You are on page 1of 226

PENGELOLAAN ZONA PENANGKAPAN IKAN

DI SELAT MADURA DAN SEKITARNYA DENGAN


PENDEKATAN SPASIAL DAN TEMPORAL

BIDAWI HASYIM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengelolaan Zona


Penangkapan Ikan di Selat Madura dan Sekitarnya Dengan Pendekatan Spasial
dan Temporal adalah karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum
pernah diajukan dalam bentuk apaun kepada kerguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juni 2009

Bidawi Hasyim
NIM : C561 030 214
ABSTRACT

Bidawi Hasyim. Management of Potential Fishing Zone in Madura Strait and its
Surrounding Based on Spatial and Temporal Approaches. Supervised by M. Fedi
A. Sondita, John Haluan and Mahdi Kartasasmita

Fish resources in the east part of Madura Strait has been traditionally utilized by
Situbondo fishermen. This research was aimed at: (1) describing the dynamics of
potential fishing zones (PFZ) by analyzing sea surface temperature and
chlorophyll-a content, wind velocity and wave height, and (2) developing spatial
and temporal direction of fishing operation and cooperative fishing operation
based on the distribution of PFZ. This research synthesized 10-year weekly sea
surface temperature (SST) data in the Madura Strait and its surroundings derived
from satellite remote sensing becoming 48 weekly SST data, identified and
synthesized 48 PFZs data becoming 12 monthly PFZs, then analyzed monthly
PFZ based on its distribution and density classification in each spatial units. Based
on regional planning, the fishing management zone of Situbondo can be
distinguished into 3 areas: PPI Besuki zone in the west, PPI Tanjung Pecinan
Zone in the middle and PPI Pondok Mimbo Zone in the east.

Fishermen from the three PPIs have different capacity in accessing the PFZs
identified in this research. The fishermen from PPI Besuki and Tanjung Pecinan,
especially who operate fishing boats larger than 20 GT, have better technological
capacity than the fishermen from PPI Pondok Mimbo, especially to operate during
easterly wind season. The fishermen from the first two PPIs can access most part
of the strait and its adjacent waters while those from the PPI Pondok Mimbo can
access the PFZs as far as 20 kms from the shore. Cooperative fishing operation
among the fishermen from various locations surrounding Madura Strait and its
adjacent waters is needed to promote greater access to the PFZs identified in this
research and prevent conflicts on fishing ground. Such cooperative operation
needs to be supported by inter-regional governments (Kabupatens) in the area
through wider integrated fisheries management, including development of
regional fisheries industry network.

Keywords: Capture fisheries management, remote sensing, sea surface


temperature, fishing ground, Madura Strait.
RINGKASAN

Bidawi Hasyim. Pengelolaan Zona Penangkapan Ikan di Selat Madura dan


Sekitarnya Dengan Pendekatan Spasial dan Temporal. Dibawah bimbingan
M. Fedi A. Sondita, John Haluan, dan Mahdi Kartasasmita.

Secara tradisional nelayan Situbondo telah memanfaatkan sumberdaya ikan


yang ada di bagian timur dari Selat Madura. Sementara itu, perairan di sebelah
timur selat ini belum dimanfaatkan secara optimal karena berbagai kendala,
seperti spesifikasi teknis unit penangkapan ikan, cuaca dan keterbatasan prasarana
pendukung. Penelitian ini bertujuan: (1) mengidentifikasi dinamika zona potensi
penangkapan ikan (ZPPI) di kawasan Selat Madura dan sekitarnya melalui
analisis terhadap peta sebaran suhu permukaan laut (SPL) dan khlorofil-a yang
diperoleh dari citra penginderaan jauh; dan (2) mengembangkan pola spasial dan
temporal kegiatan penangkapan ikan berdasarkan dinamika ZPPI yang difokuskan
pada pengembangan kerjasama operasional perikanan tangkap di antara nelayan
Situbondo, serta antara Kabupaten Situbondo dengan kebupaten sekitarnya.
Daerah penelitian ini mencakup Selat Madura dan perairan sekitarnya yang
meliputi Laut Bali bagian barat, Selat Bali bagian utara, dan Laut Jawa bagian
timur sebelah utara Pulau Madura.
Data utama penelitian ini adalah suhu permukaan laut (SPL) yang diperoleh
dari penginderaan jauh satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic and
Atmospheric Administration – Advanced Very High Resoltion Radiometer) tahun
1996 – 2005, yaitu data NOAA-AVHRR kanal 4 dan 5. Perhitungan SPL
dilakukan dengan menerapkan algoritma McMillin and Crossby (1984) yang
sudah biasa dipakai di LAPAN, dengan rumus : SPL = TW4 + 2,702 (TW4 – TW5)
– 273,582, dimana SPL dalam derajat Celcius; TW4 dan TW5 adalah citra suhu air
laut dari masing-masing kanal 4 dan 5 tersebut; dan konstanta -273,582 adalah
konstanta pengurangan untuk mengkonversi satuan suhu dari derajat Kelvin
menjadi derajat Celcius.
Dalam penelitian ini dilakukan sintesis SPL mingguan selama 10 tahun
(1996 -2005), menghasilkan 48 ZPPI mingguan. ZPPI ditentukan berdasarkan
thermal front yang ditentukan berdasarkan gradien SPL dan kandungan klorofil-a
dari citra satelit SeaWiFs dengan kriteria sebagai berikut : (1) pembuatan kontur
SPL; (2) identifikasi dan analisis gradien SPL untuk setiap jarak 3 km (3 pixel)
sebesar 0,5o C; dan (3) analisis nilai kandungan klorofil-a ( > 0,3 mg/l).
Selanjutnya dilakukan sintesis 48 ZPPI mingguan menghasilkan 12 ZPPI bulanan
yang selanjunya dijadikan dasar analisis dinamika ZPPI di Selat Madura dan
perairan sekitarnya, dengan memperhatikan kondisi angin dan gelombang, serta
serta kedalaman perairan berdasarkan peta laut yang dikerluarkan oleh Dishidros.
Citra-citra satelit menunjukkan bahwa variasi SPL di Selat Madura
menunjukkan perubahan yang sangat dinamis. Suhu terendah terjadi pada bulan
Desember dalam kisaran 26o - 30o C ketika angin bertiup dari barat, sedangkan
suhu tertinggi terjadi pada bulan September dengan kisaran 28o – 32o C ketika
angin bertiup dari timur, tenggara dan selatan. Kandungan klorofil-a di Selat
Madura umumnya berada dalam kisaran 0,4 – 1,0 mg/m3. Sementara itu, kondisi
gelombang di Selat Madura dipengaruhi oleh arah angin dan konfigurasi geografi
di sekitar Selat Madura. Angin yang datang dari arah barat, barat laut, barat daya,
utara dan selatan terhalang oleh daratan Pulau Madura, Pulau Jawa dan pulau Bali
yang mengelilingi Selat Madura sehingga periode angin-angin tersebut
menyebabkan Selat Madura relatif tenang sepanjang tahun, kecuali ketika angin
bertiup dari timur yang umumnya berlangsung pada periode mulai dari bulan Juni
hingga September. Sumberdaya ikan yang dominan tertangkap di Selat Madura
oleh nelayan Situbondo adalah lemuru, tongkol, layang, kembung dan selar,
dengan komposisi yang berubah-ubah berkaitan erat dengan musim.
Mengacu pada Rencana Tata Ruang Kabupaten Situbondo maka wilayah
pengelolaan perikanan Kabupaten Situbondo dapat dibagi menjadi 3 zona
berdasarkan lokasi pusat pendaratan ikan (PPI) yang ada, yaitu zona PPI Besuki
yang terletak di sisi paling barat, zona PPI Tanjung Pacinan di bagian tengah, dan
zona PPI Pondok Mimbo yang terletak di sisi paling timur. Ketika musim angin
timur, zona penangkapan ikan PPI Pondok Mimbo mengalami dampak musiman
berupa angin kencang dan gelombang tinggi, sementara itu zona PPI Besuki
mengalami dampak musiman yang paling kecil.
Optimalisasi perikanan tangkap Situbondo dapat dilakukan dengan mengatur
pola kegiatan penangkapan pada ZPPI dalam unit spasial yang dapat diakses oleh
nelayan dari PPI bersangkutan. Ada 4 opsi pola kegiatan penangkapan ikan yang
teridentifikasi, yaitu: (1) setiap nelayan beroperasi di dalam zona PPI masing-
masing; (2) nelayan dari zona PPI yang berbeda bekerjasama di dalam wilayah
pengelolaan perikanan Kabupaten Situbondo; (3) nelayan Situbondo bekerjasama
dengan nelayan PPI lain di sekitarnya yang sama-sama beroperasi di Selat
Madura; dan (4) nelayan Situbondo bekerjasama dengan nelayan dari PPI lain
yang beroperasi di Selat Bali, Laut Bali dan Laut Jawa bagian timur sebelah utara
Pulau Madura. Keempat opsi tersebut perlu diterapkan dalam pengelolaan
perikanan tangkap Kabupaten Situbondo.
Berdasarkan dinamika ZPPI dan kapasitas teknis yang dimilikinya, nelayan
Besuki selain beroperasi di dalam zona PPI Besuki sendiri, juga dapat
memperluas daerah penangkapan ikan pada tiga arah, yaitu ke sebelah barat laut
hingga di sebelah utara Paiton, ke utara hingga perairan di sebelah selatan
Pamekasan, dan ke arah timur laut hingga ke sebelah barat atau barat laut Tanjung
Pecinan. Nelayan Besuki yang menggunakan perahu motor 10 – 20 GT diarahkan
untuk bekerjasama dengan nelayan lokal lain untuk mengakses ZPPI virtual dalam
unit spasial di perairan yang jaraknya 10 – 20 km dari garis pantai di sisi timur
laut Probolinggo, serta sebelah barat laut dan timur laut PPI Tanjung Pecinan.
Nelayan Besuki yang menggunakan perahu motor di atas 20 GT diarahkan untuk
bekerjasama dengan nelayan lokal untuk mengakses unit spasial ZPPI virtual
dalam unit spasial di perairan yang jaraknya lebih dari 20 km sebelah utara sampai
timur laut Pondok Mimbo, sebelah selatan Pamekasan hingga sebelah tenggara
Sumenep. Selain itu, nelayan Besuki dapat melakukan kerjasama dengan nelayan
lokal lainnya untuk mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di perairan Laut
Jawa antara sebelah utara Pamekasan sampai utara Pulau Raas. Cakupan daerah
penangkapan ikan yang luas ini menunjukkan keunggulan teknis dari armada
penangkapan ikan yang berasal dari PPI Besuki dibandingkan dengan nelayan
Situbondo lainnya.
Lokasi ZPPI dalam unit spasial di zona PPI Tanjung Pecinan selalu
mengalami perubahan di antara sebelah barat laut dan timur lautnya. Perubahan
ini terutama disebabkan oleh pola lintasan pergerakan massa air laut dan
sumberdaya ikan di antara zona Pondok Mimbo dan Besuki. Nelayan Tanjung
Pecinan yang menggunakan perahu motor 10 – 20 GT dapat diarahkan untuk
bekerjasama dengan nelayan Sitobondo lain untuk melakukan operasi
penangkapan ikan di ZPPI virtual dalam unit spasial di perairan yang berjarak
kurang dari 20 km dari pantai Besuki dan Pondok Mimbo. Nelayan Tanjung
Pecinan yang menggunakan perahu motor ukuran di atas 20 GT diarahkan untuk
melakukan kerjasama dengan nelayan lokal lain untuk melakukan operasi
penangkapan ikan pada perairan yang jaraknya lebih dari 20 km dari pantai
Besuki dan Pondok Mimbo. Nelayan Tanjung Pecinan dan Besuki yang sama-
sama menggunakan perahu/kapal motor di atas 20 GT dapat diarahkan untuk
melakukan kerjasama penangkapan ikan agar dapat mengakses ZPPI virtual dalam
unit spasial di Selat Madura yang jaraknya lebih dari 20 km di sebelah
Probolinggo, di sisi utara Selat Madura sebelah selatan Sampang sampai selatan
pulau Raas, di Laut Jawa sebelah utara Pamekasan sampai Pulau Raas.
Lokasi dan jumlah ZPPI dalam unit spasial pada zona penangkapan ikan PPI
Pondok Mimbo juga selalu berubah-ubah, tersebar dalam kawasan perairan yang
lebih luas dibandingkan dengan unit spasial dalam zona PPI Besuki dan Tanjung
Pecinan. Kondisi ini menunjukkan bahwa nelayan dari PPI Pondok Mimbo
mempunyai potensi sumberdaya ikan yang lebih besar dibandingkan dengan
nelayan dari PPI lain di sekitar Selat Madura. Namun demikian, spesifikasi teknis
perahu motor yang digunakan tidak mampu untuk mengatasi angin kencang dan
gelombang tinggi dari timur sehingga nelayan Pondok Mimbo tidak mampu
mengakses ZPPI dalam unit spasial yang luas tersebar di perairan yang berjarak
lebih dari 20 km dari pantai Pondok Mimbo. Nelayan Pondok Mimbo yang
menggunakan perahu motor 10 – 20 GT dapat diarahkan untuk bekerjasama
dengan nelayan lokal lain untuk mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di
sebelah timur dan timur laut Tanjung Pecinan, serta dengan nelayan Banyuwagi
untuk mengakses bagian utara dari Selat Bali
Kerjasama di antara nelayan dari berbagai lokasi di atas sudah seharusnya
difasilitasi oleh beberapa Pemerintah Daerah yang bersangkutan, yaitu Kabupaten
Situbondo, Probolinggo, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Banyuwangi, dan
Provinsi Jawa Timur. Kerjasama antar Pemerintah Daerah ini tidak terbatas pada
akses zona penangkapan ikan, tetapi juga termasuk pembangunan jaringan
industri perikanan yang melibatkan sub-sistem penangkapan ikan yang berpusat di
tepian selatan Selat Madura (di antaranya adalah Situbondo) dan sub-sistem
pengolahan ikan yang saat ini berpusat di Banyuwangi. Melalui kerjasama ini
diharapkan nelayan dapat mengakses ZPPI dalam unit spasial lebih banyak dalam
rangka meningkatkan produktivitas dan pengelolaan ikan hasil tangkapan untuk
kesejahteraan nelayan dan pembangunan Kabupaten Situbondo.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009
Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber :
a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritis
atau tinjauan suatu masalah
b. pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB.
2. Dilarang mengumumkan sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGELOLAAN ZONA PENANGKAPAN IKAN
DI SELAT MADURA DAN SEKITARNYA DENGAN
PENDEKATAN SPASIAL DAN TEMPORAL

BIDAWI HASYIM

Disertasi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Doktor
Pada Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc.
: 2. Dr. Ir. Domu Simbolon, MS.

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof (R). Dr. Ir. Subhat Nurhakim, M.Sc.
: 2. Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Sc.
PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia
rahmat dan nikmatNya sehingga disertasi dengan judul “Pengelolaan Zona
Penangkapan Ikan di Selat Madura dan Sekitarnya Dengan Pendekatan Spasial
dan Temporal”.ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini disusun untuk memenuhi
persyaratan memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan –
Institut Pertanian Bogor, dan sebagai bagian dari upaya memberikan konstribusi
bagi pembangunan perikanan tangkap khususnya untuk Kabupaten Situbondo.
Penulis dapat mengikuti pendidikan sampai S3 dan menyelesaikan disertasi pada
Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan IPB ini, atas jasa serta do’a dari
ayahanda H. Asna’i (alm) dan ibunda Hj Yatim yang paling penulis hormati, serta
isteri tercinta Hj. Erna Marliana.
Dengan selesainya disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Profesor
Dr. Ir. John Haluan M.Sc. dan Dr. Ir. Mahdi Kartasasmita MS. selaku Anggota
Komisi Pembimbing Disertasi;
2. Prof Dr Ir Indra Jaya, M.Sc., Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
yang mewakili Rektor IPB pada Ujian Terbuka;
3. Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc., Wakil Dekan yang mewakili Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Ujian Tertutup;
4. Profesor Dr. Ir. John Haluan M.Sc., selaku Ketua Program Studi Teknologi
Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB;
5. Dr. Ir. Budy Wiryawan M.Sc., dan Dr. Ir. Domu Simbolon MS. selaku
penguji luar pada Ujian Tertutup;
6. Prof (R) Dr. Ir. Subhat Nurhakim, M.Sc. dan Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol,
M.Sc. selaku penguji luar pada Ujian Terbuka;
7. Profesor (Emeritus) Dr. Ir. Daniel R. Monintja, M.Sc. yang selalu memberikan
dorongan semangat sejak penulis mengikuti program studi S3 Teknologi
Kelautan IPB;
Pada kesempatan ini, penulis tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih
atas dukungannya dalam penyelesaian disertasi ini, kepada :
1. Dr. Adhyaksa Dault, S.H., M.Si., Menteri Negara Pemuda dan Olahraga RI,
sebagai pimpinan sekaligus sahabat sejak kuliah bersama pada Program Studi
Teknologi Kelautan IPB;
2. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS., selaku dosen sekaligus teman diskusi sejak
penulis mengikuti pendidikan S2 Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan IPB;
3. Dr. Bambang Koesoemanto, M.Sc., Sekretaris Utama LAPAN;
4. Drs. Bambang Setiawan Tejasukmana, Dipl.Ing., Deputi Bidang Sains
Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan LAPAN serta sahabat sejak kuliah
bersama pada Departemen Fisika – Institut Teknologi Bandung (ITB);
5. Dra. Ratih Dewanti, M.Sc., selaku Kepala Pusat Pengembangan Pemanfaatan
dan Teknologi Penginderaan Jauh (Pusbangja) LAPAN, dan Ir. Agus Hidayat,
M.Sc. selaku Kepala Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN ;
6. Dra. Yuni Purwanti, M.Pd., Asisten Deputi Olahraga Pendidikan; Dra.
Marheni Diah, M.Pd., Kepala Bidang Olahraga Kesiswaan; serta para Kepala
Bidang dan kawan-kawan pada Asdep Olahraga Pendidikan, Kementerian
Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenegpora);
7. dr. Fatimah, Sp. KO., Asisten Deputi Standardisasi, Akreditasi, dan Sertifikasi
(SAS) Keolahragaan - Kemenegpora, beserta para Kepala Bidang dan kawan-
kawan pada Asdep SAS Keolahragan - Kemenegpora;
8. Prof. Dr. Husein Argasasmita, M.A., Ketua Lembaga Akreditasi Nasional
Keolahragaan (LANKOR). Kemenegpora;
9. Dr. Orbita Roswintiarti, M.Sc., Kepala Bidang Pemanfaatan Penginderaan
Jauh; Dr. Ir. Donny Kushardono, M. Eng. Sc., Kepala Bidang Pengembangan
Teknologi Penginderaan Jauh; Ir. Totok Suprapto, MT., Kepala Bidang
Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan; serta Ir. Nursaid, M.Si.,
Kepala Instalasi Lingkungan dan Cuaca, Pusbangja - LAPAN;
10. Prof (R) Dr. Ir. Asikin Djamali dan Dr. Ir. M. Hutomo, Lembaga Penelitian
Oseanologi LIPI, juga atas bantuannya dalam pengadaan literatur oseanografi;
11. Dra. Maryani Hartuti, M.Sc., Teguh Proyogo ST., Sayidah Sulma, SPi.,
Suwarsono S.Si., Yudi Prayitno, ST., Drs. Islam Widya Bagja, sdr Bambang
Susilo dan teman-teman di LAPAN Pekayon, dalam perolehan data dan
pengolahan data satelit penginderaan jauh;
12. Roy Hidayat, S.Pi., M.Si, Staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Situbondo atas bantuannya dalam pengadaan literatur tentang perikanan di
Kabupaten Situbondo;
13. Teman-teman dari Sekretariat Pasca Sarjana IPB khususnya Pak Jayana,
sekretariat Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, serta Mbak Shinta,
Mbak Hani dan Pak Iwan dari Sekretariat Program Studi Teknologi Kelautan
IPB, dalam penyelesaian administratif perkuliahan dan disertasi;
14. Sanak saudara atas sambung do’a dan dorongan semangatnya untuk
menyelesaikan pendidikan dan disertasi ini;
15. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyelesaian
disertasi Pascasarjana Program Studi Teknologi Kelautan IPB.
Penulis berharap, disertasi ini bermanfaat bagi penentu kebijakan dan pelaku
perikanan tangkap khususnya di daerah penelitian yaitu Kabupaten Situbondo,
penentu kebijakan dan pengambil keputusan di bidang penginderaan jauh LAPAN
dalam meningkatkan penelitian pemanfaatan teknologi satelit penginderaan jauh
untuk kelautan dan perikanan, serta memotivasi teman-teman peneliti di instansi
penulis bekerja untuk meningkatkan kedewasaan ilmiah.
Semoga pendidikan yang telah penulis jalani dan disertasi ini menjadi
contoh dan penyemangat bagi anak-anak dan menantu tersayang yaitu : Akhmad
Ardiyansyah SE., Lita Aryani, SP., Muhammad Lukman, A.Md., Budi Muliawan,
Arlina Ratnasari (penerus pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB), Aulia
Irfana Perdani, ST., serta cucunda terkasih Naila Zahra Azalia Mayrani serta
generasi penerus penulis untuk mencapai jenjang pendidikan tertinggi.

Jakarta, Juni 2009

Bidawi Hasyim
RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 19 Oktober 1953 di Situbondo - Jawa Timur, anak
pertama dari 5 bersaudara dari pasangan ayah H. Asna’i dan ibu Hj. Yatim. Setelah
menyelesaikan pendidikan S1 pada Departemen Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB)
pada tahun 1980, penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sejak 1 Maret 1980. Lulus S2 Pasca
Sarjana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (PS-SPL) Institut Pertanian Bogor
(IPB) pada 31 Januari 2003, kemudian pada bulan Juni 2003 melanjutkan ke Program S3
pada Program Studi Teknologi Kelautan (PS-TKL) – Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB. Penulis pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan dalam bidang
teknologi pengolahan data dan komputer, serta penginderaan jauh dan sistem informasi
geografis baik di dalam dan di luar negeri, antara lain di Pusat Ilmu Komputer Universitas
Indonesia, Amerika Serikat, Jepang, Thailand, Kanada, Italia, dan Belanda. Secara
khusus, penulis pernah belajar aplikasi penginderaan jauh untuk kelautan dan perikanan
di Japan National Fisheries Risearch Institute, Tokyo tahun 1987-1988.
Penulis secara konsisten melakukan penelitian di bidang aplikasi data
penginderaan jauh untuk kelautan dan perikanan sejak 1983. Menjadi Peneliti Utama
pada kegiatan Riset Unggulan Terpadu (RUT) dalam bidang aplikasi data penginderaan
jauh untuk kualitas perairan pantai. Pernah aktif menjadi anggota Komisi Nasional
Pengkajian Sumberdaya Ikan Laut, kerjasama penelitian aplikasi data RADAR-SAR
antara negara-negara ASEAN dengan Uni Eropa, serta angota Global Research Network
System (GRNS) Jepang dalam bidang oseanografi. Mengembangkan inovasi dalam
bidang aplikasi data penginderaan jauh untuk penentuan zona potensi penangkapan ikan
(ZPPI), pemetaan terumbu karang seluruh perairan laut Indonesia menggunakan data
penginderaan jauh LANDSAT-TM (kerjasama LAPAN – LIPI), serta proyek aplikasi
data penginderaan jauh untuk bina usaha. Penulis terpilih sebagai Peneliti Terbaik
LAPAN tahun 1995/1996, mendapat penghargaan Satya Lencana Karya Satya 10 dan 20
tahun, serta Satya Lencana Wira Karya Pembangunan dari Presiden RI.
Penulis juga banyak membimbing tugas akhir mahasiswa S1 untuk penelitian yang
berkaitan dengan pemanfaatan data penginderaan jauh dari beberapa perguruan tinggi
antara lain dari IPB, Universitas Diponegoro Semarang (UNDIP), Universitas Riau
(UNRI), Universitas Hasanuddin Makassar (UNHAS), Universitas Hang Tuah Surabaya
(UHT), Universitas YARSI Jakarta, serta mahasiswa S2 SPL-IPB. Penulis pernah
berpartisipasi aktif pada pertemuan ilmiah dalam dan luar negeri seperti di Malaysia,
Singapore, Thailand, Phillipina, China, dan Jepang. Penulis juga pernah menjadi Wakil
Ketua Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN).
Jabatan fungsional peneliti yang diemban saat ini adalah Ahli Peneliti Muda
Bidang Penginderaan Jauh. Penulis sempat memegang jabatan struktural sebagai Kepala
Unit Komputer Induk – Pusat Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN, Kepala Bidang
Matra Laut – Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN, Kepala Pusat
Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN, serta mendapat
tugas sebagai Staf Ahli Kepala LAPAN Bidang Tekno Ekonomi. Selain jabatan struktural
di LAPAN, penulis sempat ditugaskan untuk memangku jabatan struktural eselon I
sebagai Staf Ahli Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Bidang Strategi Pembangunan
Pemuda dan Olahraga, kemudian sebagai Deputi Menteri Negara Pemuda dan Olahraga
Bidang Pemberdayaan Olahraga pada Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga
Republik Indonesia.

Jakarta, Juni 2009


DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

bathymetry : kedalaman perairan laut (meter)


Caranx leptolepis : ikan selar kuning
Carangidae : famili ikan selar
Caranx sexfaciatus : ikan kuweh
cropping : pemotongan citra sesuai dengan batas-batas yang
diinginkan/ditentukan
demersal : jenis ikan yang hidup, berenang dan mencari makan
mulai di lapisan dasar
Decapterus spp. : ikan layang
digital number : nilai digital yang diterima dari satelit NOAA-
AVHRR dengan nilai antara 0 – 1023.
Euthynnus spp. : ikan tongkol
Feedback dari nelayan : data hasil tangkapan ikan dari nelayan yang
beroperasi di lokasi yang diperkirakan sebagai
tempat yang banyak ikan.
Fetch : jarak tempuh angin
fish finder : alat yang digunakan untuk mendeteksi adanya
kumpulan ikan di laut dengan menggunakan
gelombang suara (elektromagnetik)
fishing ground : lokasi yan diduga sebagai tempat berkumpul ikan
geografis : lokasi berdasarkan koordinat posisi
GPS : global positioning system
GT : gross tonage (ukuran perahu/kapal motor)
ikan pelagis : jenis ikan yang hidup, berenang dan mencari makan
di lapisan permukaan laut
isobath : garis/kontur yang menyatakan lapisan kedalaman
laut yang sama
isohaline : ikan yang sensitif terhadap perubahan suhu
kerjasama penangkapan : kegiatan penangkapan ikan yang terkoordinasi di
ikan antara nelayan yang berasal dari tempat berbeda
dengan tujuan untuk menghilangkan konflik di
antara mereka
klorofil-a : kandungan hijau daun pada fitoplankton
koreksi geometrik : koreksi citra satelit untuk menghilangkan kesalahan
akibat rotasi dan kelengkungan bumi.
koreksi radiometrik : koreksi citra satelit untuk menghilangkan kesalahan
akibat pengaruh partikel di atmosfir.
KUD : Koperasi Unit Desa
LAPAN Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
mil laut (nautical mile) ukuran jarak di laut sejauh 1.852 meter
Megalaspis cordyla : ikan selar
migrasi : perpindahan kelompok ikan dari satu lokasi ke lokasi
perairan lainnya, karena faktor lingkungan atau
proses pertumbuhan ikan.
MSY : maximum sustainable yield (potensi lestari)
musim barat : musim yang didominasi oleh angin dari arah barat,
biasanya terjadi pada bulan Desember - Februari
musim peralihan pertama : musim yang merupakan transisi dari musim barat ke
musim timur, dengan arah dan kecepatan angin yang
berubah-ubah, terjadi pada bulan Maret – Mei
musim timur : musim yang didominasi oleh angin dari arah timur,
biasanya terjadi pada bulan Juni – Agustus
musim peralihan kedua : musim yang merupakan transisi dari musim timur ke
musim barat, dengan arah dan kecepatan angin yang
berubah-ubah, biasanya terjadi pada bulan
September – November
nelayan pandega : orang yang pekerjaannya hanya melakukan kegiatan
penangkapan ikan di laut
nelayan sambilan : orang yang kegiatannya menjadi nelayan pada
waktu tidak mengerjakan pekerjaan utamanya,
misalnya pekerjaan di pabrik gula.
nelayan pemilik : pemilik perahu/kapal motor dan ikut serta dalam
kegiatan penangkapan ikan
Nelayan tradionil : nelayan yang melakukan penangkapan dengan
perahu layar atau perahu motor di bawah 5 GT.
NOAA- AVHRR : National Oceanic and Atmospheric Administration -
Advance Very High Resolution Radiometer
overfishing : kegiatan penangkapan ikan yang produksinya
melebihi potensi lestasi sumberdaya ikan dan/atau
upaya penangkapan ikan yang dikerahkan melebihi
tingkat upaya untuk menghasilkan MSY
one day fishing : kegiatan penangkapan ikan yang lamanya satu hari
atau satu malam per trip operasi penangkapan ikan
paceklik : masa sulit bagi nelayan karena hasil tangkapan
sangat rendah, baik akibat dari tidak adanya ikan di
perairan maupun buruknya kondisi laut
pengelolaan : pengaturan penangkapan ikan berdasarkan zona
potensi penangkapan ikan
penginderaan Jauh : ilmu dan seni untuk mendapatkan data atau
fenomena suatu obyek dengan bantuan alat tanpa
menyentuh objek yang diamati
piksel (pixel) : ukuran gambar terkecil yang dapat diamati dan
dinyatakan dalam ukuran satuan dalam citra satelit
penginderaan jauh, misalnya untuk citra NOAA-
AVHRR adalah 1,1 km x 1,1 km.
pelagis kecil : jenis ikan yang hidup, berenang dan mencari makan
mulai dari lapisan permukaan laut sampai kedalaman
100 meter
pelagis besar : jenis ikan yang hidup, berenang dan mencari makan
mulai dari lapisan permukaan laut sampai kedalaman
lebih dalam dari 100 meter
peta rupabumi : peta yang menggambarkan bentuk dan penggunaan
lahan dengan skala tertentu
peta kedalaman laut : peta yang menggambarkan kedalaman laut dengan
skala tertentu
prospektif : mempunyai peluang memberikan hasil yang tinggi
PPDI : Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan
PPI : Pusat Pendaratan Ikan
radiometer count atau : Nilai digital dari setiap pixel terdiri dari 8 bit dengan
digital count atau nilai 0 – 255, atau 10 bit dengan nilai 0 – 1023.
digital number
Rastrelliger kanagurta : kembung laki-laki atau banyar
Rastrelliger neglectus : kembung perempuan
salinitas : kandungan garam di perairan laut dengan satuan o/oo.
Sardinella longiceps : jenis ikan lemuru di Selat Bali
Scomberomorus : tenggiri
lineolatus
SeaWiFS : Sea Wide Field of view Sensor
Selar cromenopthalmus : ikan selar bentong
Sempenit : ikan lemuru yang ukuran panjangnya kurang dari
11 cm.
scad mackerels : Ikan layang
schooling : gerombolan ikan di laut
Situbondo : nama kabupaten di ujung timur dari Jawa Timur,
berada di tepian selatan dari Selat Madura
spasial : ukuran luas tertentu berkorelasi dengan posisi
koordinat.
SPL : Suhu Permukaan Laut (satuan 0C)
SST : Sea Surface Temperature (satuan 0C)
stenohaline : ikan yang sensitif terhadap perubahan salinitas
temporal : periode pengulangan tertentu (mingguan, bulanan,
musiman)
trevallies Nama lain dari ikan selar
purse seine : jaring ikan yang dikenal dengan nama pukat cincin
protolan : lemuru yang ukuran panjangnya antara 11 – 15 cm.
Topex Poseidon : satelit penginderaan jauh yang memberikan data
tentang ketinggian muka laut dan arah angin.
thermal front : pertemuan antara massa air yang lebih panas dengan
yang lebih dingin
Thunnus albacares : madidihang
time series : deret waktu dengan periode yang berbeda,
mingguan/bulanan/musiman
swimming layer : lapisan kedalaman berenang ikan
TPI tempat pendaratan ikan
unit spasial : ukuran sel (unit) terkecil dalam peta
WPP : Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (11 WPP)
ZEE : zona ekonomi ekslusif
Zona A : zona penangkapan ikan PPI Besuki
Zona B : zona penangkapan ikan PPI Tanjung Pecinan
Zona C : zona penangkapan ikan PPI Pondok Mimbo
ZPPI : zona potensi penangkapan ikan
ZPPI virtual : ZPPI yang ada dalam zona penangkapan PPI lain.
xvi

DAFTAR ISI

Halaman
Daftar Gambar ……………………………………………………………… xx
Daftar Tabel ………………………………………………………………… xxiii
Daftar Lampiran ……………………………………………………………. xxiv
1 PENDAHULUAN ……………………………………………………... 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………. 1
1.2 Permasalahan ……………………………………………………… 5
1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………….. 5
1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………………… 6
1.5 Hipotesis …………………………………………………………... 7
1.6 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 7

2 TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………….. 10


2.1 SPL, Klorofil-a, Angin dan Gelombang …………………………... 10
2.2 Karakteristik Beberapa Jenis Ikan Pelagis .………………………... 17
2.3 Data Penginderaan Jauh untuk Penangkapan Ikan ……………….. 23
2.4 Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia ....................................... 24
2.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ............................................ 26
2.6 Kebutuhan Informasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan..... 28
2.7 Pengembangan dan Penerapan Informasi Spasial ZPPI LAPAN ..... 29
2.8 Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan buatan BRKP ................. 35
2.9 Tingkat Adopsi Pemanfaatan Informasi Spasial ZPPI ...................... 36

3 DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN …………………….. 38


3.1 Kondisi Geografis Daerah Penelitian ............................................... 38
3.2 Potensi Wilayah Kabupaten Situbondo ............................................ 40
3.3 Pewilayahan Pembangunan Kabupaten Situbondo .......................... 40
3.4 Kelembagaan Kelautan dan Perikanan ............................................ 41
3.5 Usaha Penangkapan Ikan Laut ......................................................... 43
3.6 Permasalahan dan Peluang Dalam Pembangunan Perikanan ........... 46
xvii

4 METODOLOGI ……………………………………………………….. 48
4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian …………………………………….... 48
4.2 Metode Pengumpulan Data ................................................................ 49
4.2.1 Materi penelitian.…………………………………...………. 49
4.2.2 Perhitungan suhu permukaan laut .......................................... 50
4.2.3 Data klorofil-a ........................................…………………... 53
4.2.4 Data angin dan gelombang .................................................. 53
4.2.5 Data kedalaman perairan laut ………………….................... 54
4.3 Pengumpulan Data Perikanan Tangkap ............................................ 54
4.3.1 Pengumpulan data perikanan tangkap melalui survei
lapangan................................................................................. 55
4.3.2 Pengumpulan data waktu, lokasi dan jenis ikan.................... 56
4.4 Design dan sintesis Informasi Spasial ZPPI ..................................... 56
4.5 Metode Analisis ................................................................................ 62
4.5.1 Pengaturan zona penangkapan ikan berdasarkan ukuran 62
(jarak jangkau) perahu/kapal motor .........................................
4.5.2 Pengaturan zona penangkapan berdasarkan daya jangkau
kapal dalam bentuk lingkaran .................................................. 63
4.5.3 Pengaturan zona penangkapan ikan dalam jarak sejajar garis
pantai ....................................................................................... 64
4.5.4 Analisis pengelolaan zona penangkapan ikan ........................ 65

5 HASIL PENELITIAN ………………………………………………… 68


5.1 Kondisi Oseanografi Selat Madura dan Sekitarnya .......................... 68
5.1.1 SPL dan kandungan klorofil-a ............................................... 68
5.1.2 Angin dan gelombang............................................................. 69
5.1.3 Kedalaman perairan Selat Madura ........................................ 70
5.2 Kondisi Umum Perikanan Tangkap................................................... 71
5.3 Hasil Tangkapan dari Pemanfaatan Informasi Spasial ZPPI ............ 74
5.3.1 Hasil tangkapan ZPPI bulan Mei .......................................... 75
5.3.2 Hasil tangkapan ZPPI bulan Juni ......................................... 75
5.3.3 Hasil tangkapan ZPPI bulan Juli ........................................... 75
xviii

5.3.4 Hasil tangkapan ZPPI bulan Agustus .................................... 76


5.3.5 Hasil tangkapan ZPPI bulan September ................................ 76
5.3.6 Hasil tangkapan ZPPI bulan Oktober .................................... 77
5.3.7 Hasil tangkapan ZPPI bulan November ................................ 77
5.4 Pengaturan Alokasi Perahu Motor ..................................................... 83
5.4.1 Distribusi perahu motor pada masing-masing PPI................. 83
5.4.2 Pengaturan berdasarkan zona dalam bentuk lingkaran ........... 84
5.4.3 Pengaturan berdasarkan zona dalam jarak sejajar garis pantai 86
5.5 ZPPI di Selat Madura dan Sekitarnya ……….................................... 87
5.5.1 ZPPI bulanan pada zona PPI Besuki ..................................... 94
5.5.2 ZPPI bulanan pada zona PPI Tanjung Pecinan ...................... 95
5.5.3 ZPPI bulanan pada zona PPI Pondok Mimbo …………........ 95
5.5.4 ZPPI bulanan pada peraian sekitar Selat Madura .................. 96

6 PEMBAHASAN ...................................................................................... 99
6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya ................................. 99
6.1.1 SPL, klorofil-a, angin, gelombang, dan arus ............................ 100
6.1.2 Kedalaman perairan Selat Madura ............................................ 109
6.1.3 Sumberdaya ikan Selat Madura................................................. 110
6.1.4 Kondisi spesifik Selat Madura ................................................. 112
6.2 Pengaturan Alokasi Perahu/Kapal Motor ......................................... 113
6.2.1 Pengaturan alokasi perahu/kapal motor dalam zona
penangkapan ikan berbentuk lingkaran ................................... 114
6.2.2 Pengaturan alokasi perahu/kapal motor dalam zona
penangkapan ikan sejajar garis pantai ................................... 115
6.2.3 Alternatif bentuk zona penangkapan ....................................... 117
6.3 Pengaturan Pola Kegiatan Penangkapan Ikan .................................... 117
6.3.1 Pengaturan pola kegiatan penangkapan bagi nelayan Besuki 118
6.3.2 Pengaturan pola kegiatan penangkapan bagi nelayan Tanjung
Pecinan ..................................................................................... 125
6.3.3 Pengaturan pola kegiatan penangkapan bagi nelayan Pondok
Mimbo ..................................................................................... 133
xix

6.3.4 Pengembangan pemanfaatan hasil tangkapan .......................... 139


6.3.5 Diskusi pola penangkapan dan pengelolaan ikan hasil
tangkapan ................................................................................. 140

7 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 143


7.1 Kesimpulan ........................................................................................ 143
7.2 Saran .................................................................................................. 145

8 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 146


xx

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian pengelolaan zona penangkapan


ikan di Selat Madura dan sekitarnya bagi nelayan Kabupaten
Situbondo – Jawa Timur dengan pendekatan spasial dan temporal.. 9
2 Korelasi antara jarak dari titik pusat zona potensi penangkapan
ikan dengan hasil tangkapan ikan ………………………………... 24
3 Pembagian wilayah perairan laut Indonesia menjadi 11
WPP................................................................................................... 25
4 Informasi spasial ZPPI tanggal 13 Juli 2002 yang digunakan pada
uji coba penerapan ZPPI di perairan laut Pangandaran …………… 32
5 Contoh ZPPI di perairan Laut Jawa sebelah utara pulau Madura
yang dipergunakan oleh nelayan Pekalongan …………………….. 33
6 Contoh penggunaan informasi spasial dengan 2 (dua) ZPPI di Laut
Jawa sebelah utara Tuban dan Rembang oleh nelayan Pekalongan.. 34
7 Contoh Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan yang diproduksi
dan didisribusikan oleh BRKP - DKP ….......................................... 36
8 Peta geografi wilayah Kabupaten Situbondo menunjukkan posisi
wilayah Situbondo berada di sisi selatan Selat Madura, dan
wilayah kabupaten sekitarnya di Provinsi Jawa Timur .................... 38
9 Cakupan wilayah penelitian dalam informasi spasial ZPPI.............. 48
10 Proses umum pembuatan informasi spasial ZPPI dalam penelitian
identifikasi zona potensi penangkapan ikan di Selat Madura dan
58
sekitarnya...........................................................................................
11 Proses sintesis untuk menghasilkan pola spasial ZPPI mingguan ... 59
12 Proses sintesis data untuk menghasilkan pola spasial ZPPI bulanan
setiap tahun ....................................................................................... 60
13 Diagram alir proses pembuatan ZPPI bulanan ……………………. 61
14 Pembagian zona penangkapan berdasarkan jarak tempuh perahu
motor pada masing-masing ukuran, berbentuk lingkaran dengan
titik pusat pada PPI dan zona sejajar garis pantai ............................ 63
15 Batas zona pengelolaan penangkapan ikan Kabupaten Situbondo
meliputi PPI Besuki, PPI Tanjung Pecinan dan PPI Pondok
Mimbo............................................................................................... 66
xxi

16 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan feedback


hasil penangkapan pada bulan Mei tahun 2004 ............................... 78
17 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan data
feedback hasil penangkapan pada bulan Juni tahun 2004`………… 78
18 Informasi spasial zona potensi ikan dengan data feedback hasil
penangkapan pada bulan Juli tahun 2003 ......................................... 79
19 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan data
feedback hasil penangkapan pada bulan Juli tahun 2004 ………… 79
20 Informasi spasial zona potensi penangkapan Ikan dengan data
feedback hasil penangkapan pada bulan Agustus tahun 2003 ......... 80
21 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan data
feedback hasil penangkapan pada bulan September tahun 2004...... 80
22 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan data
feedback hasil penangkapan pada bulan Oktober 2003.................... 81
23 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan data
feedback hasil penangkapan pada bulan Oktober tahun 2005…….. 81
24 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan data
feedback hasil penangkapan pada bulan Nopember 2003 ………... 82
25 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan data
feedback hasil penangkapan pada bulan Nopember 2005 ………... 82
26 Perbandingan jumlah perahu motor masing-masing ukuran pada
PPI Besuki, Tanjung Pecinan dan Pondok Mimbo .......................... 84
27 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya
pada bulan Desember ....................................................................... 88
28 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya
pada bulan Januari ............................................................................ 88
29 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya
pada bulan Februari .......................................................................... 89
30 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya
pada bulan Maret .............................................................................. 89
31 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya
pada bulan April ............................................................................... 90
32 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya
pada bulan Mei ................................................................................. 90
33 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya
pada bulan Juni ................................................................................. 91
xxii

34 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya


pada bulan Juli .................................................................................. 91
35 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya
pada bulan Agustus .......................................................................... 92
36 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya
pada bulan September ...................................................................... 92
37 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya
pada bulan Oktober .......................................................................... 93
38 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya
pada bulan November ....................................................................... 93
xxiii

DAFTAR TABEL

Halaman
1 Nama kecamatan dan desa pesisir yang mempunyai TPI ................ 39
2 Alat tangkap dan produksi ikan setiap jenis alat tangkap per tahun 43
3 Produksi ikan tangkap Kabupaten Situbondo untuk 5 (lima) jenis
ikan yang dominan pada tahun 2002 – 2006 (5 tahun) …………… 44
4 Jumlah armada perahu/kapal motor setiap kecamatan di
Kabupaten Situbondo tahun 2003 ………………………………… 45
5 Jumlah nelayan berdasarkan jenisnya pada masing-masing
kecamatan di Kabupaten Situbondo tahun 2003 ………………….. 45
6 Nilai konstanta a dan b untuk kanal 4 dan 5 sensor AVHRR .......... 52
7 Data ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah
operasi serta pendapatan bersih nelayan per trip dari PPI Pondok
Mimbo............................................................................................... 71
8 Data ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah
operasi serta pendapatan bersih nelayan per trip dari PPI Besuki.... 72
9 Distribusi jumlah dan ukuran perahu motor pada masing-masing
PPI di wilayah Kabupaten Situbondo ............................................. 83
10 Luas zona masing-masing ring (km2) untuk tiap kategori ukuran
perahu layar/motor di PPI Besuki .................................................... 85
11 Luas zona masing-masing ring (km2) untuk tiap kategori ukuran
perahu layar/motor di PPI Tanjung Pecinan .................................... 85
2
12 Luas zona masing-masing ring (km ) untuk tiap kategori ukuran
perahu layar/motor di PPI Pondok Mimbo ...................................... 85
13 Luas zona penangkapan per perahu/kapal motor (km2/unit) untuk
masing-masing PPI dan seluruh Situbondo....................................... 86
14 Luas zona penangkapan sejajar garis pantai untuk masing-masing
kategori perahu/kapal motor pada PPI ............................................. 86
15 Luas zona sejajar garis pantai untuk alokasi per unit perahu/kapal
motor masing-masing untuk PPI Besuki, Tanjung Pecinan, dan
Pondok Mimbo, dan rata-rata untuk seluruh Situbondo .................. 87
16 Posisi ZPPI bulanan dalam zona PPI Besuki ……………………... 94
17 Posisi ZPPI bulanan dalam zona PPI Tanjung Pecinan …………... 95
18 Posisi ZPPI bulanan dalam zona PPI Pondok Mimbo …………..... 96
19 Posisi ZPPI bulanan di perairan sekitar Selat Madura …………..... 98
xxiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Contoh sebaran SPL ......................................................................... 152


2 Contoh sebaran konsentrasi klorofil-a Selat Madura dan
sekitarnya........................................................................................... 154
3 Tabel arah, kecepatan dan frekeensi angin di Selat Madura ……… 156
4 Tabel arah, ketinggian dan frekeensi gelombang di Selat Madura .. 160
5 Peta gelombang dan kecepatan angin di Laut Jawa dan sekitarnya.. 164
6 Gambar kontur kedalaman (batimetri) Selat Madura, Laut Bali
bagian barat dan Selat Bali bagian utara .......................................... 164
7 Data hasil survei lapangan tentang ukuran perahu/kapal motor,
jenis alat tangkap, lama dan daerah operasi serta pendapatan bersih
nelayan............................................................................................... 165
8 Tabel Feedback hasil tangkapan ikan di Selat Madura oleh nelayan
Situbondo dalam penerapan informasi spasial ZPPI ........................ 167
9 Perhitungan alokasi perahu/kapal motor untuk setiap kategori
perahu motor pada setiap zona penangkapan pada masing-masing
PPI dengan pola pengaturan berbentuk lingkaran ............................ 170
10 Perhitungan alokasi perahu/kapal motor untuk setiap kategori
perahu motor pada setiap zona penangkapan pada masing-masing
PPI dengan pola pengaturan berbentuk sejajar garis pantai ………. 172
11 Sebaran ZPPI mingguan di perairan Selat Madura .......................... 174
11.1 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Desember di Selat
Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh.... 174
11.2 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Januari di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ................ 176
11.3 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Februari di Selat
Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ... 178
11.4 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Maret di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ................ 180
11.5 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan April di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ................ 182
11.6 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Mei di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ................ 184
11.7 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Juni di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ............... 186
xxv

11.8 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Juli di Selat Madura


bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ................ 188
11.9 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Agustus di Selat
Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ... 190
11.10 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan September di Selat
Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ... 192
11.11 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Oktober di Selat
Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ... 194
11.12 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan November di Selat
Madura bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh ... 196
12 Grafik perbandingan antara ZPPI dengan ZPPI virtual yang dapat
diakses melalui kerjasama operasional penangkapan ikan................ 198
12.1. Grafik perbandingan antara ZPPI dalam zona PPI Besuki
sendiri dengan ZPPI virtual yang dapat diakses .................... 198
12.2. Grafik perbandingan antara ZPPI dalam zona PPI Tanjung
Pecinan sendiri dengan ZPPI virtual yang dapat diakses ...... 198
12.3. Grafik perbandingan antara ZPPI yang ada dalam zona PPI
Pondok Mimbo sendiri dengan ZPPI yang dapat diakses
serta ZPPI virtual yang dapat diakses melalui kerjasama
penangkapan ikan................................................................... 199
1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari
wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km2 dan zona ekonomi
ekslusif (ZEE) yang luasnya sekitar 2,7 juta km2. Ini berarti bahwa Indonesia
dapat memanfaatkan sumberdaya di perairan laut yang luasnya sekitar 5,8 juta
km2. Potensi sumberdaya ikan laut di seluruh perairan Indonesia diperkirakan
sebesar 6,4 juta ton per tahun. Potensi tersebut diantaranya terdiri dari ikan
pelagis besar sebesar 1,65 juta ton, ikan pelagis kecil sebesar 3,6 juta ton, dan ikan
demarsal sebesar 1,36 juta ton. Nilai produksi tersebut memberikan indikasi
bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut Indonesia baru mencapai
58,80%, dan sebagian besar merupakan ikan pelagis (Dahuri, 2003).
Sumberdaya ikan Indonesia yang sangat besar merupakan potensi yang perlu
dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat memberikan keuntungan bagi
kesejahteraan masyarakat dan sumber devisa negara. Pemanfaatan sumberdaya
ikan laut Indonesia di berbagai wilayah tidak merata. Di beberapa wilayah
perairan masih terbuka peluang besar untuk pengembangan pemanfaatannya,
sedangkan di beberapa wilayah perairan laut yang lain sudah mencapai kondisi
padat tangkap atau overfishing termasuk wilayah perairan Laut Jawa. Hal tersebut
dapat disebabkan karena pengelolaan sumberdaya perikanan belum dilaksanakan
dengan baik, sebagai akibat belum tersedianya perencanaan pengelolaan
sumberdaya perikanan secara akurat dan sesuai dengan kondisi spesifik perairan,
sumberdaya ikan, sarana dan prasarana perikanan serta sosial budaya masyarakat.
Selat Madura adalah salah satu wilayah yang mempunyai potensi perikanan
cukup baik namun belum dikelola dan dikembangkan secara optimal. Wilayah
perairan laut ini menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Situbondo dan
kabupaten lain di sekitarnya. Wilayah Kabupaten Situbondo terletak di tepian
selatan Selat Madura dengan garis pantai sepanjang sekitar 150 km,
berseberangan dengan wilayah Kabupaten Sumenep yang terletak di tepian utara
selat ini. Kabupatan ini di sebelah timur berbatasan dengan Laut Bali dan Selat
2

Bali, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo, sedangkan di


sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso.
Secara geografis, wilayah perairan Kabupaten Situbondo sangat strategis
karena merupakan pintu gerbang untuk mengakses perairan yang mempunyai
potensi sumberdaya ikan cukup tinggi, yaitu Selat Madura di bagian timur, Laut
Jawa bagian timur, Selat Bali bagian utara, Laut Bali dan Laut Flores, di utara
merupakan pintu gerbang menuju perairan sekitar Laut Jawa bagian timur dan
Selat Makassar bagian Selatan. Karena armada penangkapan ikan dan prasarana
perikanan yang tidak memadai maka nelayan Kabupaten Situbondo belum
seluruhnya mampu memanfaatkan potensi strategis tersebut secara optimal.
Perairan pantai Kabupaten Situbondo termasuk daerah penangkapan ikan
yang mudah diakses baik oleh nelayan Situbondo maupun oleh nelayan dari
wilayah lain. Selain ikan pelagis dan demarsal, kabupaten ini juga memiliki
beberapa kawasan terumbu karang yang kualitasnya masih dalam kategori baik.
Di bagian barat terdapat bentangan kawasan mangrove yang cukup luas dan
memanjang, sehingga merupakan lingkungan yang sangat baik untuk tetap
terpeliharanya keanekaragaman hayati laut, khususnya sumberdaya ikan di
perairan laut Kabupaten Situbondo.
Keberhasilan usaha perikanan tangkap di antaranya ditentukan oleh faktor
teknologi penangkapan, kualitas sumberdaya manusia khususnya nelayan,
teknologi informasi, dan potensi sumberdaya ikan (Dahuri, 2003). Tingkat
perkembangan perikanan di Kabupaten Situbondo saat ini masih berada pada
posisi yang paling rendah dibandingkan dengan tiga kabupaten di sekitarnya, yaitu
kabupaten Banyuwangi, Probolinggo dan Sumenep. Dari segi potensi sumberdaya
ikan, sarana dan prasarana penangkapan serta pengolahan ikan, Kabupaten
Situbondo masih jauh berada di bawah Kabupaten Banyuwangi. Demikian juga
dengan wilayah yang berada di sebelah barat, kondisi sarana dan prasarana
perikanan Kabupaten Situbondo masih berada dibawah Kabupaten Probolinggo.
Begitu juga di sebelah utara, tingkat kemajuan perikanan Kabupaten Situbondo
masih tertinggal dibandingkan dengan Kabupaten Sumenep.
Nelayan pada umumnya memerlukan waktu yang lama untuk melakukan
kegiatan penangkapan ikan karena harus mencari gerombolan (schooling) ikan
3

terlebih dahulu atau dengan mencoba-coba (trial fishing) tanpa dukungan


informasi atau teknologi untuk penangkapan ikan. Pencarian lokasi gerombolan
ikan dan trial fishing memerlukan waktu cukup lama sehingga menghabiskan
bahan bakar cukup banyak, sehingga meningkatkan biaya kegiatan penangkapan
ikan sementara hasil tangkapannya tidak dapat dipastikan. Di sisi lain, banyak
faktor yang menentukan terjadinya gerombolan ikan, antara lain suhu, salinitas
dan klimatologi khususnya curah hujan (Wudianto, 2001).
Dalam upaya meningkatkan efisiensi kegiatan penangkapan ikan, diperlukan
informasi secara spasial dan temporal tentang lokasi yang prospektif untuk
kegiatan penangkapan ikan. Informasi tersebut seharusnya memiliki unit spasial
yang dapat dipergunakan secara operasional dan resolusi temporal dengan periode
yang sesuai dengan pola penangkapan ikan oleh nelayan Situbondo. Dengan
memperhatikan karakteristik nelayan Situbondo dan kondisi oseanografi Selat
Madura yang merupakan kawasan penangkapan ikan nelayan Situbondo,
dikembangkan informasi spasial zona potensi penangkapan ikan (ZPPI) untuk
kawasan Selat Madura dan sekitarnya. Pengembangan dan penerapan informasi
spasial tersebut didukung dengan pemahaman tentang potensi dan karakteristik
sumberdaya ikan dan klimatologi, khususnya tentang kecepatan angin dan
ketinggian gelombang di Selat Madura dan perairan sekitarnya.
Pengembangan informasi spasial ZPPI untuk pengelolaan penangkapan ikan
di kawasan Selat Madura dan sekitarnya didasari oleh penelitian panjang tentang
pemanfatan data satelit penginderaan jauh NOAA-AVHRR untuk identifikasi
parameter oseanografi khususnya suhu permukaan laut (SPL), kemudian
dilanjutkan dengan penelitian pemanfaatan data sebaran SPL untuk identifikasi
fishing ground. Dalam upaya meningkatkan akurasi informasi yang dihasilkan,
penelitian penentuan fishing ground selanjutnya didukung dengan penggunaan
data kandungan klorofil-a dari data SeaWiFS. Penelitian pemanfaatan ZPPI untuk
nelayan Situbondo juga didasari oleh pengalaman penerapan informasi spasial
ZPPI di berbagai wilayah perairan Indonesia termasuk di kawasan Selat Madura.
Pengembangan informasi spasial ZPPI untuk Selat Madura dan sekitarnya
didasari oleh penelitian jangka panjang tentang pemanfaatan data NOAA-
AVHRR untuk pemetaan SPL (sejak 1983), dilanjutkan dengan deteksi thermal
4

front/upwelling dalam kaitannya dengan lokasi penangkapan ikan (1995 -1997).


