You are on page 1of 35

November 2018

Beberapa Mimpi
yang
Mesti Kamu Alami
Sebelum Menjadi Nabi

Aris Rahman

Kumpulan Cerpen
Editor : Dadang Ari Murtono
1
2
Hubungan Baik
Antara Budaya,Bahasa
dan Kognisi Manusia

S emenjak kematian Nzaat dalam suatu perburuan, Urf-lah yang kemudian dipilih
oleh kelompoknya untuk menjadi pemimpin yang baru. Secara fisik ia memang
telah memenuhi beberapa syarat untuk dijadikan sebagai pemimpin. Badannya besar
dan pergerakannya cukup lincah. Dari beberapa perburuan— jika dibanding dengan
pejantan yang lain—Urf adalah yang paling handal dalam perkara merobohkan binatang
buruan, dengan cara-cara yang nyaris musykil dilakukan oleh pejantan yang lain. Yang
paling mutakhir adalah perburuan yang berlangsung beberapa jam yang lalu. Urf
berhasil menumbangkan binatang sejenis rusa berukuran dua kali besar tubuhnya,
dengan sekali lemparan tombak batu sederhana, dengan jarak antara rusa dan dirinya
kurang lebih sekitar lima puluh dua langkah. Itu adalah tangkapan yang lumayan besar.
Sejauh ini, tangkapan tersebut adalah yang paling besar yang pernah mereka dapatkan.
Semua anggota kelompoknya turut berbahagia atas keberhasilan Urf mendapatkan
buruan tersebut.
Menyambut keberhasilan itu, Ngon (salah satu yang tergolong ahli dalam
membuat alat batu) segera menyiapkan beberapa peralatan yang diperlukan untuk
menguliti si rusa yang kebetulan sedang tertimpa nasib sial dan berniat mengulitinya di
sungai yang berjarak sekitar delapan ratus langkah dari mulut gua. Ngon menguliti si
rusa dengan dibantu oleh dua wanita, Zemb dan Mroh. Sambil menunggu, dua anggota
kelompok yang lainnya mencoba menciptakan api di bagian mulut gua dengan
membenturkan permukaan dua batu hingga muncul percik api, yang kemudian
dilanjutkan dengan menyusun beberapa ranting kering untuk membikin nyala api yang
lebih besar.
Urf sendiri memilih untuk duduk di bagian sayap kiri gua sambil menyandarkan
tubuhnya pada dinding bebatuan. Matanya menerawang tepat pada sebuah celah kecil
di langit-langit, sebuah celah yang dimanfaatkan oleh cahaya untuk menyelinap masuk

3
masuk ke bagian dalam. Ia termenung. Dalam pikirannya, ia melihat ratusan hewan
berlutut di hadapannya sambil menyerahkan diri dengan pasrah untuk digorok. Urf,
dengan perasaan penuh hormat dan kebanggaan, mulai menggorok satu per satu
hewan di depannya. Anggota kelompok yang berada di belakangnya segera menepuk-
nepuk dada masing-masing melihat kejadian tersebut. Membayangkan hal tersebut, Urf
mendadak bangkit dari lamunannya dan segera mencari sebuah alat batu. Ia
menggoreskan batu itu pada dinding yang tadi ia jadikan tempat sandaran, dan mulai
mencoba menorehkan gambar dari hewan-hewan yang muncul dalam bayangannya.
Tak berapa lama, terdengar suara gemuruh yang disertai suara teriakan. Urf gegas
mengambil kapak batunya dan berlari menuju sumber suara, meninggalkan beberapa
gambar hewan di dinding gua yang belum dituntaskannya.
Setelah berlari sekitar delapan ratus langkah, Urf melihat sebuah bongkahan
besi nyungsep dan mengepulkan asap hitam. Urf mendekati bongkahan besi tersebut
sambil melihat betapa kini jasad Ngon dan dua orang wanita remuk ditabrak bongkahan
besi tersebut. Serpihan besi mencelat ke mana-mana. Sementara tanah di sekitar
bongkahan besi nyungsep tersebut dipenuhi oleh cipratan darah. Urf tampak begitu
murka. Ia menghantamkan kapak batunya secara serampangan ke bongkahan besi
yang ada di depannya. Ia mengelilingi bongkahan besi itu sebanyak tiga kali sembari
meracau. Sesaat kemudian, pintu yang menempel pada bongkahan besi itu terbuka,
dan dua astronot keluar dari dalamnya. Asap mengepul. Dua orang astronot berjalan
agak teler dan sesekali batuk-batuk. Mereka melepaskan helm dan pakaian astronot
mereka begitu saja tanpa menyadari bahwa Urf sedang menatap dua orang itu dengan
perasaan heran setengah mati.
“Goblok! Kau harusnya menekan tombol brengsek itu sebelum kita disedot
black hole!”
“Kaupikir aku bakal tahu kalau pesawat kita akan disedot vagina brengsek itu?”
“Itu karena kau laki-laki goblok!”
“Maksudmu apa?”
“Apa kurang jelas? Itu karena kau laki-laki goblok dan lamban! Apa kau tidak
lihat sekarang kita sedang ada di mana? ”

4
“Di halaman belakang rumah Donald Trump?”
“Kita tertimpa musibah begini dan selera humormu masih sama menyedihkan
seperti biasanya.”
“Lalu menurutmu kita lagi di mana?”
“Entahlah, kita bisa berada di Turkana pada masa 100 juta tahun silam, 100 ribu
tahun, 10 ribu tahun, atau kita bisa berada di Liang Bua, di Maros, di Levant, siapa
peduli? Intinya, sekarang kita tersesat dan barangkali akan menjadi bangkai dalam
waktu dekat.”
“Memang apa buruknya?”
“Apa buruknya? Oh, tidak ada yang buruk. Paling para ilmuwan di masa depan
akan sedikit dibikin bingung jika menemukan rangka kita bersanding dengan rangka
warga lokal pada masa ini. Atau paling tidak, kita hanya akan mati menggigil di samping
gua sambil meringis karena kena kusta. Atau .…”
“Oh, Eva, tenanglah, selama ada aku semua akan baik-baik saja.”
“Oh, you're so sweet, Adam. Tapi coba noleh ke belakang, kita kedatangan
tamu. Eh, maksudku, kita didatangi si pemilik rumah. Hei sobat, tenang-tenang, kami
orang baik. Kau tahu, o-rang ba-ik. Orang baik adalah jenis manusia yang berasal dari
surga yang akan memberimu apel gratis jika kau kelaparan. ”
Urf tampak bingung. Ia tak mengerti apa yang diucapkan oleh Eva. Satu-
satunya yang menahan dirinya untuk tidak segera menggorok leher dua orang di
depannya adalah benda bulat warna merah yang dipegang Eva.
“Sobat, kau mau apel ini? Ambillah, ini apel dari surga. Adam yang mencurinya
dari pohon belakang rumah Tuhan. Ah, kau tak tahu Tuhan, ya? Ya, sudahlah, pokoknya
ambil apel ini dan makanlah. Ingat, nama kami Adam dan Eva, A-dam dan E-va! Adam
dan Eva adalah manusia, ma-nu-si-a. Mari kita ber-te-man. Maukah kamu ber-te-man
de-ngan ka-mi?”
“A … vha …. Eh … dam. Mwwa … nusy … aha … per … the … mha.” (*)

(2017)
(dimuat di kibul.in, 12 Juni 2018)

5
6
Riwayat Hidup Sebuah Pistol
di Kawasan Mulholland Drive

S aat Dum masuk ke sebuah kafe sambil menodongkan sebuah pistol, para
pengunjung di sana sebetulnya sedang dalam keadaan santai menikmati suasana
malam Minggu yang syahdu. Di Meja 1 misalnya, kita bisa melihat di sana ada seorang
pria bau tanah, dengan kulit yang kisut dan telah mengendur di beberapa bagian,
sedang duduk dengan seorang gadis seksi berpakaian serba minim yang usianya dapat
kita perkirakan sekitar 21 tahun. Apa yang mungkin dapat kita pikirkan dari deskripsi
semacam itu mengenai hubungan mereka? Tak perlu rasanya diperpanjang bahasan
mengenai hal tersebut, karena kita sekarang bisa melihat Dum telah berjalan menuju
meja kasir sambil terus menodongkan pistol ke setiap orang yang dilihatnya. Seorang
lelaki di Meja 2—yang berperawakan agak besar dengan luka codet di
pelipisnya—berdiri dan sontak membuat Dum agak panik. Dum mengarahkan moncong
pistolnya di hidung si lelaki sambil memegangi gagangnya dengan agak gemetaran.

