You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Memasuki era industrialisasi seperti saat ini, negara Indonesia harus turut

andil untuk bersaing industri secara kompetitif. Untuk mendapatkan hasil yang

memuaskan, Indonesia harus memiliki sumber daya manusia yang berkualitas

yang mampu bekerja secara produktif sehingga tercapai tujuan yang diinginkan.

Sumber daya manusia yang berkualitas haruslah diimbangi dengan penjagaan

keselamatan dan kesehatan para pekerjanya. Semakin cukup kuantitas dan kualitas

fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja, maka semakin tinggi pula mutu kerja

karyawannya (Rika, 2009).

Kesehatan kerja adalah kondisi bebas dari gangguan fisik, mental, emosi atau

rasa sakit yang disebabkan lingkungan kerja. Kesehatan dalam ruang lingkup

keselamatan dan kesehatan kerja tidak hanya diartikan sebagai suatu keadaan

bebas dari penyakit. Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan maka setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan yang

dimuat dalam ketentuan-ketentuan umum tentang keselamatan kerja yang sesuai

dengan perkembangan masyarakat, industrialisasi, teknik dan teknologi di segala

tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun

di udara, yang berada dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia

(Mangkunegara, 2001 dalam Tjasyono, 2004). Keselamatan kerja berarti proses

merencanakan dan mengendalikan situasi yang berpotensi menimbulkan

1
kecelakaan kerja melalui persiapan prosedur operasi standar yang menjadi acuan

dalam bekerja (Rika, 2009).

Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal yang penting bagi

perusahaan, karena dampak kecelakaan dan penyakit kerja tidak hanya merugikan

karyawan, tetapi juga perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Terdapat beberapa pengertian tentang keselamatan dan kesehatan kerja yang

didefinisikan oleh beberapa ahli, dan pada dasarnya definisi tersebut mengarah

pada interaksi pekerja dengan mesin atau peralatan yang digunakan, interaksi

pekerja dengan lingkungan kerja, dan interaksi pekerja dengan mesin dan

lingkungan kerja (Wardani, 2010).

Menurut OSHA (2003), Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan

multidisiplin ilmu yang terfokus pada penerapan prinsip ilmiah dalam memahami

adanya risiko yang mempengaruhi kesehatan dan keselamatan manusia dalam

lingkungan industri ataupun lingkungan luar industri, selain itu kesehatan dan

keselamatan kerja merupakan profesionalisme dari berbagai disiplin ilmu yaitu

fisika, kimia, biologi dan ilmu perilaku yang diaplikasikan dalam manufaktur,

transportasi, penyimpanan dan penanganan bahan berbahaya.

Ditempat kerja terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi lingkungan

kerja seperti faktor fisik, faktor kimia, faktor biologi, dan faktor psikologi

(Tarwaka,2004). Seperti dijelaskan diatas, faktor fisik dapat mempengaruhi

lingkungan kerja dan tenaga kerja dan salah satu contoh faktor fisik adalah

pencahayaan. Tenaga kerja dalam melakukan segala macam aktivitas kerjanya

selalu memerlukan pencahayaan. Pencahayaan yang baik adalah pencahayaan

2
yang memungkinkan tenaga kerja dapat melihat objek yang dikerjakan secara

jelas, cepat tanpa upaya yang tidak perlu. Pencahayaan ditempat kerja yang

memadai (Good Lighting) mempengaruhi kuantitas dan kualitas dari penglihatan

(Quality of Vision). Demikian pula dekorasi pada tempat kerja menentukan tingkat

dari pencahayaannya (Wahyu, 2003). Pencahayaan yang memadai memberikan

kesan pemandangan yang lebih baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan

(Soeripto, 2008).

Pencahayaan yang kurang memadai memberikan beban tambahan fisik

ataupun psikologis bagi para tenaga kerja. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya

kelelahan mata dengan gejala-gejala seperti penurunan ketajaman mata,

penglihatan rangkap/kabur, sakit di sekitar mata dan terjadinya kesalahan-

kesalahan dalam pekerjaan ataupun terjadi kecelakaan kerja (Widowati, 2010).

Pada pekerjaan yang membutuhkan ketelitian tanpa adanya pencahayaan yang

memadai, dampaknya akan sangat terasa pada kelelahan mata, terjadinya

kelelahan otot mata dan kelelahan saraf mata sebagai akibat tegangan yang terus

menerus pada mata, walaupun tidak menyebabkan kerusakan pada mata secara

permanen, tetapi dampaknya dapat menambah beban kerja, mempercepat lelah,

kehilangan waktu kerja, mengganggu konsentrasi dan menurunkan produktivitas

kerja (Padmanaba, 2006).