Pengembangan informasi spasial ZPPI oleh LAPAN sendiri melewati penelitian
dan uji coba penerapan cukup lama di beberapa daerah, mulai tahun 1999 dengan
nama informasi Zona Ikan (ZI), kemudian diberi nama informasi Zona Potensi
Ikan (ZPI) yang waktu itu hanya menggunakan data SPL yang dihitung
berdasarkan data NOAA-AVHRR. Berdasarkan Laporan Kegiatan LAPAN
(2002), telah dilakukan sosialisasi ZPPI dan penerapannya di beberapa lokasi di
antaranya di Situbondo, Pekalongan, Badung – Bali Selatan, dan Bengkulu. Nama
informasi zona potensi ikan tersebut terakhir diubah menjadi informasi spasial
Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) dengan mulai memasukkan parameter
kandungan klorofil-a dalam penentuan ZPPI. Dalam upaya mendapatkan feedback
hasil identifikasi ZPPI, telah dilakukan sosialisasi dan penerapan ZPPI ke
beberapa daerah seperti Pekalongan, Bangkalan (Madura), Bengkulu, Manado,
Biak, Padang, Balikpapan, Parepare (Sulawesi Selatan) dan Nusa Tenggara
Timur. Uji coba penerapan ZPPI ini mendapatkan feedback hasil penangkapan
pada lokasi yang ditentukan dan jenis ikan hasil tangkapan (Hartuti, 2006).
ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya diidentifikasi dengan
menggunakan data sebaran SPL dan kandungan klorofil-a yang masing-masing
diperoleh dari satelit penginderaan jauh NOAA-AVHRR dan SeaWiFS.
Berdasarkan informasi spasial ZPPI dan kedalaman perairan, teridentifikasi
bahwa sebaran ZPPI yang paling luas dan prospektif untuk penangkapan ikan bagi
nelayan Situbondo adalah di Selat Madura bagian timur dan Laut Bali bagian
barat (Hasyim et al, 2009). ZPPI berdasarkan data satelit penginderaan jauh,
beserta feedback dari nelayan tentang lokasi dan hasil tangkapan dari operasi
penangkapan ikan yang berpedoman pada informasi spasial ZPPI, dan
karakteristik oseanografi selat Madura, dipergunakan untuk menentukan pola
kegiatan penangkapan ikan bagi nelayan yang berpangkalan di PPI Besuki, PPI
Tanjung Peninan, dan PPI Pondok Mimbo. Dalam upaya meningkatkan
produktivitas hasil tangkapan dan mencegah terjadinya konflik antar nelayan, baik
antar nelayan dari PPI di Kabupaten Situbondo serta antara nelayan Situbondo
dengan nelayan dari PPI di sekitarnya, pola kegiatan penangkapan ikan tersebut
perlu didukung oleh kerjasama penangkapan ikan di kawasan Selat Madura dan
5

sekitarnya. Pengembangan pengaturan kegiatan penangkapan ikan tersebut


diharapkan dapat menciptakan pengelolaan perikanan yang efektif dan efisien.
Dalam upaya meningkatkan percepatan pembangunan sektor perikanan di
Kabupaten Situbondo, pengelolaan perikanan tangkap seyogianya memanfaatkan
potensi sumberdaya perikanan yang ada, penguasaan teknologi termasuk
informasi spasial ZPPI yang dihasilkan dari data satelit penginderaan jauh.

1.2 Permasalahan

ZPPI pada umumnya berpindah-pindah secara spasial dan temporal,


sehingga nelayan selalu mengalami kesulitan dalam menentukan lokasi yang
prospektif untuk penangkapan ikan. Rendahnya produktivitas nelayan Situbondo
di antaranya adalah akibat dari keterbatasan teknis untuk mengakses perairan yang
mempunyai potensi sumberdaya ikan tinggi. Keterbatasan teknis tersebut
merupakan akibat keterbatasan ukuran perahu motor, pengaruh angin kencang dan
gelombang tinggi di musim timur, serta pangkalan perahu/kapal motor yang
kurang tepat sehingga tidak efisien. Hingga saat ini masih belum ada konsep
terpadu tentang pengelolaan zona penangkapan ikan terutama menyangkut
pengaturan kegiatan penangkapan ikan secara spasial dan temporal di Kabupaten
Situbondo dan kabupaten di sekitarnya.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


1) Mengidentifikasi dinamika zona potensi penangkapan ikan (ZPPI) di kawasan
Selat Madura dan sekitarnya melalui pemetaan suhu permukaan laut dan
klorofil-a berdasarkan data satelit penginderaan jauh.
2) Mengembangkan pengaturan pola kegiatan penangkapan ikan secara spasial
dan temporal fokus pada kawasan pengembangan perikanan tangkap beserta
kerjasama operasional kegiatan penangkapan ikan antar Pusat Pendaratan Ikan
(PPI) di Kabupaten Situbondo serta dengan kabupaten sekitarnya berdasarkan
pola dinamika ZPPI.
6

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian menghasilkan rekomendasi yang dapat digunakan sebagai arahan


dalam penyusunan rencana opersioanal kegiatan penangkapan ikan di Kabupaten
Situbondo secara optimal untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, pemilik usaha penangkapan
ikan, serta pendapatan daerah Kabupaten Situbondo. Nelayan mempunyai
kepastian tentang lokasi prospektif untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan
sehingga terjadi peningkatan hasil tangkapan dan efisiensi penangkapan ikan
sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan dan para pelaku perikanan tangkap.
Melalui penelitian ini dilakukan sintesis dinamika thermal front dan
kandungan klorofil-a untuk mendapatkan informasi spasial ZPPI, selanjutnya
informasi spasial bulanan dan hasil analisis berorientasi pada unit spasial.
Dinamika ZPPI yang berorientasi pada dinamika unit spasial selanjutnya menjadi
arahan untuk pengelolaan kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Situbondo di
kawasan Selat Madura. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan lebih
untuk berbagai kawasan perairan sehingga pemanfaatan teknologi satelit
penginderaan jauh yang berbasis pada spasial dan temporal dapat digunakan
sebagai salah satu pendukung pengelolan perikanan tangkap di Indonesia.
Penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut untuk melakukan
prediksi ZPPI beberapa hari atau seminggu ke depan. Dalam upaya meningkatkan
penerapan informasi spasial ZPPI, diharapkan dapat mendorong penelitian lebih
lanjut tentang pengembangan metode pengolahan data satelit penginderaan jauh
untuk mendapatkan parameter oseanografi lebih akurat dan lebih cepat yang
berlaku untuk berbagai kawasan perairan, peningkatan dan perluasan uji coba
penerapan informasi spasial ZPPI untuk mendapatkan feedback berupa parameter
oseanografi, jumlah dan jenis ikan hasil tangkapan. Penelitian ini diharapkan
dapat dikembangkan lebih lanjut untuk kawasan selat yang terbuka seperti Selat
Makassar, Selat Sunda dan Selat Malaka, serta perairan laut yang terbuka seperti
Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, dan Samudera Hindia, dengan menggunakan
parameter oseanografi yang lebih .lengkap.
7

1.5 Hipotesis

(1) ZPPI di kawasan Selat Madura dan sekitarnya memiliki dinamika secara
spasial dan temporal yang mengikuti angin musiman.
(2) Peluang nelayan Situbondo dalam mengakses ZPPI di Selat Madura dan
perairan sekitarnya tidak sama, ditentukan oleh posisi geografis, kondisi
oseanografi dan kemampuan teknis alat tangkap serta pola penangkapan ikan
oleh nelayan dari masing-masing PPI.
(3) Kerjasama perikanan tangkap secara terpadu di kawasan Selat Madura dan
perairan sekitarnya, akan meningkatkan produktivitas nelayan Situbondo dari
masing-masing PPI.

1.6 Kerangka Pemikiran

Nelayan Situbondo memanfaatkan sumberdaya ikan di Selat Madura, dan


harus berkompetisi dengan nelayan dari PPI sekitarnya, khususnya dari PPI
Probolinggo, Sampang, Pamekasan, Sumenep dan Banyuwangi yang
menggunakan perahu/kapal motor ukuran 20 GT ke atas. Nelayan Situbondo,
khususnya yang berasal dari PPI Pondok Mimbo kalah bersaing dengan nelayan
dari PPI di luar Situbondo karena alat tangkap yang dipergunakan kurang
memadai. Keterbatasan teknologi ini menyebabkan nelayan Situbondo pada
umumnya melakukan operasi penangkapan ikan dengan pola one day fishing atau
maksimum hanya 3 hari. Kondisi ini juga disebabkan oleh kendala angin dan
gelombang di musim timur untuk mengakses sumberdaya ikan di sisi timur Selat
Madura. Selain prasarana pendaratan yang kurang memadai, Situbondo juga
belum memiliki industri pengolahan ikan modern, misalnya untuk pengalengan
ikan. Pola penangkapan ikan yang mayoritas one day fishing dan trial fishing
menyebabkan produktivitas perikanan Situbondo lebih rendah dibandingkan
daerah lain di tepian Selat Madura dan perairan sekitarnya.
Dalam upaya mendukung pembangunan perikanan di Kabupaten Situbondo,
data satelit penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengidentifikasi dinamika
ZPPI dalam kaitannya dengan kondisi oseanografi di Selat Madura dan perairan
sekitarnya. Penelitian ini memanfaatkan data suhu permukaan laut (SPL) yang
8

diperoleh dari data satelit penginderaan jauh NOAA-AVHRR didukung dengan


data kandungan klorofil-a dari satelit SeaWiFS untuk mengidentifikasi dinamika
ZPPI secara spasial dan temporal. Selain itu, analisis dinamika ZPPI juga
didukung dengan data feedback hasil uji coba penangkapan ikan menggunakan
informasi spasial ZPPI, angin dan gelombang, serta data hasil survei lapangan.
Dengan demikian, ZPPI yang dimaksud dalam penelitian ini adalah area yang
diprediksi sebagai lokasi gerombolan ikan (fish schooling). Penelitian ini
merupakan pengembangan lanjut dari penelitian ZPPI yang hanya berorientasi
pada deteksi ZPPI harian menjadi penelitian dinamikan ZPPI dengan pendekatan
unit spasial sehingga dapat dipergunakan untuk pengelolaan penangkapan ikan di
Selat Madura dan sekitarnya bagi nelayan Kabupaten Situbondo.
Sesuai dengan tata ruang wilayah Situbondo maka analisis dinamika ZPPI
secara spasial dan temporal membagi wilayah penangkapan ikan bagi nelayan
Situbondo dibagi menjadi 3 (tiga) zona, yaitu zona paling barat yang berpusat di
PPI Besuki, zona di bagian tengah berpusat di PPI Tanjung Pecinan, dan zona
penangkapan paling timur berpusat di PPI Pondok Mimbo. Penelitian ini juga
menganalisis sebaran ZPPI yang ada dalam zona penangkapan ikan masing-
masing PPI, serta kemungkinan untuk mengakses ZPPI dalam zona PPI di
sekitarnya melalui kerjasama operasional penangkapan ikan.
Informasi spasial ZPPI yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah ZPPI
bulanan yang merupakan sintesis dari ZPPI mingguan. Informasi spasial ZPPI
bulanan dipergunakan untuk memberikan gambaran lokasi yang propektif untuk
melakukan penangkapan di kawasan Selat Madura dan perairan sekitarnya bagi
nelayan Situbondo yaitu nelayan dari PPI Besuki dan PPI Tanjung Pecinan di
perairan Selat Bali bagian utara, Laut Bali bagian Barat, dan Laut Jawa bagian
timur di utara kepulauan Madura. Informasi spasial ZPPI musiman dipergunakan
untuk memberikan gambaran zona penangkapan ikan jangka panjang bagi nelayan
Situbondo khususnya dari dua PPI tersebut untuk memperluas wilayah
penangkapannya di luar kawasan Selat Madura. Sementara nelayan dari PPI
Pondok Mimbo belum mampu melakukan kegiatan penangkapan ikan jangka
panjang karena keterbatasan ukuran perahu/kapal motor yang digunakan.
9

Berdasarkan dinamika ZPPI, kondisi oseanografi Selat Madura dan


sekitarnya, serta kondisi pengelolaan ikan hasil tangkapan, dikembangkan pola
kerjasama penangkapan ikan antara PPI di Situbondo, serta kerjasama regional
penangkapan dan pengolahan ikan hasil tangkapan antara Situbondo dengan
daerah lain di sekitar Selat Madura, serta antara nelayan Situbondo dengan
nelayan dari PPI di luar Selat Madura yaitu sekitar Selat Bali, Laut Bali, dan di
sisi selatan Laut Jawa bagian timur. Gambaran singkat tentang pemikiran ini
disajikan dalam sebuah kerangka pemikiran yang disajikan pada Gambar 1.

SPL Klorofil-a

Dinamika spasial dan


temporal ZPPI
(mingguan, bulanan, Angin dan
musiman) Gelombang

Teknologi
Pola pengaturan operasi Penangkapan
penangkapan ikan
Pengelolaan
Ikan Hasil
Tangkapan
Pengelolaan Perikanan Terpadu:
Kerjasama nelayan dan pemerintah
daerah di tepian Selat Madura

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian pengelolaan zona penangkapan ikan


di Selat Madura dan sekitarnya bagi nelayan Kabupaten Situbondo –
Jawa Timur dengan pendekatan spasial dan temporal.
10

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SPL, Klorofil-a, Angin dan Gelombang

Narendra (1993) menggunakan data satelit NOAA-AVHRR kanal 4 dan


kanal 5 masing-masing dengan panjang gelombang 10,3 - 11,3 µm dan 11,5 - 12,5
µm serta resolusi spasial 1,1 km untuk menentukan suhu permukaan laut (SPL).
SPL yang dihasilkan selanjutnya menjadi data utama dalam menentukan zona
potensi penangkapan ikan. Dalam perhitungan SPL dilakukan 3 (tiga) tahap
proses yaitu : (1) koreksi radiometrik; (2) koreksi geometrik; (3) perhitungan SPL.
Koreksi radiometrik terhadap data NOAA-AVHRR dimaksudkan untuk
menghilangkan pengaruh atmosfir pada saat transmisi energi dari matahari ke
permukaan laut dan emisi dari permukaan laut ke sensor pada satelit. Koreksi
geometrik dilakukan untuk menghilangkan efek kelengkungan permukaan bumi
dan rotasi bumi pada saat observasi oleh satelit. Untuk mendapatkan data yang
lebih akurat dari segi geometrik juga digunakan beberapa titik kontrol peta
sebagai acuan pada saat koreksi geometrik. Sedangkan perhitungan suhu
permukaan laut menggunakan multi kanal yaitu kanal 4 dan kanal 5, dimaksudkan
untuk mendapatkan hasil perhitungan yang akurat.
Gastellu (1983) menyatakan bahwa, untuk keperluan pengguna ilmiah
sangat berkepentingan dengan data yang didapat dari satelit khususnya yang
berkaitan dengan determinasi dari SPL dan dinamika oseanografi (thermal front,
upwelling, dan arus eddy). Keterbatasan aspek fisik dan teknologi menyebabkan
kesulitan dalam mendapatkan hasil pengamatan SPL dari satelit. Permasalahan
utama disebabkan oleh kandungan uap air di atmosfir yang menyebabkan
kesalahan sampai 10o K. Keragaman emisivitas permukaan laut dan noise pada
sensor satelit juga merupakan faktor penyebab terjadinya kesalahan dalam
perhitungan SPL. Dengan menggunakan koreksi radiometrik dan proses
pengolahan yang baik memungkinkan untuk mendapatkan SPL yang cukup teliti.
Gordon (2005) menyimpulkan, berdasarkan penelitian menggunakan data
MODIS Aqua dan data Sea WiFS diketahui bahwa SPL, klorofil-a, dan upwelling
masing-masing sangat dipengaruhi oleh angin monsun. Dari hasil penelitian arus
11

lintas kepulauan Indonesia diketahui bahwa, termoklin di Samudera Hindia


dengan suhu dingin dan salinitas rendah bergerak memotong arus lintas kepulauan
Indonesia dekat 12o LS. Perairan laut Indonesia mengalami penurunan disebabkan
oleh pergerakan arus lintas kepulauan Indonseia (ALKI) dan diganti oleh air laut
dari termoklin Pasifik Utara melintasi lapisan bawah termoklin dan masuk pada
lapisan lebih dalam, kemudian langsung diganti oleh air dari Pasifik Selatan. Air
masuk yang menggantikan nampak sebagai campuran utama pada perairan laut
Indonesia. Jika tidak ada arus lintas Indonesia dan air tidak menjadi dingin, dan
zona perairan dengan salinitas rendah memotong Samudera Hindia tropis maka
dapat dibuat satu asumsi bahwa air yang hangat akan terdapat di perairan tropis
dengan salinitas tinggi dan Samudera Hindia bagian utara.
Tangdom (2005) menyatakan bahwa, monsun Asia mempunyai pengaruh
dominan pada variasi SPL. Pada bulan Agustus, ketika angin monsun tenggara
bertiup dominan, area yang luas sebelah selatan lebih dingin 5oC, dengan suhu
minimum pada daerah upwelling sebelah selatan Pulau Jawa dan di atas paparan
Arafura. Air yang dingin digerakkan ke Laut Jawa bagian timur. Di Selat
Makassar, ketika parameter koreolis berakhir dan hilang maka air permukaan
mengalir ke arah utara searah dengan pergerakan angin. Dampak dari aliran air
permukaan diperkecil oleh perluasan aliran air bagian permukaan dari Samudera
Pasifik, dan sebagai hasilnya maka SPL di Selat Makassar selama musim
bersangkutan lebih tinggi dari 29o C. Angin monsun sebaliknya menggerakkan
massa air yang relatif dingin dan salinitas rendah dari Laut China Selatan ke
lapisan permukaan Laut Jawa bagian selatan. SPL terendah dari perairan laut
Indonesia terdapat di Laut Jawa bagian barat, yaitu ketika terjadi perluasan radiasi
panas permukaan sehingga SPL lebih tinggi dari 29o C.
Juga dinyatakan bahwa, mekanisme yang menyebabkan dan memelihara
SPL pada kondisi yang tetap di lautan Indonesia terjadi sebagai akibat dari
topografi yang komplek dan pertemuan antara Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia. Sebagai tambahan terhadap radiasi panas permukaan, percampuran
pasang yang intensif dari permukaan laut dan termoklin yang digerakkan oleh
angin di atas Samudera Pasifik dan Samudera Hindia memainkan peran dalam
pergerakan dan pemeliharaan SPL. Konsekuensinya, dinamika regional lautan
12

dan SPL menjadi faktor penting dalam iklim regional, yang berdampak penting
terhadap iklim global. Wilayah Indonesia, yang juga dikenal dengan “Maritime
Continent” telah diidentifikasi sebagai area yang sangat penting bagi iklim, baik
secara lokal maupun global.
Penangkapan ikan dengan alat tangkap purse seine di perairan tropis Asia
dicirikan pada penggunaan rumpon untuk mengumpulkan ikan pelagis kecil.
Sejak tahun 1971, fishing ground diperluas ke bagian timur Laut Jawa dengan
mengembangkan taktik dan strategi penangkapan yang selalu bergeser berkaitan
dengan perubahan lingkungan. Analisis hasil tangkapan ikan layang dalam
kaitannya dengan fishing ground di sekitar Bawean, Masalembo Matasiri, dan
kepulauan Kangean menunjukkan bahwa, keberhasilan penangkapan ikan terjadi
selama periode salinitas tinggi (340/00). Hasil tangkapan ikan tertinggi selama
periode tersebut didaratkan dari fishing ground di kepulauan Masalembo.
Fenomena ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang dapat diterangkan
dengan jelas bahwa pergeseran massa air dari arah timur ke barat menyebabkan
meningkatnya produktivitas ikan pelagis kecil di area tersebut.
Hasil tangkapan rata-rata sekitar kepulauan Masalembo dengan jelas
menunjukkan siklus musiman yang berkaitan erat dengan perubahan angin
monsun. Hasil tangkapan (ton/hari penangkapan) cenderung tinggi pada bulan
Agustus hingga November, pada kondisi perairan dengan salinitas tinggi dan suhu
lebih rendah, sebaliknya menurun pada bulan Desember hingga Juli dengan suhu
tinggi dan salintas rendah. Kondisi yang khusus terjadi pada bulan Januari – April
dengan hasil tangkapan sekitar 1,5 sampai 2,5 ton/hari.
Perairan di bagian timur Laut Jawa merupakan daerah peralihan yang
dipengaruhi oleh kondisi oseanografi Selat Makassar dan Laut Flores dengan
kondisi yang bervariasi berkaitan dengan perubahan musiman. Hasil penelitian
pada stasiun dekat pulau Matasiri dalam periode 1992 – 1994 menunjukkan
bahwa SPL maksimum mencapai 30o C selama angin dari barat laut atau musim
basah pada bulan Desember 1993, kemudian menurun hingga 26o C pada Februari
1994. Suhu minimum dengan nilai 28o C terjadi selama akhir musim angin
tenggara atau musim kering pada bulan September 1993.
13

Perairan di bagian timur Laut Jawa merupakan daerah peralihan yang


dipengaruhi oleh karakteristik perairan Selat Makassar dan perairan Laut Flores
dengan kondisi yang bervariasi berkaitan dengan perubahan musim. Hasil
penelitian dalam periode 1992 – 1994 menunjukkan bahwa, SPL maksimum
mencapai 30o C selama angin dari arah barat laut atau musim barat pada bulan
Desember 1993 pada stasiun dekat pulau Matasiri, kemudian menurun hingga
26oC pada Februari 1994. Suhu minimum pada 28oC terjadi selama akhir musim
angin tenggara pada bulan September 1993. Salinitas permukaan laut mengikuti
bentuk yang berlawanan dengan nilai maksimum 34,5 o/oo terjadi pada bulan
September 1992 sampai Oktober 1993, kemudian turun menjadi 31 – 32 o/oo
pada bulan Februari 1994. Salinitas teringgi (34 o/oo) ditemukan pada fishing
ground utama dari Bawean, Masalembo dan kepulauan Matasiri.
Pengukuran secara khusus di perairaan sekitar kepulauan Masalembo
menunjukkan bahwa SPL cenderung tinggi (290 C) selama periode Mei,
November dan Desember 1992, juga pada bulan Juni, November dan Desember
1993. Kondisi lingkungan Laut Jawa; sangat dipengaruhi oleh perubahan
permukaan laut dan interaksi atmosfir pada saat arus permukaan timur – barat
mengikuti arah angin mengakibatkan terjadinya percampuran mulai sepanjang
permukaan ke perairan yang lebih dalam melalui pengadukan secara vertikal.
Proses pengadukan terus berlangsung sampai perairan laut mencapai kondisi
homogen dengan salinitas tinggi (340/00) yang terjadi selama musin angin tenggara
pada bulan Juli – Oktober. Proses sebaliknya terjadi dari barat laut selama monsun
barat laut pada bulan November sampai Februari dengan salinitas rendah (<32
0
/00) berkaitan dengan masuknya air tawar dari beberapa sungai besar selama
musim hujan. Salinitas terendah pada permukaan laut terjadi pada bulan Mei
1992 (32 – 32,5 /00) dan tertinggi tejadi pada bulan Oktober 1993 (33 – 34,5 0/00).
0

Sediadi (2004) menyatakan bahwa, pada waktu musim timur terjadi proses
upwelling di perairan Laut Banda. Untuk mengetahui effek upwelling terhadap
kelimpahan dan distribusi fitoplankton di perairan Laut Banda, dilakukan
penelitian pada bulan Agustus 1997 yang mewakili musim timur dan bulan
Oktober 1998 yang mewakili musim peralihan sebagai pembanding. Data
kelimpahan dan distribusi fitoplankton dengan mengambil contoh fitoplankton
14

dari kedalaman 100 m ke permukaan menggunakan jaring plankton dengan


bukaan mulut berdiamter 31 cm, panjang 120 cm dan ukuran mata jaring 80 µm.
Hasil pengamatan pada musim timur (Agustus 1997) menunjukkan bahwa proses
taikan air (upwelling) masih berlangsung. Hal ini terlihat dari nilai regresi antara
suhu dan salinitas (r2 = 84,1 %), suhu dan nitrat (94,5%). Pada saat musim timur
tercatat 33 jenis fitoplankton, komposisi jenis fitoplankton lebih bervariasi
dibandingkan musim peralihan yang hanya 26 jenis fitoplankton.
Berdasarkan hasil penelitian klorofil-a di Selat Bali dengan menggunakan
data satelit SeaWiFS yang dilakukan oleh Gaol et al (2004) bahwa terjadi
peningkatan kandungan klorofil-a secara musiman. Konsentrasi klorofil-a
mengalami peningkatan pada bulan Mei dan mencapai kondisi tertinggi pada
bulan September, dan berkorelasi erat dengan fluktuasi SPL. Distribusi suhu
permukaan Selat Bali menunjukkan bahwa proses upwelling terjadi selama
monsun tenggara. Rata-rata kelimpahan fitoplankton selama monsun tenggara
adalah 35,5 x 103 cel/m3, sedangkan pada monsun timur laut adalah 35,5 x 103
cel/m3. Sementara proses upwelling di perairan Laut Jawa bagian selatan
mencapai puncaknya pada saat monsun tenggara.
Penelitian SPL dan klorofil-a menggunakan data SeaWiFS di perairan
sekitar Nias yang dilakukan oleh Lumban Gaol et al (2007) menunjukkan bahwa,
variasi SPL hasil estimasi dari sensor satelit NOAA-AVHRR dipengaruhi oleh
perubahan musim dan iklim global. Pada musim timur SPL cenderung lebih
rendah. Variasi SPL antara musim timur dan musim barat tidak terlalu tinggi
dengan rata-rata 1,5o C, namun variasi SPL akibat pengaruh iklim global cukup
tinggi, rata-rata 4 o C. Fluktuasi konsentrasi klorofil-a hasil deteksi menggunakan
sensor satelit SeaWiFS menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a juga
dipengaruhi oleh perubahan musim dan iklim global.
Sugimory (2006) menyatakan bahwa, lama kegiatan penangkapan ikan
bervariasi mulai dari beberapa hari sampai orde satu musim, dengan liputan mulai
dari cakupan beberapa 1 km sampai 100 km, dengan memperhatikan masa
sirkulasi musim ikan. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan dengan
memperhatikan kondisi nutrien di perairan laut, masa bertelur, pengasuhan dan
masa mencari makan. Deteksi ikan dengan teknologi satelit dilakukan dengan cara
15

tidak langsung karena keterbatasan skala peta yang diperoleh dari citra satelit dan
ikan berada di bawah permukaan air laut, namun dilakukan dengan mendeteksi
distribusi produktivitas primer (klorofil-a) dengan menggunakan sensor visible.
Sulistya (2007) menyatakan bahwa, pemahaman tentang karakteristik dan
keanekaragaman SPL Laut Jawa belum memadai. Metode analisis spektral,
spasial dan temporal perlu digunakan untuk mempelajari karakteristik SPL dalam
kaitannya dengan musim. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, SPL tertinggi
di Laut Jawa pada umumnya terjadi pada bulan April – Mei dan bulan November,
sebaliknya SPL terendah umumnya terjadi pada bulan Februari dan Agustus.
Kostianoy (2004), melakukan penelitian thermal fornt menggunakan SST
rata-rata mingguan yang dihasilkan dari NOAA-AVHRR dengan resolusi 18 km.
Untuk mendapatkan data dengan resolusi spasial maksimum, analisis tidak
didasarkan pada data rata-rata bulanan, tetapi menggunakan rata-rata data
mingguan pada pertengahan tiap bulan dalam 3 tahun. Data yang digunakan
dalam penelitian terdiri dari 36 peta SPL (36 mingguan tiap pertengahan bulan).
Untuk mendapatkan gambar dari thermal front utama di bagian selatan dari
Samudera Hindia, peta SPL dikonversi menjadi peta gradien SPL. Gradien SPL
dihitung untuk tiap piksel berdasarkan operator gradien dua dimensi yang
menghitung perbedaan antara dua piksel yang berdekatan. Dengan menggunakan
36 peta gradien SPL mingguan untuk tiap pertengahan bulan, diperoleh indikasi
secara umum tentang struktur, perluasan, keragaman, dan intensitas dari thermal
front di bagian selatan Samudera Hindia.
Pengukuran arah dan kecepatan angin pada umumnya dilakukan di daratan
dengan sistem pengukuran yang bersifat statis. Secara teknis sangat sulit untuk
melakukan pengukuran arah dan kecepatan angin di suatu wilayah perairan,
karena pengukuran secara langsung di perairan laut hanya mungkin dilakukan
dengan peralatan yang ada di kapal-kapal berukuran besar, dan tidak tetap di suatu
tempat tergantung pada tujuan pelayaran itu sendiri. Dengan memperhatikan
keadaan tersebut maka arah dan kecepatan angin di perairan laut hanya dapat
diperoleh dari pemodelan berdasarkan hasil pengukuran angin di daratan.
Triatmojo (1996) menyatakan bahwa hubungan antara angin di daratan dan di
lautan dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
16

Uw = R1 * Ul ............................................................................................1.

dengan : R1 = Faktor regangan yang nilainya sangat tergantung pada bentuk lahan
di wilayah pesisir serta jarak antara lokasi pengukuran dengan lokasi pengamatan
di perairan laut; Uw = kecepatan angin di laut terdekat dengan lokasi pengukuran;
Ul = kecepatan angin di daratan yang terdekat dengan lokasi perairan yang
diamati. Angin di laut kemudian dikonversi menjadi tegangan angin dan
dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :

UA = 0,71 * U 1,23 ...................................................................................2.

dengan UA = faktor tegangan angin, dan U = kecepatan angin dengan satuan


meter/detik.
Pembentukan gelombang oleh angin, fetch dibatasi oleh bentuk gelombang
yang mengelilingi laut. Di daerah pembentukannya, gelombang tidak hanya
dibangkitkan dalam arah yang sama dengan arah angin tetapi juga dalam berbagai
sudut terhadap arah angin. Angin sebagai pembangkit gelombang di perairan laut
juga sangat dipengaruhi oleh bentuk daratan yang mengelilingi lautan yang pada
umumnya dinyatakan dengan fetch. Hubungan antara arah angin dengan fetch
dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
∑ Xi coc α
Feff = ..............................................................................3.
∑ coc α

dengan : Feff = fetch rerata efektif; Xi = panjang segmen diukur dari titik observasi
gelombang ke ujung akhir fetch; dan α deviasi pada kedua sisi arah angin dengan
menggunakan pertambahan 6o sampai sudut 45o pada kedua sisi dari arah angin.
Nontji (2002) menyatakan bahwa, air laut sebenarnya tidak pernah dalam
keadaan tenang sempurna, akan selalu terjadi gelombang bahkan gelombang besar
atau hanya sekedar riak kecil. untuk menjelaskan proses terjadinya gelombang di
lautan pada umumnya digunakan model, baik model yang sederhana maupun yang
kompleks. Gelombang mempunyai tiga unsur penting yaitu panjang, tinggi dan
periode. Panjang gelombang adalah jarak mendatar antara dua puncak gelombang
yang berurutan, tinggi gelombang adalah jarak menegak antara puncak dan
lembah, sedangkan periode gelombang adalah waktu yang diperlukan oleh dua
puncak gelombang yang berurutan untuk melalui suatu titik. Ukuran besar
17

kecilnya suatu gelombang pada umumnya ditentukan berdasarkan tinggi


gelombang. Gelombang yang diamati di laut disebabkan oleh hembusan angin.
Ada tiga fakor yang menentukan besarnya gelombang yang disebabkan oleh angin
yakni kuatnya hembusan, lamanya hembusan, dan jarak tempuh angin (fetch).

2.2 Karakteristik Beberapa Jenis Ikan Pelagis

Pengetahuan mengenai penyebaran dan bioekologi berbagai jenis ikan


sangat penting artinya bagi usaha penangkapan. Data dan informasi tentang
penyebaran dan bioekologi ikan pelagis sangat diperlukan dalam mengkaji ZPPI
di suatu perairan. Berdasarkan habitatnya, ikan pelagis dibagi menjadi ikan jenis
pelagis besar dan pelagis kecil. Menurut Komnas Kajiskanlaut (1998), diantara
ikan-ikan utama dalam kelompok ikan pelagis besar adalah; tuna dan cakalang
(madidihang, tuna mata besar, albakora tuna sirip biru, cakalang), marlin (ikan
pedang, setuhuk biru, setuhuk hitam, setuhuk loreng, ikan layaran), tongkol dan
tenggiri (tongkol dan tenggiri), dan cucut (cucut mako). Sedangkan jenis ikan
pelagis kecil antara lain; karangaid (layang, selar, sunglir), klupeid (teri, japuh,
tembang, lemuru, Siro) dan skombroid (kembung).
Tuna dan cakalang adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol
(schooling) sewaktu mencari makan, kecepatan renang ikan dapat mencapai 50
km/jam. Kemampuan renang ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis) yang cukup luas,
termasuk beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudera.
Kedalaman renang tuna dan cakalang bervariasi tergantung jenisnya. Umumnya
tuna dan cakalang dapat tertangkap di kedalaman 0 - 400 meter. Suhu perairan
berkisar 17 - 31o C. Salinitas perairan yang disukai berkisar 32 – 35 ppt atau di
perairan oseanik. Madidihang (thunnus albacares) tersebar hampir di seluruh
perairan Indonesia. Panjang madidihang bisa mencapai lebih dari 2 meter. Jenis
tuna ini menyebar di perairan dengan suhu antara 17 -31o C dengan suhu optimum
yang berkisar antara 19o - 23o C (Nontji, 1987), suhu yang baik untuk kegiatan
penangkapan berkisar antara 20o - 28o C (Wudianto, 1993 dalam Yusuf, 2000).
18

Ikan tongkol (Euthynnus spp) hidup pada suhu 20 – 22o C dengan salinitas
dalam kisaran 32,21–34,40 o/oo, tersebar di perairan Kalimantan, Sumatera, pantai
India, Filipina dan sebelah selatan Australia, sebelah barat Afrika Barat, Jepang,
sebelah barat Hawai dan perairan pantai Pasific – Amerika. Ikan tongkol memiliki
panjang tubuh mencapai 80 cm dan umumnya 30 – 50 cm. Jenis tongkol lainnya
adalah axuis thazard, hidup di daerah pantai, lepas pantai perairan Indonesia dan
berkelompok besar, panjangnya mencapai 50 cm, umumnya 25 – 40 cm.
Tenggiri (scomberomorus lineolatus), habitatnya di seluruh perairan pantai
sehingga daerah penangkapan ikan tenggiri di perairan pantai, pada salinitas
o
34,21–34,60 /oo. Tenggiri tersebar di seluruh perairan Indonesia, Sumatera, Jaut
Jawa. Perairan Indo-Pasifik, Teluk Benggala, Laut Cina Selatan dan India. Semua
jenis tongkol dan tenggiri bersifat karnivora (makan ikan–ikan kecil, cumi-cumi)
dan predator serta merupakan ikan perenang cepat. Pada umumnya ketiga jenis
ikan tersebut ditangkap saat gelombang dan angin sedang.
Ikan layang (decapterus spp.) bersifat stenohaline, hidup secara
berkelompok pada kedalaman 20 – 25 meter, menghendaki perairan yang jernih
dan merupakan ikan karnivora (plankton, crustacea). Sebarannya di Indonesia
terdapat di perairan Ambon, Ternate, Laut Jawa. Selar atau bentong (selar
cromenopthalmus) hidup berkelompok di perairan pantai yang hangat sampai
kedalaman 80 m. Ikan ini bersifat karnivora (makan ikan kecil, crustacea),
panjang mencapai 30 cm, umumnya 20 cm. Tersebar di Sumatera, Nias, Jawa,
Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi, Ambon, Seram, Laut Merah, Natal, Zanzibar,
Madagaskar, Muskat, India, Cina, Jepang, Formosa, Filipina, sampai perairan
tropis Australia. Waktu siang dan malam, keadaan cuaca sedang, pada kedalaman
20 –25 m dan berjarak 1 – 3 mil.
Linting (1994) menyatakan bahwa, informasi tentang musim ikan
merupakan satu di antara unsur penunjang pengembangan usaha perikanan. Yang
dimaksud dengan musim ikan adalah melimpahnya hasil tangkapan yang
diperoleh dan didaratkan di suatu wilayah tanpa ada hubungan langsung dengan
kelimpahan stok ikan yang ada di suatu perairan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa musim ikan dicirikan oleh tingginya hasil tangkapan dan bukan
oleh tingginya indeks kelimpahan stok. Dari data yang diperoleh di TPI Bau-Bau
19

(Sulawesi Tenggara), dapat diketahui bahwa beberapa jenis ikan ekonomis yang
menonjol memperlihatkan fluktuasi hasil tangkapan bulanan. Fluktuasi hasil
tangkapan secara rinci menunjukkan pola yang sedikit berbeda satu sama lain.
Produksi rata-rata ikan layang selama periode 1985 – 1992 berkisar antara 65,7 –
191, 8 ton. Musim ikan layang dicirikan oleh tingginya produksi bulanan yang
melebihi 100 ton/bulan dan terjadi selepas puncak musim barat (Februari sampai
dengan Mei) dan mulai puncak musim timur sampai dengan Oktober. Ikan layang
yang didaratkan terdiri atas jenis layang biasa dan jenis layang berukuran besar
dari jenis Decapterus himimulatus .
Ikan selar atau megalaspis cordyla, hidup di perairan pantai sampai
kedalaman 60 m dan berkelompok, dari perairan tropis yang suhunya hangat.
Panjang tubuh ikan ini mencapai 40 cm dan umumnya 30 cm. Sebaran ikan ini di
Laut Jawa, Sulawesi, Sumatera, Selat Karimata, Bali, Sumbawa dan Ambon,
Madagaskar, Teluk Bengala, Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Formosa, Filipina,
Samoa, dan Hawaii. Selar kuning (caranx leptolepis) banyak ditemukan hidup di
perairan pantai sampai kedalaman 25 m dan hidup berkelompok. Ikan ini bersifat
karnivora (makan ikan-ikan kecil, udang-udangan) dan pada umumnya berukuran
15 cm. Ikan ini tersebar di daerah Sumatera (Bangka, Belitung, Selat Karimata),
Laut Jawa dan Selat Makasar. Ikan ini ditangkap pada kedalaman 20–25 m dan
berjarak 25–30 km dari pantai dengan waktu penangkapan menjelang subuh.
Kuweh (caranx sexfaciathus) hidup di perairan dangkal dan pantai, hidup
berkelompok, dan termasuk ikan karnivora (ikan kecil, crustacea), panjangnya
mencapai 40 cm umumnya 20 – 30 cm. Ikan ini dijumpai di perairan pantai
seluruh Indonesia, Nias, sepanjang pantai Laut Cina Selatan, Filipina, Cina,
Formosa sampai ke perairan tropis Australia. Kuweh jenis lain yaitu alectis
indicus, hidup di perairan pantai yang dangkal sampai kedalaman 20 – 25 m,
termasuk ikan karnivora (makan crustacea, ikan kecil) dan hidup berkelompok.
Jenis ikan ini, panjangnya mencapai 75 cm dan umumnya 40 cm, terdapat di
perairan Sumatera, Laut Jawa, Bangka, Kalimantan dan Sulawesi, Teluk
Benggala, Teluk Siam, Pantai Cina Selatan sampai perairan tropis Australia. Ikan
ini tertangkap pada kedalaman 20 m dan berjarak 2–4 mil dari pantai.
20

Kembung laki-laki atau banyar (rastelliger kanagurta), hidup di perairan


pantai dan lepas pantai dengan suhu 22 – 24o C, kedalaman 8 – 15 meter yang
perairannya berkadar garam tinggi dan hidup berkelompok. Bersifat karnivora,
dengan panjang mencapai 35 cm dan umumnya 20 –25 cm. Ikan ini terdapat
hampir di seluruh perairan Indonesia dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan, Laut Jawa, Selat Malaka, Arafuru, Teluk Siam.
Kembung perempuan (rastelliger neglectus), hidup di perairan neritik, mendekati
pantai dan membentuk kelompok besar. Bersifat karnivora (plankton, diatom,
copepoda), mengalami migrasi yang dipengaruhi oleh suhu, salinitas, makanan
dan arus. Panjangnya mencapai 30 cm dan umumnya 15 – 20 cm. Ikan ini banyak
terdapat di perairan Kalimantan, Sumatera Barat, Laut Jawa, Selat Malaka, Muna,
Buton, dan Arafuru.
Zainuddin (2007) menyatakan bahwa, ikan kembung di perairan Sulawesi
Selatan mempunyai hubungan yang signifikan antara hasil tangkapan dengan
faktor oseanografi yaitu SPL, salinitas dan kecepatan arus. Ini berarti bahwa
dengan ketiga faktor oseanografi tersebut, pada tingkat akurasi tertentu hasil
tangkapan ikan kembung dapat diprediksi dengan persamaan. Sedangkan uji
signifikansi parameter menunjukkan bahwa SPL dan kecepatan arus memberi
kontribusi yang lebih nyata dalam menjelaskan variasi hasil tangkapan. Hasil
pengukuran SPL yang diperoleh selama penelitian di Kabupaten Bantaeng
berkisar 29°C - 31°C. Kebanyakan upaya penangkapan gillnet dilakukan pada
kisaran suhu 29 - 29,5° C, yang sesuai dengan penangkapan ikan kembung. Hal
ini menunjukkan bahwa faktor SPL secara statistik berpengaruh nyata terhadap
variasi jumlah hasil tangkapan. Hal ini berarti bahwa variabel SPL memegang
peran penting dalam memprediksi hasil tangkapan ikan kembung.
Ikan lemuru termasuk jenis ikan stenohaline, pada umumnya hidup pada
kedalaman 70 – 200 meter di perairan dengan salinitas 30 o/oo. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Merta dan Badaruddin (1992) dalam Yusuf (2000),
diketahui bahwa ikan lemuru di Selat Bali hanya terdapat di paparan saja (baik
paparan Jawa maupun Bali) pada kedalaman kurang dari 200 m. Pada siang hari
ikan ini membentuk kelompok yang padat pada kedalaman sekitar 70 m. Sebagian
besar dari jenis-jenis ikan lemuru yang tertangkap di sebagian perairan Indonesia
21

dan sekitarnya adalah sardinella fimbriata, sardinella gibbosa, sardinella sirm.


Khusus di Selat Bali, sardinella yang dominan adalah sardinella longiceps. Pet
(1997) menyatakan bahwa, puncak hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Madura
dan Selat Bali tercatat mulai awal musim hujan sekitar November dan Desember,
sedangkan di Samudera Hindia terjadi pada musim kemarau mulai bulan Juli
sampai Oktober. Kondisi menunjukkan bahwa aktivitas reproduksi ikan
Sardinella di Selat Madura terjadi pada bulan November dan Desember, dan
diperkirakan mengalami perkembangan sampai mencapai ukuran panjang sekitar
12 cm, 17 cm dan 19 cm masing-masing pada tahun pertama, kedua, dan ketiga.
Lumban Gaol (2004) menyatakan bahwa lemuru merupakan pemakan plankton,
namun hubungan antara fitoplankton dan lemuru di Selat Bali sampai saat ini
belum diketahui secara pasti karena keterbatasan data plankton dari hasil
pengukuran secara langsung. Namun demikian, citra satelit penginderaan jauh
dapat memberikan informasi dan kontribusi tentang hubungan antara konsentrasi
klorofil-a dan kelimpahan lemuru.
Pasaribu et al (2004) menyatakan bahwa, eksploitasi sumberdaya ikan
pelagis kecil di lepas pantai Laut Jawa telah dilakukan sejak tiga puluh tahun
terakhir. Alat tangkap (jaring) yang dipergunakan terdiri dari beberapa macam,
namun ikan yang didaratkan umumnya dilakukan dengan alat tangkap purse seine.
Tangkapan ikan paling tinggi didominasi oleh ikan jenis scads (deapterus spp.),
jack mackarel (rastrellin ger spp) dan sardines (sardinella spp.). Analisis upaya
yang didasarkan pada data statistik perikanan Pekalongan (Jawa Tengah) yang
merupakan pangkalan perikanan utama dengan alat tangkap purse seine dalam
periode tahun 1976 sampai 2000 menunjukkan bahwa, jumlah hasil tangkapan
cenderung meningkat sebanding dengan jumlah perahu/kapal motor.
Secara hirarkis, ikan pelagis kecil di Laut Jawa dapat dibagi menjadi 2
kategori yaitu ikan pelagis yang tertangkap oleh purse seine besar di wilayah laut
lepas, dan ikan pelagis yang tertangkap oleh mini purse seine di perairan dekat
pantai. Penyebaran ikan pelagis kecil juga ditemukan di sisi timur dari Selat
Makassar dan sekitar Laut Cina Selatan. Patir at al (1995) membagi ikan pelagis
kecil menjadi tiga tipe populasi yaitu :
22

a. Oceanic, yang tertangkap ketika air laut dari Laut Banda masuk ke Laut Jawa
selama musim monsun tenggara antara Agustus dampai November.
b. Neritic, yang tertangkap sepanjang tahun.
c. Coastal, yang tertangkap sepanjang tahun dalam jumlah yang sedikit.
Habitat ikan pelagis juga banyak dipengaruhi oleh suhu perairan yang
menjadi tempat hidupnya. Pengaruh suhu secara vertikal diantaranya terlihat pada
saat suhu perairan tiba-tiba mengalami kenaikan cukup tajam akan meningkatkan
metabolisme dalam tubuh ikan, sehingga kebutuhan oksigen pada ikan juga
meningkat. Di sisi lain, kenaikan suhu justru akan menurunkan tingkat kelarutan
oksigen. Kondisi ini biasa terjadi pada siang hari dan akan menyebabkan ikan
lebih suka berada di lapisan lebih dalam dibandingkan di permukaan. Kepekaan
beberapa jenis ikan pelagis terhadap suhu, kedalaman, salinitas, dan kecerahan air
laut yang menjadi habitatnya.
Penelitian hubungan antara SPL dan kandungan klorofil-a berdasarkan data
Aqua Modis untuk pengkajian pendugaan hasil tangkapan ikan pelagis besar
(tongkol Dan cakalang) di perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode Juli 2002 – Desember 2006,
rata-rata SPL tertinggi terjadi pada bulan April 2003 yakni sebesar 30,35o C.
Dengan kondisi suhu tersebut hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar
6,142 ton. Sedangkan rata-rata SPL terendah terjadi pada bulan Agustus 2006
yakni sebesar 25,64 o C, dengan hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar
65,195 ton. Produksi hasil tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2002
sebesar 220 ton, dengan kondisi SPL adalah 26,65o C. Sedangkan berdasarkan
kandungan klorofil-a, pada periode Juli 2002 – Desember 2006, rata-rata
kandungan klorofil-a tertinggi terjadi pada bulan September 2006 yakni sebesar
1.0177 mg/m3. Dengan kondisi kandungan klorofil-a tersebut hasil produksi ikan
yang diperoleh adalah sebesar 145,5 ton, sedangkan rata-rata kandungan klorofil-a
terendah terjadi pada bulan Januari 2003 yakni sebesar 0.1083 mg/m3 dengan
hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar 17,321 ton. Produksi hasil
tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2002 sebesar 220 ton, dengan
kandungan klorofil-a adalah 0.3201 mg/m3 .
23

2.3 Data Penginderaan Jauh untuk Penangkapan Ikan

Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk kelautan dikembangkan


dengan alasan : (i) penggunaan sensor baru dengan meningkatkan resolusi
spektral dan spasial yang dapat mengamati/mengukur parameter oseanografi
dengan lebih teliti; (ii) kemudahan dalam mengakses data; (iii) kemampuan
mengolah dan mendisseminasikan data melalui sistem pengolahan digital; (iv)
meningkatnya kepedulian dari pengguna dalam memanfaatkan keunggulan dari
teknologi penginderaan jauh (Maryani, 2003).
Sumedi (2008), melakukan penelitian dengan membandingkan lokasi
penangkapan ikan dengan SPL dan kandungan klorofil-a yang dihitung dengan
menggunakan data MODIS. Dengan mengadopsi metode yang biasa dilakukan di
LAPAN, prediksi zona potensi penangkapan ikan dilakukan dengan analisis
overlay antara citra kantur SPL dengan citra kontur kandungan klorofil-a. Titik-
titik perpotongan antara kontur SPL dan kontur klorofil-a, dipredikasi sebagai
zona potensi penangkapan ikan pelagis. Hasil penelitian yang dilakukan
menujukkan bahwa ikan-ikan pelagis kecil (tembang, kembung, layang dan
cakalang) cenderung tertangkap di perairan dengan suhu dalam selang 260 – 290 C
dan konsentrasi klorofil-a 0,5 – 2,5 mg/m3. Di sisi lain, pemahaman tentang
interaksi antara lingkungan oseanografi dengan organisme laut masih sangat
minim dan sangat sulit untuk meneliti atau mengamati melalui kegiatan
eksperimen. Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh sangat penting untuk
memecahkan masalah perikanan untuk mengetahui hubungan antara lingkungan
oseanografi dengan penyebaran dan kelimpahan sumberdaya ikan (Santos, 2000).
Berdasarkan hasil uji coba penggunaan data suhu permukaan laut yang
diperoleh dari data NOAA-AVHRR dalam penentuan zona yang potensial untuk
penangkapan ikan yang dilakukan oleh Narendra (1993), dibuat grafik antara jarak
dari titik dengan daerah yang diduga sebagai lokasi berkumpulnya ikan dengan
hasil tangkapan tersebut nampak bahwa pada posisi yang ditunjuk mendapatkan
hasil yang paling tinggi. Pada uji coba dilakukan klasifikasi antara jarak setiap 5
km dalam bentuk lingkaran dari titik yang ditunjuk, sehingga pendugaan dibuat
dalam bentuk lingkaran dengan jari-jari 5 km, dan dikembangkan dengan jari-jari
10 km, 15 km dan 20 km (Gambar 2). Hasil penelitian yang dilakukan di
24

Samudera Hindia menunjukkan bahwa, hasil tangkapan tertinggi berada tepat


pada titik tengah lingkaran dengan tangkapan lebih dari 600 kg. Hasil tangkapan
kedua berada dalam radius 5 km dengan tangkapan 250 kg – 300 kg. Uji coba
penangkapan dalam radius 10 km menghasilkan 150 kg – 250 kg, dan dalam
radius terluar yaitu 15 km menghasilkan tangkapan sekitar 25 kg.

