Professional Documents
Culture Documents
MK. Perencanaan Pangan dan Gizi (GIZ 347) Tanggal selesai: 21 Mei 2018
Oleh:
Kelompok 1
San Fras I14130041
Siti Machfudhotin I14150009
Dhea Nurliza I14150035
Erwan Sunandar I14150048
Suci Augina Dewiyani I14150087
Dini Mardya Utami I14154023
Asisten Praktikum:
Teguh Jati Prasetyo, S Gz
Nathasa Khalida Dalimunthe
Latar Belakang
Tujuan Umum
Menganalisis situasi dan kebutuhan serta merumuskan perencanaan
program bidang pangan dan gizi berbasis Pola Pangan Harapan sesuai dengan
potensi wilayah di Kabupaten Bandung tahun 2015/2019.
Tujuan Khusus
1. Menganalisis situasi pangan dan gizi khususnya pada susbsistem
ketersediaan, distribusi, dan konsumsi pangan serta status gizi masyarakat
di Kabupaten Bandung.
2. Menyusun target penyedian pangan wilayah berdasarkan PPH di Kabupaten
Bandung.
3. Menyusun strategi dan program pangan di gizi wilayah sesuai dengan
situasi dan kebutuhan masyarakat serta potensi wilayah di Kabupaten
Bandung.
METODE
Desain Studi
Data yang digunakan adalah data sekunder pada tahun 2017. Sumber data
yang digunakan berasal dari Kabupaten Banudng dalam Angka 2017. Data
tersebut terdiri dari data keadaan umum wilayah, jumlah penduduk, laju
pertumbuhan, data produksi, dan konsumsi komoditas pangan dan data mengenai
kebijakan daerah. Data itulah yang akan diolah dan dianalisis untuk mendapatkan
skor PPH konsumsi maupun ketersediaan di Kabupaten Bandung. Rincian jenis
dan sumber data yang digunakan dalat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis dan sumber data
No Data Jenis data Sumber data
1 Keadaan umum wilayah (meliputi Sekunder Daerah dalam Angka (BPS)
letak geografis, kontribusi
pertanian, keberhasilan
pembangunan, garis kemiskinan)
Analisis Data
Definisi Operasional
Ketersediaan Pangan
1. Produksi
Ketersediaan pangan adalah banyaknya pangan yang harus disediakan oleh
suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk baik secara jumlah
yang cukup, aman, dan bergizi untuk dapat hidup aktif dan sehat (Isbandi dan
Rusdiana 2014). Ketersediaan pangan mencakup kualitas dan kuantitas bahan
pangan untuk memenuhi standar energi bagi individu agar mampu menjalankan
aktivitas sehari-hari (Dinkes Propsu 2006). Berikut merupakan analisis
ketersediaan pangan Kabupaten Bandung.
Tabel 2 Persentase AKE ketersediaan pangan Kabupaten Bandung
No Golongan pangan AKE (%)
1 Padi-padian 46
2 Umbi-umbian 5.5
3 Pangan hewani 1.8
4 Minyak dan lemak 0.5
5 Buah/biji bermiyak 0.0
6 Kacang-kacangan 0.6
7 Gula 0.0
8 Sayur dan buah 2.2
9 Lain-lain 0.0
Total 56.6
Tabel 2 menunjukkan persentase Angka Kecukupan Energi (AKE) aktual
Kabupaten Bandung pada tahun 2016 yaitu, sebesar 56.6%. Berdasarkan
persentase total AKE Kabupaten Bandung, AKE Kabupaten Bandung masih
tergolong defisit (AKE Ideal < 90%) (WNPG 2004). Seluruh kelompok pangan
Kabupaten Bandung masih tergolong defisit, sehingga kelompok pangan padi-
padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak,
kacang-kacangan, gula, sayur dan buah serta bahan pangan lain perlu ditingkatkan
ketersediaannya. Data AKE di Kabupaten Bandung yang dianalisis dapat
digunakan sebagai dasar untuk menganalisis ketersediaan pangan Kabupten
Bandung secara kuantiatif. Analisis ketersediaan pangan wilayah seharusnya
dilakukan berdasarkan data pengadaan pangan wilayah (data produksi, ekpor,
impor dan stok), namun ketersediaan wilayah Kabupaten Bandung dianalisis
tanpa mempertimbangkan data ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan
wilayah dapat ditopang oleh impor antar wilayah, sehingga dapat memenuhi
kebutuan energi dan zat gizi lain masyarakat Kabupaten Bandung.
