Professional Documents
Culture Documents
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Preeklampsia atau sering juga disebut toksemia adalah suatu kondisi yang bisa dialami
oleh setiap wanita hamil. Preeklampsia adalah kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil,
bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari trias : hipertensi, proteinuri, dan edema.
Pengertian preelamsia menurut beberapa referensi :
A. Preeklampsia adalah perkembangan hipertensi, protein pada urin dan pembengkakan,
dibarengi dengan perubahan pada refleks (Curtis, 1999).
B. Preeklampsia adalah suatu penyakit vasospastik, yang melibatkan banyak sistem dan
ditandai oleh hemokonsentrasi, hipertensi, dan proteinuria (Bobak, dkk., 2005).
C. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan
proteinuria (Prawirohardjo, 2008).
D. Pre eklamsi adalah timbulanya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan
setelah usia 20 minggu atau segera setelah persalinan (Mansjoer dkk, 2000).
E. Pre eklamsi merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana hipertensi terjadi setelah
minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal.
2.2 Etiologi
Etiologi penyakit preeklamsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori
– teori dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya. Oleh karena
itu disebut “penyakit teori” namun belum ada memberikan jawaban yang memuaskan.
Preeklampsia ialah suatu kondisi yang hanya terjadi pada kehamilan manusia. Tanda dan
gejala timbul hanya selama hamil dan menghilang dengan cepat setelah janin dan plasenta
lahir. Tidak ada profil tertentu yang mengidentifikasi wanita yang akan menderita
preeklampsia.
Preeklampsia umumnya terjadi pada kehamilan yang pertama kali, kehamilan di usia
remaja dan kehamilan pada wanita diatas 40 tahun. Faktor resiko yang lain adalah :
· Riwayat kencing manis, kelainan ginjal, lupus atau rematoid arthritis
· Riwayat tekanan darah tinggi yang khronis sebelum kehamilan.
· Kegemukan.
· Riwayat mengalami preeklampsia sebelumnya.
· Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan.
· Mengandung lean alirbih dari satu orang bayi.
· Gizi buruk
· Gangguan aliran darah ke rahim.
Akan tetapi, ada beberapa faktor resiko tertentu yang berkaitan dengan perkembangan
penyakit: primigravida, grand multigravida, janin besar, kehamilan dengan janin lebih dari
satu, morbid obesitas.
Kira-kira 85% preeklampsia terjadi pada kehamilan pertama. Preeklampsia terjadi pada
14% sampai 20% kehamilan dengan janin lebih dari satu dan 30% pasien mengalami anomali
rahim yang berat. Pada ibu yang mengalami hipertensi kronis atau penyakit ginjal, insiden
dapat mencapai 25%. Preeklampsia ialah suatu penyakit yang tidak terpisahkan dari
preeklampsia ringan sampai berat, sindrom HELLP, atau eklampsia (Bobak, dkk., 2005).
2.3 Patofisiologi
Pada pre eklampsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air.
Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus, lumen
arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilakui oleh satu sel darah merah. Jadi
jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tenanan darah akan naik sebagai
usaha untuk mengatasi tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat dicukupi.
Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan oleh penimbunan air yang
berlebihan dalam ruangan interstitial belum diketahui sebabnya, mungkin karena retensi air
dan garam. Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi perubahan
pada glomerulus (Sinopsis Obstetri, Jilid I, Halaman 199).
Patofisiologi pre eklamsi-eklamsi setidaknya berkaitan dengan perubahan fisiologis
kehamilan. Adaptasi fisiologis normal pada kehamilan meliputi peningkatan volume plasma
darah, vasodilatasi penurunan resistensi vaskular sistemik (systemic vascular
resistance[SVRI]), peningkatan curah jantung, dan penurunan tekanan osmotik koloid.
Pada pre eklamsi volume plasma yang beredar menurun sehingga terjadi
hemokonsentrasi dan peningkatan hematokrit maternal. Perubahan ini membuat organ
maternal menurun, termasuk perfusi ke unit janin-uteroplasenta. Vasospasme siklik lebih
lanjut menurunkan perfusi organ dengan menghancurkan sel-sel darah merah, sehingga
kapasitas oksigen maternal menurun.
