Professional Documents
Culture Documents
Kementerian Kesehatan RI
615.1
Ind Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat
p Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Pedoman penerapan kajian Farmakoekonomi,--
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
2012
ISBN 978-602-235-207-5
1. Judul I. PHARMACOPOEIAS
PEDOMAN PENERAPAN
KAJIAN FARMAKOEKONOMI
KEMENTERIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
2013
PEDOMAN PENERAPAN KAJIAN FARMAKOEKONOMI
TIM PENYUSUN
Pengarah :
Dra. Sri Indrawaty, Apt, M.Kes
Penanggung Jawab :
Dra. Engko Sosialisne M.,Apt
Narasumber/Ahli :
Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH
Ahmad Fuad Afdhal. Ph.D
dr. Jarir At Thobari, Ph.D
Pelaksana :
dr. Zorni Fadia
Erie Gusnellyanti, S.Si, Apt, MKM
Rengganis Pranandari, S.Farm, Apt
Dina Sintia Pamela, S.Si, Apt
Dra. Agusdini B. Saptaningsih, Apt, MARS
Drs. Prih Sarnianto, M.Sc, Apt
Yusi Anggriani, Apt, M.Si
Vetty Yulianti, M.Si, Apt
Dra. Ardiyani, Apt, M.Si
Helsy Pahlemi, Apt, M.Si
Roy Himawan, S.Farm, Apt
Editor :
Drs. Prih Sarnianto, M.Sc, Apt
dr. Zorni Fadia
Erie Gusnellyanti, S.Si, Apt, MKM
KATA PENGANTAR
Memperhitungkan biaya obat dalam upaya mengendalikan biaya
kesehatan merupakan hal penting dalam pembangunan kesehatan. Untuk
menganalisa biaya obat dalam dekade terakhir ini ilmu farmakoekonomi
telah semakin berkembang, termasuk di negara – negara Asia-Pasifik. Data
farmakoekonomi semakin dibutuhkan di banyak negara, seperti Thailand,
Korea Selatan, Filipina dan Taiwan, terutama sebagai bukti pendukung
dalam pengambilan keputusan obat apa saja yang akan dimasukkan dalam
daftar obat yang digunakan dalam jaminan kesehatan masyarakat, daftar
obat esensial atau untuk persetujuan obat baru. Sedangkan di Indonesia,
ilmu ini masih baru berkembang, sehingga penerapannya belum banyak
dilakukan dalam pengambilan keputusan penggunaan obat.
Dalam penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional pada tahun
2014, termasuk untuk jaminan kesehatan, dengan terbatasnya anggaran
yang tersedia, maka aspek pengendalian mutu sekaligus biaya obat,
menjadi salah satu hal penting yang mendapatkan perhatian. Sehingga
penerapan hasil kajian farmakoekonomi dalam pemilihan dan penggunaan
obat secara efektif dan efisien sangat dibutuhkan, bukan hanya oleh
Pemerintah, namun juga bagi industri, pendidikan, dan lain-lain. Oleh
karena itu, pada tahun 2011, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian telah
menyusun Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi dalam pelayanan
kesehatan. Pedoman ini merupakan langkah awal dari pemerintah dalam
menerapkan ilmu farmakoekonomi dalam pengambilan keputusan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyusun dan semua
pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
penyusunan Pedoman ini. Semoga Pedoman ini dapat bermanfaat dan
menjadi sumber informasi dan referensi yang mendasar tentang kajian
farmakoekonomi bagi pihak yang membutuhkan. Diharapkan Pedoman ini
dapat dikembangkan lebih lanjut agar penerapan kajian farmakoekonomi
dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan akan optimal, sehingga
Visi “Masyarakat Sehat dan Berkeadilan” dapat terwujud.
Desember
1 PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Kesehatan adalah hak asasi manusia. UUD 1945 menjamin bahwa
setiap penduduk Indonesia berhak mendapatkan pelayanan kesehatan
yang optimal sesuai dengan kebutuhan, tanpa memandang kemampuan
membayar. Sebagai anggota dari komunitas peradaban dunia, Indonesia
juga memiliki tanggung jawab untuk mencapai target Millennium
Development Goals (MDGs) 2000–2015. Komitmen pencapaian MDGs ini
telah dituangkan dalam berbagai target Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan periode 2010–2014.
