You are on page 1of 11

contoh proposal penelitian sejarah

PERKEMBANGAN PELABUAHAN ACEH PADA MASA PEMERINTAHAN


KOLONIAL BELANDA

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Oleh:

XXXXXXXXXXXX
Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora
Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam
NIM. XXXXXX

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
1437 H/2016 M

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada saya sehingga saya berhasil menyelesaikan Proposal ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “PERKEMBANGAN PELABUAHAN
ACEH PADA MASA PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA”.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi
kesempurnaan Proposal ini. Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.

Banda Aceh, Juli 2016

Penulis

A. Latar belakang

Perdagangan di Asia sudah berawal di masa Portugis dan VOC, bahkan telah ada berabad-
abad sebelumnya, baik perdagangan melalui darat (jalan sutra) maupun melalui laut Dalam
masa modern awal itu terjadi interaksi dagang antara para penguasa dan para penjajanya di
Nusantara dan organisasi-organisasi dagang besar dari Eropa seperti Estado da India dan East
India Company EIC) dari Inggris serta VOC dari Belanda. Banyak bangsa-bangsa yang
memasuki Indonesia seperti Portugis, Inggris dan Belanda motivasi bangsa Eropa ke wilayah
Nusantara disebabkan oleh faktor seperti Jatuhnya Konstatinopel ke tangan Turki Ottoman
yang merupakan pusat rempa-rempah dengan itu mereka mencari sumber rempah-rempah
terbaru, lali semangat 3G (Gold, Glory, Gospel), dan perkembangan teknologi dan sistem
angin seiring berjalannya waktu Belanda berhasil berkuasa tunggal di Indonesia dengan itu
VOC pun berkuasa di nusantara.[1]

Perkembangan armada dagang di Hindia Belanda jelas akan mempengaruhi peningkatan


aktivitas pelayaran antarpulau. Hal ini juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah colonial
yang protektif terhadap pelayaran domestic. Hal ini mengakibatkan armada Belanda
mendominasi kegiatan pelayaran domestik, tahun 1879 kapal-kapal Nederland dan Hindia
Belanda merupakan 95% dari seluruh armada pelayaran antarpulau di Hindia Belanda, dan
hanya 28,5% untuk pelayaran internasional. Dalam hal ini KPM merupakan tulang punggung
pelayaran antarpulau di Hindia Belanda, dan memasuki abad XX pelayaran antarpulau
meningkat rata-rata 7,6% angka ini lebih tinggi daripada yang dicapai pada perempatan
ketiga abad XIX yang hanya mencapai 5,5% menjelang perang dunia I angka tersebut
menjadi 2,4% dikarenakan dengan stagnasi dalam perdagangan luar negeri sebagai akibat
perang. Seperti diketahui penggunan kapal uap dan motor di perairan Indonesia lebih awal
jika dibandingkan dengan negara kepulauan lain di Asia. Hingga tahun 1860-an komunikasi
secara regular antarpulau menggunakan kapal layar, penggunaan kapal uap untuk
kepentingan komersial baru sejak 1868, sedangkan Hindia Belanda sejak 1842. Penggunaan
kapal uap lebih meningkat pesat dalam pelayaran antarpulau daripada pelayaran Internasioanl
hal imi menunjukkan bahwa pentingnya pelayaran antarpulau Bagi Hindia Belanda, bukan
hanya kepentingan Ekonomi juga mengamankan koloni dari merembesnya kekuatan asing
serta dari perlawanan masyarakat setempat, disamping itu juga untuk menggapai integrasi
negara colonial dibawah bendera Pax Neerlandica.[2]

Aceh adalah antara tempat-tempat singgah dan bermukim yang paling awal oleh para
pedagang Arab, Persia, dan India dalam usaha mereka mencari komoditi-komoditi unggul
pada masa dahulu seperti rempah-ratus dan juga dalam usaha mencari pasar serta produk-
produk dari negeri Cina. Catatan pengembaraan seorang agamawan Cina bernama I-Tsing
menyatakan bahwa beliau telah bertolak dari Canton menuju India pada tahun 672 Masehi
dengan menumpang kapal dagang Persia telah singgah di Aceh dan di sana pada waktu itu
telah wujud perkampungan pedagang Arab.

