maka batin orang tersebut tidak
bersekutu dengan ketidak-bodohan batin ( amoha ), yang membuat pemberiannya
menjadi superior, berakar dua ( dvi-hetuka ) : yang berarti kesadaran yang dihasilkan
adalah berakar dua.

Jika seseorang mengerti hukum kamma, dan batin orang tersebut bersekutu dengan
ketidak-bodohan batin ( amoha ), yang membuat pemberiannya menjadi superior,
berakar tiga ( ti-hetuka ) : yang berarti kesadaran yang dihasilkan adalah berakar
tiga.
 Cara berdana kebutuhan Bhikkhu

Kebutuhan Bhikkhu yang diizinkan


Bhikkhu Saṅgha Theravāda hanya bisa menerima persembahan dana kebutuhan
yang diizinkan ( seperti jubah, makanan dan minuman, obat-obatan, dan keperluan
sehari-hari ). Para Bhikkhu tidak diizinkan menerima dan memiliki uang dalam
bentuk apapun juga ( seperti dalam bentuk uang kertas, “ang pao”, cek, kartu kredit,
dan lain-lain ).

Jika seorang Bhikkhu menerima persembahan dana dalam bentuk uang, maka
Bhikkhu tersebut telah melanggar aturan vinaya kebhikkhuan. Umat juga tidak
seharusnya mempersembahkan dana yang kurang pantas seperti rokok, minuman
keras, daging yang tidak diizinkan, kosmetika, senjata, emas, perak, dan batu mulia
lainnya.

Bagaimana cara berdana kebutuhan Bhikkhu yang diizinkan ?


Para Bhikkhu tidak bisa meminta kebutuhan apapun dari seorang umat perumah
tangga ( kecuali saudara kandung/sedarah ) yang belum mengajukan undangan untuk
persembahan dana kebutuhan kepada Bhikkhu ( kecuali seorang Bhikkhu yang
sedang menderita sakit, maka Bhikkhu tersebut bisa meminta persembahan dana
obat-obatan ).

Jika seorang umat berkeinginan kuat untuk melakukan persembahan dana tetapi
tidak bisa memastikan apa yang dibutuhkan oleh Bhikkhu, maka dia bisa
mengundang Bhikkhu dan menanyakan apakah Bhikkhu tersebut membutuhkan
sesuatu yang diizinkan.
Atau dengan cara lain, umat tersebut bisa meminta bantuan dari seorang kappiya
Bhikkhu ( pembantu Bhikkhu ). Dikarenakan seorang kappiya mengetahui lebih
jelas apa saja yang dibutuhkan oleh seorang Bhikkhu, maka dari itu si pendana bisa
meminta bantuan kappiya untuk mengatur ( = membeli ) kebutuhan yang diizinkan
untuk didanakan kepada Bhikkhu. Setelah si pendana memberikan sejumlah uang
kepada kappiya, maka dia bisa menyampaikan undangan secara lisan maupun tulisan
kepada Bhikkhu sebagai berikut ini :

( Versi English )
“Sayadaw/Bhante,
I/We wish to offer bhante allowable requisites to the value of Rp.xxx. If you
need any allowable requisites, please request them from your kappiya ….. (
kappiya’s name ). “

( Versi Indonesia )
“Sayadaw/Bhante,
Saya/kami ingin berdana kebutuhan Bhante yang diizinkan yang setara dengan
nilai Rp. xxx. Jika Bhante memerlukan kebutuhan yang diizinkan tersebut,
mohon bisa meminta dari kappiya Bhante …… ( nama kappiya Bhante ).”

Catatan : Jika anda mengetahui nama kappiya Bhikkhu ( kappiyakāraka ), maka


mohon menyebutkan nama kappiya tersebut. Jika anda tidak mengetahui siapa
kappiya Bhikkhu tersebut, maka mohon bertanya terlebih dahulu kepada Bhikkhu :
“Siapa nama kappiya Bhante ? ” dan kemudian menyebutkan nama kappiya
tersebut saat menyampaikan undangan kepada Bhikkhu. ( Bhikkhu harus menjawab
nama dari kappiya nya saja, dan tidak boleh menyebutkan ” diberikan kepada
siapa ” ).
Apabila si pendana dan kappiya gagal dalam menyampaikan undangan kepada
Bhikkhu, maka Bhikkhu tidak dibenarkan meminta kebutuhan apapun meskipun dia
membutuhkannya. Dengan kondisi seperti ini, baik Bhikkhu maupun si pendana
tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari pengaturan tersebut.

 Berdana makanan kepada Bhikkhu

Bagaimana cara berdana makanan dengan benar kepada Bhikkhu Saṅgha ?


 Umat seharusnya tidak berdana makanan kepada bhikkhu setelah jam 12.00
siang. Hal ini dikarenakan para bhikkhu harus mematuhi peraturan kebhikkhuan
untuk tidak mengambil makanan pada waktu yang tidak tepat ( yaitu setelah jam
12.00 siang sampai subuh keesokan paginya ). Bhikkhu juga tidak diperbolehkan
menyimpan makanan mereka sendiri. Oleh karena itu, umat seharusnya berdana
kepada bhikkhu pada rentang waktu yang tepat yaitu dari fajar ( pagi hari )
sampai pertengahan hari sebelum jam 12.00. Namun, tidak ada batasan waktu
bagi umat untuk berdana keperluan obat-obatan kepada bhikkhu.