Vasospasme merupakan akibat peningkatan sensifitas terhadap tekanan peredaran darah,
seperti angiotensin II dan kemungkinan suatu ketidakseimbagan antara prostasiklin
prostaglandin dan tromboksan A2.
Selain kerusakan endotelial vasospasme arterial menyebabkan peningkatan permeabilitas
kapiler. Keadaan ini meningkatkan edema dan lebih lanjut menurunkan volume intravaskular,
mempredisposisi pasien yang mengalami pre eklamsi mudah mengalami edema paru.
Hubungan sistem imun dengan pre eklamsi menunjukkan bahwa faktor-faktor imunologi
memainkan peran penting dalam pre eklamsi. Keberadaan protein asing, plasenta, atau janin
bisa membangkitkan respon imunologis lanjut. Teori ini didukung oleh peningkatan insiden
pre eklamsi pada ibu baru dan ibu hamil dari pasangan baru (materi genetik yang berbeda).
Predisposisi genetik dapat merupakan faktor imunologi lain. Frekuensi pre eklamsi dan
eklamsi pada anak dan cucu wanita yang memiliki riwayat eklamsi, yang menunjukkan suatu
gen resesif autoso yang mengatur respon imun maternal.
Patofisiologi preeklampsia mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) dengan menginduksi
edema otak dan meningkatkan resistensi otak. Komplikasi meliputi nyeri kepala, kejang, dan
gangguan penglihatan (skotoma) atau perubahan keadaan mental dan tingkat kesadaran.
Komplikasi yang mengancam jiwa ialah eklampsia atau timbul kejang (Bobak, dkk., 2005).
2.4 Patologi
Berbagai teori mengenai asal preeklampsia telah diajukan, tetapi baru-baru ini tidak
terdapat penjelasan yang lengkap tentang penyebab gangguan ini. Respons imun abnormal,
gangguan endokrin, predisposisi genetik, kelebihan atau kekurangan nutrisi, dan gangguan
ginjal semua diajukan sebagai berperan pada terjadinya preeklampsia.
Banyak sumber menyetujui bahwa penyebab preeklampsia adalah multifaktor antara lain
nulipara, usia maternal lebih dari 35 tahun, usia ibu kurang dari 18 tahun, riwayat keluarga
hipertensi akibat kehamilan (HAK), dan riwayat HAK pada kehamilan sebelumnya.
Vasospasme paling mungkin sebagai penyebab proses penyakit. Ketika vasospasme
berlanjut, terjadi kerusakan pada dinding pembuluh darah, yang mengakibatkan mengalirnya
trombosit dan fibrin ke dalam lapisan subendotel dinding pembuluh darah. Hal ini diketahui
bahwa ibu yang mengalami preeklampsia mempunyai sensivitas pada angiotensin II, yang
dianggap menjadi kontributor utama untuk proses vasospasme. Vasokonstriksi juga berperan
pada kerusakan sel darah merah ketika melewati diameter pembuluh darah yang bgerkurang
ukurannya. Vasospasme akhirnya menimbulkan hipoksia jaringan lokal pada berbagai sistem
organ, termasuk plasenta, hati, paru, otak, dan retina. Vasospasme serebral berperan pada
gejala sakit kepala dan gangguan penglihatan serta dapat berlanjut menjadi stroke.
Vasospasme pada sistem ginjal berperan pada penurunan aliran darah ginjal. Sistem ginjal
mengalami pembengkakan sel endotel glomerulus, lumen kapiler glomerulus berkonstriksi,
dan filtrasi glomerulus dan selanjutnya menurun. Karena penurunan filtrasi, nitrogen urea
darah serum, kreatinin, dan natrium meningkat; dan haluaran urin menurun. Retensi natrium
selanjutnya sensivitas terhadap angiotensi II dan peningkatan volume cairan ektra seluler.
Pada kasus berat, vasospasme dan pembentukan trombus arterial dapat menimbulkan
nekrosis korteks renal.
