You are on page 1of 20

Referat

Sindrom Guillain-Barré

DISUSUN OLEH:
Optaviana
1102014207

PEMBIMBING :
dr. Ridwan, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI RSUD PASAR REBO


RSUD PASAR REBO PERIODE 10 SEPTEMBER-13 OKTOBER 2018

UNIVERSITAS YARSI

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Guillain-Barré syndrome (GBS) merupakan penyebab umum paralisis flaksid
akut, ditandai dengan kelemahan simetris anggota badan, dan hiporefleksia atau
areflexia, yang mencapai keparahan maksimum dalam 4 minggu. Gejala sensorik,
seperti parestesia atau mati rasa, biasanya dimulai dari distal dan memiliki pola yang
simetris. Subtipe GBS yang paling umum adalah Acute Inflammatory Demyelinative
Polyneuropathy (AIDP) dan Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN). Subtipe
yang jarang dari GBS adalah Miller Fisher Syndrome (MFS), yang ditandai dengan
adanya ophthalmoplegia, ataksia dan areflexia. Secara keseluruhan,perjalanan klinis,
keparahan dan hasil dari GBS sangat bervariasi.4

(Gambar dikutip dari kepustakaan 4)


GBS biasanya didahului oleh infeksi atau rangsangn imun lain dimana respon
imun menghasilkan antibodi yang bereaksi silang dengan gangliosida pada membran
saraf. Respon autoimun ini menghasilkan kerusakan saraf atau blokade fungsional
konduksi saraf. Jenis infeksi yang mendahului dan spesifisitas antibodi
antigangliosida sangat menentukan subtipe GBS secara klinis.5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom Guillain-Barre (poliradikuloneuropati demielinasi inflamatorik
akut) merupakan paralisis asendens yang dapat membawa kematian dan disertai
dengan kelemahan yang dimulai pada ekstremitas distal tapi kemudian dengan
cepat menjalar ke otot-otot proksimal. Terjadi demielinasi segmental dan sel-sel
inflamasi kronik yang mengenai radiks saraf serta saraf perifer. Kelainan ini
dimediasi oleh imun dan sering terjadi sesudah infeksi virus (sitomegalovirus,Virus
Epstein Barr) atau campylobacter jejuni.2
2.2 Epidemiologi
Insiden SGB berkisar antara 0,81-1,89 kasus per 100.000 penduduk per
tahun. GBS tampaknya lebih jarang terjadi pada anak-anak ( 0,34-1,34 per 100.000
orang-tahun) dibandingkan pada orang dewasa, dan insiden meningkat dengan
bertambahnya usia. Insiden SGB dengan subtipe AIDP dan AMAN sangat
bervariasi di seluruh dunia. AIDP merupakan subtipe yang dominan (60–80%
pasien) di Amerika Utara dan Eropa. Sebaliknya, frekuensi AMAN berkisar antara
6-7% di Inggris dan Spanyol hingga 30–65% di Asia, Amerika Tengah, dan
Amerika Selatan.4
Di Indonesia, penelitian di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta
menunjukkan jumlah kasus baru SGB yang dirawat di RSCM sekitar 7,6
kasus/tahun. Penderita SGB di RSCM terutama dewasa muda dengan rerata usia 40
tahun dan rasio laki-laki : perempuan adalah 1,2.1
2.3 Etiologi
Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan bukan
merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter. Penyakit
ini merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh kasus terjadi
setelah penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini :
1. Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV),
enterovirus, Influenza A virus dan Haemophilus influenza.

3
2. Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.
3. Pasca vaksinasi
4. Dua per tiga pasien dewasa terjadi sekitar 4 minggu setelah terjadi penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.5
2.4 Klasifikasi
 Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP)
Pada AIDP kelemahan terjadi di bagian distal ekstremitas
bawah, terkait dengan “foot drop” dan kesulitan dalam berjalan. Hal ini
dapat berkembang menjadi kelumpuhan, wajah diplegia dan paralisis
diafragma. Saraf kranial bawah menyebabkan kelemahan bulbar.
Terdapat kelemahan motorik, areflexia, gangguan sensorik minimal dan
gangguan otonom. Terkadang terdapat disesesia pada ekstremitas dan
kemudian nyeri di leher, bahu dan punggung. Kondisi ini tidak terkait
dengan demam atau gejala konstitusional di awal perjalanan penyakit.
Defisit sensorik kulit ringan dan tidak ada gangguan kandung kemih .
 Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan
perbaikan yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang
berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang
ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan
motorik yang berat dengan sedikit demielinisasi.
 Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer
antibody gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita
tipe ini memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe
demielinisasi dengan asending dan paralysis simetris. AMAN
dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan
adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi
‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat,
disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.

