You are on page 1of 25

A.

Anatomi Fisiologi Nasofaring


Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan
lateral, terletak di bawah dasar tengkorak, belakang naris posterior, dan di
atas palatum mole (Pearce, 2009). Terdapat 4 batas nasofaring (Gibson, 2002)
:
 Superior : Basis krani, diliputi oleh mukosa dan fascia
 Inferior : Bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior,
bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum
 Anterior : Choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri
 Posterior : vertebra servicalis I dan II, Fascia space rongga yang berisi
jaring longgar, Mukosa lanjutan dari mukosa atas
 Lateral : Mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang, Muara tuba
eustachii, Fossa rosenmulleri

Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang
konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang
atas muara tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus
tubarus dan dibelakannya terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan
tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini
sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba
eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah (Anas, 2008).

Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh


lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior.
Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale,
foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus. Struktur ini penting
diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial (Pratiwi,
2012).

Bagian lateral Nasofaring terdapat dua bagian:

a. Osteum faring. Antara nasofaring dengan orofaring dibatasi oleh


istmus faringis, suatu penyempitan faring yang dibentuk oleh
permukaan kranial, palatum mole, arkus faringeopalatinus, dinding
belakang nasofaring ke bawah dengan orofaring. Dalam nasofaring
dan orofaring dilapisi oleh mukosa sehingga permukaannya akan
didapat tonjolan oleh otot dan tulang. Palatum mole dapat mencegah
makanan dan minuman masuk ke rongga hidung waktu menelan.
b. Lobang medial (tuba faringeotimpanika eustachii). Pada dinding lateral
terdapat penonjolan, yang terlihat seperti lipatan ke dalam lumen
faring otot. Ini dianggap bagian dari dorsal M.faringeopalatinus.
pembesaran tonsil farin akan memperkecil konka, menyebabkan
gangguan bernapas melalui hidung atau keluhan tuli.

Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi


karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum
molle. Nasofaring akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior
pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu (Pratiwi, 2012).

Struktur penting yang ada di Nasofaring (Gunardi & Saputra, 2012)

a. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva


b. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva
yang disebabkan karena cartilago tuba auditiva
c. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum yang
disebabkan karena musculus levator veli palatini
d. Plica salpingopalatina. Lipatan di depan torus tubarius
e. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius,
merupakan penonjolan dari musculus salpingopharingeus yang
berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama
ketika menguap atau menelan
f. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan
tempat predileksi Karsinoma Nasofaring
g. Tonsila Pharingea, dibentuk oleh jaringan limfoid yang terbenam di
dinding posterior nasopharing. Disebut adenoid jika ada
pembesaran. Sedangkan jika ada inflamasi disebut adenoiditis
h. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus
i. Isthmus pharinggeus merupakan suatu penyempitan di antara
nasopharing dan oropharing karena musculus
sphincterpalatopharing
j. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae
pharingei

Terdapat 2 struktur penting pada nasofaring :


 Tuba Eustachius, merupakan struktur yang mengubungkan telinga
tengah dengan nasofaring. Tuba eustachius berfungsi untuk
mengatur tekanan udara antara lingkungan luar tubuh dengan
bagian telinga. Tabung ini hanya akan terbuka ketika menelan,
bersin, menguap, atau menggerakkan rahang pada posisi tertentu.
1/3 bagiannya ke arah telinga merupakan struktur tulang,
sedangkan 2/3 lainnya ke arah nasofaring merupakan tulang rawan
(lunak).
 Tonsil Adenoid (Faringeal), merupakan massa berlobus berupa
jaringan limfoid yang terletak di bagian langit – langit mulut.
Tonsil adenoid berfungsi untuk melawan bakteri atau organisme
berbahaya masuk melalui hidung dan mulut, bagian ini juga dapat
menghasilkan antibodi untuk melawan infeksi.
Jadi, nasofaring merupakan bagian dari saluran pernapasan yang mana naso
= hidung sedangkang faring = tenggorokkan, sehingga nasofaring dapat menjadi
saluran udara serta saluran makanan. Di mana nasofaring ini juga termasuk bagian
dari THT (Telinga Hidung Tenggorokkan) sehingga mereka saling berkaitan satu
sama lain.