Hasil Tangkapan (Kg)

Jarak dari Titik Pusat


Gambar 2 Korelasi antara jarak dari titik pusat zona potensi penangkapan
ikan dengan hasil tangkapan ikan.

2.4 Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia

Dengan memperhatikan sebaran daerah penangkapan ikan, karakteristik bio-


ekologi dan oseanografi, wilayah perairan Indonesia dibagi kedalam 11 Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP) sebagaimana Gambar 3. Pembagian wilayah
perairan Indonesia menjadi 11 WPP sebagai berikut : (1) Selat Malaka, WPP571;
(2) Samudera Hindia A, WPP572; (3) Samudera Hindia B, WPP573; (4) Laut
Cina Selatan, Laut Natuna dan Selat Karimata, WPP711; (5) Laut Jawa, WPP712;
(6) Selat Makassar dan laut Flores, WPP713; (7) Laut Banda WPP714; (8) Laut
Arafura dan Laut Aru, WPP715; (9) Laut Maluku, Laut Seram dan Teluk Tomini,
WPP716; (10) Laut Sulawesi dan Laut Halmahera, WPP717; (11) Samudera
Pasifik, WPP718. WPP Laut Jawa (WPP 712) berupakan bagian dari paparan
25

Sunda yang merupakan perairan teritorial dengan kedalaman maksimal 70 meter.


Kegiatan penangkapan terutama terpusat di pantai utara Jawa, padatnya penduduk
di Pulau Jawa serta dekatnya dengan tempat pemasaran menjadi penyebab
tingginya tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan ini.

Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan

Gambar 3 Pembagian wilayah perairan laut Indonesia menjadi 11 WPP.

Keberhasilan motorisasi perikanan tradisionil yang didukung oleh


peningkatan kemampuan tangkap dan daya jelajah perahu motor tempel di pesisir
utara Pulau Jawa telah menyebabkan tidak jelasnya batas-batas daerah
penangkapan antar konsentrasi desa-desa nelayan. Tumpang tindih daerah
penangkapan tidak dapat dihindari mengingat beberapa alat tangkap yang
dioperasikan dengan perahu motor tempel dan kapal (GT < 20) secara acak
melakukan aktifitasnya tersebar di jalur I ( 0 sampai 3 mil laut), jalur II (3 sampai
dengan 7 mil laut), dan jalur III ( 7 sampai dengan 12 mil laut). Perkembangan
terkini menunjukkan bahwa perubahan dan peningkatan efisiensi teknik
penangkapan yang dilakukan secara inovatif melalui modifikasi secara bertahap
merupakan fenomena yang banyak ditemukan di perairan ini (Nurhakim, 2007).
Selanjutnya dinyatakan bahwa Alat tangkap yang dioperasikan di perairan Laut
Jawa dapat dibagi menjadi 5 kategori yaitu, (1) pukat tarik (arad dan cotok atau
garuk); (2) pukat kantong (cantrang dan payang); (3) pukat cincin (purse seine);
26

(4) Jaring insang (jaring kejer, jaring rampus atau kletek, jaring insang tetap, dan
trammel net; dan (5) perangkap (bubu).
WPP Laut Jawa bagian selatan, dari pulau Karimata ditarik garis ke
perbatasan Kabupaten Situbondo dengan Banyuwangi, provinsi Jawa Timur.
Batas selanjutnya mengikuti garis pantai utara Jawa sampai Kabupaten Serang,
Jawa Barat (Wirasantosa, 2007). Berdasarkan batas-batas dari WPP Laut Jawa
maka perairan Selat Madura berada dalam WPP Laut Jawa di sisi selatan paling
timur. Pembentukan WPP perlu diikuti dengan penetapan batas-batas, serta
penetapan Propinsi/Kabupaten/Kota yang diperkirakan sebagai pusat pendaratan
ikan hasil tangkap masing-masing wilayah pengelolaan.

2.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Dahuri (1996) menyatakan bahwa meningkatnya kegiatan pemanfaatan


sumberdaya pesisir dan laut oleh berbagai pihak, mendorong adanya kompetisi di
antara pelaku penangkapan dan industri perikanan tangkap. Kompetisi ini
menyebabkan adanya konflik dan tumpang tindih perencanaan dan pengelolaan
wilayah pesisir dan lautan dari berbagai kegiatan sektoral, pemerintah daerah,
masyarakat setempat dan swasta, disebabkan adanya perbedaan kepentingan
masing-masing pihak yang merasa berhak atas suatu wilayah pesisir dan lautan.
Konflik ini berakar dari masalah berikut: (1) Pihak yang berkepentingan
cenderung menyusun rencana kerja secara sendiri-sendiri, dan perencanaan
secara sektoral sering berbeda dengan kepentingan pemerintah daerah atau
masyarakat setempat, terutama nelayan tradisional yang merupakan obyek dari
perencanaan dan pengelolaan tersebut; (2) Belum ada pembagian wewenang dan
kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan
sumberdaya laut; (3) Belum ada instansi tersendiri atau instansi koordinasi yang
secara khusus menangani pengelolaan wilayah pesisir dan lautan; (4) Belum
tersedianya data dan informasi mengenai sumberdaya wilayah lautan secara
akurat; (5) Lemahnya kemampuan aparatur dan kelembagaan dalam mengelola
sumberdaya lautan secara lestari; (6) Jumlah dan tingkat laju kegiatan
pembangunan di kawasan pesisir dan lautan belum ditetapkan atas dasar
27

pertimbangan daya dukung lingkungan, dan kemungkinan timbulnya dampak


negatif suatu sektor pembangunan terhadap sektor lainnya; (7) Pesatnya laju
degradasi dan depresi sumberdaya laut, dimana 60% ekosistem telah punah;
(8) Belum ada batas pengelolaan yang tegas dan jelas tentang kawasan (wilayah)
pesisir yang menjadi kewenangan setiap propinsi dan juga batas antar negara.
Kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang intinya
merupakan komponen pengelolaan sumberdaya perikanan sebagai berikut :
(1) Pengumpulan dan analisis data, meliputi seluruh variable atau komponen yang
berkaitan dengan sumberdaya perikanan, meliputi data biologi, produksi dan
penangkapan ikan, data sosial ekonomi nelayan dan aspek legal perikanan;
(2) Penetapan cara-cara pemanfaatan sumberdaya perikanan, meliputi perizinan,
waktu serta lokasi penangkapan ikan; (3) Penetapan alokasi penangkapan ikan
(berapa banyak ikan yang boleh ditangkap) antar nelayan dalam satu kelompok,
antara kelompok nelayan yang berbeda, antara nelayan lokal dengan nelayan
pendatang dari tempat lain, atau antara nelayan yang berbeda alat tangkap dan
metode penangkapan ikan; (4) Perlindungan terhadap sumberdaya ikan yang
memang telah mengalami tekanan ekologis akibat penangkapan ikan atau
kejadian-kejadian alam, perlindungan terhadap habitat ikan, serta perlindungan
yang diarahkan untuk menjaga kualitas perairan supaya tetap dalam kondisi baik;
(5) Penegakan hukum dan perundang-undangan tentang pengelolaan sumberdaya
perikanan, sekaligus merupakan umpan balik yang digunakan untuk
meningkatkan kualitas hukum dan perundang-undangan; (6) Pengembangan dan
perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam jangka panjang yang
ditempuh melalui evaluasi terhadap program kerja jangka pendek atau yang saat
ini sedang diimplementasikan. Pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya
perikanan meliputi sumberdaya ikan itu sendiri maupun sumberdaya ikan beserta
seluruh aspek yang berpengaruh atau dipengaruhi sumberdaya ikan tersebut.
Vasconcellos (2003) menyatakan bahwa, ada tiga kriteria yang digunakan
dalam pengelolaan ikan Sardine di Brazilia, yaitu tangkapan rata-rata, tangkapan
yang bervariasi, dan kemungkinan pada stok pengalami penurunan drastis.
Kriteria pengelolaan penangkapan ini dipilih karena memberikan gambaran tiga
tujuan pengelolaan perikanan yaitu : (1) memaksimumkan hasil tangkapan,
28

peningkatan jumlah ikan hasil tangkapan sehingga mempunyai dampak lebih


banyak ikan untuk industri, lebih banyak peluang keuntungan pada sektor
perikanan tangkap, yang berarti membuka lebih banyak lapangan kerja; (2)
memaksimumkan stabilitas penangkapan : paling sering, ketertarikan terbesar
dari perencanaan pengelolaan adalah untuk menjamin stabilitas hasil tangkapan,
karena itu memelihara pasokan ikan yang konstan untuk bahan baku industri;
(3) meminimalkan peluang kerugian pada sektor perikanan, ini merupakan tujuan
dasar untuk rencana pengelolaan perikanan, dengan mempertimbangkan ekologi,
faktor ekonomi biaya berhubungan dengan kerugian pada sektor perikanan.

2.6 Kebutuhan Informasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Dahuri (1996) menyatakan, agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan


secara berkelanjutan, pada dasarnya diperlukan informasi yang menyangkut sisi
penawaran dan permintaan dari sumberdaya perikanan termaksud. Informasi
utama untuk mengelola kegiatan pembangunan perikanan tangkap secara
berkelanjutan antara lain meliputi : (1) Distribusi spasial jenis-jenis sumberdaya
ikan; (2) Potensi lestari (MSY) setiap jenis sumberdaya ikan; (3) Persyaratan
ekologis bagi kehidupan dan pertumbuhan setiap jenis sumberdaya ikan; (4)
Transfer energi dan materi antar tingkat trofik dalam suatu ekosistem perairan
dimana sumberdaya ikan yang dikelola hidup; (5) Dinamika populasi sumberdaya
ikan; (6) Sejarah hidup dari sumberdaya ikan; (6) Kualitas perairan dimana
sumberdaya ikan hidup; (8) Tingkat penangkapan terhadap sumberdaya ikan
dalam bentuk upaya tangkap secara time series.
Pengelolaan informasi untuk lingkungan perairan bagi kegiatan perikanan
sangat diperlukan. Pengelolaan ini meliputi pengumpulan, pemprosesan,
penelusuran, dan analisis data menjadi informasi yang bermanfaat bagi
penggunanya pada waktu yang diinginkan. Dalam perspektif pembangunan
perikanan, suatu lingkungan perairan beserta sumberdaya yang ada didalamnya
secara garis besar dapat dimanfaatkan bagi tiga peruntukkan yaitu : (1) kegiatan
penangkapan; (2) budidaya perairan; dan (3) kawasan perlindungan.
29

Data spasial atau sering juga disebut data keruangan adalah data yang terikat
dengan posisi koordinat ruang di permukaan bumi. Data spasial dapat berupa peta
dasar atau peta tematik, data/informasi yang diperoleh dari data penginderaan jauh
satelit, atau data hasil pengamatan lapangan yang dikaitkan dengan posisi
koordinat yang diukur dengan Global Positioning System (GPS) atau titik acuan
berdasarkan posisi koordinat pada peta dasar.
Data spasial berupa peta dasar atau peta tematik antara lain : (1) peta
rupabumi; (2) peta laut (kedalaman); (3) peta lingkungan pesisir dan laut. Data
spasial berupa parameter fisik dan lingkungan terkini yang diperoleh dari data
penginderaan jauh antara lain terdiri dari : (1) data daerah potensi penangkapan
ikan (fishing ground); (2) data lingkungan pesisir dan pantai seperti terumbu
karang, mangrove, dan kualitas perairan; (3) daerah potensi budidaya laut.
Berdasarkan catatan bahwa, hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Bali
pernah mengalami penurunan yang sangat drastis yaitu dari melebihi 6.500 ton
pada tahun 1950 menjadi kurang 200 ton pada tahun 1956, tetapi kemudian naik
lagi disebabkan oleh faktor-faktor atau peristiwa yang tidak diketahui. Penurunan
stok ikan secara drastis dapat disebabkan oleh dua faktor yang saling berkaitan
yaitu tekanan penangkapan berlebih dan pengaruh lingkungan oseanografi. Faktor
kedua disebabkan oleh ketidakpastian dalam estimasi sumberdaya ikan lemuru
(sandine) di Indonesia akibat kesenjangan informasi distribusi ikan lemuru secara
geografis dari stok ikan dalam potensi lestari (Pet, 1997).

2.7 Pengembangan dan Penerapan Informasi Spasial ZPPI LAPAN

Informasi spasial ZPPI telah dikembangkan di LAPAN beberapa tahun lalu


sebagai tindak lanjut dari penelitian suhu permukaan laut menggunakan data
NOAA-AVHRR yang telah dikembangkan sejak tahun 1984 (Hasyim, 1984).
Setelah melalui penelitian panjang tentang pemanfaatan data NOAA-AVHRR
untuk mendapat data suhu permukaan laut sesuai dengan karakteristik perairan
laut Indonesia, selanjutnya dikembangkan informasi spasial ZPPI sejak tahun
1999. Pengembangan informasi spasial ZPPI dilatar belakangi oleh :
30

1) komitmen LAPAN dalam membantu menyediakan informasi spasial


sumberdaya alam pesisir dan laut terkait dengan program pengembangan
ekonomi masyarakat.
2) terbatasnya kemampuan nelayan dalam memahami kondisi oseanografi yang
berkaitan dengan daerah fishing ground sehingga hasil tangkapannya menjadi
tidak pasti.
3) terbatasnya data dan informasi mengenai kondisi oseanografi yang berkaitan
erat dengan daerah potensi penangkapan ikan;
4) penelitian LAPAN dalam memanfaatkan teknologi penginderaan jauh satelit
guna memantau fisik perairan sudah dilakukan sejak tahun 1986.
5) diharapkan adanya informasi zona potensi penangkapan ikan dari
penginderaan jauh satelit dapat dipergunakan untuk mendukung pengamatan
dan pengelolaan perikanan tangkap.
Urgensi dari pengembangan dan penerapan informasi ZPPI adalah : (1)
pemberdayaan masyarakat nelayan melalui pelatihan dan penyediaan informasi
ZPPI untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan; (2) adanya informasi spasial
ZPPI diharapkan dapat meningkatkan efisiensi biaya operasional dan efektivitas
dengan memperbanyak masa operasi penangkapan; dan (3) mendukung usaha
peningkatan produksi ikan daerah yang diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan asli daerah (Pusbangja, 2003).
Pengembangan informasi spasial ZPPI dilanjutkan dengan kegiatan
sosialisasi yang terdiri dari 3 tahap kegiatan yaitu :
1) Penyuluhan dan pelatihan: meningkatkan pengetahuan para nelayan tentang
teknologi inderaja untuk kelautan dan perikanan, sistem navigasi laut,
pembacaan peta laut dan penggunaan alat bantu penangkapan ikan.
2) Aplikasi (uji coba) informasi spasial ZPPI menunjukkan dan membuktikan
kepada nelayan bahwa pada ZPPI terdapat gerombolan ikan.
3) Evaluasi dan implementasi dilakukan untuk mengetahui respon para nelayan,
lembaga swadaya masyarakat, staf dinas terkait tentang aplikasi ZPPI dan
rencana tindak lanjutnya.
LAPAN telah melaksanakan kegiatan sosialisasi dan pelatihan penerapan
informasi spasial ZPPI bagi nelayan di wilayah Pangandaran pada tanggal 9-15
31

Juli 2002. Kegiatan sosialisasi dan aplikasi diikuti oleh perwakilan nelayan dari
Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, dan beberapa perwakilan dari Dinas Kelautan
dan Perikanan Jawa barat, serta Lembaga Swadaya Masyarakat dari Bandung dan
Tasikmalaya. Pelaksanaan aplikasi data ZPPI dilaksanakan pada tanggal 11 – 13
Juli 2002 di Pangandaran.
Lapan melakukan uji coba hari pertama pada tanggal 11 Juli 2002
menggunakan data ZPPI tanggal 10 Juli 2002 di posisi titik ikan 108o 39’ 45.9”
BT – 7o 47’ 16.7” LS dan kapal yang digunakan berukuran 10 GT dengan alat
tangkap jaring ngambang. Hasil tangkapan yang diperoleh dalam operasi
penangkapan ikan sebesar 4 kg dengan jenis ikan tongkol dan layur. Uji coba hari
kedua tanggal 12 Juli 2002 dengan memakai data ZPPI 1 (satu) hari sebelumnya
pada koordinat 108o 9’ 3.8” BT – 7o 55’ 33.7” LS dan bobot kapal yang dipakai
berukuran sama hanya alat tangkapnya yang beda yaitu jaring gillnet. Pada posisi
titik ikan tersebut mendapatkan hasil tangkapan sebesar 30 kg dengan jenis ikan
tongkol dan tenggiri. Kegiatan uji coba hari ketiga tanggal 13 Juli 2002 dengan
menggunakan data ZPPI tanggal yang sama pada posisi titik ikan 108o 44’ 33” BT
– 7o 47’ 24.3” LS dengan hasil tangkapan ikan sebesar 40 kg dengan jenis ikan
Tongkol dan Tenggiri.
Data feedback bulan September didasarkan pada informasi ZPPI Seacorm –
DKP dan informasi ZPPI dari LAPAN. Informasi data ZPPI dari Seacorm – DKP
berdasarkan data Topex pada daerah penangkapan ikan sekitar perairan Gombong
– Yogyakarta dengan posisi koordinat 108o 49’ 43.8” BT – 7o 57’ 36.2” LS
mendapatkan jumlah hasil tangkapan ikan sebesar 945 kg. Sedangkan informasi
spasial ZPPI dari LAPAN pada daerah penangkapan ikan sekitar perairan
Sindangkerta dengan koordinat 107o 55’ 4.7” BT – 7o 50’ 12.4” LS memperoleh
hasil tangkapan ikan sebanyak 1.325 kg (Gambar 4).
32

Gambar 4 Informasi spasial ZPPI tanggal 13 Juli 2002 yang digunakan pada uji
coba penerapan ZPPI di perairan laut Pangandaran.

Dari tingkat keberhasilan uji coba, data ZPPI tersebut cukup memberikan
pemahaman dan memuaskan para nelayan setempat tentang akurasi data dalam
menentukan posisi koordinat penangkapan ikan. Para nelayan menginginkan agar
informasi spasial dari LAPAN dikirim secara rutin setiap hari. Selain itu
informasi posisi titik-titik ikan diharapkan berada dibawah 10 mil dari TPI
setempat karena rata-rata nelayan daerah selatan Jawa Barat merupakan nelayan
pesisir yang menggunakan perahu motor dengan bobot antara 1 - 2 GT dan alat
tangkap masih tradisional.
Telah dilakukan juga kegiatan sosialisasi dan penerapan informasi spasial
ZPPI bagi para nelayan, pemilik kapal, dan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan
Kota Pekalongan. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan sosialisasi tersebut, telah
dilakukan uji coba penerapan informasi spasial ZPPI dengan menggunakan data
tanggal 2 Agustus 2002 (Gambar 5). Uji coba dilakukan dengan cara
menyampaikan informasi spasial ZPPI melalui komunikasi radio dengan
memberikan informasi titik-titik koordinat ZPPI kepada pimpinan awak kapal
yang berada di tengah laut dan nelayan yang akan berangkat melaut.
33

Berdasarkan kesepakatan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota


Pekalongan yang berwenang memberikan dan mendistribusikan informasi harian
ZPPI tersebut, uji coba informasi spasial ZPPI diberikan kepada 5 (lima) kapal.
Hasil evaluasi uji coba menunjukan kapal yang menggunakan informasi ZPPI
tersebut mendapatkan hasil tangkapan sebesar 45.600 Kg, jauh lebih besar
dibandingkan yang tidak menggunakan informasi ZPPI. Di samping itu, bila
pengiriman informasi ZPPI terlambat dan posisi koordinat titik ikan jauh dari
posisi kapal mengakibatkan ikan yang berada di area tangkapan tersebut akan
berpindah lokasi atau migrasi. Berdasarkan informasi spasial ZPPI maka zona
yang potensial untuk penangkapan ikan adalah pada koordinat 113° - 114° BT dan
04 °50 - 05 °30 LS. Ketika kapal yang digunakan untuk uji coba penerapan
informasi spasial ZPPI sampai pada posisi yang ditunjuk dalam informasi spasial
ZPPI ternyata di lokasi tersebut sudah berkumpul 40 kapal asing sedang
melakukan penangkapan dengan alat tangkat purse seine. Ikan yang tertangkap
pada uji coba tersebut hanya jenis ikan layang kecil dan ikan banyar kecil.

Gambar 5 Contoh ZPPI di perairan Laut Jawa sebelah utara pulau Madura yang
dipergunakan oleh nelayan Pekalongan.
34

Kegiatan uji coba penggunaan informasi spasial ZPPI lainnya, juga


dilakukan dengan kapal KM Sinar Kencana di sebelah utara pulau Bawean dengan
Feedback bahwa, penangkapan selama 4 (empat) hari yaitu tanggal 22-27 Agustus
2002 memperoleh hasil tangkapan total 45.600 kg (Gambar 6).

Gambar 6 Contoh penggunaan informasi spasial dengan 2 (dua) ZPPI di Laut


Jawa sebelah utara Tuban dan Rembang oleh nelayan Pekalongan.

Uji coba penerapan ZPPI dilakukan di perairan sebelah utara Rembang dan
Tuban pada tanggal 22 Agustus 2002 menggunakan kapal motor Sinar Kencana
berbobot 80 GT dan alat tangkap purse seine. Hasil tangkapan pada kegiatan uji
coba pada koordinasi posisi 110o 50’BT dan 5o20’ LS ini adalah 2,25 ton, serta
hasil tangkapan jenis ikan Layang dan Banyar sebanyak 3 ton pada koordinat
posisi 112o 35’BT dan 6o15’ LS.
Kegiatan sosialisasi dan aplikasi informasi spasial ZPPI di Makassar
dilaksanakan pada tanggal 22 – 24 September 2002 di perairan Selat Makasar
menggunakan kapal berukuran 6 GT dan alat tangkap jaring Purse Seine. Uji coba
menggunakan informasi spasial ZPPI tanggal 22 September 2002 dengan posisi
titik ikan 119o 7’ 54.8” BT – 5o 10’ 26.4” LS atau sekitar perairan Pulau Langkai
sejauh sekitar 8 mil dari PPI Paotere. Dalam perjalanan menuju lokasi titik ikan
35

tersebut atau sekitar 4 mil dari PPI Paotere terjadi gelombang besar dan cuaca
buruk sehingga uji coba informasi spasial ZPPI dihentikan.
Pelaksanaan uji coba dilanjutkan pada tanggal 24 September 2002 dengan
menggunakan data ZPPI sebelumnya di posisi titik ikan yang sama. Perahu motor
berhenti pada jarak sekitar 3 mil dari data ZPPI yaitu posisi koordinat 119o 10’
14” BT – 5o 7’ 55” LS karena menurut informasi nahkoda bahwa daerah tersebut
merupakan daerah fishing ground. Namun jaring tidak dapat diturunkan karena
arus kuat dan gelombang tinggi. Selama pelaksanaan uji coba data ZPPI dapat
disimpulkan bahwa faktor cuaca dan kapal serta alat tangkap ikan yang kurang
mendukung akan menghambat penangkapan ikan pada saat itu. Selain itu
informasi ZPPI yang digunakan adalah data tanggal sebelumnya, sementara ikan
sudah bermigrasi sejauh sekitar 3 mil dari titik ikan yang dituju.

2.8 Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Buatan BRKP

Badan Riset Kelautan dan Perikanan - Departemen Kelautan dan Perikanan


(BRKP-DKP) juga mengembangkan informasi zona potensi penangkapan ikan
yang disebut dengan Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI)
berdasarkan data NOAA-AVHRR dan data Topex Poseidon. Data NOAA-
AVHRR digunakan untuk mendapatkan parameter oseanografi tentang sebaran
suhu permukaan laut, sedangkan data Topex Poseidon digunakan untuk
mendapatkan parameter oseanografi tentang arus dan gelombang. Informasi
spasial PPDPI yang diproduksi BRKP-DKP sudah diterapkan di Juwana (Pati),
Pelabuhan Ratu, Cilacap dan tempat lainnya (Gambar 7).
Peta prakiraan daerah penangkapan ikan yang dihasilkan oleh BRKP-DKP
mencakup area dari barat ke timur sepanjang 26o atau sama dengan 26 x 110 km =
2.860 km, dan cakupan area utara selatan sepanjang 12o atau sama dengan 12 x
110 km = 1.320 km, sehingga luas area informasi sama dengan 2.860 km x 1.320
km = 3.775.200 km2. Wilayah peta prakiraan daerah penangkapan ikan BRKP-
DKP dibagi-bagi menjadi sel-sel dengan ukuran panjang sisi-sisinya 2o x 2o,
sehingga luas per sel sama dengan 220 km x 220 km = 48.400 km2. Disamping
informasi tentang lokasi potensi penangkapan ikan, peta juga dilengkapi dengan
informasi arah gelombang, batas zota ekonomi eksklusif, dan data lainnya.
36

Gambar 7 Contoh Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan yang diproduksi dan
didistribusikan oleh BRKP-DKP

2.9 Tingkat Adopsi Pemanfaatan Informasi Spasial ZPPI

Hadiat (2005) menyatakan bahwa pengenalan teknologi informasi spasial


ZPPI telah dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN) melalui program pemanfaatan informasi spasial ZPPI sejak tahun 1999,
kemudian diikuti oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen
Kelautan dan Perikanan melalui Program Pengenalan Peta Prakiraan Daerah
Penangkapan Ikan (PPDPI) di beberapa daerah yang mempunyai wilayah perairan
laut. Dalam pengenalan program penggunaan informasi spasial ZPPI yang
dilakukan oleh LAPAN tersebut, nelayan terlebih dahulu dibekali pengetahuan
tentang cara menggunakan alat bantu posisi yaitu global pisitioning system (GPS)
dan melalui kegiatan pelatihan dan sosialisasi informasi spasial ZPPI.
Diperkenalkan juga cara menggunakan fish finder untuk mendeteksi kepastian
keberadaan dan gerombolan ikan setelah nelayan sampai di lokasi yang
ditunjukkan pada informasi spasial ZPPI.
37

Tingginya adopsi nelayan pada daerah-daerah yang telah dilakukan


sosialisasi dan penerapan ZPPI di wilayah pantai utara Pulau Jawa antara lain
didukung oleh : (1) Kondisi alat produksi dalam bentuk armada kapal yang relatif
cukup besar, yaitu rata-rata di atas 30 GT untuk lokasi Indramayu dan
Pekalongan, kecuali lokasi Situbondo dengan bobot rata-rata 10 GT; (2)Dengan
besarnya bobot kapal memungkinkan jangkauan penangkapan ikan nelayan cukup
jauh, sehingga kebutuhan alat bantu seperti informasi spasial ZPPI cukup besar
khususnya untuk nelayan di Pekalongan dan Indramayu; dan (3) Jenis informasi
spasial ZPPI yang digunakan memiliki tingkat kerincian yang tinggi, yaitu skala
yang lebih besar sehingga lokasi yang ditunjukkan dalam koordinat informasi
spasial ZPPI lebih rinci. Informasi spasial ZPPI tersebut pada umumnya berasal
dari LAPAN dengan tingkat akurasi untuk suatu area perairan laut lebih kecil dan
lebih rinci dibandingkan dengan Informasi Spasial Prakiraan Daerah Penangkapan
Ikan yang berasal dari BRKP-DKP.
Tingkat pemanfaatan informasi spasial ZPPI ditentukan oleh tinggi
rendahnya adopsi teknologi informasi bersangkutan, yang ditentukan oleh
keberhasilan penggunaan informasi tersebut dalam meningkatkan hasil tangkapan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan tingkat adopsi yang tinggi
oleh nelayan-nelayan di lokasi yang mendapatkan informasi spasial ZPPI dari
LAPAN, terutama berkaitan dengan skala spasial dalam informasi spasial tersebut
dibandingkan dengan yang menggunakan informasi spasial PPDPI dari BRKP-
DKP. Informasi spasial produksi LAPAN memiliki skala spasial lebih besar
sehingga lebih rinci dibandingkan dengan yang diproduksi BRKP-DKP. Dengan
skala spasial yang rinci, informasi spasial ZPPI LAPAN dapat menunjukkan
lokasi potensi penangkapan ikan sesuai koordinat yang ditunjukkan pada luasan
dengan radius 6 km, sedangkan informasi spasial BRKP-DKP jauh lebih luas.
Informasi spasial ZPPI LAPAN dengan skala yang lebih besar, nelayan lebih
mudah menentukan lokasi secara tepat sesuai titik koordinat yang ditentukan dan
dapat dijangkau oleh nelayan kecil, sedangkan informasi spasial yang diproduksi
oleh BRKP-DKP lebih dimungkinkan untuk nelayan besar.
38

3 DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN

3.1 Kondisi Geografis Daerah Penelitian


Kabupaten Situbondo merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Timur yang
dikenal dengan daerah wisata pantai Pasir Putih dan cagar alam Gunung Baluran,
letaknya strategis karena dilalui oleh jalan arteri Surabaya – Banyuwangi yang
merupakan jalur lintasan menuju arah Bali dan jalan penghubung ke arah
Bondowoso dengan posisi geogafis di antara 113º 34' 21”- 114º 27' 57” BT dan 7º
36' 16” - 7º 59' 32” LS. Letak Kabupaten Situbondo di sebelah utara berbatasan
dengan Selat Madura (di selatan wilayah Kabupaten Sumenep), sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi dan Selat Bali, sebelah selatan
berbatasan dengan kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi, dan di sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo (Gambar 8).

Gambar 8 Peta geografi wilayah Kabupaten Situbondo menunjukkan posisi


wilayah Situbondo berada di sisi selatan Selat Madura, dan wilayah
kabupaten sekitarnya di Provinsi Jawa Timur,
39

Luas Kabupaten Situbondo adalah 1.638,50 km2 atau 163.850 Ha,


bentuknya memanjang dari sisi barat ke timur dengan panjang garis pantai sekitar
150 km. Pantai utara umumnya berdataran rendah dan di sebelah Selatan
berdataran tinggi dengan rata-rata lebar wilayah (utara-selatan) sekitar 11 km.
Kabupaten Situbondo terdiri dari 17 wilayah kecamatan, 13 kecamatan
diantaranya memiliki pantai dan 4 kecamatan tidak memiliki pantai. Dalam 13
kecamatan tersebut terdapat beberapa desa pesisir yang memiliki tempat
pendaratan ikan (TPI), seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Nama kecamatan dan desa pesisir yang mempunyai TPI


Nama Nama Desa Pesisir
NO Kecamatan yang Mempunyai TPI
1 Banyuglugur Banyuglugur dan Kalianget
2 Besuki Pesisir dan Demung
3 Suboh Ketah
4 Melandingan Selomukti dan Mlandingan Barat
5 Bungatan Mlandingan Timur, Bletok, Bungatan, dan
Pasir Putih
6 Kendit Pecaron
7 Panarukan Kilensari, Deleyan, Duwet, dan Gelung
8 Mangaran Kalbut, Tanjung Pecinan, danTanjung Kamal
9 Kapongan Landangan dan Seletreng
10 Arjasa Arjasa
11 Tanjung Jangkar Agel, Kumbangsari, dan Tanjung Jangkar
12 Asembagus Pondok Langar
13 Banyuputih Bugeman, Sukorejo, Pondok Mimbo, dan Pandean

Karena letak geografisnya maka perairan laut wilayah Situbondo dan


sekitarnya dipengaruhi oleh angin musim timur dan tenggara pada bulan April -
September dan angin barat laut pada bulan November-Maret. Arah dan kecepatan
angin ini sangat besar pengaruhnya pada bidang perikanan khususnya usaha
penangkapan ikan di laut. Bulan November sampai dengan Maret merupakan
musim yang baik untuk usaha penangkapan ikan di laut, sedangkan pada bulan
April – September bertiup angin timur dan tenggara disertai gelombang yang
cukup tinggi sehingga merupakan musim sulit atau paceklik bagi nelayan
Situbondo. Peralatan tangkap yang umum digunakan oleh para nelayan di wilayah
Kabupaten Situbondo antara lain purse seine, trawl mini, jaring insang, trammel
net, dan pancing.
40

3.2 Potensi Wilayah Kabupaten Situbondo


Kabupaten Situbondo mempunyai ciri-ciri fisik yang menggambarkan
kondisi daratannya terdiri dari pegunungan, dataran rendah dan pantai, dengan
tingkat kesuburan tanah dan pola penggunaan lahan yang berbeda. Kondisi yang
bervariasi itu telah memperkaya sumberdaya alam yang dimiliki Kabupaten
Situbondo yang terdapat di darat dan laut, dalam bentuk flora dan fauna, tambang
dan sumberdaya air yang diharapkan dapat didayagunakan secara rasional dan
bertanggung jawab demi kesejahteraan masyarakat.
Potensi sumberdaya perairan umum dan sumberdaya laut di Kabupaten
Situbondo cukup besar, sehingga Situbondo merupakan daerah perikanan yang
sangat potensial baik untuk budidaya maupun perikanan laut, produksi perikanan
baik budidaya (tambak, kolam) maupun perikanan laut terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Produksi perikanan laut sebagian besar terdiri dari
ikan-ikan jenis pelagis maupun demersal seperti tongkol, pare, layang-layang,
kembung, lemuru, kakap, bawal, dan lain-lain. Selain itu produksi perikanan darat
dihasilkan dari budidaya tambak, kolam dan penangkapan di perairan umum.
Potensi sumberdaya yang ada di Kabupaten Situbondo telah didayagunakan
untuk pembangunan daerah, baik berupa pemanfaatan sumberdaya alam,
sumberdaya manusia serta ditunjang dengan kondisi dan potensi ekonomi daerah
Kabupaten Situbondo yang semakin mantap. Berbagai indikator terukur mengenai
kondisi ekonomi Daerah Kabupaten Situbondo dapat diketahui dari
perkembangan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), yang secara
makro dapat dipergunakan untuk menilai kondisi perkembangan ekonomi pada
suatu daerah. Berdasarkan gambaran statistik nilai PDRB Kabupaten Situbondo
selama 1993 - 1997 menunjukkan berbagai peningkatan nilai dari tahun ke tahun.

3.3 Pewilayahan Pembangunan Kabupaten Situbondo

Dalam rencana tata ruang wilayah tahun 2008/2009 dinyatakan bahwa


sistem pewilayahan pembangunan Kabupaten Situbondo yang ada saat ini menjadi
acuan dalam pengembangan wilayah. Wilayah Kabupaten Situbondo dibagi
menjadi 3 (tiga) pusat pertumbuhan yaitu:
41

1) Pusat pertumbuhan bagian Timur dengan pusat pengembangan di Asembagus


yang meliputi wilayah kerja Pembantu Bupati di Asembagus diarahkan untuk
pengembangan produksi pangan dan perkebunan, peternakan, taman nasional
Baluran, pusat pendaratan ikan di Jangkar dan Pondok Mimbo, industri
menengah, dan pendidikan.
2) Pusat pertumbuhan bagian Tengah dengan pusat pengembangan di Situbondo
meliputi wilayah kerja Pembantu Bupati Situbondo dan Panarukan, diarahkan
untuk pengembangan industri rakyat, jasa-jasa, perdagangan regional,
sebagian untuk pengembangan produksi pangan dan perkebunan khususnya
tebu, serta pengembangan pelabuhan antar pulau di Panarukan, disamping
sebagai pusat pendaratan ikan.
3) Pusat pertumbuhan bagian Barat, dengan pusat pengembangan di Besuki
diarahkan untuk pengembangan tanaman perkebunan, peternakan terutama
untuk daerah-daerah lereng pegunungan serta tanah-tanah tegalan, tanaman
sayur-mayur di dataran tinggi, pengembangan perikanan tangkap dan
budidaya, dan industri kecil. Dataran rendah dan pantai untuk pengembangan
produksi pangan, pariwisata pantai Pasir Putih serta pusat pendaratan ikan.
Pemecahan pusat-pusat pertumbuhan lebih ditekankan pada pemerataan
pembangunan, sehingga daerah-daerah yang dianggap potensial untuk
berkembang perlu didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai sesuai
dengan tingkat kebutuhannya.

3.4 Kelembagaan Kelautan dan Perikanan

Kelembagaan kelautan dan perikanan di Kabupaten Situbondo diatur dalam


Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Susunan dan Tata Kerja Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo, dengan tugas pokok melaksanakan
kewenangan otonomi daerah Kabupaten dalam rangka pelaksanan tugas
desentralisasi di bidang kelautan dan perikanan.
Dalam usaha melaksanakan tugas pokok tersebut, Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Situbondo telah menetapkan visi, misi, dan tujuan stratejik
sebagai berikut. Visi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo adalah
terwujudnya masyarakat kelautan dan perikanan Situbondo yang sejahtera dan
42

mandiri dengan bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan


secara efektif, efisien dan berkesinambungan. Misi Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Situbondo ada 6 yaitu :
1) Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan.
2) Melakukan pembinaan yang intensif terhadap pemanfaatan Pusat Pelelangan
Ikan (PPI).
3) Memberikan pengetahuan dan keterampilan yang memadai bagi peningkatan
kualitas sumberdaya kelautan dan perikanan.
4) Membenahi secara terpadu sarana dan prasarana kelautan dan perikanan di
Kabupaten Situbondo.
5) Mengumpulkan dan mengolah bahan untuk penyusunan Peraturan Daerah
bidang Kelautan dan Perikanan.
6) Menjaga kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan guna menjamin
kesinambungan.
Sedangkan tujuan stratejik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Situbondo adalah sebagai berikut :
1) Mengembangkan kegiatan ekonomi produktif berbasis sumberdaya kelautan
dan perikanan secara berkesinambungan.
2) Meningkatkan pendayagunaan Pusat Pelelangan Ikan dalam rangka
mendapatkan harga yang wajar bagi para nelayan.
3) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka pemanfaatan
sumberdaya kelautan dan perikanan yang berwawasan lingkungan.
4) Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana dalam rangka
memberikan fasilitas yang memadai dan bermutu bagi usaha bidang kelautan
dan perikanan.
5) Memantapkan landasan hukum pembinaan dan pengembangan sektor kelautan
dan perikanan.
6) Mewujudkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan
perikanan secara bertanggungjawab demi pembangunan yang berkelanjutan.
43

3.5 Usaha Penangkapan Ikan Laut

Usaha penangkapan ikan di perairan laut Kabupaten Situbondo menyebar di


semua kecamatan dan desa-desa pantai, tersebar pada sekitar 30 Tempat
Pendaratan Ikan (TPI) sebagai konsentrasi nelayan. Atas dasar potensi perikanan
yang ada, telah dibangun Pusat Pelelangan Ikan (PPI) pada beberapa pangkalan
ikan antara lain di desa pesisir Kecamatan Besuki, desa Ketah kecamatan Suboh,
desa Kilensari di desa Gelung kecamatan Panarukan, desa Semiring kecamatan
Mangaran, desa Landangan kecamatan Kapongan, desa Jangkar kecamatan
Jangkar, desa Sumber Anyar (Pondok Mimbo) dan desa Wonorejo (Pandean)
kecamatan Banyuputih. Pusat Pelelangan Ikan tersebut dibangun di lokasi
Koperasi Unit Desa (KUD) Mina, merupakan lembaga yang bertindak sebagai
pengelola PPI dan penyelenggara pelelangan ikan. Perdagangan ikan di
Kabupaten Situbondo bertumpu pada ikan hasil tangkapan di perairan Selat
Madura dengan tangkapan utama berupa ikan layang, ikan tongkol, ikan kembung
dan lemuru. Potensi perikanan ini perlu dikelola dengan baik sehingga dapat
dimanfaatkan secara optimal dan lestari. Usaha penangkapan ikan laut dilakukan
dengan berbagai jenis/ukuran juga dengan menggunakan berbagai alat tangkap.
Produksi ikan hasil penangkapan di laut pada tahun 2002 – 2006 berdasarkan alat
jenis tangkap yang digunakan mengalami penurunan (Tabel 2).

Tabel 2 Alat tangkap dan produksi ikan setiap jenis alat tangkap per tahun

Jenis Produksi Per Jenis Alat Tangkap (Ton)


No.
Alat Tangkap 2002 2003 2004 2005 2006
1 Purse Seine 6.662,0 5.575,7 6.820,6 4.512,2 2.647,9
2 Payang 1.498,7 1.110,7 1.163,7 1.734,5 1.928,0
3 Jaring Insang 247,7 83,0 25,7 115,3 34,3
4 Tramel net 68,9 0,9 0,0 21,7 127,1
5 Pancing 754,2 901,2 546,0 530,2 1.542,7
Jumlah 9.231,5 7.671,5 8.556,0 6.913,9 6.279,9
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo Tahun 2002 - 2006.

Penurunan produksi ini antara lain disebabkan karena terjadinya penurunan


sumberdaya ikan, sedangkan aktivitas penangkapan oleh nelayan Situbondo dan
sekitarnya tidak mengalami perubahan yaitu tetap melakukan penangkapan di
44

perairan Selat Madura. Berdasarkan alat tangkap yang dipergunakan, pukat cincin
(Purse Seine) adalah jenis alat tangkap penghasil ikan tangkapan terbanyak yaitu
sekitar 72% dari total tangkapan di Kabupaten Situbondo (Tahun 2002), alat
tangkap payang sekitar 16%, dan pancing sekitar 8%.
Ditinjau dari jenis ikan yang tertangkap di perairan Selat Madura oleh
armada penangkap ikan Kabupaten Situbondo pada tahun 2002 – 2006, ikan
lemuru adalah yang paling banyak tertangkap dibandingkan jenis ikan lainnya
dalam kategori ikan dominan. Hasil tangkapan ikan lemuru cukup berfluktuasi
dan cenderung mengalami penurunan dari 4.784,2 ton pada tahun 2002 menjadi
hanya 1.483,7 ton pada tahun 2006 (Tabel 3).

Tabel 3 Produksi ikan tangkap Kabupaten Situbondo untuk 5 (lima) jenis ikan
yang dominan pada tahun 2002 – 2006 (5 tahun)

Jenis Ikan Produksi (Ton) per Tahun


No.
Yang Dominan 2002 2003 2004 2005 2006
1 Lemuru 4.784,2 5.186,1 5.794,8 3.181,4 1.483,7
2 Layang 1.316,9 813,2 928,1 1.403,3 1.537,5
3 Tongkol 1.550,3 671,5 1.022,1 1.075,0 1.168,4
4 Kurisi 426,2 149,2 216,1 248,7 385,6
5 Kembung 317,8 178,4 132,2 288,8 223,8
Jumlah Tangkapan 8.395,4 6.998,4 8.093,3 6.197,1 4.798,9
Jenis Ikan Lainnya 836,9 673,1 481,7 735,4 1.584,8
Total Semua Jenis Ikan 9.232,3 7.671,5 8.575,0 6.932,5 6.383,7
Prosentasi Tangkapan
90,94% 91,23% 94,38% 89,39% 75,17%
Ikan Yang Dominan
Prosentase Kenaikan (+)
+0,29% +3,16% -4,99% -14,22%
atau Penurunan (-)
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo Tahun 2002 - 2006.

Dari segi klasifikasi armada penangkap ikan di wilayah Kabupaten


Situbondo, yang terbanyak adalah perahu layar berjumlah 883 unit, perahu motor
masing-masing dengan kekuatan mesin 5 – 10 GT berjumlah 681 unit, 10 – 20 GT
berjumlah 524 unit dan diatas 20 GT berjumlah 432 unit (Tabel 4). Dari 12
kecamatan yang mempunyai TPI, perahu layar terdapat di 12 kecamatan, perahu
motor masing-masing dengan kekuatan mesin dibawah 5 GT hanya terdapat di
dua kecamatan, antara 5 - 10 GT terdapat di 8 kecamatan, antara 10 – 20 GT
terdapat di 5 kecamatan, dan diatas 20 GT hanya terdapat di 4 kacamatan.
45

Tabel 4 Jumlah armada perahu/kapal motor setiap Kecamapan di Kabupaten


Situbondo tahun 2003
No. Kecamatan Perahu Perahu Motor (GT)
Layar <5 5-10 10-20 >20
1. Banyuglugur 5 - 53 - 73
2. Besuki 27 - 80 - 176
3. Suboh 19 5 42 21 -
4. Melandingan 12 - 22 - -
5. Bungatan 189 - 70 - -
6. Kendit 100 - - 10 -
7. Panarukan 125 - 102 - -
8. Mangaran 237 - - 314 104
9. Kapongan 6 - - 70 79
10. Arjasa 45 2 - - -
11. Jangkar 78 - 188 - -
12. Banyuputih 40 - 124 109 -
Jumlah 883 7 681 524 432
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo.

Ditinjau dari segi klasifikasi jenis nelayan yang bekerja di sektor perikanan
tangkap, jumlah terbesar adalah nelayan pandega dengan jumlah 15.452 orang,
nelayan yang merupakan pemilik berjumlah 2.353 orang, dan yang paling sedikit
adalah nelayan sambilan berjumlah 366 orang (Tabel 5).

Tabel 5 Jumlah nelayan berdasarkan jenisnya pada masing-masing kecamatan di


Kabupaten Situbondo tahun 2003
Jumlah Nelayan (Orang)
No Kecamatan
Pemilik Sambilan Pandega Jumlah
1. Banyuglugur 148 14 456 616
2. Besuki 268 62 2.306 2.535
3. Suboh 91 29 1.183 1.303
4. Melandingan 34 19 306 359
5. Bungatan 259 - 356 615
6. Kendit 110 50 90 250
7. Panarukan 227 - 1.875 2.102
8. Mangaran 977 162 332 1.471
9. Kapongan 155 - 833 988
10. Arjasa 47 30 - 77
11. Jangkar 266 - 1.064 1.330
12. Banyuputih 273 - 3.932 4.205
Jumlah 2.855 366 12.733 15.954
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo.
46

Jika ditinjau dari segi tempat PPI maka jumlah nelayan yang terbanyak
adalah di Kecamatan Banyuputih (PPI Pondok Mimbo) berjumlah 4.205 orang,
yang kedua adalah di Kecamatan Besuki (PPI Besuki) berjumlah 2.535 orang,
ketiga adalah di Kecamatan Panarukan berjumlah 2.102 orang, dan yang ke empat
adalah di Kecamatan Jangkar (PPI Jangkar) berjumlah 1.330 orang.

3.6 Permasalahan dan Peluang Dalam Pembangunan Perikanan


Terdapat beberapa masalah dalam pembangunan kelautan dan perikanan di
Kabupaten Situbondo, antara lain adalah sebagai berikut :
1) Penyelenggaraan pelelangan ikan di pusat pelelangan ikan (PPI) yaitu PPI
Pondok Mimbo, Jangkar, Landangan, Mangaran, Panarukan, Gelung, Ketah,
dan Besuki belum berfungsi dengan baik. Jumlah ikan yang dilelang di
delapan PPI tersebut masih relatif kecil dibandingkan dengan produksi yang
dihasilkan para nelayan. Hal ini antara lain disebabkan oleh : Nelayan sudah
terikat/terjerat sistem pengambek; Di PPI tidak terjadi pelelangan ikan secara
murni, yang ada adalah sistem cawukan atau mengambil ikan seadanya,
kemudian hasil cawukan tersebut dijual untuk membiayai operasional KUD
dan sisanya untuk setoran; Sampai saat ini belum ada peraturan yang
mengatur tentang sistem pelelangan ikan di PPI; dan masih rendahnya kualitas
sumberdaya manusia nelayan dan pelaku perikanan, disisi lain KUD Mina
juga memiliki kemampuan manajerial yang masih sangat terbatas.
2) Adanya pengambilan terumbu karang untuk bahan-bahan hiasan yang
diperdagangkan di kawasan wisata Pasir Putih dan bahan baku pembakaran
kapur di beberapa daerah, mengakibatkan terjadinya kerusakan terumbu
karang dan mengancam terjadinya kerusakan habitat ikan karang.
3) Sering terjadi konflik berupa bentrok fisik dan perusakan alat tangkap sebagai
akibat sangat banyaknya perahu/kapal yang beroperasi di perairan Selat
Madura sehingga mendorong perebutan daerah operasi penangkapan.
4) Masih banyak nelayan yang menggunakan bahan peledak dalam penangkapan
ikan dan masih sulit dicegah/ditanggulangi karena rendahnya pemahaman
nelayan tentang bahaya serta kerusakan lingkungan akibat bahan peledak
47

tersebut dan juga sangat terbatasnya aparat penjaga perairan laut di wilayah
perairan Situbondo dan sekitarnya.
Peluang dalam pelaksanaan pembangunan perikanan di Kabupaten
Situbondo antara lain dalah sebagai berikut :
1) Potensi sumberdaya ikan di perairan sekitar Situbondo khususnya Selat
Madura, Selat Bali dan Laut Bali cukup tinggi dalam segala musim;
2) Permintaan ikan hasil perikanan tangkap terus mengalami peningkatan;
3) Semakin terbukanya peluang pasar untuk penjualan ikan hasil tangkapan yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi;
4) Sudah dibangun prasarana dan sarana untuk pengolahan ikan hasil tangkapan
khususnya untuk pemindangan ikan dan pembuatan tepung ikan meskipun
masih belum memadai;
5) Dekat dengan tempat pengolahan ikan (pengalengan ikan) skala besar di
wilayah Banyuwangi untuk pengalengan ikan lemuru dan ikan tongkol;
6) Dekat dengan kawasan wisata (Bali, Pasir Putih) yang membutuhkan ikan
segar berkualitas tinggi seperti kerapu, kakap, udang untuk konsumsi
wisatawan asing dan lokal.
Beberapa hambatan yang dihadapi oleh nelayan Kabupaten Situbondo
mempunyai dampak negatif bagi usaha penangkapan ikan di perairan laut,
selanjutnya berdampak pada rendahnya produktivitas tangkapan karena belum
mampu memanfaatkan peluang yang ada sehingga pada akhirnya menyebabkan
rendahnya penghasilan nelayan.
48

4 METODOLOGI

4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan sejak bulan Juni 2005 sampai dengan Desember 2007,
dengan fokus daerah penelitian di kawasan laut Kabupaten Situbondo, Jawa
Timur dan perairan sekitarnya. Daerah penelitian meliputi Selat Madura bagian
timur, Laut Jawa bagian timur, Laut Bali bagian barat, dan Selat Bali bagian utara,
sebagaimana Gambar 9.