Dampak pencahayaan yang kurang baik tidak terlepas dari perancangan

ruangan yang kurang baik. Ruang yang dirancang haruslah memungkinkan orang

yang menempatinya dapat melihat benda-benda. Tanpa dapat melihat benda-

benda dengan jelas aktivitas didalam ruang akan terganggu. Sebaliknya, cahaya

3
terlalu terang juga dapat mengganggu penglihatan yaitu menyebabkan kesilauan

(Sukawi, 2013).

Salah satu aktivitas yang biasa dilakukan didalam ruangan yaitu

membaca. Kegiatan membaca tidak bisa lepas dari pencahayaan, sebab kegiatan

ini berhubungan langsung dengan indra penglihatan, yaitu mata. Setidaknya ada

dua macam pencahayaan yaitu pencahayaan alami dan pencahayaan buatan.

Pencahayaan alami didapat dari sinar matahari, sementara pencahayaan buatan

didapat dari lampu. Dua hal penting yang berhubungan dengan pencahayaan,

yaitu jenis bola lampu dan jenis lampu yang dipakai, seperti lampu meja, lampu

duduk atau lampu gantung (www.kemenkeu.go.id).

Beberapa penelitian membuktikan bahwa pencahayaan diperpustakaan

merupakan aspek penting dalam menunjang aktivitas mahasiswa dan pegawai.

Kondisi pencahayaan yang tidak memenuhi standar dapat menganggu aktivitas

dan menyebabkan keluhan kesehatan khususnya kelelahan mata. Pencahayaan

yang tidak memenuhi standar tersebut dapat mempengaruhi kesehatan mata dan

mempengaruhi faktor estetika atau keindahan ruangan (Rahmi, 2010).

Penelitian Hendra dkk. (2013) tentang tingkat pencahayaan perpustakaan

di lingkungan Universitas Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian

pencahayaan diperpustakaan berkisar antara 0% sampai 100%. Sebagian besar

pencahayaan mempunyai tingkat kesesuaian antara 30% sampai 60%. Kondisi ini

disebabkan oleh distribusi pencahayaan yang kurang baik karena banyak lampu

yang mati, intensitas yang rendah, tata letak peralatan yang kurag baik, serta

warna ruangan yang agak gelap. Disamping itu, terdapat perpustakaan yang

4
mempunyai pencahayaan yang sangat tinggi sehingga menyebabkan silau,

mengganggu aktivitas dan menyebabkan keluhan kelelahan mata. Kelelahan mata

yang umum dirasakan oleh mahasiswa dan pegawai adalah mata selalu terasa

mengantuk dan tegang pada daerah leher dan bahu.

Sejalan dengan penelitian Hendra (2013), penelitian yang dilakukan Azhara

(2014) tentang gambaran pemenuhan standar pencahayaan perpustakaan fakultas

kedokteran dan ilmu kesehatan universitas islam negeri syarif hidayatullah

Jakarta menunjukkan bahwa hasil pengukuran pencahayaan di meja besar 140-171

lux, meja resepsionis 117-224 lux dan meja komputer lantai 1 sebesar 55-120 lux,

posisi meja yang tidak dibawah cahaya tidak sesuai standar. Hasil responden

subyektif pengunjung 46 orang mengatakan pencahayaan tidak sesuai standar, 2

dari 3 orang pengelola perpustakaan mengatakan pencahayaan hanya memenuhi

85% dari standar. Sarana penunjang terkait pencahayaan sesuai dengan standar.

Kondisi armature sesuai standar. Pencahayaan tidak dikelolah sesuai standar.

Sesuai dengan standar pencahayaan dari Suptandar (1999) dalam Azhara

(2014) sarana penunjang perpustakaan juga merupakan aspek yang perlu dilihat

kesesuaiannya terkait pencahayaan. Perpustakaan memiliki organisasi dan

pengelolaan sehingga diperlukan juga wawancara dengan pengelola perpustakaan

untuk menunjang hasil observasi. Dalam Darudi (2006), para akar ilmu

pengetahuan mengatakan bahwa perpustakaan adalah jantungnya perguruan

tinggi, yang membantu tercapainya Tri Dharma Perguruan Tinggi atau Catur

Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, pengabdian masyarakat dan dakwah.

