You are on page 1of 45

Desa Adat Kampung Naga

Deskripsi Desa Adat Kampung Naga

Kampung Naga
Kampung Naga
merupakan salah
satu Desa Adat
yang ada di
Indonesia dan
masih terjaga
kelestariannya.
Kampung ini
merupakan contoh

Gbr 1. Kampung Naga dan Leuweung Larangan di perkampungan di


sebelah Timur Indonesia yang
memiliki sense of
place dan berusaha mempertahankannya. Kampung Naga
mempertahankan adat istiadatnya ketika masyarakat di sekitarnya
telah berubah seiring dengan perkembangan jaman. Kehadirannya
menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia yang
sesungguhnya yang belum terkontaminasi oleh perubahan budaya.
Daya tarik obyek wisata Kampung Naga terletak pada kehidupan
yang unik dari komunitas yang terletak di Kampung Naga tersebut.

1
Desa Adat Kampung Naga

Kehidupan mereka dapat berbaur dengan masyarakat modern,


beragama Islam, tetapi masih kuat memelihara Adat Istiadat
leluhurnya. Seperti berbagai upacara adat, upacara hari-hari besar
Islam misalnya Upacara Bulan Mulud atau Alif dengan
melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang).
Kampung Naga merupakan perkampungan tradisional
dengan luas areal kurang lebih 4 ha. Lokasi obyek wisata Kampung
Naga terletak pada
ruas jalan raya yang
menghubungkan
Tasikmalaya - Bandung
melalui Garut, yaitu
kurang lebih pada
kilometer ke 30 ke arah
barat Kota
Tasikmalaya. Secara
administratif Kampung
Naga termasuk
kampung Legok Dage
Desa Neglasari
Kecamatan Salawu Gbr 2. Arsitektur Kampung Naga dekat alam
Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat. Desa yang damai dan hijau ini hanya
berjarak 500 meter dari jalan raya Garut dan Tasikmalaya. Kampung
Naga terletak di antara dua buah bukit dan di sisi Sungai Ciwulan.
Ada sekitar 420 anak tangga di lereng perbukitan itu (konon pada
penghitungan kali lain jumlahnya bisa berubah). Tangga itu
mengarah dari sisi jalan raya ke suatu tempat di Sungai Ciwulan.
Desa ini terletak pada sisi bukit dekat sungai. Kita harus menuruni
anak tangga itu sampai di tepian Sungai Ciwulan. Sungai itu

2
Desa Adat Kampung Naga

melintasi Kampung Naga. Dengan menelusuri jalan di pinggir Sungai


Ciwulan tidak lebih 200 meter, sampailah kita ke wilayah Kampung
Naga yang dikelilingi pagar bambu. Di seberang sungai berdiri kokoh
hutan kecil, sebuah bukit yang dipenuhi oleh pohon-pohon yang
tampaknya berumur sangat tua. Hutan tersebut dinamakan
Leuweung Larangan. Leweung Larangan berada di seberang Sungai
Ciwulan, sebelah timur perkampungan. Di sebelah barat, tepat di
belakang perkampungan terdapat Leuweung Keramat.

Gbr3. Pemandangan rumah-rumah di desa Kampung Naga

Dengan demikian Kampung Naga dibagi dalam tiga wilayah,


yaitu Leuweung Keramat (tempat nenek moyang mereka
dimakamkan) yang ada di sebelah barat, perkampungan tempat
mereka hidup dan bercocok tanam di tengah-tengah, dan Leuweung
Larangan (tempat para dedemit) di sebelah timur. Posisi
perkampungan tidak secara langsung berhubungan dengan kedua
hutan tersebut. Leuweung Larangan dibatasi oleh sebuah Sungai
Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh tempat
masjid, ruang pertemuan dan Bumi Ageung (tempat penyimpanan
harta pusaka).

3
Desa Adat Kampung Naga

Kampung Naga sudah bertahun-tahun menjadi salah satu


aset wisata di Indonesia yang telah dikunjungi oleh banyak
wisatawan domestik dan mancanegara. Keunikannya adalah
keasliannya yang masih terjaga dan tidak terpengaruh oleh dunia
sekitar. Tapi mulai tanggal 6 Februari 2006, untuk sementara
Kampung Naga tidak akan melayani pengunjung/tamu rombongan
dalam batas waktu tidak ditentukan. Khususnya bagi rombongan
pengunjung yang akan melakukan survei atau penelitian. Namun
demikian, Kampung Naga masih tetap terbuka bagi pengunjung
individu atau keluarga. Hal ini disebabkan karena Masyarakat
Kampung Naga merasa dirinya terekspos. Mereka menyebut tempat
tinggalnya sebagai saung budaya dan bukannya sebagai obyek
wisata.

Data
Lokasi Kampung Legok Dage, Desa Neglasari,
Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya. 26
km arah barat Kota Tasikmalaya
Luas Area wilayah adat sekitar 4 hektar
wilayah perkampungan sekitar 1.5 hektar
Geografis Terletak di antara perbukitan tanah Pasundan
yang sejuk. Elevasi sekitar 600m dpl.
Topografi area kampung berbukit cukup
curam. Kepadatan tanah relatif stabil, kondisi
tanah subur. Curah hujan cukup banyak.
Penduduk sekitar 800 orang (2005) warga Sanaga
(kampung inti).
Jumlah Bangunan jumlah rumah di Kampung Naga berjumlah

4
Desa Adat Kampung Naga

111, termasuk Balai Pertemuan atau Bale


Patemon, Masjid dan Bumi Ageung.
Agama Islam (semua penduduk)
Mata Pencaharian Petani sawah, petani ikan, pengrajin barang-
penduduk barang seni dan rumah tangga, terutama
terbuat dari bambu.

Kondisi Umum
Dengan kondisi rumah yang kesemuanya menghadap ke sebelah
Utara atau ke sebelah Selatan dengan memanjang ke arah Barat-
Timur. Warga mempunyai orientasi arah sehari-hari yang relatif
seragam. Bekerja di kolam atau sawah di bagian bawah atau atas
kampung. Kegiatan pembersihan di Sungai Ciwulan yang mengalir
di sepanjang sisi kampung dan menjadi bagian yang sangat penting
dari prosesi hidup warga. Sementara kegiatan prosesi adat dan
keagamaan banyak berorientasi ke Barat arah kiblat sebagai
kepatuahan akan ke Islaman mereka.

Pada dasarnya warga


Kampung Naga adalah
masyarakat Sunda
menetap yang sangat
mencintai bentang alam di
lokasi yang mereka yakini
sebagai tempat sejati
mereka. Seperti
Gbr 4. Kampung dan kolam ikan dari bukit masyarakat Sunda pada
umumnya, perangai
masyarakat agraris ini sukup lembut, santun, dan menghargai orang

5
Desa Adat Kampung Naga

lain. Tidak ditemui catatan tentang pertempuran kuno yang


menyebut betapa tangguhnya warga Kampung Naga dalam berolah
fisik. Pun tidak ditemukan legenda tokoh-tokoh adat yang terkenal
sakti dan memiliki keunggulan fisik agresif ataupun beringas seperti
misalnya Cak Sakerah di Jawa Timur atau siPitung di Betawi.
Mereka menghormati adat istiadat dengan tertib dan menghormati
leluhur mereka, Eyang Singaparna.

Sistem pemerintahan
desa cukup
sederhana, warga
berada dalam satu
tingkatan yang sama
tanpa membedakan
kekayaan ataupun
keunggulan spiritual
Gbr 5. Jalan desa dan sungai Ciwulan
ataupun fisik.
kampung dipimpin oleh Kuncen dan dibantu oleh semacam dewan
Tetua Desa terdiri dari Lebe dan Punduh. Nmaun untuk administrasi
umum, pemerintah Kabupaten Tsikmalaya menerapkan pula sistem
Rukun Tetangga. kampung Naga berada dalam satu wilayah Rukun
Warga.
Pria berada pada posisi dominan terhadap wanita dalam banyak
upacara dan ritus keagamaan, namun dalam kehidupan sehari-hari,
pria dan wanita Sanaga berperan dengan sama baiknya.

