Professional Documents
Culture Documents
BIDAWI HASYIM
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Bidawi Hasyim
NIM : C561 030 214
ABSTRACT
Bidawi Hasyim. Management of Potential Fishing Zone in Madura Strait and its
Surrounding Based on Spatial and Temporal Approaches. Supervised by M. Fedi
A. Sondita, John Haluan and Mahdi Kartasasmita
Fish resources in the east part of Madura Strait has been traditionally utilized by
Situbondo fishermen. This research was aimed at: (1) describing the dynamics of
potential fishing zones (PFZ) by analyzing sea surface temperature and
chlorophyll-a content, wind velocity and wave height, and (2) developing spatial
and temporal direction of fishing operation and cooperative fishing operation
based on the distribution of PFZ. This research synthesized 10-year weekly sea
surface temperature (SST) data in the Madura Strait and its surroundings derived
from satellite remote sensing becoming 48 weekly SST data, identified and
synthesized 48 PFZs data becoming 12 monthly PFZs, then analyzed monthly
PFZ based on its distribution and density classification in each spatial units. Based
on regional planning, the fishing management zone of Situbondo can be
distinguished into 3 areas: PPI Besuki zone in the west, PPI Tanjung Pecinan
Zone in the middle and PPI Pondok Mimbo Zone in the east.
Fishermen from the three PPIs have different capacity in accessing the PFZs
identified in this research. The fishermen from PPI Besuki and Tanjung Pecinan,
especially who operate fishing boats larger than 20 GT, have better technological
capacity than the fishermen from PPI Pondok Mimbo, especially to operate during
easterly wind season. The fishermen from the first two PPIs can access most part
of the strait and its adjacent waters while those from the PPI Pondok Mimbo can
access the PFZs as far as 20 kms from the shore. Cooperative fishing operation
among the fishermen from various locations surrounding Madura Strait and its
adjacent waters is needed to promote greater access to the PFZs identified in this
research and prevent conflicts on fishing ground. Such cooperative operation
needs to be supported by inter-regional governments (Kabupatens) in the area
through wider integrated fisheries management, including development of
regional fisheries industry network.
BIDAWI HASYIM
Disertasi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Doktor
Pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc.
: 2. Dr. Ir. Domu Simbolon, MS.
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof (R). Dr. Ir. Subhat Nurhakim, M.Sc.
: 2. Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Sc.
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia
rahmat dan nikmatNya sehingga disertasi dengan judul “Pengelolaan Zona
Penangkapan Ikan di Selat Madura dan Sekitarnya Dengan Pendekatan Spasial
dan Temporal”.ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini disusun untuk memenuhi
persyaratan memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan –
Institut Pertanian Bogor, dan sebagai bagian dari upaya memberikan konstribusi
bagi pembangunan perikanan tangkap khususnya untuk Kabupaten Situbondo.
Penulis dapat mengikuti pendidikan sampai S3 dan menyelesaikan disertasi pada
Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan IPB ini, atas jasa serta do’a dari
ayahanda H. Asna’i (alm) dan ibunda Hj Yatim yang paling penulis hormati, serta
isteri tercinta Hj. Erna Marliana.
Dengan selesainya disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Profesor
Dr. Ir. John Haluan M.Sc. dan Dr. Ir. Mahdi Kartasasmita MS. selaku Anggota
Komisi Pembimbing Disertasi;
2. Prof Dr Ir Indra Jaya, M.Sc., Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
yang mewakili Rektor IPB pada Ujian Terbuka;
3. Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc., Wakil Dekan yang mewakili Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Ujian Tertutup;
4. Profesor Dr. Ir. John Haluan M.Sc., selaku Ketua Program Studi Teknologi
Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB;
5. Dr. Ir. Budy Wiryawan M.Sc., dan Dr. Ir. Domu Simbolon MS. selaku
penguji luar pada Ujian Tertutup;
6. Prof (R) Dr. Ir. Subhat Nurhakim, M.Sc. dan Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol,
M.Sc. selaku penguji luar pada Ujian Terbuka;
7. Profesor (Emeritus) Dr. Ir. Daniel R. Monintja, M.Sc. yang selalu memberikan
dorongan semangat sejak penulis mengikuti program studi S3 Teknologi
Kelautan IPB;
Pada kesempatan ini, penulis tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih
atas dukungannya dalam penyelesaian disertasi ini, kepada :
1. Dr. Adhyaksa Dault, S.H., M.Si., Menteri Negara Pemuda dan Olahraga RI,
sebagai pimpinan sekaligus sahabat sejak kuliah bersama pada Program Studi
Teknologi Kelautan IPB;
2. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS., selaku dosen sekaligus teman diskusi sejak
penulis mengikuti pendidikan S2 Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan IPB;
3. Dr. Bambang Koesoemanto, M.Sc., Sekretaris Utama LAPAN;
4. Drs. Bambang Setiawan Tejasukmana, Dipl.Ing., Deputi Bidang Sains
Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan LAPAN serta sahabat sejak kuliah
bersama pada Departemen Fisika – Institut Teknologi Bandung (ITB);
5. Dra. Ratih Dewanti, M.Sc., selaku Kepala Pusat Pengembangan Pemanfaatan
dan Teknologi Penginderaan Jauh (Pusbangja) LAPAN, dan Ir. Agus Hidayat,
M.Sc. selaku Kepala Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN ;