 Buddha juga menetapkan peraturan bagi para bhikkhu untuk tidak mengambil
makanan yang didanakan dengan cara yang tidak tepat. Untuk itu bagi umat yang
berdana makanan seyogyanya berdiri atau berlutut dalam jarak yang cukup yang
bisa di jangkau oleh lengan bhikkhu, artinya umat harus menghindari berdiri atau
berlutut terlalu jauh.

 Sesuai peraturan kebhikkhuan, setelah seorang bhikkhu makan dan menolak


persembahan dana makanan selanjutnya, maka bhikkhu tidak diperbolehkan
mengambil sisa makanan yang ada. Sehingga ketika umat mendanakan makanan,
mohon untuk tidak bertanya kepada bhikkhu : “mau atau tidak mau”, atau apakah
bhikkhu sudah “mengambil makanan yang cukup”.

 Ketika mendanakan makanan, jika umat mengetahui bahwa bhikkhu tidak


merespons atau bhikkhu menutup patta-nya, maka umat seharusnya tidak
bersikeras untuk mendanakan makanannya.

 Ketika mendanakan buah-buahan atau sayuran yang memiliki biji, maka dana
makanan tersebut harus dibuat “layak makan” terlebih dahulu. Bhikkhu akan
memegang buah atau sayuran tersebut dan berkata kepada umat : “Kappiyam
karohi“, yang artinya : “Buatlah buah/sayuran ini layak makan.” Umat yang
berdana harus menjawab : “Kappiyam, Bhante“, yang artinya : “Bhante, ini layak
makan”.

Ada 5 cara untuk membuat dana makanan ( buah/sayur berbiji ) menjadi


“layak makan”, yaitu :

1. Makanan tersebut sudah melalui proses pengapian ( atau sudah di masak )


2. Makanan tersebut di buat layak makan dengan pisau atau garpu, misalnya
ditusuk atau membuat kulit buah tersebut terkelupas.
3. Makanan tersebut di dibuat layak makan dengan menggunakan kuku.
4. Tanaman/buah yang tidak memiliki biji, misalnya pisang, sudah termasuk
layak makan.
5. Membuang biji buah / sayuran, misalnya membuang biji apel.
Makanan yang mungkin belum/tidak layak makan akappiya, adalah makanan
mentah yang bila ditanam akan tumbuh, karena berbiji atau bisa tumbuh akar.
Makanan tersebut seperti: jenis buah-buahan: semangka, jeruk, jambu, rambutan,
anggur dll. Jenis sayur-sayuran: kangkung mentah, taoge mentah dan sayuran lain
yang bisa tumbuh akar.

Bila terdapat banyak makanan yang harus di kappiya, pada saat mengerjakannya,
makanan yang di kappiyaitu harus berhubungan langsung ( saling melekat ) satu
sama lain, agar tidak perlu melakukan kappiya satu persatu terhadap makanan-
makanan tersebut. Dengan perlakuan demikian, berarti makanan tersebut telah layak
makan kappiya, sehingga bhikkhu bisa memakannya dengan bebas, walaupun
dengan sengaja atau tidak, telah menggigit pecah biji buah-buahan atau memakan
sayur mentah ( lalapan ).

Bila makanan belum di kappiya, bila seorang bhikkhu menggigit pecah, makan
lalapan atau umbi obat-abatan, ia telah melanggar vinaya pacittiya, karena dianggap
telah merusak tumbuh-tumbuhan.

Bila bhikkhu tidak meminta untuk membuat makanan menjadi kappiya, ia telah
melanggar vinaya dukkata, karena kelengahannya. Dan, bila ia menggigit pecah biji
buah-buahan yang ia makan, maka ia telah melanggar vinaya dukkata dan pacittiya.
Tahu mana yang benar dan tahu mana yang tidak benar. Tahu mana yang patut dan
tahu mana yang tidak patut. Saddha yang dikendalikan oleh kebijaksanaan akan
muncul dan berkembang, karena melihat dan mengerti bahwa para bhikkhu
melaksanakan vinaya dengan benar dan indah.
Saddha berkembang terus, karena yakin bahwa bhikkhu Sangha tempat menanam
kebajikan yang kita hormati benar-benar sebagai:

 Supatipanno puggala, orang yang berlaku dan bertindak baik.


 Ujupatipanno puggala, orang yang berlaku dan bertindak lurus/jujur.
 Nayapatipanno puggala, orang yang berlaku dan bertindak benar.
 Samicipatipanno puggala, orang yang berlaku dan bertindak patut/layak.
 Ahuneyyo pahuneyyo dakkhineyyo anjalikaraniyo puggala, orang yang patut
menerima pemberian, tempat bernaung, berdana dan penghormatan.

Sādhu! Sādhu! Sādhu!

You might also like