6
Desa Adat Kampung Naga

Spatial Formation
Desa Adat Kampung Naga

Spatial Formation
Menurut Yi fu-Tuan, setiap manusia memiliki suatu skema
akan ruang, meskipun tidak disadari. Ia baru menyadarinya pada
peristiwa-peristiwa ritual. Masing-masing kebudayaan memiliki
persepsi yang berbeda-beda terhadap skema tentang ruang (spatial)
ini, namun kesemuanya memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut
didapat dari struktur dan nilai-nilai yang ada pada tubuh manusia
sendiri. Sebagai contoh, posisi ”tinggi” selalu dianggap lebih superior
daripada ”rendah” sebagaimana seorang bayi yang tadinya hanya
bisa merangkak, saat mulai belajar berjalan akan dianggap
memasuki tahap yang lebih sempurna sebagai seorang manusia.
Begitu pula dengan bergerak ”maju” lebih utama daripada ”mundur”
atau sisi ”kanan” yang dianggap lebih baik daripada sisi ”kiri”. Semua
karena kecenderungan alami tubuh manusia untuk bergerak ke arah
tersebut. Penerapannya ke dalam arsitektur misalnya dengan
menaikkan permukaan lantai suatu ruangan yang dianggap suci.
Menurut Rapoport, dalam menciptakan suatu lingkungan
yang dianggap ideal, manusia akan lebih mengutamakan organisasi
ruang daripada bentuk bangunan. Kondisi ideal ini didapat dari
refleksi dari faktor-faktor sosial dan budaya manusia tersebut. Faktor

7
Desa Adat Kampung Naga

sosial dan budaya memegang peranan terpenting, sedangkan


faktor-faktor fisik tidak terlalu berperan disini, hanya berfungsi dalam
menyesuaikan kondisi lingkungan (modifier).

Spatial Formation pada Kampung Naga

Kampung Naga berada di wilayah Desa Neglasari,


Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat.
Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang
menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya, hanya
sekitar 500 meter. Kampung ini berada di lembah yang subur,
dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi
oleh hutan yang dikeramatkan (karena di dalamnya terdapat makam
leluhur masyarakat Kampung Naga). Di sebelah selatan dibatasi
oleh sawah-sawah penduduk, dan disebelah utara dan timur dibatasi
oleh sungai Ciwulan.

Penduduk Kampung Naga membagi wilayahnya menjadi tiga,


yaitu Leuweung Keramat (makam nenek moyang) di sebelah barat,
perkampungan di tengah-tengah, dan Leuweung Larangan (tempat
para dedemit) di sebelah timur. Berdasarkan pembagian wilayah
tersebut, bila menggunakan kerangka teori antropologi budaya,
mereka membangun kosmologi ruang: atas-tengah-bawah; atau
baik-netral-buruk. Lueweung Larangan di arah timur dan leweung
Keramat di arah barat sebagai sumber kekuatan sakral kehidupan
keseharian mereka. Leuweung Larangan sebagai wilayah chaos,
tempat semua dedemit dan roh jahat berada. Leweung Karamat
berada di sebelah barat adalah sumber kebaikan; masjid dan harta
pusaka menjadi penghubung untuk mengalirkan kesakralan ke arah
barat. Hutan Keramat dan Bumi Ageung yang berada di bagian barat

8
Desa Adat Kampung Naga

masjid, di posisi kiblat, secara simbolis menunjukkan negosiasi


ajaran Islam dan tradisi lokal. Menghadap ke kiblat berarti
membayangkan penghadapan pada Kabah yang harus melalui
penghadapan terhadap harta pusaka dan hutan keramat. Keinginan
mendapatkan kesakralan Kabah didahului oleh penghubungan diri
terhadap nenek moyang yang dikuburkan di Leuweung Keramat.

Menurut penduduk asli Kampung Naga, mereka merupakan


keturunan asli suku Sunda. Bahkan ada yang mengatakan bahwa
mereka adalah keturunan langsung dari Kerajaan Galuh Pasundan.
Sebelum membangun pekampungan di lembah subur Desa
Neglasari mereka tinggal di lereng-lereng Gunung Galunggung.
Ketika itu mereka masih primitif dan tinggal di atas pohon-pohon
besar untuk menghindari serangan binatang-binatang buas seperti
singa dan sebagainya. Kemungkinan karena pengaruh tradisi
tersebut, sekarang rumah mereka selalu terbuat dari kayu dan
berbentuk rumah panggung. Mesti tidak tinggi seperti rumah
panggung umumnya, namun lantai mereka selalu terbuat dari papan
dan berada sekitar 1 meter dari permukaan tanah. Di bawah lantai
rumah itu, dipelihara berbagai jenis binatang ternak, utamanya
ayam. Ternak-tenak besar seperti kerbau dan lembu dipelihara di
tempat terpisah, yaitu di depan perkampungan sebelah kiri dekat
dengan dua kolam massa yang sejak dulu tak pernah berubah.

Bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa


perbukitan dengan kondisi tanah yang bisa dikatakan subur. Luas
tanah Kampung Naga seluas satu hektar setengah, sebagian besar
digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya
digunakan untuk pertanian sawah.

9
Desa Adat Kampung Naga

Kebanyakan rumah di kampung Naga terlihat seragam.


Rumah masyarakat Kampung Naga diharuskan berbentuk
panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus
dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat
dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah
utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-
Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan
anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau
dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun
mampu membuat rumah tembok. Penduduk yang merasa mampu
tidak dilarang membangun rumah seperti itu, asalkan dibangun di
luar Kampung Naga. Meski demikian status sebagai warga naga
tidak lah hilang. Syarat yang lain, rumah tidak boleh dilengkapi
dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah
juga tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan.
Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang
masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui
pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka
selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu
garis lurus. Sampai saat ini, bentuk rumah dan jumlah rumah
masyarakat Kampung Naga tidak bertambah dan berkurang. Jumlah
rumah di Kampung Naga berjumlah 111, termasuk balai pertemuan
atau bale patemon, masjid dan bumi ageung.

Sistem kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap


ruang terwujud pada kepercayaan bahwa ruang atau tempat-tempat
yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh kekuatan-kekuatan
tertentu pula. Tempat atau daerah yang mempunyai batas dengan
kategori yang berbeda seperti batas sungai, batas antara
pekarangan rumah bagian depan dengan jalan, tempat antara

10
Desa Adat Kampung Naga

pesawahan dengan selokan, tempat air mulai masuk atau disebut


dengan huluwotan, tempat-tempat lereng bukit, tempat antara
perkampungan dengan hutan, dan sebagainya, merupakan tempat-
tempat yang didiami oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Daerah yang
memiliki batas-batas tertentu tersebut didiami mahluk-mahluk halus
dan dianggap angker atau sanget. Itulah sebabnya di daerah itu
masyarakat Kampung Naga suka menyimpan "sasajen" (sesaji).

Aspek Fisik yang mempengaruhi Spatial


Formation
Dalam buku House Form and Culture, Amos Rapoport
berpendapat bahwa keberagaman bentuk dan tatanan pada tiap-tiap
pemukiman disebabkan oleh satu hal, yaitu penduduk dengan sikap
dan sudut pandang yang beragam merespon lingkungan fisik yang
beragam pula. Hasil dari respon tersebut bisa bermacam-macam,
karena perubahan dan perbedaan dalam faktor sosial, budaya,
ritual, dan faktor fisik. Namun Rapoport menyimpulkan bahwa
keadaan dimana perubahan yang terjadi sangat sedikit, dan bentuk-
bentuk yang dihasilkan dapat bertahan dalam jangka waktu yang
sangat panjang merupakan karakteristik dari pemukiman
masyarakat primitif dan vernakular.
Aspek fisik yang dimaksud oleh Rapoport adalah keadaan
alam pada tempat tersebut yang bersifat given atau sudah ada sejak
dulu dan tidak dapat dirubah, antara lain iklim (termasuk arah angin,
suhu, curah hujan), keadaan lahan (kemiringan, jenis bebatuan,
vegetasi yang ada) dan ketersediaan sumber daya alam (sebagai
material bangunan, sumber pangan dsb). Baik aspek fisik dan
aspek non-fisik (sosial-budaya) akan mempengaruhi pembentukan

11
Desa Adat Kampung Naga

spatial formation pada suatu pemukiman. Tentang hal ini, Rapoport


berkesimpulan bahwa faktor yang terpenting adalah aspek non-fisik,
barulah aspek fisik berperan sebagai modifier (pengubah).
Menurutnya bentukan dari rumah atau pemukiman dan tatanan
ruangnya bukan merupakan visi dari satu orang saja, melainkan
sekelompok orang, tentang kehidupan yang ideal. Gambaran ideal
ini terbentuk dari refleksi budaya, agama, struktur keluarga,
organisasi, dan hubungan sosial antara mereka. Setelah gambaran
tersebut ditetapkan, aspek fisik akan menentukan bagaimana
manusia memodifikasi lingkungannya agar dapat nyaman ditinggali,
bagaimana manusia memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia dan
mengembangkan metode konstruksi tersendiri, menentukan metode
pertahanan, serta pelestarian lahan pertanian, yang pada akhirnya
juga dapat mempengaruhi bentuk bangunan. Meskipun demikian,
Rapoport juga berpendapat bahwa jika aspek fisik yang ada pada
suatu tempat sangat kuat sehingga sangat membatasi pilihan
teknologi dan bahan, maka aspek non-fisik yang ada akan semakin
lemah peranannya. Contohnya suku-suku di Indonesia yang beriklim
tropis dapat memiliki bentuk rumah tradisional yang beragam
dikarenakan faktor fisiknya cukup ’lemah’. Iklim tropis di Indonesia
cukup bersahabat bagi kehidupan manusia, sehingga manusianya
memiliki banyak pilihan dalam menentukan bentuk/tatanan tempat
tinggal menurut budayanya masing-masing. Hal ini bertolak
belakang jika dibandingkan dengan suku Eskimo misalnya, yang
hanya punya sedikit pilihan jika ingin bertahan hidup, yaitu membuat
rumah dari es, itupun hampir tanpa variasi.

