You are on page 1of 16

HUBUNGAN AGAMA ISLAM DENGAN ILMU SOSIAL

TUGAS AGAMA

Oleh :
Dewi Shinta Tenri Dulung
C111 13 364

Dosen
H. Muh Bahar Akkase Teng, LCP., M.Hum

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
BAB I

PENDAHULUAN

Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat
menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.

Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana


terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung.
Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran
melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam
memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial,
menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter,
kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak
mulia dan bersikap positif lainnya.

Menurut Fazlur Rahman secara eksplisit dasar ajaran Alquran adalah moral yang
memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial. Tesis ini dapat dilihat
misalnya pada ajaran tentang ibadah yang penuh dengan muatan peningkatan keimanan,
ketaqwaan yang diwujudkan dalam akhlak yang mulia.
BAB II

KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA

A. Pengertian Agama

Secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologis)
dan sudut istilah (terminologis). Mengartikan agama dari sudut istilah kebahasaan akan
terasa lebih mudah daripada mengartikan agama dari sudut istilah karena pengertian agama
dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan subyektivitas dari orang yang
mengartikannya. Atas dasar ini, maka tidak mengherankan jika muncul beberapa ahli yang
tidak tertarik mendefinisikan agama. James H. Leuba, misalnya, berusaha mengumpulkan
semua definisi yang pernah dibuat orang tentang agama, tidak kurang dari 48 teori. Namun,
akhirnya ia berkesimpulan bahwa usaha untuk membuat defenisi agama itu tak ada
gunanya karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah. Selanjutnya Mukti Ali pernah
mengatakan, barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan defenisi
selain dari kata agama. Pernyataan ini didasarkan kepada tiga alasan. Pertama, bahwa
pengalaman agama adalah soal batin, subyektif dan sangat individualis sifatnya. Kedua
barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional daripada orang yang
membicarakan agama. Karena itu, setiap pembahasan tentang arti agama selalu ada emosi
yang melekat erat sehingga kata agama itu sulit didefinisikan. Ketiga, kosepsi tentang
agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan definisi tersebut.

Senada dengan Mukti Ali, M. Sastrapratedja mengatakan bahwa salah satu kesulitan
untuk berbicara mengenai agama secara umum adalah adanya perbedaan-perbedaan dalam
memahami arti agama dan disamping adanya perbedaan juga dalam cara memahmi serta
penerimaan setiap agama terhadap suatu usaha memahami agama. Setiap agama memiliki
interpretasi diri yang berbeda dan keluasan interpretasi diri itu juga berbeda-beda..

Sampai sekarang perdebatan tentang definisi agama masih belum selesai, sehingga
W.H. Clark, seorang ahli Ilmu Jiwa Agama, sebagaimana dikutip Zakiah Daradjat
mengatakan, bahwa tidak ada yang lebih sukar daripada mencari kata-kata yang dapat
digunakan untuk membuat definisi agama karena pengalaman agama adalah subyektif,
intern dan individual, dimana setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang
berbeda dari orang lain.

Pengertian agama dari segi bahasa dapat kita ikuti antara lain uraian yang diberikan
Harun Nasution. Menurutnya, dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenan
pula kata din (‫ﻴﻦ‬Ï ) dari bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa. Menurutnya,
agama berasal dari kata sanskrit. Menurut satu pendapat, demikian Harun Nasution
mengatakan, kata itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi agama artinya
tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi secara turun-temurun. Hal demikian menunjukkan
pada salah satu sifat agama, yaitu diwarisi secara turun-temurun dari satu generasi ke
generasi lainnya. Selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti
teks atau kitab suci, dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci.

Selanjutnya din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam
bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan dan
kebiasaan

Sementara itu Elizabeth K Nottingham yang pendapatnya tersebut tampak lebih


menunjukkan pada realitas objektif, yaitu bahwa ia melihat pada dasaranya agama itu
bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia dengan cara memberikan suasana batin
yang nyaman dan menyejukkan, tapi juga agama terkadang disalah-gunakan oleh
penganutnya untuk tujuan-tujuan yang merugikan orang lain.