Terjadinya edema umum karena kerusakan dinding pembuluh darah dan retensi cairan
sekunder akibat penurunan filtrasi glomerulus. Ketika cairan bergeser dari ruang
intravaskular ke ektravaskular terjadi hipovolemia dan hemokonsentrasi. Hal ini pada
gilirannya menempatkan kebutuhan pada jantung sebagai presoreseptor pada organ mayor
memberi umpan balik untuk meningkatkan curah jantung. Riset tentang curah jantung pada
preeklampsia masih menjadi konflik.
Beberapa penelitian telah menetapkan penurunan curah jantung yang dikaitkan dengan
peningkatan tahanan vaskular perifer, sedangkan penilitian lain menemukan bahwa beberapa
ibu dengan preeklampsia secara nyata mengalami peningkatan curah jantung dan penurunan
tahanan perifer sampai penyakit menjadi berat.
Disfungsi hati pada preeklampsia dapat direntang dari perubahan enzim ringan sampai
edema hepatik, edema subkapsular, atau hemoragi. Perubahan berat dapat terjadi sebagai
nyeri kuadran kanan atas. Bila edema hepatik mewakili derajat edema umum yang mencakup
edema serebral, nyeri kuadran kanan atas sering dikaitkan dengan derajat edema serebral
yang mengakibatkan aktivitas kejang (eklampsia).
Kerusakan dinding pembuluh darah, dan kebocoran produk darah ke dalam ruang
ektravaskular akhirnya menimbulkan koagulopati konsumtif serupa dengan koagulasi
intravaskular diseminata. Mekanisme trombositopenia yang tampak pada preeklampsia tidak
dipahami dengan baik. Satu teori adalah bahwa kerusakan endotel dikaitkan dengan agregasi
dan destruksi tombosit. Gangguan mekanisme pembekuan normal dapat menimbulkan
hemoragi dan kematian.
Beberapa ibu yang mengalami preeklampsia berlanjut mengalami sindrom HELLP, yang
dikaitkan dengan progresi cepat proses patologis dan mengakibatkan hasil janin dan maternal
sebaliknya. Ibu yang mengalami sindrom HELLP kemungkinan menunjukkan subset
individual yang mengalami disfungsi endotel lebih berat, dan dianggap bahwa predisposisi ini
mungkin bersifat genetik.
Disamping efek tidak langsung penurunan perfusi maternal pada janin, proses
vasospasme juga secara langsung mempengaruhi plasenta. Lesi plasenta yang adalah akibat
infrak selanjutnya menurunkan perfusi ke janin, yang menimbulkan intrauterine growth
restriction (IUGR) dan hipoksia. Komplikasi yang dikaitkan dengan preeklampsia berat
meliputi gangguan plasenta, gagal ginjal akut, abrupsio retina, gagal jantung, hemoragi
serebral, IUGR, dan kematian maternal dan janin (Walsh, 2008).
2.5 Diagnosis
Diagnosis preeklampsia dilakukan pada setiap kali pemeriksaan prenatal dengan
mengukur tekanan darah ibu dan menguji protein urine. Diagnosis preeklampsia ringan
ditegakkan berdasar atas timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/atau edema setelah
kehamilan 20 minggu (Prawirohardjo, 2008).
§ Hipertensi : sistolik/diastolik ≥140/90 mmHg. Kenaikan sistolik ≥30 mmHg dan kenaikan
diastolik ≥15 mmHg tidak dipakai lagi sebagai kriteria preeklampsia.
§ Proteinuria : ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1+ dipstik.
§ Edema :edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia, kecuali edema pada
lengan, muka, dan perut, edema generalisata.
Prawirohardjo (2008) menjelaskan bahwa diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasar
kriteria preeklampsia berat sebagaimana tercantum dibawah ini. Preeklampsia digolongkan
preeklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut :
a. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan
darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat dirumah sakit dan sudah
menjalani tirah baring.
b. Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
c. Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam.
d. Kenaikan kadar kreatinin plasma.
e. Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan pandangan
kabur.
f. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya
kapsula Glisson).
g. Edema paru-paru dan sianosis.
h. Hemolisis mikroangiopatik.
i. Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat.
j. Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan kadar alanin dan aspartate
aminotransferase.
k. Pertumbuhan janin intrauterine yang terhambat.
l. Sindrom HELLP (Prawirohardjo, 2008).