“Kau sedang apa, Bos? Cepat duduk!”

“Ada ide?”

“Ide apa? Cepet duduk, Anjing!”

“Aku udah selesai makan, dan seperti selayaknya pengunjung yang baik,
setelah selesai makan harus bayar. Atau kamu mau bayarin?”

Dum melangkah lebih dekat, kali ini ia benar-benar telah mengarahkan


moncong pistolnya tepat di dahi si lelaki dan bukan di hidung. Si lelaki, meski menyadari
bahwa nyawanya sedang terancam, tampak sama sekali tak gemetar. Ia dapat
menguasai dirinya dengan baik, dan dalam waktu sepersekian detik, si lelaki
menyambar pistol yang dipegang Dum. Ia kemudian melakukan sebuah gerakan
menekuk pergelangan tangan Dum, dan dengan tenaga yang sangat minimal, ia bisa
membanting Dum hingga terjerembab ke meja. Kini si lelakilah yang menodongkan
pistol ke batok kepala Dum.

7
Lelaki itu bisa kita sebut dengan nama Rak.

Rak meraih badan Dum dan menendang bagian belakang lutut sehingga kini
Dum dalam posisi setengah duduk dengan lutut sebagai penyangga. Dum sedikit
menangis. Asal kalian tahu, ini adalah pengalaman pertama Dum melakukan suatu
perampokan, dan sialnya, ia langsung mendapati situasi yang mengenaskan di
pengalamannya yang pertama ini.

“Kau tadi bilang apa? Anjing?”

Tubuh Dum bergetar hebat. Rasa-rasanya sekarang ia ingin sekali berteriak


sekencang-kencangnya sambil pipis di celana jinsnya sebebas-bebasnya. Tapi dia
menahan rasa kebelet itu sekuat tenaga. Sambil dengan agak merintih, ia memohon
ampun kepada Rak.

Rak adalah seorang lelaki yang memiliki harga diri tinggi. Ia sudah berulang kali
keluar-masuk penjara, dan pada saat ini ia sedang ingin menunjukkan kepada orang-
orang bahwa keberanian yang ada pada dirinya sama sekali tak berkurang sedikit pun.
Rak, tanpa rasa ragu sedikit pun, menembak batok kepala Dum dan membuat lantai
kafe penuh dengan cipratan darah.

Tak cukup sampai di situ, Rak, yang memang sedari tadi sangat terganggu
dengan pemandangan yang dilihatnya di Meja 1, segera melangkah menuju ke meja
tersebut dan lagi-lagi melesatkan sebutir peluru ke kepala seorang pria bau tanah yang
dapat kita panggil dengan nama Hem. Hem seketika menggelepar dengan batok kepala
bolong tertembus peluru. Si wanita menjerit. Rak tak peduli. Ia lekas melangkah keluar
dari kafe dan menaruh selembar uang di atas mejanya.

Dum, berusia 21 tahun, seorang mahasiswa, tewas. Hem, 54 tahun, seorang


pengusaha, tewas.

(2)

Rak menghentikan langkahnya setelah sekitar enam ratus meter berjalan


meninggalkan kafe yang baru didatanginya. Ia kencing sebentar di pelataran sebuah

8
rumah yang dijaga oleh seekor anjing penjaga. Si anjing langsung menyalaki Rak habis-
habisan. Tapi si Rak tampak makin bersemangat untuk menggoda anjing tersebut. Ia
mengarahkan kencingnya tepat di muka si anjing dan itu membuat si anjing naik pitam.
Dengan mengerahkan segenap tenaganya, si anjing bisa melepaskan diri dari tali
kekang—melewati celah pagar yang kebetulan sedikit longgar—dan dengan
ketangkasan yang luar biasa segera menggigit penis Rak. Rak, yang meski adalah
seorang lelaki pemberani tulen dan berkali-kali telah mendekam di penjara karena hobi
mencari masalah dengan orang-orang yang sering dianggapnya biadab, seketika
berteriak sekencang-kencangnya setelah menyadari harta paling berharganya kini
telah raib dari tempat yang seharusnya. Rak berguling-guling di jalanan sambil terus
berteriak kesakitan, dan pistol yang ada di sakunya jatuh ke jalan dan lekas diambil oleh
si anjing dengan cara menggigit gagangnya. Si anjing bisa kita sebut dengan nama
Rem.

Rem membawa pistol itu ke dalam rumah. Rak berguling-guling sambil


berteriak-teriak dan segera memancing masyarakat yang tinggal di sekitar keluar dari
rumah mereka sambil membawa tongkat bisbol.

Sekarang pukul 1 dini hari, dan siapa pun yang mengganggu di jam-jam tidur ini,
mesti diberi pelajaran.

Rak, 24 tahun, menderita luka lebam dan kehilangan harta yang paling penting
dalam hidupnya.

(3)

Rem menaruh pistol itu di dalam keranjang mainan. Ia rebahan di atas sebuah
karpet beludru berwarna merah, tepat di sebelah kasur anak majikannya yang usianya
masih balita. Sekitar beberapa menit setelahnya, si anak balita bangun dan berjalan
menuju keranjang mainan. Si anak balita melihat Rem telah terlelap. Ia berniat
mengerjai Rem dengan salah satu mainannya. Mainan apa ya yang cocok? Kurang
lebih begitu barangkali apa yang tengah dipikirkan oleh si anak balita.

9
Ia lantas memutuskan untuk mengambil tiga benda; mobil-mobilan, robot-
robotan, dan pistol. Si anak balita terdiam sejenak, menimbang-nimbang manakah
mainan yang mesti ia gunakan untuk mengerjai Rem. Tapi dalam beberapa detik
kemudian, ia merasa sudah mantap memilih pistol sebagai pilihan terbaiknya.

Pistol itu terasa agak berat, lebih berat ketimbang yang biasa ia gunakan untuk
bermain. Bahkan, untuk menarik pelatuknya saja, ia mesti menggunakan dua jarinya
dengan susah payah sampai berhasil. Meski terasa berbeda, ia tetap saja sudah terlatih
menggunakannya karena ia sudah memiliki pengalaman cukup banyak untuk bermain
pistol-pistolan dengan pistol mainan yang memang dibuat semirip mungkin dengan
yang asli.

Selanjutnya, seperti yang dapat kita terka, si anak balita mengarahkan


moncong pistol ke badan Rem. Melesatlah sebutir peluru menembus anjing berbadan
ceking dengan bulu-bulu putihnya yang lembut itu. Si anak balita amat terkejut melihat
apa yang baru saja terjadi. Ia bengong lama, dan setelah itu berteriak sambil merengek
dengan suara keras dan membuat papa dan mamanya tergesa-gesa menghampirinya.

“Apa yang terjadi ini?”

“Ya mana tahu. Coba tanya saja sendiri sama anaknya.”

“Kamu gila?”

“Kamu yang gila, Brengsek. Makanya, anak itu diperhatikan dengan baik.”

“Maksudmu apa, Brengsek? Kamu kan ibunya!”

“Brengsek! Kamu pikir aku gak capek kerja dari pagi sampai malam? Kamu
harusnya pengertian sedikit. Lagian yang beli rumah ini aku, yang beli perabotan aku.
Kamu lupa? Kerjaanmu gak cukup untuk biaya hidup kalau aku juga gak kerja.”

Si Suami naik pitam. Ia menyambar pistol yang masih digenggam anaknya dan
menembak Si Istri dan anaknya dengan gelap mata.

Dor. Dor.

