You are on page 1of 10

Pendekatan Klinis dan tata laksana pada pasien cedera kepala sedang

Mutiara Fitri

102015036

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

Email: Mutiara.2015fk036@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan

Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di indonesia, kejadian
cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah di atas, 10%
penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita
berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut. Di negara berkembang seperti
Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala
cenderung semakin meningkat1,2.

Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15–
44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penyebab
cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas, disusul dengan jatuh (terutama
pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat
trauma. Karena itu, sudah saatnya seluruh fasilitas kesehatan yang ada, khususnya Rumah Sakit
sebagai layanan terdepan pelayanan kesehatan, dapat melakukan penanganan yang optimal bagi
penderita cedera kepala.

Penanganan yang kurang tepat pada pasien cidera kepala akan berdampak fatal dan
bahkan sampai pada kematian. Dalam pengambilan diagnose keperawatanpun haruslah tepat
sehingga pasien dapat ditolong dengan cepat dan tepat. Cedera kepala adalah keadaan dimana
struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta
otaknya mengalami cidera baik yang trauma tertutup maupun trauma tembus. Cidera kepala
merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif
dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di samping penanganan di lokasi
kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang
gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognonis selanjutnya. Cidera kepala
dibagi menjadi tiga yaitu cidera kepala ringan, sedang dan berat. Cidera kepala ringan adalah
trauma kepala dengan skala Glasgow Coma Scale 15 (sadar penuh) tidak ada kehilangan
kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala dapat terjadi abrasi, lacerasi, haematoma kepala
dan tidak ada kriteria cidera sedang dan berat. Sedangkan cidera berat adalah keadaan dimana
struktur lapisan otak mengalami cidera berkaitan dengan edema, hyperemia, hipoksia dimana
pasien tidak dapat mengikuti perintah, coma (GSC < 8) dan tidak dapat membuka mata.1

1
Cedera kepala traumatik merupakan masalah kesehatan yang serius di masyarakat karena
merupakan pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia.1,2 Sekitar 1–1,5 juta jiwa di Eropa
dan Amerika Serikat mengalami cedera kepala tiap tahunnya.2 Selama 20 tahun terakhir
penatalaksanaan pasien cedera kepala telah meningkat secara bermakna dan pedoman
penatalaksanaan cedera kepala traumatik berbasis bukti telah dikembangkan, namun walaupun
ada metode diagnostik dan penatalaksanaan yang muktahir prognosis masih jauh dari harapan.1

Anamnesis

Jenis anamnesis yang dapat dilakukan ialah autoanamnesis dan alloanamnesis.


Autoanamnesis dapat dilakukan jika pasien masih berada dalam keadaan sadar. Sedangkan bila
pasien tidak sadar, maka dapat dilakukan alloanamnesis yang menyertakan kerabat terdekatnya
yang mengikuti perjalanan penyakitnya.2
Pada setiap anamnesis selalu ditanyakan identitas pasien terlebih dahulu. Indentitas
pasien meliputi nama, tanggal lahir, umur, suku, agama, alamat, pendidikan dan pekerjaan.
Setelah itu dapat ditanyakan pada pasien : Identitas penderita, Riwayat penyakit sekarang,
Riwayat penyakit dahulu, Riwayat obat-obatan, Riwayat penyakit keluarga.2
Pada anamnesis yang dilakukan pada kasus ini didapatkan bahwa pasien tersebut laki-laki
18 tahun dengan luka dikepala sebelah kanan dan tangan sebelah kanan. Dilakukan
alloanamnesis kepada tukang ojek yang mengantarnya bahwa pasien mengalami kecelakaan
motor dengan mobil 1 ham yang lalu. Pasien mengendarai motor tanpa menggunakan helm
dengan kecepatan cepat dan ditabrak mobil sehingga pasien tidak sadar selama beberapa saat dan
sadar kembali saat kerumah sakit. Pasien nyeri kepala hebat dan muntah beberapa kali. 2 jam
kemudian pasien tidak sadar. Ada darah juga mengalr dari telinga kanannya tapi sudah berhenti.