B. Pengertian Karsinoma Nasofaring


Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel
ephitalial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan
menimbulkan metastasis (Mangan, 2009). Nasofaring merupakan suatu
rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral yang termasuk
bagian anatomi faring (Pearce, 2009).
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh pada
ephitalial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan belakang
langit-langit rongga mulut dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap
nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan
leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas
daerah kepala dan leher merupakan kanker nasofaring., kemudian diikuti
tumor ganas hidung dan paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas
rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah (Huda Nurarif &
Kusuma, 2013).

Karsinoma Nasofaring sebagian besar adalah tipe epidermoid dengan


potensi invasi ke dasar tulang tengkorang yang menyebabkan neuropati
kranial (Lucente, 2011). Pada banyak klien, karsinoma nasofaring banyak
terdapat pada ras monggoloid yaitu penduduk Cina bagian selatan, Hongkong,
Thailand, Malaysia, dan Indonesia juga di daerah India. Ras kulit putih jarang
ditemui terkena kanker jenis ini. Selain itu kanker nasofaring juga merupakan
jenis kanker yang ditemukan secara genetik (Mangan, 2009).

C. Etiologi karsinoma nasofaring


Kanker ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita
dengan rasio 2-3-1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti,
mungkin ada hubugannya dengan faktor genetic, kebebasan hidup, pekerjaan
dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah
dengan insiden yang bervariasi. Pada daerah dengan insiden tinggi KNF
meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan
menurun setelahnya (Ernawati, Kadrianti, & Basri, 2004).

Menurut Mangan (2009), faktor yang terkait dengan timbulnya


kanker nasofaring, yaitu:

1. Kerentanan Genetik

Walaupun Ca Nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan


terhadap Ca Nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol
dan memiliki fenomena agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen
HLA ( Human luekocyte antigen ) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E
( CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap Ca Nasofaring,
mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar Ca Nasofaring . Penelitian
menunjukkan bahwa kromosom pasien Ca Nasofaring menunjukkan
ketidakstabilan, sehingga lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor
berbahaya dari lingkungan dan timbul penyakit.

2. Virus Epstein Barr

Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik


seperti antigen kapsid virus (VCA), antigen membran (MA), antigen dini
(EA), antigen nuklir (EBNA), dll. Virus EB memiliki kaitan erat dengan Ca
Nasofaring , menurut (Zulkarnain Haq, 2011) alasannya adalah:

a. Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi terkait


virus EB ( termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll ) , dengan
frekuensi positif maupun rata-rata titer geometriknya jelas lebih
tinggi dibandingkan orang normal dan penderita jenis kanker lain,
dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor . Selain itu titer
antibodi dapat menurun secara bertahap sesuai pulihnya kondisi
pasien dan kembali meningkat bila penyakitnya rekuren atau
memburuk.
b. Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB
seperti DNA virus dan EBNA.
c. Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel
mengandung virus EB, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut
tumbuh lebih cepat , gambaran pembelahan inti juga banyak.
d. Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu
dapat menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan
mukosa nasofaring fetus manusia.

Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama
timbulnya penyakit ini. Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal
disana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator kebiasaan untuk
mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-kanak.
Mediator yang berpengaruh untuk timbulnya Ca Nasofaring :

a. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.


b. Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan
hidup.
c. Sering kontak dengan Zat karsinogen ( benzopyrenen,
benzoantrance, gas kimia, asap industri, asap kayu, beberapa
ekstrak tumbuhan).
d. Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)
e. Radang kronis nasofaring
f. Profil HLA
g. (Huda Nurarif & Kusuma, 2013)
3. Faktor Lingkungan

Menurut Zulkarnain Haq (2011), faktor lingkungan juga berperan penting.