Dengan pencapaian target MDGs, diharapkan terjadi peningkatan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Tetapi, sampai
saat ini Indonesia masih terbelit berbagai masalah di bidang yang strategis
tersebut. Jumlah penduduk miskin dengan status kesehatan yang rendah
masih sangat besar dan tekanan beban ganda penyakit semakin berat
dengan meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif di tengah insidensi
penyakit infeksi yang masih tinggi. Dengan masuknya berbagai teknologi
baru yang umumnya lebih mahal, membuat biaya pelayanan kesehatan
terus meningkat. Di sisi lain, anggaran kesehatan yang tersedia masih
terbatas dan belum memadai.
Peningkatan biaya pelayanan kesehatan yang tidak dapat
diimbangi dengan peningkatan anggaran tersebut membuat pencapaian
target MDGs, bahkan upaya pembangunan kesehatan secara umum,
menghadapi kendala. Untuk mengatasi hal ini, perlu dilakukan reformasi di
bidang kesehatan, termasuk reformasi pembiayaan kesehatan.
Reformasi Kesehatan Masyarakat sebagai salah satu prioritas
nasional dijabarkan dalam beberapa area perubahan yang antara lain
meliputi pembiayaan untuk pemenuhan kebutuhan dasar pelayanan medis
dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar promotif dan preventif;
penyediaan obat esensial KIA/KB, malaria, tuberkulosis, HIV/AIDS,
dan penyakit lainnya; serta penyediaan sumberdaya kesehatan untuk
pelayanan kesehatan dasar. Titik tolak reformasi kesehatan yang dilakukan
Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi | 1
secara terpadu tersebut adalah untuk meniadakan, atau setidaknya
mempersempit, disparitas derajat kesehatan di antara berbagai kelompok
masyarakat.
Ruang lingkup Reformasi Kesehatan Masyarakat mencakup antara
lain penyusunan kebijakan strategis dan perencanaan berbasis bukti
yang dapat menjamin terlaksananya alokasi sumber daya yang efektif.
Untuk itu, perlu dilakukan upaya peningkatan efisiensi guna mencapai
efektivitas-biaya (cost-effectiveness) setinggi mungkin, yang ditunjukkan
dengan perolehan hasil terbaik dengan biaya terendah.
Guna mencapai hasil terbaik dengan biaya terendah ini perlu
digunakan kaidah farmakoekonomi sebagai alat bantu. Dalam penyusunan
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) atau Formularium Rumah Sakit,
misalnya untuk pemilihan jenis obat yang akan dimasukkan ke dalamnya
perlu dilakukan pembandingan efektivitas terapi, termasuk frekuensi
manfaat dan efek samping yang tidak diinginkan dari dua atau lebih obat
yang berbeda, sekaligus biaya (dalam unit moneter) yang diperlukan
untuk satu periode terapi dari masing-masing obat tersebut. Dalam hal
ini, biaya obat untuk satu periode terapi adalah banyaknya rupiah yang
harus dikeluarkan untuk pembelian obat atau pembayaran perawatan
kesehatan sampai seorang pasien mencapai kesembuhan. Dengan
demikian, pemilihan obat tidak hanya didasarkan pada harga per satuan
kemasan.
Dalam sistem jaminan kesehatan masyarakat yang berlaku di
Indonesia saat ini, Jamkesmas dan/atau Jamkesda, proporsi biaya
obat dialokasikan maksimal 30% dari biaya perawatan kesehatan.
Kenyataannya, konsumsi obat nasional mencapai 40% dari belanja
kesehatan secara keseluruhan dan merupakan salah satu yang tertinggi
di dunia (Kementerian Kesehatan, 2009).
Karena itu, peningkatan efektivitas-biaya obat, bahkan di tingkat
pemerintah daerah atau tingkat lokal rumah sakit, pada ujungnya akan
memberikan dampak yang berarti terhadap efisiensi biaya perawatan
kesehatan nasional. Dan, dengan menerapkan peningkatan efektivitas-
biaya dan upaya lain berdasarkan kaidah farmakoekonomi pada
penetapan kebijakan kesehatan secara menyeluruh, peningkatan efisiensi
biaya perawatan kesehatan nasional yang dicapai akan maksimal.
Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi ini disusun terutama
untuk membantu para pengambil kebijakan baik di tingkat Pusat
(Kementerian Kesehatan), Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) maupun
1. 2 Tujuan
Secara umum tujuan pedoman ini adalah menyediakan acuan bagi
para pengambil kebijakan, baik di tingkat Pusat (Kementerian Kesehatan),
Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) maupun fasilitas pelayanan
(Rumah Sakit) dalam mengembangkan sistem pelayanan kesehatan
dengan menerapkan kajian farmakoekonomi, dalam rangka pemilihan dan
penggunaan obat yang efektif dan efisien.
Tujuan Khusus
1. Meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan dengan tetap
mempertahankan kualitas,
2. Memperluas akses terhadap obat dan pelayanan kesehatan
pada umumnya di tengah keterbatasan sumberdaya,
3. Melindungi masyarakat dari penggunaan obat yang murah dan
tidak berkualitas,
4. Memberikan pedoman untuk meningkatkan Penggunaan Obat
secara Rasional (POR).
1. 3 Sasaran
Sasaran dari pedoman ini adalah para pengambil kebijakan di
bidang yang terkait dengan pelayanan kesehatan, terutama di sektor
publik. Tetapi, Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi ini dapat
pula digunakan oleh para pengambil kebijakan di sektor swasta maupun
peneliti dan profesional lainnya di bidang kesehatan yang membutuhkan.
Secara lebih rinci, kalangan yang termasuk dalam sasaran pedoman ini
adalah:
Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi | 3
1. Pengambil kebijakan di tingkat Pusat (Kementerian Kesehatan),
terutama yang terkait dengan kebijakan obat, seperti seleksi
obat untuk Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), registrasi
obat, dan lain-lain;
2. Pengambil kebijakan di tingkat Daerah (Dinas Kesehatan
Provinsi dan Kabupaten/Kota), terutama yang terkait dengan
seleksi obat dalam rangka pengadaan obat;
3. Lembaga Asuransi Kesehatan lainnya baik milik pemerintah
maupun swasta;
4. Pengambil kebijakan di fasilitas pelayanan kesehatan (Rumah
Sakit), terutama yang terlibat dalam penyusunan Formularium
Rumah Sakit;
5. Profesional di bidang kesehatan (dokter, apoteker, dll);
6. Peneliti dan pengamat di bidang ekonomi kesehatan;
7. Industri farmasi, terutama untuk swa-kajian sebagai upaya awal
peningkatan daya saing produk maupun untuk tujuan lainnya.
1. 4 Ruang Lingkup
Pedoman ini mencakup penerapan kajian farmakoekonomi untuk
pengambilan keputusan pada seleksi dan/atau penggunaan obat pada
suatu daerah atau fasilitas pelayanan kesehatan. Prioritas pelaksanaan
kajian farmakoekonomi terutama pada penyakit yang mempunyai dampak
besar terhadap biaya kesehatan. Kajian farmakoekonomi dilakukan untuk
mengidentifikasi obat yang menawarkan efektivitas (effectiveness) lebih
tinggi dengan harga lebih rendah sehingga secara signifikan memberikan
efektivitas-biaya yang tinggi.
Pedoman ini memberikan contoh-contoh praktis analisis
minimalisasi-biaya (AMiB) dan analisis efektivitas-biaya (AEB). Penerapan
Pedoman Kajian Farmakoekonomi ini sangat dianjurkan. Pada lima tahun
pertama, penerapannya oleh instansi terkait bersifat sukarela, belum
merupakan keharusan. Kajian Farmakoekonomi dilakukan berdasarkan
perspektif pihak yang memprakarsai pelaksanaan kajian. Pada pedoman
ini intervensi kesehatan yang dikaji masih dibatasi untuk obat saja.