12
Desa Adat Kampung Naga

Aspek Fisik dalam Kampung Naga


Pada Kampung Naga yang masyarakatnya masih memegang
teguh mitos dan tradisi, hampir seluruh spatial formation terbentuk
berdasarkan aspek non-fisik. Perletakan rumah yang menghadap
arah Utara-Selatan dan memanjang ke arah Barat-Timur dipahami
sebagai simbol penghadapan kepada ka’bah. Perletakan bangunan-
bangunan yang dianggap suci di sebelah Barat juga menegaskan
bahwa bagi mereka sisi Barat melambangkan kebaikan. Jarak antar
rumah yang harus seragam, juga finishing rumah yang seragam
kemungkinan melambangkan terjaganya kesetaraan derajat di
antara penghuni kampung. Perletakan daun pintu yang tak boleh
sejajar juga didasarkan perlambangan tentang aliran rezeki.
Meskipun ada aspek fisik yang menjadi constrain atau pembatas,
yaitu kemiringan lahan yang cukup curam, tidak menghalangi
mereka untuk membuat penataan seperti itu, karena bagi mereka
memenuhi persyaratan yang ada dalam mitos lebih utama daripada
mempertimbangkan batasan-batasan secara fisik. Bahkan demi
mitos tersebut mereka justru mampu memanfaatkan aspek fisik yang
lain untuk mengatasi permasalahan yang ada, misalnya dengan
memanfaatkan bahan-bahan alami yang sifatnya cukup ringan
(kayu, bambu, ijuk) sebagai material bangunan. Kebiasaan membuat
rumah panggung yang turun temurun juga tentunya akan menjaga
kesuburan tanah dan mencegah terjadinya tanah longsor. Meskipun
aspek non-fisik nampak sangat dominan, terdapat juga aspek fisik
yang ketika dikaitkan dengan salah satu aspek non-fisik mampu
menjadi pembatas/constrain pada spatial formation Kampung Naga,
yaitu hutan dan sawah yang menjadi perbatasan kampung.
Penduduk Kampung Naga sangat menjaga dan mengkeramatkan
hutan-hutan dan lingkungan di sekitarnya. Bahkan tradisi mereka
melarang membangun rumah melebihi jumlah yang ada sekarang

13
Desa Adat Kampung Naga

(111 rumah). Karena hutan sebagai perbatasan Kampung selalu


terjaga, maka luas dan perbatasan wilayah Kampung Naga hampir
tak berubah sejak jaman dahulu. Hal ini dapat dianggap sebagai
constrain yang membatasi perkembangan spatial Formation
Kampung Naga.

14
Desa Adat Kampung Naga

Social and Cultural aspect

Only as Nature can sustain Life can our designs


for habitat and ourselves be part of
Nature’s planetary continuum.

“Sosial responsibility is basic to our fragile species


and to our habitat and societal system”.
(R. L. Crowther ; Ecologic Architecture, 1992)

Pendahuluan
Bahasan tentang aspek sosial ini adalah bagian dari tugas
kelompok yang membahas tentang sustainable environment;
cultural, social and meaning sustainability.
Sebuah lingkungan arsitektural terbentuk dari banyak sebab.
Setelah terjadi suksesi dan perkembangan, lingkungan atau
komunitas itu tak lagi sederhana. Semakin banyak anggota
komunitas, semakin banyak pula kepentingan yang berbeda selain
kepentingan yang sama yang mendasari mereka menjadi anggota
komunitas tersebut. Untuk itulah diperlukan suatu aturan atau
ketentuan bersama untuk bisa berlanjutnya nya komunitas tersebut
hidup ke depan.
Seiring berkembangnya suatu komunitas manusia, sumber daya
lingkungan semakin banyak dieksploitasi, sementara sediaan area
untuk kepentingan arsitektur untuk tiap individu akan semakin
terbatas.
Sebagai komunitas masyarakat, warga di kampung Naga,
Kabupaten Tasikmalaya ini menarik untuk ditinjau. Desa yang
berkembang dengan relatif lambat selama puluhan tahun terakhir ini,

15
Desa Adat Kampung Naga

mengatur dirinya dan membentengi cara hidupnya dengan aturan


adat yang kuat. Kompromi yang mereka lakukan terhadap aturan
yang berasal dari agama Islam dan aturan yang berasal dari adat
turun temurun cukup harmonis hasilnya sampai kini. Kampung
Naga ini memiliki pola desa yang unik namun sederhana secara
arsitektural, yang merupakan implementasi/cerminan sistem
organisasi sosial kemasyarakatan komunal yang terlaksana di
dalamnya. Terlihat bahwa kepentingan bersama berda di atas
kepentingan pribadi. Aturan yang berkaitan dengan kehidupan
sosial budaya, tata lingkungan dan arisitektur dilaksanakan dengan
relatif patuh oleh masyarakatnya. Bahkan sampai saat ini.
Teori yang Mendasari
Dalam bahan perkuliahan Arsitektur Ekologi, disebutkan bahwa
Ecological Design mempunyai unsur:
• Subyek > spatial formation
• Phenomena >sosial aspect, cultural aspect dan physical
aspect
• Function > place dan time
• Substance >change dan continuity
• Object > Sustainable meaning
Sedangkan untuk menciptakan sustainable environment, dibutuhkan
kelengkapan;
• cultural sustainable
• social sustainable
• meaning sustainable
Social sustainability terkait pada dukungan dan kesesuaian dari
lingkungan sebagai perubahan pada aspek yang terpenting pada
kultur, misalnya social networks dan values.

16
Desa Adat Kampung Naga

Keberlanjutan dukungan dan kesesuaian lingkungan ini membentuk


fleksibilitas perubahan. Kondisi lingkungan jenis inilah yang
membuka kemungkinan adanya modifikasi dan perubahan.
Fleksibilitas pada modifikasi dan perubahan akan meningkatka
kegunaan dan kesesuaian untuk mendukung variasi pada WANTS
dan variabilitas serta sustainabilitas lingkungan.
Lingkungan tradisional yang fleksibel untuk modifikasi dan
penambahan merupakan contoh lingkungan yang mendukung.
Disebutkan juga dalam perkuliahan tersebut:
• Kondisi saat ini juga dibentuk oleh kondisi masa lalu.
• Place and time adalah fungsi hubungan yang fundamental
pada keterkaitan antara lingkungan terbangun dan nature.
• Keseimbangan yang ideal antara manusia dan kondisi
natural tidak sama untuk semua orang di semua tempat.
• Keseimbangan yang ideal tersebut bukan hanya sebuah
definisi ilmiah, namun sebuah masalah kemanusiaan yang
penting.
• Keseimbangan tersebut merupakan paradigma atau sudut
pandang tentang bagaimana dunia ini, apakah sebuah
nature, apakah arti individual dan apakah arti komunitas
tersebut.
• Keseimbangan yang kita lihat adalah sebuah kondisi yang
ideal, suatu kondisi keseimbangan antara lingkungan dan
manusia.
Kesimpulan dari teori di atas adalah untuk menciptakan suatu sistem
lingkungan yang sustainable dan manusiawi, diperlukan
keseimbangan, fleksibilitas terhadap perubahan. Dalam konteks
arsitektur, aspek sosial dan budaya yang melingkupi kehidupan
suatu komunitas, harus diciptakan atau diatur sehingga tercipta
lingkungan yang sustainable dan seimbang. Aspek sosial budaya

17
Desa Adat Kampung Naga

yang berjalan baik membutuhkan kesadaran -manusia yang


merupakan unsur utama terciptanya suatu komunitas – untuk
berpartisipasi aktif dan bersedia diatur/mematuhi suatu tatanan
tertentu yang telah disepakati bersama.