4
 Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus
SGB. Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia.
Ataksia terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang
meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan
sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan.
 Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan
gejala neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan
motorik lebih dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian
distal.
 Acute pandysautonomia
Merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi dari sistem
simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya
hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis,
penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.3

5
2.5 Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan
saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan
pertama berupa edema yang terjadi pada hari ketiga atau keempat, kemudian timbul
pembengkakan dan iregularitas selubung mielin pada hari kelima, terlihat beberapa
limfosit pada hari kesembilan dan makrofag pada hari kesebelas, poliferasi sel
schwan pada hari ketigabelas. Perubahan pada mielin, akson, dan selubung schwan
berjalan secara progresif, sehingga pada hari keenampuluh enam, sebagian radiks
dan saraf tepi telah hancur. Kerusakan mielin disebabkan makrofag yang
menembus membran basalis dan melepaskan selubung mielin dari sel schwan dan
akson.
Damaged (demyelinated) nerve
Myelinated nerve in individual
in healthy individual with Guillain-Barré syndrome

2.6 Patogenesis
Mekanisme infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi
terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada
sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada

6
sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya.

(Gambar dikutip dari kepustakaan 4)

7
Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam
sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan
mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem imun
belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab
adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya
lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,
mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada
kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada
degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting
antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-
T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk
makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan
hambatan penghantaran impuls saraf.4
2.7 Gejala dan Tanda Klinis
Pola perjalanan penyakit SGB bersifat monofasik. Pada sebagian besar
SGB terdapat infeksi anteseden sebelum munculnya defisit neurologis. Waktu
antara infeksi anteseden dan munculnya defisit neuroogis bervariasi antara 4
minggu sampai 6 bulan. Defisit neurologis ini akan mengalami perburukan
hingga mencapai titik nadir dalam waktu tidak lebih dari 28 hari (4 minggu).
Antibodi antigangliosida dapat dideteksi dalam serum pasien selama proses ini
dan kadarnya akan menurun seiring berjalannya waktu.
Pada SGB dapat terjadi fluktuasi defisit neulrologis dalam waktu delapan
minggu sejak diberikannya imunoterapi. Hal ini masih dianggap sebagai suatu
pola monofasik SGB. Fluktuasi ini disebut sebagai fluktuasi terkait pengobatan
(Guillain-Barré syndrome with treatment-related fluctuation/GBS-TRF).
Perjalana GBS-TRF mirip dengan chronic inflammatory demyelinating
polyneurophaty (CIDP) onset akut, hanya saja progresifitas defisit neurologis
CIDP berlangsung hingga lebih dari 8 minggu atau fluktuasi defisit neurologis
terjadi tiga kali atau lebih sedangkan fluktuasi GBS-TRF terjadi tidak lebih dari

8
8 minggu sejak onset dan jarang terjadi fluktuasi lebih dari 2 kali. Dalam
perjalanannya, fluktuasi defisit neurologis pada CIPD lebih ringan dibandingkan
GBS-TRF. Defisit neurologis pada CIPD tidak sampai membutuhkan ventilasi
mekanik, jarang melibatkan gangguan saraf kranial, dan gambaran pemeriksaan
elektrofisiologi proses demielinisasi, sedangkan pada GBS-TRF defisit
neurologis yang terjadi lebih berat hingga sampai memerlukan ventilasi
mekanik.
Defisit neurologis SGB pada ekstremitas dapat berupa kelemahan
motorik tipe LMN, gangguan sensorik berupa parastesia, hipestesia atau
gangguan propioseptif, serta hiporefleksia maupun afeksia. Defisit neurologis ini
dapat melibatkan nervus kranialis, terutama nervus fasialis pada AIDP (acute
inflammatory demyelinating polyneuropathy).
Fase pemulihan dapat berlangsung beberapa minggu, bulan, bahkan
tahun tergantung proses patologi yang terjadi. Lesi demielinisasi (AIDP)
mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan degenerasi aksonal
(AMAN). Pemulihan pada SGB tipe demielinisasi dan degenerasi aksonal akan
terjadi secara berangsur-angsur sesuai dengan perawatan dan terapi yang
adekuat.1