1. 6 Pengertian
Pedoman ini menggunakan istilah-istilah yang lazim dalam Kajian
Farmakoekonomi. Berbagai istilah tersebut dan pengertiannya adalah
sebagai berikut:
1. Analisis biaya (AB—cost analysis, CA) adalah metode atau cara
untuk menghitung besarnya pengorbanan (biaya, cost) dalam
unit moneter (rupiah), baik yang langsung (direct cost) maupun
tidak langsung (indirect cost), untuk mencapai tujuan.
2. Analisis (kajian) biaya sakit (ABS—cost of illness evaluation, COI)
dimaksudkan untuk memperkirakan biaya yang disebabkan
oleh suatu penyakit pada sebuah populasi.
3. Analisis efektivitas-biaya (AEB—cost-effectiveness analysis,
CEA) adalah teknik analisis ekonomi untuk membandingkan
biaya dan hasil (outcomes) relatif dari dua atau lebih intervensi
kesehatan. Pada AEB, hasil diukur dalam unit non-moneter,
seperti jumlah kematian yang dapat dicegah atau penurunan
mm Hg tekanan darah diastolik.
TINJAUAN TEORI
2 FARMAKOEKONOMI
Perspektif
Komponen biaya Penyedia
Masyarakat Pasien Pembayar
yankes
- Biaya transportasi + + − +
- Biaya pelayanan informal
(tambahan) + − − −
Biaya Tidak Langsung:
- Biaya hilangnya
produktivitas + + − −
Keterangan: + disertakan + disertakan (bila ada) − tidak disertakan
Diadaptasi dari Rascati et al., 2009 dan Shafie, 2011.
2.3 Biaya
Dalam kajian farmakoekonomi, biaya selalu menjadi pertimbangan
penting karena adanya keterbatasan sumberdaya, terutama dana. Dalam
kajian yang terkait dengan ilmu ekonomi, biaya (atau biaya peluang,
opportunity cost) didefinisikan sebagai nilai dari peluang yang hilang
sebagai akibat dari penggunaan sumberdaya dalam sebuah kegiatan.
Patut dicatat bahwa biaya tidak selalu melibatkan pertukaran uang. Dalam
pandangan pada ahli farmakoekonomi, biaya kesehatan melingkupi lebih
dari sekadar biaya pelayanan kesehatan, tetapi termasuk pula, misalnya,
biaya pelayanan lain dan biaya yang diperlukan oleh pasien sendiri.
Dalam proses produksi atau pemberian pelayanan kesehatan,
biaya dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:
12 | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi
1. Biaya rerata dan biaya marjinal
Biaya rerata adalah jumlah biaya per unit hasil yang diperoleh,
sementara biaya marjinal adalah perubahan biaya atas
penambahan atau pengurangan unit hasil yang diperoleh
(Bootman et al., 2005). Sebagai contoh, jika sebuah cara
pengobatan baru memungkinkan pasien pulang dari rumah
sakit sehari lebih cepat dibanding cara pengobatan lama
mungkin akan terpikir untuk menghitung biaya rerata rawat
inap sebagai penghematan sumberdaya. Kenyataannya,
semua biaya tetap yang terhitung ke dalam biaya tetap tersebut
(misalnya, biaya laboratorium tidak mengalami perubahan.
Yang berubah hanyalah biaya yang terkait dengan lamanya
pasien dirawat (biaya makan, pengobatan, jasa dokter dan
perawat, inilah biaya marjinal, biaya yang betul-betul megalami
perubahan.
3. Biaya total
Biaya total adalah biaya keseluruhan yang harus dikeluarkan
untuk memproduksi serangkaian pelayanan kesehatan.
Biaya untuk perawatan kesehatan seringkali bukan hanya biaya obat
ditambah biaya langsung lain. Selain berbagai biaya langsung tersebut,
ada pula biaya tidak langsung yang harus ditanggung, termasuk biaya
transportasi, hilangnya produktivitas karena pasien tidak bekerja, dan lain-
1. Biaya langsung
Biaya langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan
perawatan kesehatan, termasuk biaya obat (dan perbekalan
kesehatan), biaya konsultasi dokter, biaya jasa perawat,
penggunaan fasilitas rumah sakit (kamar rawat inap, peralatan),
uji laboratorium, biaya pelayanan informal dan biaya kesehatan
lainnya. Dalam biaya langsung, selain biaya medis, seringkali
diperhitungkan pula biaya non-medis seperti biaya ambulan
dan biaya transportasi pasien lainnya.