Di abad ke 13 teks-teks dari Cina menyebut nama Lanwuli atau Lanli yang mengingatkan
akan daerah bernama Lamuri. Sementara pada akhir abad ke 13, Marco Polo singgah di
pelabuhan-pelabuhan bagian utara Sumatera dan memberitakan terdapatnya agama Islam di
salah satu dari enam pelabuhan dagang yang dikunjunginya. Diantaranya, tulis Denys
Lombard merujuk pada kesaksian Marco Polo, yaitu Ferlec, Basman, Sumatra, Dagroian,
Lambri, dan Fansur. Penyebutan nama Lamuri juga disampaikan oleh Ibnu Sa’id di akhir
abad ke 13 oleh Rasyid ad Din pada tahun 1310 dan oleh Abulfida pada 1273 hingga 1331.
Rasyid ad Din bahkan menyebutkan Lamuri saat itu telah memiliki raja sendiri. Sementara
Abulfida memperkenalkan daerah itu sebagai tempat utama penghasil komoditas kayu sapang
dan bambu.[3]

B. Masalah Penelitian
Untuk lebih terarah dan agar pembahasan ini tidak terlalu luas, maka penelitian ini perlu
diberikan batasan dalam penulisannya, adapun pembatasan dalam penelitian ini yaitu:
“Perkembangan Pelabuahan Aceh pada masa pemerintahan kolonial Belanda” dilihat dari sisi
masa kolonial hingga akhir pemerintahan kolonial Belanda.

a. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah yang dikemukakan diatas, maka rumusan masalah dalam


penelitian ini adalah: Apa yang melatar belakangi Perkembangan Pelabuahan Aceh pada
masa pemerintahan kolonial Belanda, Bagaimana peranan pelabuahan Aceh pada masa
pemerintahan kolonial Belanda dan Bagaimana dampak Pelabuahan Aceh diakhir
pemerintahan kolonial Belanda?

b. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah antara lain sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui perkembangan Perkembangan Pelabuahan Aceh pada masa


pemerintahan kolonial Belanda.

2. Untuk mengetahui peranan pelabuahan Aceh pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

3. Untuk mengetahui dampak Pelabuahan Aceh diakhir pemerintahan kolonial Belanda.

c. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti, menambah pengetahuan dan wawasan tentang Perkembangan Pelabuahan


Aceh pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

2. Diharapkan hasil penelitian ini menjadi refrensi bagi peneliti yang akan datang.
3. Menambahkan wawasan baru tentang Pelabuahan di Aceh.

C. Prosedur Penelitian

a. Metode Penelitian

Metode itu sendri berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk
pelaksanaan atau petunjuk teknis. Metode disini dapat dibedakan dari metodologi adalah
Sicience of Methods yakni ilmu yang membicarakan jalan. Secara umum metode penelitian
dapat diartikan sebagai cara ilmiauntuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan
tertentu dan Menurut Abdulrahman, Apa bila tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan
dan menganalisis peristiwa-pristiwa masa lampau maka metode yang digunakan adalah
metode histiris. Metode historis itu bertumpun pada empat langkah kegiatan: Heuristik, kritik,
Interprstasi, dan Histiografi.[4]

Bedasarkan uraian-uraian diatas agar dalam penulisan penelitian lebih ilmiah, data, tujuan,
dan kegunaannya. Penulis menggunakan metode historis (Sejarah), yang memiliki empat
langkah, Heuristik, Kritik, Interprestasi, dan Histiografi.

b. Teknik Pengumpulan Data

Menurut G.J Renier, Heuristik adalah suatu teknik, suatu seni, dan bukan suatu ilmu.
Heuristik seringkali merupakan suatu keterampilan dalam menemukan, mengemukakan,
menangani, dan memperinci, bibliografi, atau mengklarifasikan dan merawat catatan
catatan.[5]

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode studi pustaka. Studi pustaka
dilakukan dengan cara menilai buku sumber yang ada perpustakan secara kritis yang
berhubungan dengan penelitian. Selanjutnya membuat tulisan dengan sumber yang
dikumpulkan. Untuk mendapatkan data yang relevan tentang “Perkembangan Pelabuahan
Aceh pada masa pemerintahan kolonial Belanda” maka peneliti mencari data melalui
perpustakaan, dokumen Dinas perhubungan Aceh, serta artikel dan jurnal yang ada di internet
terkait dengan masalah yang diteliti.

c. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini bersifat analisis data kualitatif. Teknik analisis
data kualitatif adalah analisis data yang bersifat menerangkan dan bukan melalui angka angka
bentuknya berupa tulisan yang dikritisi oleh peneliti dan dapat ditangkap makna tersirat dari
benda atau buku buku atau dokumen.