Kondisi kultural
Dalam aspek kultural masyarakat Kampung Naga mempunyai
beberapa adat-istiadat yang dapat ditemui dan secara jelas dapat
diamati dalam bentuk beberapa jenis upacara adat. Upacara adat ini
memberikan gambaran tentang kondisi nilai-nilai kehidupan yang
dianut oleh masyarakat ini. Nilai-nilai tersebut sangat berperanan
penting dalam menjaga sustainabilty dalam ruang dan waktu yang
berjalan.
Upacara Adat
1. Menyepi
Upacara menyepi dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada
hari Selasa, Rabu, dan hari Sabtu. Upacara ini menurut pandangan
masyarakat Kampung Naga sangat penting dan wajib dilaksanakan,
tanpa kecuali baik laki-laki maupun perempuan. Pada dasarnya
upacara ini bertujuan memberi kesempatan kepada warga untuk
bertenang diri, berintrospeksi pada kehidupan yang telah
dilakukan. Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-
masing orang, karena pada dasarnya merupakan
usaha menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang
berkaitan dengan adat istiadat. Melihat kepatuhan warga Naga
terhadap aturan adat, selain karena penghormatan kepada
leluhurnya juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila
dilanggar dikuatirkan akan menimbulkan malapetaka.

18
Desa Adat Kampung Naga

2. Hajat Sasih

Upacara Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Sa-


Naga, baik yang bertempat tinggal di Kampung Naga maupun di luar
Kampung Naga. Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah untuk
memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung
Naga, Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada
Tuhan yang mahaesa atas segala nikmat yang telah diberikannya
kepada warga sebagai umat-Nya.
Upacara Hajat Sasih diselenggarakan pada bulan-bulan dengan
tanggal-tanggal sebagai berikut:

1. Bulan Muharam (Muharram) pada tanggal 26, 27, 28


2. Bulan Maulud (Rabiul Awal) pada tanggal 12, 13, 14
3. Bulan Rewah (Sya'ban) pada tanggal 16, 17, 18
4. Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, 16
5. Bulan Rayagung (Dzulkaidah) pada tanggal 10, 11, 12
Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat
Sasih sengaja dilakukan bertepatan dengan hari-hari besar
agama Islam. Penyesuaian waktu tersebut bertujuan agar
keduanya dapat dilaksanakan sekaligus, sehingga ketentuan
adat dan akidah agama islam dapat dijalankan secara harmonis.

Gbr 6. Upacara Hajat Sasih Gbr 7. Persiapan Upacara

19
Desa Adat Kampung Naga

Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan


membersihkan makam. Sebelumnya para peserta upacara harus
melaksanakan beberapa tahap upacara. Mereka harus mandi dan
membersihkan diri dari segala kotoran di sungai Ciwulan. Upacara
ini disebut beberesih atau susuci. Selesai mandi mereka berwudlu di
tempat itu juga kemudian mengenakan pakaian khusus. Secara
teratur mereka berjalan menuju mesjid. Sebelum masuk mereka
mencuci kaki terlabih dahulu dan masuk kedalam sembari
menganggukan kepala dan mengangkat kedua belah tangan. Hal itu
dilakukan sebagai tanda penghormatan dan merendahkan diri,
karena mesjid merupakantempat beribadah dan suci. Kemudian
masing-masing mengambil sapu lidi yang telah tersedia di sana dan
duduk sambil memegang sapu lidi tersebut.

Adapun kuncen, lebe, dan punduh / Tua kampung selesai mandi


kemudian berwudlu dan mengenakan pakaian upacara mereka tidak
menuju ke mesjid, melainkan ke Bumi Ageung. Di Bumi Ageung ini
mereka menyiapkan lamareun dan parukuyan untuk nanti di bawa
ke makam. Setelah siap kemudian mereka keluar. Lebe membawa
lamareun dan punduh membawa parukuyan menuju makam. Para
peserta yang berada di dalam mesjid keluar dan mengikuti kuncen,
lebe, dan punduh satu persatu. Mereka berjalan beriringan sambil
masing-masing membawa sapu lidi. Ketika melewati pintu gerbang
makam yang di tandai oleh batu besar, masing-masing peserta
menundukan kepala sebagai penghormatan kepada makam Eyang
Singaparna.

Acara selanjutnya diadakan di mesjid. Setelah para peserta upacara


masuk dan duduk di dalam mesjid, kemudian datanglah seorang
wanita yang disebut patunggon sambil membawa air di dalam kendi,
kemudian memberikannya kepada kuncen. Wanita lain datang

20
Desa Adat Kampung Naga

membawa nasi tumpeng dan meletakannya ditengah-tengah.


Setelah wanita tersebut keluar, barulah kuncen berkumur-kumur
dengan air kendi dan membakar dengan kemenyan. Ia
mengucapkan Ijab kabul sebagai pembukaan. Selanjutnya lebe
membacakan doanya setelah ia berkumur-kumur terlebih dahulu
dengan air yang sama dari kendi. Pembacaan doa diakhiri dengan
ucapan amin dan pembacaan Al-Fatihah. Maka berakhirlah pesta
upacara Hajat Sasih tersebut. Usai upacara dilanjutkan dengan
makan nasi tumpeng bersama-sama. Nasi tumpeng ini ada yang
langsung dimakan di mesjid, ada pula yang dibawa pulang kerumah
untuk dimakan bersama keluarga mereka.

3. Perkawinan
Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah
upacara yang dilakukan setelah selesainya akad nikah. adapun
tahap-tahap upacara tersebut adalah sebagai berikut: upacara
sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung
(berkumpul), ngampar (berhamparan), dan diakhiri dengan
munjungan.

Upacara Sawer dilakukan selesai akad nikah, pasangan pengantin


dibawa ketempat panyaweran, tepat di muka pintu. mereka
dipayungi dan tukang sawer berdiri di hadapan kedua pengantin.
panyawer mengucapkan ijab kabul, dilanjutkan dengan melantunkan
syair sawer. ketika melantunkan syair sawer, penyawer
menyelinginya dengan menaburkan beras, irisan kunir, dan uang
logam ke arah pengantin.. isi syair sawer berupa nasihat kepada
pasangan pengantin baru.

Usai upacara sawer dilanjutkan dengan upacara Nincak Endog.


endog (telur) disimpan di atas golodog dan mempelai laki-laki

21
Desa Adat Kampung Naga

menginjaknya. Kemudian mempelai perempuan mencuci kaki


mempelai laki-laki dengan air kendi. Setelah itu mempelai
perempuan masuk ke dalam rumah, sedangkan mempelai laki-laki
berdiri di muka pintu untuk melaksanakan upacara buka pintu.
Dalam upacara buka pintu terjadi tanya jawab antara kedua
mempelai yang diwakili oleh masing-masing pendampingnya dengan
cara dilagukan.

Setelah upacara buka pintu dilaksanakan, dilanjutkan dengan


upacara Ngampar, dan munjungan. Ketiga upacara terakhir ini
hanya ada di masyarakat Kampung Naga. Upacara riungan adalah
upacara yang hanya dihadiri oleh orang tua kedua mempelai,
kerabat dekat, sesepuh, dan kuncen. Kuncen mengucapakan kata-
kata pembukaan dilanjutkan dengan pembacaan doa sambil
membakar kemenyan. Usai acara tersebut dilanjutkan dengan acara
Munjungan. kedua mempelai bersujud sungkem kepada kedua
orang tua mereka, sesepuh, kerabat dekat, dan kuncen.

Akhirnya selesailah rangkaian upacara perkawinan di atas. Sebagai


ungkapan rasa terima kasih kepada para undangan, tuan rumah
membagikan makanan kepada mereka. Masing-masing
mendapatkan boboko (bakul) yang berisi nasi dengan lauk pauknya
dan rigen yang berisi opak, wajit, ranginang, dan pisang.
Beberapa hari setelah perkawinan, kedua mempelai wajib
berkunjung kepada saudara-saudaranya, baik dari pihak laki-laki
maupun dari pihak perempuan. Maksudnya untuk menyampaikan
ucapan terima kasih atas bantuan mereka selama acara perkawinan
yang telah lalu. Biasanya sambil berkunjung kedua mempelai
membawa nasi dengan lauk pauknya. Usai beramah tamah, ketika
kedua mempelai berpamitan akan pulang, maka pihak keluarga

22
Desa Adat Kampung Naga

yang dikunjungi memberikan hadiah seperti peralatan untuk


keperluan rumah tangga mereka.

Kebanyakan warga Kampung Naga menikah dengan sanak saudara


jauh sedesa, walau banyak pula yang menikah dengan warga dari
luar kampung, walau umumnya masih sesama suku Sunda.