Substansi agama bersifat transenden tetapi juga sekaligus imanen. Ia transenden,


karena substansi agama sulit didefinisikan dan tidak terjangkau kecuali melalui predikat
atau bentuk formalnya yang lahiriah. Namun begitu, agama juga imanen karena
sesungguhnya hubungan antara predikat dan substansi tidak mungkin dipisahkan. Kalau
saja substansi agama bisa dibuat hierarki, maka substansi agama yang paling primordial
hanyalah satu. Ia bersifat parennial, tidak terbatas karena ia merupakan pancaran dari yang
mutlak. Ketika substansi agama hadir dalam bentuk yang terbatas, maka sesungguhnya
agama pada waktu yang sama bersifat universal sekaligus partikular.

Karena banyaknya definisi tentang agama yang dikemukakan para ahli, Harun
Nasution mengatakan bahwa dapat diberi definisi sebagai berikut :

1). Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus
dipatuhi;

2). Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia;

3). Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu
sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan
manusia;

4). Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu;

5). Suatu sistem tingkah laku (code of condut) yang berasal dari kekuatan gaib;

6). Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu
kekuatan gaib;

7). Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut
terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia;

8). Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul (utusan Allah).

Selanjutnya, Taib Thahir Abdul Mu’in mengemukakan definisi agama sebagai suatu
peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk dengan
kehendak dan pilihannya sendiri mengikuti peraturan tersebut, guna mencapai kebahagiaan
hidupnya di dunia dan akhirat.

Dari beberapa definisi di atas, kita dapat menjumpai 4 unsur yang menjadi
karakteristik agama sebagai berikut :

a). Pertama, unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib.


b). Kedua, unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan
akhirat nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan yang
dimaksud.

c). Ketiga, unsur respon yang bersifat emosional dari manusia

d). Keempat, unsur paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib,
dalam bentuk kitab suci yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan,
tempat-tempat tertentu, peralatan untuk menyelenggarakan upacara dan sebagainya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa
agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung
dalam kitab suci yang turun menurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan
tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dari kesimpulan tersebut dapat dijumpai adanya lima aspek yang terkandung dalam
agama. Pertama, aspek asal-usulnya, yaitu ada yang berasal dari Tuhan seperti agama
samawi, dan ada yang berasal dari pemikiran manusia seperti agama ardli atau agama
kebudayaan. Kedua, aspek tujuannya yaitu untuk memberikan tuntunan hidup agar bahagia
di dunia dan akhirat. Ketiga, aspek ruang lingkupnya, yaitu keyakinan akan adanya
kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di
akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib, respon yang bersifat
emosional, dan adanya yang dianggap suci. Keempat, aspek pemasyarakatannya, yaitu
disampaikan secara turun temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi lain. Kelima,
aspek sumbernya, yaitu kitab suci.
B. Latar Belakang Perlunya Manusia Terhadap Agama

Sekurang-kurangnya ada empat alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia


terhadap agama. Keempat alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai
berikut :

1. Latar Belakang Fitrah Manusia

Dalam bukunya yang berjudul Perspektif Manusia dan Agama, Murthada


Muthahhari mengatakan, bahwa di saat berbicara tentang para nabi, Imam Ali as.
menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang
telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya.
Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah, melainkan
terukir dengan pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia, dan di
atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.

)ã٣٠‫ﺟﻬﻚﻟﻠﺪﻳﻦﺣﻨﻴﻔﺎﻓﻄﺮﺓﺍﷲﻓﻄﺮﺍﻟﻨﺎﺱﻋﻠﻴﻬﺎ (ﺍﻟﺮﻭ‬æ‫ﻓﺄﻗﻢ‬

Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetapkanlah atas fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah itu (QS. Al-Rum, 30:30).