6. Dra. Yuni Purwanti, M.Pd., Asisten Deputi Olahraga Pendidikan; Dra.
Marheni Diah, M.Pd., Kepala Bidang Olahraga Kesiswaan; serta para Kepala
Bidang dan kawan-kawan pada Asdep Olahraga Pendidikan, Kementerian
Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenegpora);
7. dr. Fatimah, Sp. KO., Asisten Deputi Standardisasi, Akreditasi, dan Sertifikasi
(SAS) Keolahragaan - Kemenegpora, beserta para Kepala Bidang dan kawan-
kawan pada Asdep SAS Keolahragan - Kemenegpora;
8. Prof. Dr. Husein Argasasmita, M.A., Ketua Lembaga Akreditasi Nasional
Keolahragaan (LANKOR). Kemenegpora;
9. Dr. Orbita Roswintiarti, M.Sc., Kepala Bidang Pemanfaatan Penginderaan
Jauh; Dr. Ir. Donny Kushardono, M. Eng. Sc., Kepala Bidang Pengembangan
Teknologi Penginderaan Jauh; Ir. Totok Suprapto, MT., Kepala Bidang
Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan; serta Ir. Nursaid, M.Si.,
Kepala Instalasi Lingkungan dan Cuaca, Pusbangja - LAPAN;
10. Prof (R) Dr. Ir. Asikin Djamali dan Dr. Ir. M. Hutomo, Lembaga Penelitian
Oseanologi LIPI, juga atas bantuannya dalam pengadaan literatur oseanografi;
11. Dra. Maryani Hartuti, M.Sc., Teguh Proyogo ST., Sayidah Sulma, SPi.,
Suwarsono S.Si., Yudi Prayitno, ST., Drs. Islam Widya Bagja, sdr Bambang
Susilo dan teman-teman di LAPAN Pekayon, dalam perolehan data dan
pengolahan data satelit penginderaan jauh;
12. Roy Hidayat, S.Pi., M.Si, Staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Situbondo atas bantuannya dalam pengadaan literatur tentang perikanan di
Kabupaten Situbondo;
13. Teman-teman dari Sekretariat Pasca Sarjana IPB khususnya Pak Jayana,
sekretariat Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, serta Mbak Shinta,
Mbak Hani dan Pak Iwan dari Sekretariat Program Studi Teknologi Kelautan
IPB, dalam penyelesaian administratif perkuliahan dan disertasi;
14. Sanak saudara atas sambung do’a dan dorongan semangatnya untuk
menyelesaikan pendidikan dan disertasi ini;
15. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyelesaian
disertasi Pascasarjana Program Studi Teknologi Kelautan IPB.
Penulis berharap, disertasi ini bermanfaat bagi penentu kebijakan dan pelaku
perikanan tangkap khususnya di daerah penelitian yaitu Kabupaten Situbondo,
penentu kebijakan dan pengambil keputusan di bidang penginderaan jauh LAPAN
dalam meningkatkan penelitian pemanfaatan teknologi satelit penginderaan jauh
untuk kelautan dan perikanan, serta memotivasi teman-teman peneliti di instansi
penulis bekerja untuk meningkatkan kedewasaan ilmiah.
Semoga pendidikan yang telah penulis jalani dan disertasi ini menjadi
contoh dan penyemangat bagi anak-anak dan menantu tersayang yaitu : Akhmad
Ardiyansyah SE., Lita Aryani, SP., Muhammad Lukman, A.Md., Budi Muliawan,
Arlina Ratnasari (penerus pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB), Aulia
Irfana Perdani, ST., serta cucunda terkasih Naila Zahra Azalia Mayrani serta
generasi penerus penulis untuk mencapai jenjang pendidikan tertinggi.
Bidawi Hasyim
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 19 Oktober 1953 di Situbondo - Jawa Timur, anak
pertama dari 5 bersaudara dari pasangan ayah H. Asna’i dan ibu Hj. Yatim. Setelah
menyelesaikan pendidikan S1 pada Departemen Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB)
pada tahun 1980, penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sejak 1 Maret 1980. Lulus S2 Pasca
Sarjana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (PS-SPL) Institut Pertanian Bogor
(IPB) pada 31 Januari 2003, kemudian pada bulan Juni 2003 melanjutkan ke Program S3
pada Program Studi Teknologi Kelautan (PS-TKL) – Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB. Penulis pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan dalam bidang
teknologi pengolahan data dan komputer, serta penginderaan jauh dan sistem informasi
geografis baik di dalam dan di luar negeri, antara lain di Pusat Ilmu Komputer Universitas
Indonesia, Amerika Serikat, Jepang, Thailand, Kanada, Italia, dan Belanda. Secara
khusus, penulis pernah belajar aplikasi penginderaan jauh untuk kelautan dan perikanan
di Japan National Fisheries Risearch Institute, Tokyo tahun 1987-1988.
Penulis secara konsisten melakukan penelitian di bidang aplikasi data
penginderaan jauh untuk kelautan dan perikanan sejak 1983. Menjadi Peneliti Utama
pada kegiatan Riset Unggulan Terpadu (RUT) dalam bidang aplikasi data penginderaan
jauh untuk kualitas perairan pantai. Pernah aktif menjadi anggota Komisi Nasional
Pengkajian Sumberdaya Ikan Laut, kerjasama penelitian aplikasi data RADAR-SAR
antara negara-negara ASEAN dengan Uni Eropa, serta angota Global Research Network
System (GRNS) Jepang dalam bidang oseanografi. Mengembangkan inovasi dalam
bidang aplikasi data penginderaan jauh untuk penentuan zona potensi penangkapan ikan
(ZPPI), pemetaan terumbu karang seluruh perairan laut Indonesia menggunakan data
penginderaan jauh LANDSAT-TM (kerjasama LAPAN – LIPI), serta proyek aplikasi
data penginderaan jauh untuk bina usaha. Penulis terpilih sebagai Peneliti Terbaik
LAPAN tahun 1995/1996, mendapat penghargaan Satya Lencana Karya Satya 10 dan 20
tahun, serta Satya Lencana Wira Karya Pembangunan dari Presiden RI.
Penulis juga banyak membimbing tugas akhir mahasiswa S1 untuk penelitian yang
berkaitan dengan pemanfaatan data penginderaan jauh dari beberapa perguruan tinggi
antara lain dari IPB, Universitas Diponegoro Semarang (UNDIP), Universitas Riau
(UNRI), Universitas Hasanuddin Makassar (UNHAS), Universitas Hang Tuah Surabaya
(UHT), Universitas YARSI Jakarta, serta mahasiswa S2 SPL-IPB. Penulis pernah
berpartisipasi aktif pada pertemuan ilmiah dalam dan luar negeri seperti di Malaysia,
Singapore, Thailand, Phillipina, China, dan Jepang. Penulis juga pernah menjadi Wakil
Ketua Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN).
Jabatan fungsional peneliti yang diemban saat ini adalah Ahli Peneliti Muda
Bidang Penginderaan Jauh. Penulis sempat memegang jabatan struktural sebagai Kepala
Unit Komputer Induk – Pusat Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN, Kepala Bidang
Matra Laut – Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN, Kepala Pusat
Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN, serta mendapat
tugas sebagai Staf Ahli Kepala LAPAN Bidang Tekno Ekonomi. Selain jabatan struktural
di LAPAN, penulis sempat ditugaskan untuk memangku jabatan struktural eselon I
sebagai Staf Ahli Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Bidang Strategi Pembangunan
Pemuda dan Olahraga, kemudian sebagai Deputi Menteri Negara Pemuda dan Olahraga
Bidang Pemberdayaan Olahraga pada Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga
Republik Indonesia.