5
Penelitian di atas menujukkan betapa pentingnya memperhatikan faktor

lingkungan fisik yang ada di perpustakaan khususnya pencahayaan. Seperti pada

perpustakaan pusat Universitas Hasanuddin yang sering digunakan oleh

mahasiswa untuk melakukan aktivitas visual yang tinggi seperti mencari koleksi,

membaca, menulis, dan bekerja, peneliti mencoba mengidentifikasi intensitas

pencahayaan diruangan tersebut. Maka dari itu, perlu dilakukan pengukuran data

kuantitatif pencahayaan menggunakan Luxmeter untuk mendapatkan gambaran

tentang intensitas pencahayaan yang diperoleh, sebagai salah satu pencegahan

terhadap risiko kerja yang disebabkan oleh pencahayaan di perpustakaaan.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian yang telah dikemukakan diatas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini yaitu bagaimana gambaran intensitas pencahayaan pada ruangan

belajar dilihat dari atas meja belajar.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian yang kami lakukan adalah : Untuk mengetahui

intensitas pencahayaan ruangan belajar dilihat dari atas meja belajar.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

Sebagai referensi dan informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan

intensitas pencahayaan pada ruangan belajar dilihat dari atas meja belajar.

2. Bagi Program Studi Pendidikan Fisika

Sebagai referensi penelitian yang berguna bagi masyarakat luas terutama

mahasiswa dibidang Pendidikan Fisika.

6
BAB II

KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan, dapat dinyatakan

bahwa seseorang dapat terpapar kelelahan mata apabila pencahayaan yang ada

kurang memenuhi persyaratan. Faktor penyebab ini yang terpenting adalah

kualitas lingkungan yakni pencahayaan pada lingkungan kerja.

Adapun penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran tingkat

pencahayaan ruangan belajar jika dilihat dari atas meja belajar. Semua faktor yang

terkait pencahayaan yang dipaparkan teori, peneliti angkat menjadi kerangka

konsep. Sehingga bagan yang ada seperti terlihat pada gambar 3.1.

Gambar 9. Kerangka Konsep Penelitian

Tingkat pencahayaan

Intensitas pencahayaan
Respon subyektif
sesuai standar pencahayaan
ruangan belajar
Faktor Penunjang pencahayaan

Pemeliharaan pencahayaan

B. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Intensitas pencahayaan

Intensitas pencahayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah besarnya

cahaya pada ruangan kerja yang menerangi permukaan kerja sehingga objek di

tempat kerja bagian produksi terlihat oleh mata tenaga kerja yang diukur dengan

menggunakan alat ukur pencahayaan yaitu luxmeter

7
Kriteria Objektif:

a. Tidak memenuhi standar : jika intensitas cahaya <300 lux.

b. Memenuhi standar : jika intensitas cahaya ≥300 lux.

Standar pencahayaan disesuaikan dengan SNI 16-7062-2004 yaitu intensitas

pencahayaan yang dibutuhkan untuk perpustakaan sebesar 300 lux.

2. Respon subjektif

Respon subyektif dalam penelitian ini adalah respon yang dirasakan oleh

seseorang saat berada diruangan belajar. Pertanyaan yang diajukan terkait

pendapat tentang pencahayaan, apakah merasakan ruangan panas karena lampu,

merasakan lampu berkedip, merasakan penyebaran cahaya yang tidak merata,

keluhan saat beraktivitas, kesan pertama saat masuk perpustakaan dan ada

tidaknya bayangan saat beraktivitas.

3. Faktor penunjang pencahayaan

Faktor penunjang pencahayaan terkait kondisi ruang (tertutup atau terbuka),

Jenis permukaan benda-benda dalam ruang (memantul atau menyerap), warna-

warni dinding dan udara dalam ruang (asap rokok dan sebagainya). Data diperoleh

dari hasil observasi (Suptandar, 1999 dalam Azhara, 2014).

4. Pemeliharaan pencahayaan

Pemeliharaan pencahayaan pengelola terkait pemeliharaan pencahayaan

perpustakaan. Pertanyaan yang diajukan terkait pendapat tentang perencanaan

penggantian lampu (terjadwalkan), informasi terkait lampu rusak, adanya jadwal

rutin kebersihan armature, adanya jadwal rutin mengecek kondisi lampu,

tersedianya stok lampu cadangan, pengetahuan pengelola terkait standar

8
pemeliharaan pencahayaan dan pengetahuan pengelola terkait jenis lampu yang

digunakan.

C. Hipotesis
a. Terdapat perbedan yang signifikan antara intensitas cahaya bola lampu pijar dan
bola lampu hemat energi.
b. Tidak terdapat perbedan yang signifikan antara intensitas cahaya bola lampu pijar
dan bola lampu hemat energi.