10
Si Suami—yang memiliki nama asli Wiw—lalu mengarahkan moncong pistol ke
mulutnya dan dengan perasaan kalut, segera menarik pelatuk. Sayangnya, peluru
sudah habis. Ia gagal membunuh dirinya sendiri.

Di depan jasad anak dan istrinya, ia menangis sekencang-kencangnya.

Meh, seorang balita yang masih polos, meninggal. Tek, 23 tahun, seorang
sekretaris perusahaan, meninggal.

(4)

Tetangga Wiw menelpon polisi setelah mendengar suara tembakan. Saat terjadi
kegaduhan tersebut, si tetangga ini sedang pulas-pulasnya tidur bersama
selingkuhannya, sampai akhirnya suara tembakan membangunkan mereka berdua.
Karena rasa kesal itulah, ia memutuskan langsung menelpon polisi tanpa merasa perlu
mengecek lebih dahulu apa yang terjadi sesungguhnya di sana. Sekitar setengah jam
setelahnya, terdengar suara sirene mobil polisi datang. Tetangga Wiw yang merasa lega
segera melanjutkan kegiatan mencumbu selingkuhannya lagi.

Ternyata hanya ada satu polisi yang datang ke kediaman Wiw. Si polisi—yang
memiliki rambut cepak dan dengan badan yang proporsional—lekas turun dari mobil dan
menerobos masuk ke dalam rumah yang ternyata tidak terkunci. Di pelataran rumah ia
bisa melihat dengan jelas ada bekas darah dan sepotong penis tergeletak begitu saja
seperti sepotong sosis goreng dengan saus tomat.

Ini adalah pertanda yang tidak baik, pikirnya.

Dengan keberanian sebagai seorang penegak keadilan, ia dengan tangkas


masuk ke rumah dan mulai menyiapkan sebuah pistol untuk mengantisipasi hal-hal yang
tak terduga. Ia sadar sedang berhadapan dengan seorang pembunuh sadis sekaligus
psikopat berdarah dingin, dan ia tak boleh melakukan kesalahan ataupun lengah sedetik
pun. Selama di akademi, ia sering dilatih untuk menangani situasi semacam ini, dan ini
adalah pertama kalinya ia berkesempatan untuk mempraktikannya sendiri, dengan
tanpa teriakan atau sumpah serapah dari pelatihnya.

11
Pertama yang harus dilakukan adalah berada dalam kondisi siaga. Ia
mengacungkan pistol dan melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Juga tak lupa
memasang kuda-kuda yang sempurna. Ia mulai membuka pintu dengan tangan kanan
sambil tangan kirinya tetap memegang pistol. Saat pintu telah sedikit terbuka, si polisi
begitu terkejut melihat Wiw yang sedang berdiri di depan pintu sambil menodongkan
pistol ke arahnya. Secara refleks, si polisi melesatkan peluru ke jantung Wiw karena
merasa nyawanya sedang terancam.

Ini tindakan yang tepat batinnya.

Membunuh seorang psikopat akan membuat karirnya naik, dan ini berarti ia
akan berpeluang mendapat kenaikan pangkat. Kekasihnya pasti senang sekali
mendengar kabar semacam ini.

Wiw, 25 tahun, seorang penulis, meninggal dengan segenap kehormatannya


sebagai seorang lelaki yang terenggut.

(5)

“Apa-apaan kamu? Ngapain kamu di sini? Dan siapa lelaki ini?”

“Heh, jawab, Jalang!”

“Memangnya kenapa? Apa urusanmu?”

“Apa urusanku? Aku yang sebentar lagi melamarmu, Bajingan!”

“Hei, hei, sebentar, Kawan. Seorang lelaki sejati tak membentak-bentak wanita.
Apa kau tidak malu dengan seragammu?”

“Bajingan!”

“Kalian berhenti tolong plis! Kalian plis berhentilah … tolong … berhenti .…”

Dor. Dor. Dor.

12

Seorang lelaki masuk ke dalam sebuah rumah. Di sana ia melihat ada tiga
jasad teronggok begitu saja di lantai. Ia tak ambil pusing dengan jasad itu, ia bahkan tak
peduli dengan penyebab mengapa ketiga orang itu mati sedemikian rupa. Si lelaki
hanya berjalan dengan mantap menuju jasad seorang lelaki berseragam polisi dan
mengambil sebuah pistol yang jatuh di dekat tubuh si polisi.

Si lelaki, seperti yang kita tahu, kelak akan membawa pistol itu ke sebuah kafe,
dan kita juga tahu bahwa ia memiliki nama yang agak aneh, yakni Dum. (*) (2017)

(dimuat di Koran Tempo, 1 Juli 2017)

13
14
Semua Burung Terbang
Melawan Gravitasi

Gravitasi 1: Seekor Burung Kecil Belajar Terbang

S ebelum langit benar-benar telah menjadi gelap, kawanan burung bulbul masih
terlihat terbang di atas Sungai Aare. Mereka membentuk semacam formasi
berbentuk huruf V, memecah menjadi dua kelompok, dan menghilang di antara
gumpalan awan—sampai kemudian muncul kembali dengan formasi tiga kelompok.
Seorang bocah laki-laki melihat kawanan burung itu dengan perasaan takjub
dari atas balkon apartemen kecilnya di kawasan Brunngashalde. Setiap hari, ia selalu
membayangkan bagaimana rasanya bila di belakang punggungnya tumbuh sepasang
sayap, bisa terbang bebas meliuk-liuk di antara toko-toko tua di Marktgasse,
menembus gumpalan awan, terbang melewati celah di bawah jembatan di
Kornhausbrücke, hinggap di pohon cemara, atau mencari spot terbaik untuk berfoto di
puncak Pegunungan Alpen. Tetapi, bila kelak di kemudian hari di punggungnya benar-
benar ditumbuhi sepasang sayap, hal yang pertama akan ia lakukan adalah terbang
dan menemui ibunya yang sekarang entah di mana.
Kawanan burung bulbul yang semula terpecah menjadi tiga, bersatu lagi dalam
satu kerumunan, menciptakan semacam lubang hitam yang menghubungkan masa
lalu dengan masa kini dalam kepala si bocah.
Sebuah keluarga kecil tengah menikmati waktu bersama di tepi Sungai Aare.
Mereka duduk di sebuah restoran dan memilih sebuah meja di ruang terbuka yang
menghadap langsung ke arah sungai. Langit kemerah-merahan. Sebuah perahu wisata
kecil melintas, menciptakan guratan gelombang di permukaan sungai. Di atas meja
terhidang rivella, hopf, cheese fondue, dan berner platte. Pertengkaran sedang terjadi
antara sepasang suami-istri itu. Sang suami beberapa kali berbicara keras sambil
menggebrak meja. Sang istri juga sesekali membalas si suami dengan bentakkan dan
sumpah serapah. Mereka berdua adalah pasangan yang mewarisi darah perseteruan