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Gambar ……………………………………………………………… xx
Daftar Tabel ………………………………………………………………… xxiii
Daftar Lampiran ……………………………………………………………. xxiv
1 PENDAHULUAN ……………………………………………………... 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………. 1
1.2 Permasalahan ……………………………………………………… 5
1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………….. 5
1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………………… 6
1.5 Hipotesis …………………………………………………………... 7
1.6 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 7
4 METODOLOGI ……………………………………………………….. 48
4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian …………………………………….... 48
4.2 Metode Pengumpulan Data ................................................................ 49
4.2.1 Materi penelitian.…………………………………...………. 49
4.2.2 Perhitungan suhu permukaan laut .......................................... 50
4.2.3 Data klorofil-a ........................................…………………... 53
4.2.4 Data angin dan gelombang .................................................. 53
4.2.5 Data kedalaman perairan laut ………………….................... 54
4.3 Pengumpulan Data Perikanan Tangkap ............................................ 54
4.3.1 Pengumpulan data perikanan tangkap melalui survei
lapangan................................................................................. 55
4.3.2 Pengumpulan data waktu, lokasi dan jenis ikan.................... 56
4.4 Design dan sintesis Informasi Spasial ZPPI ..................................... 56
4.5 Metode Analisis ................................................................................ 62
4.5.1 Pengaturan zona penangkapan ikan berdasarkan ukuran 62
(jarak jangkau) perahu/kapal motor .........................................
4.5.2 Pengaturan zona penangkapan berdasarkan daya jangkau
kapal dalam bentuk lingkaran .................................................. 63
4.5.3 Pengaturan zona penangkapan ikan dalam jarak sejajar garis
pantai ....................................................................................... 64
4.5.4 Analisis pengelolaan zona penangkapan ikan ........................ 65
6 PEMBAHASAN ...................................................................................... 99
6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya ................................. 99
6.1.1 SPL, klorofil-a, angin, gelombang, dan arus ............................ 100
6.1.2 Kedalaman perairan Selat Madura ............................................ 109
6.1.3 Sumberdaya ikan Selat Madura................................................. 110
6.1.4 Kondisi spesifik Selat Madura ................................................. 112
6.2 Pengaturan Alokasi Perahu/Kapal Motor ......................................... 113
6.2.1 Pengaturan alokasi perahu/kapal motor dalam zona
penangkapan ikan berbentuk lingkaran ................................... 114
6.2.2 Pengaturan alokasi perahu/kapal motor dalam zona
penangkapan ikan sejajar garis pantai ................................... 115
6.2.3 Alternatif bentuk zona penangkapan ....................................... 117
6.3 Pengaturan Pola Kegiatan Penangkapan Ikan .................................... 117
6.3.1 Pengaturan pola kegiatan penangkapan bagi nelayan Besuki 118
6.3.2 Pengaturan pola kegiatan penangkapan bagi nelayan Tanjung
Pecinan ..................................................................................... 125
6.3.3 Pengaturan pola kegiatan penangkapan bagi nelayan Pondok
Mimbo ..................................................................................... 133
xix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Nama kecamatan dan desa pesisir yang mempunyai TPI ................ 39
2 Alat tangkap dan produksi ikan setiap jenis alat tangkap per tahun 43
3 Produksi ikan tangkap Kabupaten Situbondo untuk 5 (lima) jenis
ikan yang dominan pada tahun 2002 – 2006 (5 tahun) …………… 44
4 Jumlah armada perahu/kapal motor setiap kecamatan di
Kabupaten Situbondo tahun 2003 ………………………………… 45
5 Jumlah nelayan berdasarkan jenisnya pada masing-masing
kecamatan di Kabupaten Situbondo tahun 2003 ………………….. 45
6 Nilai konstanta a dan b untuk kanal 4 dan 5 sensor AVHRR .......... 52
7 Data ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah
operasi serta pendapatan bersih nelayan per trip dari PPI Pondok
Mimbo............................................................................................... 71
8 Data ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah
operasi serta pendapatan bersih nelayan per trip dari PPI Besuki.... 72
9 Distribusi jumlah dan ukuran perahu motor pada masing-masing
PPI di wilayah Kabupaten Situbondo ............................................. 83
10 Luas zona masing-masing ring (km2) untuk tiap kategori ukuran
perahu layar/motor di PPI Besuki .................................................... 85
11 Luas zona masing-masing ring (km2) untuk tiap kategori ukuran
perahu layar/motor di PPI Tanjung Pecinan .................................... 85
2
12 Luas zona masing-masing ring (km ) untuk tiap kategori ukuran
perahu layar/motor di PPI Pondok Mimbo ...................................... 85
13 Luas zona penangkapan per perahu/kapal motor (km2/unit) untuk
masing-masing PPI dan seluruh Situbondo....................................... 86
14 Luas zona penangkapan sejajar garis pantai untuk masing-masing
kategori perahu/kapal motor pada PPI ............................................. 86
15 Luas zona sejajar garis pantai untuk alokasi per unit perahu/kapal
motor masing-masing untuk PPI Besuki, Tanjung Pecinan, dan
Pondok Mimbo, dan rata-rata untuk seluruh Situbondo .................. 87
16 Posisi ZPPI bulanan dalam zona PPI Besuki ……………………... 94
17 Posisi ZPPI bulanan dalam zona PPI Tanjung Pecinan …………... 95
18 Posisi ZPPI bulanan dalam zona PPI Pondok Mimbo …………..... 96
19 Posisi ZPPI bulanan di perairan sekitar Selat Madura …………..... 98
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 PENDAHULUAN
Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari
wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km2 dan zona ekonomi
ekslusif (ZEE) yang luasnya sekitar 2,7 juta km2. Ini berarti bahwa Indonesia
dapat memanfaatkan sumberdaya di perairan laut yang luasnya sekitar 5,8 juta
km2. Potensi sumberdaya ikan laut di seluruh perairan Indonesia diperkirakan
sebesar 6,4 juta ton per tahun. Potensi tersebut diantaranya terdiri dari ikan
pelagis besar sebesar 1,65 juta ton, ikan pelagis kecil sebesar 3,6 juta ton, dan ikan
demarsal sebesar 1,36 juta ton. Nilai produksi tersebut memberikan indikasi
bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut Indonesia baru mencapai
58,80%, dan sebagian besar merupakan ikan pelagis (Dahuri, 2003).