Gambar 9 Cakupan wilayah penelitian dalam informasi spasial ZPPI

Mengacu pada penelitian Narendra (1993), wilayah penelitian untuk


informasi spasial ZPPI mingguan terletak pada batas-batas geografi antara 1130 -
1150 BT dan 70 - 80LS, dalam kawasan berbentuk bujur sangkar atau unit spasial
yang sisinya mempunyai panjang sebesar 5’ (9.260 m). Penetapan ukuran unit
49

spasial ini juga mengacu pada hasil uji coba dari sejumlah kegiatan yang pernah
dilakukan LAPAN serta sebuah pemikiran agar informasi ZPPI dapat digunakan
dengan mudah oleh nelayan, pembagian area yang diterapkan dalam penelitian ini
menggunakan unit spasial yang disesuaikan dengan sistem area pada peta dasar
yang digunakan sebagai referensi.
Wilayah penelitian ZPPI bulanan meliputi perairan Selat Madura, Laut Bali
bagian barat, Laut Jawa bagian selatan, sebelah utara Sumenep, Pamekasan
sampai Sampang, serta Selat Bali bagian utara, dengan batas-batas geografi pada
koordinat 1120 50’ - 1160 00’ BT dan 60 30’ - 80 10’ LS. Mengacu pada hasil
penelitian oleh Narendra (1993), wilayah penelitian kawasan ini dibagi menjadi
unit spasial dengan ukuran 10’. Ukuran unit spasial adalah 10’ x 10’ (18,52 km x
18,52 km). Panjang sisi dari unit spasial ini mendekati ukuran jarak lokasi daerah
penangkapan ikan seperti yang disarankan Narendra (1993), dengan catatan
bahwa 1° = 60’ dan 1’ = 1 mil laut atau 1.852 m.

4.2 Metode Pengumpulan Data

4.2.1 Materi penelitian

Materi utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data penginderaan
jauh dari satelit NOAA-AVHRR hasil akuisisi Stasiun Bumi Satelit Lingkungan
dan Cuaca LAPAN. Data NOAA-AVHRR yang digunakan adalah data time
series mingguan selama 10 tahun yaitu dari tahun 1996 sampai dengan 2005,
khususnya data NOAA-AVHRR kanal 4 dan kanal 5 (infra merah termal) yang
dipergunakan untuk menentukan sebaran suhu permukaan laut (SPL). Untuk
mendapatkan hasil perhitungan SPL yang baik, dilakukan 3 (tiga) kegiatan
penting yaitu : (1) pemisahan data hasil akuisisi pada saat terjadi El-Nino; (2)
pemilihan data yang bebas awan; dan (3) dilakukan cropping untuk cakupan data
NOAA-AVHRR wilayah Jawa Timur.
Selain data SPL yang diperoleh dari data NOAA-AVHRR dan data
kandungan klorofil-a bulanan yang diperoleh (download) dari situs internet
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/brpuse.pl, dalam penelitian ini juga digunakan:
50

1) Data kecepatan angin dan tinggi gelombang diperoleh dari laporan hasil survei
di Selat Madura yang dilakukan oleh Dinas Hidrooseanografi – TNI AL. Data
angin dan gelombang bulanan, dihasilkan dari perata-rataan data selama 10
tahun dan diperoleh dari Dinas Hidrooseanografi.
2) Data kedalaman laut Selat Madura dan perairan sekitarnya, yang dibuat
berdasarkan peta kedalaman laut yang diterbitkan Dinas Hidrooseanografi
nomor 1608 dan 1706.
3) Data feedback berupa lokasi penangkapan, jenis dan jumlah ikan hasil
tangkapan yang diperoleh dari uji coba penerapan ZPPI di Selat Madura mulai
Juli 2003 sampai dengan November 2005.
4) Data produksi perikanan tangkap dari statistik yang diterbitkan Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo, tahun 2002 - 2003.
5) Data hasil survei lapangan pada bulan September 2007 meliputi jenis alat
tangkap, lokasi penangkapan, lama operasi penangkapan, dan penghasilan
nelayan per trip penangkapan untuk PPI Pondok Mimbo, TPI Jangkar, PPT
Besuki, PPI Probolinggo, PPI Pamekasan dan PPI Dungke – Sumenep.
Dalam perkembangan terakhir ini, satelit penginderaan jauh yang
menggunakan Radar-SAR dilengkapi dengan sensor altimeter untuk mengamati
ketinggian permukaan laut (sea surface height / SSH), dengan resolusi spasial
0,25o (27,5 km x 27,5 km). Karena resolusi spasial citra SSH yang bersifat global
sehingga sangat bermanfaat untuk mendeteksi SSH di perairan laut yang luas
seperti Samudera Hindia, namun tidak dapat dipergunakan untuk mendeteksi SSH
Selat Madura karena merupakan perairan yang sempit dan dangkal.

4.2.2 Perhitungan suhu permukaan laut

Suhu permukaan laut (SPL) diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan


data penginderaan jauh satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic and
Atmospheric Administration – Advanced Very High Resoltion Radiometer) 10 bit
selama 10 (sepuluh) tahun, yaitu dalam periode Januari 1996 sampai dengan
Desember 2005 hasil akuisisi Stasiun Bumi Satelit Lingkungan dan Cuaca
LAPAN Pekayon, Jakarta Timur. Perolehan SPL berdasarkan data NOAA-
AVHRR, dilakukan melalui proses sebagai berikut :
51

1) Pengadaan dan kompilasi data NOAA-AVHRR mingguan hasil akuisisi


Stasiun Bumi Satelit Lingkungan dan Cuaca LAPAN selama 10 tahun yaitu
dari tahun 1996 sampai dengan 2005;
2) Pemisahan data hasil akuisisi pada waktu kondisi normal dan hasil akuisisi
pada waktu anomali iklim (terjadi El Nino);
3) Dilakukan cropping data hasil akuisisi pada waktu kondisi normal
berdasarkan batas-batas yang ditentukan;
4) Dilakukan koreksi geometrik dan radiometrik terhadap semua data NOAA-
AVHRR yang akan digunakan dalam penelitian dengan referensi batas-batas
peta dasar skala 1:200.000;
5) Proses pengolahan data NOAA-AVHRR untuk mendapatkan citra sebaran
SPL berdasarkan metode McMillin & Crossby (1984) yang biasa digunakan di
LAPAN, dengan menggunakan data NOAA-AVHRR kanal infra merah
termal 4 dan kanal 5 masing-masing dengan panjang gelombang 10,30 –
11,30 µm dan 11,50 – 12,50 µm.
Data NOAA-AVHRR yang diterima dan direkam dari satelit berbentuk nilai
radiometer setiap pixel data yang biasa disebut dengan radiometer count atau
pixel count. Tahap pertama dalam perhitungan SPL adalah melakukan kalibrasi
terhadap data digital setiap pixel data NOAA-AVHRR yang diterima langsung
dari satelit dengan rumus berikut :

Ln = Sn Cn + In ............................................................................................1

dengan Ln : radiasi setiap kanal radiometer; Sn : Koefisien slope; Cn :


radiometer count atau digital count setiap pixel; In : koefien intercept; dan n :
masing-masing 4 untuk kanal 4 dan 5 untuk kanal 5. Selanjutnya setelah diperoleh
nilai Ln masing-masing untuk kanal 4 dan kanal 5, dilakukan perhitungan
brighness temperature (temperatur kecerahan air laut) dinyatakan dengan TBn
untuk masing-masing kanal (kanal 4 dan 5) dengan rumus sebagai berikut :

b
TBn = ......................................................................................2
[ln( Ln ) − a]

dengan : TBn : Temperatur kecerahan air laut masing-masing kanal 4 dan kanal
5, sedangkan a dan b adalah nilai konstanta yang ditentukan berdasarkan panjang
52

gelombang kanal 4 dan 5. Nilai konstanta a dan b untuk kanal 4 dan kanal 5
dinyatakan dengan Tabel 6 berikut :

Tabel 6 Nilai konstanta a dan b untuk kanal 4 dan 5 sensor AVHRR


Kanal Radimeter Nilai Konstanta Nilai Konstanta
Sensor NOAA-AVHR A b
Kanal 4 9,213623 -1347,375
Kanal 5 8,947998 -1229,813

Langkah selanjutnya, dilakukan perhitungan temperatur air laut (sea water


temperature) yang didasarkan pada nilai temperatur kecerahan air laut (TBn)
untuk masing-masing kanal radiometer dengan memasukkan nilai koreksi
emisivitas air laut (e) yang nilainya 0,98. Persamaan yang dipergunakan untuk
menghitung temperatur air laut dinyatakan dengan TWn sebagai berikut :

C 2Yn
TWn = .....................................................................3
C 2Yn
ln[1 − e + e exp( )]
TBn
Dimana : C2 : konstanta radiasi sinar matahari dengan nilai 1,438833 cmK; Yn :
central wave number kanal infra merah jauh sensor AVHRR; Nilai Yn untuk kanal
4 dan kanal 5 masing-masing adalah 927,73cm dan 938,55cm.
Langkah terakhir adalah perhitungan SPL dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :

SPL = TW4 + 2,702 (TW4 – TW5) – 273,582 ..............................................4

Dengan : SPL = Suhu Permukaan Laut (Sea Surface Temperature) dalam derajat
Celcius; TW4 = suhu air laut berdasarkan kanal 4; TW5 = suhu air laut
berdasarkan kanal 5; 273 = adalah pengurangan nilai derajat Kelvin (pada 0o
Celcius); dan 0,582 adalah koefisien koreksi.
Setelah diperoleh citra SPL dilakukan koreksi geometrik dan rektifikasi citra
SPL sebagai berikut :
1) Melakukan koreksi geometrik citra SPL dengan titik-titik referensi pada peta
dasar skala 1:200.000;
53

2) Melakukan rektifikasi semua citra SPL hasil akuisisi mingguan yang akan
dikoreksi secara geomentrik dengan data yang sudah dikoreksi secara akurat
sebagai citra referensi;

4.2.3 Data klorofil-a

Data klorofil-a sebagai indikator kesuburan perairan diperoleh dari internet


http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/brpuse.pl karena di Indonesia belum ada
sistem yang mampu menerima data dari satelit SeaWiFS secara langsung. Data
SeaWiFS yang di download dari internet dan digunakan adalah data dengan waktu
yang berkorelasi dengan data NOAA-AVHRR yang digunakan. Karena data yang
di download dari internet bersifat global yaitu dalam area yang luas maka
dilakukan cropping hanya pada daerah penelitian, sehingga dapat diperoleh citra
sesuai dengan liputan dan skala citra untuk daerah penelitian. Nilai kandungan
klorofil-a pada citra dibaca dengan cara membandingkan warna pada citra dengan
warna pada legenda yang menyatakan konsentrasi klorofil dengan interval dari
0,1 – 5,0 mg/m3. Pengamatan konsentrasi klorofil-a di perairan laut dilakukan
dengan cermat terutama untuk area perairan di wilayah pesisir. Hal ini sangat
perlu untuk mencegah kerancuan antara kandungan klorofil-a yang dijadikan
indikator tingginya kesuburan perairan dengan kekeruhan.

4.2.4 Data angin dan gelombang


Data arah dan kecepatan angin serta tinggi dan arah gelombang diperoleh
dari Dinas Hidrooseanografi TNA-AL. Data angin dan gelombang di perairan laut
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data peramalan gelombang yang
didasarkan pada kecepatan angin, lama hembus angin dan fetch. Data arah dan
kecepatan angin yang dipergunakan dibuat berdasarkan rata-rata bulanan arah dan
kecepatan angin di perairan Selat Madura dan sekitarnya dari tahun 1998 sampai
dengan tahun 2007. Tinggi gelombang diperoleh dari kecepatan angin yang
disesuaikan dengan skala beaufort dan arah gelombang disamakan dengan arah
angin. Data arah dan kecepatan angin yang diperoleh dari hasil rata-rata bulanan
dimasukkan kedalam distribusi prosentase frekwensi sehingga didapat tinggi dan
54

arah gelombang yang dominan pada tiap-tiap bulannya. Data yang dipergunakan
adalah rata-rata bulanan arah dan kecepatan angin di perairan Selat Madura dan
sekitarnya dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2007.
Arah dan kecepatan angin rata-rata yang diperoleh dari Dinas
Hidrooseanografi TNL-AL. Kecepatan angin dikelompokkan menjadi 6 interval
kecepatan dalam satuan knot yaitu antara 0 - 1 knot, 1 – 3 knot, 4 – 6 knot, 7 – 10
knot, 11 – 16 knot dan lebih besar dari 17 knot. Tinggi gelombang rata-rata dibagi
menjadi 5 interval dalam satuan meter yaitu 0; 0,1 – 0,5; 0,6 – 1,0; 1,1 – 1,5; dan
> 1,5 meter. Arah angin dan gelombang dibagi menjadi 8 arah yaitu utara, timur
laut, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, dan barat laut.

4.2.5 Data kedalaman Selat Madura

Data kedalaman perairan laut diperoleh dari peta kedalaman laut buatan
Dinas Hidrooseanografi TNI AL sesuai dengan skala yang tersedia. Data
kedalaman perairan ini digunakan untuk mendukung analisis daerah-daerah yang
potensial terjadinya penaikan massa air laut yang disebabkan oleh terjadinya
perubahan kedalaman dasar laut. Karena gradasi kedalaman kawasan Selat
Madura antara di sisi timur yang berbatasan dengan Laut dan Selat Bali dengan
perairan di utara Situbondo ke arah barat maka isobath dibuat tidak liner,
tergantung pada karakteristik kedalaman perairan. Gradasi kedalaman sebelah
timur dengan isobath 1.000 meter, 500 meter, dan 200 meter. Gradasi kedalaman
Selat Madura yang masuk dalam kategori perairan dangkal mulai utara Pondok
Mimbo dengan kedalaman 100 meter ke arah barat sampai kedalaman 10 meter
dibuat isobath dengan gradasi 10 meter.

4.3 Pengumpulan Data Perikanan Tangkap

Pengumpulan data perikanan tangkap diperoleh melalui dua cara yaitu


melalui survei lapangan di PPI/TPI di Situbondo dan PPI di sekitarnya, dan
melalui feedback kegiatan uji coba penangkapan menggunakan informasi spasial
ZPPI oleh nelayan Situbondo yang melakukan penangkapan di Selat Madura.
55

4.3.1 Pengumpulan data perikanan tangkap melalui survei lapangan

Pengumpulan data perikanan tangkap dilakukan melalui kegiatan survei


pengamatan secara langsung di lokasi penelitian melalui kegiatan wawancara,
kunjungan/peninjauan ke instansi terkait, dan literatur. Data tentang perahu motor
dan jenis-jenis alat tangkap yang dipergunakan oleh para nelayan di daerah
penelitian diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan setempat, buku Situbondo
Dalam Angka, Koperasi Unit Desa (KUD Nelayan), Kantor Desa dan kantor
Camat setempat, serta pengamatan langsung di pelabuhan dan tempat pendaratan
ikan melalui wawancara dengan nelayan secara langsung. Untuk mendapatkan
data tentang hasil penangkapan, dilakukan kegiatan wawancara dengan para
nelayan khususnya para nahkoda perahu motor serta pengamatan langsung
kegiatan penangkapan. Di samping itu juga diperoleh data tentang pembagian
zona-zona penangkapan yang telah disepakati oleh para nelayan serta pemerintah
setempat.
Kegiatan survei lapangan untuk mendapatkan data tentang ukuran perahu
motor yang dipergunakan, jenis alat tangkap, lama operasi penangkapan, daerah
operasi penangkapan dan pendapatan nelayan per rip. Perolehan data perikanan
tangkap melalui kegiatan survei lapangan dilakukan pada tanggal 4 - 11
September 2007 pada 3 PPI/TPI Situbondo 3 PPI di sekitarnya dengan perincian
sebagai berikut :
a. PPI Pondok Mimbo (Situbondo) pada tanggal 4 September 2007, data
diperoleh dengan mewawancarai 31 responden terdiri dari 28 nelayan dan 3
pemilik perahu motor.
b. TPI Tanjung Jangkar (Situbondo) pada tanggal 5 September 2007, diperoleh
dengan cara mewawancarai 33 responden terdiri 25 nelayan, dan 8 pemilik
perahu dan pengurus KUD Minaharta.
c. PPI Besuki, pada tanggal 6 September 2007, data diperoleh dengan
mewawancarai langsung 22 respoden nelayan.
d. PPI Probolinggo, pada tanggal 7 September 2007, data diperoleh 12
reponden terdiri dari 9 nelayan dan 3 respoden pemilik perahu motor.
56

e. PPI Branta Pesisir – Pamekasan pada tanggal 10 September 2007, data


diperoleh dengan mewawancarai 29 responden terdiri dari 23 nelayan dan 6
pemilik perahu motor.
f. PPI Pelabuhan Dungkek – Sumenep, pada tanggal 11 September 2007, data
diperoleh 41 respoden terdiri dari 16 nelayan dan 25 pemilik perahu motor.

4.3.2 Pengumpulan data waktu, lokasi dan jenis ikan

Data lokasi, waktu dan jenis ikan diperoleh melalui kegiatan uji coba
penerapan informasi spasial ZPPI di Selat Madura, dilakukan atas kerjasama
antara Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh
LAPAN dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo. Penerapan
informasi spasial ZPPI dilaksanakan oleh personel LAPAN bersama nelayan dari
PPI Pondok Mimbo, TPI Tanjung Jangkar, dan PPI Besuki, dengan operasi
penangkapan ikan di Selat Madura. Lokasi penangkapan ikan ditentukan
berdasarkan informasi spasial ZPPI yang diproduksi oleh LAPAN, sementara
kegiatan penangkapan ikan dengan menerapkan informasi spasial ZPPI dilakukan
dengan dua pola yaitu, (1) penerapan informasi yang dilakukan secara bersama
oleh nelayan setempat dengan personel LAPAN beserta Dinas Kelautan dan
Perikanan Situbondo, dan (2) kegiatan penerapan informasi ZPPI dilakukan oleh
nelayan kemudian melaporkan hasil tangkapan (waktu, koordinat, jenis dan
jumlah berat ikan yang tertangkap) pada setiap ZPPI.

4.4 Design dan sintesis Informasi Spasial ZPPI


Informasi spasial ZPPI dibuat dengan menggunakan 2 parameter utama
yaitu SPL dari data satelit penginderaan jauh NOAA-AVHRR dan kandungan
klorofil-a yang diperoleh dari satelit SeaWifs. Dari sebaran suhu permukaan laut
dan kandungan klorofil-a perairan diperoleh data tentang beberapa fenomena
oseanografi khususnya fenomena thermal front yang berkaitan erat dengan
fishing ground. Untuk membuat informasi spasial ZPPI, pertama-tama dilakukan
pemetaan SPL menggunakan data NOAA-AVHRR untuk mendeteksi adanya
fenomena thermal fronts, dan eddies yang diindikasikan sebagai daerah fishing
57

ground (Narendra, 1993). Informasi spasial ZPPI dihasilkan dari implementasi


parameter SPL dan kandungan klorofil-a yang berkaitan erat dengan kehidupan
ikan. Penentuan ZPPI dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1) Membuat citra SPL dalam sistem peta untuk mendapatkan kesamaan posisi
dari setiap piksel citra SPL dengan menggunakan rumus 1 - 4;
2) Melakukan penggabungan citra SPL mingguan berdasarkan urutan minggu
pada bulan yang sama setiap tahunnya, dengan menggunakan metode nilai
minimum yaitu mengambil nilai SPL minimum dari semua citra pada urutan
minggu dan bulan yang sama.
3) Pengumpulan data klorofil-a bulanan yang di download dari internet
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/brpuse.pl
4) Identifikasi thermal front dari masing-masing citra SPL mingguan, dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut : (1) pembuatan kontur SPL; (2) identifikasi
dan analisis gradien SPL untuk setiap jarak 3 km (3 pixel) sebesar 0,5o C; dan
(3) analisis nilai kandungan klorofil-a ( > 0,3 mg/l);
5) Penentuan ZPPI berdasarkan thermal front dari SPL mingguan tiap tahun;
6) Pembuatan ZPPI mingguan berdasarkan agregat dari ZPPI mingguan selama
10 tahun;
7) Pembuatan layout informasi spasial ZPPI mingguan dalam format peta;
8) Pembuatan ZPPI bulanan yang merupakan sintesis dari ZPPI mingguan dalam
bulan yang sama;
9) Pembuatan layout informasi spasial ZPPI bulanan dalam format peta.
10) Pembuatan layout informasi spasial ZPPI musiman dalam format peta.
Diagram alir pembuatan informasi spasial ZPPI secara umum sebagaimana
dinyatakan pada Gambar 10. Diagram alir proses pembuatan informasi spasial
ZPPI sebagaimana Gambar 11, 12 dan 13.
58

Data
NOAA

Cropping Citra
Berdasarkan Daerah
Penelitian

Batas-batas
Koreksi Geometrik koordinat daerah
Dan Radiometrik penelitian (peta dasar
1;200.000)

Penentuan Suhu
Permukaan Laut (SPL)
Mingguan

Peta Dasar Skala


1:200.000

Rektifikasi SPL dengan


Titik Kontrol Peta

Analisis deteksi
”Thermal front”

Kesuburan perairan dari Data kedalaman


data SeaWIFs dan data lapangan

Informasi Spasial
Zona Potensi
Penangkapan Ikan
(ZPPI)

Gambar 10 Proses umum pembuatan informasi spasial ZPPI dalam penelitian


identifikasi zona potensi penangkapan ikan di Selat Madura dan
sekitarnya.
59

SPL minggu Mi
bulan Bj tahun Tk SPL rata-rata Thermal front
minggu pertama minggu pertama
SPLT minggu Mi bulan Bj bulan Bj
bulan Bj tahun Tk
ZPPI minggu
SPL minggu Mi pertama bln 1-12
bulan Bj tahun Tk

SPL minggu Mi
bulan Bj tahun Tk SPL rata-rata Thermal front
minggu ke dua minggu ke dua
SPL minggu Mi bulan Bj bulan Bj
bulan Bj tahun Tk
ZPPI minggu ke
SPL minggu Mi dua bulan 1 - 12
bulan Bj tahun Tk

SPL minggu Mi
bulan Bj tahun Tk SPL rata-rata Thermal front
minggu ke tiga minggu ke tiga
SPL minggu Mi bulan Bj bulan Bj
bulan Bj tahun Tk
ZPPI minggu ke
SPL minggu Mi tiga bulan 1 - 12
bulan Bj tahun Tk

SPL minggu Mi
bulan Bj tahun Tk SPL rata-rata Thermal front
minggu ke empat minggu ke empat
SPL minggu Mi bulan Bj bulan Bj
bulan Bj tahun Tk

ZPPI minggu ke
SPL minggu Mi
empat bulan 1-12
bulan Bj tahun Tk

Gambar 11 Proses sintesis untuk menghasilkan pola spasial ZPPI mingguan,


i = 1-4, j = 1-12 dan k = 1-10.
60

ZPPI minggu 1 ZPPI bulan


Januari tahun Tk Januari tahun Tk

ZPPI minggu 2 ZPPI bulan


Januari tahun Tk Februari tahun Tk

ZPPI minggu 3 ZPPI bulan


Januari tahun Tk Maret tahun Tk

ZPPI minggu 4 ZPPI bulan


Januari tahun Tk April tahun Tk

ZPPI bulan
Mei tahun Tk

ZPPI bulan
Juni tahun Tk

ZPPI bulan
Juli tahun Tk

ZPPI bulan
Agustus tahun Tk

SST minggu 1 – 4 ZPPI bulan


Desember thn Tk September tahun Tk

SST minggu 1 – 4 ZPPI bulan


Desember tahun Tk Oktober tahun Tk

SST minggu 1 – 4 ZPPI bulan


Desember tahun Tk November tahun Tk

SST minggu 1 – 4 ZPPI bulan


Desember tahun Tk Desember tahun Tk

Gambar 12 Proses sintesis data untuk menghasilkan pola spasial ZPPI bulanan
setiap tahun, dengan Tk adalah tahun data.
61

ZPPI bulan Januari ZPPI bulan


tahun Tk Januari

ZPPI bulan Februari ZPPI bulan


tahun Tk Februari

ZPPI bulan Maret ZPPI bulan


tahun Tk Maret

ZPPI bulan April ZPPI bulan


tahun Tk April

ZPPI bulan Mei ZPPI bulan


tahun Tk Mei

ZPPI bulan Juni ZPPI bulan


tahun Tk Sintesis ZPPI Juni
bulanan Bi dan
ZPPI bulan Juli tahun Tk ZPPI bulan
tahun Tk Juli

ZPPI bulan Agustus ZPPI bulan


tahun Tk Agustus

ZPPI bulan ZPPI bulan


September tahun Tk September

ZPPI bulan Oktober ZPPI bulan


tahun Ti Oktober

ZPPI bulan ZPPI bulan


November tahun Tk November

ZPPI bulan ZPPI bulan


Desember tahun Tk Desember

Gambar 13 Diagram alir proses ZPPI bulanan, dengan Ti menyatakan tahun data.
62

Untuk setiap unit spasial diberikan satu klasifikasi kepadatan dan tingkat
prospek keberhasilan penangkapan ikan. Dalam penelitian diterapkan 4 kelas
kepadatan ZPPI yang menggambarkan tingkat prospek keberhasilan dari setiap
unit spasial, sebagai berikut:
1) kelas sangat padat : unit spasial yang didalamnya terdapat lebih dari 5 ZPPI;
2) kelas padat : unit spasial yang didalamnya terdapat 4 - 5 ZPPI;
3) kelas sedang : unit spasial yang didalamnya terdapat 2 – 3 ZPPI;
4) kelas rendah : unit spasial yang didalamnya terdapat hanya 1 ZPPI.
Klasifikasi kepadatan ZPPI ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran
tentang tinggi rendahnya kemungkinan keberhasilan operasi penangkapan ikan
yang berpengaruh terhadap produktivitas penangkapan.

4.5 Metode Analisis

4.5.1 Pengaturan zona penangkapan ikan berdasarkan ukuran (jarak


jangkau) perahu/kapal motor

Berdasarkan kategori ukuran perahu motor dan jarak tempuh perahu motor
dari PPI/TPI untuk masing-masing ukuran, dibuat skenario zona penangkapan
yang dibagi menjadi 2 jenis yaitu dalam bentuk lingkaran dan dalam bentuk
sejajar garis pantai. Skenario pertama yaitu zona berbentuk lingkaran dengan titik
pusat pada masing-masing PPI/TPI, sedangkan skenario kedua berbentuk zona
sejajar garis pantai (Gambar 14). Secara umum, zona penangkapan dibagi menjadi
4 (empat) zona yaitu : (1) zona dengan jarak 0 – 4 km; (2) zona dengan jarak
antara 4 km sampai 10 km; (3) zona berjarak antara 10 km sampai dengan 20 km,
dan (4) zona berjarak di atas 20 km. Berdasarkan batas masing-masing zona
tersebut, dihitung luas masing-masing zona yang dialokasikan untuk masing-
masing kelompok ukuran perahu motor. Pembagian zona penangkapan ini
diarahkan untuk mencegah terjadinya konflik perebutan penangkapan antar
perahu motor khususnya antara perahu motor tradisional dengan perahu motor
yang berukuran besar dan menggunakan peralatan modern, sekaligus untuk
meningkatkan efisiensi dan produktivitas penangkapan oleh nelayan Situbondo.
63

Gambar 14 Pembagian zona penangkapan berdasarkan jarak tempuh perahu


motor pada masing-masing ukuran, berbentuk lingkaran dengan titik
pusat pada PPI dan zona sejajar garis pantai.

4.5.2 Pengaturan zona penangkapan berdasarkan daya jangkau kapal dalam


bentuk lingkaran

Dengan memperhatikan kategori ukuran perahu motor sebagaimana Tabel 4,


dilakukan pengaturan zona penangkapan berbentuk lingkaran dengan titik pusat
pada masing-masing PPI berdasarkan kategori ukuran dan jarak jangkau perahu
motor pada masing-masing kategori. Analisis pengaturan zona operasi
penangkapan ikan dibuat berdasarkan kriteria sebagai berikut:
a. Zona penangkapan disajikan dalam bentuk lingkaran paling dalam dengan
jari-jari 4 km dari PPI dialokasikan untuk perahu layar dan motor dengan
ukuran dibawah 5 GT.
b. Zona penangkapan berbentuk lingkaran dalam area antara jari-jari 4 – 10 km
dari PPI dialokasikan untuk perahu motor dengan ukuran 5 – 10 GT.
c. Zona penangkapan berbentuk lingkaran dalam area antara jari-jari 10 – 20 km
dari PPI, dialokasikan untuk perahu motor dengan ukuran 10 – 20 GT.
d. Zona penangkapan di luar lingkaran jari-jari 20 km, dialokasikan untuk
perahu motor dengan ukuran di atas 20 GT.
64

Alokasi perahu motor didasarkan pada jarak tempuh untuk setiap kategori
ukuran perahu motor dalam bentuk lingkaran dengan titik pusat PPI, sehingga luas
zona penangkapan per unit perahu motor dapat diformulasikan sebagai berikut.

Wri = Lri / Jpm ........................................................................................5.

Dengan : Wri = luas zona per unit perahu layar/moror untuk setiap kategori (0 – 4
km, 4 – 10 km atau 10 – 20 km); Lri = luas zona ke i dalam masing-masing
kategori; Jpm = jumlah perahu layar layar/moro (unit); .
Analisis alokasi perahu/kapal motor pada masing-masing zona, dilakukan
dengan cara :
a. menghitung luas zona untuk setiap kategori perahu kapal motor dalam
masing-masing zona (km2/unit);
b. menghitung rata-rata luas zona untuk setiap kategori perahu/kapal motor pada
masing-masing zona untuk seluruh Situbondo.
c. menentukan jumlah perahu/kapal motor yang selayaknya berpangkalan pada
PPI bersangkutan.
d. menentukan perbandingan antara luas zona per perahu/kapal motor pada
masing-masing PPI dengan luas rata-rata per perahu/kapal motor seluruh
Situbondo.
e. menentukan PPI yang mempunyai luas zona per perahu/kapal motor di bawah
rata-rata yang berarti sudah melebihi daya tampung maksimum, dan PPI yang
mempunyai luas zona per perahu/kapal motor lebih tinggi dari rata-rata
sehingga mempunyai peluang menerima relokasi perahu/kapal motor dari PPI
lain, sesuai dengan zona dan kategori perahu/kapal motor.

4.5.3 Pengaturan zona penangkapan ikan dalam jarak sejajar garis pantai

Sebagaimana diuraikan pada Tabel 4 bahwa perahu/kapal motor tersebar


pada 13 kecamatan sepanjang pesisir Situbondo. Memperhatikan penyebaran
perahu/kapal motor tersebut, dikembangkan pengaturan zona penangkapan yang
sesuai dengan penyebaran PPI/TPI tersebut, dalam upaya memelihara kelestarian
sumberdaya ikan dan terjadinya konflik perebutan lokasi penangkapan ikan antara
nelayan besar (modern) dengan nelayan kecil (tradisionil). Dengan
65

memperhatikan kategori ukuran perahu/kapal motor sebagaimana Tabel 3.4 pada


bagian 3.5, jarak jangkau perahu/kapal motor pada masing-masing kategori, dan
berdasarkan lokasi operasi penangkapan ikan, dibuat zona penangkapan ikan
sejajar garis pantai dengan kriteria sebagai berikut :
a. Zona pertama dengan garis terluar berjarak 4 km dari garis pantai dialokasikan
untuk perahu layar dan motor dengan ukuran dibawah 5 GT.
b. Zona kedua berjarak antara 4 km sampai 10 km dari garis pantai, dialokasikan
untuk perahu motor dengan ukuran 5 – 10 GT.
c. Zona ketiga berjarak antara 10 km sampai dengan 20 km dari garis pantai,
dialokasikan untuk perahu motor dengan ukuran 10 – 20 GT.
d. Zona keempat berjarak di atas 20 km dari garis pantai, dialokasikan untuk
perahu motor dengan ukuran diatas 20 GT.
Dengan memperhatikan jumlah perahu layar dan perahu motor yang ada di
wilayah Kabupaten Situbondo, dilakukan perhitungan luas area penangkapan per
perahu layar/motor pada tiap-tiap zona dengan persamaan sebagai berikut.

Wz = Lz / Jpm ............................................................................ ...........6.

Dengan : Wz = luas zona untuk setiap kategori perahu layar dan perahu motor
pada masing-masing zona (km2/unit); Lz = luas zona (km2); Jpm = jumlah
perahu/kapal motor (unit).
Analisis alokasi perahu/kapal motor pada masing-masing zona dan ukuran
perahu motor, dilakukan dengan kriteria sebagaimana analisis pada Bagian 4.6.1,
4.6.2 dan 4.6.4 di atas.

4.5.4 Analisis pengelolaan zona penangkapan ikan

Dengan mengacu pada rencana tata ruang Kabupaten Situbondo yang


membagi wilayah Kabupaten Situbondo menjadi 3 wilayah pengembangan,
pengelolaan penangkapan ikan Kabupaten Situbondo juga dibagi menjadi 3 zona
yaitu zona barat berpusat di PPI Besuki selanjutnya dinyatakan sebagai zona A,
zona di bagian tengah berpusat di PPI Tanjung Pacinan dinyatakan sebagai zona
B, dan zona paling timur berpusat di PPI Pondok Mimbo disebut sebagai zona C
(Gambar 15). Untuk memudahkan dalam analisis penggunaan informasi spasial
66

pengelolaan penangkapan, dibuat batas masing-masing zona yaitu zona A dengan


batas koordinat 113o 30’ – 113 o 52’ BT dan 7 o 22’ 30” – 7 o 45’ LS, zona B
dalam koordinat 113 o 52’ – 114 o 6’ 30” BT dan 7 o 22’ 30” – 7 o 42’ 30” LS, serta
zona C dalam koordinat 114 o 6’ 30” – 115 o BT dan 7 o 20’ – 7 o 55’ 30” LS.

Gambar 15 Batas zona pengelolaan penangkapan ikan Kabupaten Situbondo


meliputi PPI Besuki, PPI Tanjung Pecinan dan PPI Pondok Mimbo.

Dengan memperhatikan wilayah kecamatan yang mempunyai pantai


sebagaimana Tabel 1 dalam Bab 3, dilakukan pengelompokan 13 wilayah
kecamatan di Kabupaten Situbondo ke dalam 3 PPI. Pengelolaan penangkapan
ikan zona A meliputi mengelolaan penangkapan dari 5 kecamatan yaitu
Banyuglugur, Besuki, Suboh, Melandingan dan Bungatan. Zona B meliputi
pengelolaan penangkapan untuk 4 kecamatan yaitu Kendit, Panarukan, Mangaran,
dan Kapongan. Zona C meliputi pengelolaan penangkapan untuk 4 kecamatan
yaitu Arjasa, Tanjung Jangkar, Asembagus, dan Banyuputih. Analisis zona
penangkapan ikan oleh nelayan Situbondo dibagi menjadi 4 (empat) pola
pengaturan penangkapan sebagai berikut:
(1) Nelayan dari masing-masing PPI melakukan kegiatan penangkapan ikan
dalam PPI yang bersangkutan;
67

(2) Nelayan melakukan kerjasama penangkapan ikan antar PPI dalam wilayah
pengelolaan perikanan tangkap Kabupaten Situbondo (Besuki, Tanjung
Pecinan, dan Pondok Mimbo);
(3) Nelayan Situbondo (dari PPI Besuki, Tanjung Pecinan, dan Pondok Mimbo)
melakukan kerjasama penangkapan ikan dengan nelayan dari PPI lain di
sekitar Selat Madura (Probolinggo, Sampang, Pamekasan, Sumenep);
(4) Nelayan Situbondo yang menggunakan kapal penangkapan ikan dengan
ukuran di atas 20 GT (khususnya dari PPI Besuki dan Tanjung Pecinan)
melakukan kerjasama dengan nelayan dari PPI lain yang beroperasi di Selat
Bali (PPI Banyuwangi), Laut Bali (PPI Singaraja) dan Laut Jawa bagian timur
khususnya PPI Sokabana (Sampang), PPI Pasongsongan (Pamekasan), PPI
Karanglanggar (Sumenep), nelayan dari pulau Sepudi dan Raas.
68

5 HASIL PENELITIAN

5.1 Kondisi Oseanografi Selat Madura dan Sekitarnya

5.1.1 SPL dan kandungan klorofil-a

SPL Selat Madura dan perairan sekitarnya pada awal musim barat yaitu
bulan Desember, SPL berada bervariasi pada selang 26o - 30o C. Kandungan
klorofil-a berada pada kisaran 0,1 – 0,8 mg/m3, di perairan Laut Bali pada kisaran
0,1 – 0,4 mg/m3. Pada bulan Januari, SPL Selat Madura dan sekitarnya dengan
kisaran 28o - 30o C, dengan klorofil-a 0,1 – 3,0 mg/m3, di Laut Bali pada kisaran
0,2 – 0,6 mg/m3. Sebaran SPL Selat Madura pada bulan Februari pada kisaran 27o
– 28o C, konsentrasi klorofil-a pada kisaran 0,3 – 0,5 mg/m3. SPL Laut Jawa dan
Laut Bali pada kisaran 30o – 31o C, konsentrasi kolofil 0,2 – 0,4 mg/m3.
SPL Selat Madura pada bulan pertama musim peralihan pertama yaitu bulan
Maret pada kisaran 30o – 32o C, dengan konsentrasi klorofil-a pada kisaran 0,4 –
1,0 mg/m3. SPL Laut Bali pada kisaran 28o - 30o C dan Laut Jawa pada kisaran
antara 28o – 31o C, dengan klorofil-a pada kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3. Pada bulan
April, SPL Selat Madura dalam kisaran 27o – 32o C, konsentrasi klorofil-a dalam
kisaran 0,3 – 1,5 mg/m3. SPL Jawa terjadi pada kisaran 30o - 31o C, dengan
konsentrasi klorofil-a dalam kisaran 0,3 – 0,5 mg/m3. Pada bulan Mei, perairan
Selat Madura dan Laut Jawa didominasi oleh SPL 29o – 31o C, dengan konsentrasi
klorofil-a di Selat Madura pada kisaran 0,4 – 1,5 mg/m3, sedangkan di Laut Jawa
bagian timur pada kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3. Sebaran SPL di perairan Selat Bali
dengan kisaran 27o – 28o C.
Pada awal musim timur yaitu bulan Juni, SPL Selat Madura, Laut Jawa, dan
Laut Bali berada pada kisaran 29o - 31o C. Konsentrasi klorofil-a Selat Madura
pada 0,5 – 1,5 mg/m3, di Laut Jawa serta Laut Bali pada kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3.
Perairan sebelah timur Pulau Raas pada kisaran 0,6 – 3,0 mg/m3. Pada bulan Juli,
SPL Selat Madura pada kisaran 29o - 31o C, dengan klorofil-a pada kisaran 0,4 –
1,5 mg/m3, di Laut Jawa berkisar pada kisaran 0,3 – 0,8 mg/m3, perairan bagian
utara Selat Bali dengan kisaran 0,2 – 0,4 mg/m3 menyebar ke bagian barat Laut
69

Bali. Konsentrasi klorofil-a di perairan sebelah timur Pulau Raas pada kisaran 0,6
– 1,5 mg/m3. Pada bulan Agustus yang merupakan bulan terakhir musim angin
timur, SPL pada perairan Selat Madura bagian timur di timur laut Pondok Mimbo
terjadi pada kisaran suhu 28o - 31o C. Konsentrasi klorofil-a di Selat Madura
dengan kisaran 0,4 – 1,0 mg/m3, di Laut Jawa juga pada kisaran 0,4 – 1,5 mg/m3.
Konsentrsi klorofil-a di Laut Bali didominasi oleh kisaran 0,3 – 0,5 mg/m3, di
perairan antara Pulau Raas dan Kangean pada kisaran 2,0 – 3,0 mg/m3.
Pada awal musim peralihan kedua yaitu bulan September, SPL Selat
Madura dan Laut Jawa pada kisaran 28o - 32o C, dengan konsentrasi klorofil-a
pada kisaran 0,4 – 0,7 mg/m3, di Laut Bali pada kisaran 0,3 – 0,5 mg/m3.
Konsentrasi klorofil-a sebelah timur Pulau Raas pada kisaran 2,0 – 3,0 mg/m3.
SPL bulan Oktober di Selat Madura dan Laut Jawa pada kisaran 28o - 30o C,
dengan konsentrasi klorofil-a didominasi oleh kisaran 0,5 – 1,5 mg/m3, pada sisi
timur berkisar antara 0,4 – 0,6 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa berada
dalam kisaran 0,2 – 0,4 mg/m3, di perairan Laut Bali dalam kisaran 0,3 – 0,5
mg/m3. Konsentrasi klorofil-a di perairan sebelah timur Pulau Raas pada kisaran
1,5 – 3,0 mg/m3. Pada bulan Nopember yang merupakan bulan terakhir musim
peralihan kedua, SPL Selat Madura pada kisaran 28o - 30o C dengan konsentrasi
klorofil-a pada kisaran 0,2 – 0,8 mg/m3. Kosentrasi klorofil-a di Laut Bali pada
kisaran 0,3 – 0,8 mg/m3, di sebelah timur Pulau Raas pada 0,5 – 1,0 mg/m3.
Contoh citra SPL Selat Madura dan perairan sekitarnya berdasarkan satelit
penginderaan jauh NOAA-AVHRR sebagaimana ditunjukkan pada lampiran 1 (a
sampai dengan d), sedangkan citra klorofil-a berdasarkan satelit SeaWiFS
sebagaimana ditunjukkan pada lampiran 2 (a sampai dengan d).

5.1.2 Angin dan gelombang

Angin pada awal musim barat yaitu bulan Desember, dominan dengan
kecepatan 1 – 3 knot, ketinggian gelombang dominan 0,1 - 0,5 meter. Pada bulan
Januari, angin dominan datang dari arah barat dengan kecepatan 1 – 3 knot dan
ketinggian gelombang 0,1 - 0,5 meter. Pada akhir musim barat yaitu bulan
Februari, angin dari arah barat dengan kecepatan 4 – 10 knot dan ketinggian
gelombang dominan antara 0,1 - 0,5 meter.
70

Pada awal musim peralihan pertama yaitu bulan Maret, angin dari barat
dengan kecepatan 1 - 6 knot, ketinggian gelombang 0,1 - 0,5 meter. Pada bulan
April, angin dari arah timur dengan kecepatan 1 – 6 knot, ketinggian gelombang
0,1 - 0,5 m. Pada akhir musim peralihan pertama yaitu bulan Mei, angin dari arah
timur dengan kecepatan 1 - 6 knot dan ketinggian gelombang 0,1 - 0,5 meter.
Pada awal musim timur yaitu bulan Juni, angin dominan dari timur dengan
kecepatan 1 - 10 dan gelombang dengan ketinggian 1 – 1,5 meter. Pada bulan Juli,
angin dominan dari timur dan tenggara dengan kecepatan 1 – 16 meter dan
gelombang mencapai ketinggian lebih dari 1,5 meter. Pada bulan terakhir musim
timur yaitu bulan Agustus, angin dari timur dengan kecepatan mulai dari 1 knot
sampai lebih dari 17 knot dan gelombang dengan ketinggian 1,1 - 1,5 meter,
kadang-kadang lebih dari 1,5 meter.
Pada bulan pertama musim peralihan kedua yaitu bulan September, angin
dominan datang dari arah timur dengan kecepatan berkisar mulai 4 sampai di atas
17 knot, dan ketinggian gelombang dominan antara 0,1 - 1,5 meter. Pada bulan
Oktober, angin dominan datang dari arah timur dan tenggara dengan kecepatan 11
– 16 knot. gelombang dominan dengan ketinggian maksimum 0,1 – 1,0 meter.
Pada bulan terakhir musim peralihan kedua yaitu November, angin dominan dari
selatan dan barat dengan kecepatan 1 - 6 knot dan gelobang dengan ketinggian 0,1
– 1,5 meter. Data arah, kecepatan dan frekuensi angin selengkapnya sebagaimana
dinyatakan dalam lampiran 3 (a sampai dengan l), sedangkan data arah, ketinggian
dan frekuensi gelombang dinyatakan pada lampiran 4 (a sampai dengan l). Contoh
arah dan kecepatan angin serta tinggi gelombang digambarkan secara tematik
sebagaimana ditunjukkan pada lampiran 5.

5.1.3 Kedalaman perairan Selat Madura

Kedalaman Selat Madura bagian timur sama dengan kedalaman Selat Bali
bagian utara dan Laut Bali bagian barat. Kedalaman Selat Madura bagian timur
berkisar antara 500 m – 1.000 m, mengalami gradasi kedalaman sehingga antara
selatan Kangean ke selatan pulau Raas sampai utara Pondok Mimbo mempunyai
kedalaman antara 100 m – 200 m, antara selatan Kangean sampai selatan pulau
Raas dan utara Pondok Mimbo mempunyai kedalaman sekitar 90 m. Antara utara
71

Besuki sampai utara Probolinggo mempunyai kedalaman 60 m – 70 m, sedangkan


mulai sebelah utara Probolinggo ke sebelah barat mempunyai kedalaman sekitar
50 m. Perairan mulai sebelah barat Besuki sampai perairan sebelah utara
Probolinggo, serta di selatan Pamekasan sampai Sampang mempunyai interval
kedalaman 10 – 40 meter. Peta kedalaman Selat Madura dan perairan sekitarnya
sebagaimana ditunjukkan dengan gambar pada lampiran 6.

5.2 Kondisi Umum Perikanan Tangkap

Berdasarkan wawancara dengan 28 nelayan dan 3 pemilik perahu motor di


Pondok Mimbo diperoleh data tentang ukuran perahu motor, jenis alat tangkap,
lama dan daerah operasi serta pendapatan bersih nelayan per trip sebagaimana
Tabel 7. Dari survei lapangan juga diketahui bahwa di Pondok Mimbo sudah ada
fasilitas pengolahan ikan yaitu pemindangan modern dan cold storage, namun
belum pernah dioperasikan. Data lapangan di TPI Jangkar diperoleh dengan
mewawancarai 25 nelayan dan 8 pemilik perahu serta pengurus KUD Minaharta –
Jangkar. Dari survei lapangan juga diketahui bahwa terdapat 391 buah perahu
motor yang berpangkalan di TPI Tanjung Jangkar. Data hasil survei lapangan
tentang ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah operasi
penangkapan ikan serta pendapatan bersih nelayan per trip dari nelayan di TPI
Tanjung Jangkar sebagaimana tabel lampiran 7.a.

Tabel 7 Data ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah operasi
serta pendapatan bersih nelayan per trip dari PPI Pondok Mimbo
Ukuran Lama Pendapatan
Jenis Alat Daerah
No Perahu Operasi Bersih per
Tangkap Operasi
(GT) (jam) orang-Trip (Rp)
1 2 Trawl Udang 12 Jangkar, Mimbo 10.000 – 50.000
2 6 Trawl 72 Jangkar, Merak 100.000
3 2 Trawl Udang 12 Mimbo 10.000 – 50.000
4 2 Trawl Udang 12 Jangkar, Merak 10.000 - 50.000
5 5 Purse Seine 8 Mimbo, Selat Madura 80.000
6 2 Trawl Udang 72 Jangkar, Merak 50.000 - 100.000
7 4 Purse Seine 12 Selat Madura 75.000
8 2 Trawl Udang 72 Jangkar, Merak 50.000 - 100.000
72

Pada survei lapangan di PPI Besuki, berhasil mewawancarai langsung 22


responden nelayan, yang biasa melakukan penangkapan ikan dengan peralatan
tangkap berupa purse seine dan trawl. Menurut Ketua KUD, di wilayah TPI
Besuki terdapat sekitar 280 buah perahu/kapal motor, yang terdiri atas 80 buah
perahu motor berukuran antara 5 – 10 GT dengan alat tangkap purse seine, dan
150 buah perahu motor berukuran antara 2 – 10 GT dengan alat tangkap purse
seine atau trawl udang, dan perahu pancing dengan bobot 2 – 5 GT (Tabel 8).
Masalah utama dalam penangkapan yaitu belum adanya SPBU dan perusahaan es
di sekitar PPI Besuki, sehingga BBM dan es dibeli dari PPI lain. Juga diperoleh
informasi bahwa, di sekitar PPI Besuki banyak dijumpai penimbangan ikan secara
perorangan yang umumnya dilakukan oleh tengkulak yang bebas menentukan
harga ikan, Disamping itu ada perjanjian dibawah tangan tentang pinjaman
uang/modal oleh nelayan pada tengkulak yang berdampak pada tingkat
kesejahteraan nelayan. Bahkan para pemilik perahu juga sering terjerat utang
kepada para tengkulak khususnya akibat butuh uang untuk memperbaiki mesin
perahu/kapal motor atau alat tangkap, sementara suku cadang peralatan tangkap
tidak tersedia di sekitar PPI Besuki.