Selain itu, masih ada beberapa istilah biaya lainnya yang bersifat
teknis terkait dengan perawatan kesehatan. Beberapa biaya yang juga
sering diperhitungkan dalam telaah ekonomi kesehatan tersebut antara
lain:
Analisis minimalisasi biaya Efek dua intervensi sama (atau setara), valuasi/
(AMiB) biaya dalam rupiah.
Analisis manfaat-biaya Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan
(AMB) dinyatakan dalam rupiah, valuasi/biaya dalam rupiah.
Efektivitas lebih A C
B
rendah (Perlu perhitungan RIEB) (Didominasi)
Efektivitas sama D E F
Efektivitas lebih G I
H
tinggi (Dominan) (Perlu perhitungan RIEB)
Alat bantu lain yang dapat digunakan dalam AEB adalah diagram
efektivitas-biaya. Suatu alternatif intervensi kesehatan, termasuk obat,
harus dibandingkan dengan intervensi (obat) standar. Menurut diagram ini,
jika suatu intervensi kesehatan memiliki efektivitas lebih tinggi tetapi juga
membutuhkan biaya lebih tinggi dibanding intervensi standar, intervensi
alternatif ini masuk ke Kuadran I (Tukaran, Trade-off). Pemilihan intervensi
Kuadran I memerlukan pertimbangan sumberdaya (terutama dana) yang
dimiliki, dan semestinya dipilih jika sumberdaya yang tersedia mencukupi.
Suatu intervensi kesehatan yang menjanjikan efektivitas lebih rendah
dengan biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar juga masuk
kategori Tukaran, tetapi di Kuadran III. Pemilihan intervensi alternatif yang
berada di Kuadran III memerlukan pertimbangan sumberdaya pula, yaitu
jika dana yang tersedia lebih terbatas.
Jika suatu intervensi kesehatan memiliki efektivitas lebih tinggi
dengan biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar, intervensi
alternatif ini masuk ke Kuadran II (Dominan) dan menjadi pilihan utama.
Sebaliknya, suatu intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas lebih
rendah dengan biaya lebih tinggi dibanding intervensi standar, dengan
sendirinya tak layak untuk dipilih.
Kematian yang
Biaya Rasio efektivitas-biaya, REB
Obat dihindarkan
per 100 pasien (rupiah per kematian yang dicegah)
per 100 pasien
1. Utilitas (utility)
Analisis utilitas-biaya (AUB) menyatakan hasil dari intervensi
sebagai utilitas atau tingkat kepuasan yang diperoleh
pasien setelah mengkonsumsi suatu pelayanan kesehatan,
misalnya setelah mendapatkan pengobatan kanker atau
penyakit jantung. Unit utilitas yang digunakan dalam Kajian
Farmakoekonomi biasanya ‘Jumlah Tahun yang Disesuaikan’
(JTKD) atau quality-adjusted life years (QALY).
0,8
Utilitas
JTKD = 0,8 x 10
= 8
4. Identifikasi biaya
Identifikasi biaya yang dikeluarkan untuk setiap pilihan
pengobatan, termasuk biaya langsung dan tidak langsung
serta biaya medis dan non-medis.
7. Interpretasi Hasil
Obat yang didominasi oleh obat lain bukan merupakan alternatif
yang layak dipilih. Untuk alternatif obat yang memerlukan
perhitungan RIEB, hasil perhitungan yang diperoleh merupakan
gambaran besarnya biaya lebih yang harus dikeluarkan jika
dilakukan pemindahan dari obat standar ke alternatif. Di sini,
pemegang kebijakan harus mempertimbangkan apakah biaya
lebih yang dikeluarkan sebanding dengan efektivitas yang
diperoleh. Jika cukup sebanding, maka alternatif tersebut layak
untuk dipertimbangkan. Sebaliknya, jika tidak, maka alternatif
pengganti tidak dipertimbangkan, dan yang akan dipilih tetap
merupakan obat yang sudah standar.