4. Khitanan
Upacara khitanan adalah upacara yang ramai dan disukai
masyarakat karena tergolong upacara yang bersifat riang.
Menandakan seorang anak sudah menginjak dewasa secara adat
maupun secara Islam. Biasanya beberapa anak di khitan sekaligus.
Sebelum acara, mereka disucikan dahulu dengan mandi di sungai
Ciwulan. Setelah mengganti pakaian, mereka lalu berkumpul di
masjid untuk melaksanakan proses hajat buku taun. Di sinilah
mereka berdoa untuk meminta keselamatan. Doa dipanjatkan oleh
kuncen. Namun yang unik, selain melafalkan ayat-ayat Alquran, doa
pun dituturkan dalam bahasa Sunda. Proses selanjutnya para orang
tua dan anak yang hendak dikhitan diarak menuju lapangan untuk
mengikuti prosesi helaran (ngala beas/mengambil beras). Di sana
sejumlah ibu-ibu sepuh menanti mereka sembari menabuh lesung.

Gbr 8. Anggota
masyarakat terdiri dari
ibu-ibu yang sedang
menumbuk padi hasil
panen mereka sendiri

23
Desa Adat Kampung Naga

Setiap anak kemudian satu per satu diharuskan menumbuk beras


dalam lesung, yang sudah dicampur dengan nasi ketan dan kunyit.
Beras inilah yang nantinya akan dijadikan nasi kuning, untuk
dimakan anak-anak sebelum dikhitan.
Dalam melaksanakan upacara ini, pihak tuan ruamah atau orang tua
tidak perlu repot menyediakan keperluan pesta/upacara. Tetangga
akan memenuhi hampir seluruh kebutuhan yang diperlukan. Dari
bahan pangan sampai perangkat upacara.
Sikap gotong-royong dan saling memiliki satu sama lain
menjadi hal yang masih lestari. Materi bukan segala-galanya,
yang terpenting hidup rukun, saling bahu-membahu akan
membawa masyarakatnya pada kemakmuran bathin.
Inilah yang tercermin dari falsafah yang dianut mereka: ”Panyauran
gancang temonan, pamundut gancang caosan, parentah
gancang lakonan”. Artinya, undangan cepat datangi,
permintaan cepat penuhi, dan perintah cepat laksanakan.
Metoda gotong royong ini juga dilakukan untuk melaksanakan 3
upacara tersebut di atas. Sehingga dapat disimpulkan. Dalam
menjalankan kewajiban spiritual mereka dalam bentuk upacara,
gotong royong tanpa perhitungan rumit dilakukan sebagai
budaya yang masih lestari. Hal ini menunjukkan dan kelembutan
karakter masyarakat yang terlihat dari kepatuhan melaksanakan
upacara adat yang menyejahterakan jiwa mereka.

Kondisi Sosial Kemasyarakatan


Masyarakat Kampung Naga memeluk agama Islam. Meski demikian
seperti halnya masyarakat adat lainnya yang ada di Indonesia,
mereka juga sangat taat memegang adat istiadat dan kepercayaan

24
Desa Adat Kampung Naga

nenek moyang mereka. Artinya, meskipun mereka menyatakan


memeluk agama Islam, namun syariat Islam yang mereka
jalankan agak berbeda dengan pemeluk agama Islam lainnya.
Salah satu di antaranya, shalat lima waktu; Subuh, Dzuhur, Ashar,
Magrib, dan Isya, hanya dilakukan pada hari Jum’at. Di luar itu,
mereka tidak melaksanakan shalat lima waktu.
Meski demikian toleransi kepada keyakinan lainnya tetaplah dijaga
luhur. Mereka tak melarang para pelancong yang hendak
melaksanakan shalat lima waktu di luar hari Jumat.
Jumlah rumah di Kampung Naga berjumlah tetap selama puluhan
tahun. Mereka menjaganya dengan “agak membatasi jumlah anak”,
mengecilkan ruang-ruang di dalam rumah, dan menciptakan ruang-
ruang kosong tanpa furnitur di dalam rumah agar ruang dapat
berfungsi banyak. Namun tentu perkembangan penduduk lama
kelamaan tak dapat ditampung lagi oleh kawasan arsitektural
perkampungan ini, yang dengan aturan adat, terus berusaha
menerapkan aturan tidak bertambahnya luasan kampung dan
tidak bertambah jumlah rumah. Karenanya sebagian warga yang
tidak tertampung , bertempat tinggal di luar Kampung Naga inti,
namun tetap disebut sebagai warga kampung Naga.
Listrik tidak ada di Kampung Naga. Pemerintah sering menawari
untuk menyalurkan listrik, namun Masyarakat lewat tetua adat tidak
menerima. Alasan yang dikedepankan adalah dengan kondisi
arsitektural berupa rangka kayu/bambu, dinding anyaman bambu
dan atap ijuk, warga sangat takut pada resiko hubungan pendek
sehingga terjadi bahaya kebakaran.
Dari tiga kondisi di atas, nampak bahwa adat istiadat cukup kuat
dipegang, namun juga menyediakan ruang kompromi
menghadapi kondisi yang sulit dihindari. Mereka tidak
mengasingkan diri dan membentengi diri dengan aturan adat

25
Desa Adat Kampung Naga

yang takterbantahkan, namun menyediakan kompromi dan jalan


keluar dalam menghadapi masalah sosial kemasyarakatan.
Sedangkan dari kondisi arsitektur, nampak bahwa masyarakat
Kampung Naga adalah masyarakat komunal yang dengan rela
mematuhi aturan-aturan yang ada demi mempertahankan kondisi
komunal yang nyaman bagi mereka.

Pariwisata dan Pengaruhnya


Berdasarkan data dari
Kantor Pariwisata
Tasikmalaya jumlah
Wisatawan Mancanegara
tahun 1997 – 2000
berjumlah 33.629 orang,
sedangkan Wisatawan
Nusantara tahun 1997 –
Gbr 9. Wisatawan mahasiswwa 2000 berjumlah 106.535
orang. Rata-rata Wisatawan dalam maupun luar negeri yang
berkunjung ke obyek wisata Kampung Naga berjumlah 46.721orang
per tahun.
Para wisatawan itu selain
sekedar mengisi liburan,
juga para peneliti dan
mahasiswa arsitektur yang
tertarik akan kondisi unik
pemukuman ini.
Pemerintah Kabupaten
Tasikmalaya sangat sadar
Gbr 10. Terminal akan potensi pariwisata

26
Desa Adat Kampung Naga

ini. Mereka mempromosikan kampung ini sebagai tujuan wisata dan


memberikan penyuluhan pada warga bagaimana bersikap
menghadapi wisatawan dan memanfaatkan pariwisata. Pemerintah
membangun semacam terminal untuk bis dan kendaraan
pengunjung, dan menarik retribusi atasnya. keberadaan terminal ini
menambah jumlah kunjungan wisatawan. Banyak kegiatan ekonomi
ikut berjalan bila pariwisata sedang dalam fase ramai.Penduduk
dalam kampung memanfaatkan pariwisata dengan menjual hasil
karya kerjainan mereka, yang mayoritas berupa anyaman bambu.
Beberapa penduduk lain membuat warung makan untuk melayani
wisatawan.

Kondisi pariwisata yang ramai ini sebenarnya tidak terlalu


berpengaruh pada keadaan sosial dan budaya masyarakat setempat,
karena benteng adat dan aturan cukup kuat menjaga warga. Bahkan
ada aturan yang
mengharuskan pengunjung
menghadap Kuncen untuk
ditanya keperluannya
mengunjungi kampung itu.
Namun di tahun 2004
kondisi ramainya

Gbr 11. Penduduk menawarkan hasil karya pariwisata ini, dirasakan


kerajinan pada wisatawan
mulai mengganggu
keaslian dan kebersihan
kampung. Banyaknya interaksi warga, terutama anak muda dengan
para wisatawan mulai merubah pola hidup dan pola kebutuhan

27
Desa Adat Kampung Naga

penduduk. Karenanya, Tetua adat kampung ini tertutup untuk


pariwisata selama waktu yang tidak ditentukan.