15
antara Jerman dan Prancis pada tahun 1940, perseteruan yang berakhir dengan
jatuhnya Kota Dunkirk dan memaksa pemerintahan Perancis terusir dari Paris.
Kesejukan Kota Bern sama sekali tak dapat meredam ledakan emosi sepasang suami
dan istri tersebut. Sebuah ledakan yang tercipta dari api-api kecil yang dibiarkan
menyala bertahun-tahun lamanya.
Pertengkaran mereka baru berhenti tatkala seorang bocah laki-laki, yang tak
lain merupakan buah hati mereka, nyemplung dalam dinginnya Sungai Aare setelah ia
berusaha mengejar seekor burung bulbul yang terbang rendah. Bocah itu melewati
celah kecil pada pagar pembatas dan meloncat begitu saja. Si suami lalu dengan sigap
meloncat ke dalam dinginnya sungai tanpa melepas pakaian, dan menyelam untuk
menyelamatkan buah hatinya yang tenggelam. Si bocah merasa sesak karena
dadanya kemasukan banyak air. Si suami memacu mobilnya begitu kencang menuju
Inselspital di Freiburgstrasse yang letaknya tak jauh dari Universitas Bern. Di
sepanjang perjalanan, pasangan itu masih sibuk berdebat satu sama lain, saling
menyalahkan satu sama lain; tentang rumah sakit yang terlalu jauh; tentang siapa yang
sesungguhnya lalai; tentang rute mana yang lebih tepat; tentang menerabas lampu
merah; tentang asuransi jiwa yang seharusnya sudah diurus sejak lama; tentang siapa
yang menjadi orang tua yang buruk; tentang kasih sayang di masa lalu … mereka terus
saling menyalahkan satu sama lain. Perdebatan yang bekerja seperti lingkaran tanpa
pangkal. Sesampainya di rumah sakit si bocah mendapat beberapa perawatan dan
berhasil diselamatkan. Sayangnya, tidak dengan pernikahan orang tuanya. Mereka
bercerai dua minggu kemudian. Si mantan istri memutuskan untuk kembali ke kota
kelahirannya di Paris beberapa minggu lagi, meneruskan karirnya sebagai perancang
busana yang terpaksa terhenti setelah menikah, dan untuk sementara ini ia mengungsi
di rumah bibinya di Lucerne. Si mantan suami untuk sementara masih meneruskan
pekerjaannya sebagai pengajar di Universitas Bern sembari merencanakan untuk
kembali ke kota kelahirannya di Dusseldorf. Selama si mantan suami bekerja, si bocah
dititipkan di tempat pengasuhan anak dan akan diambil lagi saat sore hari. Setelah
dijemput, si bocah akan ditinggal di dalam apartemen sendirian, sementara si mantan

16
suami akan kembali sejenak ke universitas untuk menyelesaikan ini dan itu, membeli
makan malam, dan baru kembali ke apartemen saat langit sudah gelap.
Waktu-waktu menunggu itulah yang sering dimanfaatkan si bocah untuk berdiri
di balkon sambil memandangi kawanan burung yang terbang di angkasa. Kawanan
burung bulbul mulai terbang mendekat ke arah si bocah. Si bocah tertawa. Ia merasakan
di punggungnya kini benar-benar telah ditumbuhi sepasang sayap. Jari mungilnya mulai
menunjuk-nunjuk ke arah kawanan burung. Si bocah menyusup ke dalam celah kecil
pagar pembatas di balkonnya, kemudian meloncat begitu saja sambil berusaha
mengepak-ngepakkan sayapnya. Ia ingin pergi bertemu ibunya. Sayangnya, sayapnya
belum tumbuh sempurna. ia terjatuh, tepat di depan sebuah mobil yang baru saja
berhenti. Ayah si bocah baru saja tiba setelah membeli makan malam.
Gravitasi 2: Kawanan Burung Terbang Meninggalkan Sarang
Si ayah menggendong anaknya yang berlumuran darah masuk ke dalam mobil.
Ia tampak begitu terkejut melihat apa yang sedang terjadi. Langit menjadi sedikit gelap,
barangkali sebentar lagi akan turun hujan di kota ini. Di atas langit, burung bulbul masih
terlihat terbang di langit kota, bahkan, jumlahnya bertambah dua kali lipat ketimbang
sebelumnya. Mereka berputar-putar dan terbang melingkar. Si ayah menutup jendela
mobil, menyalakan mesin, dan memacu mobilnya secepat mungkin menuju Inselspital.
Si ayah membalut tubuh si anak dengan handuk kecil dan mendudukannya
tepat di sebelahnya. Kawanan burung bulbul terbang merendah dan bergerak mengikuti
pergerakan mobil yang dikemudikan si ayah. Si ayah melihat kawanan burung itu dari
spion mobil dan mengumpat. Ia pernah punya pengalaman brengsek perihal
sekawanan burung.
Hari wisuda telah tiba. Sekitar seratusan mahasiswa dan mahasiswi sudah
berkumpul di depan lapangan Universitas Bern untuk menerima ijazah dan mendapat
pengukuhan. Satu per satu mahasiswa dan mahasiswi dipanggil. Si ayah, yang saat itu
masih berusia dua puluh dua tahun, ikut berbaris bersama ratusan mahasiswa dan
mahasiswi yang lain. Ia berdiri di baris keempat. Langit yang sedang cerah sedikit
terganggu oleh kemunculan belasan burung merpati secara tiba-tiba. Entah darimana

17
sesungguhnya mereka berasal, dan entah mengapa mereka terbang berputar-putar
tepat di tempat acara wisuda. Tapi apa pun alasannya, gara-gara kawanan burung itu,
seseorang mesti menanggung aib seumur hidup. Kawanan burung itu menjatuhkan
beberapa tai dan mengenai hanya seorang pemuda saja. Melihat kejadian itu semua
orang yang melihat kejadian tersebut tak kuasa menahan tawa. Acara wisuda harus
tetap berlangsung. Si pemuda itu naik ke atas panggung dan menjadi bahan tertawaan
semua orang, bahkan sampai bertahun-tahun setelahnya. Ia diberi julukan sebagai si
bocah tai merpati. Semenjak saat itu si pemuda menyatakan perang terbuka terhadap
segala jenis burung yang ada di muka bumi.
Mengingat kejadian itu, si ayah secara refleks menggebrak klakson mobil dan
membuat seorang pejalan kaki yang akan menyeberang meloncat dan
menggelindingkan tubuhnya kembali ke belakang karena mengira ia akan tertabrak. Si
ayah meraih ponselnya dan mencoba menghubungi si mantan istri.
Telepon tersambung.
“Apa kau masih di Lucerne?”
“Ya, kenapa?”
“Jurg jatuh dari balkon. Cepatlah ke Inselspital.”
“Kau memang lelaki dungu, Klein!”
Telepon terputus.
Hujan turun. Si ayah memacu mobilnya semakin kencang dalam kondisi aspal
yang licin. Kawanan burung tiba-tiba melintas di depan mobil yang dikendarai si ayah.
Mobil itu menabrak beberapa burung, hilang keseimbangan, dan terperosok ke semak-
semak setelah menghantam pembatas jalan di daerah Parkstrasse.
Gravitasi 3: Kawanan Burung Terbang dan Menghilang
Hujan makin lebat. Seorang wanita nekat meninggalkan kediamannya yang
hangat menuju sebuah rumah sakit di kawasan Bern. Ia berkendara dengan mobil dari
kota Lucerne, dan kini tinggal seperempat jalan lagi ia akan sampai di rumah sakit yang
dimaksud. Ia sekarang sudah sampai di Parkstrasse. Dari dalam mobil, ia melihat
kawanan burung yang ada di kejauhan. Burung itu mengingatkannya dengan suatu

18
kejadian di masa lalu.
Dalam sebuah siang yang tenang di Gereja Jesuit di Lucerne—sebuah gereja
dengan arsitektur bergaya barok—seorang wanita merasa terganggu oleh kelakuan
seorang lelaki yang ada di depannya. Lelaki itu melepas sepatu dan berusaha
mengepruk seekor burung gereja yang berseliweran di altar. Saat itu, hanya ada si
wanita dan si lelaki dalam gereja. Si wanita menghampiri si lelaki, merebut sepatu yang
ia pegang, dan menghantamkannya ke pipi kiri si lelaki.
“Apa kau seorang atheis, Brengsek?”
Si lelaki tidak menjawab. Si lelaki tampak tidak marah dengan apa yang baru
saja dilakukan si wanita. Sebaliknya, si lelaki justru mengajak si wanita untuk berjalan-
jalan di luar sambil mengobrol. Si wanita mengiyakan. Mereka berkeliling di sekitaran
Danau Lucerne sambil bercerita tentang banyak hal; tentang wisuda yang berantakan
gara-gara tai burung; tentang rasa kecewa karena ditinggalkan seorang kekasih.
Setelah percakapan itu, hubungan mereka semakin dekat, dan berlanjut menjadi
sebuah pernikahan beberapa minggu setelahnya.
Di Stadbachstrasse, si wanita memelankan laju mobilnya karena melihat
seorang lelaki dengan kepala bocor di sisi jalan. Lelaki itu berjalan terseok-seok sembari
menggendong sesuatu yang berlumuran darah. Si wanita mendekati lelaki itu dan
menawarkan tumpangan. Si wanita menitikkan air mata. Si wanita mendaratkan sebuah
ciuman di bibir si lelaki, lalu menginjak pedal gas begitu kencang. Sampai kemudian
sebuah truk .…
Kawanan burung yang semula terlihat di langit, tiba-tiba lenyap, entah terbang
ke mana. (*)