Sumberdaya ikan Indonesia yang sangat besar merupakan potensi yang perlu
dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat memberikan keuntungan bagi
kesejahteraan masyarakat dan sumber devisa negara. Pemanfaatan sumberdaya
ikan laut Indonesia di berbagai wilayah tidak merata. Di beberapa wilayah
perairan masih terbuka peluang besar untuk pengembangan pemanfaatannya,
sedangkan di beberapa wilayah perairan laut yang lain sudah mencapai kondisi
padat tangkap atau overfishing termasuk wilayah perairan Laut Jawa. Hal tersebut
dapat disebabkan karena pengelolaan sumberdaya perikanan belum dilaksanakan
dengan baik, sebagai akibat belum tersedianya perencanaan pengelolaan
sumberdaya perikanan secara akurat dan sesuai dengan kondisi spesifik perairan,
sumberdaya ikan, sarana dan prasarana perikanan serta sosial budaya masyarakat.
Selat Madura adalah salah satu wilayah yang mempunyai potensi perikanan
cukup baik namun belum dikelola dan dikembangkan secara optimal. Wilayah
perairan laut ini menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Situbondo dan
kabupaten lain di sekitarnya. Wilayah Kabupaten Situbondo terletak di tepian
selatan Selat Madura dengan garis pantai sepanjang sekitar 150 km,
berseberangan dengan wilayah Kabupaten Sumenep yang terletak di tepian utara
selat ini. Kabupatan ini di sebelah timur berbatasan dengan Laut Bali dan Selat
2
1.2 Permasalahan
1.5 Hipotesis
(1) ZPPI di kawasan Selat Madura dan sekitarnya memiliki dinamika secara
spasial dan temporal yang mengikuti angin musiman.
(2) Peluang nelayan Situbondo dalam mengakses ZPPI di Selat Madura dan
perairan sekitarnya tidak sama, ditentukan oleh posisi geografis, kondisi
oseanografi dan kemampuan teknis alat tangkap serta pola penangkapan ikan
oleh nelayan dari masing-masing PPI.
(3) Kerjasama perikanan tangkap secara terpadu di kawasan Selat Madura dan
perairan sekitarnya, akan meningkatkan produktivitas nelayan Situbondo dari
masing-masing PPI.
SPL Klorofil-a
Teknologi
Pola pengaturan operasi Penangkapan
penangkapan ikan
Pengelolaan
Ikan Hasil
Tangkapan
Pengelolaan Perikanan Terpadu:
Kerjasama nelayan dan pemerintah
daerah di tepian Selat Madura
2 TINJAUAN PUSTAKA
dan SPL menjadi faktor penting dalam iklim regional, yang berdampak penting
terhadap iklim global. Wilayah Indonesia, yang juga dikenal dengan “Maritime
Continent” telah diidentifikasi sebagai area yang sangat penting bagi iklim, baik
secara lokal maupun global.
Penangkapan ikan dengan alat tangkap purse seine di perairan tropis Asia
dicirikan pada penggunaan rumpon untuk mengumpulkan ikan pelagis kecil.
Sejak tahun 1971, fishing ground diperluas ke bagian timur Laut Jawa dengan
mengembangkan taktik dan strategi penangkapan yang selalu bergeser berkaitan
dengan perubahan lingkungan. Analisis hasil tangkapan ikan layang dalam
kaitannya dengan fishing ground di sekitar Bawean, Masalembo Matasiri, dan
kepulauan Kangean menunjukkan bahwa, keberhasilan penangkapan ikan terjadi
selama periode salinitas tinggi (340/00). Hasil tangkapan ikan tertinggi selama
periode tersebut didaratkan dari fishing ground di kepulauan Masalembo.
Fenomena ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang dapat diterangkan
dengan jelas bahwa pergeseran massa air dari arah timur ke barat menyebabkan
meningkatnya produktivitas ikan pelagis kecil di area tersebut.
Hasil tangkapan rata-rata sekitar kepulauan Masalembo dengan jelas
menunjukkan siklus musiman yang berkaitan erat dengan perubahan angin
monsun. Hasil tangkapan (ton/hari penangkapan) cenderung tinggi pada bulan
Agustus hingga November, pada kondisi perairan dengan salinitas tinggi dan suhu
lebih rendah, sebaliknya menurun pada bulan Desember hingga Juli dengan suhu
tinggi dan salintas rendah. Kondisi yang khusus terjadi pada bulan Januari – April
dengan hasil tangkapan sekitar 1,5 sampai 2,5 ton/hari.
Perairan di bagian timur Laut Jawa merupakan daerah peralihan yang
dipengaruhi oleh kondisi oseanografi Selat Makassar dan Laut Flores dengan
kondisi yang bervariasi berkaitan dengan perubahan musiman. Hasil penelitian
pada stasiun dekat pulau Matasiri dalam periode 1992 – 1994 menunjukkan
bahwa SPL maksimum mencapai 30o C selama angin dari barat laut atau musim
basah pada bulan Desember 1993, kemudian menurun hingga 26o C pada Februari
1994. Suhu minimum dengan nilai 28o C terjadi selama akhir musim angin
tenggara atau musim kering pada bulan September 1993.
13
Sediadi (2004) menyatakan bahwa, pada waktu musim timur terjadi proses
upwelling di perairan Laut Banda. Untuk mengetahui effek upwelling terhadap
kelimpahan dan distribusi fitoplankton di perairan Laut Banda, dilakukan
penelitian pada bulan Agustus 1997 yang mewakili musim timur dan bulan
Oktober 1998 yang mewakili musim peralihan sebagai pembanding. Data
kelimpahan dan distribusi fitoplankton dengan mengambil contoh fitoplankton
14
tidak langsung karena keterbatasan skala peta yang diperoleh dari citra satelit dan
ikan berada di bawah permukaan air laut, namun dilakukan dengan mendeteksi
distribusi produktivitas primer (klorofil-a) dengan menggunakan sensor visible.
Sulistya (2007) menyatakan bahwa, pemahaman tentang karakteristik dan
keanekaragaman SPL Laut Jawa belum memadai. Metode analisis spektral,
spasial dan temporal perlu digunakan untuk mempelajari karakteristik SPL dalam
kaitannya dengan musim. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, SPL tertinggi
di Laut Jawa pada umumnya terjadi pada bulan April – Mei dan bulan November,
sebaliknya SPL terendah umumnya terjadi pada bulan Februari dan Agustus.
Kostianoy (2004), melakukan penelitian thermal fornt menggunakan SST
rata-rata mingguan yang dihasilkan dari NOAA-AVHRR dengan resolusi 18 km.
Untuk mendapatkan data dengan resolusi spasial maksimum, analisis tidak
didasarkan pada data rata-rata bulanan, tetapi menggunakan rata-rata data
mingguan pada pertengahan tiap bulan dalam 3 tahun. Data yang digunakan
dalam penelitian terdiri dari 36 peta SPL (36 mingguan tiap pertengahan bulan).