9
BAB III

TEKNIK PENGUMPULAN DATA

A. Jenis Penelitian

Metode penelitian adalah metode penelitian campuran (mixed methods)

yang mengkombinasikan metode kuantitatif dan kualitatif untuk digunakan dalam

suatu penelitian, sehingga diperoleh data yang lebih komprehensif, valid, reliable

dan obyektif (Sugiyono, 2012). Untuk mengetahui intensitas pencahayaan metode

deskriptif kuantitatif dengan bantuan alat lux meter. Menurut Notoatmodjo

(2005), metode penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang

dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang

suatu keadaan secara objektif. Sedangkan, untuk mengetahui respon subjektif,

kesesuaian sarana penunjang pencahayaan dan pemeliharaan pencahayaan

menggunakan metode kualitatif studi kasus (case study). Studi kasus adalah

bagian dari metode kualitatif yang hendak mendalami suatu kasus tertentu secara

lebih mendalam dengan melibatkan pengumpulan beraneka sumber informasi

(Semiawan, 2010).

B. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini akan dilakukan diruangan belajar tepatnya pada salah satu

rumah teman kelompok yang dilakukan pada 27 April 2018 yang meliputi

persiapan, pengumpulan data, pengolahan dan analisis data beserta evaluasi

kegiatan penelitian.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

10
Seluruh ruangan yang ada di dalam rumah.

2. Sampel

Sampel adalah ruangan belajar yang ada dirumah yaitu yang terletak pada

lantai 1 dengan mengambil jumlah titik pengukuran pencahayaan tepat dibawah

lampu dan tidak tepat dibawah lampu.

Keluhan subjektif dan pemeliharaan pencahayaan menggunakan dan

penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus (case study) yang memilih 1

orang informan untuk mengetahui keluhan subjektif.

D. Instrumen Penelitian

Pengumpulan data primer diperoleh langsung pada pengelola ruangan belajar

dengan menggunakan alat ukur berupa luxmeter. Adapun penjelasan mengenai

pengumpulan data berdasarkan variabel beserta instrumen penelitian yang

digunakan adalah sebagai berikut:

a. Variabel intensitas pencahayaan di ruangan belajar diperoleh dengan melakukan

pengukuran dengan menggunakan luxmeter.

b. Faktor penunjang pencahayaan didapatkan dari hasil observasi

Adapun instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Luxmeter

Luxmeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur besarnya intensitas

cahaya disuatu tempat. Luxmeter digunakan untuk mengukur tingkat iluminasi.

Hampir semua luxmeter terdiri dari rangka, sebuah sensor dengan sel foto dan

layer panel. Sensor diletakkan pada sumber cahaya. Cahaya akan menyinari sel

11
foto sebagai energy yang diteruskan oleh sel foto menjadi arus listrik. Makin

banyak cahaya yang diserap oleh sel, maka arus yang dihasilkan makin besar.

Gambar 11. Luxmeter Lutron LX-101

Sumber : Data Primer, 2016

Cara pengukurannya yaitu sensor ditempatkan pada tempat kerja atau pada

tempat dimana intensitas cahaya harus diukur dan alat akan secara langsung

memberikan hasil pembacaan pada layar panel. Agar tidak terjadi kesalahan

pengukuran maka sensor harus ditempatkan pada tempat kerja untuk

menghasilkan pembacaan yang akurat. Terdapat beberapa hal yang perlu

diperhatikan oleh operator saat melakukan pengukuran yaitu operator harus

berhati-hati supaya tidak menimbulkan bayangan dan jangan menimbulkan

pantulan cahaya oleh pakaian operator.

E. Pengolahan data

Seluruh data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan

diolah dengan menggunakan program SPSS (Statistical package for sosial

science) untuk menghasilkan informasi yang benar psesuai dengan tujuan

penelitian. Pengolahan meliputi langkah-langkah berikut:

a. Penyuntingan data (Editing)

12
Penyuntingan data dilakukan sebelum proses pemasukan data. Sebelum diolah,

data diteliti apabila ada kesalahan, sehingga akan diperiksa dan diperbaiki

kelengkapannya dan melihat konsistensi jawaban masing-masing item pertanyaan

dari kuesioner penelitian.

b. Pengkodean variabel (Coding)

Kegiatan mengklasifikasi data dan memberikan kode untuk masing-masing

kelas sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data. Proses coding dilakukan

menggunakan skala guttman yaitu memberikan kode skor 0 untuk jawaban yang

tidak tepat dan kode skor 1 untuk jawaban yang tepat. Pada kuesioner penelitian,

hanya terdapat satu jawaban tepat pada pertanyaan yang memiliki dua pilihan

jawaban. Skoring hanya dilakukan pada pertanyaan kuesioner yang berkaitan

langsung dengan definisi operasional variabel.

c. Memasukkan data (Entry)

Enrty data merupakan tahap memasukkan data variabel ke dalam lembar

kerja program analisis data yang digunakan dalam bentuk kode.

d. Pembersihan data (Cleaning)

Cleaning merupakanproses pembersihan data. Data akan dibersihkan dar

informasi yang tidak relevan atau yang tidak diangkat menjadi penelitian.