(2017)
(dimuat di detik.com, 4 Agustus 2018)

19
20
Beberapa Mimpi
yang Harus Kamu Alami
Sebelum Menjadi Nabi

T epat setelah lima detik Kruk terbangun dalam keadaan mengompol, ia segera
berteriak voila! begitu keras sampai-sampai istrinya terbangun, dan kucing
tetangga—yang sebetulnya sedang bertarung sengit dengan seekor kucing kampung
dalam rangka memperebutkan seekor betina—segera balik lari ke dalam kandangnya.
Si istri yang memiliki nama Brem, merapikan rambutnya yang serba berantakan
bekas sisa 'pertempuran' di ranjang. 'Pertempuran' antara Kruk dan Brem berlangsung
sangat sengit dan menghabiskan waktu kurang lebih sekitar tiga puluh menit, sampai
cairan putih lengket keluar menyembur dari 'selang air' Kruk dan menempel di sekitar
'bibir panci' milik Brem. Hal ini secara otomatis membikin pertempuran berhenti, dengan
sisa-sisa kekecewaan yang tampak dari raut wajah Brem.
“Kok udah keluar sih?”
“Kamu mainnya grusa-grusu.”
“Halah, perkututmu aja yang udah loyo!”
Dua pasangan suami-istri itu kemudian mengakhiri malam dengan tidur saling
memunggungi satu sama lain. Dan Brem, yang merasa belum puas, melanjutkan
pertempuran dengan lawan tanding baru, yakni dengan tangannya sendiri. Ia
menempelkan jari telunjuk dan jari tengahnya, menekuk jari kelingking dan jari
manisnya, dan merenggangkan ibu jari—persis meniru bentuk sebuah pistol. Si pistol
dengan brutal memuntahkan tembakan ke arah lubang ular dengan jarak antara
tembakan yang begitu rapat dan cepat. Satu tembakan, dua tembakan, tiga tembakan,
empat … tembakan yang satu ini tidak menghasilkan jerit tangis kesakitan apalagi
tangisan kesedihan, yang ada hanyalah desahan penuh rasa puas dan kebahagiaan.
Pertempuran antara tangan dan lubang panci berjalan lebih sengit ketimbang
pertempuran sebelumnya. Sampai beberapa menit kemudian, ia mencapai klimaks,
lemas, dan tertidur dengan sendirinya. Sementara Kruk telah lebih dulu tidur

21
sebelumnya.
Dan seperti yang sudah kita tahu, Kruk kemudian bangun dalam keadaan
mengompol sambil berteriak voila!, dan si istri yang kaget dengan teriakan ganjil tersebut
jadi terbangun sambil merapikan rambutnya dan seekor kucing batal bertempur dan
memilih balik ke kandangnya lagi.
“Aku akan jadi nabi … aku akan jadi nabi … aku akan jadi nabi!” ucap Kruk
kepada istrinya sebanyak tiga kali, dengan intonasi dan nada yang persis seperti yang
biasa diucapkan oleh seorang pemuka agama ketika menyebut kata 'ibumu'.
Brem awalnya tak terlalu mempedulikan apa yang dikatakan suaminya itu. Brem
memilih untuk berdiri, berjalan menuju kaca, sembari merapikan rambutnya sekali lagi.
Setelah itu ia mengambil sebotol soda yang sudah sedari sebelumnya sengaja ia taruh di
atas meja. Ia meminumnya. Kini ia merasakan gelembung-gelembung soda mulai
meletup-letup di lidahnya. Brem suka dengan sensasi letupan yang baru saja
dirasakannya.
Kruk menghampiri Brem. Dia merebut botol berisi soda yang sedang
digenggam Brem, dan meminum habis sisanya. Kruk mengulangi perkataannya lagi
dengan sedikit variasi bunyi aneh yang muncul sebagai dampak meminum air soda.
“Aku akan jadi na … bhaaak ….”
“Hei, sadar gak kalau celanamu bau pesing?”
“Semalam Tuhan mendatangiku dalam mimpi dan menyuruhku menjadi
seorang nabi.”
“Lalu mengapa kamu terkencing-kencing kayak begitu?”
“Aku menempuh ujian yang sungguh berat sebelum Tuhan memberiku wahyu
semacam itu.”
“Oh, sungguh?”
“Sungguh!”
Kruk mengajak Brem duduk kembali di ranjang.
“Aku telah berhasil menghancurkan tiga berhala dalam kronologi cerita mimpi
yang berbeda.”

22
“Jadi, setelah menghancurkan tiga berhala itu, Tuhan menyuruhmu jadi nabi?”
“Ya, setelah itu Tuhan menyuruhku jadi nabi. Aku akan menceritakan padamu
rincian mimpinya.”
Matinya Berhala Pertama: Tentang Totemisme dalam Kisah Seekor Simpanse
Berekor Sembilan
Pesawat tempur yang sebenarnya memiliki tujuan dari Kota J menuju Kota R
terpaksa mengurungkan niatnya setelah sayap kanan dan kirinya membentur dua
batang pohon besar dikarenakan terbang terlalu rendah saat melintas di sebuah hutan.
Hal ini sama sekali bukanlah kesalahan dari pilot sebenarnya, akan tetapi, barangkali
nasib sial memang sedang ingin mampir ke pesawat yang membawa dua puluh tiga
orang tentara tersebut, yang salah satu penumpangnya adalah seorang lelaki bernama
Kruk.
Si pilot telah mengambil keputusan yang cukup penting, yakni menghindari
Simpanse Berekor Sembilan yang melayang semau-maunya dan nyaris menabrak kaca
pesawat bagian depan. Si pilot merendahkan ketinggian terbangnya dan dua sayap
pesawatnya menghantam pohon. Entah hal apa yang mendasari si pilot untuk memilih
untuk mempertaruhkan kesuksesan karirnya dan memilih menabrakkan pesawat ke
pohon demi menghindari Simpanse Berekor Sembilan yang melayang semau-maunya
itu. Tapi, di masa depan, kita akan mengetahui bahwa akan ada seorang dukun yang
berbicara dalam sebuah tayangan televisi, dan mengatakan bahwa Simpanse Berekor
Sembilan adalah salah satu dari enam makhluk yang bertugas menjaga keseimbangan
dunia. Menabraknya, selain hanya akan membikin dunia berat sebelah dan
mempercepat datangnya kiamat, juga hanya akan membikin seisi penumpang dalam
pesawat tersebut hangus dan gosong seperti potongan sosis ayam yang jatuh ke dalam
bara api. Si dukun mengatakan bahwa hal tersebut telah termaktub dalam kitab tua
berjudul Aku dan Seekor Simpanse Berekor Sembilan Melawan Paman Jenkins, dan ia
dengan mantap berkata, bahwa barangsiapa berbuat aneh-aneh dengan simpanse
tersebut, maka ia akan mendapat sebuah siksa yang pedih dan perih.
Tapi dukun itu adalah masa depan.