28
Desa Adat Kampung Naga

Sense of Place

Sense Of Place – Spirit Of Place


Definisi tempat menurut Yi Fu Tuan: Tempat itu menjadi ada
ketika manusia memberi makna pada sebagian dari sesuatu lebih
besar, ruang geografik yang tidak dibedakan. Sebuah lokasi
diidentifikasikan atau diberi nama, dan lokasi ini dipisahkan dari
ruang yang tidak didefinisikan yang mengelilinginya. Beberapa
tempat, telah diberi makna yang kuat, dinamakan atau didefinisikan
oleh masyarakat. Ini merupakan tempat-tempat yang dikatakan
memiliki sense of place yang kuat.
Sense of place merupakan karakteristik yang dimiliki oleh
beberapa tempat geografis yang tidak dimiliki oleh tempat geografis
yang lain. Ini sering didefinisikan sebagai karakteristik yang
membuat tempat menjadi spesial dan unik. Untuk mengerti sense of
place, konsep geografis tempat harus didefinisikan pertama kali.
Ruang geografis merupakan ruang yang mengelilingi planet, melalui
pergerakan kehidupan biologis. Ini berbeda dari ’outer space’ dan
’inner space’ (di dalam pikiran)
Sense of place merupakan satu dari banyak karakteristik
yang diperlihatkan oleh orang-orang bersamaan dengan identitas
lokal. Sense of place merupakan sense kecantikan dan kekayaan
fenomena yang ada di tempat tertentu.

29
Desa Adat Kampung Naga

Sense of place merupakan faktor yang membuat lingkungan


nyaman secara psikologis. Tiga variabel sense of place:
Mudah dibaca
Persepsi dan pilihan untuk lingkungan visual
Kesesuaian setting dengan tujuan manusia
Sense of place mendefinisikan dirinya dalam istilah
pemberian kedamaian pada lahan. Landscape bertindak sebagai
guru dalam membentuk persepsi kita akan tempat. Analisis
mengatakan terdapat 4 komponen utama untuk menambah sense of
place. Ikatan Emosional dan spiritual ini adalah:
Toponymic: berhubungan dengan pemberian nama pada
tempat
Naratif: melibatkan personal atau kelompok cerita atau
legenda
Experiental: berhubungan dengan ketergantungan dan
bertahan hidup
Numinous: spiritual
Tempat dikatakan memiliki sense of place yang kuat adalah
tempat yang memiliki identitas dan karakter yang kuat yang
dirasakan begitu dalam oleh penduduk dan oleh banyak
pengunjung. Sense of place adalah fenomena sosial yang ada
secara bebas dari persepsi atau pengalaman individual dari setiap
orang, yang bergantung pada perjanjian manusia akan
kehadirannya. Perasaan seperi itu bisa jadi didapat dari lingkungan
alam, tapi lebih sering terbuat dari pencampuran ciri-ciri alam dan
budaya pada landscape, dan secara umum menyertakan orang-
orang yang menempati tempat tersebut.
Sense of place harus menemukan landscape yang familiar
sebagai tempat perlindungan dari yang tidak diketahui, mengerikan,
tidak berdimensi, tidak berwaktu dan kacau. Sebuah tempat

30
Desa Adat Kampung Naga

mengambil semua kualitas cahaya, rasa udara, elemen pokok batu,


pepohonan, air, warna bumi, dsb. Tempat adalah nyata, khusus,
terbatas dan unik. Pengenalan tempat dalam alam merupakan hasil
dari kapasitas untuk beradaptasi dengan lingkungan. Tempat
tertentu bisa dikatakan sakral atau duniawi, cantik atau jelek, ramah
atau mencekam.
Spekulasi tentang menetapkan secara budaya pengertian
tempat dalam alam dan membangun dunia mengacu sebagai teori
tempat. Setiap masyarakat, budaya dan komunitas meletakkan
tandanya sendiri tentang kepentingan tempat di dalam daerah
kekuasaannya. Alam dan karakter tanda itu timbul dari cara manusia
mengalami dunia. Mengalami tempat secara keseluruhan melalui
perasaan, imajinasi dan kenangan bersamaan dengan intellect dan
sense.
Pengalaman akan tempat oleh setiap masyarakat dalam
waktu yang sangat lama melibatkan dialektik antara budaya dan
tempat. Sebagai hasilnya, manusia selalu memelihara bangunan
sebagai hubungan yang kompleks dengan tempat, natural dan
buatan.
Teori tempat memiliki asumsi bahwa pengertian manusia
akan tempat adalah sepenting pengetahuan akan fakta karakteristik
murni sebuah tempat. Contoh: sebuah pemakaman sebagai sebuah
tempat yang spesial mencerminkan respon kuno untuk kualitas
rahasia yang mengiringi feature yang ganjil dari landscape. Sense of
place merupakan dasar untuk menemukan makna dalam landscape
tersebut. Dimensi manusia akan makna ditambahkan pada feature
istimewa dari landscape, menjadi satu dengan karakteristik fisik
akan tempat. Tempat memiliki kualitas spesial yang membedakan
mereka dari semua hal dengan menghubungkan mereka ke kejadian
(orientasi, sejarah, kenangan dan makna, geometri dan alam,

31
Desa Adat Kampung Naga

masyarakat dan kehidupan). Tempat memberi substansi untuk


kejadian dan kejadian signifikan dengan tempat.
Sense of place bisa jadi dipertinggi secara kuat oleh tempat
yang ditulis oleh novelis, atau dilukiskan dalam seni atau musik, dan
melalui mode kodifikasi dalam peraturan ditujukan dalam
melindungi, memelihara dan mempertinggi tempat dirasakan
menjadi nilai (seperti ’world heritage site’, ’area of outstanding
natural beauty’)
Tempat-tempat yang kekurangan sense of place terkadang
dikenali sebagai placeless atau inauthentic. Landscape yang
placeless adalah landscape yang tidak memiliki hubungan yang
spesial dengan tempat-tempat di mana mereka berlokasi. Mereka
bisa ada di mana saja. Sisi jalan membelah shopping mall, gas
station dan toko, fast food chain, dan department store sering
dicontohkan sebagai elemen landscape yang placeless. Bahkan
beberapa site atau distrik historis yang telah menjadi komersil untuk
turis dan perumahan baru terkadang didefinisikan kehilangan sense
of place.
Spirit of place mengacu pada keunikan, kekhususan dan
aspek penghargaan dari sebuah tempat; seringkali hal itu dirayakan
oleh seniman dan penulis, tapi hal itu juga dihargai dalam cerita
rakyat, festival, dan perayaan. Hal ini terdapat dalam budaya yang
tak terlihat (cerita, seni, memori, kepercayaan, sejarah, dll) dan
aspek fisik tempat yang nyata (monument, batas, sungai, kayu, gaya
arsitektural, dll) atau aspek interpersonal (kehadiran kerabat, teman,
dll). Seringkali istilah tersebut diaplikasikan pada desa atau tempat
yang tak berubah atau yang diperbarui – mengingat istilah yang
serupa sense of place akan cenderung menjadi lebih domestic,
urban, atau suburban dalam sifat.

32
Desa Adat Kampung Naga

The Nature Of Sense Of Place


Kualitas spesifik dari landscape menanamkan site dengan
sense of place untuk manusia. Pengalaman yang lalu
mempengaruhi hubungan antara manusia dan tempat, sebagaimana
tempat dirasa sebagai kombinasi setting, landscape, ritual, dan
kerutinan serta dalam konteks tempat yang lain.
Perspektif keseluruhan dari ’topophilia’ yang digambarkan
oleh Y.Tuan (1974) menempatkan bahwa ’topopholia’ merupakan
hubungan, persepsi, sikap, nilai, dan pandangan dunia yang
mempengaruhi ikatan manusia dan tempat. Menganalisis isi dari
ingatan manusia untuk tema yang signifikan dan berulang tentang
ruang dan tempat menghasilkan pengertian tentang tema kehidupan
pokok dari sense of place, penguasaan lingkungan, privasi dan
otonomi.
Kehilangan tempat – penghinaan – kehilangan masa lalu,
masa kini, dan masa depan sense of place
Placelessness – kesukaran – mencapai sense of place
Rootlessness – pengasingan – keberlanjutan dan perubahan
dalam sense of place
Sebuah pengertian sense of place yang mana tempat
bukanlah obyek belaka, tapi obyek untuk subyek, yang dibutuhkan.
Sense of place bisa lebih berguna dikonsepkan dalam istilah struktur
perasaan. Pengumpulan identitas dan sense of place merupakan
satu dari fungsi sosial utama dari pembedaan kediaman untuk
kebanyakan manusia di masyarakat modern. Sense of place
membantu melindungi kawasan budaya daerah dan
mempromosikan kepedulian budaya dan pertalian kekeluargaan
Menurut Kevin Lych: Sebuah wilayah bisa dievaluasi dengan
menemukan bagaimana jelasnya teritori tersebut ditandai, apakah

33
Desa Adat Kampung Naga

transisi cukup, bagaimana ruang dibagi, untuk apa keinginan jarak


perilaku disediakan, apakah kelompok sosial memiliki teritori sendiri,
dan sebaik apa pengguna mengerti dan setuju pada makna dan
batas teritori. Lebih penting lagi, identifikasi tempat bukan hanya
membiarkan orang untuk memfungsikan secara efektif tapi juga
merupakan sumber dari keamanan emosional, kepuasan dan
pengertian. Kita mengambil kesenangan dalam fisik khusus, lokal
yang dapat dikenali dan menambah perasaan kita dan memberi
makna untuk mereka. Memang, sense of place yang kuat
mendukung rasa kita tentang identitas personal. Untuk alasan
tersebut, feature yang familiar dari lanscape sering dipertahankan.