Skor Pola Pangan Harapan (PPH) dapat digunakan untuk menganalisis
ketersediaan pangan wilayah secara kualitatif. Pola Pangan Harapan atau
Desirable Dietary Pattern adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada
sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun
relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. FAO-RAPA
(1989) mendefinisikan PPH adalah komposisi kelompok pangan utama bila
dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. Pola Pangan
Harapan (PPH) menjadi salah satu indikator dalam pencapaian ketahanan pangan.
Skor PPH mencerminkan mutu gizi konsumsi pangan dan tingkat keragaman
konsumsi pangan. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) ketersediaan Kabupaten
Bandung dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Skor PPH ketersediaan pangan Kabupaten Bandung
No Golongan pangan Skor PPH
1 Padi-padian 23.0
2 Umbi-umbian 2.5
3 Pangan hewani 35.0
4 Minyak dan lemak 0.2
5 Buah/biji bermiyak 0.0
6 Kacang-kacangan 1.2
7 Gula 0.0
8 Sayur dan buah 11.1
9 Lain-lain 0.0
Total 41.5
Tabel 3 menunjukkan skor pola pangan harapan (PPH) Kabupaten
Bandung tahun 2016. Berdasarkan data pada Tabel 3, skor total PPH Kabupaten
Bandung adalah 41.5 dan masih tergolong rendah. Skor PPH ketersediaan pangan
tersebut bermakna bahwa pangan yang tersedia di Kabupaten Bandung belum
beragam, karena skor PPH Kabupaten Bandung kurang dari skor PPH ideal yaitu
100. Rata-rata kontributor skor PPH ketersediaan aktual dibandingkan dengan
ideal dari beberapa kelompok pangan yang sudah mencapai ideal hanya pada
kelompok pangan umbi-umbian, yaitu 2.5.
Besar kecilnya produksi dari berbagai komoditas pangan dapat
mempengaruhi ketersediaan pangan. Jika produksi dari komoditas pangan daerah
rendah, maka skor PPH ideal masih belum dapat tercapai. Faktor lain yang dapat
mempengaruhi skor PPH berkaitan dengan pola konsumsi dari masyarakat
tersebut adalah kondisi iklim yang selalu berubah tidak menentu, kondisi
geografis, kondisi sosial, kondisi ekonomi, budaya, pendidikan, dan gaya hidup
dari masyarakatnya sendiri (Prasetyarini et al. 2014).
2. Kemandirian Pangan
Kemandirian pangan sesuai UU No. 18 tahun 2012 adalah kemampuan
negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam
negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai
tingkat perorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia,
sosial, ekonomi dan kearifan lokal. Kemandirian pangan merupakan ukuran
ketahan pangan yang dapat dilihat dari ketergantungan ketersediaan pangan pada
kemampuan produksi pangan (Simatupang 2001; IFPRI 2010). Kebutuhan dan
produksi pangan strategis Kabupaten Bandung dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Kemandirian pangan di Kabupaten Bandung
AKE AKE Rasio
No Golongan pangan Keterangan
aktual ideal kemandirian
(%) (%) kangan
1 Padi-padian 46 25 56.5 Defisit
2 Umbi-umbian 5.5 2.5 56.7 Defisit
3 Pangan hewani 1.8 24 58.1 Defisit
Tabel 4 Kemandirian pangan di Kabupaten Bandung (lanjutan)
AKE AKE Rasio
No Golongan pangan aktual ideal kemandirian Keterangan
(%) (%) kangan
4 Minyak dan lemak 0.5 5 55.6 Defisit
5 Buah/biji bermiyak 0.0 1 0.0 Defisit
6 Kacang-kacangan 0.6 10 60.0 Defisit
7 Gula 0.0 2.5 0.0 Defisit
8 Sayur dan buah 2.2 30 56.4 Defisit
9 Lain-lain 0.0 0 0.0 Defisit
Total 56.6 100 Defisit
Tabel 4 menunjukkan data kemandirian pangan di Kabupaten Bandung.