23
Ada baiknya kita kembali lagi di masa sekarang, karena sebaik-baiknya hidup
adalah hidup di masa sekarang.
Pesawat tersebut telah menabrak dua batang pohon yang tinggi dan besar.
Kedua sayapnya kini patah dan itu membikin pesawat limbung seperti orang mabuk.
Beberapa tentara, termasuk Kruk, memutuskan untuk terjun lebih dahulu sebelum
pesawat tersebut purna menjadi sekadar rongsokan besi di atas tanah. Kruk dan
beberapa orang lainnya meloncat dari atas pesawat sembari mencoba membuka
parasut yang menempel di tas punggung mereka. Nahasnya, parasut milik dua puluh
dua orang tentara macet dan gagal terbuka, dan satu-satunya parasut yang berfungsi
dengan baik hanyalah milik Kruk. Dengan begitu, saat pesawat tersebut nyungsep dan
kemudian meledug dan membikin mampus para penumpang dan awak pesawat
lainnya, Kruk adalah satu-satunya manusia bejo yang selamat.
Oh, betapa beruntungnya Kruk.
Dengan langkah sempoyongan, Kruk terus berjalan mencoba mencari jalan
keluar dari hutan. Satu-satunya benda yang sedang ia bawa saat ini hanyalah sebuah
senapan yang memiliki panjang satu lengan orang dewasa, dengan pegangan yang
dilapisi kulit dengan warna cokelat lumpur. Ia siap siaga atas segala kemungkinan yang
bakal terjadi. Senapan yang ia bawa selalu dalam keadaan terkokang dan siap meletus
sewaktu-waktu untuk berjaga-jaga apabila ada serangan secara tiba-tiba, entah dari
jenis hewan buas atau jenis manusia primitif.
Dan betapa beruntungnya lagi, di tengah perjalanan, tiba-tiba si Simpanse
Berekor Sembilan meloncat dari batang pohon, dan mendarat tepat di depan Kruk. Kruk
mengarahkan moncong senapannya ke arah si monyet.
“Kamu pikir sebuah pistol dapat melukaiku?” kata Simpanse Berekor Sembilan.
Kruk tanpa ragu kemudian melesatkan sebutir peluru ke tempurung kepala si
simpanse. Simpanse itu terjengkang, dengan kepala tertembus peluru, dan mati.
“Mestinya kau tahu jelas perbedaan antara sebuah senapan dan pistol, Monyet
goblok!”
Sementara itu, di sebuah studio televisi, seorang dukun baru saja memulai

24
pembicaraan soal seekor simpanse dan beberapa omong kosong lainnya.
Matinya Berhala Kedua: Tentang Tabu, Tentang Seorang Dukun, Tentang Sebuah
Acara Tengah Malam di Salah Satu Stasiun Televisi
“Jadi makhluk apa sesungguhnya simpanse itu?”
“Jadi begini, kita bisa melacak kemunculannya yang pertama kali dari buku Aku
dan Seekor Simpanse Berekor Sembilan Melawan Paman Jenkins karya seorang pelaut
asal Pertugos bernama Marsupilami. Ia bersama seluruh awak kapalnya telah berlayar
mengitari seluruh penjuru Bumi semenjak tahun 1821 sampai 1825. Selama
penjelajahannya yang memakan waktu tidak sebentar itu, ia mencatat setiap
pengalaman yang ia temui. Di masa kini, beberapa peneliti sejarah telah berusaha mati-
matian mengumpulkan catatan yang saling terpencar satu sama lain di berbagai
belahan Bumi itu. Beberapa catatan yang berhasil ditemukan kemudian dibukukan dan
dibahas secara luas. Beberapa di antaranya adalah kisah mengenai pertemuannya
dengan kelompok bajak laut misterius Topi Jerami yang menguasai perairan Eropa;
perjumpaan tak terduga dengan makhluk mitis berupa seekor paus yang dikelilingi
gelembung cahaya; atau kisah yang paling terkenal adalah kisah pertarungan antara
Marsupilami dengan Paman Jenkins—raja paling bengis dan biadab yang berkuasa di
Kepulauan Andaman. Pertarungan tersebut terjadi karena Marsupilami— yang
kebetulan sedang singgah di Kepulauan Andaman—merasa iba terhadap ketertindasan
yang dialami masyarakat di sana yang merupakan akibat dari kebengisan yang
dilakukan Paman Jenkins. Di sana, tanpa sengaja, Marsupilami bertemu dengan seekor
makhluk mitis, yaitu Simpanse Berekor Sembilan, tepat saat ia menyusuri hutan
terlarang Alazon. Simpanse tersebut adalah makhluk penjaga hutan tersebut, dan asal
tahu saja, hutan Alazon adalah satu-satunya tempat yang tak terjamah kebengisan
Paman Jenkins. Banyak orang yang kemudian merasa dirinya sedang terancam, kabur
ke hutan tersebut untuk berlindung dari kejaran pasukan pembunuh Paman Jenkins
yang terkenal dengan julukan 'Sekompi Kacang Panjang'. Tapi, alih-alih mendapat
perlindungan, beberapa pelarian tersebut justru mendapat sebuah kematian yang
konyol, semisal dehidrasi karena menderita diare selama empat minggu—setelah salah

25
mengira sebuah tanaman parasit sebagai jamur kuping, dan beberapa lainnya mati
diterkam hewan yang sedang mencari jatah makan siang atau makan malam.”
“Lalu, bagaimana kemudian Marsupilami bisa selamat dari hutan tersebut,
bahkan kemudian berhasil menemui si penjaga hutan—si simpanse berekor sembilan?”
“Ceritanya begini .…”
“Tolong ditahan sebentar. Kita akan kembali lagi setelah beberapa iklan yang
mau lewat berikut ini.”
Saat televisi memutar berbagai macam iklan, mulai dari kondom, rokok, obat
masuk angin, iklan sebuah partai yang rutin diputar setiap sejam tiap harinya dan bla bla
bla, Kruk tiba-tiba keluar dari selembar foto yang ada dalam buku yang memuat catatan
perjalanan milik Marsupilami. Buku itu kebetulan sedang dibawa oleh si dukun. Kruk
memaksa keluar dari foto tersebut sembari berusaha mengalahkan hukum ruang dan
waktu yang berlaku. Setelah berhasil keluar, Kruk melesatkan sebutir peluru ke batok
kepala si dukun.
“Mestinya kau tahu jelas perbedaan antara sebuah kapal dan kapal terbang,
Dukun goblok!”
Hal yang baru saja terjadi tidak begitu mengejutkan para awak televisi dan
pembawa acara yang sedang bertugas. Mereka sudah mengira hal semacam ini akan
terjadi, dan justru hal semacam inilah yang mereka harapkan terjadi, sebab akan sangat
berguna bagi upaya untuk meningkatkan popularitas acara. Si pembawa acara
memutuskan untuk sedikit berimprovisasi setelahnya dengan menjadikan Kruk sebagai
pembicara selanjutnya.
Matinya Berhala Ketiga: Dan Sesuatu yang Sakral dan Sebuah Fakta Bahwa
Stasiun Televisi adalah Axis Mundi Masa Kini
“Baiklah para penonton sekalian, mohon maaf karena ada beberapa kendala
teknis yang menyebabkan adanya sedikit perubahan program acara. Kini, kita sudah
kedatangan bintang tamu baru; seorang yang menjadi saksi sejarah, dan telah bertemu
langsung dengan Simpanse Berekor Sembilan. Mari kita beri tepukan yang gemuruh
untuk Kolonel Kruk alias Marsupilami.”