Pemeriksaan Fisik

Pertama tama dilakukan pemeriksaan fisik umum dan generalis lalu penilaian terhadap status
neurologis pasien cedera kepala merupakan tindakan utama yang harus dilakukan sebelum
pengobatan diberikan. Perawat yang bertugas sebaiknya juga mampu melakukan penilaian
tersebut untuk membantu dokter dalam mengobservasi pasien. Adanya perubahan status
neurologist pasien sangat penting untuk diketahui. Perubahan tersebut dapat berlangsung dalam
beberapa menit hingga beberapa jam bahkan beberapa bulan tergantung penyebabnya (Auken,
1998). Jika penurunan kondisi pasien yang terjadi tidak disadari, maka hasil akhirnya adalah
fatal. Pemeriksaan status neurologis pasien mencakup beberapa hal, antara lain: skala koma
Glasgow (GCS), ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya, respons motorik anggota gerak
tubuh, dan tanda-tanda vital. Untuk melakukan penilaian neurologis yang akurat, semua
pemeriksaan ini harus dilakukan dan hasilnya dinilai sebagai satu kesatuan.3

2
 Pemeriksaan Tanda Vital
Tanda vital sangat penting dalam observasi pasien cedera kepala karena dapat
memberikan banyak informasi mengenai keadaan intrakranial. Perubahan intrakranial
biasanya akan didahului dengan perubahan tanda-tanda vital terlebih dahulu. Tanda vital
tersebut mencakup suhu, nadi, dan tekanan darah.3
- Suhu
Pada cedera kepala berat biasanya akan terjadi gangguan pengaturan suhu tubuh
karena kerusakan pusat pengatur suhu di hipotalamus. Metabolisme meningkat
sekitar 10% untuk setiap derajat peningkatan suhu tubuh. Hal ini sangat
berdampak buruk terhadap pasien tersebut yang memang sudah mengalami
gangguan suplai oksigen dan glukosa. Salah satu hasil metabolisme tubuh adalah
CO2 yang merupakan vasodilator dan menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial.
- Nadi
Bradikardia dapat ditemukan pada cedera kepala yang disertai dengan cedera
spinal, atau dapat juga dijumpai pada tahap akhir dari peningkatan tekanan
intrakranial. Takikardia sebagai respons autonom terhadap kerusakan hipotalamus
juga dapat dijumpai pada tahap akhir dari peningkatan tekanan intrakranial.
Aritmia dapat ditemukan jika terdapat darah dalam CSF atau lesi fossa posterior.
Didapatkan nadi pasien tersebut 98x/menit, setelah 2 jam di UGD menjadi
60x/menit.
- Tekanan Darah
Hipotensi dapat memperburuk keadaan cedera kepala. Perfusi otak yang kurang
dapat menyebabkan kerusakan sel-sel otak secara menyeluruh. Jika hal ini terjadi,
maka otak akan mengalami swelling (pembengkakan secara menyeluruh), dengan
hasil akhir peningkatan tekanan intrakranial dan kematian. Didapatkan tekanan
darah pasien 130/90 mmHg, setelah 2 jam di UGD menjadi 150/90 mmHg.
- Frekuensi Pernapasan
Pola dan frekwensi pernafasan dapat memberikan gambaran tentang keadaan
intrakranial. Jika frekwensi nafasnya cepat (> 28 kali permenit) dan tidak teratur,
merupakan keadaan emergensi yang harus segera dilaporkan kepada dokter. Tidak
selamanya keadaan ini disebabkan oleh masalah dalam paru-paru. Tetapi untuk
tindakan awalnya dapat segera dinaikkan jumlah oksigen yang diberikan.
Didapatkan frekuensi pernapasan pasien 24x/menit, setelah 2 jam di UGD
menjadi 32x/menit.
 Skala koma Glasgow (GCS)
Tingkat kesadaran, sebelum adanya skala koma Glasgow (GCS) pada 1974,
dibedakan dengan berbagai istilah seperti stupor, semi koma, dan koma dalam, tetapi
istilah ini tidak dapat didefinisikan secara konsisten untuk membedakan tingkat
kesadaran dan sering memberikan hasil yang berbeda-beda jika pemeriksanya berbeda