Tabel 8 Data ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah operasi
serta pendapatan bersih nelayan per trip dari PPI Besuki

Ukuran Lama Pendapatan


Jenis Alat
No Perahu Operasi Daerah Operasi Bersih per Orang-
Tangkap
(GT) (jam) Trip (Rp)
Selat Madura,
1 10 Purse seine 48 10.000 – 100.000
Jangkar, Mimbo
Mimbo, Jangkar,
2 2 Trawl Udang 12 30.000 – 40.000
Besuki
Mimbo, Jangkar,
3 10 Purse seine 12 20.000 – 80.000
Probolinggo
Mimbo, Jangkar,
4 10 purse seine 12 20.000 – 80.000
Probolinggo
Selat Madura,
5 10 Purse seine 48 10.000 -100.000
Jangkar, Mimbo
Mimbo, Jangkar,
6 2 Trawl Udang 12 30.000 – 40.000
Besuki
Selat Madura,
7 10 Purse seine 48 10.000 -100.000
Jangkar, Mimbo
73

Data lapangan tentang penangkapan ikan oleh nelayan yang berpangkalan di


PPI Probolinggo diperoleh dari 9 respoden nelayan, 3 respoden pemilik perahu
motor dan Kepala Kelurahan. Kepala Kelurahan yang membawahi wilayah PPI
Probolinggo menerangkan bahwa jumlah pemilik perahu yang berada
diwilayahnya kurang lebih 211 perahu motor. Alat tangkap yang biasa digunakan
adalah purse seine untuk penangkapan ikan pada malam hari dan trawl udang/teri
pada pagi/siang hari. Jumlah penduduk dengan pekerjaan sebagai nelayan di
kelurahannya kurang lebih 2.965 orang terdiri dari 20 orang nelayan remaja (umur
kurang dari 15 tahun), kurang lebih 1.200 orang nelayan pemuda (umur antara 15
– 35 tahun) dan kurang lebih 1.745 orang nelayan dewasa (umur di atas 35 tahun).
Kendala utama bagi pemilik perahu tipe cakra adalah modal kerja untuk dapat
melakukan operasi penangkapan lebih dari 1 hari, naik turunnya harga ikan dan
rute pelayaran daerah fishing ground yang jadi rebutan sesama nelayan, Hasil
tangkapan utama adalah ikan tongkol dan lemuru, yang paling dominan adalah
ikan teri besar dan teri kecil, sedangkan tangkapan lainnya ikan cumi dan udang.
Data hasil survei lapangan tentang ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama
dan daerah operasi penangkapan ikan serta pendapatan bersih nelayan per trip dari
PPI Probolinggo sebagaimana dinyatakan pada lampiran lampiran 7.b.
Dari survei lapangan di PPI Branta Pesisir – Pamekasan diperoleh informasi
bahwa nelayan setempat rata-rata menggunakan peralatan tangkap tipe trawl
teri/udang. Hasil tangkapan ikan yang maksimal terjadi pada musim hujan atau
bulan September hingga bulan Maret dengan jenis tangkapan ikan yang dominan
adalah layang, tongkol dan lemuru. Masalah utama yang dihadapi adalah harga
ikan yang naik turun dan tidak adanya jaminan modal usaha berupa pinjaman
modal kerja, menambah perlengkapan perahu serta alat tangkap. Data hasil survei
lapangan tentang ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah
operasi penangkapan ikan serta pendapatan bersih nelayan per trip dari PPI
Pamekasan sebagaimana dinyatakan pada lampiran lampiran 7.c.
Data lapangan di PPI Dungkek diperoleh dari 16 respoden nelayan, 25
respoden pemilik perahu dan ketua kelompok nelayan. Berdasarkan keterangan
dari ketua kelompok nelayan Makmur bahwa nelayan umumnya menggunakan
alat tangkap trawl udang/teri dan gillnet, dengan ukuran perahu motor 3 GT. Selain
74

bermitra dengan perusahaan, kelompok nelayan Makmur juga bekerja sama


dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep antara lain dalam
bentuk bantuan peralatan GPS dan penyuluhan. Permasalahan utama yang
dihadapi nelayan setempat adalah kesulitan mendapatkan tangkapan pada saat
bukan musim teri karena sebagian nelayan tidak mempunyai alat tangkap jenis
yang lain misalnya jaring untuk penangkapan ikan tongkol. Kendala utamanya
yang dihadapi adalah ukuran perahu motor yang kurang besar dan tidak tersedia
penerangan berupa lampu merkuri serta tidak mempunyai alat tangkap selain ikan
teri. Di saat selain musim hujan atau musim ikan teri, hasil pendapatan menurun
bahkan tidak ada penghasilan. Data hasil survei lapangan tentang ukuran perahu
motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah operasi penangkapan ikan serta
pendapatan bersih nelayan per trip dari PPI Probolinggo sebagaimana dinyatakan
pada lampiran lampiran 7.d.

5.3 Hasil Tangkapan dari Pemanfaatan Informasi Spasial ZPPI

Uji coba penerapan informasi spasial ZPPI di Selat Madura oleh nelayan
Situbondo, dilakukan atas kerjasama antara Pusat Pengembangan Pemanfaatan
dan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN dengan Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Situbondo. Penerapan informasi spasial ZPPI dilaksanakan oleh
nelayan dari PPI Pondok Mimbo, TPI Tanjung Jangkar, dan PPI Besuki, dengan
operasi penangkapan ikan di Selat Madura. Hasil uji coba penangkapan
berdasarkan informasi spasial ZPPI di Selat Madura untuk musim yang berbeda
menunjukkan bahwa, sumberdaya ikan yang paling dominan adalah ikan lemuru,
tongkol, layang, dan kembung. Feedback hasil tangkapan dibagi menjadi 3
kategori yaitu : (1) panangkapan pada unit spasial dengan hasil tangkapan ikan
diatas 200 kg; (2) unit spasial dengan tangkapan kurang dari 200 kg; dan (3) unit
spasial yang menunjukkan uji coba penangkapan ikan menggunakan informasi
spasial ZPPI yang dilakukan secara bersama oleh nelayan dan tim dari Pusat
Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN.
75

5.3.1 Hasil tangkapan ikan pada bulan Mei

Informasi spasial ZPPI yang digunakan sebagai dasar operasi penangkapan


ikan pada bulan Mei 2004 yang menunjukkan adanya konsentrasi penangkapan
ikan dengan jumlah tangkapan yang sangat tinggi pada posisi 113° 33' 59” - 113°
44' 3” BT dan 7° 23' 56” - 7° 33' 41” LS atau sebelah utara antara Paiton dan
Besuki. Hasil tangkapan selama bulan Mei 2004 pada umumnya didominasi oleh
jenis ikan lemuru berjumlah antara 50 kg sampai 5.000 kg (Lampiran 8.a). Data
feedback lokasi penangkapan ikan oleh nelayan selanjutnya digabungkan dengan
ZPPI bulan Mei 2004 (Gambar 16). Masalah yang dihadapi dalam penangkapan
bulan Mei yaitu gelombang besar, angin kencang, dan arah arus sering berubah-
ubah, Masalah ini mengakibatkan jaring banyak yang rusak atau robek.

5.3.2 Hasil tangkapan ikan pada bulan Juni

Penerapan informasi ZPPI dalam kegiatan penangkapan pada bulan Juni


dilaksanakan di perairan Selat Madura pada posisi 113O 38' 20" - 113O 54' 50" BT
dan 7O 23' 57" - 7O 35' 56" LS, dengan hasil tangkapan ikan antara 260 – 4000 kg
dengan jenis ikan lemuru (Lampiran 8.b). Menurut keterangan nelayan saat
melakukan setting terjadi gelombang besar dan arus serta angin kencang sehingga
tidak bisa tebar jaring. Data feedback lokasi penangkapan ikan oleh nelayan
selanjutnya digabungkan dengan ZPPI bulan Juni 2004 (Gambar 17).

5.3.3 Hasil tangkapan ikan pada bulan Juli

Hasil pengolahan citra yang digunakan untuk uji coba bulan Juli 2003
menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 26 ZPPI, menyebar mulai dari Laut Jawa,
Selat Madura hingga Laut Bali, sedangkan nelayan melakukan operasi
penangkapan hanya pada 3 zona di Selat Madura. Dari penggabungan antara data
informasi ZPPI dengan operasi penangkapan ikan oleh nelayan, hanya ada 1 (satu)
zona yang sama, yaitu pada koordinat 113o 25’ – 113o 30’ BT dan 7o 30’ – 7o 35’
LS dengan jumlah hasil tangkapan cukup tinggi berupa ikan lemuru (Lampiran
8.c). Integrasi feedback kegiatan penangkapan ikan dengan ZPPI seperti
ditunjukkan pada Gambar 18.
76

Penangkapan ikan pada bulan Juli 2004 dilakukan pada minggu kedua,
minggu ketiga dan minggu keempat, dengan hasil tangkapan sangat rendah. Dari
10 kegiatan penangkapan hanya 1 kali operasi yang mendapatkan hasil tangkapan
ikan. Rendahnya hasil tangkapan disebabkan karena kondisi gelombang besar,
arus dan angin kencang sehingga tidak memungkinkan untuk menebar jaring,
walaupun pada alat fishfinder menunjukkan banyak ikan. Kegiatan penangkapan
ikan hanya dilakukan tanggal 28 Juli 2004 pada posisi 113O 40' 45" BT dan 7O 29'
35" dengan tangkapan berupa lemuru sebanyak 200 kg (Lampiran 8.d). Di
samping itu jenis perahu dan alat tangkap nelayan kurang mendukung sehingga
menyulitkan dalam operasi penangkapan. Hasil integrasi data penangkapan
berdasarkan feedback dari nelayan dengan ZPPI menunjukkan distribusi potensi
ikan menyebar di perairan Selat Madura dan Laut Jawa. Zona penangkapan ikan
dari data feedback terkonsentrasi di sebelah utara Besuki pada koordinat 113° 36'
38” - 113° 42' 47” BT dan 7° 29' 5” - 7° 31' 0” LS, juga di utara Pondok Mimbo
pada jarak ± 13 mil dari garis pantai (Gambar 19).

5.3.4 Hasil tangkapan ikan pada bulan Agustus

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan untuk bulan Agustus 2003


dilakukan pada 5 (lima) ZPPI dari 19 ZPPI. Data feedback menunjukkan bahwa
kegiatan penangkapan ikan dilakukan di perairan selat Madura dengan jenis hasil
tangkapan berupa ikan lemuru (Lampiran 8.e). Penggabungan kedua data tersebut
menunjukkan bahwa ada 2 (dua) lokasi yang sama antara ZPPI dengan kegiatan
penangkapan ikan dengan hasil cukup tinggi (Gambar 20).

5.3.5 Hasil tangkapan ikan pada bulan September

Kegiatan uji coba penangkapan ikan bulan September di perairan Selat


Madura dilakukan di sebelah utara Besuki dan Tanjung Pecinan. Ikan hasil
tangkapan nelayan dari tanggal 6-9 September 2004 adalah jenis lemuru dengan
jumlah 700 – 1,500 kg (Lampiran 8.f). Integrasi ZPPI bulan September 2004
dengan hasil pelaksanaan operasi penangkapan ikan seperti pada Gambar 21.
77

5.3.6 Hasil tangkapan ikan pada bulan Oktober

Berdasarkan data feedback dari nelayan bahwa kegiatan penangkapan pada


bulan Oktober 2003 dilakukan pada 9 lokasi dalam selang koordinat posisi 113O
26' 37" - 114O 7' 42" BT dan 7O 25' 58" - 7O 36' 24" LS, ikan yang diperoleh
umumnya lemuru, layang, tongkol, kembung, dan selar (Lampiran 8.g), Integrasi
antara ZPPI bulan Oktober 2003 dengan kegiatan penangkapan ikan pada bulan
Oktober 2003 sebagaimana Gambar 22.
Uji coba penangkapan untuk periode bulan Oktober (musim peralihan
kedua), dilakukan oleh nelayan dari PPI Besuki pada bulan Oktober 2005 pada 13
lokasi penangkapan ikan, Jenis ikan yang dominan tertangkap adalah lemuru,
selar, layang dan tongkol (Lampiran 8.h). Integrasi antara ZPPI bulan Oktober
2005 dengan pelaksanaan penangkapan ikan ditunjukkan seperti Gambar 23.

5.3.7 Hasil tangkapan ikan pada bulan November

Uji coba penerapan informasi spasial dalam penangkapan ikan untuk


periode November dilakukan sebanyak 2 (dua) kali yaitu November 2003 dan
November 2005. Kegiatan penangkapan ikan pada bulan November 2003 dengan
hasil tangkapan mencapai 800 – 900 kg berupa ikan lemuru dan cakalang
(Lampiran 8.i). Berdasarkan informasi nelayan setempat, perairan Selat Madura
pada 1-18 November 2003 mengalami angin kencang dan gelombang tinggi,
sehingga sangat sulit untuk menebar jaring. Integrasi antara ZPPI bulan November
2003 dengan hasil tangkapan ikan sebagaimana dinyatakan pada Gambar 24.
Kegiatan uji coba penerapan ZPPI dalam penangkapan ikan di perairan Selat
Madura pada tanggal 10-29 November 2005 dilakukan dalam selang koordinat
113O 30' 57" - 114O 7' 35" BT dan 7O 24' 13" - 7O 33' 53" LS, dengan hasil
tangkapan adalah ikan tongkol, layang dan selar (Lampiran 8.j). Integrasi ZPPI
dengan operasi penangkapan pada bulan November 2005 seperti Gambar 25.
78

Gambar 16 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan feedback


hasil penangkapan pada bulan Mei tahun 2004.

Gambar 17 Informasi spasial zona potensi penangkapan ikan dengan data


feedback hasil penangkapan pada bulan Juni tahun 2004.
79

Gambar 18 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan


pada bulan Juli tahun 2003.

Gambar 19 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan pada
bulan Juli tahun 2004.
80

Gambar 20 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan


pada bulan Agustus tahun 2003.

Gambar 21 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan


pada bulan September tahun 2004.
81

Gambar 22 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan


pada bulan Oktober 2003.

Gambar 23 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan


pada bulan Oktober tahun 2005.
82

Gambar 24 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan pada
bulan Nopember tahun 2003.

Gambar 25 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan pada
bulan Nopember 2005.
83

5.4 Pengaturan Alokasi Perahu Motor

5.4.1 Distribusi perahu motor pada masing-masing PPI

Perahu motor di seluruh Situbondo berjumlah 1.644 unit, distribusi jumlah


dan ukuran perahu motor pada setiap PPI (Tabel 9) tidak sama dan tidak seimbang
dengan zona penangkapan yang harus diakses. Perahu motor dengan ukuran
dibawah 5 GT yang hanya bisa melakukan penangkapan di perairan pantai
jumlahnya hanya ada 7, sementara yang berukuran antara 5 – 10 GT berjumlah
681 unit dan terbanyak ada di PPI Pondok Mimbo. Perahu motor berukuran 10 –
20 GT yang melakukan penangkapan pada zona perairan 10 – 20 km berjumlah
624 unit dan terbanyak berpangkalan di PPI Tanjung Pecinan. Perahu motor
dengan ukuran diatas 20 GT hanya terdapat di PPI Besuki dan Tanjung Pecinan,
sedangkan PPI Pondok Mimbo yang mempunyai zona paling luas dan sebaran
ZPPI tinggi tidak mempunyai perahu motor ukuran di atas 20 GT.

Tabel 9 Distribusi jumlah dan ukuran perahu motor pada masing-masing PPI di
wilayah Kabupaten Situbondo.
Jumlah Perahu Layar dan Perahu Motor Tiap Zona
No. Nama PPI
Perahu Perahu Motor (GT) Jumlah
Layar <5 5 – 10 10 – 20 >20
1 Besuki 252 5 267 21 249 794
2 Tanjung Pecinan 468 - 102 394 183 1.147
3 Pondok Mimbo 163 2 312 109 - 586
7 681 524 432
Jumlah 883 2.527
1.644

Distribusi jumlah dan ukuran perahu layar dan perahu motor menunjukkan
ketidak seimbangan antara PPI Besuki, Tanjung Pecinan dan Pondok Mimbo
(Gambar 26). PPI Besuki yang berada di sisi paling barat dari wilayah Situbondo
mempunyai perahu motor berukuran diatas 20 GT paling banyak. Hasil survei
lapangan menunjukkan bahwa perahu motor motor dari PPI Besuki, banyak
melakukan penangkapan di utara Pondok Mimbo. Kondisi ini menunjukkan
bahwa operasi penangkapan menjadi tidak efisien karena perahu motor harus
menempuh jarak yang cukup jauh. Perahu motor di PPI Tanjung Pecinan akan
mendominasi wilayah penangkapan dalam zona 12 mil, karena perahu motor yang
84

ada didominasi ukuran 10 – 20 GT. Karena zona PPI Tanjung Pecinan paling
sempit maka membuka peluang terjadinya konflik perebutan lokasi penangkapan,
baik antara nelayan yang menggunakan perahu motor 10 – 20 GT, juga antara
nelayan yang menggunakan perahu motor 10 – 20 GT dengan nelayan yang
menggunakan perahu motor di atas 20 GT yang seharusnya melakukan
penangkapan pada zona di atas 12 mil.
Nelayan Pondok Mimbo kalah bersaing dari nelayan Besuki dan Tanjung
Pecinan. Karena perahu motor yang dipergunakan dominan berukuran 5 – 10 GT
maka nelayan Pondok mimbo hanya mampu melakukan penangkapan antara 5 –
10 mil, dan berpeluang konflik dengan nelayan yang menggunakan perahu motor
berukuran 10 – 20 GT yang juga melakukan penangkapan pada zona yang sama.
Kemungkinan konflik semakin tinggi akibat perluasan penangkapan oleh nelayan
dari PPI Tanjung Pecinan dan Besuki.

450
394
400
Jumlah Perhu Motor

350 312
300 267 <5 GT
249
250 5-10 GT
200 183 10-20 GT
150 109 >20 GT
102
100
50 21
5 0 2 0
0
Besuki T. Pecinan P. Mimbo
Nama PPI dan Ukuran Perahu Motor

Gambar 26 Perbandingan jumlah perahu motor masing-masing ukuran pada PPI


Besuki, Tanjung Pecinan dan Pondok Mimbo.

5.4.2 Pengaturan berdasarkan zona dalam bentuk lingkaran

Berdasarkan data jumlah perahu motor pada masing-masing kategori ukuran


di PPI Besuki sebagaimana Tabel 9 di atas, dapat dilakukan perhitungan luas
alokasi zona penangkapan per unit perahu motor menggunakan persamaan 5,
sebagaimana dinyatakan dalam Tabel 10 berikut.
85

Tabel 10 Luas zona masing-masing ring (km2) untuk tiap kategori ukuran perahu
layar/motor di PPI Besuki

Zona Ukuran Perahu/ Luas Area Luas zona Penangkapan


No. Penangkapan Kapal Motor (km2) per Perahu/Kapal Motor
(km) (GT) (km2/unit)
1 0–4 <5 37,39 0,15
2 4 – 10 5 - 10 165,44 0,62
3 10 - 20 10 - 20 414,15 19,72

Luas alokasi zona penangkapan per unit perahu motor di PPI Tanjung
Pecinan diperoleh dengan menggunakan persamaan 5 dan Tabel 9 di atas, dan
diperoleh hasil perhitungan sebagaimana dinyatakan pada Tabel 11.

Tabel 11 Luas zona masing-masing ring (km2) untuk tiap kategori ukuran perahu
layar/motor di PPI Tanjung Pecinan

Zona Ukuran Perahu/ Luas Area Luas zona Penangkapan


No. Penangkapan Kapal Motor (km2) per Perahu/Kapal Motor
(km) (GT) (km2/unit)
1 0–4 <5 23,21 0.05
2 4 – 10 5 - 10 174,13 1.71
3 10 - 20 10 - 20 568,25 1,44

Luas alokasi setiap ring/zona penangkapan ikan berdasarkan zona


penangkapan dan kategori perahu motor (Tabel 9 di atas) di PPI Pondok Mimbo
yang dihitung berdasarkan persamaan 5, selanjutnya dilakukan perhitungan rata-
rata alokasi luas penangkapan per unit perahu motor seluruh Situbondo yaitu luas
zona masing-masing zona dibagi jumlah perahu motor untuk kategori yang
melakukan penangkapan pada zona yang bersangkutan dengan hasil sebagaimana
Tabel 12 dan Tabel 13 berikut, serta pada Lampiran 9.

Tabel 12 Luas zona masing-masing ring (km2) untuk tiap kategori ukuran perahu
layar/motor dan zona penangkapan di PPI Pondok Mimbo

Zona Ukuran Perahu/ Luas Area Luas zona Penangkapan


No. Penangkapan Kapal Motor (km2) per Perahu/Kapal Motor
(km) (GT) (km2/unit)
1 0–4 <5 30,59 0.19
2 4 – 10 5 - 10 120,27 0,39
3 10 - 20 10 - 20 449,76 4,13
86

Tabel 13 Luas zona penangkapan per perahu/kapal motor (km2/unit) untuk


masing-masing PPI dan seluruh Situbondo

Zona Luas zona Penangkapan per Perahu/Kapal Motor (km2/unit)


No Penangkapan Tanjung Pondok
Besuki Rata-rata
(km) Pecinan Mimbo
1 0–4 0,15 0.05 0.19 0,10
2 4 – 10 0,62 1.71 0,39 0,68
3 10 - 20 19,72 1,44 4,13 2,73

5.4.3 Pengaturan berdasarkan zona dalam jarak sejajar garis pantai

Dengan memperhatikan ukuran dan jarak jangkau perahu/kapal motor,


dibuat zona sejajar garis pantai dengan jarak yang berbeda-beda. Zona pertama
dengan garis terluar berjarak 4 km dari garis pantai, zona kedua berjarak antara 4
km sampai 10 km dari garis pantai, zona ketiga berjarak antara 10 km sampai
dengan 20 km dari garis pantai, zona keempat berjarak di atas 20 km dari garis
pantai (Gambar 18). Zona pertama dengan jarak maksimum 4 km dari garis pantai
dialokasikan untuk perahu motor dengan ukuran dibawah 5 GT . Perahu motor
dengan ukuran 5 – 10 GT dialokasikan pada zona penangkapan antara 4 – 10 km,
perahu motor dengan ukuran antara 10 – 20 GT dialokasikan zona penangkapan
antara 10 - 20 km dari garis pantai, diharapkan dapat melakukan penangkapan
antara 2 – 3 hari per trip. Perahu motor dengan ukuran lebih dari 20 GT diarahkan
melakukan penangkapan pada zona di atas 20 km sejajar garis pantai, diharapkan
dapat melakukan penangkapan beberapa hari per trip. Berdasarkan batas masing-
masing zona tersebut, dihitung luas masing-masing zona yang dialokasikan untuk
masing-masing kelompok ukuran perahu motor (Tabel 14).

Tabel 14 Luas zona penangkapan sejajar garis pantai masing-masing kategori


perahu/kapal motor pada setiap PPI
Luas Masing-Masing Zona (km2)
No Zona PPI
< 4 km 4 – 10 km 10 – 20 km
1 Besuki 182,06 261,60 416,90
2 Tanjung Pecinan 150,70 193,82 298,44
3 Pondok Mimbo 258,41 427,66 829,66
Jumlah luas 591,17 883,08 1.545,00
87

Dengan asumsi bahwa perahu layar melakukan penangkapan pada perairan


pantai dalam zona di bawah 4 km bekerjasama dengan perahu motor dibawah 5
GT, sedangkan perahu motor di atas 20 GT melakukan penangkapan di luar zona
20 km. Dengan dasar kategori tersebut, dibuat perhitungan luas area penangkapan
untuk setiap perahu layar dan perahu motor untuk masing-masing ukuran pada
setiap zona penangkapan berdasarkan persamaan 6, dengan hasil perhitungan
sebagaimana dinyatakan pada Tabel 15 dan Lampiran 10.

Tabel 15 Luas zona sejajar garis pantai untuk alokasi per unit perahu/kapal motor
masing-masing untuk PPI Besuki, Tanjung Pecinan, dan Pondok
Mimbo, dan rata-rata untuk seluruh Situbondo

Zona Luas zona Penangkapan per Perahu/Kapal Motor (km2/unit)


No Penangkapan PPI Tanjung PPI Pondok
PPI Besuki Rata-rata
(km) Pecinan Mimbo
1 0-4 0,71 0,32 1,57 0,66
2 4 - 10 0,98 1,90 1,37 1,30
3 10 - 20 19,85 0,76 7,51 2,95

5.5 ZPPI di Selat Madura dan Sekitarnya


Penyediaan informasi spasial ZPPI yang diperoleh berdasarkan data dari
satelit penginderaan jauh NOAA-AVHRR didukung dengan data kandungan
Klorofil-a dari satelit SeaWiFS atau Modis secara rutin harian atau mingguan
sering mengahadapi kendala tingginya liputan awan, sehingga sulit untuk
menentukan lokasi yang potensial untuk penangkapan. Masalah penyediaan data
yang disebabkan oleh liputan awan tersebut, menghambat penyediaan informasi
spasial ZPPI secara rutin kepada pengguna baik melalui Dinas Kelautan dan
Perikanan, KUD, atau pemilik perahu motor. Dengan memperhatikan masalah
dalam penyediaan informasi spasial tersebut, dikembangkan informasi spasial
ZPPI bulanan. Informasi spasial ZPPI bulanan mencakup wilayah perairan laut
Selat Madura, Selat Bali, Laut Bali dan Laut Jawa bagian selatan (di utara Pulau
Madura sampai Kangean). Wilayah perairan laut yang tercakup dalam ZPPI
bulanan ini disebut sebagai wilayah penelitian 2, yang dibatasi oleh koordinat
112° 30’ BT - 116° 00’ BT dan 6° 00’ LS - 8° 30’ LS. (Gambar 27 - 38).
88

Gambar 27 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada
bulan Desember.

Gambar 28 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada
bulan Januari
89

Gambar 29 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya


pada bulan Februari

Gambar 30 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya


pada bulan Maret.
90

Gambar 31 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya


pada bulan April.

Gambar 32 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya


pada bulan Mei.
91

Gambar 33 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada
bulan Juni.

Gambar 34 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada
bulan Juli.
92

Gambar 35 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada
bulan Agustus.

Gambar 36 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada
bulan September
93

Gambar 37 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada
bulan Oktober.

Gambar 38 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada
bulan November.
94

5.5.1 ZPPI bulanan pada zona PPI Besuki

Pada zona PPI Besuki (zona A), sebaran ZPPI paling tinggi selama musim
angin barat ada pada bulan Desember dengan penyebaran ZPPI pada 113°20’-
113° 50’ BT dan 7° 20’ - 7° 40’ LS, dari sebelah timur laut Probolinggo hingga
timur laut Besuki. Konsentrasi ZPPI paling tinggi pada musim peralihan pertama
terjadi pada bulan April pada perairan di atas 10 km dengan koordinat 113° 20’ -
113° 40’ BT dan 7° 20’ - 7° 40’ LS yaitu mulai utara Pasuruan sampai timur laut
Besuki. Sebaran dan konsentrasi ZPPI paling tinggi selama musim angin timur
ada pada bulan Juli, yaitu pada perairan diatas 10 km dalam koordinat 113° 20’ -
113° 40’ BT dan 7° 20’ - 7° 40’ LS, yaitu utara Pasuruan sampai dengan timur
laut Besuki. Sebaran ZPPI pada perairan di atas 10 km selama musim peralihan
kedua menunjukkan konsentrasi tinggi pada bulan September dan Oktober, serta
dalam zona 10 km pada bulan November mulai dari utara Probolinggo hingga
utara Besuki (Tabel 16).

Tabel 16 Posisi ZPPI bulanan dalam zona PPI Besuki


Posisi satuan spasial ZPPI Arah/Posisi dari
Bulan
Bujur Timur Lintang Selatan PPI Besuki
Desember 113°20’ 113° 50’ 7° 20’ 7° 40’ Timur laut Probolinggo s/d
timur laut Besuki
Januari 113° 10’ 113° 50’ 7° 20 7° 40’ Timur laut Probolinggo s/d
utara Besuki
Februari 113° 10’ 113° 50’ 7° 20’ 7° 40’ Dari utara Pajarakan s/d timur
laut Besuki
Maret 113° 10’ 113° 50’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Probolinggo s/d barat laut
Tanjung Pecinan
April 113° 00’ 113° 40’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Pasuruan s/d timur laut
Besuki
Mei 113° 20’ 113° 50’ 7° 10’ 7° 40’ Utara Probolinggo s/d timur
laut Besuki
Juni 113° 00’ 114° 00’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Pasuruan s/d timur laut
Besuki
Juli 113° 20’ 113° 40’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Pasuruan s/d timur laut
Besuki
Agustus 113° 20’ 113° 50’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Probolinggo s/d utara
Besuki
September 113° 20’ 113° 50’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Probolinggo s/d timur
laut Besuki
Oktober 113° 20’ 13° 50’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Pasuruan s/d timur laut
Besuki
November 113° 20’ 113° 40’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Probolinggo s/d utara
Besuki
95

5.5.2 ZPPI bulanan pada zona PPI Tajung Pecinan

Pada zona PPI Tanjung Pecinan (zona B), selama musim angin barat
sebaran ZPPI paling luas terjadi pada bulan Februari dibandingkan bulan
Desember dan Januari, pada selang koordinat 113° 50’ - 114° 10’ BT dan 7° 20’ -
7° 40’ LS, yaitu di perairan utara Tanjung Pecinan. Pada musim peralihan
pertama, perairan ini menunjukkan kondisi yang sama, kecuali pada bulan Mei
karena ZPPI terkonsentrasi di perairan dalam 10 km dari garis pantai. Sebaran
terluas dan konsentrasi tertinggi terjadi selama musim angin timur terjadi pada
bulan Juli, pada musim ini juga terdapat sebaran ZPPI pada zona untuk nelayan
tradisionil. Pada musim peralihan kedua, sebaran ZPPI pada bulan September
sama dengan bulan Oktober tetapi mempunyai pola dan arah penyebaran yang
berbeda. Penyebaran paling sempit terjadi pada bulan November (Tabel 17).

Tabel 17 Posisi ZPPI bulanan dalam zona PPI Tanjung Pecinan


Posisi satuan spasial ZPPI Arah/Posisi dari
Bulan
Bujur Timur Lintang Selatan PPI Tanjung Pecinan
Desember 113 o 50’ 114 o 00’ 7 o 20’ 7 o 30’ Barat laut Tanjung Pecinan
Januari 114 o 00’ 114 o 10’ 7 o 20’ 7 o 30’ Timur laut Tanjung Pecinan
Februari 113° 50’ 114° 10’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Tanjung Pecinan
Maret 113° 50’ 114° 00’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Tanjung Pecinan
April 113° 50’ 114° 10’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Tanjung Pecinan
Mei 113° 50’ 114° 05’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Tanjung Pecinan
Juni 113° 50’ 114° 00’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Tanjung Pecinan
Juli 113° 50’ 114° 10’ 7° 20’ 7° 40’ Utara Tanjung Pecinan
Agustus 113° 50’ 114° 10’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Tanjung Pecinan
September 114° 00’ 114° 10’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Tanjung Pecinan
Oktober 114° 00’ 114° 20’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Tanjung Pecinan
November 114° 00’ 114° 10’ 7° 20’ 7° 30’ Utara Tanjung Pecinan

5.5.3 ZPPI bulanan pada zona PPI Pondok Mimbo

Pada zona PPI Pondok Mimbo (zona C), sebaran ZPPI selama musim angin
barat relatif sama, tetapi luas dan konsentrasi ZPPI paling tinggi terjadi pada bulan
Desember. Pada musim peralihan pertama, sebaran konsentrasi ZPPI relatif
sama, tetapi konsentrasi ZPPI terendah terjadi pada bulan Mei. Sebaran dan
konsentrasi ZPPI paling tinggi di perairan sekitar PPI Pondok Mimbo selama
musim angin timur terjadi pada bulan Juli, khususnya di sebelah utara dan
tenggara sampai dengan timur laut Pondok Mimbo. Sebaran konsentrasi ZPPI
96

paling tinggi terjadi di sebelah utara Pondok Mimbo pada bulan September,
sedangkan di sebelah tenggara hingga timur laut terjadi sebaran konsentrasi paling
tinggi pada bulan Oktober dalam koordinat 114° 30’ - 115° 00’ BT dan 7° 20’ -
8° 00’ LS (Tabel 18).

Tabel 18 Posisi ZPPI dalam zona PPI Pondok Mimbo

Posisi satuan spasial ZPPI Arah/Posisi dari


Bulan
Bujur Timur Lintang Selatan PPI Pondok Mimbo
Desember 114° 10’ 114° 20’ 7° 20’ 7° 30’ Utara, timur ke timur laut
114° 20’ 115° 20’ 7° 20’ 7° 50’ Pondok Mimbo – Laut Bali
bagian barat.
Januari 114° 10’ 114° 40’ 7° 20’ 4° 40’ Utara - timur , tenggara - timur
114° 50’ 115° 00’ 7° 10’ 8° 00’ laut Pondok Mimbo.
Februari 114° 10’ 114° 50’ 7° 20’ 7° 40’ Utara - timur laut P. Mimbo
Maret 114° 20’ 114° 40’ 7° 20’ 4° 40’ Timur laut, tenggara sampai
114° 40’ 115° 10’ 7° 20’ 8° 00’ timur laut Pondok Mimbo.
April 114° 20’ 114° 40’ 7° 20’ 7° 40’ Utara - timur laut, tenggara -
114° 30’ 114° 50’ 7° 40’ 8° 00’ timur laut, dan timur sampai
114° 50’ 115° 20’ 7° 30’ 7° 50’ timur laut Pondok Mimbo.
Mei 114° 10’ 114° 30’ 7° 20’ 7° 40’ Utara, dan tenggara sampai
114° 30’ 115° 00’ 7° 20’ 8° 00’ timur laut Pondok Mimbo.
Juni 114° 10’ 114° 50’ 7° 20’ 7° 30’ Utara - timur laut, dan tenggara
114° 30’ 115° 00’ 7° 40’ 8° 00’ sampai timur Pondok Mimbo.
Juli 114° 10’ 114° 30’ 7° 20’ 7° 40’ Utara, dan tenggara sampai
114° 30’ 115° 10’ 7° 20’ 8° 00’ timur laut Pondok Mimbo.
Agustus 114° 10’ 114° 20’ 7° 20’ 7° 30’ Utara -b Laut, dan tenggara -
114° 30’ 115° 10’ 7° 20’ 8° 00’ timur laut Pondok Mimbo.
September 114° 10’ 114° 30’ 7° 20’ 7° 40’ Utara, dan sebelah tenggara -
114° 40’ 115° 00’ 7° 30 7° 50’ timur Pondok Mimbo.
Oktober 114° 10’ 114° 20’ 7° 20’ 7° 40’ Utara, dan sebelah tenggara -
114° 30’ 115° 00’ 7° 20’ 8° 00’ timur laut Pondok Mimbo.
November 114° 10’ 115° 00’ 7° 20’ 7° 70’ Barat laut – timur laut,
tenggara - timur P. Mimbo.

5.5.4 ZPPI bulanan pada peraian sekitar Selat Madura

Pada awal musim barat yaitu bulan Desember, ZPPI terdapat di utara pulau
Bali, menyebar sampai ke perairan antara pulau Raas dan pulau Kangean.
Demikian juga di perairan Laut Jawa sebelah utara pulau Madura, terdapat
sebaran ZPPI di perairan antara utara Sumenep dengan pulau Kangean.
Konsentrasi ZPPI sekitar Selat Madura pada bulan Januari terdapat di perairan
Laut Jawa antara utara Bangkalan dan Sumenep. Sebaran ZPPI pada bulan
97

Februari di perairan Laut Jawa bergeser lebih ke arah timur laut dibandingkan
bulan sebelumnya, tersebar antara utara Bangkalan sampai timur laut Kangean.
Pada awal musim peralihan pertama yaitu bulan Maret, ZPPI tersebar di
perairan Laut Jawa sebelah utara Kepulauan Madura, terkonsentrasi dalam antara
utara Bangkalan sampai barat laut Kangean. ZPPI pada bulan April di perairan
Laut Jawa, tersebar sebelah utara Pulau Madura terkonsentrasi dalam selang
antara utara Sokabana sampai Pasongsongan, serta antara Karanglanggar sampai
barat laut pulau Kangean. Sebaran ZPPI pada bulan Mei, tersebar mulai sebelah
selatan pulau Raas sampai ke sebelah selatan Kangean, di perairan sebelah utara
Pulau Madura terdapat mulai utara Sokabana sampai Karanglanggar.
Sebaran ZPPI pada awal musim timur yaitu bulan Juni, berada di perairan
Laut Jawa sebelah utara pulau Madura mengalami pergeseran ke sebelah barat,
menyebar mulai dari sebelah utara Bangkalan sampai ke sebelah utara pulau
Kangean dan Sumenep, terkonsentrasi antara utara Sokabana sampai Karang-
langgar. Sebaran ZPPI pada bulan Juli tidak banyak mengalami perubahan
dibandingkan bulan Juni. Penyebaran ZPPI di Selat Madura bersambung ke
perairan di Laut Bali sebelah utara sampai ke bagian timur Laut Bali. Sebaran
ZPPI di perairan sebelah utara Pulau Madura terdapat di perairan sekitar Sokabana
sampai Pasongsongan dan sebelah utara Karanglanggar. Sebaran ZPPI pada bulan
Agustus di perairan sebelah utara Pulau Madura mengalami penurunan
dibandingkan sebelumnya. ZPPI terdapat di perairan utara Sokabana, sebelah
utara Pasongsongan, sebelah utara Karanglanggar, serta beberapa ZPPI yang
menyebar mulai sebelah timur laut pulau Raas sampai Kangean.
Pada awal musim peralihan kedua yaitu bulan September, sebaran ZPPI di
perairan sebelah utara Pulau Madura juga mengalami penurunan. ZPPI terdapat di
perairan utara Pasongsongan, sebelah utara Karanglanggar, serta di sebelah utara
Pulau Sepudi. Terdapat sebaran ZPPI antara sebelah utara pulau Raas sampai
timur laut Kangean. Sebaran ZPPI pada bulan Oktober, terdapat di perairan laut
sebelah utara Pulau Madura, terdapat di perairan utara Sokabana sampai
Pasongsongan, juga terdapat ZPPI di sebelah utara pulau Sepudi. Pada bulan
November, konsentrasi ZPPI di perairan laut sebelah utara Pulau Madura terdapat
di perairan sebelah utara Sokabana, Pasongsongan, dan pulau Sepudi (Tabel 19).
98

Tabel 19 Posisi ZPPI bulanan di Perairan Sekitar Selat Madura


Posisi satuan spasial ZPPI Arah/Posisi dari
Bulan
Bujur Timur Lintang Selatan PPI Terdekat
Desember 1130 00’ 1130 20’ 60 20’ 60 40’ Sokabana
1130 20’ 1130 50’ 60 10’ 60 30’ Pasongsongan
1140 00’ 1140 10’ 60 20’ 60 50’ Karanglanggar
1140 20’ 1140 30’ 60 20’ 60 50’ Pulau Sapudi
1140 40’ 1140 50’ 60 20’ 60 50’ Pulau Raas
Januari 1130 20’ 1130 30’ 60 00’ 60 20’ Sokabana
1130 30’ 1130 50’ 60 30’ 60 50’ Pasongsongan
1130 50’ 1140 20’ 60 30’ 60 50’ Karanglanggar
114040’ 1140 40’ 60 50’ 70 00’ Pulau Raas
Februari 1130 00’ 1130 30’ 60 40’ 60 50’ Sokabana
1140 10’ 1140 30’ 60 40’ 60 50’ Pulau Sepudi
1140 30’ 1150 00’ 60 30’ 60 40’ Pulau Raas
1150 10’ 1160 00’ 60 20’ 60 30’ Kangean
Maret 1120 50’ 1130 10’ 60 30’ 60 50’ Pasongsongan
1130 20’ 1130 50’ 60 20’ 60 50’ Sokabana
1130 00’ 1140 10’ 60 20’ 70 00’ Karanglanggar
1140 30’ 1150 00’ 60 30’ 60 50’ Pulau Raas
1150 20’ 1150 40’ 60 30’ 60 50’ Pulau Kangean
April 1150 00’ 1150 20’ 70 30’ 70 50’ Singaraja
1130 10’ 1130 40’ 60 30’ 60 40’ Sokabana
1130 50’ 1140 10’ 60 20’ 7010 Karanglanggar
1140 30’ 1150 10’ 60 20’ 7010 Pulau Raas
Mei 1130 10’ 1130 40’ 70 30’ 70 40’ Sokabana
1130 50’ 1140 00’ 60 20’ 60 50’ Pasongsongan
1130 50’ 1140 00’ 60 20’ 60 50’ Sumenep
1140 10’ 1140 30’ 60 30’ 70 00’ Pulau Raas
1150 10’ 1150 30’ 60 00’ 60 30’ Kalisangka
Juni 1130 20’ 1130 40’ 60 20’ 60 40’ Sokabana
1130 50’ 1140 10’ 60 30’ 60 40’ Karanglanggar
1150 00’ 1150 10’ 60 20’ 60 50’ Kangean
Juli 1130 00’ 1130 30’ 60 20’ 60 40’ Sokabana
1130 30’ 1130 50’ 60 20’ 60 40’ Pasongsongan
1140 00’ 1140 30’ 60 30’ 60 40’ Karanglanggar
Agustus 1130 20’ 1130 30’ 60 20’ 60 40’ Sokabana
1130 40’ 1130 50’ 60 30’ 60 50’ Pasongsongan
1140 00’ 1140 20’ 60 30’ 60 50’ Karanglanggar
1140 40’ 1150 00’ 60 30’ 60 50’ Pulau Raas
September 1130 30’ 1130 40’ 60 30’ 60 50’ Sokabana
1130 50’ 1140 00’ 60 20’ 60 50’ Pasongsongan
1140 20’ 1140 30’ 60 30’ 70 00’ Karanglanggar
Oktober 1130 00’ 1130 20’ 60 10’ 60 30’ Sokabana
1130 30’ 1130 50’ 60 00’ 60 40’ Pasongsongan
1140 10’ 1140 40’ 60 20’ 60 40’ Pulau Sepudi
November 1130 00’ 1130 20’ 60 10’ 60 40’ Sokabana
1130 20’ 1130 40’ 60 10’ 60 40’ Pasongsongan
1140 10’ 1140 30’ 60 20’ 60 50’ Pulau Sapudi
1140 30’ 1140 50’ 60 20’ 60 40’ Pulau Raas
1150 00’ 1150 10’ 60 30’ 60 50’ Pulau Kangean
99

6 PEMBAHASAN

6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya

Faktor kondisi perairan yang menjadi perhatian utama dalam penelitian


tentang penentuan ZPPI dan kegiatan penangkapan ikan ini adalah SPL,
kandungan klorofil-a, angin dan gelombang, serta kedalaman perairan
(bathymetry). Wilayah perairan yang menjadi titik berat bahasan adalah Selat
Madura dan sekitarnya yang meliputi Laut Bali bagian barat, Selat Bali bagian
Formatted: Swedish (Sweden)
utara, dan Laut Jawa bagian timur sebelah utara kepulauan Madura. Selat Madura
bagian timur berhadapan langsung dengan perairan Laut Bali bagian barat dan
Selat Bali bagian utara. Selat Madura bagian timur juga dipengaruhi oleh kondisi
perairan Laut Jawa melalui selat-selat sempit di antara Pulau Madura dengan
Pulau Sepudi, Pulau Raas dan Pulau Kangean, serta perairan yang terbuka di
sebelah timur Pulau Kangean. Sebaran SPL dan konsentrasi klorofil-a yang
berubah-ubah menyebabkan perubahan lokasi dan waktu terjadinya thermal front
yang merupakan indikator utama dalam penentuan ZPPI. Selat Madura termasuk
dalam kategori perairan dangkal dan semi tertutup sehingga perbedaan suhu baik
secara horizontal pada kawasan yang agak luas maupun vertikal sampai
kedalaman tertentu bahkan dasar perairan tidak terlalu besar. Hal ini dibuktikan
dengan pengukuran langsung yang menunjukkan bahwa kisaran suhu di Selat
Madura mendatar 26,5 – 30o C (Bintoro, 2005).
Selama ini sudah menjadi istilah umum bahwa musim barat adalah “neraka”
bagi kegiatan penangkapan ikan, namun Selat Madura berada dalam kondisi yang
sebaliknya. Angin yang datang dari arah barat dan barat laut terhalang oleh
dataran kabupaten Surabaya dan Gresik di Pulau Jawa serta kabupaten Bangkalan
di Pulau Madura, sehingga Selat Madura berada dalam kondisi tenang dan sangat
kondusif bagi kegiatan penangkapan ikan. Karena posisi geografisnya maka
perairan Selat Madura tidak banyak dipengaruhi oleh angin yang datang dari arah
selatan dan barat daya karena terhalang oleh pegunungan dan dataran tinggi di
bagian tengah yang terdapat di Jawa Timur (Pegunungan Semeru, Bromo,
Argopuro dan Raung). Angin yang datang dari arah utara terhalang oleh daratan
100

Pulau Madura, sedangkan yang datang dari arah timur laut pengaruhnya menjadi
berkurang karena terhalang oleh dataran kepulauan di sebelah timur Pulau Madura
(Sumenep, Raas, Sepudi dan Kangean). Angin yang besar pengaruhnya terhadap
Selat Madura datang dari arah timur, berlangsung pada periode mulai dari bulan
Juni hingga September. Gelombang di Selat Madura pada musim timur lebih
tinggi dari gelombang pada periode waktu lainnya (Santos, 2005). Tinggi
gelombang di selat ini sangat tergantung pada perbedaan tekanan udara dan jarak
tempuh angin (Nontji, 2002). Kegiatan penangkapan ikan di Selat Madura bagian
timur terutama antara timur laut sampai tenggara Pondok Mimbo selama musim
angin dari timur mengalami hambatan paling tinggi. Sedangkan angin dari arah
tenggara yang kecepatannya dapat mencapai di atas 17 knot, terhalang oleh
pegunungan antara Situbondo dan Banyuwangi serta daratan dan pegunungan di
Pulau Bali sehingga pengaruhnya bagi Selat Madura menjadi sangat berkurang.