Berdasarkan informasi tersebut terlihat dengan jelas bahwa manusia secara fitri
merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan
dengan petunjuk nabi dalam salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa setiap anak yang
dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Bukti manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat
melalui bukti historis dan antropologis. Melalui bukti-bukti historis dan antropologis kita
mengetahui bahwa pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi
mengenai Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguh pun Tuhan yang
mereka percayai itu terbatas pada daya khayalnya.

Sebagian hipotesis mengatakan bahwa agama adalah produk rasa takut. Seperti rasa
takut manusia dari alam, dari gelegar suara guruh yang menggetarkan, dari luasnya lautan,
dan dari deburnya ombak yang menggulung serta gejala-gejala alamiah lainnya. Sebagai
akibat dari rasa takut ini, terlintaslah agama dalam benak manusia. Lucterius, seorang
filosof Yunani yang pendapatnya dikutip Murthada Muthahhari mengatakan bahwa nenek
moyang pertama para dewa adalah dewa ketakutan. Hipotesis lainnya mengatakan bahwa
agama adalah produk kebodohan. Sebagian orang percaya bahwa faktor yang mewujudkan
agama adalah kebodohan manusia, sebab manusia, sebab dengan wataknya selalu
cenderung untuk mengetahui sebab-sebab dan hukum-hukum yang berlaku atas alam ini
serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya.

Beberapa hipotesis tersebut telah banyak dibuktikan kegagalannya oleh para ahli
karena dasar hipotesis tersebut adalah pemikiran manusia yang terbatas, sedangkan agama
yang benar mesti datang dari yang Maha Tidak Terbatas, yaitu Tuhan. Hipotesis tersebut
sekedar menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama, namun potensi tersebut
jka tidak diarahkan akan keliru hasilnya sebagaimana terlihat pada beberapa hipotesis
tersebut. Namun demikian, hal ini tidak berarti akal manusia tidak ada manfaatnya,
melainkan menunjukkan bahwa dalam hal beragama akal saja tidaklah cukup.

Informasi lainnya yang menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama


dikemukakan oleh Carld Gustave Jung. Jung percaya, bahwa agama termasuk hal-hal yang
memang sudah ada di dalam bawah sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya William
James, seorang filosof dan ilmuan terkemuka dari Amerika mengatakan, ”Kendatipun
benar pernyataan bahwa hal-hal fisis dan meterial merupakan sumber tumbuhnya berbagai
keinginan batin, namun banyak pula keinginan yang tumbuh dari alam di balik alam
material ini”. Buktinya, banyak perbuatan manusia tidak bersesuaian dengan perhitungan-
perhitungan material. Sementara itu, Alexis Carell, salah seorang pemenang hadiah Nobel
berpendapat bahwa doa merupakan gejala keagamaan yang paling agung bagi manusia,
karena pada keadaan itu jiwa manusia terbang melayang kepada Tuhan. Pada bagian lain
dari bukunya yang berjudul Doa, Carell mengatakan bahwa pada batin manusia ada
seberkas sinar yang menunjukkan kepada manusia kesalahan-kesalahan dan
penyimpangan-penyimpangan yang kadang-kadang dilakukannya. Sinar inilah yang
mencegah manusia dari terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan penyimpangan.

Adanya naluri beragama (bertuhan) tersebut lebih lanjut dapat semakin diperjelas
jika kita mengkaji bidang tasawuf. Ketika kita mengkaji paham hulul dari Al-Hallaj (858
– 933 M) misalnya kita jumpai pendapatnya bahwa pada diri manusia terdapat sifat dasar
ke-Tuhanan yang disebut lahut, dan sifat dasar kemanusiaan yang disebut nasut. Demikian
pula pada diri Tuhan pun terdapat sifat lahut dan nasut. Sifat lahut Tuhan mengacu pada
zat-Nya, sedangkan sifat nasut Tuhan mengacu pada sifat-Nya. Sementara itu sifat nasut
manusia mengacu pada unsur lahiriah dan fisik manusi, sedangkan sifat lahut manusia
mangacu kepada unsur batiniah dan Ilahiah. Jika manusia mampu merdam sifat nasutnya
maka akan tampak adalah sifat lahutnya. Dalam keadaan demikian terjadilah pertemuan
antara nasut Tuhan dengan lahut manusia, dan inilah yang dinamakan hulul.