3
(Hickey, 1986). Sistem GCS ini dibuat untuk mengurangi keragaman hasil pemeriksaan,
untuk membedakan berat ringannya keadaan pasien dan mengevaluasi penatalaksanaan,
serta berguna untuk memperkirakan prognosis pasien (Jennet, 1976). Salah satu peranan
GCS yang sangat penting dan sering tidak disadari adalah untuk berkomunikasi, karena
skala ini memiliki nilai objektivitas yang baik dan pemeriksaannya sederhana.
Pemeriksaan GCS tersebut mencakup tiga komponen yaitu reaksi membuka mata, reaksi
motorik, dan reaksi verbal, masing-masing diberi nilai sebagai berikut:4

Berdasarkan pemeriksaan GCS pada pasien tersebut didapatkan E3M6V5, setelah 2 jam
di UGD menjadi E3M5V4.
 Bentuk dan Ukuran Pupil
Pupil yang normal (isokor) akan sama antara mata kiri dan kanan, berukuran 2-4 mm.
Pupil pinpoint tanpa keracunan opiate menunjukkan adanya perdarahan pons. Pupil yang
mengalami dilatasi dan terfiksir, menunjukkan kematian batang otak dan hipoksia berat
pada tingkat akhir. Bentuk pupil yang normal adalah bulat. Pupil yang berbentuk oval
mungkin merupakan tanda awal herniasi tentorial. Pupil berbentuk key hole dapat
ditemukan pada pasien setelah operasi katarak. Secara normal, pupil memberikan reaksi
yang cepat terhadap cahaya terang, karena pupil berfungsi sebagai diafragma yang
mengatur jumlah sinar yang sampai ke retina. Jika reaksi tersebut lambat, menunjukkan
adanya penekanan parsial pada nervus III , sedangkan jika penekanan tersebut komplit
maka reaksi tersebut tidak akan dijumpai. Pupil yang unisokor pada orang yang sadar
penuh tidak menunjukkan efek massa, tapi tetap harus dikonfirmasikan kepada dokter
yang merawat. Didapatkan hasil pupil isokor tetapi setelah 2 jam menjadi unisokor.4

4
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan lab (hematologi) dan Computerized


tomography scanning (CT-Scan) yang merupakan modalitas diagnostik penting dalam praktek
neuradiologi dan merupakan langkah utama untuk menunjukkan adanya lesi intrakranial,
perluasan serta lokasinya. Yang dinilai dari pemeriksaan ini adalah tingkat penurunan terbukanya
mata, respon verbal, dan respon motorik dari penderita cedera kepala. Cedera kepala dikatakan
ringan bila derajat GCS total adalah 14-15, sedang bila derajat GCS total adalah 9-13, dan berat
bila derajat GCS total 3-8. Lesi intrakranial, perluasan serta lokasinya. Pemeriksaan ini
merupakan metode diagnostik standar terpilih (gold standart) untuk kasus cedera kepala
mengingat selain prosedur ini tidak invasive (sehingga aman), juga memiliki kehandalan yang
tinggi. Gambaran yang harus diperhatikan pada pemeriksaan CT adalah sebagai berikut:5

 Adanya epidural atau subdural hematoma


 Terdapat darah pada subarachnoid atau intraventricular
 Kontusio parenkim otak atau adanya pendarahan otak
 Edema serebral

Pemeriksaan CT dengan setting bone window dapat mengidentifikasi adanya fraktur,


opasifikasi sinus, dan adanya pneumosefalus. Bila terbukti adanya mass effect dan pergeseran
jaringan otak, adanya kompresi atau obliterasi sisterna mesensefalik atau adanya pergeseran garis
tengah (midline shift) berkorelasi dengan meningkatnya tekanan intrakranial dan menurunnya
kesempatan bertahan hidup.5

Diagnosis Kerja

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan diagnosa kerja/working


diagnosis yaitu Cedera Kepala Sedang dengan Tekanan tinggi intracranial ec perdarahan
intrakcranial. Perdarahan Intrakranial adalah perdarahan di dalam tulang tengkorak. Perdarahan
bisa terjadi di dalam otak atau di sekeliling otak: Perdarahan yang terjadi di dalam otak disebut
perdarahan intraserebral. Perdarahan diantara otak dan rongga subaraknoid disebut perdarahan
subaraknoid.6