13
BAB IV

ANALISIS DATA

A. Hasil Penelitian

1. Titik Pengukuran Pencahayaan

Penelitian ini dilakukan di runagan belajar pada tanggal 27 April 2018. Besar

sampel untuk melihat gambaran kualitas pencahayaan dilakukan pada ruang

dengan mengambil jumlah titik pengukuran pencahayaan tepat dibawah lampu

dan tidak tepat dibawah lampu.

Pemaparan hasil penelitian ini dibagi atas tiga, yakni pertama tentang

deskripsi tentang titik pencahayaan di ruangan belajar. Kedua, distribusi hasil

pengukuran. Ketiga, respon subjektif pengunjung belajar meliputi pendapat

tentang pencahayaan, pendapat tentang ruangan terasa panas yang disebabkan

lampu, intensitas lampu berkedip, penyebaran pencahayaan yang merata atau

tidak merata, keluhan saat beraktivitas, kesan pertama saat masuk ruangan belajar

dan ada tidaknya bayangan saat berakivitas serta sarana pencahayaan dan kelima,

pemeliharaan pencahayaan yang dilakukan pengelola.

2. Gambaran Data Hasil Pengukuran Pencahayaan

a. Intensitas Pencahayaan pada Meja Belajar

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan pada meja belajar dengan

menggunakan alat Luxmeter dengan ketinggian 3,1 meter yang diukur dari

armatur. Dalam satu armatur terdapat dua jenis lampu pijar dan lampu hemat

energi dengan masing-masing daya 8 watt dan 40 watt untuk setiap lampu dengan

14
masa penggunaan enam tahun, maka diperoleh hasil pengukuran intensitas

cahaya lingkungan kerja di ruangan belajar sebagai berikut:

Tabel 4.2.1
Hasil Pengukuran Intensitas Pencahayaan Meja Belajar
di Ruangan Belajar 2018
Data Pengukuran
a) Lampu Pijar
Luas Lux Daya (Watt)
Waktu Arus Cos
Ruang
No Tegangan (Volt)
(menit (m2) Terukur Alami (A) Phi Terpasang Terukur
ke-)

1 0 0,9176 167 45 219,72 0,0887 0,922 8 18,4


2 21 0,9176 170 45 219,22 0,089 0,924 8 18,5
3 23 0,9176 175 45 219,7 0,089 0,923 8 18,4
4 24 0,9176 175 46 219,77 0,089 0,921 8 1,5
5 25 0,9176 174 56 219,72 0,089 0,925 8 18,3
Rata - Rata 0,9176 172,2 47,4 219,24 0,085 0,923 32 18,42

b) Lampu Hemat Energi


Lux Daya (Watt)
Waktu Luas Ruang
Tegangan Arus
No (menit ke- Terukur Alami Cos Phi
(m2) (Volt) (A) Terpasang Terukur
)
1 0 0,9176 476 63 221,08 0,075 0,389 40 6,4
63 40
2 13 0,9176 482 221,15 0,068 0,385 6,6
63 40
3 14 0,9176 483 220,6 0,0687 0,39 6,8
64 40
4 16 0,9176 480 221,56 0,067 0,379 6,7
40
5 18 0,9176 485 73 219,1 0,065 0,381 6,4
Rata - Rata 0,9176 481,2 65,2 219,24 0,69 0,38 200 6,58
3. Gambaran Hasil Pengukuran Pencahayaan Kesesuaian Sarana Penunjang

Gambaran hasil pengamatan tata letak sarana pennjang beraktivitas terkait

pencahayaan di ruang belajar dapat dilihat pada tabel berikut:

15
Tabel 4.2.2
Gambaran Hasil Observasi Tata Letak Sarana Penunjang Beraktivitas
Terkait Pencahayaan di Ruang BelajarPusat Universitas Hasanuddin Tahun
2018
No Hasil Observasi Kategori Kesesuaian
1. Kondisi ruang Tertutup, karena Sesuai
lebih dari 90%
ruangan
menggunakan
pencahayaan
buatan.
2. Jenis permukaan benda-benda Menyerap, karena Sesuai
dalam ruang tidak membuat
silau
3. Warna-warni dinding Terang, berwarna Sesuai
biru

4. Udara dalam ruang (asap rokok tidak ada asap Sesuai


dan sebagainya) dalam ruang
Sumber: Data Primer, 2018

Dari hasil ceklis berdasarkan kesesuaian Suptandar (1999) dalan Azhara

(2014) untuk sarana penunjang perpustakaan, hasil yang didapat adalah semuanya

memenuhi standar yang ada. Kondisi ruangan tertutup, jenis benda dalam ruangan

menyerap cahaya, warna dinding terang dan tidak ada asap dalam ruangan.