2. Kelemahan dan Kekurangan Manusia

Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena


di samping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini
antara laian diungkapkan oleh kata Al-Nafs. Menurut Qurash Shihab, bahwa dalam
pandangan Alquran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi
menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi
dalam manusia inilah yang oleh Alquran dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. Kita
misalnya ayat yang berbunyi :

)‫ﻓﺎﻟﻬﻤﻬﺎﻓﺠﻮﺭﻫﺎﻭﺗﻘﻮﻫﺎ(ﺍﻟﺜﻤﺲ‬٧‫ﻭﻧﻔﺲﻭﻣﺎﺳﻮﻫﺎ‬

Demi nafs serta penyempurnaa ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan
ketakutan. (QS. Al-Syams) 91 : 7 – 8).
Menurut Quraish Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti potensi agar manusia
melalui nafs menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk
melakukan kebaikan dan keburukan. Di sini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata
ini menurut Alquran dengan terminologi kaum Sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam
risalahnya dinyatakan bahwa nafs dalam pengertian sufi adalah sesuatu yang melahirkan
sifat tercela dan perilaku buruk. Pengertian kaum Sufi tentang nafs ini sama dengan yang
terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang antara lain menjelaskan bahwa nafs
adalah dorongan hati yang kuat untuk berbuat yang kurang baik.

Kaum Mu’tazilah mewajibkan pada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan tujuan
agar kekurangan yang dimiliki akal dapat dilengkapi dengan informasi yang datang dari
wahyu (agama). Dengan demikian, Mu’tazilah secara tidak langsung memandang bahwa
manusia memerlukan wahyu.

3. Tantangan Manusia

Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia
dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari
dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan
bisikan setan (Lihat QS. 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa
dan uapaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin
memalingkan manusia dari Tuhan.
BAB III

HUBUNGAN AGAMA

DENGAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

Dunia saat ini tengah memasuki era globalisasi dengan dampak negatif dan
positifnya. Di antara dampak negatif tersebut misalnya terjadi dislokasi, dehumanisasi,
sekuralisasi dan sebagainya; sedangkan dampak positifnya antara lain terbukanya berbagai
kemudahan dan kenyamanan, baik dalam lingkungan ekonomi (ekonosfer), informasi
(infosfer), teknologi (teknosfer), sosial (sisosfer) maupun psikolgi (psikosfer).

A. Pandangan Ajaran Islam Tentang Ilmu Sosial

Sejak kelahirannya belasan abad yang lalu, Islam telah tampil sebagai agama yang
memberi perhatian pada keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat; antara hubungan
manusia dengan Tuhan; antara hubungan manusia dengan manusia; dan antara urusan
ibadah dengan urusan muamalah.

Dalam keadaan demikian, kita saat ini nampaknya sudah mendesak untuk
mememiliki ilmu pengetahuan sosial yang mampu membebaskan manusia dari berbagai
problema tersebut. Ilmu pengetahuan sosial yang dimaksudkan adalah ilmu pengetahuan
yang digali dari nilai-nilai agama. Kuntowijoyo menyebutnya sebagai ilmu sosial profetik.