Perlu diperhatikan bahwa tingginya tekanan darah bukan merupakan penentu utama
klasifikasi berat atau ringannya PE.
Dari : Cunningham FG et al : Hypertensive Disorder In Pregnancy in “ Williams
Obstetrics” , 22nd ed, McGraw-Hill, 2005
2.6 Pencegahan
Preeklampsia dan eklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang berkelanjutan
dengan penyebab yang sama. Pencegahan yang dimaksud ialah upaya untuk mencegah
terjadinya preeklampsia pada perempuan hamil yang berisiko terjadinya preeklampsia
(Prawirohardjo, 2008). Oleh karena itu, pencegahan atau diagnosis dini dapat mengurangi
angka kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Untuk dapat menegakkan diagnosis dini diperlukan pengawasan hamil yang teratur
dengan memperhatikan kenaikan berat badan, kenaikan tekanan darah, dan pemeriksaan urin
untuk menetukan proteinuria. Untuk mencegah kejadian preeklampsia ringan dapat dilakukan
nasehat tentang dan berkaitan dengan preeklampsia :
a. Diet makanan. Makanan tinggi protein, rendah karbohidrat, cukup vitamin, rendah lemak.
Makanan berorientasi pada empat sehat lima sempurna.
b. Cukup istirahat. Istirahat yang cukup pada hamil semakin tua dalam arti bekerja seperlunya
dan disesuaikan dengan kemampuan. Lebih banyak duduk atau berbaring kea rah punggung
janin sehingga aliran darah menuju plasenta tidak mengalami gangguan.
c. Pengawasan antenatal. Bila terjadi perubahan peraan dan gerak janin dalam rahim segera
datang ke tempat pemeriksaan. Keadaan yang memerlukan perhatian :
1. Uji kemungkinan preeklampsia :
a). Pemeriksaan tekanan darah atau kenaikannya
b). Pemeriksaan tinggi fundus uteri
c). Pemeriksaan kenaikan berat badan atau edema
d). Pemeriksaan protein dalam urine
e). Kalau mungkin dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati, gambaran darah umum,
dan pemeriksaa retina mata.
2. Penilaian kondisi janin dalam rahim
a). Pemeriksaan tinggi fundus uteri
b). Pemeriksaan janin : gerakan janin dalam rahim, denyut jantung janin, pemantauan air
ketuban
c). Usulkan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi (Curtis, 1999).
2.7 Penanganan
Upaya pengobatan ditujukan untuk mencegah kejang, memulihkan organ vital pada
keadaan normal, dan melahirkan bayi dengan trauma sekecil-kecilnya pada ibu dan bayi.
Segera rawat pasien di rumah sakit. Berikan MgSO4 , dalam infuse Dextrosa 5% dengan
kecepatan 15-20 tetes per menit. Dosis awal MgSO4 2 g intravena dalam 10 menit
selanjutnya 2 g/jam dalam drip infuse sampai tekanan darah stabil 140-150/90-100 mmHg.
Ini diberikan sampai 24 jam pasca persalinan atau dihentikan 6 jam pasca persalinan ada
perbaikan nyata ataupun tampak tanda-tanda intoksikasi. Sebelum memberikan
MgSO4 perhatikan reflek patella, pernapasan 16 kali/menit. Selama pemberian parhatikan
tekanan darah, suhu, perasaan panas, serta wajah merah. Berikan nefidipine 3-4 x 10 mg oral
(dosis maksimum 80 mg/hari), tujuannya adalah untuk penurunan tekanan darah 20% dalam
6 jam. Periksa tekanan darah, nadi, pernapasan tiap jam. Pasang kateter kantong urin setiap 6
jam.
PE Berat memerlukan antikonvulsi dan antihipertensi serta dilanjutkan dengan terminasi
kehamilan.