Dalam analisis kualitatif peneliti tidak menggunakan sampel, populasi dan variabel
karena bahan yang diteliti bersifat tulisan dan menggunakan metode yang berbeda dengan
penelitian kuantitatif. Kajian pustaka atau landasan teori digunakan sebagai pemandu agar
peneliti dapat meneliti sesuai fakta yang ada di lapangan. Di dalam menganalisis sumber
sejarah, peneliti menguji kebenaran atau kesahihan sumber, dan juga bahan bahan dari
sumber sejarah untuk dikelompokan dalam penulisan perkembangan agama islam di minang
kabau pada masa perang padri. Melakukan pengujian atas asli tidaknya sumber berarti
menyeleksi segi segi fisik dari sumber yang ditenukan.[6]

Melalui tahapan ini penulis akan melakukan penggambaran dari data data yang
dikumpulkan tentang perkembangan agama islam di minang kabau pada masa perang padri.
Kritik eksteren adalah menilai dari bahan apa buku itu dibuat pada tahap ini peneliti meneliti
dengan baik bahan dan juga penerbit serta penanggung jawab dari sumber tersebut sehingga
dapat dipercaya sebagai sumber sejarah. Kritik Interen adalah penilaian terhadap keaslian
sumber sejarah baik berupa benda atau tertulis. Kritik ini dilaksanakan dengan cara
memeriksa secara teliti isi dari sumber itu supaya relevan dan terpercaya mengenai
perkembangan agama Islam pada masa perang Paderi. Terakhir adalah kesahihan sumber
pemeriksaan buku agar dapat diakui kebenarannya.

D. Tinjauan Pustaka
a. Pelabuhan

Pelabuhan merupakan suatu wilayah yang terdiri atas daratan, perairan dengan batas
tertentu sebagai tempat untuk melakukan kegiatan pemerintah dan kegiatan ekonomi yang
digunakan sebagai tempat untuk bersandar kapal, berlabuhnya kapal, naik atau turunnya
penumpang dan bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas keselamatan
pelayaran dan kegiatan penunjang serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda
transportasi.[7]

Menurut Triatmodjo (1996) pelabuhan (port) adalah daerah perairan yang terlindung
terhadap gelombang, yang dilengkapi dengan fasilitas terminal laut meliputi dermaga dimana
kapal bertambat untuk bongkar muat barang, gudang laut (transito) dan tempat-tempat
penyimpanan dimana kapal membongkar muatannya, dan gudang-gudang dimana barang-
barang dapat disimpan selama menunggu pengiriman ke daerah tujuan atau
pengapalan.Pelabuhan merupakan suatu pintu gerbang dan pemelancar hubungan antar
daerah, pulau atau bahkan antar benua dan bangsa yang dapat memajukan daerah belakang
atau daerah pengaruh.[8]

b. Aceh

Daerah Aceh yang terletak di bagian paling Barat gugusan kepulauan Nusantara,
menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perniagaan dan kebudayaan yang
menghubungkan Timur dan Barat sejak berabad-abad lampau. Aceh sering disebut-sebut
sebagai tempat persinggahan para pedagang Cina, Eropa, India dan Arab, sehingga
menjadikan daerah Aceh pertama masuknya budaya dan agama di Nusantara. Pada abad ke-7
para pedagang India memperkenalkan agama Hindu dan Budha. Namun peran Aceh
menonjol sejalan dengan masuk dan berkembangnya agama islam di daerah ini, yang
diperkenalkan oleh pedagang Gujarat dari jajaran Arab menjelang abad ke-9.[9]

Suku Aceh merupakan salah satu suku yang tergolong ke dalam etnik melayu atau ras
melayu, Aceh adalah tempat pertama masuknya agama Islam di Indonesia dan sebagai tempat
timbulnya kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu Peurelak dan Pasai. Puncak kejayaan
Aceh dicapai pada permulaan abad ke-17, masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada
masa Sultan Iskandar Muda agama dan Kebudayaan Islam begitu besar dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Aceh, sehingga daerah ini mendapat julukan "seuramo mekkah"
(serambi mekkah). Namun sepeninggalnya Sultan Iskandar Muda, penggantinya tidak
mampu mempertahankan kebesaran kerajaan tersebut, sehingga posisinya agak melemah. Hal
ini menyebabkan Aceh menjadi incaran pihak Barat yang pada saat itu sedang mencari
daerah jajahan.

c. Kolonial Belanda

Pada abad ke 17 bangsa Portugis mulai datang, kemudian pada tanggal 26 Maret 1873,
Belanda menyatakan perang kepada Sultan Aceh yang disebut "Perang Sabil" atau perang
sabilillah yang berlangsung selama 30 tahun dengan menelan jiwa cukup besar, baik dipihak
Belanda yang menyebabkan tewas beberapa orang Jendralnya maupun pihak Aceh banyak
para pejuang yang gugur sebagai syuhada. Kondisi ini memaksa Sultan Aceh terakhir,
Tengku Muhd. Daud mengakui kedaulatan Belanda di tanah Aceh.[10]