B. Ilmu Sosial Yang Bernuansa Islam

Menurut Kuntowijoyo, kita butuh ilmu sosial profetik, yaitu ilmu sosial yang tidak
hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah
mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dana oleh siapa. Yaitu ilmu sosial yang mampu
mengubah fenomena berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu; perubahan tersebut
didasarkan pada tiga hal. Pertama, cita-cita kemanusiaan, kedua, liberasi dan ketiga,
transendensi. Cita-cita profetik tersebut dapat diderivasikan dari misi historis Islam
sebagaimana terkandung dalam ayat 110 surat Ali Imron sebagai berikut :

(١١٠‫ﻛﻨﺘﻢﺧﻴﺮﺍﻣﺔﺃﺧﺮﺟﺖﻟﻠﻨﺎﺱﺗﺄﻣﺮﻭﻥﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑﻭﺗﻨﻬﻮﻥﻋﻦﺍﻟﻤﻨﻜﺮ )ﺍﻝﻋﻤﺮﺍﻥ‬

Kamu sekalian adalah sebaik-baiknya umat yang ditugaskan kepada manusia menyuruh
berbuat baik, mencegah berbuat munkar dan beriman kepada Allah. (QS. Al-Imron, 110).

Nilai-nilai kemanusiaan (humanisasi), liberasi dan transendensi yang dapat digali dari
ayat tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

Pertama, bahwa tujuan humanisasai adalah memanusiakan manusia dari proses


dehumanisasi.

Sementara itu tujuan liberasi adalah pembebasan manusia dari lingkungan teknologi,
pemerasan kehidupan, menyatu dengan orang miskin yang tregusur oleh kekuatan ekonomi
raksasa dan berusaha membebaskan manusia dari belenggu yang kita buat sendiri.

Selanjutnya, tujuan dari transendensi adalah menumbuhkan dimensi transendental


dalam kebudayaan.

Dalam ilmu sosial profetik, kita ingin melakukan reorientasi terhadap epistemologi,
orientasi terhadap mode of thought dan mode of inquirity, yaitu suatu pandangan bahwa
sumber ilmu bukan hanya berasal dari rasio dan empiri sebagaimana yang dianut dalam
masyarakat barat, tetapi juga dari wahyu.

C. Peran Ilmu Sosial Profetik Pada Era Globalisasi

Dengan ilmu sosial profetik yang kita bangun dari ajaran Islam sebagaimana tersebut
di atas, kita tidak perlu takut atau khawatir terhadap dominasi sains Barat dan arus
globalisasi yang terjadi saat ini. Islam perlu membuka diri terhadap seluruh warisan
peradaban. Islam adalah sebuah paradigma terbuka.

Sejak beberapa abad yang lalu Islam mewarisi tradisi sejarah dari seluruh warisan
peradaban manusia. Kita tidak membangun dari ruang yang hampa. Hal demikian dapat
dipahami dari kandungan Surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya : Pada hari ini telah aku
sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah aku cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Kata telah Ku-sempurnakan agama-Ku
mengandung arti bukan membuat yang baru atau membangun dari ruang yang hampa
melainkan dari bahan-bahan yang sudah ada.

Islam mewarisi peradaban Yunani dan Romawi di Barat, peradaban Persia, India dan
cina di Timur. Ketika abad VIII – XV peradaban Barat dan Timur tenggelam dan menjalani
kemerosotan, Islam bertindak sebagai pewaris utamanya untuk kemudian diambil-alih oleh
Barat sekarang melalui renaissans.

Alquran sebagai sumber utama ajaran Islam diturunkan bukan dalam ruang hampa,
melainkan dalam setting sosial aktual.

Bukti sejarah tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa dari segi sejak
kelahirannya lima belas abad yang lalu Islam telah tampil sebagai agama terbuka,
akomodatif serta berdampingan dengan agama, kebudayaan dan peradaban lainnya. Tetapi
dalam waktu bersamaan Islam juga tampil memberikan kritik, perbaikan, bahkan
penolakan dengan cara-cara yang amat simpatik dan tidak menimbulkan gejolak sosial
yang membawa korban yang tidak diharapkan.