Diagnosis Banding

Diagnosis bandingnya adalah Peningkatan Tekanan Intracranial ec Perdarahan


Spontan. Perdarahan spontan adalah perdarahan berlebihan setelah trauma dan jarang
ditemukan kecuali jumlah trombosit < 20.000 per cu. Paling sering terjadi disebabkan oleh luka,

5
dan tergantung pada keadaan-keadaan, jumlah tenaga yang diperlukan untuk menyebabkan
perdarahan dapat menjadi sangat variable. Perdarahan spontan dapat desebabkan (1) trauma
tumpul, bagian luar tubuh mungkin tidak perlu rusak, namun tekanan yang cukup mungkin
terjadi pada organ-organ internal (dalam) untuk menyebabkan luka dan perdarahan; (2) trauma
perlambatan, organ-organ dalam tubuh digeser didalam tubuh; (3) fraktur, tulang-tulang yang
patah.7

Kelainan ini kurang lebih 10 sampai 15% dari seluruh jenis stroke dan menyebabkan
angka kecacatan dan kematian yang tinggi. Penyebab dari kelainan ini diantaranya hipertensi,
angiopati amiloid, gangguan pembekuan darah , kelainan pembuluh darah otak, tumor dan efek
samping obat-obat tertentu. Gejala yang terjadi mulai dari nyeri kepala, bicara pelo, kelumpuhan
samapai koma. Diagnosis ditegakkan secara cepat dengan CT Scan dan bila perlu menggunakan
MRI-MRA dan angiografi pada kasus – kasus tertentu untuk mencari penyebab terjadinya
perdarahan. Modalitas diagnostic tersebut tersedia selama 24 jam sehingga mempercepat
diagnosis dan tindakan selanjutnya. Sebagian besar kasus perdarahan otak spontan ditangani
secara konservatif medikamentosa dengan perawatan intensif di ICU. Pada beberapa kasus perlu
tindakan pembedahan untuk mengambil bekuan darah, yaitu pada kasus perdarahan luas,
menimbulkan efek masa yang berat, terjadi penurunan kesadaran progresif, resiko tinggi terjadi
herniasi dan perdarahan pada serebellum (otak kecil) dengan efek masa. Jenis pembedahan
terdiri dari open evacuation, endoscopic evacuation atau extraventricular drainage (EVD).7

Etiologi

 Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobl.8


 Kecelakaan pada saat olahraga, anak dan ketergantungan.
 Cedera akibat kekerasan.

Epidemiologi

Tergantung dari sumber informasi, estimasi cedera otak traumatis pada cedera kepala
adalah 500,000 hingga 1 juta kasus setiap tahunnya. Jenis cedera paling banyak adalah cedera
ringan dan 20% diklasifikasikan ke sedang menuju berat. Hampir 50% dari 150,000 kematian
akibat trauma setiap tahunnya karena cedera kepala. Diestimasikan 5.3 juta orang hidup dengan
disabilitas yang berhubungan dengan cedera otak, dan estimasi biaya yang dihabiskan adalah 4
milyar dolar setiap tahunnya. Berdasarkan hasil penelitian, dida-patkan jumlah penderita laki-
laki sebanyak 68 penderita (76%) dan perempuan sebanyak 21 penderita (24%). Berdasarkan
hasil penelitian, didapatkan jumlah penderita yang paling banyak adalah kelompok umur >15 –
20 tahun dengan jumlah penderita 23 orang (26%). Jumlah penderita yang paling sedikit yaitu
kelompok umur >40 – 45 tahun dan >55 – 60 tahun dengan jumlah penderita 2 orang (2%).