6.1.1 SPL, klorofil-a, angin, gelombang, dan arus

Kondisi oseanografi pada bulan Desember yang merupakan awal musim


barat tergolong sangat baik untuk kegiatan penangkapan ikan di Selat Madura.
Pada bulan tersebut thermal front terjadi pada pertemuan antara massa air dalam
kisaran SPL 26o - 30o C. Kandungan klorofil dalam kisaran 0,1 – 0,8 mg/m3,
angin dominan dari arah barat dengan kecepatan maksimum 7 – 10 knot dan
tinggi gelombang rata-rata kurang dari 0,5 m. Kondisi umum tersebut sesuai
dengan hasil pengamatan lapangan pada bulan Desember 2003 pada beberapa
stasiun di Oyong (sebelah tenggara Sampang), bahwa suhu permukaan dalam
kisaran 27,0o – 27,5o C. Arus laut mayoritas dari arah barat dan kadang-kadang
dari utara dengan kecepatan maksimum 0,18 m/detik dan rata-rata 0,08 m/detik
(Santos, 2005). Kisaran SPL tersebut juga masih sesuai dengan hasil pengukuran
suhu permukaan laut pada kawasan yang dangkal di bagian barat menunjukkan
kisaran 28,0o – 28,82o C (Bintoro, 2002). Kondisi lingkungan Selat Madura
bagian timur dengan SPL yang memungkinkan adanya thermal front dan
kandungan klorofil-a dalam kisaran tersebut sesuai untuk habitat ikan pelagis
kecil, seperti layang dan kembung (Widodo, 2003). Kondisi oseanografi Selat
Madura selama bulan Desember tersebut sangat menguntungkan bagi kegiatan
101

penangkapan ikan, sebaliknya Laut Jawa sangat diperngaruhi oleh angin dari arah
barat sehingga menghambat kegiatan penangkapan ikan.
Sebaran SPL pada bulan Januari mengalami peningkatan dari sebelumnya
sehingga thermal front terjadi dalam kisaran 28o - 30o C. Kenaikan suhu dalam
periode tersebut yang dihitung berdasarkan data satelit NOAA-AVHRR ini
sejalan dengan hasil pengamatan lapangan yang menunjukkan nilai kisaran suhu
28,5o – 29,0o C. Sebagaimana bulan sebelumnya, arus air laut mayoritas dari arah
barat dan kadang-kadang dari utara dengan kecepatan maksimum 0,19 m/detik
dan kecepatan rata-rata 0,07 m/detik (Santos, 2005). Hasil perolehan SPL dan
pengukuran suhu tersebut juga sesuai dengan hasil pengukuran oleh Bintoro
(2002) bahwa suhu di permukaan berada pada kisaran 28,5o – 28,88o C.
Kandungan khlorofil-a secara umum berada dalam kisaran 0,1 – 0,8 mg/m3.
Angin yang dominan datang dari arah barat dan barat laut tidak banyak
mempengaruhi Selat Madura sehingga sangat memungkinkan bagi nelayan
Situbondo untuk melakukan penangkapan ikan dengan penuh selama bulan
Januari. Sebaliknya, kondisi angin dan gelombang di Laut Jawa dan Laut Flores
masih seperti bulan sebelumnya sehingga menimbulkan kesulitan bagi kegiatan
penangkapan ikan.
Sebaran SPL Selat Madura berdasarkan data NOAA-AVHRR pada bulan
Februari yang merupakan akhir musim barat mengalami perubahan dibandingkan
bulan Januari. Suhu terendah mengalami penurunan dari 28o C menjadi 27o C,
sedangkan suhu tertinggi mengalami peningkatan dari 30o C menjadi 31o C,
sehingga Thermal front terjadi dalam kisaran SPL 27o – 31o C. Nilai kisaran SPL
hasil perhitungan menggunakan data satelit NOAA-AVHRR ini sesuai dengan
hasil pengukuran lapangan di stasiun Oyong Sampang yang menunjukkan suhu
dalam kisaran 28,5o – 29,0o C, dengan arus air laut mayoritas dari arah timur dan
kadang-kadang dari utara dan selatan dengan kecepatan maksimum 0,19 m/detik
dan rata-rata dengan kecepatan 0,07 m/detik (Santos, 2005). Hasil pengukuran di
beberapa stasiun pengamatan menunjukkan bahwa suhu permukaan berada pada
kisaran 28,0o – 29,0o C (Bintoro, 2002). Konsentrasi klorofil-a yang berada pada
kisaran 0,3 – 0,5 mg/m3 menunjukkan kesuburan perairan Selat Madura lebih
tinggi dibandingkan di perairan Laut Jawa dan Laut Bali dengan kandungan
102

klorofil-a yang lebih rendah yaitu 0,2 – 0,4 mg/m3. Kecepatan angin dan
ketinggian gelombang yang dominan datang dari arah barat dan barat laut,
memberikan kemungkinan bagi nelayan Situbondo untuk melakukan kegiatan
penangkapan ikan di Selat Madura selama bulan Februari.
Kondisi oseanografi di perairan Selat Madura pada bulan Maret yang
merupakan bulan pertama musim peralihan pertama, mengalami perubahan
dibandingkan bulan terahir musim barat. Thermal front terjadi pada pertemuan
antara massa air dalam kisaran SPL 28 o - 32o C. Konsentrasi klorofil-a di Selat
Madura mengalami peningkatan terutama mulai dari bagian tengah hingga bagian
timur dengan kisaran 0,4 – 1,0 mg/m3. Kisaran SPL berdasarkan data NOAA-
AVHRR berkorelasi dengan hasil pengukuran suhu lapangan pada bulan Maret
2003 di beberapa stasiun Oyong yang berada dalam kisaran 28,0o – 28,5o C
(Santos, 2005), sementara hasil pengukuran oleh Bintoro (2002) diketahui bahwa
suhu permukaan dalam kisaran 28,0o – 29,0o C. Di sisi lain, hasil pengukuran
klorofil-a di perairan Selat Bali yang dilakukan pada bulan yang sama tahun 1975,
menunjukkan nilai lebih tinggi yaitu 0,13 – 0,40 mg/m3 (Ilahude, 1978). Thermal
front di Laut Jawa terjadi pada pertemuan massa air yang berada dalam kisaran
suhu lebih tinggi, demikian juga konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa dan Laut Bali
mengalami sedikit peningkatan dibandingkan pada akhir musim barat yaitu pada
kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a di perairan Laut Jawa bagian timur
khususnya antara Pulau Raas dan Pulau Kangean didominasi oleh kisaran 0,4 –
1,0 mg/m3. Kecepatan dan ketinggian angin dominan di Selat Madura yang datang
dari barat dan barat laut memberi peluang bagi nelayan Situbondo untuk
melakukan penangkapan ikan, sebaliknya angin di Laut Jawa yang datang dari
arah utara dan barat sangat menghambat kegiatan penangkapan ikan di Laut Jawa
bagian timur sebelah utara Kepulauan Madura.
Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan April yang merupakan bulan
kedua musim peralihan pertama, menunjukkan keadaan yang bervariasi. SPL
beberapa lokasi di perairan Selat Madura berada dalam kisaran 27o – 29o C,
lokasi-lokasi lainnya mempunyai kisaran lebih tinggi yaitu 30o – 32o C. Nilai
kisaran SPL hasil perhitungan menggunakan data NOAA-AVHRR ini sesuai
dengan hasil pengukuran lapangan pada beberapa stasiun di selatan Sampang
103

yaitu dalam kisaran 29,5o – 30,0o C (Santos, 2005), sedang di beberapa lokasi
lainnya berada dalam kisaran 28,0o – 29,0o C (Bintoro, 2002). Hasil pengamatan
SPL berdasarkan data NOAA-AVHRR yang menunjukkan suhu tinggi sejalan
dengan penelitian Sulistya (2007), yang menyatakan bahwa suhu tertinggi Laut
Jawa (termasuk Selat Madura) diantaranya terjadi pada bulan April. SPL Selat
Madura umumnya berada pada kisaran lebih rendah dibandingkan di Laut Jawa,
sehingga thermal front di Selat Madura juga terjadi pada suhu lebih tinggi
dibandingkan sebelumnya. Hasil pengamatan SPL di Selat Madura menggunakan
data NOAA-AVHRR sebanding dengan hasil pengukuran suhu di Selat Makassar
dengan kisaran 28,2 – 30,0 o C (Soegiharto, 1976). Konsentrasi klorofil-a di Selat
Madura sedikit mengalami penurunan walaupun beberapa lokasi mengalami
peningkatan, sebaliknya di Pulau Jawa dan Laut Bali sedikit mengalami
peningkatan terutama di perairan timur Pulau Raas dan sekitar Pulau Kangean.
Selat Madura sudah mulai dipengaruhi oleh angin dan gelombang yang berubah-
ubah yaitu dari arah timur, barat dan utara, sedangkan Laut Jawa sudah
dipengaruhi oleh angin dari arah timur, tenggara, dan barat laut. Nelayan
Situbondo dapat melakukan penangkapan ikan selama bulan April karena kondisi
angin dan gelombang mayoritas cukup baik untuk kegiatan penangkapan ikan,
namun nelayan tradisionil atau nelayan dengan perahu/kapal motor ukuran kecil
yang berpangkalan di Pondok Mimbo harus mulai memperhatikan perubahan
angin dan gelombang yang datang dari timur dan tenggara.
Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Mei yang merupakan akhir
musim peralihan pertama, menunjukkan mulai adanya pengaruh musim timur
yang semakin kuat. Berdasarkan data satelit NOAA-AVHRR bahwa sebaran SPL
di perairan Selat Madura pada bulan Mei pada kisaran 29o – 31o C, sesuai dengan
hasil pengukuran lapangan yang menunjukkan suhu dalam kisaran 29,0o – 29,5o C
o
(Santos, 2005), juga dengan hasil pengukuran suhu rata-rata yaitu 28,36 C
(Bintoro, 2002). Hasil pengamatan SPL menggunakan data NOAA-AVHRR juga
relatif sama dengan hasil pengukuran di lapangan yang dilakukan Soegiharto
(1976) bahwa SPL di perairan Selat Madura berada dalam kisaran 29,2 – 30,2 oC,
dengan suhu terendah berada di sisi antara timur laut Pondok Mimbo membentang
ke utara sampai perairan selatan Raas dan suhu tertinggi terdapat di sebelah utara
104

Tanjung Pecinan membentang ke utara sampai perairan antara Sumenep dan


Pamekasan (Soegiharto, 1976). Thermal front di perairan Selat Madura berada
dalam kondisi yang sangat subur, ditandai dengan tingginya konsentrasi klorofil-a
yang berada pada kisaran 0,4 – 1,5 mg/m3, lebih tinggi dari perairan Laut Jawa
bagian timur yang berada pada kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3. Tingginya konsentrasi
klorofil-a di Selat Madura diduga disebabkan oleh gerakan massa air yang
memiliki kesuburan tinggi dari Selat Bali dan Laut Bali yang didorong oleh angin
dari arah timur dan tenggara. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan bahwa
angin dominan di Selat Madura datang dari arah timur dan selatan, sedangkan
angin di Laut Jawa datang dari arah timur dan tenggara. Karena kecepatan angin
sewaktu-waktu dapat mencapai kecepatan lebih dari 17 knot dan gelombang
diatas 1,5 m, nelayan Situbondo terutama yang berpangkalan di PPI Pondok
Mimbo sudah harus mulai berhati-hati dalam melakukan penangkapan ikan. Hal
ini juga dapat dibuktikan pada saat uji coba penerapan ZPPI di Situbondo pada
bulan Mei, banyak nelayan Pondok Mimbo yang tidak bersedia melakukan
penangkapan, namun nelayan Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor 20
GT ke atas masih bersedia melakukan kegiatan penangkapan ikan antara utara
Besuki dan Tanjung Pecinan. Kondisi ini juga didukung oleh hasil pengamatan
gelombang pada stasiun pengamatan Oyong bahwa ketinggian gelombang rata-
rata mulai mengalami peningkatan berada di atas 0,5 meter dibandingkan
sebelumnya berada di bawah 0,5 meter (Santos, 2005).
Kondisi oseanografi perairan Selat Madura pada bulan Juni yang merupakan
awal musim timur, dipengaruhi oleh angin dari arah timur dan tenggara. Thermal
front terjadi pada SPL yang lebih tinggi dari sebelumnya yaitu dalam kisaran 29o
– 31o C. Di sisi lain konsentrasi klorofil-a cukup tinggi yaitu pada kisaran 0,5 –
1,5 mg/m3, lebih tinggi dibandingkan konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa dan Laut
Bali yang berada pada kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3. Nilai kisaran SPL hasil
perhitungan menggunakan data satelit NOAA-AVHRR ini masih sesuai dengan
hasil pengukuran lapangan di perairan selatan Sampang yang menunjukkan suhu
dalam kisaran 28,5o – 29,0o C. Arus laut mempunyai kecepatan maksimum 0,20
m/detik dan kecepatan rata-rata 0,07 m/detik, dengan arah yang berubah-ubah dari
timur, utara dan barat (Santos, 2005). Klorofil-a yang tinggi (0,6 – 3,0 mg/m3)
105

sebagai indikator perairan yang subur juga terdapat di sekitar Kepulauan Kangean
dan sebelah timur pulau Raas. Sejalan dengan datangnya angin dari arah timur dan
selatan yang kadang–kadang mengganggu kegiatan penangkapan ikan karena
kecepatannya dapat mencapai lebih dari 17 knot dengan gelombang mencapai
ketinggian lebih dari 1,5 meter, sehingga cukup menyulitkan penangkapan ikan
oleh nelayan Situbondo terutama dari PPI Pondok Mimbo.
Kondisi oseanogafi di Selat Madura pada bulan Juli khususnya SPL hampir
sama dengan bulan sebelumnya yaitu dalam kisaran 29o – 31o C. Thermal front di
perairan Selat Madura bagian timur terjadi pada pertemuan massa air dengan SPL
dalam selang 29o - 30o C. Suhu hasil pengukuran lapangan menunjukkan
terjadinya penurunan yaitu dalam kisaran 28,0o – 28,5o C. Hasil pengukuran
menujukkan menunjukkan bahwa kecepatan arus laut tidak banyak mengalami
perubahan dibandingkan sebelumnya yaitu maksimum 0,20 m/detik dan rata-rata
0,07 m/detik, dengan arah dominan dari timur (Santos, 2005). Konsentrasi
klorofil-a di perairan Selat Madura lebih tinggi dibandingkan Laut Jawa (0,4 – 1,5
mg/m3) dan perairan bagian utara Selat Bali dan Laut Bali (0,2 – 0,4 mg/m3).
Hasil pengukuran klorofil-a di perairan Selat Bali yang dilakukan pada bulan yang
sama tahun 1973, menunjukkan nilai lebih tinggi yaitu 0,31 – 2,85 mg/m3
(Ilahude, 1978). Konsentrasi klorofil-a yang tinggi di perairan sebelah timur Pulau
Raas mengalami pergeseran lebih ke arah timur dari bulan sebelumnya. Angin
dari arah timur dan tenggara dengan kecepatan lebih dari 17 knot semakin
mendominasi perairan Selat Madura, dan menimbulkan gelombang dengan
ketinggian lebih dari 1,5 meter. Kecepatan angin dan ketinggian gelombang
selama bulan Juli sangat berpengaruh bagi kegiatan penangkapan ikan di Selat
Madura, sehingga nelayan Situbondo terutama yang berpangkalan di PPI Pondok
Mimbo mayoritas tidak dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan.
Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Agustus yang merupakan
bulan terakhir musim timur, thermal front terjadi dalam kisaran SPL 28o - 31o C,
sesuai dengan hasil pengukuran lapangan yang menunjukkan suhu dalam kisaran
27,5o – 28,0o C (Santos, 2005). Pengukuran di stasiun pengamatan Oyong
menunjukkan bahwa arus air mempunyai kecepatan dan arah dominan sama
dengan bulan sebelumnya yaitu kecepatan maksimum 0,20 m/detik dan rata-rata
106

0,07 m/detik, dengan arah dominan dari timur. Kisaran SPL di Selat Madura
berdasarkan satelit NOAA juga masih sesuai dengan hasil pengukuran di lapangan
yang dilakukan pada bulan Agustus tahun 1975 bahwa sebaran mendatar berada
dalam kisaran 28,0 – 28,8o C dengan suhu terendah terdapat di perairan antara
Pondok Mimbo hingga Pulau Raas, sedangkan suhu tertinggi terdapat di perairan
sebelah utara Besuki (Soegiharto A, 1976). Sebaran SPL ini juga masih sesuai
dengan hasil pengamatan oleh Tangdom (2005), yang menyatakan bahwa SPL di
bagian selatan dari Selat Makassar adalah 29o C. Thermal front banyak terjadi di
perairan sebelah timur hingga timur laut Pondok Mimbo dengan konsentrasi
klorofil-a 0,4 – 1,0 mg/m3. Pergerakan massa air dari arah Laut Flores
menyebabkan pengayaan klorofil-a di Laut Jawa (0,4 – 1,5 mg/m3) dan di Laut
Bali (0,3 – 0,5 mg/m3) serta di perairan antara Pulau Raas dan Pulau Kangean (2,0
– 3,0 mg/m3) sehingga menjadi perairan yang potensial untuk penangkapan ikan.
Namun demikian, angin timur yang mencapai kecepatan lebih dari 17 knot dan
gelombang lebih dari 1,5 meter semakin dominan dan menghambat kegiatan
penangkapan ikan terutama di perairan Selat Madura bagian timur. Kondisi ini
diperkuat dengan hasil pengamatan lapangan bahwa ketinggian gelombang rata-
rata pada bulan Agustus berada dalam kisaran 1,0 - 1,5 meter, sedangkan
gelombang maksimum berada dalam kisaran 2,5 – 3,0 meter (Santos, 2005).
Bulan Agustus merupakan masa yang sulit bagi nelayan Situbondo terutama dari
Pondok Mimbo karena angin yang dominan dari arah timur mempunyai kecepatan
lebih dari 17 knot dan ketinggian gelombang rata-rata lebih dari 1,5 meter.
Kondisi kecepatan angin dan ketinggian seperti ini menyebabkan terjadinya
musim paceklik ikan bagi nelayan dari PPI Pondok Mimbo.
Kondisi oseanografi Selat Madura pada awal musim peralihan kedua yaitu
bulan September masih dipengaruhi oleh angin dan gelombang dari timur.
Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan data satelit NOAA-AVHRR bahwa
nilai SPL Selat Madura dalam kisaran 28o – 32o C, sehingga thermal front terjadi
pada pertemuan massa air dengan suhu dalam kisaran tersebut. Hasil pengukuran
lapangan pada beberapa stasiun pengamatan di selatan Sampang menunjukkan
terjadinya peningkatan SPL, namun masih dalam kisaran 27,5o – 28,0o C (Santos,
2005). Konsentrasi klorofil-a yang sangat tinggi terjadi pada perairan sebelah
107

timur Pulau Raas dan sebelah utara Kepulauan Kangean (2,0 – 3,0 mg/m3),
diduga disebabkan oleh pergerakan massa air dari Laut Flores. Angin dari timur,
selatan dan tenggara mencapai kecepatan lebih tinggi dari 17 knot dan gelombang
dengan ketinggian mencapai di atas 1,5 meter sangat menghambat kegiatan
penangkapan ikan, sehingga nelayan Situbondo khususnya nelayan Pondok
Mimbo masih menghadapi kesulitan dan masa paceklik yang lebih berat.
Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Oktober, memunjukan SPL
berada dalam kisaran 27o - 31o C. Sebaran suhu ini sesuai dengan hasil
pengukuran lapangan pada beberapa stasiun yang menunjukkan suhu rata-rata
adalah 28,5o C (Santos, 2005). Konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa dan Laut Bali
mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya. Konsentrasi klorofil-a
yang sangat tinggi (1,5 – 3,0 mg/m3) terdapat pada perairan yang lebih luas di
sebelah timur Pulau Raas dan sekitar Kepulauan Kangean. Angin dan gelombang
di Selat Madura yang dominan datang dari timur dan tenggara, frekuensi dan
kecepatannya sudah mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya,
menunjukkan mulai terdapat situasi yang menguntungkan bagi kegiatan
penagkapan ikan. Kondisi ini diperkuat dengan hasil pengamatan lapangan bahwa
ketinggian gelombang rata-rata pada bulan Oktober berada dalam kisaran 0,5 – 1
meter (Santos, 2005). Kondisi angin dan gelombang bulan Oktober menunjukkan
bahwa nelayan Situbondo khususnya dari Pondok Mimbo sudah dapat melakukan
kegiatan penangkapan ikan, terutama yang menggunakan perahu/kapal motor
diatas 10 GT, sedangkan nelayan tradisionil terutama yang menggunakan perahu
layar atau perahu/kapal motor sampai ukuran 10 GT harus berhati-hati karena
angin kadang-kadang mencapai 17 knot dan gelombang yang mencapai 1,5 meter.
Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Nopember yang merupakan
bulan terakhir musim peralihan kedua, kembali mengalami perubahan dan
perbaikan dibandingkan sebelumnya. SPL di perairan Selat Madura, Laut Jawa
dan Laut Bali secara umum lebih tinggi dari sebelumnya yaitu dalam kisaran 28 o
– 30o C. SPL ini sesuai dengan hasil pengamatan lapangan pada beberapa stasiun
pengamatan yang menunjukkan bahwa sebaran suhu di permukaan laut adalah
29,0o C, lebih tingi 1o C dari bulan sebelumnya (Santos, 2005). Sebaran klorofil-a
yang agak tinggi (0,2 – 0,8 mg/m3) bergeser ke arah timur sebagai akibat
108

pergerakan massa air dari arah barat yang disebabkan oleh pergantian musim
peralihan kedua menuju musim Barat. Konsentrasi klorofil-a pada perairan bagian
timur Selat Madura mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya,
demikian juga konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa, Laut Bali dan Laut Flores
bagian barat mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya. Sebagai
indikator pergeseran dari musim peralihan kedua ke musim barat maka angin
dengan frekuensi dan kecepatan yang dominan datang dari arah selatan dan barat
dengan kecepatan mencapai lebih dari 17 knot. Gelombang dominan dengan
ketinggian dalam kisaran 0,1 – 0,5 meter, memberi peluang bagi nelayan
Situbondo untuk melakukan penangkapan ikan di Selat Madura dan sekitarnya.
Uraian tentang kondisi oseanografi di atas menunjukkan bahwa perairan
Selat Madura mengalami perubahan sangat dinamis dan berdampak pada pola
penangkapan ikan. Hal ini juga menunjukkan bahwa penentuan zona yang
berpotensi untuk penangkapan ikan harus selalu memperhatikan kondisi
oseanografi Selat Madura dan sekitarnya. Secara umum, kondisi oseanografi yang
diidentifikasi berdasarkan citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini
berkorelasi dengan hasil beberapa pengamatan lapangan (Bintoro, 2002; Santos,
2005; Illahude, 1978; dan Soegiharto, 1976). Perolehan data SPL dari satelit
NOAA-AVHRR dan hasil pengukuran lapangan menunjukkan bahwa suhu di
Selat Madura pada kawasan tertentu dalam kisaran cukup sempit (0,5o – 1,5o C ),
meskipun kisaran antara suhu yang terendah dengan yang tertinggi dapat
mencapai 3o sampai 4o C. Semakin kecil perbedaan suhu antara massa air yang
berbeda maka semakin sulit menemukan thermal front, menandakan air laut
semakin homogen sehingga thermal front sulit dideteksi, berarti ikan menyebar di
seluruh kawasan perairan. Penyebab terjadinya konsentrasi ikan pada lokasi
tertentu berarti bukan karena suhu tapi parameter lainnya, misalnya klorofil-a atau
salinitas. Selat Madura yang seperti jebakan sangat menguntungkan karena ikan
masuk dari sisi timur yang terbuka sehingga menjadi pintu masuk ikan dari laut
Bali dan Laut Flores. Kondisi ini berbeda dengan Laut Jawa yang merupakan laut
terbuka sehingga lebih sulit mencari tempat kumpulan (schooling) ikan.
109

6.1.2 Kedalaman perairan Selat Madura

Selat Madura bagian timur berhubungan langsung dengan Laut Bali dan
Selat Bali sehingga kedalamannya hampir sama dengan kedalaman perairan Laut
Bali bagian barat dan Selat Bali bagian utara. Berdasarkan informasi spasial
kedalaman Selat Madura dan sekitarnya, perairan antara selatan Pulau Kangean
dan utara Pulau Bali sampai ke sebelah timur dan timur laut Pondok Mimbo
mengalami gradasi kedalaman yang cukup tajam. Kondisi ini memungkinkan
terjadi pergerakan air naik dari Laut Bali bagian barat dan Selat Bali bagian
tengah yang dalamnya 1.000 m, ke perairan Selat Madura bagian timur yang
mempunyai kedalaman 500 m, selanjutnya dari kedalaman 500 m ke kedalaman
200 m yang didorong oleh angin dari arah timur dan tenggara. Pada saat angin
dari arah timur, juga akan mendorong massa air dari sekitar Pulau Raas dan Pulau
Kangean dengan kedalaman sekitar 200 m memasuki perairan Selat Madura.
Setelah perairan dengan kedalaman sekitar 80 mil, perairan antara utara Besuki
sampai sebelah utara Probolinggo mempunyai kedalaman sekitar 70 m – 60 m.
Perairan mulai utara Probolinggo ke sebelah barat, membentang dari sisi utara dan
selatan sampai perairan pantai mempunyai kedalaman sekitar 50 m, selanjutnya ke
perairan pantai dengan kedalaman sekitar 10 meter. Gradasi kedalaman ini
berkaitan erat dengan jenis ikan yang ada di perairan tersebut. Kondisi ini
diperkuat oleh hasil penelitian di lapangan bahwa perairan Selat Madura dangkal
di bagian barat dengan kedalaman rata antara 2 – 30 meter, dan menjadi lebih
dalam di bagian timurnya dengan kedalaman 20 – 70 meter (Santos, 2005).
Perubahan kedalaman Selat Madura mulai dari bagian timur yang agak
dalam dan bagian tengah yang relatif dangkal tersebut, berpengaruh terhadap
keberadaan jenis ikan di perairan tersebut. Perubahan kedalaman perairan Selat
Madura ini juga berkaitan erat dengan jenis ikan yang tertangkap oleh nelayan
Situbondo. Memperhatikan kedalaman, Selat Madura khususnya di sekitar
Situbondo termasuk dalam kategori perairan dangkal berupa paparan karena
kedalamannya berada dalam kisaran 60 – 200 m (Nontji, A. 2002).
110

6.1.3 Sumberdaya ikan di Selat Madura

Memperhatikan gradasi kedalaman perairan dan angin, dapat diduga bahwa


ikan yang dominan tertangkap di Selat Madura pada akhir musim peralihan kedua,
musim barat dan pada awal musim peralihan pertama diduga datang dari Laut
Jawa dan Laut Flores masuk ke perairan Selat Madura melalui selat antara pulau
Sapudi dan Raas, antara pulau Raas dan Kangean, serta perairan terbuka di
sebelah timur pulau Kangean. Ikan yang tertangkap pada akhir musim peralihan
pertama, musim timur, dan awal musim peralihan kedua diduga berasal dari
perairan Laut Jawa bagian timur dan Laut Bali. Sedangkan ikan jenis lemuru yang
sangat dominan tertangkap di perairan Selat Madura dapat diduga berasal dari
Selat Bali dan Laut Bali masing-masing yang dibawa oleh pergerakan massa air
yang digerakkan oleh angin dari arah tenggara dan timur.
Memperhatikan kedalaman perairan Selat Madura maka ikan yang hidup
pada kedalaman (swiming layer) lebih dari 50 m hanya akan ditemukan mulai
bagian timur Selat Madura sampai sebelah timur laut Probolinggo. Ikan lemuru
yang hidup pada kedalaman sekitar 80 m, hanya akan tertangkap paling barat
sampai perairan sebelah barat laut Besuki atau paling jauh hanya sampai utara
Pajarakan. Begitu juga dengan jenis ikan lainnya yang mempunyai nilai ekonomi
cukup baik seperti ikan tongkol hanya akan ditemukan mulai perairan bagian
timur Selat Madura sampai perairan laut sebelah utara Besuki atau Pajarakan.
Disamping berhubungan dengan kedalaman yang bersifat statis, sumberdaya
ikan di Selat Madura juga berkaitan erat dengan pergerakan massa air yang
digerakkan oleh angin dan gelombang yang berubah-ubah setiap musim.
Berdasarkan hasil uji coba penangkapan menggunakan informasi spasial ZPPI dan
survei lapangan, pada saat musim barat, sumberdaya ikan di Selat Madura
didominasi oleh ikan tongkol, layang, kembung dan selar. Hal ini diperkuat
dengan pernyataan Widodo (2003), bahwa ikan pelagis kecil di Laut Jawa adalah
ikan layang atau scad mackerels, decapterus spp. (Carangidae), sardines,
Sardinella spp. (Clupeidae); ikan kembung atau Indo Pacific mackerels,
Rastrelinger spp. (Scombridae); dan ikan selar atau travallies, Selar spp.
(Carangidae). Melalui penerapan informasi spasial ZPPI di Selat Madura yang
dilakukan pada musim yang berbeda dan survei lapangan di daerah penelitian
111

dapat diketahui bahwa jenis ikan yang tertangkap selama musim barat berlanjut
pada musim peralihan pertama, namun pada pertengahan musim pertama sudah
mulai ditemukan ikan lemuru. Jenis ikan lemuru mendominasi sumberdaya ikan
selama musim timur sampai menjelang akhir musim peralihan kedua, setelah itu
terjadi campuran ikan tongkol, layang, kembung, selar dan lemuru. Dari hasil uji
coba penangkapan ikan di Selat Madura oleh nelayan Situbondo menggunakan
informasi ZPPI diketahui bahwa ikan lemuru berada di Selat Madura paling lama
dibandingkan jenis ikan lain. Hasil tangkapan ini berkorelasi dengan jenis ikan
terbanyak bahkan sangat dominan yang tertangkap oleh nelayan Situbondo adalah
lemuru, diikuti oleh tongkol, layang dan kembung (Dinas Perikanan dan Kelautan
Situbondo, 2003). Hasil tangkapan oleh nelayan Situbondo, berkorelasi dengan
hasil tangkapan ikan oleh nelayan Sampang bahwa ikan pelagis kecil yang paling
banyak tertangkap adalah lemuru, tembang, selar dan kembung (Santos, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, jenis ikan yang tertangkap pada
pelaksanaan kegiatan penangkapan ikan menggunakan informasi spasial ZPPI
didukung dengan referensi diatas, dapat dilakukan pengelompokan sumberdaya
ikan di Selat Madura dalam kaitannya dengan musim sebagai berikut :
(1) Selama musim barat yaitu bulan Desember, Januari dan Februari, sumberdaya
ikan didominasi oleh tongkol, layang, kembung, dan selar.
(2) Pada bulan Maret yang merupakan bulan pertama musim peralihan pertama
yaitu bulan Maret jenis ikan didominasi oleh tongkol, layang, kembung, dan
selar, namun sudah mulai ada terdapat ikan lemuru. Pada bulan kedua musim
peralihan pertama yaitu bulan April, sumberdaya ikan sudah mulai campuran
antara tongkol, layang, kembung, selar, dan lemuru yang semakin banyak.
Pada bulan terakhir musim peralihan pertama yaitu bulan Mei, sumberdaya
ikan sudah didominasi oleh lemuru.
(3) Pada musim timur yaitu bulan Juni, Juli dan Agustus, sumberdaya ikan
didominasi oleh lemuru, sehingga alat tangkap dan pengelolaan ikan hasil
tangkapan perlu disesuaikan dengan karakteristik ikan lemuru.
(4) Pada bulan pertama musim peralihan kedua yaitu bulan September,
sumberdaya ikan masih didominasi oleh Lemuru. Jenis sumberdaya ikan pada
bulan Oktober, masih didominasi oleh ikan lemuru, namun sudah mulai
112

banyak tertangkap ikan tongkol, layang dan selar. Pada bulan terakhir musim
peralihan kedua yaitu bulan November, sumberdaya ikan sudah campuran
antara lemuru, tongkol, layang, kembung, dan selar.
Produktivitas ikan lemuru hasil tangkapan oleh nelayan Situbondo dan
Sampang berkorelasi dengan produktivitas lemuru yang tinggi di perairan Selat
Bali pada bulan April sampai dengan Oktober yang mencapai 78,5% dari total
ikan hasil tangkapan (Merta, 2003). Berdasarkan ukuran panjangnya, ikan lemuru
(sardinela longiceps) dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu : lemuru yang panjangnya
kurang dari 11 cm disebut sempenit ditemukan mulai bulan Mei/Juni dampai
September; yang panjangnya antara 11 - 15 cm disebut protolan ; dan yang
panjangnya lebih dari 15 cm disebut dengan lemuru. Lemuru di Selat Bali terdiri
dari 4 jenis yaitu sardinella longiceps, sardinella aurita, sardinella lelogaster,
dan sardinella clupeoides. Dibandingkan dengan ikan pelagis kecil lainnya,
lemuru di Selat Bali mempunyai sifat yang khusus, hidup dan berkembang di
kawasan perairan yang sempit, dan melimpah pada saat terjadi uppwelling
dengan salinitas 34 o/oo dan suhu 24,5o C. Perkembangan lemuru belum diketahu
dengan pasti, ada yang menyatakan bahwa lemuru bertelur pada akhir musim
hujan dan pada kawasan perairan dalam sehingga tidak terjangkau oleh alat
tangkap jaring. Ada yang menyatakan bahwa lemuru bertelur pada perairan pantai
atau tidak jauh dari perairan pantai karena air laut mempunyai salinitas rendah
(Merta, 2003). Uraian di atas memberikan gambaran atau dugaan bahwa ikan
lemuru bertelur pada waktu musim hujan, yang di daerah Situbondo dan
Banyuwangi terjadi sekitar pertengahan musim barat sampai bulan pertama
musim peralihan pertama. Ini berarti bahwa pada musim hasil tangkapan lemuru
melimpah, pada waktu yang sama juga terdapat sempenit dan protolan. Namun
demikian, sempenit akan ditemukan pada perairan dekat dari pantai sedangkan
protolan akan ditemukan lebih ketengah (lebih dalam).

6.1.4 Kondisi spesifik Selat Madura

Berdasarkan perhitungan SPL menggunakan data satelit penginderaan jauh


NOAA-AVHRR di Selat Madura dan sekitarnya, suhu terendah terjadi pada bulan
113

Desember dalam kisaran 26o C – 30o C. Nilai minimum dan maksimum SPL Selat
Madura berdasarkan data NOAA-AVHRR mencakup kisaran suhu hasil
pengukuran lapangan di stasiun Oyong yaitu 27,0o – 27,5o C (Santos, 2005), juga
hasil pengukuran lapangan pada beberapa lokasi di Selat Jawa dengan kisaran
suhu 28,0o – 28,82o C (Bintoro, 2002). Kandungan klorofil terendah terjadi pada
bulan Desember dengan nilai 0,1 mg/m3, sedangkan yang tertinggi terjadi pada
bulan April, Juli dan Oktober yaitu dengan nilai 1,4 mg/m3. Angin dan
gelombang yang paling besar pengaruhnya terhadap Selat Madura adalah yang
datang dari arah timur, dan menjadi kendala besar bagi kegiatan penangkapan
ikan oleh nelayan Situbondo Situbondo untuk mengakses ZPPI virtual yang
tersebar di utara, timur laut sampai timur PPI Pondok Mimbo. Arus air laut di
Selat Madura yang dominan searah dengan arah angin dengan kecepatan
maksimum 0,2 m/detik atau rata-rata 0,07 m/detik, berarti kecepatannya sangat
rendah karena bentuk Selat Madura yang semi tertutup.
Memperhatikan kedalaman perairan, kawasan yang mempunyai kedalaman
cukup untuk lapisan renang ikan pelagis (lemuru, layang, kembung, tongkol)
hanya sampai di perairan utara Pajarakan dengan kedalaman 60 m. Berdasarkan
hasil kegiatan penangkapan ikan dengan menerapkan informasi spasial ZPPI dan
hasil survei lapangan, jenis ikan yang dominan tertangkap di Selat Madura adalah
lemuru, tongkol, layang, kembung, dan selar. Komposisi hasil tangkapan
berkorelasi dengan musim yang mempengaruhi Selat Madura, sedangkan
sumberdaya ikan yang paling dominan tertangkap adalah ikan lemuru.
Beradasarkan data statistik produksi ikan tangkap ikan hasil tangkapan oleh
nelayan yang dominan adalah lemuru, layang, tongkol, kembung, dan kurisi
(Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo, 2002 -2006).

6.2 Pengaturan Alokasi Perahu/kapal Motor

Pengaturan alokasi perahu/kapal motor didasarkan pada aspek, luas zona


masing-masing PPI, jumlah perahu/kapal motor tiap PPI di wilayah Situbondo
untuk masing-masing kategori ukuran, sebaran ZPPI untuk masing-masing PPI,
dan kondisi oseanografi pada masing-masing zona PPI serta perairan sekitarnya
114

termasuk perairan sekitar Selat Madura bagian timur. Pengaturan alokasi


perahu/kapal motor dilakukan dengan menggunakan pola zona penangkapan
berbentuk lingkaran dan zona penanangkapan berbentuk sejajar garis pantai.

6.2.1 Alokasi perahu/kapal motor dalam zona penangkapan ikan berbentuk


lingkaran

Berdasarkan hasil perhitungan luas area rata-rata yang dapat diakses oleh
nelayan Situbondo (Lampiran 9.c) maka perahu/kapal motor ukuran 0 – 5 GT
mempunyai peluang mengakses area dengan luas terkecil yaitu 0,10 km2/unit,
zona 5 – 10 GT mempunyai luasan 0,68 km2/unit, perahu/kapal motor dengan
kategori ukuran 10 – 20 GT berpeluang mengakses area paling luas yaitu 2,73
km2/unit. Dari hasil perhitungan luas perairan yang diperlukan untuk kegiatan
penangkapan ikan berdasarkan rata-rata luas operasi penangkapan dikalikan
jumlah perahu/kapal motor (Lampiran 9.d), dapat diketahui bahwa perahu/kapal
motor PPI Tanjung Pecinan dengan kategori ukuran 10 -20 GT memerlukan area
penangkapan paling luas yaitu 1.076,85 km2. Kondisi ini cukup beralasan karena
berdasarkan parbandingan jumlah perahu/kapal motor yang ada di masing-masing
PPI (Lampiran 9.a) maka PPI Tanjung Pecinan mempunyai jumlah perahu/kapal
motor dengan kategori ukuran 10 – 20 GT paling banyak yaitu 394 unit,
dibandingkan PPI Besuki yang hanya mempunyai 21 unit dan PPI Pondok Mimbo
mempunyai 109 unit.
Dengan memperhatikan area yang diperlukan untuk kegiatan penangkapan
ikan pada setiap zona penangkapan berdasarkan luas rata-rata yang diperlukan
untuk kegiatan penangkapan dan kategori perahu/kapal motor dibandingkan area
yang ada pada masing-masing PPI, diketahu bahwa:
a. PPI Besuki kekurangan area penangkapan seluas 14,85 km2 dalam zona 4 – 10
km, yaitu dalam zona penangkapan ikan oleh perahu/kapal motor pada
kategori ukuran 5 – 10 GT.
b. PPI Tanjung Pecinan kekurangan area penangkapan paling luas (kritis) yaitu
508,60 km2 pada zona 10 – 20 km untuk penangkapan ikan oleh perahu/kapal
motor 10 – 20 GT, juga pada zona untuk penangkapan ikan oleh nelayan
115

tradisional (perahu/kapal motor < 5 GT), karena kekurangan area


2
penangkapan seluas 24,74 km .
c. PPI Pondok Mimbo akan mengalami kondisi kritis pada zona penangkapan 4
– 10 km, karena kekurangan luas penangkapan 90,41 km2 yang berkorelasi
dengan jumlah perahu/kapal motor terbanyak yang mempunyai ukuran 5 – 10
GT yaitu 312 unit.
Dalam upaya pemerataan hasil tangkapan ikan oleh nelayan di Kabupaten
Situbondo perlu dilakukan kerjasama penangkapan oleh perahu/kapal motor dari
masing-masing PPI, terutama menata kerjasama realokasi perahu/kapal motor
antar PPI untuk mencegah terjadinya konflik antar nelayan, baik antar PPI asal
nelayan atau antar nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor berbeda
ukuran. Dengan memperhatikan hasil perhitungan area yang dibutuhkan dan yang
tersedia untuk kegiatan penangkapan ikan pada masing-masing PPI (Lampiran 9.d
dan 9.e), hasil perhitungan jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima untuk
melakukan kerjasama penangkapan ikan pada PPI bersangkutan atau yang
seharusnya direlokasi untuk melakukan kerjasama penangkapan ikan di PPI
sekitarnya, dibuat skenario sebagaimana dinyatakan pada Tabel 20 berikut.

Tabel 20 Skeario jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima dari PPI lain
atau perahu/kapal motor setempat yang harus direlokasi melakukan
kerjasama penangkapan ke PPI sekitarnya
Skenario Jumlah Perahu/Kapal Motor yang Diterima dari PPI
Kategori lain atau Direlokasi ke PPI Sekitarnya.
Perahu/Kapal Besuki Tanjung Pecinan Pondok Mimbo
Motor (GT) Terima Relokasi Terima Relokasi Terima Relokasi
107 - - 241 134 -
<5
- 22 156 - - 134
5 - 10
130 - - 186 56
10 - 20

6.2.2 Alokasi perahu/kapal motor dalam zona penangkapan ikan sejajar


garis pantai

Berdasarkan hasil perhitungan area untuk tiap unit perahu/kapal motor yang
diperoleh dari hasil pembagian luas masing-masing zona terhadap jumlah
perahu/kapal motor untuk setiap kategori yang beroperasi pada zona
116

bersangkutan, dapat diperoleh perbedaan luas perairan yang dapat diakses oleh
tiap kategori perahu/kapal motor pada masing-masing PPI (Lampiran 10.a).
Dengan dasar hasil perhitungan luas rata-rata yang dapat diakses oleh setiap
kategori perahu/kapal motor di Situbondo, diperoleh luas perairan yang diperlu-
kan untuk kegiatan penangkapan ikan pada masing-masing PPI (Lampiran 10. c).
Selanjutnya berdasarkan perhitungan selisih antara luas zona dikurangi luas yang
diperlukan untuk kegiatan penangkapan ikan bagi masing-masing kategori
perahu/kapal motor, diketahui bahwa :
a. PPI Besuki mengalami kekurangan area penangkapan seluas 84,63 km2,
sehingga berada dalam kondisi kritis dan berpeluang terjadi konflik perebutan
lokasi penangkapan antar nelayan setempat.
b. PPI Tanjung Pecinan, mengalami kondisi sangat kritis dan berpeluang konflik
tinggi pada zona penangkapan 10 – 20 km karena kekurangan area
penangkapan seluas 863,26 km2, juga pada zona penangkapan < 5 km karena
kekurangan area penangkapan seluas 160,16 km2.
c. PPI Pondok Mimbo, dalam kondisi aman karena luas zona untuk semua
kategori melebihi luas yang diperlukan untuk penangkapan ikan.
Dengan memperhatikan hasil perhitungan area yang dibutuhkan dan tersedia
untuk kegiatan penangkapan pada masing PPI (Lampiran 10.c dan 10.d) dan hasil
perhitungan jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima melakukan kerjasama
penangkapan pada PPI bersangkutan atau perahu/kapal motor setempat yang
seharusnya direlokasi untuk melakukan kerjasama penangkapan ikan di PPI
sekitarnya, dibuat skenario sebagaimana dinyatakan pada Tabel 21 berikut.

Tabel 21 Skenario jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima atau direlokasi
melakukan kerjasama penangkapan ke PPI sekitarnya dengan pola
pengaturan sejajar garis pantai
Skenario Jumlah Perahu/Kapal Motor yang Diterima dari PPI
Kategori lain atau Direlokasi ke PPI Sekitarnya.
Perahu/Kapal Besuki Tanjung Pecinan Pondok Mimbo
Motor (GT) Terima Relokasi Terima Relokasi Terima Relokasi
17 - - 241 224 -
<5
- 65 47 - 18 -
5 - 10
120 - - 293 173 -
10 - 20
117

6.2.3 Alternatif bentuk zona penangkapan

Pembagian zona penangkapan berdasarkan ukuran perahu/kapal motor ini


dapat dipergunakan sebagai sarana pengendalian mencegah overfishing untuk
kelestarian sumberdaya ikan di perairan Kabupaten Situbondo dan Selat Madura,
untuk kesinambungan usaha penangkapan ikan dan kesejahteraan nelayan
Situbondo. Pengaturan zona penangkapan ikan berdasarkan jarak dari garis pantai
lebih memungkinkan untuk diterapkan, terutama dalam upaya melindungi nelayan
yang menggunakan perahu/kapal motor ukuran kecil (nelayan tradisionil) yang
jumlahnya sangat banyak. Hasil analisis menunjukkan bahwa :
a. PPI Besuki berpeluang menerima perahu/kapal motor ukuran 10 - 20 GT dari
PPI Tanjung Pecinan sebanyak 120 unit, sebaliknya zona penangkapan ikan
untuk perahu motor ukuran 5 – 10 GT sudah melebihi daya dukung luas
perairan sehingga diarahkan melakukan relokasi sebanyak 65 unit ke PPI
diantaranya 47 unit ke zona penangkapan PPI Tanjung Pecinan.
b. Perahu motor Tanjung Pecinan ukuran < 5 GT sudah melebihi daya tampung
zona penangkapannya sehingga harus dilakukan relokasi melalui kerjasama
penangkapan yaitu 224 unit ke zona Pondok Mimbo dan 17 unit ke zona
Besuki. Begitu juga perahu/kapal motor ukuran 10 – 20 GT sudah melebihi
daya dukung zona penangkapannya, sehingga 120 unit direlokasi melakukan
bekerjasama penangkapan dengan nelayan lokal dari PPI Besuki dan 173 unit
melakukan kerjasama penangkapan dengan nelayan Pondok Mimbo.
c. PPI Pondok Mimbo dengan zona penangkapan yang paling luas mempunyai
peluang menerima perahu/kapal motor dari PPI sekitarnya untuk semua
kategori perahu/kapal motor untuk melakukan kerjasama penangkapan dalam
zona PPI Pondok Mimbo.

6.3 Pengaturan Pola Kegiatan Penangkapan Ikan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada musim timur, kecepatan angin di


perairan Selat Madura dan sekitarnya kadang-kadang di atas 17 knot dan
ketinggian gelombang di atas 1,5 meter yang sangat menghambat kegiatan
penangkapan ikan. Angin dan gelombang tersebut mempunyai dampak yang
118

berbeda-beda terhadap kegiatan penangkapan oleh nelayan dari PPI yang ada di
Situbondo. Kegiatan penangkapan ikan di sekitar PPI Pondok Mimbo yang
berlokasi di sisi timur dari Situbondo khususnya di perairan sebelah timur laut
hingga tengara Pondok Mimbo mengalami hambatan angin dan gelombang paling
besar, sebaliknya nelayan dari Besuki yang terletak di sisi paling barat mengalami
dampak paling kecil. Kondisi ini mengakibatkan, kegiatan penangkapan ikan oleh
nelayan Pondok Mimbo lebih pendek dibandingkan waktu efektif penangkapan
ikan oleh nelayan dari PPI Besuki. Terlebih lagi nelahan Besuki dan Tanjung
Pecinan banyak yang menggunakan perahu/kapal motor ukuran di atas 20 GT,
sehingga mampu menempuh jarak lebih jauh dan lebih tahan mengadapi
hambatan angin dan gelombang di musim timur.
Dalam upaya mendukung peningkatan produktivitas perikanan tangkap
Kabupaten Situbondo, dilakukan analisis sebaran ZPPI bulanan dan arahan
pengaturan zona penangkapan ikan di Selat Madura dan perairan sekitarnya.
Pengaturan zona penangkapan ikan bulanan bagi nelayan Situbondo mengacu
pada pembagian wilayah penelitian menjadi 3 zona yaitu wilayah PPI Besuki, PPI
Tanjung Pecinan, dan PPI Pondok Mimbo. Pembahasan pengaturan zona
penangkapan ikan bulanan ini juga termasuk pengaturan kerjasama antar 3 PPI
yang ada di Kabupaten Situbondo serta kerjasama masing-masing PPI tersebut
dengan PPI dari kabupaten sekitarnya khususnya kabupaten Probolinggo,
Sampang, Pamekasan, Sumenep dan Banyuwangi.

6.3.1 Pengaturan pola kegiatan penangkapan bagi nelayan Besuki

Dari segi peluang untuk melakukan penangkapan sepanjang tahun, nelayan


Besuki mempunyai keuntungan dibandingan nelayan dari PPI Tanjung Pecinan
dan PPI Pondok Mimbo karena PPI Besuki terlatak pada posisi paling barat
sehingga menghadapi hambatan angin dan gelombang musim timur paling kecil
dibandingkan PPI lainnya yang berada di sisi timur Selat Madura. Demikian juga
pada saat musim barat, perairan sekitar Besuki terkena pengaruh angin dan
gelombang musim barat paling kecil karena kecepatan gerakan merambat massa
air dari arah barat dan timur sudah mempunyai kecepatan yang rendah. Jika
119

ditinjau dari segi geografis dan peluang untuk melakukan kegiatan penangkapan
ikan maka posisi PPI Besuki paling strategis, karena punya peluang melakukan
kegiatan penangkapan dalam zona Besuki dan melakukan kerjasama penangkapan
dengan nelayan Probolinggo dan Pamekasan sepanjang tahun. Namun demikian,
nelayan Besuki mempunyai kelemahan dari segi efisienai jika harus melakukan
penangkapan pada ZPPI di sisi timur Selat Madura khususnya disekitar PPI
Pondok Mimbo, dan perairan mulai sebelah selatan Sumenep sampai Kangean.
Melalui kerjasama operasional penangkapan ikan maka nelayan dari PPI Besuki
berpeluang mengakses ZPPI virtual jauh lebih banyak dibandingkan dalam PPI
Besuki sendiri (Lampiran 12.1).
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Besuki selama bulan Desember
diarahkan pada 4 unit spasial dalam kelas sedang dan padat yang berada di
sebelah utara Besuki mulai dari perairan pantai sampai di atas zona 20 km antara
Besuki dan Pamekasan, serta di timur laut Besuki di atas zona 20 km. Dalam
memanfaatkan ZPPI di Selat Madura, nelayan Besuki yang menggunakan
perahu/kapal motor diatas 20 GT dapat diarahkan melakukan kerjasama
penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam 2 unit spasial dengan kategori rendah
di sebelah utara Probolinggo, sebelah barat laut Tanjung Pecinan dengan kategori
rendah, serta sebaran ZPPI virtual di sebelah utara, timur laut hingga timur
Pondok Mimbo dalam kategoti rendah dan sedang. Disamping melakukan
kerjasama dengan nelayan dari PPI di Situbondo, nelayan Besuki yang
menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT juga diarahkan untuk melakukan
kerjasama penangkapan pada ZPPI virtual dalam 2 unit spasial dengan kategori
rendah dan sedang di sebelah selatan dan timur laut PPI Dungke (Sumenep).
Nelayan tidak disarankan melakukan penangkapan di Laut Jawa pada unit spasial
antara utara Sumenep sampai utara Pulau Raas pada kelas rendah dan sedang.
ZPPI sekitar PPI Besuki pada bulan Januari mengalami pergeseran
dibandingkan sebelumnya. Nelayan Besuki diarahkan melakukan penangkapan
mengakses ZPPI dalam 2 unit spasial dengan kelas sedang dan 1 unit spasial kelas
rendah di sebelah utara Besuki mulai dari perairan dekat pantai sampai di atas 20
km. Disamping mengakses ZPPI dalam zona PPI Besuki sendiri, nelayan juga
diarahkan melakukan kerjasama penangkapan pada ZPPI virtual dalam 2 unit
120

spasial dengan kelas sedang di antara barat laut Paiton dan timur laut Pamekasan.
Nelayan dengan perahu/kapal motor diatas 20 GT juga diarahkan melakukan
kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual pada unit spasial pada zona di
atas 20 km yang tersebar antara utara hingga timur laut Pondok Mimbo dengan
kategori kelas rendah dan sedang. Nelayan Besuki dengan perahu/kapal motor
ukuran diatas 20 GT juga diarahkan bekerjasama mengakses ZPPI virtual pada 3
unit spasial dengan kelas rendah di antara utara Pamekasan dan pulau Raas,
Memperhatikan perubahan sebaran ZPPI pada bulan Februari, pola kegiatan
penangkapan ikan juga harus disesuaikan dengan perubahan sebaran ZPPI
dibandingkan bulan sebelumnya. Nelayan Besuki dengan perahu/kapal motor
sampai ukuran 10 GT diarahkan pada ZPPI dalam 2 unit spasial dengan kelas
sedang di utara dan sisi barat laut PPI Besuki, sementara nelayan dengan
perahu/kapal motor antara 10 – 20 GT diarahkan melakukan kerjasama
mengakses ZPPI pada unit spasial dengan kelas sedang di barat laut Paiton.
Nelayan dengan perahu/kapal motor di atas 20 GT disamping diarahkan
mengakses ZPPI pada unit spasial dengan kelas rendah juga diarahkan mengakses
ZPPI virtual pada 2 unit spasial dengan kelas sedang di barat laut Paiton. Nelayan
Besuki tersebut, juga diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses
ZPPI virtual dengan kategori kelas sedang sampai sangat padat di utara dan timur
laut PPI Pondok Mimbo. Disamping melakukan kerjasama penangkapan di
perairan Selat Madura, nelayan Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor di
atas 20 GT juga diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI
virtual pada unit spasial dengan kelas sedang di perairan Laut Jawa sebelah utara
Sumenep dan pulau Raas.
Kegiatan penangkapan ikan pada bulan Maret berpeluang mendapatkan
hasil tangkapan lebih baik karena sebaran ZPPI mengalami perluasan
dibandingkan sebelumnya. Nelayan dengan perahu/kapal motor sampai 20 GT
diarahkan melakukan penangkapan mengakses ZPPI pada 2 unit spasial kelas
rendah di utara Besuki dalam zona 20 km, sementara nelayan yang menggunakan
perahu/kapal motor di atas 20 GT diarahkan mengakses 2 ZPPI lainnya di atas
zona 20 km, masing-masing dengan kelas rendah dan sangat padat. Nelayan
Besuki dengan perahu motor di bawah 20 GT juga dapat diarahkan melakukan
121

kerjasama penangkapan mengakses 1 ZPPI virtual kelas sedang di utara


Probolinggo, serta mengakses ZPPI virtual kelas rendah dan sedang dalam zona
penangkapan ikan Pondok Mimbo. Disamping itu, nelayan Besuki dengan
perahu/kapal motor di atas 20 GT dapat juga diarahkan melakukan kerjasama
penangkapan mengakses ZPPI virtual dengan kelas yang bervariasi mulai rendah
sampai sedang di perairan Laut Jawa sebelah utara pulau Sampang sampai timur
laut pulau Raas .
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Besuki pada bulan April
mengalami peningkatan dibandingkan sebelumnya. Kondisi ini ditandai dengan
semakin meluasnya sebaran ZPPI dalam zona PPI Besuki sendiri, baik dalam zona
20 km untuk nelayan sampai 20 GT maupun zona di atas 20 km untuk nelayan di
atas 20 GT. Nelayan Besuki dengan perahu motor sampai 20 GT diarahkan
mengakses ZPPI dalam 2 unit spasial dengan kelas sedang sampai padat. Nelayan
dengan perahu/kapal motor di atas 20 GT diarahkan mengakses ZPP dalam 3 unit
spasial dengan kelas rendah dan padat antara Besuki dan Pamekasan. Disamping
itu, nelayan tersebut juga diarahkan melakukan kerjasama mengakses sebaran
ZPPI virtual dengan kelas rendah sampai padat antara timur laut Tanjung Pecinan
hingga timur Pondok Mimbo. Nelayan Besuki dengan perahu motor di atas 20 GT
juga diarahkan melakukan kerjasama penangkapan ikan mengakses sebaran ZPPI
virtual pada unit spasial dengan kelas rendah dan sedang di perairan Laut Jawa
bagian timur antara utara Sampang sampai utara pulau Sepudi.
Kegiatan penangkapan ikan pada bulan Mei akan mendapatkan hasil
tangkapan lebih rendah dibandingkan bulan April, ditandai dengan berkurangnya
sebaran ZPPI di perairan sekitar PPI Besuki. Nelayan Besuki dengan perahu
motor sampai 20 GT berpeluang melakukan penangkapan pada ZPPI dalam 2 unit
spasial kelas sedang di utara PPI Besuki. Dalam upaya meningkatkan hasil
tangkapan maka nelayan Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor 20 GT ke
atas diarahkan melakukan kerjasama penangkapan pada 3 arah, yaitu mengakses
ZPPI virtual dalam unit spasial kelas rendah di barat laut Paiton, mengakses ZPPI
virtual pada unit spasial kelas padat di utara Tanjung Pecinan, dan mengakses
ZPPI virtual dalam unit spasial kelas rendah sampai sedang yang tersebar mulai
sebelah utara hingga timur Pondok Mimbo. Nelayan Besuki yang menggunakan
122

perahu/kapal motor di atas 20 GT juga diarahkan melakukan kerjasama


penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial kelas rendah sampai
sedang di perairan Laut Jawa bagian timur mulai sebelah utara Sampang sampai
utara pulau Raas.
Perairan Selat Madura pada bulan Juni sudah mulai dipengaruhi oleh angin
dari arah timur dan tenggara. Gejala tersebut menyebabkan adanya pergeseran
ZPPI ke arah barat dan utara sehingga sebaran ZPPI yang dapat dijadikan sasaran
kegiatan penangkapan mengalami pergeseran ke arah utara, namun hanya
memberikan peluang bagi nelayan dengan perahu/kapal motor di atas 20 GT yang
mampu mengakses ZPPI tersebut. Nelayan dengan perahu/kapal motor dibawah
20 GT sulit untuk mengakses ZPPI di utara Besuki karena jaraknya terlalu jauh,
sehingga lebih baik diarahkan bekerjasama mengakses ZPPI dalam unit spasial
kelas padat di barat laut Paiton. Nelayan Besuki dengan perahu motor di atas 20
GT diarahkan melakukan kerjasama penangkapan pada ZPPI virtual pada 4 unit
spasial dengan kelas sedang dan padat di perairan dalam zona di atas 20 km antara
utara Besuki dan Probolinggo dengan Besuki. Jika kondisi angin dan gelombang
memungkinkan untuk kegiatan penangkapan ikan, nelayan Besuki dapat
diarahkan melakukan kerjasama mengakses sebaran ZPPI virtual pada unit spasial
dengan kelas rendah dan sedang di utara, timur laut sampai timur Pondok Mimbo.
Sebagian dari nelayan Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor di atas 20
GT dapat melakukan kerjasama penangkapan ikan dengan nelayan lokal
mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial dengan kelas rendah dan sedang di
perairan Laut Jawa bagian timur antara utara Sampang dan Sumenep.
Pada bulan Juli, angin dan gelombang dari arah timur dan tenggara dengan
frekuensi yang semakin meningkat, terus mendorong pergerakan massa air dari
arah timur. Terjadi peningkatan sebaran ZPPI dalam zona PPI Besuki, sehingga
nelayan dengan perahu/kapal motor sampai ukuran 20 GT berpeluang mengakses
ZPPI dalam unit spasial kelas sedang di sisi barat laut dan timur laut PPI Besuki
dalam zona 20 km. Nelayan Besuki juga masih mempunyai peluang
meningkatkan hasil tangkapannya melalui kerjasama penangkapan mengakses
ZPPI virtual dalam unit spasial kelas sangat padat di barat laut Paiton. Walaupun
terdapat ZPPI virtual sampai sisi barat laut Probolinggo, namun hasil
123

tangkapannya kemungkinan berupa ikan yang kurang ekonomis. Dalam upaya


mengakses ZPPI yang ada di Selat Madura, nelayan diarahkan melakukan
kerjasama dengan nelayan dari PPI Tanjung Pecinan dan nelayan dari Pulau
Madura. Nelayan diarahkan melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual dalam
unit spasial kelas rendah sampai padat yang sersebar mulai timur laut Tanjung
Pecinan sampai utara Pondok Mimbo. Di sebelah timur Pondok Mimbo terdapat
sebaran ZPPI virtual yang luas, namun nelayan harus memperhatikan kondisi
angin dan gelombang jika akan mengakses ZPPI tersebut. Nelayan Besuki
dengan perahu/kapal motor diatas 20 GT juga dapat memperluas wilayah
penangkapannya melalui kerjasama dengan nelayan lokal mengakses ZPPI virtual
dengan kelas rendah dan sedang yang tersebar dari sebelah utara Sampang dampai
utara pulau Raas.
Angin timur yang dominan pada bulan Agutus, mendorong sebaran ZPPI di
sebelah utara Besuki bergeser ke utara, yaitu pada perairan di atas 20 km. Jika
dibandingkan dengan bulan sebelumnya maka jumlah ZPPI dalam zona PPI
Besuki yang dapat diakses oleh nelayan Besuki sendiri mengalami penurunan.
Kondisi ini akan menyulitkan bagi nelayan Besuki karena ZPPI yang harus
diakses berada pada jarak yang agak jauh. Nelayan Besuki dengan perahu/kapal
motor ukuran di atas 20 GT diarahkan melakukan kerjasama dengan nelayan
Probolinggo, Sampang dan Pamekasan mengakses ZPPI dalam 3 unit spasial
kelas jarang dan padat di sebelah utara sampai timur laut Besuki, sedang ZPPI
dalam unit spasial kelas sedang di sisi timur PPI Besuki dialokasikan untuk
nelayan dengan perahu motor sampai 20 GT. Nelayan Besuki dengan perahu
motor di atas 20 GT diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses
sebaran ZPPI virtual dalam kelas yang bervariasi mulai rendah sampai padat di
perairan sebelah utara sampai sebelah timur PPI Pondok Mimbo, namun
kemungkinan agak sulit bahkan tidak mungkin mengakses ZPPI virtual tersebut
karena pengaruh angin dan gelombang yang sangat kuat. Nelayan dengan
perahu/kapal motor di atas 20 GT dapat juga diarahkan melakukan kerjasama
penangkapan di perairan Laut Jawa mengakses sebaran ZPPI virtual dalam unit
spasial kelas rendah dan sedang yang ada di utara Sumenep sampai pulau Raas.
124