Kabupaten Bandung termasuk dalam kategori defisit. Hal ini ditunjukkan oleh
angka rasio kemandirian pangan kurang dari 90%. Kemandirian pangan
ditunjukkan oleh kapasitas produksi pangan atau kelompok pangan atau
komoditas tertentu sebesar 90% dari kebutuhan konsumsi pangan, yang
merupakan batas minimal terpenuhi kecukupan pangan untuk hidup sehat, aktif
dan produkstif. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa Kabupaten Bandung belum
mencapai mandiri pangan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan Kabupaten
Bandung tidak hanya bergantung pada produksi tetapi juga terhadap impor. Impor
digunakan sebagai substitusi jika terdapat penurunan produksi pangan, sehingga
kemandirian pangan ditandai oleh impor pangan utama di bawah 10% dari
kebutuhan pangan (Balitbang Pertanian 2005).
Distribusi Pangan
Salah satu hal penting dalam mewujudkan ketahanan pangan adalah akses
dan distribusi. Walaupun ketersediaan dan produksi melimpah, ketahanan pangan
tidak akan tercapai apabila pangan tersebut tidak dapat diakses secara fisik oleh
individu maupun keluarga. Oleh karena itu, masalah akses dan distribusi ini
menjadi hal penting dalam mewujudkan ketahanan pangan. Distribusi yang lancar
dan merata dibutuhkan sehingga pangan dapat terjangkau dari produsen hingga ke
pasar konsumen. Tiga hal yang harus diperhatikan dalam masalah distribusi
pangan adalah sarana dan prasarana distribusi pangan, kelembagaan pemasaran
yang terkait dengan mata rantai pemasaran produk pangan berdasarkan tingkatan
wilayah maupun pelaku pasar, serta stabilitas harga pangan yang diukur dengan
harga rata-rata dan koefisien variasi pada berbagai tingkat pelaku pasar.
Status Gizi
1. Status gizi anak balita berdasarkan indikator BB/U
Prevalensi gizi kurang pada balita di Kabupaten Bandung dapat dilihat pada
grafik berikut :
Gambar 1 Prevalensi status gizi balita berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U) di
kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2013
Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan prevalensi status gizi kurang balita di
Kabupaten Bandung sebesar 11.4%. Angka status gizi kurang lebih tinggi 0.01
dibandingkan dengan prevalensi status gizi kurang yang terjadi di provinsi Jawa
Barat sebesar 11.3%.
Gambar 2 Prevalensi status gizi balita berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U) di
kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2013
Berdasarkan Gambar 2, menunjukkan prevalensi status gizi pendek (stunting)
pada balita di Kabupaten Bandung sebesar 40.7%. Angka status gizi pendek lebih
tinggi dibandingkan dengan prevalensi status gizi pendek yang terjadi di provinsi
Jawa Barat sebesar 35.3%.
Gambar 3 Prevalensi status gizi balita berdasarkan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) di
kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2013
Berdasarkan Gambar 3, menunjukkan prevalensi status gizi sangat kurus
pada balita di Kabupaten Bandung sebesar 5.8%. Angka status gizi kurus lebih
tinggi dibandingkan dengan prevalensi status gizi kurus yang terjadi di provinsi
Jawa Barat sebesar 5%. Serta prevalensi status gizi gemuk pada balita di
kabupaten Bandung sebesar 13.4% lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi di
Jawa Barat sebesar 11.8%.
Prioritas Masalah Pangan dan Gizi
Penurunan angka
kemiskinan Perbaikan akses jalan Perbaikan pendidikan
Pemerataan pembangunan
Gambar 5 Objective tree permasalahan pangan dan gizi di Kabupaten Bandung
Diagram objective tree pada Gambar 5 menunjukkan bahwa pemerataan
pembangunan dapat berdampak positif terhadap perbaikan infrastruktur
khususnya perbaikan akses jalan. Selain itu, pemerataan pembangunan juga dapat
menurunkan angka kemiskinan penduduk dan perbaikan pendidikan. Perbaikan
keadaan tersebut dapat memberikan dampak positif pula pada hal lain.
Infrastruktur jalan yang lebih baik akan menghasilkan sanitasi lingkungan yang
lebih baik, seperti tidak ada lagi genangan air saat hujan. Perbaikan infrastruktur
jalan juga dapat memperbaiki ketersediaan pangan di Kabupaten Bandung
sehingga distribusi kelompok bahan pangan dapat meningkat, khususnya pada
kelompok bahan pangan hewani, minyak serta sayur dan buah. Tersedianya
kelompok bahan pangan yang beragam diikuti dengan penurunan angka
kemiskinan akan meningkatkan kualitas konsumsi pangan karena menguatnya
daya beli masyarakat, yang juga didukung dengan kestabilan harga. Penurunan
angka kemiskinan dapat berpengaruh positif pada sanitasi lingkungan karena akan
tersedia dana untuk memelihara dan memfasilitasi lingkungan.