6
Penyebab cedera kepala paling sering adalah kecelakaan lalu lintas (KLL) sebanyak 65 kasus
(73%). Sedangkan yang paling sedikit akibat dibacok sebanyak 1 kasus (1%).5

Patofisiologi

Perdarahan ini berhubungan dengan luasnya kerusakan jaringan otak. Massa perdarahan
menyebabkan destruksi dan kompresilangsung terhadap jaringan otak sekitarnya.Volume
perdarahan menyebabkan tekanan dalam otak meninggi danmempunyai efek terhadap perfusi
jaringan otak serta drainage pembuluh darah.Perubahan pembuluh darah ini lebih nyata/berat
pada daerah perdarahan karenaefek mekanik langsung,menyebabkan iskhemik dan jeleknya
perfusi sehingga terjadikerusakan sel-sel otak.Volume perdarahan merupakan hal yang paling
menentukan dari hasilAkhirnya. Hal lain yang paling menentukan yaitu status neurologis dan
volumedarah didalam ventrikel.Volume darah lebih dari 60 ml,mortality nya 93% bila lokasinya
deep subcortical dan71 % bila lokasinya lobarlsuperfisial. Untuk perdarahan cerebellum, bila
volumenya30-60ml,75% fatal;pada perdarahan didaerah pons lebih dari 5ml,fatal.Bagaimanapun
kerusakan jaringan otak dan perubahan-perubahan karena perdarahan didalam otak tidak
statis.Volume hematome selalu progressive. Dalam satu jam setelahkejadian, volume darah akan
bertambah pada 25% penderita; sekitar 10% darisemua penderita volumenya bertambah setelah
20 jam. Pada CT Scan tampak daerah hipodensity disekitar hematome, ini disebabkan karena
extravasasi serumdari hematome tersebut.9

Perdarahan intrakranial dibagi menjadi epidural, subdural, subarachnoid dan intraparenkimal


atau intraserebral.9

 Epidural Hemorrhage
Perdarahan epidural terjadi diantara selaput dura dan tengkorak yang disebabkan
oleh fraktur tengkorak sehingga terdapat laserasi pada arteri meningea. Biasanya, terdapat
riwayat cedera region capitis(sering saat aktivitas olahraga) yang menyebabkan
kesadaran sedikit menghilang. Setelah cedera, biasanya pasien kembali sadar dan
mengalami suatu lucid interval untuk masa beberapa jam. Setelah itu pasien cepat
mengantuk diikuti penurunan kesadaran, yang dapat menuju kematian.
 Subdural Hemorrhage
Perdarahan subdural terjadi di ruangan antara dura dan arachnoid yang sering
disebabkan oleh gesekan antara bridging veins antara otak dengan sinus vena pada dura
(vena cerebri saat venae memasuki sinus sagitalis superior). Pasien yang beresiko tinggi
mengalami hematoma subdurale adalah dewasa muda dan orang tua. Biasanya riwayat
klinis meliputi cedera biasa yang diikuti oleh hilangnya kesadaran atau perubahan
kepribadian.
 Subarachnoid hemorrhage (SAH)

7
SAH diakibatkan pecahnya aneurisma intracerebrale yang berasal dari pembuluh
darah yang menyuplai dan di sekitar circulus arteriosus cerebri (dari Willis), tetapi dapat
terjadi pada pasien yang mengalami cedera cerebri yang bermakna.

Gejala klinis

Gejala klinis cedera kepala dengan keparahan sedang; Pasien yang tidak koma tetapi
mengalami konfusi yang menetap, perubahan tingkah laku, kesadaran kurang dari normal,
pusing ekstirm, atau tanda neurologic seperti hemiparesis harus dirawat dirumah sakit dan
menjalani pemeriksaan CT-Scan. Gejala yang paling umum selain sakit kepala, pusing
pascakonkusif, limbung, fotofobia dan vomitus cedera minor, adalah (1) delirium; bicara tak
menentu, resistensi jika terganggu, sering berkaitan dengan lobus temporalis anterior: (2)
keadaan mental melambat (abulia), diam, tidak tertarik: (3) hilangnya ingatan berat dengan
penampilan retrogad dan anterograde yang buruk, sakit kepala, fotofobia; (4) deficit fokal seperti
afasia atau hemiparesis; (5) konfusi global dengan tidak adanya perhatian; (6) muntah
berulang, nistagmus, mengantuk, dan ketidakstabilan; (7) mengantuk saja atau membisu; (80
diabetes insipidus dengan atau tanpa sindroma lobus frontalis-temporalis. Sindrom didahului
oleh kehilangan kesadaran singkat, dan banyak berkaitan dengan fraktur tengkorak.9