Dari struktur biaya terlihat, biaya rerata onkoplatin relatif sama untuk
kedua cara pemberian. Tetapi, pada kelompok onkoplatin dosis terbagi,
tidak ada biaya antimual karena tidak diberikan antimual. Sebaliknya, pada
pemberian dosis terbagi, biaya untuk jasa pemberian onkoplatin IV menjadi
dua kali lipat dari pemberian dosis lengkap. Begitu pula biaya untuk jasa
klinik dan kunjungan dokter, menjadi dua kali lipat. Dengan demikian, biaya
total pemberian dosis lengkap dengan tambahan antimual lebih murah
Rp880.000, atau 2,71%, dibanding pemberian onkoplatin dosis terbagi.
3.2.2 Analisis Efektivitas-Biaya
Berikut dapat dilihat contoh perhitungan AEB yang diambil dari
A terhadap B
Efektivitas lebih A terhadap C
rendah
(lakukan RIEB)
C terhadap B B terhadap C
Efektivitas sama
B terhadap A
Efektivitas lebih C terhadap A
tinggi (lakukan RIEB)
Utilitas A B C
lebih (lakukan RIUB) (Didominasi)
rendah
Utilitas D E F
sama
Utilitas G H I
lebih tinggi (Dominan) (lakukan RIUB)
= Rp 187.096.774/QALY
A. VALIDITAS
1. Berbasis apakah struktur model yang digunakan untuk analisis?
Apakah model tersebut melakukan pembandingan yang sesuai?
Analisis ekonomi seharusnya berbasis suatu model pengambilan
keputusan yang disusun berdasarkan kemungkinan efek dari
keputusan klinis tersebut.
__________________________________________________________
__________________________________________________________
__________________________________________________________
__________________________________________________________
C. PENERAPAN (APPLICABILITY)
1. Apakah manfaat dari pengobatan lebih besar dibandingkan risiko
dan biaya yang dikeluarkan?
Hal-hal berikut yang perlu dipertimbangkan:
• Berapa besar manfaat atau risiko yang ditimbulkan?
• Apakah biaya yang diestimasi sesuai dengan biaya pada situasi
dan kondisi lokal
Menetapkan :
Kesatu : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA
KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN TENTANG
TIM PENYUSUN PEDOMAN PENERAPAN KAJIAN
FARMAKOEKONOMI.
Kedua : Membentuk Tim Penyusun Pedoman Penerapan Kajian
Farmakoekonomi dengan susunan keanggotaan
sebagai berikut:
Pengarah : Dra. Sri Indrawaty, Apt,
M.Kes (Direktur Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan)
Penanggung Jawab : Dra. Engko Sosialine M.,
Apt (Direktur Bina Pelayanan
Kefarmasian)
Narasumber/Ahli : 1. Prof. dr. Hasbullah Thabrany,
MPH, Dr.PH
2. Ahmad Fuad Afdhal. Ph.D
3. dr. Jarir At Thobari, Ph.D
Pelaksana
Ketua : dr. Zorni Fadia
Wakil Ketua : Erie Gusnellyanti, SSi,Apt
Sekretaris I : Rengganis Pranandari,S.Farm
,Apt
Sekretaris II : Dina Sintia Pamela, S.Si, Apt
Anggota : 1. Dra. Agusdini B. Saptaningsih,
Apt, MARS
2. Drs. Prih Sarnianto, M.Sc, Apt
3. Yusi Anggriani, Apt, M.Kes
4. Vetty Yulianti, M.Si, Apt
5. Dra. Ardiyani, Apt, M.Si
6. Helsy Pahlemi, Apt, M.Si
7. Roy Himawan, S.Farm, Apt,
Sekretariat : 1. Rizki Machdiawati, S.Farm, Apt
2. Vitri Sariati, AMF
3. Badrun Samsi
Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi | 55
Ketiga : Tugas Tim Penyusun Pedoman Penerapan
Kajian Farmakoekonomi sebagai berikut:
1. Narasumber/Ahli:
a. memberikan masukan dan saran kepada Tim
Penyusun terkait isi Pedoman;
b. membahas dan memeriksa draf Pedoman;
c. memberikan masukan dan saran kepada
Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian terkait
tindak lanjut dan penerapan Pedoman.