Perbaikan pendidikan akan berdampak positif pada kesehatan lingkungan,
hal ini berkaitan dengan pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan limbah,
termasuk sampah, yang menjadi lebih baik. Selain itu dengan pendidikan yang
lebih baik masyarakat akan mampu untuk menjaga kebersihan lingkungan. Semua
perbaikan yang terjadi pad tingkat ini akan berdampak positif juga kepada kualitas
konsumsi dan penurunan angka kejadian infeksi. Akhirnya dengan meningkatnya
kualitas konsumsi pangan dan menurunnya angka kejadian infeksi, akan tercapai
status gizi masyarakat yang lebih baik. Perbaikan status gizi masyarakat dapat
tercermin dari penurunan prevalensi masalah gizi, terutama pada balita yang
berperan sebagai generasi selanjutnya. Clustering dari permasalahan gizi yang
terdapat di Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Clustering objective tree pangan dan gizi Kabupaten Bandung
Clustering dari objective tree diatas yaitu kejadian stunting, gizi gemuk,
dan gizi kurang disebabkan secara langsung oleh kualitas konsumsi pangan yang
kurang baik yang ditandai oleh skor PPH konsumsi sebesar 82.5. Kualitas
konsumsi yang belum mencapai SPM ini juga dapat disebabkan secara tidak
langsung oleh ketersediaan beberapa bahan pangan yang masih kurang dari skor
minimal yang ada di PPH. Beberapa jenis pangan tersebut diantaranya umbi-
umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, sayur, serta buah. Selain itu, kejadian
stunting, gizi lebih, dan gizi kurang secara langsung dapat disebabkan oleh status
infeksi ditandai oleh adanya infeksi saluran pernaapasan atas sebesar 14.6%,
Diare 8.6%, pneumonia 2.4%. Akan tetapi, permasalahan yang akan menjadi
fokus pada penyelesaian masalah gizi di Kabupaten Bandung ini akan berfokus
pada segi konsumsi yang dipengaruhi oleh ketersediaan beberapa bahan pangan
seperti umbi-umbian, pangan hewani, minyak, sayur dan buah. Kualitas konsumsi
pangan yang belum mencapai SPM juga dapat disebabkan oleh masalah pada saat
pendistribusian bahan pangan, misalnya akibat jalan rusak dan juga akses pangan
baik daya beli masyarakat maupun ketersediaan bahan pangan yang berkelanjutan.
Penerapan PHBS yang masih kurang dapat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan
masyarakat mengenai hal tersebut yang tercermin dari angka partisipasi murni
sebesar 78.79%. Masalah yang mendasari memicu terjadinya masalah terkait gizi
yang terjadi di Kabupaten Bandung yaitu masalah ekonomi dan politik. Hal ini
tercermin dari nilai Ideks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 76.82.
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk
pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik
yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,
dan/atau pembuatan makanan atau minuman (UU No. 18 Tahun 2012). Setiap
wilayah harus memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya dikarenakan pangan
merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh setiap individu.