Untuk mendapatkan gambar dari thermal front utama di bagian selatan dari
Samudera Hindia, peta SPL dikonversi menjadi peta gradien SPL. Gradien SPL
dihitung untuk tiap piksel berdasarkan operator gradien dua dimensi yang
menghitung perbedaan antara dua piksel yang berdekatan. Dengan menggunakan
36 peta gradien SPL mingguan untuk tiap pertengahan bulan, diperoleh indikasi
secara umum tentang struktur, perluasan, keragaman, dan intensitas dari thermal
front di bagian selatan Samudera Hindia.
Pengukuran arah dan kecepatan angin pada umumnya dilakukan di daratan
dengan sistem pengukuran yang bersifat statis. Secara teknis sangat sulit untuk
melakukan pengukuran arah dan kecepatan angin di suatu wilayah perairan,
karena pengukuran secara langsung di perairan laut hanya mungkin dilakukan
dengan peralatan yang ada di kapal-kapal berukuran besar, dan tidak tetap di suatu
tempat tergantung pada tujuan pelayaran itu sendiri. Dengan memperhatikan
keadaan tersebut maka arah dan kecepatan angin di perairan laut hanya dapat
diperoleh dari pemodelan berdasarkan hasil pengukuran angin di daratan.
Triatmojo (1996) menyatakan bahwa hubungan antara angin di daratan dan di
lautan dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
16
Uw = R1 * Ul ............................................................................................1.
dengan : R1 = Faktor regangan yang nilainya sangat tergantung pada bentuk lahan
di wilayah pesisir serta jarak antara lokasi pengukuran dengan lokasi pengamatan
di perairan laut; Uw = kecepatan angin di laut terdekat dengan lokasi pengukuran;
Ul = kecepatan angin di daratan yang terdekat dengan lokasi perairan yang
diamati. Angin di laut kemudian dikonversi menjadi tegangan angin dan
dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :
dengan : Feff = fetch rerata efektif; Xi = panjang segmen diukur dari titik observasi
gelombang ke ujung akhir fetch; dan α deviasi pada kedua sisi arah angin dengan
menggunakan pertambahan 6o sampai sudut 45o pada kedua sisi dari arah angin.
Nontji (2002) menyatakan bahwa, air laut sebenarnya tidak pernah dalam
keadaan tenang sempurna, akan selalu terjadi gelombang bahkan gelombang besar
atau hanya sekedar riak kecil. untuk menjelaskan proses terjadinya gelombang di
lautan pada umumnya digunakan model, baik model yang sederhana maupun yang
kompleks. Gelombang mempunyai tiga unsur penting yaitu panjang, tinggi dan
periode. Panjang gelombang adalah jarak mendatar antara dua puncak gelombang
yang berurutan, tinggi gelombang adalah jarak menegak antara puncak dan
lembah, sedangkan periode gelombang adalah waktu yang diperlukan oleh dua
puncak gelombang yang berurutan untuk melalui suatu titik. Ukuran besar
17
Ikan tongkol (Euthynnus spp) hidup pada suhu 20 – 22o C dengan salinitas
dalam kisaran 32,21–34,40 o/oo, tersebar di perairan Kalimantan, Sumatera, pantai
India, Filipina dan sebelah selatan Australia, sebelah barat Afrika Barat, Jepang,
sebelah barat Hawai dan perairan pantai Pasific – Amerika. Ikan tongkol memiliki
panjang tubuh mencapai 80 cm dan umumnya 30 – 50 cm. Jenis tongkol lainnya
adalah axuis thazard, hidup di daerah pantai, lepas pantai perairan Indonesia dan
berkelompok besar, panjangnya mencapai 50 cm, umumnya 25 – 40 cm.
Tenggiri (scomberomorus lineolatus), habitatnya di seluruh perairan pantai
sehingga daerah penangkapan ikan tenggiri di perairan pantai, pada salinitas
o
34,21–34,60 /oo. Tenggiri tersebar di seluruh perairan Indonesia, Sumatera, Jaut
Jawa. Perairan Indo-Pasifik, Teluk Benggala, Laut Cina Selatan dan India. Semua
jenis tongkol dan tenggiri bersifat karnivora (makan ikan–ikan kecil, cumi-cumi)
dan predator serta merupakan ikan perenang cepat. Pada umumnya ketiga jenis
ikan tersebut ditangkap saat gelombang dan angin sedang.
Ikan layang (decapterus spp.) bersifat stenohaline, hidup secara
berkelompok pada kedalaman 20 – 25 meter, menghendaki perairan yang jernih
dan merupakan ikan karnivora (plankton, crustacea). Sebarannya di Indonesia
terdapat di perairan Ambon, Ternate, Laut Jawa. Selar atau bentong (selar
cromenopthalmus) hidup berkelompok di perairan pantai yang hangat sampai
kedalaman 80 m. Ikan ini bersifat karnivora (makan ikan kecil, crustacea),
panjang mencapai 30 cm, umumnya 20 cm. Tersebar di Sumatera, Nias, Jawa,
Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi, Ambon, Seram, Laut Merah, Natal, Zanzibar,
Madagaskar, Muskat, India, Cina, Jepang, Formosa, Filipina, sampai perairan
tropis Australia. Waktu siang dan malam, keadaan cuaca sedang, pada kedalaman
20 –25 m dan berjarak 1 – 3 mil.
Linting (1994) menyatakan bahwa, informasi tentang musim ikan
merupakan satu di antara unsur penunjang pengembangan usaha perikanan. Yang
dimaksud dengan musim ikan adalah melimpahnya hasil tangkapan yang
diperoleh dan didaratkan di suatu wilayah tanpa ada hubungan langsung dengan
kelimpahan stok ikan yang ada di suatu perairan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa musim ikan dicirikan oleh tingginya hasil tangkapan dan bukan
oleh tingginya indeks kelimpahan stok. Dari data yang diperoleh di TPI Bau-Bau
19
(Sulawesi Tenggara), dapat diketahui bahwa beberapa jenis ikan ekonomis yang
menonjol memperlihatkan fluktuasi hasil tangkapan bulanan. Fluktuasi hasil
tangkapan secara rinci menunjukkan pola yang sedikit berbeda satu sama lain.
Produksi rata-rata ikan layang selama periode 1985 – 1992 berkisar antara 65,7 –
191, 8 ton. Musim ikan layang dicirikan oleh tingginya produksi bulanan yang
melebihi 100 ton/bulan dan terjadi selepas puncak musim barat (Februari sampai
dengan Mei) dan mulai puncak musim timur sampai dengan Oktober. Ikan layang
yang didaratkan terdiri atas jenis layang biasa dan jenis layang berukuran besar
dari jenis Decapterus himimulatus .