Sense Of Place Pada Kampung Naga


Kampung Naga disebut sebagai perkampungan yang masih
memiliki sense of place. Hal itu dapat dilihat dengan adanya
keunikan pada karakteristik dan identitas lokal yang diperlihatkan
oleh masyarakat Kampung Naga yang berbeda dengan lokasi di
sekitarnya.
Banyak tempat-tempat yang disakralkan di Kampung Naga.
Leuweung Larangan, yang terletak di sebelah timur pemukiman,
disebut sebagai hutan tempat para dedemit. Para dedemit
dipindahkan oleh Mbah Dalem Singaparana dari wilayah yang akan
ditempatinya, yang kini menjadi wilayah yang ditempati masyarakat
Kampung Naga. Leuweung Larangan merupakan tempat yang
sama-sekali dilarang untuk diinjak oleh siapa pun, khususnya warga
Kampung Naga. Jangankan memasukinya, menginjakkan sebelah
kakinya di hutan tersebut merupakan pantangan yang sangat keras.

34
Desa Adat Kampung Naga

Gbr 12. Area persawahan yangdikelola masyarakt sendiri

Pembagian wilayah Kampung Naga menjadi tiga wilayah


yaitu Leuweung Keramat (tempat nenek moyang mereka
dimakamkan) di sebelah barat, perkampungan di tengah-tengah,
dan Leuweung Larangan (tempat para dedemit) di sebelah timur.
Berdasarkan pembagian wilayah tersebut, bila menggunakan
kerangka teori antropologi budaya, mereka membangun kosmologi
ruang: atas-tengah-bawah; atau baik-netral-buruk. Lueweung
Larangan di arah timur dan leweung Keramat di arah barat sebagai
sumber kekuatan sakral kehidupan keseharian mereka. Leuweung
Larangan sebagai wilayah chaos, tempat semua dedemit dan roh
jahat berada. Leweung Karamat berada di sebelah barat adalah
sumber kebaikan; masjid dan harta pusaka menjadi penghubung
untuk mengalirkan kesakralan ke arah barat. Hutan Keramat dan
Bumi Ageung yang berada di bagian barat masjid, di posisi kiblat,
secara simbolis menunjukkan negosiasi ajaran Islam dan tradisi
lokal. Menghadap ke kiblat berarti membayangkan penghadapan
pada Kabah yang harus melalui penghadapan terhadap harta
pusaka dan hutan keramat. Keinginan mendapatkan kesakralan

35
Desa Adat Kampung Naga

Kabah didahului oleh penghubungan diri terhadap nenek moyang


yang dikuburkan di Leuweung Keramat.
Kosmologi ruang seperti ini barangkali yang menjadi dasar
penolakan mereka terhadap warganya yang telah berhaji. Berhaji
berarti berziarah secara langsung ke makam Orang Suci. Yang
berhaji telah secara langsung berhubungan karena itu tak lagi
membutuhkan kiblat yang dibungkus Bumi Ageung dan Leuweung
Keramat. Melihat komposisi dan kedudukan Bumi Ageung tersebut
memperlihatkan garis kosmologis yang tegas, yaitu bahwa seluruh
rumah berpusat pada Bumi Ageung dan Bumi Ageung berhubungan
atau berpusat pada Leuweung Keramat, tempat nenek moyang atau
makam para Karuhun. Pandangan kosmologis yang menempatkan
manusia (bumi tempat manusia berada) dalam impitan antara yang
sakral (Leuweung Keramat) dan yang chaos (Leuweung Larangan),
telah memposisikan manusia di antara dua keadaan tersebut. Hal
tersebut tampak pada pandangan mereka tentang kosmologi waktu,
yang secara umum dibagi dua, yaitu waktu nahas (tidak baik) dan
waktu hade, baik. Keadaan kehidupan (dunia) manusia yang terimpit
antara Leuweung Larangan (kebaikan, Yang Sakral) dan Leuweung
Keramat (Ketidakbaikan, Yang Chaos) tersebut mengharuskan
manusia untuk teliti dan hati-hati dalam menjalani kehidupan karena
kedua dunia yang mengimpit tersebut telah pula memengaruhi
waktu kehidupan manusia, waktu baik dan waktu tidak baik.
Harmonisasi kepercayaan lokal dengan sistem ajaran Islam
tidak jarang membuat mereka dipojokan sebagai komunitas yang
berada di luar kebenaran (Islam). Apalagi, mereka menyarankan
warganya yang sudah berhaji untuk tidak tinggal di wilayahnya, yang
berhaji dianggap telah berziarah pada roh yang lebih suci ketimbang
penghuni Kampung Naga karena itu tidak pantas lagi tinggal di
wilayah Kampung Naga.

36
Desa Adat Kampung Naga

Gbr 13. Para anggota masyarakat yang melakukan


Upacara

Sistem kepercayaan masya-rakat Kampung Naga terhadap


ruang terwujud pada kepercayaan bahwa ruang atau tempat-tempat
yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh kekuatan-kekuatan
tertentu pula. Tempat atau daerah yang mempunyai batas dengan
kategori yang berbeda seperti batas sungai, batas antara
pekarangan rumah bagian depan dengan jalan, tempat antara
pesawahan dengan selokan, tempat air mulai masuk atau disebut
dengan huluwotan, tempat-tempat lereng bukit, tempat antara
perkampungan dengan hutan, dan sebagainya, merupakan tempat-
tempat yang didiami oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Daerah yang
memiliki batas-batas tertentu tersebut didiami mahluk-mahluk halus
dan dianggap angker atau sanget. Itulah sebabnya di daerah itu
masyarakat Kampung Naga suka menyimpan "sasajen" (sesaji).
Masyarakat Kampung Naga sangat menghormati karuhun
mereka, Eyang Sembah Singaparna, yang disebut-sebut sebagai
cikal bakal masyarakat Kampung Naga. Bahkan makam Eyang
Sembah Singaparna dianggap sebagai tempat suci, di samping
Masjid dan Bumi Ageung, yang disebut-sebut tempat menyimpan
benda-benda yang dianggap keramat. Kesakralan tempat-tempat

37
Desa Adat Kampung Naga

tersebut dapat dilihat dari adanya ritual-ritual khusus yang


diselenggarakan untuk tempat tersebut. Sebagai contoh adalah
Upacara Hajat Sasih yang merupakan upacara ziarah dan
membersihkan makam.
Berdasarkan penjabaran di atas, Kampung Naga bisa
dikatakan sebagai lokasi yang memiliki sense of place yang tinggi.
Dia berbeda dan terpisah dengan lokasi di sekitarnya, serta memiliki
karakteristik yang khusus yang sangat dirasakan oleh penduduknya.
Masyarakatnya pun sangat mendukung, percaya, dan terus menjaga
kelestarian adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang
mereka. Budaya dan tradisi ritual yang terus dijalankan oleh
masyarakat Kampung Naga tersebut semakin memperkuat sense of
place pada Kampung Naga. Tapi sense of place tersebut hanya
benar-benar bisa
dirasakan
sebelum
pemerintah
memfungsikan
Kampung Naga
sebagai kawasan
obyek wisata.
Sejak
dibukanya lokasi
ini sebagai obyek Gbr14. Kios penjualan sebagian warga Kampung Naga

wisata, Kampung
Naga menjadi lokasi yang komersil. Hal ini menyebabkan hilangnya
sense of place pada Kampung Naga dan membuatnya menjadi
placeless. Memang ritual-ritual yang ada masih dipertahankan,
tempat-tempat tertentu masih dianggap sakral, bahkan listrik pun
tidak masuk ke daerah ini untuk menjaga kelestariannya, hanya saja

38
Desa Adat Kampung Naga

komersialitas yang dihasilkan dari wisata menyebabkan sense of


place menghilang. Untung saja masyarakat Kampung Naga
menyadari hal ini. Bila ini dibiarkan maka akan menyebabkan
rusaknya Kampung Naga. Lalu mereka pun berusaha untuk
mengembalikan sense of place yang telah mereka miliki dengan
cara menutup kawasan ini dari kunjungan rombongan wisata.
Diharapkan upaya ini akan dapat mengembalikan sense of place
yang sempat menghilang.