Dengan mengikuti uraian di atas, kiranya menjadi jelas bahwa Islam memiliki
perhatian dan kepedulian yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial. Karena itu,
kehadiran ilmu sosial yang banyak membicarakan tentang manusia tersebut dapat diakui
oleh Islam. Namun Islam memiliki pandangan yang khas tentang ilmu sosial yang harus
dikembangkan, yaitu ilmu sosial profetik yang dibangun dari ajaran Islam dan diarahkan
untuk humanisasi, liberasi dan transendensi. Ilmu pengetahuan sosial demikian yang
dibutuhkan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya pada era globalisasi di abad
XXI mendatang.
PERTANYAAN

1. Apa tujuan dari humanisasi ?


2. Apa tujuan dari liberasi ?
3. Apa tujuan dari transedasi ?
4. Apa yg dimaksud dari ilmu social profetik menurut Kuntowijoyo ?
5. Apa tanda dari ilmu social yg berwawasan profetik islam siap memasuki era
globalisasi ?
6. Bagaimana cara mengatasi problematika yg ada dalam kehidupan modern ini digali
dari aspek ilmu social ?
7. Apa peran ilmu social profetik di era globalisasi ini ?
8. Bagaimanakah pandangan islam terhadap ilmu social?
9. Bagaimanakah ilmu social yg bernuansa islam ?
10.
JAWABAN

1. Tujuan humanisasi ialah memanusiakan manusia dari proses dehumanisasi.


Industrialisasi yang kini terjadi kadang menjadikan manusia sebagai bagian dari
masyarakat abtrak tanpa wilayah kemanusiaan. Manusia telah menjadi bagian dari sekrup
mesin yang tidak lagi menyadari keberadaanya secara utuh

2. Liberasi tujuannya adalah pembebasan manusia dari kungkungan teknologi dan


pemerasan kehidupan, menyatu dengan orang miskin yang tergusur oleh kekuatan
ekonomi raksasa, dan berusaha membebaskan manusia dari belenggu yang kita buat
sendiri.

3. Tujuan transendensi adalah menumbuhkan dimensi transendental dalam kebudayaan.


Kita Sudah banyak menyerah kepada arus hedonisme, materialisme dan budaya buruk
lainnya. Kini yang harus kita lakukan adalah membersihkan diri dengan meningkatkan
kehidupan pada dimensi transendentalnya. Kita ingin agar rahmat Tuhan menyertai hidup
kita, terlepas dari dimensi ruang dan waktu pada saat kita berserah diri kepada kebesaran
Tuhan.

4. Pemecahan masalah dengan memberikan nuansa keagamaan pada ilmu sosial yang
oleh Kuntowijoyo disebut sebagai ilmu sosial profetik

5. Melalui ilmu sosial yang berwawasan profetik Islam siap memasuki era globalisasi
yang di tandai dengan adanya perubahan bidang ekonomi, teknologi, sosial, informasi,
dan sebagainya akan dapat diambil dengan sebaik-baiknya

6. Dengan memiliki ilmu pengetahuan sosial yang mampu membebaskan manusia dari
berbagai problematika. Ilmu pengetahuan sosial yang dimaksudkan adalah ilmu
pengetahuan yang di gali dari nilai-nilai agama yang disebut sebagai ilmu sosial profetik
7. Peran ilmu sosial profetik di era globalisasi adalah menjadi filter terhadap dampak
globalisasi yaitu membuang hal yang negatif dan mengambil hal yang bermanfaat untuk
membangun manusia Indonesia seutuhnya pada era globalisasi.
8. Ilmu sosial seharusnya digali dari nilai-nilai agama agar menjadi ilmu yang mampu
mengatasi berbagai problematika yang ada dalam kehidupan yang semakin modern ini

9. Jadi, ilmu sosial yang bernuansa Islam bisa dijadikan alternatif dalam membekali diri
menghadapi era globalisasi yang tanda-tandanya sudah mulai bisa dirasakan.

You might also like