Ikan selar atau megalaspis cordyla, hidup di perairan pantai sampai
kedalaman 60 m dan berkelompok, dari perairan tropis yang suhunya hangat.
Panjang tubuh ikan ini mencapai 40 cm dan umumnya 30 cm. Sebaran ikan ini di
Laut Jawa, Sulawesi, Sumatera, Selat Karimata, Bali, Sumbawa dan Ambon,
Madagaskar, Teluk Bengala, Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Formosa, Filipina,
Samoa, dan Hawaii. Selar kuning (caranx leptolepis) banyak ditemukan hidup di
perairan pantai sampai kedalaman 25 m dan hidup berkelompok. Ikan ini bersifat
karnivora (makan ikan-ikan kecil, udang-udangan) dan pada umumnya berukuran
15 cm. Ikan ini tersebar di daerah Sumatera (Bangka, Belitung, Selat Karimata),
Laut Jawa dan Selat Makasar. Ikan ini ditangkap pada kedalaman 20–25 m dan
berjarak 25–30 km dari pantai dengan waktu penangkapan menjelang subuh.
Kuweh (caranx sexfaciathus) hidup di perairan dangkal dan pantai, hidup
berkelompok, dan termasuk ikan karnivora (ikan kecil, crustacea), panjangnya
mencapai 40 cm umumnya 20 – 30 cm. Ikan ini dijumpai di perairan pantai
seluruh Indonesia, Nias, sepanjang pantai Laut Cina Selatan, Filipina, Cina,
Formosa sampai ke perairan tropis Australia. Kuweh jenis lain yaitu alectis
indicus, hidup di perairan pantai yang dangkal sampai kedalaman 20 – 25 m,
termasuk ikan karnivora (makan crustacea, ikan kecil) dan hidup berkelompok.
Jenis ikan ini, panjangnya mencapai 75 cm dan umumnya 40 cm, terdapat di
perairan Sumatera, Laut Jawa, Bangka, Kalimantan dan Sulawesi, Teluk
Benggala, Teluk Siam, Pantai Cina Selatan sampai perairan tropis Australia. Ikan
ini tertangkap pada kedalaman 20 m dan berjarak 2–4 mil dari pantai.
20
a. Oceanic, yang tertangkap ketika air laut dari Laut Banda masuk ke Laut Jawa
selama musim monsun tenggara antara Agustus dampai November.
b. Neritic, yang tertangkap sepanjang tahun.
c. Coastal, yang tertangkap sepanjang tahun dalam jumlah yang sedikit.
Habitat ikan pelagis juga banyak dipengaruhi oleh suhu perairan yang
menjadi tempat hidupnya. Pengaruh suhu secara vertikal diantaranya terlihat pada
saat suhu perairan tiba-tiba mengalami kenaikan cukup tajam akan meningkatkan
metabolisme dalam tubuh ikan, sehingga kebutuhan oksigen pada ikan juga
meningkat. Di sisi lain, kenaikan suhu justru akan menurunkan tingkat kelarutan
oksigen. Kondisi ini biasa terjadi pada siang hari dan akan menyebabkan ikan
lebih suka berada di lapisan lebih dalam dibandingkan di permukaan. Kepekaan
beberapa jenis ikan pelagis terhadap suhu, kedalaman, salinitas, dan kecerahan air
laut yang menjadi habitatnya.
Penelitian hubungan antara SPL dan kandungan klorofil-a berdasarkan data
Aqua Modis untuk pengkajian pendugaan hasil tangkapan ikan pelagis besar
(tongkol Dan cakalang) di perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode Juli 2002 – Desember 2006,
rata-rata SPL tertinggi terjadi pada bulan April 2003 yakni sebesar 30,35o C.
Dengan kondisi suhu tersebut hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar
6,142 ton. Sedangkan rata-rata SPL terendah terjadi pada bulan Agustus 2006
yakni sebesar 25,64 o C, dengan hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar
65,195 ton. Produksi hasil tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2002
sebesar 220 ton, dengan kondisi SPL adalah 26,65o C. Sedangkan berdasarkan
kandungan klorofil-a, pada periode Juli 2002 – Desember 2006, rata-rata
kandungan klorofil-a tertinggi terjadi pada bulan September 2006 yakni sebesar
1.0177 mg/m3. Dengan kondisi kandungan klorofil-a tersebut hasil produksi ikan
yang diperoleh adalah sebesar 145,5 ton, sedangkan rata-rata kandungan klorofil-a
terendah terjadi pada bulan Januari 2003 yakni sebesar 0.1083 mg/m3 dengan
hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar 17,321 ton. Produksi hasil
tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2002 sebesar 220 ton, dengan
kandungan klorofil-a adalah 0.3201 mg/m3 .
23
(4) Jaring insang (jaring kejer, jaring rampus atau kletek, jaring insang tetap, dan
trammel net; dan (5) perangkap (bubu).
WPP Laut Jawa bagian selatan, dari pulau Karimata ditarik garis ke
perbatasan Kabupaten Situbondo dengan Banyuwangi, provinsi Jawa Timur.
Batas selanjutnya mengikuti garis pantai utara Jawa sampai Kabupaten Serang,
Jawa Barat (Wirasantosa, 2007). Berdasarkan batas-batas dari WPP Laut Jawa
maka perairan Selat Madura berada dalam WPP Laut Jawa di sisi selatan paling
timur. Pembentukan WPP perlu diikuti dengan penetapan batas-batas, serta
penetapan Propinsi/Kabupaten/Kota yang diperkirakan sebagai pusat pendaratan
ikan hasil tangkap masing-masing wilayah pengelolaan.
Data spasial atau sering juga disebut data keruangan adalah data yang terikat
dengan posisi koordinat ruang di permukaan bumi. Data spasial dapat berupa peta
dasar atau peta tematik, data/informasi yang diperoleh dari data penginderaan jauh
satelit, atau data hasil pengamatan lapangan yang dikaitkan dengan posisi
koordinat yang diukur dengan Global Positioning System (GPS) atau titik acuan
berdasarkan posisi koordinat pada peta dasar.
Data spasial berupa peta dasar atau peta tematik antara lain : (1) peta
rupabumi; (2) peta laut (kedalaman); (3) peta lingkungan pesisir dan laut. Data
spasial berupa parameter fisik dan lingkungan terkini yang diperoleh dari data
penginderaan jauh antara lain terdiri dari : (1) data daerah potensi penangkapan
ikan (fishing ground); (2) data lingkungan pesisir dan pantai seperti terumbu
karang, mangrove, dan kualitas perairan; (3) daerah potensi budidaya laut.