26
Tak ada tepukan. Sepi. Sepi. Semua penonton tiba-tiba ketawa. Pembawa
acara ketawa. Kamera bergoyang-goyang. Di samping Kruk tergeletak si dukun yang
kepalanya bolong diterjang peluru. Penuh darah. Sofa penuh darah. Baju Kruk penuh
darah. Pembawa acara ketawa. Kamera bergoyang-goyang. Kepala Kruk pusing.
Penonton mendekat, naik ke atas panggung. Penonton ketawa makin keras. Pembawa
acara mendekat. Pembawa acara ketawa. Kamera bergoyang-goyang. Kepala Kruk
makin pusing. Kruk mengumpat “Brengsek!”. Penonton memegang noda darah di baju
Kruk. Mereka ketawa. Pembawa acara memegang noda darah di baju Kruk. Ia ketawa.
Kruk teriak. “Bedebah!”. Kamera goyang-goyang. Kamera goyang-goyang. Kepala Kruk
makin pusing, pusing sekali. Kruk mengambil senapannya dan mulai
memberondongkan semua peluru yang tersisa kepada para penonton, pembawa acara,
dan kameramen. Semua rubuh satu per satu. Semua sudah mati. Semua sudah mati.
Kruk sendiri. Sepi. Sepi. Kruk menangis. Kruk tak bisa menangis. Kruk menangis. Kruk
tak bisa menangis. Dari dalam kepala orang-orang yang sudah bolong, keluar ulat kecil-
kecil. Menggeliat. Menggeliat. Menggeliat. Kamera goyang-goyang. Kepala Kruk makin
pening dan pusing.
“Tidak!”
Seorang wanita muncul pada sebuah layar kecil di depan panggung. Wanita
tersebut berjalan di sebuah jembatan kayu, perlahan, perlahan, perlahan. Seorang lelaki
berjalan dari arah yang berlawanan, lamban, lamban, lamban. Jembatan kayu itu rubuh
dan dua orang tersebut hanyut ke sungai dengan arus yang begitu deras, begitu deras,
begitu deras. Semua mendadak senyap di kepala Kruk. Semua mendadak hening di
kepala Kruk. Semua mendadak sunyi di kepala Kruk. Kruk menangis. Kruk tidak bisa
menangis. Kruk menangis. Kruk tidak bisa menangis. Kruk akhirnya bisa menangis,
matanya keluar air, warna merah, darah, darah, darah, bola matanya copot dua-duanya.
Kruk tak bisa melihat apa-apa, tapi ia mendengar sebuah bisikan yang begitu lembut di
telinganya.
“Kau adalah yang terpilih. Telah direnggut penglihatanmu supaya engkau tak
gampang ditipu oleh matamu. Kau adalah yang terpilih.”

27
Layar di depan panggung menyala lagi. Tapi Kruk tak dapat melihatnya. Dalam
layar tersebut muncul gambar seorang wanita yang serupa seperti yang sebelumnya
keluar pada layar. Tapi Kruk tak dapat melihatnya. Wanita itu duduk di meja persidangan.
Ia menangis. Ia menangis. Ia memegang surat perceraian. Ia menangis. Tapi Kruk tak
dapat melihatnya.
Seorang hakim mengetuk palu.
Si lelaki dalam layar jadi gila. Ia mengira dia adalah titisan nabi. Ia mencongkel
matanya sebab mengira Tuhan menyuruhnya berbuat begitu. Tapi Kruk tak dapat
melihatnya.
Ya, sayang sekali Kruk tak dapat melihatnya sehingga tak dapat menceritakan bagian
yang ini kepada istrinya saat ia bangun. (*)

(2017)
(dimuat di Nyonthong.com, 19 April 2018)

28
Catatan-Catatan
Mengenai Pasien No.35

S eorang lelaki terbangun dari kasurnya dan merasakan pening yang luar biasa
menjalar di kepalanya. Ini menjadi sebuah hal yang tak biasa karena di antara
banyak jenis lelaki, ia adalah yang termasuk senantiasa terbebas dari asap rokok dan
tak sedikitpun seinci lambungnya dicemari oleh minuman alkohol jenis apa pun.
Memang rasa pening bisa diakibatkan oleh banyak hal, tak melulu soal rokok dan
alkohol, dan memang belum tentu juga keduanya adalah sumber rasa pening yang
dirasakan oleh setiap lelaki di seluruh penjuru Bumi. Tapi hal yang kemudian patut
dicermati dari lelaki ini adalah ia merupakan seorang dosen muda yang mengajar di
sebuah universitas yang memiliki reputasi baik di tingkat nasional. Dan sebagai dosen
muda, ia adalah yang termasuk memiliki ketelitian dalam urusan apa pun, termasuk
menjaga kebersihan kuku, mengisi daftar absensi, menempeleng kepala mahasiswa
yang tidak mengerjakan tugas dan menjaga kesehatan kulit kepala. Maka urusan kepala
pening ini menjadi suatu hal yang bisa dianggap tak biasa, setidaknya bagi dirinya. Si
lelaki kini memegangi kepalanya sambil menekan-nekan dahi dengan ujung jari telunjuk.
Setelah itu, ia mengangkat telunjuknya dan mulai menekan-nekan bagian samping
kepalanya.
Rasa pening itu sama sekali tak menghilang dan tak sedikitpun berkurang.
Barangkali, kita semua, umat manusia yang diberkahi sebuah akal pikiran yang
ciamik, juga memahami bahwa tindakan semacam itu adalah tindakan irasional yang
sesungguhnya lebih dekat kepada perbuatan sia-sia. Tindakan semacam itu tak lebih
merupakan refleks alam bawah sadar. Semacam efek plasebo atau apalah itu.
Menyadari hal itu, si lelaki lekas berdiri dan berjalan menuju dispenser yang ada
di dapur. Ia mengambil gelas yang tergeletak di ujung meja dan mulai menekan tombol
berwarna biru pada dispensernya dengan menempelkan permukaan gelas dengan
tombol, hingga air perlahan-lahan mengisi gelas yang semula hanya berisi udara. Ia

29
meminum air yang ada dalam gelas tersebut dan meminumnya.
Rasa haus mungkin menghilang, tapi tidak dengan rasa peningnya.
Ini hari yang sungguh brengsek, umpat si lelaki.
Air dalam gelas yang ia pegang masih tersisa sedikit dan si lelaki itu lekas
meminum sisanya. Beberapa saat setelahnya, ia merasa lehernya seperti sedang
dicekik oleh seseorang atau sesuatu. Ia jadi kesulitan bernapas dan itu semua
mengakibatkan keseimbangannya goyah. Lelaki itu pun jatuh terjengkang lalu
berguling-guling sambil memegangi leher dan meringis menahan rasa sakit yang amat
sangat. Kejadian semacam itu berlangsung selama empat puluh lima detik dan segera
berakhir setelah si lelaki berhasil memuntahkan sesuatu dalam kerongkongannya, yakni
janin yang masih berlumuran darah.
Janin itu menggelinding, berputar, dan berhenti setelah terbentur tembok, Si
lelaki masih tergeletak dengan napas tersengal-sengal. Lelaki itu tampak ketakutan
melihat janin yang keluar dari kerongkongannya.
Bagaimana bisa?
Ia lekas menyadari sesuatu, dan dengan perasaan yang sedikit panik, ia mulai
menginjak-injak janin yang ada di depannya.
Pergi kau dari sini! Pergi!
Janin tersebut kemudian pecah menjadi ribuan belatung. Ribuan belatung itu
menggeliat merambat di kakinya, badannya, tangannya, hingga kepalanya, dan tak
berapa lama belatung-belatung itu lekas menelan si lelaki menjadi ketiadaan.

(Catatan #2)
Seorang lelaki terbangun dari kasur dan merasakan pening yang luar biasa
menjalar di kepalanya. Napasnya tersengal-sengal. Sementara itu, keringat mengucur
deras dari dahinya, seolah-olah ia baru saja lari-lari atau semacamnya. Tapi kita sama-
sama tahu bahwa dia baru saja bangun dari kasurnya dengan mengenakan piyama dan
faktanya, hanya ada segelintir orang dungu di muka Bumi ini yang memilih untuk lari-
lari dengan mengenakan piyama, dan si lelaki bukanlah termasuk dari segelintir orang