Penentuan kebutuhan pangan Kabupaten Bandung dapat dilakukan dengan cara
menganalisis kebutuhan pangan wilayah. Kebutuhan pangan aktual Kabupaten
Bandung didasarkan pada konsumsi pangan strategis yang diperoleh dari
SUSENAS 2014. Proyeksi konsumsi pangan strategis Kabupaten Bandung dapat
dilihat pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8 Proyeksi konsumsi pangan Kabupaten Bandung (gram/kapita/hari) Commented [A3]: Tabelnya disesuaikan dengan margin 4333
ya, kalau gamuat fontnya 11 aja
Rata-rata konsumsi pangan (gram/kapita/hari)
Tahun
Kelompok/Jenis pangan Tahun proyeksi
dasar
2016 2017 2018 2019 2020 2021
1. Padi-Padian
Beras 275.2 264.7 259.4 254.1 248.9 243.6
Tabel 8 Proyeksi konsumsi pangan Kabupaten Bandung (gram/kapita/hari) Commented [A4]: Tabelnya disesuaikan dengan margin 4333
ya, kalau gamuat fontnya 11 aja
(lanjutan)
Rata-rata konsumsi pangan (gram/kapita/hari)
Tahun
Kelompok/Jenis pangan Tahun proyeksi
dasar
2016 2017 2018 2019 2020 2021
Jagung 2.4 2.3 2.3 2.3 2.2 2.2
Terigu 56.4 54.2 53.1 52.0 51.0 49.9
Subtotal padi-padian 334.0 321.2 314.8 308.4 302.0 295.6
2. Umbi-umbian
Singkong 17.7 26.9 31.5 36.1 40.7 45.3
Ubi jalar 3.3 5.0 5.9 6.7 7.6 8.4
Sagu 16.4 24.9 29.1 33.4 37.6 41.9
Kentang 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Umbi lainnya 0.5 0.7 0.8 0.9 1.0 1.2
Subtotal umbi-umbian 37.9 57.5 67.3 77.1 86.9 96.8
3. Pangan Hewani
Daging ruminansia 4.7 5.8 6.3 6.9 7.4 7.9
Daging unggas 28.3 34.7 37.9 41.1 44.3 47.5
Telur 22.5 27.6 30.1 32.7 35.2 37.8
Susu 6.2 7.6 8.3 9.0 9.7 10.4
Ikan 27.9 34.2 37.4 40.5 43.7 46.9
Subtotal pangan hewani 89.5 109.9 120.0 130.2 140.3 150.5
4. Minyak dan Lemak
Minyak Kelapa 2.3 2.2 2.2 2.1 2.1 2.1
Minyak Lainnya 27.7 26.7 26.2 25.8 25.3 24.8
Margarin 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Subtotal minyak & lemak 29.9 28.9 28.4 27.9 27.4 26.9
5. Buah/Biji Berminyak
Kelapa 0.9 2.5 3.4 4.2 5.1 5.9
Kemiri 0.7 2.1 2.8 3.5 4.2 4.8
Subtotal buah/biji berminyak 1.6 4.6 6.2 7.7 9.2 10.8
6. Kacang-kacangan
Kacang Kedelai 24.0 28.2 30.2 32.3 34.4 36.5
Kacang Tanah 0.8 0.9 1.0 1.0 1.1 1.2
Kacang Hijau 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Kacang lain 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Subtotal kacang-kacangan 24.8 29.1 31.2 33.3 35.5 37.6
7. Gula
Gula Pasir 8.6 11.9 13.6 15.3 16.9 18.6
Gula Merah 6.3 8.7 10.0 11.2 12.4 13.6
Subtotal gula 14.9 20.7 23.6 26.5 29.4 32.3
8. Sayur dan Buah
Sayur 242.4 227.7 220.3 213.0 205.6 198.3
Buah 59.8 56.2 54.4 52.6 50.8 49.0
Subtotal sayur dan buah 302.2 283.9 274.7 265.6 256.4 247.3
9. Lain-lain
Minuman 97.5 70.1 56.4 42.6 28.9 15.2
Bumbu 6.0 4.3 3.5 2.6 1.8 0.9
Subtotal lain-lain 103.5 74.4 59.8 45.3 30.7 16.1
Berdasarkan Tabel 8, konsumsi padi-padian yang berasal dari beras,
jagung, dan terigu sebagai makanan pokok sebesar 334 gram/kapita/hari pada
tahun 2016. Proyeksi konsumsi padi-padian menurun menjadi 295.6
gram/kapita/hari pada tahun 2021. Penurunan konsumsi padi-padian menjadi cara
untuk mencapai skor PPH yang lebih baik yaitu mendekati 100. Konsumsi umbi-
umbian (singkong, ubi jalar, sagu, kentang, dan umbi lainnya) dan pangan hewai
(daging ruminansia, daging unggas, telur, susu dan ikan) yaitu sebesar 37.9
gram/kapita/hari dan 89.5 gram/kapita/hari. Proyeksi konsumsi umbi-umbian dan
panga hewani pada tahun 2021 masing-masing ditingkatkan menjadi 96.8
gram/kapita/hari dan 150.5 gram/kapita/hari.
Konsumsi buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula dinaikan hingga
tahun 2021. Sementara itu, proyeksi konsumsi minyak dan lemak, sayur dan buah,
serta lain-lain (minuman dan bumbu) diturunkan pada tahun 2021. Konsumsi
sayur dan buah diturunkan karena konsumsi buah dan sayur penduduk Kabupaten
Bandung pada tahun dasar 2016 sudah tergolong baik yaitu 302.2
gram/kapita/hari. Peningkatan atau penurunan proyeksi konsumsi pangan sebagai
strategi untuk mencapai keanekaragam konsumsi pangan atau skor PPH konsumsi
yang lebih baik sehingga dapat mendekati nilai 100.