Beberapa penelitian menemukan zat berikut berkaitan dengan timbulnya Ca
Nasofaring :

1. Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker


nasofaring , kandungan 3,4- benzpiren dalam tiap gram debu asap
mencapai 16,83 ug, jelas lebih tinggi dari keluarga di area insiden
rendah.
2. Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada
proses timbulnya kanker nasofaring.
3. Golongan nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan asin.
Terkait dengan kebiasaan makan ikan asin waktu kecil, di dalam air
seninya terdeteksi nitrosamin volatil yang berefek mutagenik.

D. Patofisiologi Karsinoma Nasofaring

Sel-sel epitel ganas nasofaring adalah sel poligonal besar dengan


komposisi syncytial. Sel-sel tidak menunjukkan parakeratosis atau kornifikasi dan
sering bercampur dengan sel-sel limfoid di nasofaring, sehingga dikenal sebagai
lymphoepithelioma. Sudah hampir dipastikan ca nasofaring disebabkan oleh virus
eipstein barr. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein
laten pada penderita ca. nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan
menghasilkan protin tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan
mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein tersebut dapat
digunakan sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan
LMP-2B. EBNA-1 adalah protein nuclear yang berperan dalam mempertahankan
genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan konsumsi ikan asin yang
berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen yang menyebabkan stimulasi
pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan
proliferasi protein laten(EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel
kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller (Wei &
Sham, 2005).
E. Tanda Dan Gejala Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari nasofaring
termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam ataupun
keluar nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau posterosuperior dari dasar tulang
tengkorok atau palatum, rongga hidung atau orofaring. Metastase khususnya ke
kelenjar getah bening servikal. Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru,
mediastinum dan hati (jarang). Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah
yang terkena. Sekitar separuh pasien memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar
10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar getah bening leher atas yang nyeri
merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Gejala dini karsinoma nasofaring
sulit dikenali oleh karena mirip dengan saluran nafas atas (Lucente, 2011).
Pada Karsinoma nasofaring, paresis fasialis jarang menjadi manifestasi awal.
Karena lokasinya, karsinoma nasofaring menimbulkan sindrome penyumbatan
tuba dengan tuli konduktif sebagai keluhan. Perluasan infiltratif karsinoma
nasofaring berikutnya membangkitkan perdarahan dan penyumbatan jalan lintasan
napas melalui hidung. Setelah itu, pada tahap berikutnya dapat timbul gangguan
menelan dan kelumpuhan otot mata luar (paralisis okular) (Muttaqin, 2008).
Gejala nasofaring yang pokok adalah (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) :

1. Gejala Hidung

 Epiktasis : rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi


perdarahan
 Sumbatan Hidung : sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor
kedalam rongga nasofaring dan menutupi koana, gejalanya adalah
pilek kronis, ingus kental, gangguan penciuman

2. Gejala Telinga

 Kataralis/Oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula pada fossa


rosenmuler, pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan
muara tuba (berdengung, rasa penuh, kadang gangguan pendengaran)
 Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran
 Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun,
dan dengan tes rinne dan webber, biasanya akan ditemukan tuli
konduktif

3. Gejala Mata

 Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan


ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan
menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus
akan menimbulkan kebutaan

4. Gejala Lanjut

 Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapt


mencapai kelenjar limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel
tumbuh dan berkembang biak hingga kelenjar membesar dan tampak
benjola di leher bagian samping, lama-kelamaan karena tidak dirasakan
kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot sehingga sulit
digerakkan

5. Gejala Kranial

Gejala Kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf
kranialis. Gelajanya antara lain :

 Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase
secara hematogen
 Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang
 Kerusakan pada waktu menelan
 Afoni
 Sindrom Jugular Jackson atau sindrom reptroparotidean mengenai N.
IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada Lidah,
palatum, Faring atau laring, M. Sternocleidomastoideus, dan M.
Trapezeus