Kegiatan penangkapan ikan pada bulan September harus disesuaikan dengan


perubahan sebaran ZPPI yang masih dipengaruhi oleh angin timur, sehingga ZPPI
dalam zona PPI Besuki yang dapat dijadikan sasaran penangkapan ikan berada
dalam zona di atas 20 km. Nelayan dengan perahu/kapal motor sampai 20 GT
masih berpeluang mengakses ZPPI dalam unit spasial dengan kelas padat yang
terdapat di utara Besuki, serta melakukan kerjasama mengakses ZPPI dalam unit
spasial kelas sedang timur laut PPI Besuki. Nelayan juga diarahkan melakukan
kerjasama penangkapan ikan mengakses ZPPI virtual dalam 2 unit spasial kelas
padat di antara utara Probolinggo dan selatan Pamekasan. Nelayan Besuki juga
dapat diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual
dalam unit spasial kelas rendah sampai padat di timur laut Tanjung Pecinan dan
utara Pondok Mimbo. Memperhatikan frekuensi serta kecepatan angin dan
gelombang, belum memungkinkan mengarahkan nelayan untuk melakukan
penangkapan pada sebaran ZPPI dalam unit spasial virtual kelas rendah sampai
padat mulai timur sampai timur laut Pondok Mimbo. Nelayan Besuki yang
menggunakan perahu/kapal motor ukuran di atas 20 GT dapat juga melakukan
kerjasama penangkapan di perairan Laut Jawa bagian timur khususnya
memperluas zona penangkapannya pada ZPPI virtual dalam unit spasial kelas
rendah sampai sedang antara utara Sumenep sampai utara pulau Raas.
Kegiatan penangkapan ikan pada bulan Oktober yang merupakan bulan
kedua dari musim peralihan kedua harus disesuaikan dengan pergeseran ZPPI
yang menguntungkan bagi nelayan Besuki. Peluang untuk meningkatkan hasil
tangkapan ikan bagi nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor sampai 20
GT kembali terbuka dengan adanya ZPPI dalam unit spasial kelas sedang di sisi
barat laut dan timur laut PPI Besuki, serta melakukan kerjasama penangkapan
ikan dengan nelayan Probolinggo mengakses ZPPI dalam unit spasial kelas
rendah di utara barat laut Paiton. Berdasarkan sebaran ZPPI, nelayan dapat
memperluas wilayah penangkapannya lebih ke barat lagi dan mempunyai peluang
hasil tangkapan cukup tinggi, tetapi kemungkinan mendapatkan ikan tangkapan
yang kurang ekonomis. Nelayan Besuki dengan perahu motor di atas 20 GT dapat
diarahkan melakukan kerjasama penangkapan ikan menagkses ZPPI dalam unit
spasial kelas sedang antara timur laut Tanjung Pecinan dan utara Pondok Mimbo.
125

Karena pengaruh angin timur di perairan bagian timur Selat Madura sudah
menurun maka nelayan Besuki dapat diarahkan melakukan kerjasama
penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam sebaran unit spasial kelas rendah
sampai padat yang tersebar mulai timur laut sampai timur Pondok Mimbo.
Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor di atas 20 GT juga dapat
diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam unit
spasial kelas rendah dan sedang di sebelah di perairan Laut Jawa bagian timur
antara utara Pamekasan sampai utara pulau Raas.
Berdasarkan informasi spasial ZPPI pada bulan November, kegiatan
penangkapan ikan oleh nelayan Besuki berpeluang mendapatkan hasil lebih baik
dan dapat dilakukan secara lebih efisien. Kondisi ini berpeluang memberikan
peluang baik bagi nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor sampai ukuran
20 GT mengakses ZPPI dalam 3 unit spasial kelas rendah dan sedang di utara
Besuki, dan melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial
kelas rendah di sebelah utara Probolinggo. Nelayan Besuki yang menggunakan
perahu/kapal motor di atas 20 GT mempunyai peluang diarahkan bekerjasama
mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial kelas padat di utara Probolinggo,
antara Besuki dan pamekasan, timur laut Tanjung Pecinan, serta ZPPI virtual
dalam 2 unit spasial kelas rendah dan sedang di utara Pondok Mimbo, serta ZPPI
virtual dalam unit spasial kelas rendah sampai padat mulai timur laut hingga timur
Pondok Mimbo. Nelayan dari PPI Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor
ukuran di atas 20 GT juga dapat diarahkan bekerjasama mengakses ZPPI virtual
dalam unit spasial kelas rendah hingga sedang antara utara Sumenep sampai Raas.

6.3.2 Pengaturan pola kegiatan penangkapan ikan bagi nelayan


Tanjung Pecinan

Zona penangkapan ikan PPI Tanjung Pacinan yang terletak di antara Besuki
di sebelah barat dan Pondok Mimbo di sebelah timurnya, secara geografis sangat
menguntungkan karena merupakan lintasan migrasi ikan baik dari arah timur
maupun perjalanan kembali dari arah barat. Dari segi peluang untuk melakukan
penangkapan sepanjang tahun, nelayan Tanjung Pecinan juga mempunyai
126

keuntungan karena pengaruh angin musim timur tidak terlalu kuat dibandingkan
PPI Pondok Mimbo. Zona PPI Tanjung Pecinan juga tidak terkena pengaruh angin
dan gelombang musim barat karena kecepatan gerakan merambat massa sudah
berkurang setelah melalui bagian barat dan timur dari Selat Madura. Karena
secara segi geografis PPI Tanjung Pecinan terletak di tengah, mempunyai peluang
melakukan kerjasama penangkapan ikan ke beberapa arah yaitu ke arah barat
bekerjasama mengakses ZPPI virtual dalam zona Besuki, Probolinggo, ke arah
utara melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual di selatan Pamekasan,
kesebelah timur dan timur laut bekerjasama mengakses ZPPI virtual dalam zona
penangkapan nelayan Pondok Mimbo dan Sumenep. Nelayan Tanjung Pecinan
juga berpeluang bersama nelayan Besuki melakukan kerjasama dengan nelayan
Pamekasan, Sumenep, Raas dan Kangean melakukan penangkapan di Laut Jawa.
Berdasarkan sebaran ZPPI di Selat Madura dan sekitarnya pada bulan
Desember, kegiatan penangkapan ikan diarahkan pada ZPPI dalam unit spasial
kelas rendah di sebelah barat laut PPI Tanjung Pecinan. Nelayan Tanjung Pecinan
yang menggunakan perahu/kapal motor 10 - 20 GT dapat memperluas wilayah
penangkapannya melalui kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam
unit spasial di utara Besuki sampai Probolinggo. Nelayan dengan perahu motor
diatas 20 GT dapat diarahkan ke sisi timur Selat Madura melakukan kerjasama
dengan nelayan Besuki mengakses ZPPI virtual di sebelah utara, timur laut hingga
timur Pondok Mimbo di luar zona 20 km. Nelayan Tanjung Pecinan yang
menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT juga diarahkan untuk bersama
nelayan Besuki melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial
di sebelah selatan dan tenggara PPI Dungke (Sumenep), dan tidak diarahkan
melakukan penangkapan di Laut Jawa pada unit spasial antara utara Sumenep
sampai utara Pulau Raas karena kondisi angin barat.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan
Januari, hanya berpeluang diarahkan pada ZPPI dalam unit spasial kelas sedang di
sebelah timur laut PPI Tanjung Pecinan sendiri. Dalam usaha meningkatkan
produktivitas hasil tangkapan ikan, nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan
perahu/kapal motor 10 – 20 GT dibagi menjadi 2 kelompok yaitu diarahkan ke
barat melakukan kerjasama penangkapan pada ZPPI virtual dalam zona PPI
127

Besuki dan melakukan penangkapan bersama pada ZPPI virtual di perairan utara
Pajarakan, serta ke arah timur mengakses ZPPI dalam unit spasial di sisi barat laut
Pondok Mimbo. Nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal
motor diatas 20 GT juga dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu ke arah barat dan
barat laut mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di atas zona 20 km melalui
kerjasama dengan nelayan Besuki, Probolinggo dan Pamekasan, sedangkan
kelompok lainnya diarahkan ke arah timur mengakses ZPPI virtual dalam unit
spasial yang tersebar antara utara hingga timur laut Pondok Mimbo. Prospek
penangkapan ikan di Laut Jawa bagian timur kurang baik, ditandai dengan
rendahnya ZPPI virtual di sebelah utara Sumenep hingga utara Pulau Raas.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan
Februari harus diarahkan pada ZPPI dalam 2 unit spasial masing-masing kelas
rendah dan sedang di utara PPI Tanjung Pecinan sendiri. Nelayan dengan
perahu/kapal motor 10 – 20 GT dapat diarahkan melakukan kerjasama mengakses
ZPPI virtual dalam unit spasial kelas sedang di utara Pondok Mimbo, juga
melakukan bekerjasama penangkapan pada ZPPI virtual kelas sedang dalam zona
PPI Besuki. Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT
diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan kerjasama dengan nelayan lokal
mengakses ZPPI virtual di perairan utara Probolinggo dan selatan Pamekasan.
Nelayan Tanjung Pecinan tersebut bersama nelayan Besuki,selain diarahkan
melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di
utara dan timur laut Pondok Mimbo, juga diarahkan bekerjasama dengan nelayan
lokal mengakses ZPPI dalam unit spasial di perairan Laut Jawa sebelah utara
Sumenep sampai utara Pulau Raas.
Pola kegiatan penangkapan ikan dalam zona PPI Tanjung Pecinan pada
bulan Maret relatif sama dengan bulan sebelumnya. Nelayan Tanjung Pecinan
yang menggunakan perahu/kapal motor dibawah 20 GT berpeluang diarahkan
melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di
utara Besuki. Nelayan yang meggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT,
diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual
pada zona diatas 20 km di utara Besuki sampai utara Probolinggo dan di timur
laut Pamekasan, juga mengakses ZPPI virtual dalam zona di atas 20 km sebelah
128

utara sampai timur laut Pondok Mimbo dan tenggara Sumenep. Nelayan juga
diarahkan bersama dengan nelayan Besuki, melakukan kerjasama penangkapan
ikan pada ZPPI virtual di perairan Laut Jawa bagian timur antara utara Sampang
sampai utara Pulau Sepudi.
Pada bulan April, kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan
mulai dari nelayan tradisional sampai yang menggunakan perahu/kapal motor
diatas 20 GT berpeluang mendapatkan hasil lebih banyak dari sebelumnya karena
terjadinya peningkatan sebaran ZPPI pada 3 unit spasial di sekitar Tanjung
Pecinan dengan kelas sedang sampai padat. Nelayan tradisionil dan yang
menggunakan perahu/kapal motor sampai 10 GT dapat diarahkan ke unit spasial
sebelah barat dan barat laut PPI Tanjung Pecinan, serta bekerjasama dengan
nelayan Besuki. Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT
diarahkan mengakses ZPPI dalam unit spasial kategori padat di utara Tanjung
Pecinan. Untuk meningkatkan hasil tangkapannya, nelayan Tanjung Pecinan
diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan kerjasama penangkapan pada ZPPI
virtual yang ada di dalam zona PPI Besuki, Probolinggo dan Pamekasan. Nelayan
yang akan melakukan penangkapan ke arah timur diarahkan bekerjasama dengan
nelayan dari Pondok Mimbo dan Sumenep agar dapat mengakses ZPPI virtual
antara timur laut Tanjung Pecinan hingga timur laut Pondok Mimbo. Disamping
itu, untuk memanfaatkan ZPPI virtual di sisi utara Selat Madura, nelayan dengan
perahu/kapal motor diatas 20 GT diarahkan bersama nelayan Besuki bekerjasama
dengan nelayan lokal mengakses ZPPI virtual antara selatan Sumenep hingga
selatan Pulau Raas, juga pada ZPPI virtual di perairan Laut Jawa bagian timur
antara utara Sumenep sampai utara Pulau Sepudi.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan Mei,
harus dilakukan perubahan lokasi karena sebaran ZPPI bergeser lebih ke utara
diatas zona 20 km. ZPPI untuk nelayan tradisional yang pada bulan sebelumnya
berada di sebelah barat sampai barat laut Tanjung Pecinan sudah tidak ada lagi.
Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor 10 – 20 GT diarahkan
melakukan kerjasama penangkapan pada 2 arah yaitu ke arah barat melakukan
kerjasama mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di utara Besuki, yang
lainnya ke arah timur mengakses ZPPI di sisi barat Pondok Mimbo. Nelayan
129

Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT diarahkan


bekerjasama dengan nelayan Besuki dan Probolinggo mengakses ZPPI virtual di
utara Probolinggo sampai selatan Pamekasan, juga mengakses ZPPI virtual antara
utara Pondok Mimbo hingga selatan Sumenep dan Pulau Raas. Nelayan dapat
juga diarahkan untuk melakukan penangkapan ikan bersama nelayan Besuki
bekerjasama dengan nelayan lokal mengakses ZPPI virtual yang tersebar antara
utara Sampang dan Sumenep.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan Juni
kembali mengalami perubahan dibandingkan sebelumnya. Nelayan yang
menggunakan perahu/kapal motor sampai ukuran 10 GT melakukan kegiatan
penangkapan ikan pada perairan sebelah timur laut Tanjung Pecinan sendiri,
sementara nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor 10 – 20 GT diarahkan
melakukan penangkapan ikan pada ZPPI sebelah barat laut PPI Tanjung Pecinan.
Nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT
dapat diarahkan bekerjasama mengakses ZPPI virtual antara timur laut Besuki dan
barat laut Tanjung Pecinan serta di utara Besuki. Nelayan Tanjung Pecinan juga
diarahkan melakukan kerjasama penangkapan ikan dengan nelayan Besuki dan
Probolinggo mengakses ZPPI virtual dalam zona di atas 20 km di utara
Probolinggo, atau mengakses ZPPI virtual di tenggara Pamekasan. Nelayan
Tanjung Pecinan yang melakukan penangkapan ikan ke arah timur hanya
berpeluang mengakses ZPPI virtual yang tersebar di utara Pondok Mimbo dan
tenggara Sumenep. Nelayan harus mulai berhati-hati mengakses sebaran ZPPI
virtual di timur laut sampai timur Pondok Mimbo karena angin dan gelombang
yang datang dari arah timur dan tenggara berpeluang menghambat kegiatan
penangkapan ikan. Nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal
motor diatas 20 GT juga dapat diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan
kerjasama penangkapan dengan nelayan dari PPI Dungkek mengakses ZPPI
virtual dalam unit spasial dengan kelas rendah dan sedang di perairan Laut Jawa
bagian timur antara utara Sampang dan Sumenep
Kegiatan penangkapan ikan pada bulan Juli khususnya dalam zona Tanjung
Pecinan kembali mengalami perubahan dibandingkan bulan sebelumnya, ditandai
dengan terjadinya pergeseran ZPPI yang semula berada di sebelah timur bergeser
130

ke sebelah barat hingga barat laut PPI Tanjung Pecinan. Nelayan Tanjung Pecinan
yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT mempunyai peluang
keberhasilan lebih tinggi dari bulan sebelumnya karena terdapat sebaran ZPPI
dalam 2 unit spasial dengan kelas sedang dalam zona di atas 20 km. Nelayan
Tanjung Pecinan diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI
virtual di utara Besuki, serta antara Probolinggo dengan Pamekasan. Nelayan
Tanjung Pecinan yang biasa melakukan penangkapan ke arah timur, diarahkan
bekerjasama dengan nelayan Besuki melakukan penangkapan mengakses ZPPI
virtual di perairan antara utara Pondok Mimbo dengan selatan Sumenep. Nelayan
Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT bersama
nelayan Besuki memperluas zona penangkapannya melalui kerjasama dengan
nelayan lokal mengakses ZPPI virtual antara utara Sumenep dan utara Pulau Raas.
Berdasarkan informasi spasial ZPPI bulan Juli, terdapat sebaran ZPPI virtual yang
luas mulai dari timur laut hingga timur Pondok Mimbo, namun sulit diakses
karena hambatan angin kencang dan gelombang tinggi yang datang dari arah
timur dan tenggara.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan dalam zona Tanjung Pecinan pada
bulan Agutus harus dilakukan dengan pola yang sama dengan bulan Juli karena
sebaran ZPPI sama dengan bulan sebelumnya. Karena terjadi penurunan ZPPI
virtual dalam zona 20 km di utara Besuki maka hanya nelayan dengan
perahu/kapal motor diatas 20 GT yang dapat diarahkan melakukan kerjasama
pada perairan di atas 20 km antara sisi barat Besuki, juga antara Probolinggo
dengan Pamekasan. Nelayan dengan perahu/kapal motor diatas 20 GT dan biasa
melakukan penangkapan ke arah timur, diarahkan bersama nelayan Besuki
mengakses ZPPI virtual di selatan Sumenep dan di utara Pondok Mimbo. Kondisi
angin dan gelombang di bagian timur Selat Madura tidak memungkinkan bagi
nelayan Tanjung Pecinan dan Besuki mengakses ZPPI virtual di sebelah timur
Pondok Mimbo. Jika kondisi angin dan gelombang di Selat Madura bagian timur
tidak memungkinkan melakukan penangkapan, nelayan Tanjung Pecinan juga
bersama nelayan Besuki dapat diarahkan bekerjasama mengakses ZPPI virtual
antara utara Sumenep sampai utara Pulau Raas.
131

Zona penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan


September sedikit mengalami perubahan lokasi karena terjadinya pergeseran ZPPI
dibandingkan bulan sebelumnya. Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan yang
menggunakan perahu/kapal motor dibawah 10 GT diarahkan mengakses ZPPI
dalam unit spasial dengan kelas sedang yang bergeser dari sebelah barat ke
sebelah timur Tanjung Pecinan, sedangkan untuk nelayan yang menggunakan
perahu/kapal motor diatas 10 GT masih diarahkan pada ZPPI dalam 2 unit spasial
masing-masing kelas sedang dan padat pada lokasi yang sama dengan bulan
sebelumnya. Nelayan Tanjung Pecinan diarahkan bekerjasama dengan nelayan
Besuki melakukan penangkapan pada ZPPI virtual di perairan utara sampai timur
laut Besuki. Nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal motor
diatas 20 GT juga diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan penangkapan
masing-masing pada ZPPI virtual di utara Probolinggo dan selatan Pamekasan.
Kelompok nelayan lainnya diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan
kerjasama penangkapan pada ZPPI di utara Pondok Mimbo, serta antara selatan
hingga tenggara Sumenep. Jika kondisi angin dan gelombang memungkinkan,
nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT
juga diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan penangkapan pada ZPPI
virtual di sebelah utara, serta mulai timur sampai timur laut Pondok Mimbo.
Nelayan Tanjung Pecinan bersama nelayan Besuki juga dapat diarahkan
melakukan kerjasama penangkapan di perairan Laut Jawa bagian timur khususnya
memperluas wilayah penangkapannya pada ZPPI virtual dalam unit spasial kelas
rendah sampai sedang antara utara Sumenep sampai utara Pulau Raas.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan
Oktober, harus dilakukan lokasi yang berbeda khususnya bagi yang menggunakan
perahu/kapal motor ukuran sampai 20 GT. Perubahan lokasi penangkapan ini
perlu dilakukan karena ZPPI yang sebelumnya berada dalam unit spasial kelas
sedang di sebelah timur sampai timur laut Tanjung Pecinan telah berpindah ke
sebelah barat sampai barat laut PPI Tanjung Pecinan, sedangkan 2 unit spasial
yang sebelumnya dalam kelas sedang dan padat mengalami penurunan menjadi
kelas rendah dan sedang. Nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan
perahu/kapal motor diatas 20 GT diarahkan bekerjasama dengan nelayan Besuki
132

dan Probolinggo mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial pada perairan di atas
20 km antara sebelah barat laut Besuki dan Probolinggo. Nelayan Tanjung
Pecinan yang melakukan kegiatan penangkapan ke arah timur diarahkan
melakukan kerjasama penangkapan ikan dengan nelayan Besuki mengakses ZPPI
virtual di utara Pondok Mimbo dan selatan Sumenep, serta di sebelah selatan
Pulau Sepudi. Nelayan juga diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan
kerjasama mengakses ZPPI virtual di perairan sebelah timur laut sampai timur
Pondok Mimbo. Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT
dan sanggup melakukan kegiatan penangkapan minimal satu minggu, dapat
diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan kerjasama dengan nelayan
Sumenep dan Pulau Sepudi mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial kelas
rendah dan sedang di perairan Laut Jawa bagian timur antara utara Pamekasan
sampai utara Pulau Raas.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan
November, harus dilakukan dengan pola yang berbeda dibandingkan bulan
sebelumnya. Perubahan pola penangkapan ikan harus dilakukan oleh nelayan
Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT karena
ZPPI yang dapat dijadikan sasaran lokasi penangkapan hanya terdapat dalam unit
spasial dalam kelas padat di timur laut PPI Tanjung Pecinan. Nelayan yang
menggunakan perahu/kapal motor sampai 20 GT juga dapat diarahkan melakukan
kerjasama mengakses ZPPI virtual di sisi timur laut sampai utara PPI Besuki.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan ke arah barat diarahkan
bekerjasama dengan nelayan Besuki mengakses ZPPI virtual antara barat laut
Besuki dan timur laut Probolinggo. Nelayan Tanjung Pecinan bersama nelayan
Besuki bekerjasama dengan nelayan lokal mengakses ZPPI virtual dalam zona
PPI Probolinggo. Nelayan Tanjung Pecinan bersama nelayan Besuki juga
diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI di selatan
Pamekasan dan di selatan Sumenep. Kelompok nelayan lain yang mampu
melakukan kegiatan penangkapan beberapa hari dapat diarahkan bersama nelayan
Besuki yang juga menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT bekerjasama
mengakses ZPPI virtual antara perairan dalam zona Pondok Mimbo hingga
perairan selatan sampai tenggara Pulau Raas, juga bekerjasama dengan nelayan
133

Sumenep melakukan penangkapan di perairan Laut Jawa bagian timur mengakses


ZPPI virtual dalam unit spasial kelas rendah hingga sedang antara utara Sumenep
sampai utara Pulau Raas.
Melalui kerjasama operasional penangkapan ikan maka nelayan dari PPI
Tanjung Pecinan dapat mengakses antara 1 sampai 3 ZPPI (bulanan) dalam zona
PPI Tanjung Pecinan. Dengan melaksanakan kerjasama operasional penangkapan
ikan maka nelayan Tanjung Pecinan dapat mengakses antara 21 sampai dengan 39
ZPPI virtual dala zona PPI di sekitarnya (Lampiran 12.2).

6.3.3 Pengaturan pola kegiatan penangkapan ikan bagi nelayan


Pondok Mimbo

PPI Pondok Mimbo mempunyai keuntungan dari segi geografi karena


terletak di sisi timur Selat Madura bagian selatan sehingga nelayan berpeluang
mengakses sebaran ZPPI pada perairan yang luas sampai Laut Bali bagian barat.
Namun demikian, nelayan Pondok Mimbo mempunyai kelemahan teknis dari
segi ukuran perahu/kapal motor serta kendala akibat angin dan gelombang pada
waktu musim timur. Kelemahan ini mengakibatkan nelayan Pondok Mimbo tidak
mampu mengakses sebaran ZPPI yang ada di perairan sekitar Pondok Mimbo
yang berada di atas zona 20 km. Kelemahan ini juga berdampak pada keterbasan
bahkan ketidakmampuan nelayan Pondok Mimbo melakukan kerjasama
penangkapan ikan untuk mengakses ZPPI virtual dalam zona PPI sekitarnya.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan
Desember yang merupakan bulan pertama musim barat, hanya dapat dilakukan
dengan mengakses ZPPI dalam unit spasial dengan kelas rendah dalam zona 20
km dan di perbatasan zona di atas 20 km yang terdapat di sebelah utara, timur dan
timur laut PPI Pondok Mimbo. Dalam upaya memelihara keseimbangan hasil
tangkapan oleh nelayan Pondok Mimbo maka nelayan yang menggunakan
perahu/kapal motor ukuran sampai 10 GT diarahkan melakukan penangkapan ikan
pada ZPPI dalam zona 20 km di sebelah utara dan sebelah timur Pondok Mimbo,
sedangkan nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor 10 – 20 GT diarahkan
melakukan penangkapan pada ZPPI terdekat di luar zona 20 km sebelah timur dan
134

timur laut PPI Pondok Mimbo. Kegiatan penangkapan ikan tidak dapat dilakukan
pada sebaran ZPPI lainnya karena berada di luar jangkauan perahu/kapal motor
Pondok Mimbo. Nelayan Pondok Mimbo hanya mempunyai peluang melakukan
kerjasama penangkapan ikan mengakses ZPPI virtual di sisi barat laut PPI
Tanjung Pecinan. Nelayan Pondok Mimbo dapat melakukan kegiatan
penangkapan ikan selama bulan Desember sepenuhnya karena tidak terpengaruh
oleh angin dan gelombang musim barat.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan Januari
hanya berpeluang dilakukan pada ZPPI dalam unit spasial dengan kelas sedang
dalam zona 20 km di sebelah utara dan sebelah timur laut PPI Pondok Mimbo.
Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor ukuran 20 GT masih berpeluang
memperluas zona penangkapannya mengakses ZPPI dalam unit spasial kelas
sedang di sebelah utara Pondok Mimbo. Kegiatan penangkapan ikan tidak dapat
dilakukan pada ZPPI lainnya dalam zona penangkapan PPI Pondok Mimbo
sebagai akibat keterbatasan ukuran perahu/kapal motor dan kebiasaan kegiatan
penangkapan ikan one day fishing. Nelayan juga diarahkanbekerjasama
mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial kelas sedang di sebelah timur laut
Tanjung Pecinan. Kegiatan penangkapan ikan dapat dilakukan sepenuhnya karena
tidak terpengaruh oleh angin dan gelombang musim barat.
Kegiatan penangkapan ikan pada bulan Februari yang merupakan akhir
musim barat yaitu, dapat dilakukan oleh nelayan yang menggunakan perahu/kapal
motor sampai ukuran 10 GT mengakses ZPPI dalam unit spasial dengan kelas
sedang yang berlokasi di sebelah utara Pondok Mimbo, sedangkan perahu/kapal
motor dengan ukuran 10 – 20 GT dapat diarahkan mengakses ZPPI dalam unit
spasial kelas sedang di timur laut Pondok Mimbo. Disamping meningkatkan
kegiatan penangkapan ikan dalam zona PPI Pondok Mimbo sendiri, nelayan yang
menggunakan perahu/kapal motor ukuran 10 – 20 GT juga dapat diarahkan
melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual antara timur laut hingga barat laut
Tanjung Pecinan. Pada akhir musim barat, nelayan Pondok Mimbo masih dapat
melakukan kegiatan penangkapan ikan sepenuhnya karena tidak berpengaruh oleh
angin musim barat, sedangkan angin dari arah timur masih sangat lemah dengan
frekuensi yang rendah.
135

Kegiatan penagkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan Maret,
mempunyai pola yang berbeda dibandingkan bulan sebelumnya. Nelayan
berpeluang diarahkan untuk melakukan penangkapan pada ZPPI dalam unit
spasial masing-masing kelas sedang dan rendah di sebelah utara dan timur laut
Pondok Mimbo. Namun demikian, sebagai akibat keterbatasan perahu/kapal
motor dan sistem penangkapan one day fishing maka kegiatan penangkapan tidak
dapat dilakukan pada sebaran ZPPI dalam wilayah yang cukup luas di utara, timur
laut dan timur Pondok Mimbo. Memperhatikan faktor efisiensi dan ukuran
perahu/kapal motor yang ada, nelayan hanya berpeluang diarahkan melakukan
kerjasama penangkapan pada ZPPI virtual dalam unit spasial di barat laut dan
timur laut Tanjung Pecinan. Angin yang dominan di Selat Madura datang dari
barat dan barat laut mempunyai kecepatan rendah, memberi peluang bagi nelayan
Pondok Mimbo untuk melakukan penangkapan ikan sepenuhnya.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan April,
berpeluang memperoleh hasil yang baik jika dilakukan pada ZPPI dalam unit
spasial kelas sedang dan rendah di perairan dalam zona 20 km di sisi utara, timur
laut dan sebelah timur PPI Pondok Mimbo. Sebaran ZPPI di luar zona 20 km di
sebelah utara, timur laut dan timur Pondo Mimbo berada di luar jangkauan
perahu/kapal motor yang ada di PPI Pondok Mimbo. Nelayan Pondok Mimbo
juga dapat diarahkan melakukan kerjasama penangkapan ikan mengakses ZPPI
yang ada di sebelah timur laut Tanjung Pecinan. Nelayan Pondok Mimbo dapat
melakukan kegiatan penangkapan ikan selama bulan April karena kecepatan
angin memungkinkan bagi nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan,
namun nelayan tradisional atau yang menggunakan perahu/kapal motor kecil (<5
GT) harus memperhatikan perubahan angin yang datang dari timur.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan Mei
hanya berpeluang mengakses ZPPI dalam unit spasial dengan kelas sedang pada
jarak sekitar 20 km di sebelah utara, timur laut dan tenggara PPI Pondok Mimbo.
Kegiatan penangkapan ikan tidak dapat dilakukan pada ZPPI lainnya karena
lokasinya berada di luar jangkauan perahu/kapal motor Pondok Mimbo. Nelayan
Pondok Mimbo dapat memperluas zona penangkapannya melalui kerjasama
penangkapan mengakses ZPPI virtual sebelah timur laut dan barat laut PPI
136

Tanjung Pecinan. Angin sewaktu-waktu datang dari timur dapat mencapai


kecepatan lebih dari 17 knot meskipun dengan frekuensi yang rendah, namun
nelayan harus mulai berhati-hati dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan Juni
yang merupakan bulan pertama musim timur, sudah mulai terkendala oleh angin
dan gelombang yang datang dari arah timur dan tenggara. Meskipun terdapat
ZPPI di sebelah timur Pondok Mimbo dan dari segi jaraknya dapat diakses oleh
nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor ukuran maksimum 10 GT, namun
terkendala oleh angin dan gelombang. Karena hambatan angin maka nelayan yang
menggunakan perahu/kapal motor 10 – 20 GT juga akan menghadapi kesulitan
untuk mengakses ZPPI dalam 3 unit spasial dengan kelas sedang dan rendah di
sebelah timur PPI Pondok Mimbo pada perbatasan zona 20 km. Faktor angin dan
gelombang perlu mendapat perhatian karena kondisi angin kencang dan
gelombang tinggi dapat menggagalkan penangkapan ikan akibat jaring yang
melipat. Kondisi ini dibuktikan pada saat uji coba penerapan ZPPI dalam
penangkapan ikan pada 10, hanya 1 lokasi yang mendapatkan ikan hasil
tangkapan hanya 200 kg. Nelayan trandisional dan yang menggunakan
perahu/kapal motor sampai 10 GT juga diarahkan melakukan kerjasama
penangkapan ikan pada ZPPI antara Pondok Mimbo dan Tanjung Pecinan,
sementara nelayan dengan perahu/kapal motor 20 GT juga diarahkan melakukan
kerjasama penangkapan pada ZPPI di barat laut Tanjung Pecinan. Nelayan
Pondok Mimbo tidak mungkin diarahkan melakukan penangkapan pada ZPPI lain
dalam zona PPI Pondok Mimbo atau mengakses ZPPI virtual dalam zona PPI lain
karena terkendala oleh angin dan gelombang.
Kegiatan penangkapan ikan pada bulan Juli, dapat diarahkan pada ZPPI
yang terdekat dalam unit spasial masing-masing dengan kelas rendah dan sedang
di sebelah timur dan utara Pondok Mimbo. Meskipun di sebelah timur Pondok
Mimbo terdapat zona penangkapan yang cukup luas, namun hanya ZPPI terdekat
saja yang berpeluang diakses karena keterbatasan ukuran perahu/kapal motor serta
kondisi angin dan gelombang yang menghambat kegiatan penangkapan ikan.
Nelayan Pondok Mimbo yang menggunakan perahu/kapal motor 20 GT dapat
memperluas wilayah penangkapannya ke sebelah barat melalui kerjasama
137

penangkapan pada ZPPI virtual dalam zona PPI Tanjung Pacinan. Meskipun
terdapat ZPPI dalam area yang luas di sebelah timur laut sampai tenggara PPI
Pondok Mimbo, namun tidak mungkin diakses oleh nelayan Pondok Mimbo
karena jaraknya terlalu jauh serta terkendala oleh angin dan gelombang.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan
Agutus, harus bergeser lebih ke barat dibandingkan sebelumnya. ZPPI untuk
lokasi penangkapan nelayan Pondok Mimbo, terdapat dalam unit spasial dengan
kelas sedang di sebelah utara serta mulai dari sebelah timur laut sampai tenggara
PPI Pondok Mimbo, namun kondisi angin dan gelombang yang sudah sangat
didominasi oleh angin kecang dan gelombang tinggi hanya mampu mengakses
ZPPI terdekat. Akibat keterbatasan teknis perahu/kapal motor serta kondisi angin
dan gelombang maka nelayan hanya berpeluang melakukan kegiatan penangkapan
pada ZPPI di sebelah barat laut PPI Pondok Mimbo. Nelayan diarahkan
melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual di sebelah barat, barat laut dan
timur laut Tanjung Pecinan.
Kegiatan penangkapan ikan di sekitar PPI Pondok Mimbo pada bulan
September, masih terkendala oleh angin kencang dan gelombang tinggi dari arah
timur. Jika kondisi angin dan gelombang memungkinkan, nelayan dapat diarahkan
pada ZPPI dalam unit spasial dengan kelas sedang di sebelah barat laut PPI
Pondok Mimbo. Kegiatan penangkapan ikan juga tidak mungkin diarahkan ke
ZPPI dalam wilayah perairan yang luas di sebelah timur Pondok Mimbo karena
jaraknya terlalu jauh untuk dapat dijangkau oleh perahu/kapal motor yang ada
serta terkendala oleh angin dan gelombang musim timur. Nelayan Pondok Mimbo
dengan perahu/kapal motor 10 - 20 GT dapat diarahkan melakukan kerjasama
mengakses ZPPI virtual di sebelah timur dan timur Tanjung Pecinan.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan
Oktober, berpeluang mengakses ZPPI dalam unit spasial dengan kelas sedang dan
rendah yang ada di sebelah timur PPI Pondok Mimbo karena sudah tidak
terkendala oleh angin dan gelombang. Sebaran ZPPI yang mencakup wilayah
perairan yang luas di sebelah timur PPI Pondok Mimbo tidak mungkin diakses
karena keterbatasan jangkauan perahu/kapal motor, dan hanya berpeluang
diarahkan pada ZPPI terdekat di sebelah timur dan timur laut Pondok Mimbo.
138

Nelayan juga berpeluang diarahkan melakukan penangkapan ikan pada ZPPI di


sebelah utara Pondok Mimbo. Agar mempunyai peluang keberhasilan cukup baik
maka nelayan tradisional diarahkan pada beberapa unit spasial dalam zona 20 km
sampai perairan pantai di sebelah timur laut Pondok Mimbo. Nelayan yang
menggunakan perahu/kapal motor sampai ukuran 10 GT diarahkan melakukan
kerjasama dengan nelayan Tanjung Pecinan melakukan penangkapan pada ZPPI
virtual di sebelah barat laut PPI Tanjung Pecinan, sedangkan yang menggunakan
perahu/kapal motor ukuran 10 - 20 GT diarahkan melakukan kerjasama
penangkapan pada ZPPI virtual sebelah timur laut PPI Tanjung Pecinan. Nelayan
Pondok Mimbo sudah dapat melakukan kegiatan penangkapan sepenuhnya,
karena kecepatan dan frekuensi angin dari arah timur sudah rendah dan tidak
menghambat kegiatan penangkapan ikan.
Pada akhir musim peralihan kedua yaitu bulan November, kegiatan
penangkapan ikan diarahkan pada 3 lokasi yaitu pada ZPPI dalam unit spasial
dengan kelas rendah di sebelah utara, sebelah timur dan timur laut Pondok Mimbo
masing-masing dalam kelas sedang dan rendah. Kegiatan penangkapan ikan oleh
nelayan Pondok Mimbo yang menggunakan perahu/kapal motor dibawah 10 GT
diarahkan pada unit spasial sebelah utara dan timur Pondok Mimbo, sedangkan
perahu/kapal motor 10 – 20 GT diarahkan pada ZPPI lainnya di sebelah timur laut
PPI Pondok Mimbo. Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo
juga dapat diarahkan memperluas zona penangkapannya melalui kerjasama
mengakses ZPPI virtual di perairan sebelah timur laut PPI Tanjung Pecinan,
sedangkan nelayan tradisionil yang berada di sisi barat Pondok Mimbo diarahkan
melakukan kerjasama penangkapan ikan sesama nelayan tradisional pada ZPPI
virtual sebelah barat – barat laut Tanjung Pecinan. Nelayan Pondok Mimbo dapat
melakukan penangkapan ikan selama bulan November karena tidak terkendala
oleh angin dan gelombang.
Zona PPI Pondok Mimbo mempunyai cukup banyak ZPPI, namun tidak
dapat diakses karena keterbatasan kemampuan teknis perahu/kapal motor, hanya
sedikit ZPPI yang dapat diakses dan tidak mampu memanfaatkan ZPPI virtual
yang ada pada zona PPI di sekitarnya (Lampiran 12.3). Disamping keterbatasan
kemampuan teknis, nelayan Pondok Mimbo juga masih dihadapkan pada kendala
139

angin dari timur yang bertiup kencang disertai gelombang tinggi, sehingga hanya
ZPPI dalam 5 unit spasial yang dapat diakses dari antara 8 sampai 15 unit spasial
yang ada di sekitar PPI Pondok Mimbo.

6.3.4 Pengembangan pemanfaatan hasil tangkapan

Secara geografis PPI di wilayah Kabupaten Situbondo mempunyai


keuntungan karena merupakan titik penghubung dengan Surabaya ke arah barat,
dengan Banyuwangi dan Bali di sebelah timur, serta dengan Bondowoso di
sebelah selatan. Dalam upaya pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten
Situbondo perlu dilakukan kerjasama antara Kabupaten Situbondo dengan
kabupaten sekitarnya terutama yang meluputi 2 (dua) lingkup kerjasama yaitu
kerjasama penangkapan dan kerjasama pengelolaan ikan hasil tangkapan.
Untuk meningkatkan nilai jual hasil tangkapan ke masing-masing daerah
sekitar Kabupaten Situbondo dapat dilakukan pembagian jenis ikan hasil
tangkapan untuk masing-masing daerah tujuan sebagai berikut :
1) Banyuwangi : penjualan ikan hasil tangkapan ke Banyuwangi untuk bahan
baku industri ikan adalah ikan lemuru dan tongkol. Hal ini dilakukan dengan
alasan karena Banyuwangi memiliki industri pengolahan ikan yang dapat
menampung ikan lemuuru dan ikan tongkol untuk bahan baku ikan kaleng,
sedangkan kualitas ikan yang tidak masuk dalam kualifikasi ikan kaleng dapat
diolah menjadi tepung ikan.
2) Bali : penjualan ikan hasil tangkapan ke Bali khusus untuk ikan berkualitas
dan bermutu untuk konsumsi ikan bagi wisatawan seperti ikan kerapu dan
udang. Jika diperhatikan dari segi nilai ekonomi maka pengiriman dan
penjualan ikan tersebut ke Bali sebenarnya mempunyai keuntungan, namun
ikan hasil tangkapannya kurang memadai sehingga perlu pengaturan
penangkapan ikan tersebut yang lebih baik lagi.
3) Bondowoso : Penjualan ikan hasil tangkapan ke Bondowoso untuk memenuhi
keperluan konsumsi ikan baik berupa ikan tongkol, kembung, layang, dan
kakap. Pemasaran ikan ke Bondowaso mempunyai prospek untuk
dikembangkan karena Kabupaten Bondowoso tidak memiliki perairan laut,
140

sehingga tidak ada saingan produksi dalam daerahnya sendiri. Namun


demikian, pemasaran ikan hasil tangkapan ke Bondowoso kemungkinan besar
akan bersaing dengan pasokan ikan dari Jember yang terletak di sebelah
selatan Bondowoso dan menangkap ikan di Samudera Hindia.
4) Surabaya : penjualan ikan hasil tangkapan ke Surabaya untuk memenuhi
keperluan konsumsi ikan jenis tongkol, layang, kerapu, kakap, dan kembung.
Pasokan ikan ke Surabaya harus mengandalkan kualitas ikan hasil tangkapan
karena kemungkinan besar akan bersaing dengan pasokan ikan dari
Probolinggo dan Malang yang secara geografis lebih dekat ke Surabaya
dibandingan Situbondo. Jarak antara Situbondo dengan Surabaya yang lebih
jauh juga akan berdampak pada biaya pengangkutan ikan menjadi lebih tinggi
dibandingkan dari Probolinggo dan Malang.
Jenis ikan lain yang banyak tertangkap oleh nelayan Situbondo bahkan
kadang-kadang melimpah dan tidak masuk dalam kategori di atas seperti ikan
layang dan kembung, dapat diperoses melalui sistem pemindangan modern yang
sudah mulai dirintis untuk dikembangkan di PPI Pondok Mimbo, atau untuk
konsumsi lokal masyarakat Kabupaten Situbondo.

6.3.5 Diskusi pola penangkapan dan pengelolaan ikan hasil tangkapan

Unit spasial dalam zona PPI Besuki yang dapat dijadikan arahan kegiatan
penangkapan ikan selalu mengalami perubahan baik dari segi distribusi maupun
kelas kepadatannya. Dibandingkan unit spasial untuk kegiatan penangkapan ikan
di atas 20 km, distribusi unit spasial untuk sasaran kegiatan penangkapan ikan
yang paling banyak mengalami perubahan adalah yang mencakup zona
penangkapan ikan di bawah 20 km. Demikian juga dengan unit spasial dalam
kegiatan penangkapan ikan dalam zona PPI Tanjung Pecinan yang paling banyak
mengalami perubahan adalah yang di sebelah barat dan timur PPI Tanjung
Pecinan, dibandingkan unit spasial dalam zona penangkapan di atas 20 km.
Perubahan distribusi unit spasial untuk kegiatan penangkapan ikan di sekitar PPI
Pondok Mimbo mengalami perubahan pada tiga posisi yaitu sebelah utara Pondok
Mimbo dengan perubahan arah barat – timur, sebelah timur laut dengan
141

perubahan barat – timur dan utara – selatan, serta sebelah timur Pondok mimbo
dengan pergeseran barat timur. Demikian juga dengan kelas kepadatan ZPPI
dalam masing-masing unit spasial selalu mengalami perubahan mulai dari kelas
rendah sampai kelas sangat padat, dan kepadatan ZPPI yang paling sering adalah
dalam kelas sedang.
Dinamika ZPPI dalam unit spasial secara mingguan dan bulanan didukung
dengan data tentang fenomena oseanografi, klimatologi dan prilaku ikan pelagis
yang ada di Selat Madura, dapat digunakan untuk melakukan peramalan tentang
ZPPI untuk beberapa waktu kedepan, juga pada saat kesulitan mendapatkan data
SST dan klorofil-a dari satelit penginderaan jauh karena hambatan tutupan awan.
Hal ini sangat penting untuk memelihara kontinuitas informasi spasial ZPPI
kepada nelayan untuk mendukung kegiatan dan produktivitas penangkapan ikan.
Nelayan Besuki memiliki kemampuan teknis yang tinggi karena dalam
melaksanakan kegiatan penangkapan didukung oleh perahu/kapal motor ukuran di
atas 20 GT paling banyak (249 unit) dibandingkan nelayan dari PPI lainnya,
sehinggan disamping mampu mengakses zona penangkapan diatas 20 km di utara
Besuki juga mampu mengakses daerah penangkapan ikan yang jauh lebih luas,
dapat mencapai kawasan lain di Selat Madura dan bagian timur Laut Jawa bagian
selatan secara lebih aman. Nelayan Tanjung Pecinan meskipun memiliki zona
penangkapan yang paling sempit, namun memiliki kemampuan teknis yang dapat
mengakses kawasan Selat Madura dan sekitarnya secara lebih aman karena
kegiatan penangkapan ikan didukung oleh perahu/kapal motor ukuran di atas 20
GT sebanyak 183 unit. Nelayan Pondok Mimbo mempunyai prospek ZPPI yang
paling tinggi tersebar dalam zona penangkapan paling luas dibandingkan dengan
nelayan Besuki dan Tanjung Pecinan, namun karena memiliki kemampuan teknis
yang paling rendah (tidak punya perahu/kapal motor ukuran di atas 20 GT),
sehingga tidak mampu mengakses sebaran ZPPI yang ada di sekitarnya. Nelayan
dari PPI Pondok Mimbo, juga menghadapi kendala angin kencang dan gelombang
tinggi di musim timur sehingga tidak dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan
selama Selat Madura bagian timur dipengaruhi oleh angin timur dan tenggara.
Beradasarkan sebaran ZPPI dan jumlah perahu motor pada masing-masing
kategori ukuran untuk zona penangkapan ikan bagi perahu motor kategori
142

bersangkutan, nelayan Besuki yang menggunakan perahu motor 5 – 10 GT


diarahkan melakukan kerjasama penangkapan ikan mengakses ZPPI virtual dalam
zona 4 – 10 km sekitar PPI Probolinggo, PPI Tanjung Pecinan dan PPI Pondok
Mimbo. Perbandingan antara luas zona penangkapan ikan dengan jumlah
perahu/kapal motor untuk kategori yang bersangkutan, nelayan Tanjung Pecinan
yang menggunakan perahu motor ukuran sampai 5 GT juga perahu motor 10 – 20
GT diarahkan melakukan kerjasama dengan nelayan Besuki dan Pondok Mimbo,
masing-masing melakukan penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam zona 0 –
4 km dan 10 – 20 km. Nelayan Besuki dan Tanjung Pecinan yang menggunakan
perahu motor diatas 20 GT diarahkan melakukan kerjasama mengakses ZPPI
virtual dalam zona di atas 20 km mulai sebelah utara Probolinggo sampai timur
laut Pondok Mimbo. Pada waktu musim timur, diarahkan melakukan kerjasama
dengan nelayan setempat mengakses ZPPI virtual di Laut Jawa antara utara
Sampang sampai sebelah utara Pulau Raas. Jika ditinjau dari segi peluang
terjadinya konflik antar nelayan akibat ketidak seimbangan antara luas zona
penangkapan dengan jumlah perahu/kapal motor pada masing-masing kategori,
nelayan Pondok Mimbo dalam kondisi paling aman dan perlu mengoptimalkan
pemanfaatan ZPPI di sebelah utara, timur laut dan timur laut PPI Pondok Mimbo
sendiri. Namun demikian, nelayan Pondok Mimbo akan menghadapi kendala
dalam melakukan penangkapan ikan pada musim timur karena kendala angin
kencang dan gelombang tinggi. Hanya nelayan dengan perahu motor 5 – 10 GT
yang berpeluang melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual di sebelah timur
dan timur laut PPI Tanjung Pecinan.
Melalui kerjasama, nelayan dapat mengakses ZPPI dalam unit spasial lebih
banyak dalam rangka meningkatkan produktivitas hasil tangkapan ikan untuk
kesejahteraan nelayan dan pembangunan perikanan Kabupaten Situbondo,
meningkatkan pendapatan nelayan serta pelaku perikanan tangkap dari penjualan
ikan hasil tangkapan, dan mencegah terjadinya overfishing.
143

7 KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan sintesis dari suhu permukaan laut (1996 – 2005) dan klorofil-a di
Selat Madura dan perairan sekitarnya yang diperoleh dari data satelit
penginderaan jauh, dapat diperoleh informasi bahwa ZPPI dalam unit spasial
dan unit spasial yang prospektif untuk penangkapan ikan berubah-ubah secara
spasial dan temporal. ZPPI di sekitar PPI Besuki mengalami pergeseran arah
barat timur dalam selang koordinat 113o 30’ – 113 o 50’ BT dan 7 o 20’ – 7 o
45’ LS, ZPPI di sekitar Tanjung Pecinan juga mengalami pergeseran arah
barat timur dalam koordinat 113 o 50’ – 114 o 6’ 30” BT dan 7 o 20’ – 7 o 40’
LS, sedangkan ZPPI sekitar PPI Pondok Mimbo mengalami pergeseran arah
barat timur serta utara selatan dalam koordinat 114 o 6’ 30” – 115 o BT dan 7 o
20’ – 7 o 55’ 30” LS. Sebaran ZPPI yang paling banyak mengalami perubahan
adalah dalam zona 20 km yaitu untuk kegiatan penangkapan ikan bagi
perahu/kapal motor sampai ukuran 20 GT.