Visi
Visi Kabupaten Bandung selama lima tahun mendatang, dimulai dari tahun
2015 hingga 2019 adalah terwujudnya ketahanan pangan hingga ke tingkat rumah Commented [A7]: Isi visi dan misi tidak usah di bold
tangga Kabupaten Bandung yang mandiri dan berkelanjutan berbasis sumberdaya
dan kearifan lokal.
Misi
Program
Adapun program yang disusun menyesuaikan dengan visi dan misi yang
ingin dicapai di Kabupaten Bandung terkait bidang pangan dan gizi dapat dilihat
pada Tabel 14.
Tabel 14 Program Kabupaten Bandung tahun 2014-2019
Indikator
Program Tujuan Sasaran Kegiatan SKPD
Keberhasilan
Program Meningkatkan 1. Masyar 1. Pengembangan Jumlah 1. KKP
Pemberda- produksi akat industri kecil produk produksi 2. Dispe-
yaan pangan olahan 2. Usaha pangan pangan olahan rindag
Masyarakat lokal Kecil 2. Pengembangan UKM lokal
dan Usaha Menen produk pangan
Kecil gah dengan peningkatan
Menengah kualitas produk
Produk pangan
Pangan 3. Pembinaan kelompok
masyarakat untuk
olahan pangan lokal
Simpulan
Skor PPH ketersdiaan pangan di Kabupaten Bandung adalah 41.5,
menunjukkan belum adanya keberagaman konsumsi pangan di Kabupaten
Bandung. Secara umum, Kabupaten Bandung belum mencapai kemandirian
pangan. Berdasarkan kuantitas dan kualitas pangan, Kabupaten Bandung termasuk
ke dalam kategori defisit sedang, yaitu mencapai 56.6% AKE. Sedangkan kualitas
menurut skor PPH, hampir keseluruhan bahan pangan tidak mencukupi batas skor
PPH, hanya padi-padian dan pangan hewani yang mendekati skor PPH. Secara
keseluruhan, proyeksi ketersediaan pangan Kabupaten Bandung tersebut dapat
meningkat, sehingga perlunya upaya pemerintah untuk lebih memperhatikan
Kabupaten Bandung, baik dari pemenuhannya maupun keragamannya.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
[BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2013. Pola Konsumsi Pangan B2SA. Jakarta
(ID): Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian.
[BAPPEDA] Badan Perencaan Pembangunan Daerah. 2015. Rencana Kerja
Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung Tahun 2016. Bandung (ID):
BAPPEDA.
[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2011. Rencana Aksi
Nasional Pangan dan Gizi 2011- 2015.Jakarta (ID): Bappenas.
________________________________________________. 2012. Laporan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011.Jakarta
(ID): Bappenas.
[Balitbang Pertanian RI] Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian
Republik Indonesia. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Perkebunan
dan Kehutanan 2005-2015. Jakarta (ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistika. 2012. Perhitungan dan analisis kemiskinan Makro
Indonesia Tahun 2012. Jakarta (ID): BPS.
FAO-RAPA. 1989. Desirable Dietary Pattern. Di dalam Setiawan Budi. 1990.
Penyusunan Model Sistem Perencanaan Penyediaan Pangan Berdasarkan
Pola Konsumsi. Bogor (ID): IPB.
[IFPRI] International Food Poucy Research Institute. 2010. Food security and
food selfsufficiency in Bhutan. Swiss.
Isbandi, Rusdiana S. (2014). Strategi tercapainya ketahanan pangan dalam
ketersediaan pangan di tingkat regional. Jurnal Agriekonomika. 3(2): 121-
136.
Kementerian Kesehatan RI: 2013. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013.
Jakarta (ID): Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI
LIPI. 2004. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta (ID): LIPI.
Prasetyarini FD, Mustadjab MM, Hanani N. 2014. Analisis Penyediaan Pangan
Untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan di Kabupaten Sidoarjo.
AGRIESE. 24(3): 205-217.
Simatupang P. 2001. Food Security, Basic Concepts and Measurement ini Food
Securitu in Southwest Pacific Island Countries. CGPRT Center Works
Toward Enhanching Sustainable Agriculture and Reducing Poverty in
Asia and The Pacific.
[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan
Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
LAMPIRAN