Klasifikasi
Menentukan stadium dipakai sistem TMN (sistem tumorkelenjar-metastasis)
menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC)
1. Sadium 0 = Tumor terbatas di nasofaring, tidak ada pembesaran, tidak ada
metastasis jauh.
2. Stadium II = Tumor terbatas di nasofaring, metastasis kelenjar getah bening
unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas
fossa supraklavikula, tidak ada metastasis jauh. Terjadi perluasan tumor ke
rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring, metastasis kelenjar getah
bening unilateral. Disertai perluasan ke parafaring, tidak ada pembesaran dan
metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang
atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula, tidak ada metastasis
jauh.
3. Stadium III = Tumor terbatas di nasofaring, metastasis kelenjar getah bening
bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fossa
supraklavikula, dan tidak ada metastasis jauh.
4. Stadium IVA = Tumor dengan perluasan intrakranial dan / atau terdapat
keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang
mastikator. Tidak ada pembesaran dan metastasis kelenjar getah bening
unilateral serta metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran
terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula. Tidak
ada metastasis jauh.
5. Stadium IVB = Tumor primer, tidak tampak tumor, tumor terbatas di
nasofaring, tumor meluas ke jaringan lunak, perluasan tumor ke orofaring dan
/ atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring, disertai perluasan ke
parafaring, tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal,
tumor dengan perluasan intrakranial dan / atau terdapat keterlibatan saraf
kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator.
Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6
cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula. Tidak ada pembesaran.
6. Stadium IVC = Tumor primer, tidak tampak tumor, tumor terbatas di
nasofaring, tumor meluas ke jaringan lunak, perluasan tumor ke rongga
hidung tanpa perluasan ke parafaring. Bisa jadi disertai perluasan ke
parafaring, tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasal, tumor
dengan perluasan intrakranial dan atau terdapat keterlibatan saraf kranial,
fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator. Selain itu dapat
juga pembesaran kelenjar getah bening regional, pembesaran kelenjar getah
bening tidak dapat dinilai, tidak ada pembesaran, metastasi kelenjar getah
bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm,
diatas fossa supraklavikula, metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan
ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula,
Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6
cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula, ukuran lebih dari 6 cm, di
dalam supraklavikula, dan terdapat metastasis jauh.

F. Komplikasi Pada Karsinoma Nasofaring

Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu


komplikasi yang selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah
nervus kranialis yang bermanifestasi dalam bentuk (Pratiwi, 2012) :

1. Petrosphenoid sindrom

Tumor tumbuh ke atas tengkorok lewat foramen laserum sampai sinus kavernosus
menekan saraf N. III. N. IV, N.VI juga menekan N.II yang menekan kelainan :

· Neuralgia trigeminus (N.V) : Trigeminal neuralgia meupakan suatu nyer


pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang
terbatas pada daerah disribusi dari nervus trigeminus.

· Plosis palpebra (N. III)

· Ophthalmoplegia (N. III, N. IV)

2. Retropariden sindrom

Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke


sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah retropharing
dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI,
N. XII dengan manifestasi gejala.
· N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta
gangguan pada sepertiga belakang lidah.

· N. X : hiper/hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring, disertai


gangguan respirasi dan saliva.

· N. XI : kelumpuhan/atrofi oto trapezius, otot SCM serta hemiparese palatum


mole.

· N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

· Sindrom horner : kelumpuhan N, simpaticus servicalis, berupa penyempitan


disura palpebralis, Onoftalmus dan miosis.

Sel-sel kanker dapat mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati,
dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam
penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan
metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20% sedangkan ke hati
10%, ginjal 0,4%, dan tiroid 0,4%.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologi konvisional foto tengkorak potongan antero- postofor
lateral, dan posisi waters tampak jaringan lunak di daerah nasofaring. Pada
foto dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang daerah fosa
serebia media.
2. Pemeriksaan tomografi, CT Scaning nasofaring. Merupakan pemeriksaan
yang paling dipercaya untuk menetapkan stadium tumor dan perluasan
tumor. Pada stadium dini terlihat asimetri dari saresus lateralis, torus
tubarius dan dinding posterior nasofaring.
3. Scan tulang dan foto torak untuk mengetahui ada tidaknya metastasis jauh.
4. Psemeriksaan serologi, beruoa pemeriksaan titer antibodi terhadap virus
Epsten-Barr ( EBV ) yaitu lg A anti VCA dan lg A anti EA.
5. pemeriksaan aspirasi jarum halus, bila tumor primer di nasofaring belum
jelas dengan pembesaran kelenar leher yang diduga akibat metatasisi
karsinoma nasifaring. pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk
mendeteksi adanya metatasis.