B. Pembahasan

1. Keterbatasan penelitian

Pelaksanaan penelitian ini tidak terlepas dari adanya keterbatasan, peneliti

tidak menemukan data sekunder atau penelitian pendahulu yang berkaitan dengan

intensitas pencahayaan di ruangan belajar, sehingga di dalam penulisan ini tidak

ditemukan data primer.

Pengukuran tingkat pencahayaan di ruangan belajar ini hanya pada satu

waktu pengukuran atau tidak secara berulang, sehingga hasil yang diperoleh

16
kurang akurat karena peneliti tidak memperhatikan pengukuran saat pemasangan

lampu.

2. Gambaran tingkat pencahayaan

Seperti halnya penelitian yang dilakukan Rahmi (2010) tentang evaluasi

pencahayaan ruang perpustakaan di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah

Yogyakarta menemukan intensitas pencahayaan rata-rata sebesar 91 lux untuk

pencahayaan sistem alami dan 272 lux untuk pencahayaan yang menggunakan

sistem pencahayaan buatan. Hasil menunjukkan bahwa nilai tersebut tidak sesuai

dengan standar pencahayaan yang direkomendasikan untuk ruangan perpustakaan

yaitu sebesar 300 lux. Berdasarkan standar SNI 16-7062-2004 Pekerjaan kantor

yang berganti-ganti menulis dan membaca, pekerjaan arsip dan seleksi surat

haruslah mempunyai kekuatan anatara 300 lux dan ketentuan standar intensitas

penerangan juga didukung berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 untuk perpustakaan adalah 300

lux.

Respon Subjektif Pengunjung Terkait Pencahayaan

Pengunjung ruang belajar adalah orang yang melakukan aktivitas seperti

membaca, menulis, belajar, dsb. Penilaian respon subjektif pengunjung ruang

belajar yang dinilai hanya berdasarkan tempat mereka belajar. Selain itu ada

faktor kebiasaan karena sudah terbiasa beraktivitas dengan pencahayaan tersebut.

Respon subjektif yang dirasakan oleh informan saat berada diruang belajar

yaitu pencahayaannya yang kurang (redup), penyebaran pencahayaannya yang

17
kurang merata karena ada bagian yang redup dan ada bagian yang terang, ketika

berakktivitas menimbulkan bayangan dan suhu terasa panas.

Menurut Dewi (2010) pekerjaan menulis dan membaca yang dilakukan

pengunjung perpustakaan, haruslah mempunyai kekuatan pencahayaan 300 lux.

Penerangan yang baik memungkinkan pengunjung perpustakaan melihat objek

yang dikerjakannya secara jelas, cepat dan tanpa upaya yang tidak perlu. Lebih

dari itu penerangan yang memadai memberikan kesan pemandangan yang lebih

baik dan keadaan yang menyegarkan. Sebaliknya, jika lingkungan kerja memiliki

penerangan yang buruk dapat berakibat kelelahan mata, dengan berkurangnya

daya dan efesiensi kerja, kelelahan mental, keluhan pegal-pegal didaerah mata,

sakit kepala disekitar mata, kerusakan alat penglihatan dan meningkatnya

kecelakaan.

Peneragan ruangan yang kurang (redup) dapat mengakibatkan kelelahan

mata, akan tetapi penerangan yang terlalu kuat yang disebabkan oleh cahaya

matahari langsung masuk keruangan atau melewati jendela dapat mengakibatkan

kesilauan. Penerangan yang memadai bisa dengan sesuai atau mendekati Nilai

Ambang Batas (300 lux) dapat mencegah astenopia (kelelahan mata) dan

mempertingi efesiensi membaca, sebaliknya penerangan yang kurang (redup)

yaitu pencahayaan yang dibawah Nilai Ambang Batas (<300 lux ) atau melebi

nilai tersebut dampaknya tidak menyebabkan penyakit mata tetapi menimbulkan

kelelahan mata (Soewarno (1992) dalam Azhara (2014).

a. Sarana Penunjang Beraktivitas Terkait Pencahayaan

18
Gambaran sarana penunjang pencahayaan perpustakaan didapatkan dari

hasil observasi berdasarkan SNI. Hasil yang didapat memenuhi standar

pencahayaan yaitu kondisi ruangan tertutup, jenis benda dalam ruangan menyerap

cahaya, warna dinding terang dan tidak ada asap rokok dalam ruangan. Kondisi

ruangan tertutup karena lebih dari 90% ruangan menggunakan pencahayaan

buatan atau pencahayaan yang menggunakan cahaya lampu. Jenis permukaan

benda-benda dalam ruangan menyerap, karena benda-benda didalam ruangan

seperti meja, kursi lemari, dll. tidak membuat silau. Warna dinding terang yanitu

berwarna biru, dan tidak ada asap rokok didalam ruangan. Sehingga dapat ditarik

kesimpulan bahwa semua aspek ini memenuhi standar pencahayaan.