2. Menurut keberadaan dan sebaran ZPPI serta kemampuan teknis, nelayan


Besuki memiliki daerah penangkapan ikan yang jauh lebih luas dari nelayan
lokal lain karena dapat mencapai kawasan lain secara lebih aman. Nelayan
Tanjung Pecinan memiliki zona penangkapan yang paling sempit, namun
kemampuan teknis yang dapat mengakses kawasan Selat Madura dan
sekitarnya secara lebih aman. Sebaliknya, nelayan Pondok Mimbo mempunyai
prospek potensi sumberdaya ikan yang paling tinggi dibandingkan dengan
nelayan Besuki dan Tanjung Pecinan, namun mempunyai kemampuan teknis
paling rendah, sehingga tidak mampu mengakses sebaran ZPPI yang ada di
sekitarnya. Nelayan dari PPI Pondok Mimbo, disamping faktor rendahnya
kemampuan teknis, juga menghadapi kendala angin kencang dan gelombang
tinggi di musim timur, sehingga tidak dapat melakukan kegiatan penangkapan
ikan selama musim timur.
144

3. Untuk memanfaatkan ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya,


dikembangkan skenario kerjasama penangkapan ikan oleh nelayan Kabupaten
Situbondo sebagai berikut :

a. Nelayan Besuki yang menggunakan perahu motor 5 – 10 GT diarahkan


melakukan kerjasama penangkapan ikan mengakses ZPPI virtual dalam
zona 4 – 10 km sekitar PPI Probolinggo dan Tanjung Pecinan.

b. Nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu motor ukuran sampai


5 GT juga dengan ukuran 10 – 20 GT diarahkan melakukan kerjasama
dengan nelayan lokal, masing-masing melakukan penangkapan mengakses
ZPPI virtual dalam zona 0 – 4 km dan 10 – 20 km dalam zona PPI Besuki
dan Pondok Mimbo

c. Nelayan Pondok Mimbo perlu mengoptimalkan pemanfaatan ZPPI di


sebelah utara, timur laut dan timur PPI Pondok Mimbo. Namun demikian,
nelayan Pondok Mimbo akan menghadapi kendala dalam melakukan
penangkapan ikan pada musim timur karena kendala angin kencang dan
gelombang tinggi. Hanya nelayan dengan perahu motor 5 – 10 GT yang
berpeluang melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual di sebelah timur
dan timur laut PPI Tanjung Pecinan.

d. Nelayan Besuki dan Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu motor di


atas 20 GT diarahkan melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual dalam
zona di atas 20 km mulai sebelah utara Probolinggo sampai timur laut
Pondok Mimbo. Pada waktu musim timur, diarahkan melakukan kerjasama
dengan nelayan setempat mengakses ZPPI virtual di Laut Jawa antara utara
Sampang sampai sebelah utara Pulau Raas.

Melalui kerjasama penangkapan ikan regional (kabupaten di sekitar Selat


Madura dan sekitarnya), nelayan dapat mengakses ZPPI dalam unit spasial
lebih banyak dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pengelolaan ikan
hasil tangkapan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan dan pembangunan
perikanan tangkap Kabupaten Situbondo.
145

7.2 Saran

Sebagai penutup dari disertasi ini disampaikan saran yang diharapkan dapat
ditindak lanjuti oleh pihak pemangku kepentingan di Kabupaten Situbondo atau
penelitian lainnya, sebagai berikut :

1. Perlu mengembangkan dan menerapkan informasi spasial ZPPI dengan


menggunakan data SPL dan kandungan klorofil-a yang diperoleh dari
penginderaan jauh MODIS, karena data SPL dan klorofil-a mempunyai
resolusi spasial dan diperoleh pada waktu yang sama.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut termasuk kerjasama dengan instansi


terkait dan perguruan tinggi untuk meningkatkan akurasi informasi spasial
ZPPI berdasarkan data satelit penginderaan jauh dengan menggunakan
parameter oseanografi yang lebih lengkap seperti : sumberdaya ikan, arus,
klimatologi, ketinggian muka air laut (SSH) untuk wilayah perairan laut yang
luas, serta untuk karakteristik perairan laut yang berbeda.

3. Pemerintah Kabupaten Situbondo selayaknya memfasilitasi kerjasama


perikanan tangkap terpadu dengan kabupaten Probolinggo, Sampang,
Pamekasan, Sumenep, Banyuwangi, dan Provinsi Jawa Timur. Kerjasama
antar Pemerintah Daerah ini tidak terbatas pada akses zona penangkapan ikan,
tetapi juga termasuk pembangunan jaringan industri perikanan yang
melibatkan sub-sistem penangkapan ikan yang berpusat di tepian selatan Selat
Madura (diantaranya adalah Situbondo) dan sub-sistem pengolahan ikan yang
saat ini berpusat di Banyuwangi.
146

8 DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002. Laporan Kegiatan Sosialisasi dan Penerapan Informasi Zona


Potensi Ikan di Kota Bengkulu. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan
Teknologi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional. 53 halaman.
Anonim. 2002. Laporan Kegiatan Sosialisasi dan Penerapan Informasi Zona
Potensi Ikan di Kabupaten Badung, Bali Selatan. Pusat Pengembangan
Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional. 63 halaman.
Anonim. 2002. Laporan Kegiatan Sosialisasi dan Penerapan Informasi Zona
Potensi Ikan di Kabupaten Kota Pekalongan. Pusat Pengembangan
Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional. 66 halaman.
Bappenas. 2004. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Jakarta. 98
halaman.
Barnes R. S. K., and R. N. Hughes. 1988. An Introduction to Marine Ecology.
Bintoro G. 2005. Pemanfaatan Berkelanjutan Sumberdaya Ikan Tembang
(Sardinella Funbriata Valenciennes, 1847) di Selat Madura Jawa Timur.
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. 291 halaman.
BPS dan Bappeda Tingkat II Situbondo. 1996. Situbondo Dalam Angka 1996. 293
halaman.
Brandt A.V. 1984. Fish Catching Methods of the World. Fishing News Books Ltd.
Farnham – Surrey – England. 418 halaman.
Dahuri R., Rais J., Ginting S.P., dan Sitepu J. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. 292 halaman.
Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Jakarta. 412 halaman.
Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan.
Jakarta. 233 halaman.
147

Gastellu E. and Mardio P. 1983. The Remote Sensed Sea Surface Temperatue A
Case Study In Indonesia. The Indonesian Journal of Geography. Volume
13, Number 46. Page 13 – 27.
Gordon A.L. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and Their Throughflow.
Journal Oceanography, Vol. 18, No. 4. 27 Pages.
Hadiat. 2005. Adopsi Informasi Spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan Dengan
Studi Kasus Proses Intermediasi Teknologi Dalam Sistem Inovasi.
Disertasi. Institut Pertanian Bogor. 147 halaman.
Harger J.R.E. 1995. ENSO Variations and Drought Occurrence in Indonesia
and the Philippines. Atmospheric Environment; 29 (16): 1943-1955.
Hartuti M., Manoppo A.K.S., Prayitno Y., dan Noor M. 2006. Laporan Kegiatan
Produksi Informasi bagi Nelayan Perikanan Tangkap Di Wilayah Timur
Indonesia (Pekalongan, Bali, Parepare, Balikpapan, Situbondo, Nusa
Tenggara Timur, dan Biak). Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan
Teknologi Penginderaan Jauh, Deputi Bidang Penginderaan Jauh, Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional. 79 halaman.
Hasyim B. 1986. Penentuan Temperatur Permukaan Laut Mempergunakan Data
AVHRR dengan Analisa Berbagai Saluran. Majalah LAPAN No. 41 Tahun
ke XI. Halaman 31 – 38.
Hasyim B. 2003. Kajian Daerah Penangkapan Ikan dan Budidaya Laut
Berdasarkan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis
Wilayah Kabupaten Situbondo. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan IPB. Tesis. 138 halaman.

Hasyim B., Sondita F., Haluan J., dan Kartasasmita M. 2009. Identifikasi Zona
Potensi Penangkapan Ikan di Selat Madura dan Perairan Sekitarnya
Berdasarkan Data Penginderaan Jauh. Jurnal Kelautan Nasional, Vol. 1
Edisi Khusus Januari 2009. Halaman 165 – 181.
Hela and Laevastu. 1970. Fisheries Oceanography : The Effect of Environment on
Fish Behaviour and Abundance Fishing News Book. London. 104 halaman.
Hendiarti N., Suwarso, Aldrian E, Amri K, Andiatuti R, Sachomar A, and
Wahyono I.B. 2005. Seasonal Variation of Pelagic Fish Catch Around
Java. Journal Oceanography Vol. 18, No. 4. Page 113 – 123.
148

Ilahude AG. 1978. On the Factors Affecting the Productivity of the Southern
Makassar Straith. Marine Research in Indonesia. Lembaga Oseanologi
Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Halaman 81 – 106.
Kantor Statistik dan Bappeda Tk. II Situbondo. 1997. Situbondo Dalam Angka
Tahun 1996. Kabupaten Situbondo.
Kostianoy A.G., Ginzburg A.I., Frankignoulle M., and Delille B. 2004. Fronts in
the Southern Indian Ocean as Inferred from Satellite Sea Surface
Temperature Data. Journal of Marine Systems 45. Page 55 – 73.
Lintin M., Badrudin, Wirdaningsih N. 1994. Indeks Kelimpahan Stok Sumber
Daya Ikan Pelagis Kecil di Perairan Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian
Perikanan Laut No. 87 Tahun 1994. Halaman 48 – 55.
Lumban Gaol J., Pasaribu B.P., Manurung D., and Endriani R. 2004. The
Fluctuation of Chlorophyl-a Concentration Derived from Satellite and Cath
of Oily Sardine (Sardinela lemuru) in Bali Strait. International Journal
Remote Sensing and Earth Sciences, Vol 1 No. 1. Page 24 – 60.
Lumban Gaol J., Endriani R. A., Manurung D., and Kawaru M. 2007. Pemetaan
Sumber Daya Laut Pulau Nias Dengan Teknologi Penginderaan Jauh Satelit
Pasca-Tsunami 2004. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 12 No. 3.
Halaman 131 - 139.
Laurs M. R. 1993. Integration of Various Satellite – Derived Oceanography
Information for the Identification of Potenstial Fishing Zones. U.S. National
Marine Fisheries Service, Southwest Fisheries Scence Center. La Jolla,
California. 6 pages.
Merta G.S. 2003. Review of the Lemuru Fishery in the Bali Strait. Bology,
Dynamics, Exploitation of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea.
(Biodinex). The Agency of Marine and Fisheries Research. Jakarta. Page 97
– 105.
Merta G.S. and Eidman F.M. 2003. Prediction of Biomass, Yield and Value of the
Lemuuru (Sardinela lemuru) Fishery in the Bali Strait. (Biodinex). The
Agency of Marine and Fisheries Research. Jakarta. Page 137 – 153.
149

Nahib I., Kaidati B., Fitriah N. 2007. Pemanfaataan Data Aqua Modis untuk
Pengkajian Pendugaan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Besar (Tongkol Dan
Cakalang) di Perairan Teluk Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.
Proceeding Geo-Marine Research Forum. Halaman 71 – 92.
Narendra Nath A. 1993. Retrieval of Sea Surface Temperature Using NOAA-
AVHRR Data for Identification of Potential Fishing Zone – Dissemination
and Validation. National Remote Sensing Agency. Hiyderabad, India. 40
pages.
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Jambatan. Jakarta. 367 halaman.
Nurhakim S., Nikijuluw V., Nogroho D., and Prisantoso B. 2007. Status
Perikanan Menuurut Wilayah Pengelolaan (Informasi Dasar Pemanfaatan
Berkelanjutan). Pusat Riset Perikanan Tangkap – Badan Riset Kelautan dan
Perikanan. Jakarta. 47 halaman.
Nikijuluw V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat
Pemberdayaan dan Pembangunan Regional dan PT. Pustaka Cidesindo.
Jakarta. 254 halaman.
Pasaribu B.P., Manurung D., and Nugroho D. 2004. Fish Stock Assessment Using
Marine Acoustics Detection And Oceanographical Characteristics In Java
Sea. Jurnal Gayana 68(2): 1-5. Page 466-475.
Pemerintah Kabupaten Sitbondo. 2001. Program Pembangunan Daerah
(PROPEDA) Kabupaten Situbondo 2001-2005. Situbondo.
Pet J.S., Densen W.L.T, Machiels M.A.M,. Sukkel M, Setyohadi D, and
Tumuljadi A. 1997. Length-based Analysis of Population Dynamics and
Stock Identification in the Sardine Fisheries around East Java, Indonesia.
Journal of Fisheries Research 31. Page 107 – 120.
Potier M. and Sadhotomo B. 2003. Exploitation of Large and Medium Seiners
Fisheries. Biodinex. The Agency of Marine and Fisheries Research. Jakarta.
Page 195 – 214.
Qu T., Du Y., Strachan J., Meyer G. S., and Slingo J. 2005. Sea Surface
Temperature And Its Variability In The Indonesian Region Sea Surface
Temperature And Its Variability In The Indonesian Region. Journal
Oceanography Vol. 18, No. 4. Page 51 – 61.
150

Reddy M.P.M. 1993. Influence of the Various Oceanographic Parameters on the


Abundance of Fish Catch. Department of Fishery Oceangraphy. University
of Agricultural Sciences – College of Fisheries. Magalore. 15 halaman.
Sadhotomo G. and Potier M. 2003. Exploratory Scheme for the Recruitment
Migration of the Main Pelagic Species. (Biodinex). The Agency of Marine
and Fisheries Research. Page 155 – 168.
Santos. 2005. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan
Lingkungan. BPMIGAS. Jakarta. 266 halaman.
Santos M. 2000. Fisheries oceanography using satellite and airborne remote
sensing methods: a review. Journal of Fisheries Research 49. Page 1 – 20.
Sediadi A. 2004. Effek Upwelling Terhadap Kelimpahan dan Distribusi
Fitoplankton di Perairan Laut Banda dan Sekitarnya. Jurnal Makara, Sains,
Vol. 8, No. 2. Halaman 43-51
Soegiarto A., Birowo S, dan Sukarno. 1976. Atlas Oseanografi Perairan
Indonesia dan Sekitarnya. Lembaga Oseanologi Nasional – Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Buku No. 3. 327 Halaman.
Sugimory Y., Moriyama T., Tejasukmana B., Soesilo I., Swardika K,. 2006.
Estimation of Fishery resources by M-F GIS Using Satellite Data and Its
Application to TAC for Sustainable Fishery Production. International
Journal of Remote Sensing and Earth Sciences. International Society of
Remote sensing and Earth Sciences IeReSES, Volume 3. Denpasar Bali.
112 pages.
Sulistya W., Hartoko A., and Prayitno B. 2007. The Characteristics and
Variability of Sea Surface Temperatur in Java Sea. International Journal of
Remote Sensing and Earth Sciences. International Society of Remote
sensing and Earth Sciences IeReSES, Volume 4. Denpasar Bali. 162 pages.
Sumedi B. 2009. Kebutuhan dan Pengalaman Memanfaatkan Data Satelit
Penginderaan Jauh untuk Perikanan Tangkap di Selat Makassar. Berita
Inderaja LAPAN, Volume VII, No. 13. Halaman 38 – 42.
151

Susilo E. and Ismadi. 2003. The Mobility of Andhon Fishermen in East Java.
Proceeding of Socio Economics, Innovation and Management of the Java
Sea Pelagic Fisheries. Seminar Sosekima. The Agency for Marine and
Fisheries Research. 407 pages.
Triatmodjo B. 1996. Pelabuhan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 299
halaman.
Trisakti B., Hasyim B., Dewanti R., Hartuti M., dan Winarso G. Editor. 2003.
Teknologi Penginderaan Jauh Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Lautan. Jakarta. 109 halaman.
Vasconcellos M,. 2003. An Analysis of Harvest Strategies and Information Needs
in the Purse Seine Fishery for the Brazillian Sardine. Journal of Fisheries
Research 59. Page 363 – 378.
Widodo J. and Burhanuddin. 2003. Systematics of the Small Pelagic Fish Species.
Bology, Dynamics, Exploitation of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea.
(Biodinex). Page 39 – 48.
Widodo J. 2003. Population Dynamics of Ikan Layang, Scads (Decapterus spp.).
Dynamics, Exploitation of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea
(Biodinex). The Agency of Marine and Fisheries Research. Page 125 – 136.
Widodo J., Aziz, K.A., Priyono, B.E., Tampubolon T.H., Namin N., dan Djamali
A. 1998. Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan
Indonesia. Jakarta, 251 halaman
Wirasasmita S. 2007. Penataan Wilayah Pengelolaan Perikanan. Pusat Riset
Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 48 halaman.
Wudianto. 2001. Analisis Sebaran dan Kelimpahan Ikan Lemuru (Sadinela lemuru
Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali : Kaitannya Dengan Optimasi
Penangkapan. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
221 halaman.
Zainuddin M. 2007. Pemetaan Daerah Potensial Penangkapan Ikan Kembung
Lelaki (Rastrelliger Kanagurta) di Perairan Kabupaten Bantaeng, Sulawesi
Selatan. Jurnal Sains & Teknologi Vol. 7 No. 2. Halaman 57–64.
1

Lampiran 1 Contoh sebaran SPL

a. Sebaran SPL Selat Madura dan sekitarnya bulan Februari

b. Sebaran SPL Selat Madura dan sekitarnya bulan Maret


2

c. Sebaran SPL Selat Madura dan sekitarnya bulan Agustus

d. Sebaran SPL Selat Madura dan sekitarnya bulan Oktober


3

Lampiran 2 Contoh sebaran konsentrasi klorofil-a Selat Madura dan sekitarnya

a. Sebaran konsentrasi klorofil-a Selat Madura dan sekitarnya pada bulan Januari

b. Sebaran konsentrasi klorofil-a Selat Madura dan sekitarnya pada bulan April
4

c. Sebaran konsentrasi klorofil-a Selat Madura dan sekitarnya pada bulan Juli

d. Sebaran konsentrasi klorofil-a Selat Madura dan sekitarnya pada bulan Oktober
5

Lampiran 3 Tabel arah, kecepatan dan frekuensi angin di Selat Madura

a. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Desember


Kecepatan (Knot) dan Frekuensi
Arah Total
0-1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17
KALM 860 - - - - - 860
U - 166 78 27 3 1 275
TL - 108 44 49 11 8 220
T - 100 60 74 11 4 249
TG - 106 22 29 7 21 185
S - 766 92 54 2 1 915
BD - 332 85 63 3 1 484
B - 198 168 88 14 - 468
BL - 172 88 93 6 1 360
TOTAL 860 1948 637 477 57 37 4.016

b. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Januari


Kecepatan (Knot) dan Frekuensi
Arah Total
0-1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17
KALM 204 - - - - - 204
U - 33 31 22 2 - 88
TL - 23 16 8 - - 47
T - 17 20 15 2 - 54
TG - 13 21 11 - - 45
S - 31 27 5 - - 63
BD - 15 14 9 - - 38
B - 56 58 44 21 - 179
BL - 31 37 55 19 - 142
TOTAL 204 219 224 169 44 - 860

c. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Februari


Kecepatan (Knot) dan Frekuensi
Arah Total
0-1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17
KALM 316 - - - - - 316
U - 31 22 6 1 - 60
TL - 13 4 1 1 - 19
T - 27 15 3 - 1 46
TG - 52 23 3 1 - 79
S - 29 24 6 1 - 60
BD - 21 21 26 6 6 80
B - 99 180 151 33 2 465
BL - 23 32 36 18 - 109
TOTAL 316 295 321 232 61 9 1.234
6

d. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Maret


Kecepatan (Knot) dan Frekuensi
Arah Total
0-1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17
KALM 749 - - - - - 749
U - 148 55 14 3 - 220
TL - 85 23 15 - - 123
T - 75 53 13 1 - 142
TG - 11 8 2 - - 21
S - 65 32 8 - - 105
BD - 45 14 6 - 1 66
B - 210 153 105 10 - 478
BL - 70 51 44 12 - 177
TOTAL 749 709 389 207 26 1 2.081

e. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan April


Kecepatan (Knot) dan Frekuensi
Arah Total
0-1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17
KALM 709 - - - - - 709
U - 109 35 6 - - 150
TL - 79 24 6 - - 109
T - 135 141 85 1 2 364
TG - 20 34 20 2 - 76
S - 80 46 13 1 - 140
BD - 29 18 2 - - 49
B - 105 45 10 2 - 162
BL - 33 7 4 1 - 45
TOTAL 709 590 350 146 7 2 1804

f. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Mei


Kecepatan (Knot) dan Frekuensi
Arah Total
0-1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17
KALM 709 - - - - - 709
U - 106 19 3 1 - 129
TL - 87 23 6 3 1 120
T - 144 153 90 11 4 402
TG - 29 43 31 - 1 104
S - 83 58 20 1 - 162
BD - 30 20 4 - - 54
B - 86 32 4 - - 122
BL - 38 8 1 - - 47
TOTAL 709 603 356 159 16 6 1.849
7

g. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Juni


Kecepatan (Knot) dan Frekuensi
Arah Total
0-1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17
KALM 652 - - - - - 652
U - 44 6 - 1 - 51
TL - 50 7 4 - - 61
T - 136 170 140 15 6 467
TG - 40 73 54 6 - 173
S - 84 44 20 2 1 151
BD - 24 3 - - - 27
B - 56 15 2 - - 73
BL - 11 2 1 - - 14
TOTAL 652 445 320 221 24 7 1.669

h. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Juli


Kecepatan (Knot) dan Frekuensi
Arah Total
0-1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17
KALM 658 - - - - - 658
U - 32 3 - - - 35
TL - 27 7 2 - - 36
T - 127 177 184 23 4 515
TG - 49 70 62 8 4 193
S - 115 57 25 1 - 198
BD - 19 7 2 2 - 30
B - 54 5 2 - - 61
BL - 11 2 1 - - 14
TOTAL 658 434 328 278 34 8 1740

i. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Agustus


Kecepatan (Knot) dan Frekuensi
Arah Total
0-1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17
KALM 637 - - - - - 637
U - 44 9 - - - 53
TL - 32 7 7 - 2 48
T - 155 239 258 24 9 685
TG - 71 126 99 20 1 317
S - 125 68 24 2 1 220
BD - 22 3 1 - - 26
B - 46 15 2 1 - 64
BL - 9 2 - 1 - 12
TOTAL 637 504 469 391 48 13 2.062
8

j. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan September


Kecepatan (Knot) dan Frekuensi
Arah Total
0-1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17
KALM 63 - - - - - 63
U - 1 - - - - 1
TL - 4 6 - 1 1 12
T - 52 160 190 190 3 595
TG - 33 86 89 9 2 219
S - 13 30 26 1 - 70
BD - 6 1 1 1 - 9
B - 23 12 1 - - 36
BL - 1 - - - - 1
TOTAL 63 133 295 307 202 6 1.006

k. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan Oktober


Kecepatan (Knot) dan Frekuensi
Arah Total
0-1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17
KALM 775 - - - - - 775
U - 91 43 - - - 134
TL - 54 37 9 4 - 104
T - 128 162 136 11 - 437
TG - 55 56 39 1 1 152
S - 141 77 33 - - 251
BD - 18 19 6 - - 43
B - 76 39 8 - 1 124
BL - 21 4 - - - 25
TOTAL 775 584 437 231 16 2 2.045

l. Arah, kecepatan dan frekuensi angin pada bulan November


Kecepatan (Knot) dan Frekuensi
Arah Total
0-1 1 - 3 4 - 6 7 - 10 11 - 16 > 17
KALM 844 - - - - - 844
U - 127 61 8 - - 196
TL - 82 20 2 - 1 105
T - 87 81 25 2 - 195
TG - 97 65 41 9 - 212
S - 200 153 72 8 1 434
BD - 49 27 2 4 1 83
B - 153 97 25 1 1 277
BL - 77 70 12 1 1 161
TOTAL 844 872 574 187 25 5 2.507
9

Lampiran 4 Tabel arah, ketinggian dan frekuensi gelombang di Selat Madura

a. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Desember


Tinggi (meter) dan Frekuensi
Arah Total
0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5
TENANG 860 - 27 - - 860
U - 244 49 3 1 275
TL - 152 74 11 8 220
T - 160 31 11 4 249
TG - 126 52 7 21 185
S - 860 64 2 1 915
BD - 416 90 3 1 484
B - 364 93 14 - 468
BL - 260 480 6 1 360
TOTAL 860 2582 57 37 4.016

b. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Januari


Tinggi (meter) dan Frekuensi
Arah Total
0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5
TENANG 204 - - - - 204
U - 66 20 2 - 88
TL - 39 8 - - 47
T - 35 17 2 - 54
TG - 34 11 - - 45
S - 60 3 - - 63
BD - 29 9 - - 38
B - 112 46 21 - 179
BL - 68 55 19 - 142
TOTAL 204 443 169 44 - 860

c. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Februari


Tinggi (meter) dan Frekuensi
Arah Total
0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5
TENANG 316 - - - - 316
U - 53 6 1 - 60
TL - 16 2 1 - 19
T - 42 3 - 1 46
TG - 74 4 1 - 79
S - 53 6 1 - 60
BD - 42 26 6 6 80
B - 274 156 33 2 465
BL - 55 36 18 - 109
TOTAL 316 609 239 61 9 1.234
10

d. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Maret


Tinggi (meter) dan Frekuensi
Arah Total
0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5
TENANG 749 - - - - 749
U - 200 17 3 - 220
TL - 108 15 - - 123
T - 130 11 1 - 142
TG - 19 2 - - 21
S - 97 8 - - 105
BD - 59 6 - 1 66
B - 360 108 10 - 478
BL - 121 44 12 - 177
TOTAL 749 1094 211 26 1 2.081

e. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan April


Tinggi (meter) dan Frekuensi
Arah Total
0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5
TENANG 709 - - - - 709
U - 144 6 - - 150
TL - 103 6 - - 109
T - 273 88 1 2 364
TG - 54 20 2 - 76
S - 125 14 1 - 140
BD - 47 2 - - 49
B - 152 8 2 - 162
BL - 40 4 1 - 45
TOTAL 709 938 148 7 2 1.804

f. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Mei


Tinggi (meter) dan Frekuensi
Arah Total
0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5
TENANG 709 - - - - 709
U - 125 3 1 - 129
TL - 110 6 3 1 120
T - 295 92 11 4 402
TG - 71 32 - 1 104
S - 141 20 1 - 162
BD - 52 2 - - 54
B - 118 4 - - 122
BL - 45 2 - - 47
TOTAL 709 957 161 16 6 1.849
11

g. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Juni


Tinggi (meter) dan Frekuensi
Arah Total
0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5
TENANG 652 - - - - 652
U - 50 - 1 - 51
TL - 57 4 - - 61
T - 304 142 15 6 467
TG - 110 57 6 - 173
S - 128 20 2 1 151
BD - 27 - - - 27
B - 70 3 - - 73
BL - 13 1 - - 14
TOTAL 652 759 227 24 7 1.669

h. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Juli


Tinggi (meter) dan Frekuensi
Arah Total
0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5
TENANG 658 - - - - 658
U - 35 - - - 35
TL - 34 2 - - 36
T - 299 189 23 4 515
TG - 117 64 8 4 193
S - 171 26 1 - 198
BD - 26 2 2 - 30
B - 59 2 - - 61
BL - 13 1 - - 14
TOTAL 658 754 286 34 8 1.740

i. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Agustus


Tinggi (meter) dan Frekuensi
Arah Total
0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5
TENANG 637 - - - - 637
U - 53 - - - 53
TL - 39 7 - 2 48
T - 392 260 24 9 685
TG - 195 101 20 1 317
S - 192 25 2 1 220
BD - 25 1 - - 26
B - 61 2 1 - 64
BL - 11 - 1 - 12
TOTAL 637 968 396 48 13 2.062
12

j. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan September


Tinggi (meter) dan Frekuensi
Arah TOTAL
0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5
TENANG 63 - - - - 63
U - 1 - - - 1
TL - 10 - 1 1 12
T - 207 195 190 3 595
TG - 115 93 9 2 219
S - 43 26 1 - 70
BD - 7 1 1 - 9
B - 33 3 - - 36
BL - 1 - - - 1
TOTAL 63 417 318 202 6 1.006

k. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan Oktober


Tinggi (meter) dan Frekuensi
Arah TOTAL
0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5
TENANG 775 - - - - 775
U - 134 - - - 134
TL - 91 9 4 - 104
T - 288 138 11 - 437
TG - 110 40 1 1 152
S - 196 35 - - 231
BD - 37 6 - - 43
B - 115 8 - 1 124
BL - 25 - - - 25
TOTAL 775 996 236 16 2 2.025

l. Arah, ketinggian dan frekuensi gelombang pada bulan November


Tinggi (meter) dan Frekuensi
Arah TOTAL
0 0,1 - 0,5 0,6 – 1,0 1,1 - 1,5 > 1,5
TENANG 844 - - - - 844
U - 188 8 - - 196
TL - 102 2 - 1 105
T - 168 25 2 - 195
TG - 162 41 9 - 212
S - 355 70 8 1 434
BD - 76 2 4 1 83
B - 248 27 1 1 277
BL - 147 12 1 1 161
TOTAL 844 1446 187 25 5 2.507
13

Lampiran 5 Peta gelombang dan kecepatan angin di Laut Jawa dan sekitarnya

Lampiran 6 Gambar kontur kedalaman (batimetri) Selat Madura, Laut Bali bagian
barat dan Selat Bali bagian utara
14

Lampiran 7 Data hasil survei lapangan tentang ukuran perahu/kapal motor, jenis
alat tangkap, lama dan daerah operasi serta pendapatan bersih
nelayan

a. Data ukuran perahu perahu/kapal motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah
operasi penangkapan ikan serta pendapatan bersih nelayan per trip dari TPI
Tanjung Jangkar

Ukuran Jenis Lama Pendapatan


No Perahu Alat Operasi Daerah Operasi Bersih per
(GT) Tangkap (jam) orang-Trip (Rp)
1 2 Trawl Teri 12 Jangkar, Tuban 10,000 - 30,000
2 2 Gillnet 72 Jangkar, Raas, Sapudi 100,000
3 2 Trawl 12 Jangkar 30,000 - 50,000
4 2 Trawl 6 Jalur 2 Selat Madura 30,000 - 50,000
5 6 Purse Seine 72 Sapudi, Raas, Kangean 200,000
6 6 Purse Seine 12 Selat Madura 50,000
7 2 Purse Seine 12 Jangkar, Mimbo 30,000 - 50,000
8 6 Purse Seine 6 Jalur 2 Selat Madura 50,000-100,000
9 2 Trawl Teri 12 Jangkar 10,000 - 30,000
10 6 Purse Seine 12 Jalur 2 Selat Madura 50,000-100,000

b Data hasil survei tentang ukuran perahu/kapal motor, jenis alat tangkap, lama
dan daerah operasi penangkapan ikan serta pendapatan bersih nelayan per trip
dari PPI Probolinggo
Ukuran Lama Pendapatan per
Jenis Alat
No Perahu Operasi Daerah Operasi orang-Trip
Tangkap
(GT) (jam) (Rp)
1 4 Trawl 12 Selat Madura 20,000 – 50,000
2 4 Trawl 360 Selat Madura 100,000-200,000
3 6 Trawl 216 Selat Madura 50,000- 100,000
4 2 Trawl Teri 12 Selat Madura 300,000 - 100,000
5 15 Trawl 12 Selat Madura 100,000 - 500,000
6 5 Trawl Udang 4 Selat Madura 25,000
15

c. Data hasil survei lapangan tentang ukuran perahu/kapal motor, jenis alat
tangkap, lama dan daerah operasi penangkapan ikan serta pendapatan bersih
nelayan per trip dari PPI Pamekasan
Ukuran Lama Pendapatan per
Jenis Alat Daerah
No Perahu Operasi Orang-Trip
Tangkap Operasi
(GT) (jam) (Rp)
1 4 Trawl 12 Selat Madura 20,000-50,000
2 4 Trawl 360 Selat Madura 100,000-100,000
3 6 Trawl 216 Selat Madura 50,00 - 100,000
6 2 Trawl Teri 12 Selat Madura 300,000- 400,000
8 15 Trawl 12 Selat Madura 100,000- 500,000
9 5 Trawl Udang 4 Selat Madura 25,000

d. Data hasil survei lapangan tentang ukuran perahu/kapal motor, jenis alat
tangkap, lama dan daerah operasi penangkapan ikan serta pendapatan bersih
nelayan per trip dari PPI Dungkek (Sumenep)
Ukuran Lama Pendapatan per
Daerah
No Perahu Jenis Alat Tangkap Operasi Orang-Trip
Operasi
(GT) (jam) (Rp)
1 3 Trawl Teri 12 Jadung 10,000- 30,000
2 3 Trawl dan Gilnet 12 Jadung 10,000- 50,000
5 3 Trawl Teri 12 Jadung 10,000- 30,000
9 3 Trawl dan Gilnet 12 Jadung 15,000- 50,000
8 3 Trawl Udang dan Gilnet 12 Jadung 25,000- 50,000
9 3 Trawl Udang dan Gilnet 12 Jadung 25,000- 40,000
16

Lampiran 8 Tabel Feedback hasil tangkapan ikan di Selat Madura oleh nelayan
Situbondo dalam penerapan informasi spasial ZPPI

a. Feedback hasil tangkapan pada bulan Mei 2004

Posisi Hasil Tangkapan


No, Tanggal
Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan
1 10-5-2004 113O 29' 48" 7O 31' 02" 170 Lemuru
O
2 11-5-2004 113 40' 01" 7O 27' 29" 1.500 Lemuru, selar
3 12-5-2004 113O 48' 13" 7O 20' 48" 150 Lemuru
O
4 13-5-2004 113 36' 38" 7O 31' 04" 100 Lemuru
O
5 17-5-2004 113 47' 01" 7O 35' 53" 50 Lemuru
6 18-5-2004 113O 59' 30" 7O 28' 17" 500 Lemuru
O
7 19-5-2004 113 19' 42" 7O 19' 20" 2.000 Lemuru
O
8 21-5-2004 113 39' 10" 7O 32' 27" 4.000 Lemuru
O
9 24-5-2004 113 39' 33" 7O 23' 56" 700 Lemuru
10 25-5-2004 113O 43' 52" 7O 33' 52" 1.700 Lemuru
O
11 26-5-2004 113 33' 59" 7O 28' 21" 5.000 Lemuru
O
12 27-5-2004 113 44' 03" 7O 33' 41" 1.000 Lemuru

b. Feedback hasil tangkapan pada bulan Juni 2004


Posisi Hasil Tangkapan
No, Tanggal
Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan
1 16-6-2004 113O 48' 37" 7O 35' 56" 260 Kg Lemuru
O
2 21-6-2004 113 46' 37" 7O 25' 54" 1.000 Kg Lemuru
3 22-6-2004 113O 38' 20" 7O 27' 30" 4.000 Kg Lemuru
O
4 23-6-2004 113 41' 15" 7O 29' 56" 500 Kg Lemuru
O
5 24-6-2004 113 54' 50" 7O 23' 57" 2.500 Kg Lemuru

c. Feedback hasil tangkapan pada bulan Juli 2003


Posisi Hasil Tangkapan
No, Tanggal
Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan
1 28-7-2003 113O 32' 7" 7O 27' 10" 120 Kg Lemuru
O
2 29-7-2003 113 42' 5" 7O 30' 21" 250 Kg Lemuru
O
3 30-7-2003 113 28' 12" 7O 30' 15" 215 Kg Lemuru
4 31-7-2003 113O 27' 33" 7O 33' 40" 230 Kg Lemuru
17

d. Feedback hasil tangkapan pada bulan Juli 2004


Posisi Hasil Tangkapan
No, Tanggal
Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan
1 12-7-2004 113O 42' 47" 7O 29' 56" 0 -
O
2 13-7-2004 113 35' 50" 7O 23' 24" 0 -
3 14-7-2004 113O 36' 29" 7O 25' 44" 0 -
O
4 19-7-2004 113 33' 42" 7O 25' 14" 0 -
O
5 20-7-2004 113 41' 22" 7O 29' 5" 0 -
6 21-7-2004 113O 42' 13" 7O 21' 35" 0 -
O
7 22-7-2004 113 36' 38" 7O 30' 13" 0 -
O
8 26-7-2004 113 38' 18" 7O 31' 1" 0 -
9 27-7-2004 113O 41' 26" 7O 30' 20" 0 -
O
10 28-7-2004 113 40' 45" 7O 29' 35" 200 Lemuru

e. Feedback hasil tangkapan pada bulan Agustus 2003


Posisi Hasil Tangkapan
No, Perairan
Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan
1 113O 25' 20" 7O 20' 0" Selat Madura 160 Lemuru
2 113O 25' 20" 7O 22' 30" Selat Madura 220 Lemuru
3 113O 40' 10" 7O 25' 42" Selat Madura 200 Lemuru
4 113O 25' 0" 7O 27' 20" Selat Madura 360 Lemuru
5 113O 30' 40" 7O 32' 32" Selat Madura 310 Lemuru

f. Feedback hasil tangkapan pada bulan September 2004


Posisi Hasil Tangkapan
No, Tanggal
Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan
O
1 6-9-2004 113 56' 12" 7O 24' 35" 1.500 Lemuru
2 7-9-2004 113O 51' 50" 7O 34' 59" 700 Lemuru
O
3 9-9-2004 113 42' 28" 7O 28' 17" 1.200 Lemuru

g. Feedback hasil tangkapan pada bulan Oktober 2003


Posisi Hasil Tangkapan
No Tanggal
Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan
O
1 16-10-2003 113 33' 34" 7O 25' 58" 250 Lemuru
2 17-10-2003 113O 52' 07" 7O 30' 56" 2.000 Lemuru
Lemuru, Layang,
3 20-10-2003 113O 53' 10" 7O 29' 28" 1.500
Tongkol
O O
4 20-10-2003 114 07' 42" 7 36' 24" 1.500 Lemuru
5 21-10-2003 113O 44' 46" 7O 33' 35" 1.000 Lemuru dan tongkol
6 22-10-2003 113O 47' 17" 7O 30' 12" 1.800 Lemuru dan tongkol
7 23-10-2003 113O 46' 14" 7O 31' 58" 1.500 Lemuru
8 24-10-2003 113O 46' 48" 7O 26' 36" 900 Lemuru dan tongkol
9 30-10-2003 113O 44' 54" 7O 27' 49" 20 Selar dan tongkol
18

h. Feedback hasil tangkapan pada bulan Oktober 2005


Posisi Hasil Tangkapan
No Tanggal
Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan
1 10-10-2005 113O 44' 37" 7O 25' 12" 800 Lemuru
O
2 11-10-2005 113 44' 35" 7O 25' 20" 1.200 Lemuru dan Selar
3 12-10-2005 113O 41' 46" 7O 36' 11" 600 Lemuru
O
4 13-10-2005 113 44' 09" 7O 32' 02" 1.000 Layang dan Tongkol
O
5 14-10-2005 113 40' 40" 7O 25' 11" 700 Lemuru
O
6 15-10-2005 113 40' 09" 7O 28' 11" 600 Lemuru dan Selar
7 22-10-2005 113O 40' 06" 7O 26' 11" 800 Tongkol dan Layang
O
8 24-10-2005 113 41' 10" 7O 30' 14" 650 Lemuru dan Selar
O
9 25-10-2005 113 55' 38" 7O 18' 42" 1.300 Lemuru dan Layang
10 26-10-2005 114O 05' 07" 7O 20' 32" 700 Layang
O
11 27-10-2005 113 42' 06" 7O 33' 53" 600 Tongkol
O
12 28-10-2005 113 30' 57" 7O 24' 13" 200 Layang
13 29-10-2005 113O 53' 43" 7O 27' 21" 850 Lemuru dan Tongkol

i. Feedback hasil tangkapan pada bulan November 2003


Posisi Hasil Tangkapan
No Tanggal
Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan
1 1-11-2003 113O 39' 43" 7O 26' 31" 170 Lemuru
O
2 2-11-2003 113 43' 30" 7O 31' 20" 120 Lemuru
O
3 4-11-2003 113 50' 30" 7O 22' 35" 300 Lemuru
4 14-11-2003 113O 37' 41" 7O 24' 47" 900 Lemuru
O
5 15-11-2003 113 45' 34" 7O 29' 15" 800 Lemuru
O
6 16-11-2003 113 44' 57" 7O 33' 18" 20 Tongkol
7 17-11-2003 113O 45' 10" 7O 33' 15" 300 Lemuru
O
8 18-11-2003 113 39' 34" 7O 23' 22" 800 Lemuru

j. Feedback hasil tangkapan pada bulan November 2005


Posisi Hasil Tangkapan
No Tanggal
Bujur (BT) Lintang (LS) Kg Jenis Ikan
1 10-11-2005 113O 40' 06" 7O 26' 11" 2.000 Tongkol
O
2 11-11-2005 113 41' 10" 7O 30' 14" 1.200 Tongkol/Selar
3 12-11-2005 113O 42' 6,1" 7O 33' 53 " 800 Tongkol
O
4 14-11-2005 113 30' 57" 7O 24' 13" 400 Layang/Selar
O
5 19-11-2005 113 36' 25" 7O 35' 39" 700 Tongkol
6 21-11-2005 114O 07' 05" 7O 27' 29" 4.000 Tongkol
O
7 22-11-2005 114 07' 15" 7O 28' 00" 600 Tongkol
O
8 23-11-2005 114 07' 05" 7O 28' 03" 1.700 Tongkol
9 24-11-2005 114O 07' 25" 7O 28' 05" 900 Tongkol
O
10 25-11-2005 114 07' 35" 7O 27' 39" 1.200 Tongkol
O
11 26-11-2005 114 07' 30" 7O 27' 50" 1.300 Tongkol
O
12 28-11-2005 113 41' 46" 7O 36' 11" 800 Tongkol
13 29-11-2005 113O 42' 06" 7O 33' 53" 400 Layang
19

Lampiran 9 Perhitungan alokasi perahu/kapal motor untuk setiap kategori perahu


motor pada setiap zona penangkapan pada masing-masing PPI
dengan pola pengaturan berbentuk lingkaran

a. Jumlah perahu/kapal motor pada setiap PPI dan secara keseluruhan untuk
masing-masing kategori

Kategori Ukuran Jumlah Perahu/Kapal Motor pada PPI


Perahu/Kapal Motor (unit) Jumlah
(GT) Besuki T. Pecinan P. Mimibo
<5 257 468 165 890
5 - 10 267 102 312 681
10 - 20 21 394 109 524

b. Hasil perhitungan luas zona penangkapan masing-masing PPI

Kategori Zona Luas masing-masing kategori zona ring


Penangkapan penangkapan (km2) Jumlah
Berdasarkan Jarak dari (km2)
Besuki T. Pecinan P. Mimibo
Titik Pusat (km)
<4 37,39 23,21 30,59 91,19
4 - 10 165,44 174,13 120,27 459,84
10 - 20 414,15 568,25 449,76 1432,16

c. Hasil perhitungan alokasi luas rata-rata per perahu/kapal motor untuk tiap
kategori zona penangkapan di Situbondo

Kategori Zona Penangkapan Alokasi luas rata-rata per


Berdasarkan Jarak dari Titik Pusat perahu/kapal motor (km2/unit)
(km)
0-4 0,10
4 - 10 0,68
10 - 20 2,73

d. Hasil perhitungan area yang diperlukan/dipergunakan untuk kegiatan


penangkapan ikan berdasarkan rata-rata luas operasi penangkapan dikalikan
jumlah perahu/kapal motor

Kategori Zona Area yang digunakan oleh nelayan untuk


Penangkapan melakukan penangkapan pada masing-masing
Berdasarkan Jarak dari (km2)
Titik Pusat (km) Besuki T. Pecinan P. Mimbo
<4 26,33 47,95 16,91
4 - 10 180,29 68,87 210,68
10 - 20 57,40 1.076,85 297,91
20

e. Selisih (kelebihan atau kekurangan) area pada masing-masing zona (luas zona
dikurangi area yang digunakan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan
pada masing-masing PPI

Kategori Zona Penangkapan Selisih (kelebihan atau kekurangan) area


Berdasarkan Jarak dari pada masing-masing zona PPI (km2)
Titik Pusat (km) Besuki T, Pecinan P, Mimbo
<4 11,06 -24,74 13,68
4 - 10 -14,85 105,26 -90,41
10 - 20 356,75 -508,60 151,85

f. Jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima (potisif) dari PPI lain atau
direlokasi (negatif) direlokasi ke PPI lain untuk melakukan kerjasama
penangkapan ikan (diperoleh dari selisih (kelebihan atau kekurangan) area
pada masing-masing zona (luas zona dikurangi area yang digunakan oleh
nelayan untuk melakukan penangkapan pada masing-masing PPI dibagi
dengan luas rata-rata alokasi area penangkap)

Jumlah perahu/kapal motor yang dapat


Kategori Zona Penangkapan
diterima dari PPI lain atau direlokasi
Berdasarkan Jarak dari
direkali ke PPI lain (unit)
Titik Pusat (km)
Besuki T. Pecinan P. Mimbo
<4 107 -241 134
4 - 10 -22 156 -134
10 - 20 131 -186 56
21

Lampiran 10 Perhitungan alokasi perahu/kapal motor untuk setiap kategori perahu


motor pada setiap zona penangkapan pada masing-masing PPI
dengan pola pengaturan berbentuk sejajar garis pantai

a. Hasil perhitungan luas zona penangkapan masing-masing PPI

Kategori Zona Luas masing-masing kategori zona ring


penangkapan (km2) Jumlah
Penangkapan Sejajar
(km2)
Garis Pantai (km) Besuki T. Pecinan P. Mimbo
<4 182,06 150,7 258,41 591,17
4 - 10 261,6 193,82 427,66 883,08
10 - 20 416,9 298,44 829,66 1545,00

b. Hasil perhitungan alokasi luas rata-rata per perahu/kapal motor untuk tiap
kategori zona penangkapan di Situbondo

Kategori Zona Penangkapan Alokasi luas rata-rata per


Sejajar Garis Pantai (km) perahu/kapal motor (km2/unit)
0-4 0.66
4 - 10 1.30
10 - 20 2.95

c. Hasil perhitungan area yang diperlukan/dipergunakan untuk kegiatan


penangkapan ikan berdasarkan rata-rata luas operasi penangkapan dikalikan
jumlah perahu/kapal motor

Kategori Zona Area yang digunakan oleh nelayan untuk melakukan


Penangkapan Sejajar penangkapan pada masing-masing (km2)
Garis Pantai (km) Besuki T. Pecinan P. Mimbo
<4 170,71 310,86 109,60
4 - 10 346,23 132,27 404,58
10 - 20 61,92 1.161,70 321,38

d. Selisih (kelebihan atau kekurangan) area pada masing-masing zona (luas zona
dikurangi area yang digunakan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan
pada masing-masing PPI

Kategori Zona Penangkapan Selisih (kelebihan atau kekurangan) area


Sejajar Garis Pantai pada masing-masing zona PPI (km2)
(km) Besuki T. Pecinan P. Mimbo
<4 11,35 -160,16 148,81
4 - 10 -84,63 61,55 23,08
10 - 20 354,98 -863,26 508,28
22

g. Jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima (potisif) dari PPI lain atau
direlokasi (negatif) ke PPI lain untuk melakukan kerjasama penangkapan ikan
(diperoleh dari selisih (kelebihan atau kekurangan) area pada masing-masing
zona (luas zona dikurangi Area yang digunakan oleh nelayan untuk
melakukan penangkapan pada masing-masing PPI dibagi dengan luas rata-rata
alokasi area penangkap)

Jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima


Kategori Zona Penangkapan
dari PPI lain atau direlokasi direkali ke PPI lain
sejajar garis pantai (unit)
(km)
Besuki T. Pecinan P. Mimbo
<4 17 -241 224
4 - 10 -65 47 18
10 - 20 120 -293 173
23

Lampiran 11 Sebaran ZPPI mingguan di perairan Selat Madura

Lampiran 11.1 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Desember di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Desember

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Desember


24

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Desember

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Desember


25

Lampiran 11.2 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Januari di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Januari

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Januari


26

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Januari

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Januari


27

Lampiran 11.3 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Februari di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Februari

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Februari


28

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga. bulan Februari

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Februari


29

Lampiran 11.4 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Maret di Selat Madura bagian
timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Maret

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Maret


30

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Maret

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Maret


31

Lampiran 11.5 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan April di Selat Madura bagian
timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan April

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan April


32

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan April

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan April


33

Lampiran 11.6 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Mei di Selat Madura bagian
timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Mei

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Mei


34

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Mei

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Mei


35

Lampiran 11.7 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Juni di Selat Madura bagian
timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Juni

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Juni


36

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Juni

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Juni


37

Lampiran 11.8 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Juli di Selat Madura bagian
timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Juli

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Juli


38

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Juli

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Juli


39

Lampiran 11.9 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Agustus di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Agustus

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Agustus


40

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Agustus

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Agustus


41

Lampiran 11.10 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan September di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama September

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua September


42

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga September

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat September


43

Lampiran 11.11 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Oktober di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Oktober

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Oktober


44

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Oktober

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Oktober


45

Lampiran 11.12 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan November di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh

a. Sebaran ZPPI pada minggu pertama pada bulan November

b. Sebaran ZPPI pada minggu kedua pada bulan November


46

c. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga pada bulan November

d. Sebaran ZPPI pada minggu keempat pada bulan November


47

Lampiran 12 Grafik perbandingan antara ZPPI dengan ZPPI virtual yang dapat
diakses melalui kerjasama operasional penangkapan ikan

Lampiran 12.1 Grafik perbandingan antara ZPPI dalam zona PPI Besuki sendiri
dengan ZPPI virtual yang dapat diakses

ZPPI Dalam Zona Besuki


ZPPI Virtual Bagi Nelayan Besuki
40
34
35 32 32
30 30
30
Jumlah Unit Spasial

25 26
23 23 24
25

20 17
15
15

10
6 5
4 3 3 4 3 3 3 3 4
5 2
0
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov
Bulan

Lampiran 12.2 Grafik perbandingan antara ZPPI dalam zona PPI Tanjung
Pecinan sendiri dengan ZPPI virtual yang dapat diakses

45
ZPPI Dalam Zona T Pecinan
39
40 ZPPI Virtual Bagi Nelayan T. Pecinan
35
35 32
31 31
29 29
Jumlah Unit Spasial

30 28
25 25
25 23
21
20
15

10
5 2 2 3 2 2 3 3 3 3 2
1 1
0
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov
Bulan
48

Lampiran 12.3 Grafik perbandingan antara ZPPI yang ada dalam zona PPI
Pondok Mimbo sendiri dengan ZPPI yang dapat diakses serta
ZPPI virtual yang dapat diakses melalui kerjasama penangkapan
ikan.

ZPPI Dalam Zona P Mimbo


16 15 ZPPI Yang Dapat Diakses
14 14
14
ZPPI Virtual Bagi Nelayan P Mimbo
12 12 12 12 12
12
Jumlah Unit Spasial

10 10
10
8
8 7
6
6 5 5 5 5 5 5
4 4
4 3 33 33 3 3
2 2 2 2 2 2
2 1 1

0
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov

Bulan

You might also like