H. DIAGNOSIS
Persoalan diagnosis sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-scan
daerah kepada dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak
akan terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan serologi lg A anti EA dan lg A anti VCA
untuk infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi
karsinoma nasofaring. Diagnosa pasti ditegakkan dengan melakukan Biopsi
nasofaring. Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu : dari hidung
atau dari mulut.
Biopsi melaui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya ( blind
biopsy ). Cunam biopsi dimasukkan melalui ronga hidung menyulusuri konka
media de nasofaring kemudian cunam di arahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung keteter yang berada dalam mulut diterik
keluar dan diklem bersama-sama ujung keteter yang di hidung. Demikian juga
dengan keteter yang di hidung di sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke
atas. Kemudian denan kaca laring di lihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan
dengan melihat tumoir melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang
dimasukkan melalui mulut, masa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor
nasofaring umumnya dilakukan dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10%.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.

I. Pencegahan Karsinoma Nasofaring


a. Ciptakan lingkungan hidup dari lingkungan kerja yang sehat, serta usahakan
agar pergantian udara lancar.
b. Hindari polusi udara, seperti kontak dengan gas hasil kimia, asap industri, asap
kayu, asap rokok, asap minyak tanah, dan polusi lain yang mengaktifkan virus
Epstein Bar.
c. Hindari mengkonsumsi makanan yang diawetkan, makanan yang panas, atau
makanan yang merangsang selaput ledir.
Asuhan Keperawatan Karsinoma Nasofaring

Pengkajian
a. Identitas Klien

Kaji identitas klien, nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, tanggal
masuk rumah sakit, diagnosa medis tentang penyakit yang diderita serta alamat
klien.
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Terdapatnya benjolan berupa tumor ganas daerah kepala dan leher.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien sering mengalami pembengkakan atau benjolan pada leher berupa
tumor ganas yang terasa nyeri dan sulit untuk digerakkan.
3. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji riwayat kesehatan yang dapat memperparah penyakit seperti
lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu
tertentu. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan
kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang
diawetkan ( daging dan ikan). Penyakit yang pernah di derita klien pada
masa lalu.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji riwayat penyakit keturunan, seperti faktor herediter atau riwayat kanker
pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker.

c. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi : Wajah, mata, rongga mulut dan leher.
 Pemeriksaan THT:
 Otoskopi : Liang telinga, membran timpani.
 Rinoskopia anterior :
- Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin hanya banyak
sekret.
- Pada tumor eksofilik, tampak tumor di bagian belakang rongga hidung, tertutup
sekret mukopurulen, fenomena palatum mole negatif.
 Rinoskopia posterior :
- Pada tumor indofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak agak menonjol,
tak rata dan paskularisasi meningkat.
- Pada tumor eksofilik tampak masa kemerahan.
 sFaringoskopi dan laringoskopi :
- Kadang faring menyempit karena penebalan jaringan retrofaring; reflek muntah
dapat menghilang.
 X – foto : tengkorak lateral, dasar tengkorak, CT Scan

d. Pengkajian Fungsional Gordon


1) Pola Persepsi Kesehatan manajemen Kesehatan
Tanyakan pada klien bagaimana pandangannya tentang penyakit yang dideritanya
dan pentingnya kesehatan bagi klien? Biasanya klien yang datang ke rumah sakit
sudah mengalami gejala pada stadium lanjut, klien biasanya kurang mengetahui
penyebab terjadinya serta penanganannya dengan cepat.

2) Pola Nutrisi Metabolic


Kaji kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahan pengawet), anoreksia,
mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan,
perubahan kelembaban/turgor kulit. Biasanya klien akan mengalami penurunan
berat badan akibat inflamasi penyakit dan proses pengobatan kanker.

3) Pola Eliminasi
Kaji bagaimana pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin,
perubahan bising usus, distensi abdomen. Biasanya klien tidak mengalami
gangguan eliminasi.