Pencahayaan buatan adalah pencahayaan yang berasal dari sumber cahaya buatan

manusia yang dikenal dengan lampu atau luminer (Dora, 2011).

Kondisi ruangan belajar yang dekat dengan jendela menggunakan

pencahayaan alami. Pencahayaan alami adalah sistem pencahayaan yang

menggunakan sumber cahaya dari matahari pada siang hari. Manfaat pencahayaan

alami dapat memberikan lingkungan visual yang menyenangkan dan nyaman

dengan kualitas cahaya yang mirip dengan kondisi alami diluar bangunan. Selain

itu, pemanfaatan pencahayaan alami digunakan untuk mengurangi penggunaan

listrik (Dora, 2011).

Manfaat lain pencahayaan alami dalam sebuah bangunan dapat mengurangi

penggunaan cahaya buatan, sehingga menghemat konsumsi energi dan

mengurangi tingkat polusi. cahaya berkualitas yang efisien serta meminimalkan

silau dan berlebihnya rasio tingkat terang. Cahaya alami dalam sebuah bangunan

19
juga dapat memberikan suasana yang lebih menyenangkan dan membawa efek

positif lainnya dalam psikologis manusia (Hendra, 2013).

Cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan juga dapat memberikan kesan

hangat, meningkatkan keceriaan dan semangat dalam ruang. Manfaat Sinar

matahari pagi bagi kesehatan tubuh adalah mendukung pertumbuhan dan

perkembangan seseorang. Sinar matahari pagi berfungsi, yaitu mengubah pro-

vitamin D menjadi vitamin D, mengurangi gula darah, mengurangi kolesterol

darah, penawar infeksi dan pembunuh bakteri, meningkatkan kebugaran dan

kualitas pernapasan, meningkatkan kekebalan tubuh dan membantu pembentukan

dan perbaikan tulang (Amin, 2011)

Jenis permukaan benda-benda dalam ruangan perpustakaan menyerap,

karena benda-benda didalam ruangan seperti meja, kursi lemari, dll. tidak

membuat silau. Menurut Setiawan, kualitas pencahayaan terutama ditentukan oleh

ada atau tidaknya kesilauan langsung (direct glare) atau kesilauan karena pantulan

cahaya dari permukaan yang mengkilap (reflected glare) dan bayangan (shadow).

Kesilauan adalah cahaya yang tidak diinginkan (unwanted light) yang dapat

menyebabkan rasa ketidaknyamanan, gangguan (annouyance), kelelahan mata

atau gangguan penglihatan (Meiliana, 2010).

Warna dinding pada ruangan belajar berwarna biru yang memberi kesan

terang pada mata. Warna cat dinding yang terang seperti warna krem, kuning

krimrose dan putih cemerlang, dan biru akan menipu mata hingga berpikir bahwa

area ini lebih cerah dan lapang daripada yang sebenarnya. Warna ini juga akan

membantu memantulkan cahaya alami yang masuk di siang hari. Sedangkan

20
dinding putih yang kusam atau warna yang gelap akan membuat ruang terasa

sempit dan terasa lebih gelap (Rahmi, 2010).

Hasil observasi ruangan belajar tidak menemukan adanya asap rokok dalam

ruangan, sehingga dapat dikatakan bahwa ruangan memenuhi standar dengan

kebersihan udara yang baik. Kebersihan udara berkaitan dengan keberadaan

kontaminasi udara baik kimia maupun mikrobiologi. Sistem ventilasi AC

umumnya dilengkapi dengan saringan udara untuk mengurangi atau

menghilangkan kemungkinan masuknya zat-zat berbahaya kedalam ruangan.

Untuk ruangan pertemuan seperti perpustakaan dimana banyak orang yang

berkumpul dan ada kemungkinan merokok, yang apabila ruangannya hanya

menggunakan pencahayaan buatan maka dapat menimbulkan perkembangbiakan

mikro organisme seperti jamur berkembang lebih cepat karena pada dasarnya

sinar matahari yang mengandung ultra violet dapat membunuh mikro organisme

seperti jamur. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kualitas ruangan adalah

suhu. Suhu yang tidak tepat dapat menyebabkan stres, dan membuat mata tegang.

Standar kenyamanan suhu udara Indonesia berpedoman pada standar Amerika

yang merekomdasikan suhu yang nyaman 22,5OC-26OC atau disederhanakan

menjadi 24OC atau rentang 22OC hingga 26OC (Pane, 2012).