9
(Gambar dikutip dari kepustakaan 4)
Terdapat beberapa variasi gambaran klinis SGB berdasarkan penelitian
dan laporan kasus yang ada, yaitu :
1. SGB hiperrefleks
SGB umumnya menunjukkan tanda hiporefleksia atau arefleksia, namun
pada 10% kasus dapat ditemukan refleks tendon dalam yang normal atau
bahkan meningkat dengan tonus otot yang normal. Pemeriksaan
imunohistokimia pada serum pasien SGB hiperrefleks menunjukkan
adanya antibody antiGM1 dan antiGD1a dengan gambaran
neurofisiologi sesuai dengan SGB tipe aksonal.
2. Pharyngeal-cervical-brachial weakness
Penegakan diagnosis SGB tipe ini didapat dengan ditemukannya
kelemahan pada otot orofaring, leher, dan ekstremitas atas akut yang
disertai arefleksia. Kelemahan motoric pada ekstremitas bawah juga
dapat ditemukan namun lebih ringan.

10
3. SGB paraparesis
Pada SGB paraparesis kelemahan motoric dengan hiporefleksia atau
arefleksia akut hanya terjadi pada ekstremitas bawah saja, sementara
ekstremitas atas normal. Berbeda dengan lesi medulla spinalis, pada SGB
paraparesis level gangguan sensorik memiliki batas yang tidak tegas dan
fungsi berkemih masih normal. Analisis pungsi lumbal serta pemeriksaan
MRI menunjukkan kesesuaian dengan SGB, sedangkan gambaran
neurofisiologi sesuai dengan SGB, sedangkan gambaran neurofisiologi
sesuai dengan SGB tipe degenerasi aksonal.
4. Kelemahan bifasial dengan paresthesia
Gejala dan tanda klinis SGB tipe ini berupa kelemahan nervus fasialis
bilateral akut tanpa disertai oftalmoplegia dan kelemahan ekstremitas.
Pada tipe ino dapat juga ditemukan paresthesia dari ujung-ujung jari.
Pemeriksaan neurofisiologi lebih lanjut dapat sesuai dengan gambaran
lesi demielinisasi.
5. Oftalmoplegia/ptosis/midriasis akut
Variasi klinis sindrom SGB ini merupakan bentuk SMF inkomplet
berupa oftalmoplegia, ptosis, atau midriasis akut tanpa adanya ataksia.
Pemeriksaan imunohistokimia pada serum pasien ini menunjukkan
adanya antibody terhadap gangliosida GQ1h.
6. Neuropati ataksia akut
Bentuk SMF inkomplet lainnya adalah ataksia akutv tanpa
oftalmoplegia. Terdapat dua bentuk manifestasi klinis tipe ini, yaiut
ataksia dengan atau tanpa tanda Romberg positif. Pada ataksia tanda-
tanda Romberg ditemukan antibody anti-GQ1b serum, sedangkan pada
ataksia dengan tanda Romberg ditemukan antobid antiGD1b serum.
Manifestasi klinis ataksia ini diduga akibat antibodi yang terbentuk
menyerang struktur muscle spindle.
7. Bickerstaff’s brainstem encephalitis (BBE)
Diagnosis BBE ditemukan bila ditemukan trias gejala SMF disertai
gangguan kesadaran atau hipersomnolen. BBE merupakan variasi SMF

11
dengan keterlibatan system saraf pusat (SSP), terutama pada struktur
formasio retikularis. Hal ini didasarkan pemeriksaan MRI kepala yaitu
ditemukannya penyangatan pada 11% kasus BBE dan gambaran
abnormalitas perekaman EEG pada 57% kasus. Varian lain dari BBE
dengan manifestasi inkomplet dapat berupa acute ataxic
hypersomnolence.1