4) Pola aktivas latihan


Kaji bagaimana klien menjalani aktivitas sehari-hari. Biasanya klien
mengalami kelemahan atau keletihan akibat inflamasi penyakit.

5) Pola istirahat tidur


Kaji perubahan pola tidur klien selama sehat dan sakit, berapa lama klien tidur
dalam sehari? Biasanya klien mengalami perubahan pada pola istirahat; adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.

6) Pola kognitif persepsi


Kaji tingkat kesadaran klien, apakah klien mengalami gangguan
penglihatan,pendengaran, perabaan, penciuman,perabaan dan kaji bagaimana
klien dalam berkomunikasi? Biasanya klien mengalami gangguan pada indra
penciuman.

7) Pola persepsi diri dan konsep diri


Kaji bagaimana klien memandang dirinya dengan penyakit yang dideritanya?
Apakah klien merasa rendah diri? Biasanya klien akan merasa sedih dan rendah
diri karena penyakit yang dideritanya.

8) Pola peran hubungan


Kaji bagaimana peran fungsi klien dalam keluarga sebelum dan selama dirawat di
Rumah Sakit? Dan bagaimana hubungan social klien dengan masyarakat
sekitarnya? Biasanya klien lebih sering tidak mau berinteraksi dengan orang lain.

9) Pola reproduksi dan seksualitas


Kaji apakah ada masalah hubungan dengan pasangan? Apakah ada perubahan
kepuasan pada klien?. Biasanya klien akan mengalami gangguan pada hubungan
dengan pasangan karena sakit yang diderita.

10) Pola koping dan toleransi stress


Kaji apa yang biasa dilakukan klien saat ada masalah? Apakah klien
menggunakan obat-obatan untuk menghilangkan stres?. Biasanya klien akan
sering bertanya tentang pengobatan.

11) Pola nilai dan kepercayaan


Kaji bagaimana pengaruh agama terhadap klien menghadapi penyakitnya?
Apakah ada pantangan agama dalam proses penyembuhan klien? Biasanya klien
lebih mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa.

e. Teoritis Asuhan Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul:
1. Nyeri akut b/d agen injuri fisik (pembedahan).
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan
pemasukan nutrisi..
3. Risiko infeksi b/d tindakan infasive, imunitas tubuh menurun
4. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b/d misintepretasi
informasi, ketidak familiernya sumber informasi.
No Diagnosa NOC NIC
1 Nyeri akut Control nyeri Manajemen nyeri
Administrasi analgetik
2 Ketidakseimbangan status nutrisi adekuat Manajemen Nutrisi
nutrisi kurang dari Monitor Nutrisi
kebutuhan tubuh
3 Risiko infeksi faktor risiko infeksi Konrol infeksi
Proteksi terhadap infeksi
4 Kurang pengetahuanPengetahuan : KurangTeknik : proses penyakit
tentang penyakit danKepedulian
perawatan nya

PEMBAHASAN KASUS KANKER NASOFARING


1. Identitas Klien
Nama : Ny. R
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Petani
Status perkawinan : Kawin
Tgl masuk : 04 September 2011
Tgl pengkajian : 07 September 2011
Diagnosa : ca nasofaring
Alamat : Jln. Imam Bonjol, Padang

2. Riwayat Kesehatan
 Keluhan utama
Ada benjolan di leher kanan
 Riwayat Kesehatan Sekarang
± 3 bln SMRS klien mengeluh adanya benjolan dileher kanan sebesar bola
pingpong makin lama makin membesar dan terasa nyeri. Leher terasa sulit untuk
digerakan. Berat badan menurun 3 kg. Klien lalu berobat ke poli THT Rs M.
Djamil dirawat 20 hari dan dilakukan operasi, lalu dinyatakan kanker nasofaring,
lalu dirujuk untuk dilakukan kemoterapi.