Berdasarkan catatan bahwa, hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Bali
pernah mengalami penurunan yang sangat drastis yaitu dari melebihi 6.500 ton
pada tahun 1950 menjadi kurang 200 ton pada tahun 1956, tetapi kemudian naik
lagi disebabkan oleh faktor-faktor atau peristiwa yang tidak diketahui. Penurunan
stok ikan secara drastis dapat disebabkan oleh dua faktor yang saling berkaitan
yaitu tekanan penangkapan berlebih dan pengaruh lingkungan oseanografi. Faktor
kedua disebabkan oleh ketidakpastian dalam estimasi sumberdaya ikan lemuru
(sandine) di Indonesia akibat kesenjangan informasi distribusi ikan lemuru secara
geografis dari stok ikan dalam potensi lestari (Pet, 1997).
Juli 2002. Kegiatan sosialisasi dan aplikasi diikuti oleh perwakilan nelayan dari
Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, dan beberapa perwakilan dari Dinas Kelautan
dan Perikanan Jawa barat, serta Lembaga Swadaya Masyarakat dari Bandung dan
Tasikmalaya. Pelaksanaan aplikasi data ZPPI dilaksanakan pada tanggal 11 – 13
Juli 2002 di Pangandaran.
Lapan melakukan uji coba hari pertama pada tanggal 11 Juli 2002
menggunakan data ZPPI tanggal 10 Juli 2002 di posisi titik ikan 108o 39’ 45.9”
BT – 7o 47’ 16.7” LS dan kapal yang digunakan berukuran 10 GT dengan alat
tangkap jaring ngambang. Hasil tangkapan yang diperoleh dalam operasi
penangkapan ikan sebesar 4 kg dengan jenis ikan tongkol dan layur. Uji coba hari
kedua tanggal 12 Juli 2002 dengan memakai data ZPPI 1 (satu) hari sebelumnya
pada koordinat 108o 9’ 3.8” BT – 7o 55’ 33.7” LS dan bobot kapal yang dipakai
berukuran sama hanya alat tangkapnya yang beda yaitu jaring gillnet. Pada posisi
titik ikan tersebut mendapatkan hasil tangkapan sebesar 30 kg dengan jenis ikan
tongkol dan tenggiri. Kegiatan uji coba hari ketiga tanggal 13 Juli 2002 dengan
menggunakan data ZPPI tanggal yang sama pada posisi titik ikan 108o 44’ 33” BT
– 7o 47’ 24.3” LS dengan hasil tangkapan ikan sebesar 40 kg dengan jenis ikan
Tongkol dan Tenggiri.
Data feedback bulan September didasarkan pada informasi ZPPI Seacorm –
DKP dan informasi ZPPI dari LAPAN. Informasi data ZPPI dari Seacorm – DKP
berdasarkan data Topex pada daerah penangkapan ikan sekitar perairan Gombong
– Yogyakarta dengan posisi koordinat 108o 49’ 43.8” BT – 7o 57’ 36.2” LS
mendapatkan jumlah hasil tangkapan ikan sebesar 945 kg. Sedangkan informasi
spasial ZPPI dari LAPAN pada daerah penangkapan ikan sekitar perairan
Sindangkerta dengan koordinat 107o 55’ 4.7” BT – 7o 50’ 12.4” LS memperoleh
hasil tangkapan ikan sebanyak 1.325 kg (Gambar 4).
32
Gambar 4 Informasi spasial ZPPI tanggal 13 Juli 2002 yang digunakan pada uji
coba penerapan ZPPI di perairan laut Pangandaran.
Dari tingkat keberhasilan uji coba, data ZPPI tersebut cukup memberikan
pemahaman dan memuaskan para nelayan setempat tentang akurasi data dalam
menentukan posisi koordinat penangkapan ikan. Para nelayan menginginkan agar
informasi spasial dari LAPAN dikirim secara rutin setiap hari. Selain itu
informasi posisi titik-titik ikan diharapkan berada dibawah 10 mil dari TPI
setempat karena rata-rata nelayan daerah selatan Jawa Barat merupakan nelayan
pesisir yang menggunakan perahu motor dengan bobot antara 1 - 2 GT dan alat
tangkap masih tradisional.
Telah dilakukan juga kegiatan sosialisasi dan penerapan informasi spasial
ZPPI bagi para nelayan, pemilik kapal, dan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan
Kota Pekalongan. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan sosialisasi tersebut, telah
dilakukan uji coba penerapan informasi spasial ZPPI dengan menggunakan data
tanggal 2 Agustus 2002 (Gambar 5). Uji coba dilakukan dengan cara
menyampaikan informasi spasial ZPPI melalui komunikasi radio dengan
memberikan informasi titik-titik koordinat ZPPI kepada pimpinan awak kapal
yang berada di tengah laut dan nelayan yang akan berangkat melaut.
33
Gambar 5 Contoh ZPPI di perairan Laut Jawa sebelah utara pulau Madura yang
dipergunakan oleh nelayan Pekalongan.
34
Uji coba penerapan ZPPI dilakukan di perairan sebelah utara Rembang dan
Tuban pada tanggal 22 Agustus 2002 menggunakan kapal motor Sinar Kencana
berbobot 80 GT dan alat tangkap purse seine. Hasil tangkapan pada kegiatan uji
coba pada koordinasi posisi 110o 50’BT dan 5o20’ LS ini adalah 2,25 ton, serta
hasil tangkapan jenis ikan Layang dan Banyar sebanyak 3 ton pada koordinat
posisi 112o 35’BT dan 6o15’ LS.
Kegiatan sosialisasi dan aplikasi informasi spasial ZPPI di Makassar
dilaksanakan pada tanggal 22 – 24 September 2002 di perairan Selat Makasar
menggunakan kapal berukuran 6 GT dan alat tangkap jaring Purse Seine. Uji coba
menggunakan informasi spasial ZPPI tanggal 22 September 2002 dengan posisi
titik ikan 119o 7’ 54.8” BT – 5o 10’ 26.4” LS atau sekitar perairan Pulau Langkai
sejauh sekitar 8 mil dari PPI Paotere. Dalam perjalanan menuju lokasi titik ikan
35
tersebut atau sekitar 4 mil dari PPI Paotere terjadi gelombang besar dan cuaca
buruk sehingga uji coba informasi spasial ZPPI dihentikan.