2.8 Diagnosis dan Diagnosis Banding


2.8.1 Diagnosis Sindrome Guillain Barré
diagnosis SGB ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda kelemahan akut
progresif pada ekstremitas bawah dan atas disertai arefleksia atau hipofleksia.
Belum ada uji diagnostic yang spesifik untuk SGB, namun dapat menggunakan
kriteria diagnostik menurut National Institute of Neurological and Communicative
Disorders and Stroke (NINCDS) sebagai berikut:
Tanda minimum untuk menegakkan diagnosis :
1. kelemahan progresif pada kedua lengan dan tungkai (dapat dimulai dari
ekstremitas bawah)
2. hiporefleksia atau arefleksia

Tanda yang memperkuat diagnosis :


1. perburukan gejala yang mencapai titik nadir kurang atau sama dengan 28
hari (4 minggu)
2. pola distribusi defisit neurologis yang simetris
3. gangguan sensorik minimal
4. gangguan nervus kranial, terutama kelemahan otot fasialis bilateral
5. disfungsi saraf autonom
6. nyeri
7. peningkatan protein pada CSS
8. gambaran elektrodiagnostik khas yang sesuai dengan kriteria SGB.4

Berikut pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis SGB:


 Pemeriksaan LCS

12
Tindakan pungsi lumbal rutin dilakukan pada pasien yang diduga menderita
SGB untuk menyeingkirkan diagnosis banding, dan bukan merupakan kriteria
utama penegakkan diagnosis SGB. Pada analisa LCS ditemukan disosiasi
sitoalbumin, yaitu terdapat peningkatan kadar protein LCS tanpa disertai
peningkatan jumlah sel. Disosiasi sitoalbumin adalah temuan khas untuk SGB
dan dapat ditemukan pada 50% kasus pada minggu pertama dan meningkat
menjadi 75% kasus pada minggu ketiga. Peningkatan jumlah sel dan protein
LCS dapat ditemukan pasca terapi IVIg yang diduga akibat mekanisme
transudasi atau meningitis aseptik.
 Pemeriksaan Kecepatan Hantar Saraf(KHS)
Gambaran KHS pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan
terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada
akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.

13
(Gambar dikutip dari kepustakaan 4)
 Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan jika ditemukan tanda dan gejala
klinis SGB yang meragukan. Hal ini untuk menyingkirkan lesi struktural
sebagai penyebab defisit neurologis yang ada. Hasil pemeriksaan MRI pada
kasus SGB adalah murni normal baik pada otak dan medulla spinalis, walau
dapat dijumpai penyangatan pada radiks proksimal.
 Antibodi antiganglioside
Walaupun berbagai studi mengaitkan kejadian SGB dengan
antibodi. Pemeriksaan ini bermanfaat, tetapi hasil negatif tidak
menggugurkan diagnosis SGB.1

14
2.8.2 Diagnosis Banding Sindrome Guillain Barré

(Gambar dikutip dari kepustakaan 5)


 Poliomielitis
Pada poliomyelitis ditemukan kelumpuhan disertai demam, tidak ditemukan
gangguan sensorik, kelumpuhan yang tidak simetris, dan Cairan cerebrospinal
pada fase awal tidak normal dan didapatkan peningkatan jumlah sel.
 Myositis Akut
Pada miositis akut ditemukan kelumpuhan akut biasanya proksimal, didapatkan
kenaikan kadar CK (Creatine Kinase), dan pada Cairan serebrospinal normal.

15
 Myastenia gravis (didapatkan infiltrate pada motor end plate, kelumpuhan tidak
bersifat ascending)
 CIPD (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradical Neuropathy)
didapatkan rogresifitas penyakit lebih lama dan lambat. Juga ditemukan adanya
kekambuhan kelumpuhan atau pada akhir minggu keempat tidak ada perbaikan.
2.9 Tatalaksana
Prinsip tatalaksana SGB adalah diagnosis dini dan tatalaksana
multidisiplin yang tepat. Resiko kematian SGB mencapai 5% sebagian besar
disebabkan komplikasi SGB berupa sepsis, emboli paru, dan disautonomia.
Gullain-Barré Syndrome Disability Score atau Hughes Score adalah
sistem penilaian status fungsional untuk evaluasi dan pemantauan
derajatkeparahan penyakit.
Gullain-Barré Syndrome Disability Score atau Hughes Score :
0 : Sehat
1 : tanda dan gejala minimal serta mampu berlari
2: mampu berjalan 10 meter atau lebih tanpa bantuan namun tidak mampu berlari
3: Mampu berjalan 10 meter dengan bantuan tongkat lari
4: aktivitas terbatas pada tempat tidur atau kursi roda
5:membutuhkan ventilator mekanik untuk bernapas
6:kematian.1