Penatalaksaan dan Terapi

 Peningkatan tekanan intracranial


Indikasi pengobatan :10
- Memburuknya GCS> 2
- Pupil dilatasi
- Mengembangkan tanda fokal
- Sikap ekstensor
- Refleks Cushing (hipertensi, bradikardi)
- Sebelum mentransfer dengan GCS <9 (lihat di bawah)
 Mannitol. Dosis: 0,25 - 1g / Kg / dosis (= 1,25 - 5 ml / kg dari 20%)
diulang jika perlu
 Diberikan sebagai solusi 20%, berjalan di lebih dari 20 menit (= 20g /
100ml)
mis .: 20 Kg anak, 25-50 ml selama 20 menit
 Analgesic
- Parasetamol: 20mg / kg Stat maka 15mg / kg / dosis 4hrly (max 90mg / kg / hari).
Menggunakan dosis yang lebih rendah di bayi kurang dari 3 bulan.
- Morfin: Dapat hati-hati digunakan pada dosis terendah dicatat bahwa bahkan
sedikit pernapasan depresi meningkatkan tekanan intracranial.10
8
Komplikasi

 Komplikasi awal:6
- Cedera saraf kranial
- Fistula cairan cerebrospinal
- Pneumocephalus
- Fistula kavernosa karotis
- Thrombosis dan cedera vascular
- Infeksi
 Komplikasi lanjut:6
- Sindroma post concussion (pasca gegar)
- Kejang dan epilepsy post traumatic
- Kegagalan kognitif
- Kelainan gerakan post traumatic

Prognosis

Delapan puluh lima persen (85%) dengan GCS yang memburuk (3 atau 4) meninggal
dalam 24 jam setelah cedera. 55% anak memiliki hasil yang baik pada 1 tahun dibandingan
dengan 21% orang dewasa. Meningkatnya tekanan intracranial, usia lanjut, dan tanda kompresi
sisterna dan pergeseran garis tengah pada pemindaian CT-Scan, semuanya mempunyai makna
prognostic yang buruk.11

Kesimpulan

Pasien tersebut mengalami cedera otak keparahan sedang dengan peningkatan tekanan
intracranial yang disebabkan oleh perdarahan intracranial. Gejala yang didapatkan adalah
penurunan kesadaran, bradikardi, dan pernapasan cepat, sakit kepala serta muntah-mu tah
berulang. Pengobatan yang diberikan dapat berupa pemberian mannitol untuk indikasi
pengobatan (peningkatan tekanan intracranial) dan analgesic. Pasien tersebut mempunyai
prognosis buruk.

Daftar pustaka

1. Moppet IK. Traumatic brain injury: assessment, resuscitation and early management. Br J
Anaesth 2007; 99 : 18–31.
2. Gleadle J. Hipotiroidisme. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik.Penerbit Erlangga.
Jakarta:2007.p140-1
3. Tinjauan Pustaka Pemeriksaan Dan Sisi Praktis Merawat Pasien Cedera Kepala. Iskandar
Japardi: Bagian Bedah Saraf FK USU Ka. UPF Bedah Saraf RS dr Pirngadi MEDAN

9
4. Starship Children’s Hospital 2008. Head Injury, Management Of Paediatric.
5. Jurnal e-CliniC (eCl), Volume 2, Nomor 2, Juli 2014. Gambaran Ct Scan Kepala Pada
Penderita Cedera Kepala Ringan Di Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode 2012
– 2013.
6. Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com
7. Delf, Mohlan. H. Major Diagnostic Fisik. Ed.9 . Jakarta : EGC, 1996. h. 491
8. Arief, M, suprohaitta, Wahyu, J.K, Wiewik S. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2.
Media Aesculapius FKUI: Jakarta.
9. Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC.
10. Brain Trauma Foundation (2007). Guidliness for management of severe traumatic brain
injury. Ed-3.
11. Isellbscher, Barunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Vol 5. Jakarta: EGC, 2000. h. 2566

10

You might also like