 Riwayat kesehatan dahulu


Pasien menderita penyakit hipertensi
 Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama

3. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
 Tanda-tanda vital
Suhu : 36,5 0c
Nadi : 105 x/menit
Rr : 26x/menit
TD : 140/100 mmHg
 Kulit
Warna kulit : sawo matang
Kelembapan : lembab
Kebersihan : bersih
 Kepala
Bentuk : Simetris
Kebersihan : bersih
 Rambut
Warna : hitam putih
Kebersihan : Bersih
 Mata
Bentuk : Simetris
Fungsi penglihatan : Dapat melihat dengan jelas
Kebersihan : Bersih
 Telinga
Bentuk : Simetris
Kebersihan : Bersih
 Hidung
Bentuk : Simetris
Fungsi penciuman : Tidak dapat membedakan bau
Kebersihan : kurang bersih
 mulut
Bentuk ; simetris
Kelembapan : kering
Fungsi pengecap : dapat membedakan rasa
Kebersihan : Kurang Bersih
 Abdomen
Bentuk :Simetris
Perkusi : Timpani
 Genitalia
Kebersihan : Kurang bersih
Masalah : Tidak ada masalah
 leher
Ada benjolan sebesar bola pimpong disebelah kanan.Kanker Nasofaring sudah
pada stadium 3 dengan ciri ciri : terdapatnya tumor ganas, terdapat pembesaran
tapi masih bisa digerakkan dan tidak ada metastase.

4. Pola Fungsional Gordon


1. Pola persepsi kesehatan manajemen kesehatan
Pada kasus didapatkan bahwa klien kurang memiliki pengetahuan tentang
penyakit , klien pergi ke rs setelah 3 bulan mengeluh adanya benjolan dileher
kanan sebesar bola pingpong makin lama makin membesar dan terasa nyeri. Klien
juga memiliki tekanan darah tinggi 140/80 mmHg namun tidak di konsultasikan
secara teratur.
2. Pola nutrisi metabolic
Pada kasus ditemukan bahea berat badan menurun 3 kg, sebelum sakit 45 kg
ketika sakit 42 kg akibat inflamasi penyakit. Pasien mengeluh tidak nafsu makan.
3. Pola eliminasi
Pada kasus tidak ditemukan gangguan pada eliminasi klien.
4. Pola Aktivas Latihan
Pada kasus didapati bahwa klien mengalami kelemahan atau keletihan, sering
tidak bisa melakukan aktifitas mandiri dan butuh bantuan orang lain karena
lehernya sulit untuk digerakkan. Hal ini juga di akibatkan rasa nyeri yang diderita
klien. P = 26 x/menit, N = 105 x/menit.
5. Pola Istirahat Tidur
Pada Kasus ditemukan bahwa klien mengalami perubahan pada pola istirahat;
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas. Klien sering
terbangun pada malam hari dan susah untuk tidur kembali.
6. Pola Kognitif Persepsi
Pada kasus klien mengalami gangguan pada indra penciuman Klien tidak dapat
membedakan bau.
7. Pola Persepsi diri dan Konsep Diri
Pada Kasus klien merasa sedih dan rendah diri karena penyakit yang dideritanya.
Klien sering melamun dan sering mempertanyakan bagaimana bisa ia dapat
menderita penyakit tersebut.
8. Pola peran hubungan
Pada kasus klien lebih sering ingin menyendiri, kurang mau berinteraksi dengan
orang lain, namun keluarga tetap berada dekat dengan klien sebagai pemberi
dukungan terhadap klien.
9. Pola reproduksi dan seksualitas
Karena sakit yang di derita klien mengalami gangguan hubungan dengan
pasangan, namun keluarga tetap selalu menberikan kasih sayang kepada klien.
10. Pola Koping dan Toleransi Stress
Pada kasus klien sering bertanya tentang kesembuhan penyakitnya, klien tidak
mengkonsumsi obat untuk menghilangkan stress.
11. Pola nilai dan kepercayaan
Pada kasus klien lebih mendekatkan diri pada Tuhan, dan ia percaya semua itu
sudah di atur Tuhan manusia hanya berusaha dan berdoa.