16
(Gambar dikutip dari kepustakaan 5)
Imunoterapi dapat diberikan sejak onset gejala neuropati pertama kali
muncul. Manfaat terbaik muncul pada pemberian imunoterapi dalam 2 minggu
pertama onset pada pasien dengan GBS Disabillity Score ≥ 3.
Baik plasmafaresis dan immunoglobulin intravena (IV) memiliki efektifitas yang
sama dalam perbaikan kekuatan motorik pasien, peningkatan GBS disability
score, dan penurunan kebutuhan penggunaan ventilator pada pasien dengan
gagal napas.
Plasmaferesis dilakukan lima kali dalam waktu 2 minggu dengan jumlah
maksimum pertukaran plasma sebanyak lima kali dari volume plasma (200-
250/KgBB). Dosis total immunoglobulin IV adalah 2g/KgBB diberikan dalam 5
hari. Pemberian imunoterapi pada pasien dengan gejala ringan atau GBS

17
disability score <3 tetap dapat memberikan manfaat namun perlu
memperhitungkan efesiensi pengobatan. Pemberian kortikosteroid oral maupun
IV tidak memberikan manfaat pada kasus SGB.
Pemantauan fungsi paru dapat dilakukan setiap 1-4 jam untuk
meminimalkan resiko gagal napas berupa evaluasi frekuensi serta kedalaman
napas, kapasitas vital paru-paru dan kemampuan refleks batuk.
Indikasi pemasangan alat bantu napas pada SGB jika ditemukan satu
kriteria mayor:
 Hipoksia/ PaCO2 >48mmHg
 Hipoksemia/ PaO2 <56 mmHg pada udara ruangan
 Kapasitas vital paru-paru <15 mL/KgBB

Atau dua kriteria minor :


 Refleks batuk yang tidak efektif
 Gangguan menelan
 Atelectasis paru

Pemasangan monitor kardiovaskular diperlukan dalam identifikasi dan antisipasi


disfungsi autonom. Sementara, untuk tatalaksana nyeri yang dapat diberikan
berupa penggunaan obat anti nyeri neuropatik berupa gabapentin atau
karbamazepin.1
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, paralisis
permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi.
2.11 Prognosis
Prognosis SGB dapat ditentukan berdasarkan Erasmus GBS outcome score
(EGOS).
Erasmus GBS outcome score (EGOS) :
 Adanya riwayat diare sebelumnya
 Usia >60 tahun
 Nilai GBS disability score pada minggu kedua sejak onset

18
EGOS ini dapat digunakan untuk menentukan probabilitas pasien SGB dapat
berjalan mandiri enam bulan setelah onset. Semakin besar nilai EGOS yang
didapat, maka semakin kecil kemungkinan pasien SGB dapat berjalan setelah 6
bulan dari onset.1

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Mayza, A., Yanuar A., Rasyid., dkk. 2017. Buku Ajar Neurologi, cetakan
ke 2. Tangerang : Penerbit Kedokteran Indonesia
2. Robbins, Cotran. 2010. Dasar Patologis Penyakit. Jakarta: EGC
3. Shankar, P. 2017. Guillain-Barré syndrome. [Diakses pada tanggal 3
November 2018]
4. Van den Berg, B. et al. 2014. Guillain–Barré syndrome: pathogenesis,
diagnosis, treatment and prognosis. [Diakses pada tanggal 2 November
2018].
5. Willison, JH., Jacobs, CB., Doom, AP. 2016. Guillain-Barré syndrome.
[Diakses pada tanggal 4 November 2018]

20

You might also like