Tujuan terapi pada PE:
1. Mencegah kejang dan mencegah perdarahan intrakranial
2. Mengendalikan tekanan darah
3. Mencegah kerusakan berat pada organ vital
4. Melahirkan janin yang sehat
Terminasi kehamilan adalah terapi defintif pada kehamilan > 36 minggu atau bila terbukti
sudah adanya maturasi paru atau terdapat gawat janin.
Penatalaksanaan kasus PEB pada kehamilan preterm merupakan bahan
kontroversi.Pertimbangan untuk melakukan terminasi kehamilan pada PEBerat pada
kehamilan 32 – 34 minggu setelah diberikan glukokortikoid untuk pematangan paru.
Pada PEBerat yang terjadi antara minggu ke 23 – 32 perlu pertimbangan untuk menunda
persalinan guna menurunkan angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
Terapi pada pasien ini adalah :
1. Dirawat di RS rujukan utama (perawatan tersier)
2. MgSO4
3. Antihipertensi
4. Kortiskosteroid
5. Observasi ketat melalui pemeriksaan laboratorium
6. mengakhiri kehamilan bila terdapat indikasi
Terminasi kehamilan sedapat mungkin pervaginam dengan induksi persalinan yang
agresif. Persalinan pervaginam sebaiknya berakhir sebelum 24 jam. Bila persalinan
pervaginam dengan induksi persalinan diperkirakan melebihi 24jam, kehamilan sebaiknya
diakhiri dengan SC
Aktivitas 0 1 2 3 4
Makan x
Minum x
Eliminasi x
Mobilisasi x
Berpakaian x
Keterangan:
0 : mandiri
1 : dengan alat Bantu
2 : bantuan orang lain
3 : bantuan orang lain dan peralatan
4 : tergantung total
4. Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas
Gejala : kelemahan, penambahan berat badan, reflek fisiologis +/+ , reflek patologis -/-.
Tanda : pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka
b. Sirkulasi
Gejala : penurunan oksegen
Tanda :
c. Abdomen
Gejala : Inspeksi : Perut membuncit sesuai usia kehamilan aterm, sikatrik bekas operasi ( - )
Palpasi :
Ø Leopold I : teraba fundus uteri 3 jari di bawah proc. Xyphoideus teraba massa besar, lunak,
noduler
Ø Leopold II : teraba tahanan terbesar di sebelah kiri, bagian – bagian kecil janin di sebelah
kanan.
Ø Leopold III : teraba masa keras, terfiksir
Ø Leopold IV : bagian terbawah janin telah masuk pintu atas panggul
Auskultasi : BJA 142 x/1’ regular
Eliminasi
Gejala : proteinuria + ≥ 5 g/24 jam atau ≥ 3 pada tes celup, oliguria
d. Makanan / cairan
Gejala : peningkatan berat badan, muntah-muntah
Tanda : nyeri epigastrium,
e. Integritas ego
Gejala : perasaan takut.
Tanda : cemas.
f. Neurosensori
Gejala : hipertensi
Tanda : kejang atau koma
g. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri epigastrium, nyeri kepala, sakit kepala, ikterus, gangguan penglihatan.
Tanda : gelisah,
h. Pernafasan
Gejala : vesikuler, Rhonki -/-, Whezing -/-, sonor
Tanda : irama teratur, bising tidak ada
i. Keamanan
Gejala : jatuh, gangguan pengihatan, perdarahan spontan.
Tanda :
j. Seksualitas
Gejala : Status Obstetrikus
B. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Darah lengkap: trombositopeni
2. Urin : proteinuria, oliguri
3. USG
C. DATA FOKUS
Data subyektif:
· klien mengatakan mengalami nyeri hebat pada daerah perut
· P: nyeri berkurang setelah minum obat Q: nyeri berat R: nyeri pada daerah perut
· S: skala 8 T: nyeri terasa selama 3menit sekali
· klien mengatakan susah makan karena sering mual muntah
· klien mengatakan sering merasa haus
Data obyektif:
· klien tampak pucat, dehidrasi
· klien tampak kurus, anoreksia, konjungtiva pucat
· klien tampak lemah, bedrest
D ANALISA DATA