21
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Gambaran pencahayaan di ruangan belajar tidak merata, untuk yang tepat

dibawah cahaya lampu nilai pencahayaannya mencapai nilai 300 lux, tapi titik

yang tidak dibawah lampu hanya kurang dari 100 lux, jauh dibawah standar yaitu

300 lux. Pengukuran pada 3 titik pada meja belajar menunjukkan hasil

pengukuran dibawah standar. Berdasarkan posisi pencahayaan menunjukkan

posisi pengukuran tidak dibawah lampu menunjukkan pencahayaan dibawah

standard an posisi pengukuran dibwah cahaya lampu menunjukkan pencahayaan

yang mendekati standar. sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa masih kurang

meratanyanya penyebaran pencahayaan diruangan tersebut.

B. Saran

1. Bagi pengelolah ruang belajar

a. Diharapkan pihak terkait memperhatikan pencahayaan, sehingga selalu mengecek

kondisi lampu sehingga jika ada yang sudah mulai rusak, seperti berkedip atau

mati dapat segera dilakukan perbaikan karena usia lampu yang sudah berumur

enam tahun.

b. Menyalakan semua lampu agar penyebaran pencahayaannya merata atau tidak

redup

c. Menambah pendingin udara diruangan sehingga pengunjung lebih merasa nyaman

saat melakukan aktivitas didalam ruangan.

2. Bagi peneliti

22
Penelitian selanjutnya dapat meneruskan penelitian ini sampai analisa bivariat

sehingga dapat ditemukan mana faktor yang paling berhubungan. Peneliti

selanjutnya juga dapat meneruskan penelitian ini dengan memasukkan aspek

ergonomis.

23
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Nurhani. 2011. Optimasi Sistem Pencahayaan dengan Memanfaatkan Cahaya

Alami (Studi Kasus Lab. Elektronika dan Mikroprosessor UNTAD). Jurnal Ilmiah

Foristek Vol.1, No. 1, Maret 2011. Palu: UNTAD.

Azhara. 2014. Gambaran Pemenuhan Standar Pencahayaan Perpustakaan Fakultas

Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan. Jakarta : Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah

Darudi & Umi Wardana. 2006. Peranan Perpustakaan dalam pendidikan dalam Buletin

Perpustakaan Nomor: 48/Desember 2006. Yogyakarta: Perpustakaan Universitas

Inslam Indonesia.

Deni. 2010. Analisa Kelelahan Mata Pekerjaan sebelum dan Sesudah Bekerja pada

Intensitas Penerangan dibawah Standar di Ruangan OFFICE PT BUMA

JOBESITE ADARO. (Skripsi). Surakatra: Fakultas Kedokteran. UNS

Dora, Purnama Esa dan Poppy, Firtatwentyna Nilasari. 2011. Pemanfaatan Pencahayaan

Alami pada Rumah Tinggal Tipe Townhouse di Surabaya. Surabaya: Universitas

Kristen Petra.

Hendra.2013. Tingkat pencahayaan pada Perpustakaan di Lingkungan Universitas

Indonesia.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1405/Menkes/Sk/Xi/2002 Tentang

Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran Dan Industri.

Lasa. 2007. Manajemen Perpustakaan Sekolah. Yogyakarta: Pinus.

Meiliana, Winda. 2010. Integrasi Sistem Pencahayaan Alami dan Buatan dalam Galeri.

Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.

24
Mukono HJ.1999. prinsip-prinsip dasar kesehatan lingkungan. Airlangga University

Press.

Office environtment series OE 2/2003. Hongkong

Occupational Safety and Healty Administration, US Dept. of Labor, Washington DC

2003, USA.

Padmanaba, 2006. Pengaruh Pencahayaan Dalam Ruang Terhadap Produktivitas

Mahasiswa Desain Interior. (Online) Http://Www.Petra.Ac.Id/~Puslit/Journals/

Dir.Php?Departementid=Int. Diakses Pada Tanggal 11 Mei 2015.

Pane, Felita Ersalina Samara. 2012. Analisis Pengaruh Suhu Ruangan dan Intensitas

Pencahayaan terhadap Kecepatan Respon Konsentrasi dan Tingkat Stress pada

Siswa Sekolah Dasar. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.

Rahmi, Febrina Aulia. 2010. Evaluasi Pencahayaan Ruang Perpustakaan di Madrasah

Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (Studi Ergonomi). Skripsi. Yogyakarta:

Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fakultas Adab Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga.

Rai, Padmanaba Cok Gd. 2006. Pengaruh Pencahayaan Dalam Ruang Terhadap

Produktivitas Kerja Mahasiswa Desain Interior, Program Studi Desain Interior

Fsrd. Institute Seni Indonesia Denpasar.

25

You might also like