30
dungu itu.
Semua tampak seperti nyata .…
Ia memikirkan lagi tentang hal-hal yang baru saja dialaminya dan itu membikin
tubuhnya gemetar hebat—seperti baru saja mendapat serangan gelombang kejut
dengan voltase tinggi. Tapi ada satu detil ganjil yang saat ini terasa menganggu. Tepat di
sebelah si lelaki, kini, ada seseorang yang mirip dirinya sedang tertidur pulas. Mirip
barangkali bukan kata-kata yang tepat, karena jika dilihat secara lebih seksama baik dari
ukuran pergelangan tangan, warna kulit, model alis, bentuk telinga, bibir, panjang
rambut dan beberapa bagian lain yang jika disebut akan memakan waktu yang cukup
lama, segalanya terasa identik dan sama persis. Barangkali semacam kembaran, tiruan,
gandaan atau apalah itu. Maka untuk membedakan, kita kemudian dapat menyebut
lelaki yang asli sebagai Lelaki A dan lelaki yang palsu sebagai Lelaki B.
“Siapa kau?” gertak Lelaki A sambil menepuk-nepuk bahu Lelaki B.
Tetapi Lelaki B masih tetap tidak bergerak. Satu-satunya perubahan yang terjadi
saat Lelaki A menepuk bahu Lelaki B adalah si Lelaki B—yang semula tidur dengan
posisi miring ke kanan dengan tangan kanan menyangga kepala dan tangan kiri
menutupi perut—berubah rebahan menghadap ke langit-langit dengan tangan
mengambil sikap bersedekap. Sebuah kabut gelap tiba-tiba muncul, dan laki-laki
tersebut menghilang … dan kemudian muncul lagi tepat di belakang si Lelaki A.
Darah. Sperma. Genetika. Antikristus. Pistol. Tengadahlah .…
“Aku tak pernah membunuh siapa pun, Brengsek!”
Si Lelaki B meraih leher Lelaki A dan mencekiknya.
Buram.
“Mengapa kau mencintaiku?”
“Menurutmu?”
”Karena aku punya payudara besar?”
“Kau pikir aku orang bejat?”
“Tidak, kupikir kau laki-laki.”
“Jadi menurutmu, semua laki-laki menyukai payudara perempuan yang

31
besar?”
“Jadi menurutmu, tidak semua laki-laki menyukai payudara perempuan yang
besar?”
Si lelaki merasa lehernya baru saja terlepas dari tempat yang semestinya.
Gelap.
(Catatan #3)
Seorang lelaki terbangun dari mejanya dan merasakan pening yang luar biasa
menjalar di kepalanya. Napasnya tersengal-sengal. Sementara itu, keringat mengucur
deras dari dahinya, seolah-olah ia baru saja lari-lari atau semacamnya. Tapi kita sama-
sama tahu bahwa dia baru saja bangun dari mejanya dengan mengenakan setelan
kemeja rapi, dan faktanya, hanya ada segelintir orang dungu di muka Bumi ini yang
memilih untuk lari-lari dengan mengenakan setelan jas rapi, dan si lelaki bukanlah
termasuk dari segelintir orang dungu itu.
Semua tampak seperti nyata .…
Kini si lelaki sedang berada di depan kelas, di hadapan sekitar lima puluh sekian
mahasiswa yang sedang duduk dengan setengah malas menyimak dirinya berbual-bual
mengenai seksualitas. Si lelaki melirik ke arah papan yang ada di belakangnya dan
melihat beberapa tulisan;
Seks adalah suatu mekanisme kita sebagai manusia untuk terus
mempertahankan eksistensi dan menghindar dari ancaman kepunahan. Seks adalah
… seks adalah … seks adalah .…
Seperti kita tahu, reproduksi adalah salah satu mekanisme umat manusia untuk
mempertahankan dirinya dari kepunahan. Meski pada akhirnya ia juga
mengembangkan hal lain dalam rangka untuk terus bertahan hidup, yakni akal. Tapi
tetap saja reproduksi dan seks adalah sebuah hal yang pokok. Seks adalah … seks
adalah … seks adalah .…
Seorang mahasiswi mengangkat tangannya. Si lelaki menoleh. Wajah yang
familiar. Itu adalah ibunya
“Mengapa kau meninggalkannya?”

32
“Tidak, Bu. Aku tidak melakukan hal itu.”
“Mengapa kau meninggalkannya?”
“Tidak, Bu. Aku tidak melakukan hal itu.”
“Mengapa—“
“Tidak! Tidak! Tolong hentikan semua ini!”
Si ibu berdiri, mengambil sebuah pistol di sakunya dan melesatkan sebutir
peluru tepat di daerah kemaluan si lelaki.
(Catatan #4)
“Ibuuu … ibuuu … ibuuu!”
Seorang lelaki terbangun dari sebuah sofa dan merasakan pening yang luar
biasa menjalar di kepalanya. Napasnya tersengal-sengal. Sementara itu keringat
mengucur deras dari dahinya, seolah-olah ia baru saja lari-lari atau semacamnya. Tapi
kita sama-sama tahu bahwa dia baru saja bangun dari sofa dengan tanpa mengenakan
sehelai kain pun, dan faktanya, hanya ada segelintir orang dungu di muka Bumi ini yang
memilih untuk lari-lari dalam keadaan bugil dan si lelaki bukanlah termasuk dari
segelintir orang dungu itu.
Semua tampak seperti nyata .…

“Apakah semuanya akan baik-baik saja Rob?”
“Semuanya akan baik-baik saja. Tak perlu ada yang dikhawatirkan. Semua
orang pernah melakukan sebuah kesalahan, semua orang, tak terkecuali nabi.”
“Sungguh?”
“Sungguh!”
“Coba katakan hal itu lagi sambil membentuk huruf 'v'.”
“Kita sudah bukan remaja lagi Iel—“
“Sudahlah, tolong lakukan .…”
“Sungguh,” kata Rob sembari jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf
'v'.

33
“Kau tahu sudah berapa lama kita berhubungan?”
“Tidak tahu.”
“Lima bulan enam belas hari.
“Oh.”
“Tampaknya kau biasa-biasa saja mendengarnya.”
“Memangnya aku harus bagaimana?”
“Jadi menurutmu aku sudah membosankan?”
“Sudahlah, berhentilah berbicara aneh-aneh.”
“Oh, jadi menurutmu aku aneh?”
“Kurasa sebaiknya kau tidur.”

“Eh, eh, uh, ah, oh, eh ,uh, ah oh.”
“Bisakah kau sedikit memelankan suaramu?”
“Eh, eh, uh, ah, oh, eh ,uh, ah oh.”
”Hei, bisakah kau sedikit—“
“Eh, eh, uh, ah, oh, eh ,uh, ah oh.”
“Diam, Jalang!”
“Apa maksudmu memanggilku Jalang?”
“Memang harus kupanggil apa?”
“Baik Tuan Teliti, sekarang semuanya jadi tampak tak baik-baik lagi dan
sepertinya aku mesti menendang penismu agar kau kembali sadar.”
“Baiklah Nona Penendang, kupikir menendang penis seorang pria adalah
tindakan yang tak bermartabat dan sama sekali tak pantas dilakukan, bahkan oleh
seekor beruk betina sekalipun.”

“Hentikan! hentikan! hentikan!!!”
(Catatan #5)
Seorang lelaki terbangun dari sebuah kasur reyot dan merasakan pening yang
luar biasa menjalar di kepalanya. Napasnya tersengal-sengal. Sementara itu, keringat

34
mengucur deras dari dahinya, seolah-olah ia baru saja lari-lari atau semacamnya. Tapi
kita sama-sama tahu bahwa dia baru saja bangun dari kasur reyot dengan mengenakan
seragam hijau, dan faktanya, hanya ada segelintir orang dungu di muka Bumi ini yang
memilih untuk lari-lari dalam mengenakan seragam hijau dan si lelaki bukanlah
termasuk dari segelintir orang dungu itu.
Semua tampak seperti nyata .…
Si lelaki, dengan perasaan begitu tenang, mengambil sebuah gelas kosong di
meja dekat kasur reyotnya dan segera melemparkannya ke tembok hingga
menimbulkan suara gaduh. Gelas tersebut pecah berkeping-keping. Ia kemudian
mengambil salah satu pecahan kaca tersebut dan menggunakannya selayaknya pisau
untuk mengiris urat nadinya. Darah mengucur begitu deras. Saat itu juga, ia tiba-tiba
melihat sang ibu muncul di hadapannya. Si ibu lekas memeluknya sambil berkata: Ke
sinilah anakku … kembalilah ke dalam pelukanku. Tidak ada lagi repetisi … tidak ada lagi
repetisi .…
Beberapa orang berpakaian putih-putih kemudian masuk ke dalam kamar
sambil membawa tandu .(*)

(2017) (masuk kumpulan cerpen sayembara Indie Book Corner 2017 “Cerita
Tentang Sebuah Cerita Tentang Sebuah Cerita”

35

You might also like