2. Pelaksana:
a. menyiapkan bahan/materi dan literatur yang
dibutuhkan;
b. menyiapkan usulan draf Pedoman;
c. mengadakan rapat pembahasan draf;
d. melakukan perbaikan draf hasil pembahasan;
e. melakukan finalisasi draf;
f. melakukan pencatatan dan pelaporan.
Keempat : Penyusunan Pedoman Penerapan Kajian
Farmakoekonomi dilaksanakan selama Tahun
2011.
Kelima : Dalam melaksanakan tugasnya Tim Penyusun
Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi
bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Keenam : Masa tugas Tim Penyusun Pedoman Penerapan
Kajian Farmakoekonomi terhitung mulai tanggal
ditetapkannya Keputusan ini sampai dengan
akhir Tahun 2011.
Ketujuh : Biaya penyelenggaraan kegiatan dibebankan
pada DIPA Direktorat Bina Pelayanan
Kefarmasian Tahun 2011
Kedelapan : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
Biaya akibat sakit (cost Total Biaya (A) + Total Biaya (B)
of illness)
Catatan :
Untuk perhitungan biaya tidak langsung : komponen disesuaikan dengan
kebijakan institusi yang akan menggunakan.
1. Search engine :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
http://highwire.standford.edu
3. Journal
http://www.bmj.com (British Medical Journal)
http://www.nejm.org (New England Journal Medicine)
http://www.thelancet.com (Lancet)
http://pediatrics.aappublications.org/
http://onlinelibrary.wiley.com/journal/10.1111/(ISSN)1524-4733
(Value in Health)
http://adisonline.com/pharmacoeconomics/Pages/default.aspx
The following questions will help focus your attention on the important
methodological issues related to articles on economic analysis. They are
divided into three sections: validity, results, applicability.
Note three types of economic analyses:
a. Cost - effectiveness analysis (CEA) is the most common,
and is used to compare cost differences between 2 clinical
strategies, it often reports cost per quality-adjusted life-
year (QALY)
b. Cost-benefit analysis (CBA) is used to measure the full
economic costs and benefits of various strategies, where
benefits are measured economically (based on money
related to employment etc).
c. Cost-utility analysis (CUA) is a type of CEA which includes
patient preferences in the analysis. The terms CUA and
CEA are often used interchangeably
VALIDITY:
1. What was the structure of the model on which
the analysis was based? Did the model provide a
reasonable comparison of health care strategies?
An economic analysis is fundamentally based on a decision
model, which maps out the possible downstream effects of a clinical
decision.
Consider the following issues:
• The timeline utilized and whether it is reasonable (e.g. 1
year, lifetime)
• The clinical relevance and appropriateness of the
strategies
• Look for a decision tree, on which the analysis is based
What were the major strategies compared in the analysis? Are there other
important health care strategies that were not included? If so what were
they?
_______________________________________________________________
______________________________________________________________
_______________________________________________________________
RESULTS
What was the overall result? Describe how uncertainty changes the
incremental costs and outcomes of each strategy?
________________________________________________________
________________________________________________________
APPLICABILITY
Deborah Korestein, MD
Department of Medicine
Mount Sinai School of Medicine
Adapted from:
Critical Appraisal Skills Programme (CASP), Public
Health Resource Unit, Institute of Health Science,
Oxford.
Drummond et al. Methods for the economic
evaluation of health care programmes. 2nd Edition.
Oxford: Oxford Medical Publications, 1997.
Consider:
• Was the study attached to the economic
evaluation an RCT?
• How valid was the study design used? (N.B. You
may want to appraise it using an appropriate
checklist).
5.
Were outcomes and costs measured
accurately in appropriate units (e.g. hours
of nursing time, number of physician visits,
years-of-life gained) prior to evaluation?
DAFTAR KONTRIBUTOR
PEDOMAN PENERAPAN KAJIAN FARMAKOEKONOMI