39
Desa Adat Kampung Naga

Morfologi

Kampung Naga sebagai bagian dari keunikan nusantara ini,


merupakan rantai dari suatu siklus kehidupan yang turut
menyumbangkan keseimbangan dalam ekologi. Hal tersebut dapat
dilihat dari proses kehidupan dan tatanan sosial dan kultur yang
nampak dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai masyarakat yang
sangat bergantung dengan alam , mereka juga sangat
memperhatikan kondisi alam serta perubahan-perubahannya.
Masyarakat Kampung Naga merupakan bagian dari eksistensi alam
lingkunganya. Ketika alam mendapat gangguan maka mereka juga
akan merasakan kondisi tersebut. Dengan adanya hubungan yang
sangat erat tersebut, secara jelas alam merupakan kekuatan yang
secara langsung membentuk dalam banyak hal dari masyarakat
Kampung Naga.
Kedekatan masyarakat terhadap alam lingkungannya memberikan
pengaruh yang cukup besar baik dalam hal perilaku , cara hidup dan
formasi obyek yang dihasilkan. Secara umum hukum alam
menentukan adanya konsep hanya sesuatu yang dapat
menyesuaikan dengan alam sajalah yang dapat bertahan dalam
menyeimbangkan dengan kondisi lingkungannya. Beberapa aspek

40
Desa Adat Kampung Naga

kehidupan dalam masyarakat Kampung Naga mempunyai


karakteristik penyelesaian yang natural.
Teknologi dalam membuat bangunan juga sangat tergantung
dengan bahan-bahan dari alam terutama kayu dan bambu. Tanpa
menggunakan bahan yang berasal dari pabrik, maka karakteristik
tektonika dari struktur
rumah tinggalnya
mempunyai bentangan
yang disesuaikan dengan
bahan-bahan alam
tersebut. Bentangan
tersebut biasanya cukup
sepanjang 4 meteran, jika
lebih panjang dari itu
maka disambung sampai
dengan 6 meteran
tentunya diusahakan
terdapat tiang penyangga.
Atap ijuk mempunyai
karakteristik tersendiri
dalam menatanya. Karena
atapnya ijuk maka kemiringan dari atap biasanya jadi curam. Hal
tersebut dikarenakan agar air hujan dapat dialirkan dengan lebih
cepat. Atap yang terlalu landai akan memberi kesempatan bagi air
untuk jatuh merembes melalui sela-sela lapisan ijuk tersebut.
Sebuah ciri khas atap ijuk dalam setiap lekukan atap akan selalu
tampil agak melengkung sebab mencega air menerobos tekukan
tersebut.
Gbr 15. Beberapa Tampak rumah Kampung Bangunan di dalam desa
Naga
adat Kampung Naga ini

41
Desa Adat Kampung Naga

terdiri dari bangunan-bangunan tunggal yang membentuk klaster


atau kumpulan menjadi satu komunitas pemukiman. Kawasan
pemukiman Kampung Naga terletak dilereng gunung, sehingga
mempunyai karakteristik lokasi yang berkontur searah. Kawasan ini
juga dekat sekali dengan kawasan hutan yang dilindungi. Kawasan
ini sebagian besar memang diatur penggunaan dan pengelolaannya
oleh penduduk Kampung Naga.
Kehidupan masyarakat Kampung Naga banyak berhubungan
dengan kegiatan alam. Mereka juga makan dari hasil alam secara
langsung yang mereka tanam dan mereka pelihara. Sehingga
struktur ruangan dari rumah yang mereka bangun tidak
membutuhkan banyak ruang. Bagi mereka rumah cukup bermalam
pada waktu hujan , berlindung dari cuaca panas dan dingin yang
terlalu menusuk kulit, tidur diwaktu malam. Rumah juga melindungi
beberapa kegiatan yang sangat pribadi saja, dimana sebenarnya
kegiatan masyarakat yang bersifat bersama-sama lebih banyak.
Bagi mereka kegiatan yang bersifat kebersamaan lebih penting
untuk dilakukan.
Bangunan dari rumah Kampung Naga mempunyai konstruksi kaki
dengan menggunakan umpak yang kebanyakan disusun dari batu-
batu alam sekitarnya. Struktur ini jadi sangat unik jika kita melihat
bahwa mereka sangat menjaga bumi yang mereka pijak (sisi
pemahaman non-ragawi) dan teknologi yang dipunyai. Karena
mereka tidak mempunyai keinginan untuk mengeksploitasi alam
maka hasil dari pendekatan cara berpikir mereka menghasilkan
penyelesaian yang unik. Teknologi yang diterpkan juga merupakan
hasil dari pendekatan tersebut.
Sistim kekeluargaan yang sangat kuat memberikan kekuatan untuk
pola susunan dari rumah-rumah tersebut menjadi suatu bentuk
komunal yang berkelompok. Dengan menenpatkan rumah mereka

42
Desa Adat Kampung Naga

disekelilingnya berupa kolam ikan dan juga persawahan yang


mereka garap memberikan rasa aman bagi mereka secara
psikologis dan teknis. Susunan tapak berdekatan dengan struktur
sungai yang dapat memudahkan mereka untuk selalu melakuka
kegiatan yang berhubungan dengan kebutuhan air.
Karena bahan-bahan yang mereka pakai seluruhnya diambil dari
alam bangunan dari rumah di Kampung Naga mempunyai
penampilan seperti rumah semi permanen secara struktural.
Meskipun bangunan ini seperti rumah semi permanen namun
penduduknya secara permanen menempati rumah ini secara turun
temurun tidak berpindah-pindah.
Karakterisitik dari
arsitektur yang secara
alami mengikuti proses
seleksi yang dilakukan
oleh kekuatan alam,
adalah bentuk serta
susunannya dapat teruji
dengan baik dalam
menyesuaikan dengan
Gbr 16. Ditail atap ijuk rumah Kampung Naga
perilaku alam. Kita
melihat disni masyarakat Kampung Naga berusaha menjaga
keharmonisan antara manusia dan alam lingkungannya sehingga
terjadi keberlanjutan dalam kehidupannya.

43
Desa Adat Kampung Naga

Conclusion

Kampung Naga adalah komunitas kecil, yang mengorganisasikan


kehidupan warganya sebagai suatu kesatuan sosial secara
bersama-sama dan atas tanggungan bersama memelihara kesucian
dan ketentraman desa. Dengan demikian, pola kehidupan lebih
bersifat kolektif, tradisional, agraris, homogen, religius dan fungsi
utama warga adalah untuk kepentingan desa/bersama. Namun pola
ini sedang dalam proses adaptasi / berubah/ change akibat
pengaruh budaya materi dan individualisme dari dunia luar yang
umumnya dibawa oleh pariwisata.
Dalam kondisi yang asli, sebenarnya kampung ini telah berhasil
menciptakan sustainable environment selama puluhantahun.
Beberapa hal di bawah ini adalah beberapa aspek sosial yang masih
sustainable/continue:
• Teraturnya kawasan (arsitektur) dan jumlah
bangunan.
• Rela mengabdinya penduduk pada
komunitas,(tanggungjawab sosial yang tinggi dan
ikatan sosial antar warga yang rapat).
• Dihayatinya warga Sanaga sebagai saudara
sepenanggungan, kondisi saling membutuhkan dan
bekerjasama antar warga.

44
Desa Adat Kampung Naga

• Jumlah dan aturan upacara adat yang berasal dari


kompromi aturan agama Isalam dan aturan adat.
• Dihormatinya lelulur, terutama Eyang Singaparna

Sustainability banyak dipengaruhi atau disebabkan oleh


constraints, al:
• Aturan adat yang walaupun cukup kompromis namun ketat
dilaksanakan. Beberapa aturan adat ini sangat khas dan unik
sehingga membentuk karakter orang-orang di dalamnya.
Kekhasan karakter ini akan membuat mereka agak sulit
beradaptasi bila hidup di luar daerah dan merasa paling
nyaman tinggal di dalam kampung.
• Kondisi geografis dan topografi. Misalnya luasan lahan desa
yang tetap, karena sudah berbatasan dengan batas
administratif desa lain, atau terhambat kondisi perbukitan
yang lebih sulit dibudidayakan atau ditinggali.
• Ditutupnya desa untuk pariwisata.

kondisi sosial dan budaya kampung terus berubah (change and


continuity), walau lambat namun tetap memenangkan nilai
tradisional luhur yang telah membentuk kehidupan sosial khas
seperti selama ini. Kondisi bentuk bangunan arsitektur menunjukkan
obyek yang teruji dalam mempertahankan terhadap kekuatan-
kekuatan alam.

45

You might also like