E. Interprestasi

Tahap selanjutnya adalah interprestasi, yaitu berupa analisis (menguraikan) dan


sintensis (menyatukan) fakta-fakta sejarah. Hal ini dilakukan agar fakta-fakta yang
tampaknya terlepas antara satu sama lain bisa menjadi satu hubungan yang saling berkaitan.
Dengan demikian dapat dikatakan sebagai proses memeknain fakta. Pada tahap analisis,
peneliti menguraikan sedetail mungkin ketiga fakta (mentifact, socifact, dan artifact) dari
berbagai sumber atau data sehingga unsur-unsur kecil dalam fakta tersebut menampakkan
koherensinya. Penafsiran dalam metode sejarah menimbulkan subjektivitas sejarah, sangat
sukar di hindari, karena di tafsikan oleh sejarawan (si subjek), sedangkan yang objektif
adalah fakta. Penafsiran model sejarah tersebut dapat di terapkan pada ilmu antropologi, seni
pertunjukan, studi agama, fiologi, arkeologi, dan ilmu sastra.[11]

F. Historiografi

Fase terakhir dalam penelitian sejarah adalah historiografi merupakan cara penulisan,
pemaparan atau laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Historiografi
merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah hendaknya
memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal (fase
perencanaan), penyajian historiografi meliputi pengantar, hasil penelitian, simpulan.
Penulisan sejarah sebagai laporan seringkali di sebut karya historiografi yang harus
memperhatikan aspek kronologis, periodesasi, serialisasi, dan kausalitas, sedangkan pada
penelitian antropologi tidak boleh mengabaikan aspek holistik (menyeluruh).[12]

Historiografi adalah cara penulisan, pemaparan, atau memberikan laporan dari hasil
penelitian yang dilakukan sehingga penulis sejarah dapat memberikan gambaran yang jelas
mengenai proses penelitian yang sudah dilakukan dari awal penelitian sampai selesai
penelitian.[13]

Sedangkan pengertian lain dari historiografi adalah suatu kegiatan intelektual untuk
memahami sejarah hal itu menjurus bahwa historiografi adalah proses terakhir dari metode
historis. Dalam tahap ini peneliti mulai menulis secara kritis supaya dapat dipertanggung
jawabkan faktanya. Historiografi adalah bagian inti dari suatu penelitian. Didalamnya
memuat bab bab yang berisi uraian serta pembahasan masalah yang sedang diteliti. Dalam
bab bab ditunjukan kemampuan peneliti dalam mengkaji serta menyajikan data dari sumber
yang diperoleh mengenai sumbangan pemikiran politik Mohamad Natsir dalam pembentukan
zaken kabinet tahun 1950-1951.[14]

Adapun bagian kesimpulannya adalah mengemukakan generalisasidari yang telah


diuaraikan. Simpulan merupakan hasil dari analisis serta fakta sejarah dari masalah yang
diteliti. Setelah semua itu tercapai akan jadi bahan penelitian yang dapat dipertanggung
jawabkan penulisaanya.[15]

______________________________________

[1] Poesponegoro & Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai
Pustaka, hlm 5
[2] Singgih Tri Sulistiyono. 2004. Pengantar Sejarah Maritim Indonesia. Jakarta: DIKTI
Departemen Pendidikan Nasional, hlm 144-146

[3] Mohammad Said. 1981. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Penerbitan Waspada, hlm 53-81

[4] Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: PT Logos wacana Ilmu 1999,
hlm 53

[5] Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah…..., hlm 55

[6] Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah…..., hlm 59

[7] PP No. 69 Bab 1 Pasal 1 Tahun 2001

[8] http://e-journal.uajy.ac.id/888/3/2TS12264.pdf di akses pada juli 2016

[9] http://acehprov.go.id/profil/read/2014/10/03/104/sejarah-provinsi-aceh.html di akses pada


juli 2016

[10] http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/11/aceh di akses pada


juli 2016

[11] Sugeng Priyadi, Metode Penelitian Pendidikan Sejarah, Yogyakarta: Ombak 2012, hlm
76
[12] Sugeng Priyadi, Metode Penelitian Pendidikan Sejarah……, hlm 79

[13] Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah…..., hlm 67

[14] Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah…..., hlm 69

[15] Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah…..., hlm 70

You might also like