5. Analisa Data
 DX.1 Nyeri berhubungan dengan Inflamasi Penyakit
DS:
- Klien mengeluhkan nyeri pada leher sebelah kanan.
- Leher terasa sakit untuk digerakan
- Klien mengeluhkan susah tidur dan sering terbangun.
DO:
- Ada benjolan sebesar bola pimpong dileher sebelah kanan sejak 3 bulan yang lalu.
- Nadi: 105 x/menit N= 60-100x/menit
- Pernapasan: 26x/menit N= 16-24x/menit
 DX.2 Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang Dari Kebutuhan Tubuh
DS:
- Klien tidak nafsu makan.
DO:
- Klien mengalami penurunan BB 3kg.

6. NANDA, NOC, dan NIC


NO NANDA NOC NIC
1 Nyeri b.d InflamasiControl nyeri p. 326 Manajemen nyeri p. 412
Penyakit Indicator: Aktivitas:
Batasan karakteristik : Mengakui factorLakukan pengkajian nyeri
 Anorexia penyebab secara komprehensif termasuk
 Perubahan polaMengetahui nyeri lokasi karakteristik, durasi,
tidur Menggunakan obatfrekuensi, kualitas, dan factor
 Fatigue analgesic presipitasi
 Gangguan Menjelaskan gejalaObservasi reaksi non verbal
interaksi social nyeri dari ketidaknyamanan
 Ekspresi verbalMelaporkan controlGunakan teknik komunikasi
tentang nyeri nyeri yang telahterapeutik untuk mengetahui
dilakukan pengalaman nyeri pasien
Kaji budaya yang
Level nyeri p. 328 mempengaruhi respion nyeri
Defenisi : Determinasi akibat nyeri
Indicator : terhadap kualitas hidup
Ekspresi nyeri Bantu pasien dan keluarga
Frekuensi nyeri untuk mencari dan
Ekspresi wajahmenemukan dukungan
terhadap nyeri Control ruangan yang dapat
mempengaruhi nyeri
Kurangi factor presipitasi nyeri
Pilih dan lakukan penanganan
nyeri
Ajarkan pasien untuk
memonitor nyeri
Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan intervensi
Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
Evaluasi keefektifan control
nyeri
Tingkatkan istirahat
Kolaborasikan dengan dokter
jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil
2 Ketidak seimbangan Status Nutrisi Terapi Nutrisi
nutrisi: kurang dariIndikator: Aktivitas:
kebutuhan tubuh Intake nutrisi Mengontrol penyerapan
Batasan karakteristik:Intake makanan danmakanan/cairan dan
Kurang nafsu cairan menghitung intake kalori
makan Energi harian, jika diperlukan
Berat badan 20%Massa tubuh Memantau ketepatan urutan
atau lebih kurang dariBerat tubuh makanan untuk memenuhi
ideal kebutuhan nutrisi harian
Menentukan jimlah kalori dan
jenis zat makanan yang
diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi, ketika
berkolaborasi dengan ahli
makanan, jika diperlukan
Menetukan makanan pilihan
dengan mempertimbangkan
budaya dan agama
Anjurkan intake makanan yang
tinggi kalsium, jika diperlukan
Memastikan bahwa makanan
berupa makanan yang tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
Memberi pasien makanan dan
minuman tinggi protein, tinggi
kalori, dan bernutrisi yang
siap dikonsumsi, jika
diperlukan
Membantu pasien untuk
memilih makanan lembut,
lunak dan tidak asam, jika
diperlukan
Memastikan keadaan
terapeutik terhadap kemajuan
makanan
Melakukan perawatan mulut
sebelum makan, jika
diperlukan
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah, edisi 8


vol.3.EGC, Jakarta
Guyton, Arthur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, EGC,Jakarta
Inskandar.N, 1989, Tumor Telinga-Hidung-Tenggorokan, Diagnosa Dan
Penatalaksanaan, Fakultas Kedokteran Umum, Universitas Indonesia, Jakarta
Joanne C.Mc Closkey. 1996. Nursing Intervension Classification (NIC). Mosby
Year Book. St. Louis
Marion Johnon, dkk. 2000. Nursing Outcome Classificasion (NOC). Mosby Year
Book.St. Louis
Marjory Gordon, dkk.2000.Nursing Diagnoses : Definition & Classificasion
2001-2002.NANDA. Mosby Year Book.St.Louis

You might also like