Pelaksanaan uji coba dilanjutkan pada tanggal 24 September 2002 dengan
menggunakan data ZPPI sebelumnya di posisi titik ikan yang sama. Perahu motor
berhenti pada jarak sekitar 3 mil dari data ZPPI yaitu posisi koordinat 119o 10’
14” BT – 5o 7’ 55” LS karena menurut informasi nahkoda bahwa daerah tersebut
merupakan daerah fishing ground. Namun jaring tidak dapat diturunkan karena
arus kuat dan gelombang tinggi. Selama pelaksanaan uji coba data ZPPI dapat
disimpulkan bahwa faktor cuaca dan kapal serta alat tangkap ikan yang kurang
mendukung akan menghambat penangkapan ikan pada saat itu. Selain itu
informasi ZPPI yang digunakan adalah data tanggal sebelumnya, sementara ikan
sudah bermigrasi sejauh sekitar 3 mil dari titik ikan yang dituju.
Gambar 7 Contoh Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan yang diproduksi dan
didistribusikan oleh BRKP-DKP
Tabel 2 Alat tangkap dan produksi ikan setiap jenis alat tangkap per tahun
perairan Selat Madura. Berdasarkan alat tangkap yang dipergunakan, pukat cincin
(Purse Seine) adalah jenis alat tangkap penghasil ikan tangkapan terbanyak yaitu
sekitar 72% dari total tangkapan di Kabupaten Situbondo (Tahun 2002), alat
tangkap payang sekitar 16%, dan pancing sekitar 8%.
Ditinjau dari jenis ikan yang tertangkap di perairan Selat Madura oleh
armada penangkap ikan Kabupaten Situbondo pada tahun 2002 – 2006, ikan
lemuru adalah yang paling banyak tertangkap dibandingkan jenis ikan lainnya
dalam kategori ikan dominan. Hasil tangkapan ikan lemuru cukup berfluktuasi
dan cenderung mengalami penurunan dari 4.784,2 ton pada tahun 2002 menjadi
hanya 1.483,7 ton pada tahun 2006 (Tabel 3).
Tabel 3 Produksi ikan tangkap Kabupaten Situbondo untuk 5 (lima) jenis ikan
yang dominan pada tahun 2002 – 2006 (5 tahun)
Ditinjau dari segi klasifikasi jenis nelayan yang bekerja di sektor perikanan
tangkap, jumlah terbesar adalah nelayan pandega dengan jumlah 15.452 orang,
nelayan yang merupakan pemilik berjumlah 2.353 orang, dan yang paling sedikit
adalah nelayan sambilan berjumlah 366 orang (Tabel 5).
Jika ditinjau dari segi tempat PPI maka jumlah nelayan yang terbanyak
adalah di Kecamatan Banyuputih (PPI Pondok Mimbo) berjumlah 4.205 orang,
yang kedua adalah di Kecamatan Besuki (PPI Besuki) berjumlah 2.535 orang,
ketiga adalah di Kecamatan Panarukan berjumlah 2.102 orang, dan yang ke empat
adalah di Kecamatan Jangkar (PPI Jangkar) berjumlah 1.330 orang.
tersebut dan juga sangat terbatasnya aparat penjaga perairan laut di wilayah
perairan Situbondo dan sekitarnya.
Peluang dalam pelaksanaan pembangunan perikanan di Kabupaten
Situbondo antara lain dalah sebagai berikut :
1) Potensi sumberdaya ikan di perairan sekitar Situbondo khususnya Selat
Madura, Selat Bali dan Laut Bali cukup tinggi dalam segala musim;
2) Permintaan ikan hasil perikanan tangkap terus mengalami peningkatan;
3) Semakin terbukanya peluang pasar untuk penjualan ikan hasil tangkapan yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi;
4) Sudah dibangun prasarana dan sarana untuk pengolahan ikan hasil tangkapan
khususnya untuk pemindangan ikan dan pembuatan tepung ikan meskipun
masih belum memadai;
5) Dekat dengan tempat pengolahan ikan (pengalengan ikan) skala besar di
wilayah Banyuwangi untuk pengalengan ikan lemuru dan ikan tongkol;
6) Dekat dengan kawasan wisata (Bali, Pasir Putih) yang membutuhkan ikan
segar berkualitas tinggi seperti kerapu, kakap, udang untuk konsumsi
wisatawan asing dan lokal.
Beberapa hambatan yang dihadapi oleh nelayan Kabupaten Situbondo
mempunyai dampak negatif bagi usaha penangkapan ikan di perairan laut,
selanjutnya berdampak pada rendahnya produktivitas tangkapan karena belum
mampu memanfaatkan peluang yang ada sehingga pada akhirnya menyebabkan
rendahnya penghasilan nelayan.
48
4 METODOLOGI
Penelitian dilakukan sejak bulan Juni 2005 sampai dengan Desember 2007,
dengan fokus daerah penelitian di kawasan laut Kabupaten Situbondo, Jawa
Timur dan perairan sekitarnya. Daerah penelitian meliputi Selat Madura bagian
timur, Laut Jawa bagian timur, Laut Bali bagian barat, dan Selat Bali bagian utara,
sebagaimana Gambar 9.
spasial ini juga mengacu pada hasil uji coba dari sejumlah kegiatan yang pernah
dilakukan LAPAN serta sebuah pemikiran agar informasi ZPPI dapat digunakan
dengan mudah oleh nelayan, pembagian area yang diterapkan dalam penelitian ini
menggunakan unit spasial yang disesuaikan dengan sistem area pada peta dasar
yang digunakan sebagai referensi.
Wilayah penelitian ZPPI bulanan meliputi perairan Selat Madura, Laut Bali
bagian barat, Laut Jawa bagian selatan, sebelah utara Sumenep, Pamekasan
sampai Sampang, serta Selat Bali bagian utara, dengan batas-batas geografi pada
koordinat 1120 50’ - 1160 00’ BT dan 60 30’ - 80 10’ LS. Mengacu pada hasil
penelitian oleh Narendra (1993), wilayah penelitian kawasan ini dibagi menjadi
unit spasial dengan ukuran 10’. Ukuran unit spasial adalah 10’ x 10’ (18,52 km x
18,52 km). Panjang sisi dari unit spasial ini mendekati ukuran jarak lokasi daerah
penangkapan ikan seperti yang disarankan Narendra (1993), dengan catatan
bahwa 1° = 60’ dan 1’ = 1 mil laut atau 1.852 m.
Materi utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data penginderaan
jauh dari satelit NOAA-AVHRR hasil akuisisi Stasiun Bumi Satelit Lingkungan
dan Cuaca LAPAN. Data NOAA-AVHRR yang digunakan adalah data time
series mingguan selama 10 tahun yaitu dari tahun 1996 sampai dengan 2005,
khususnya data NOAA-AVHRR kanal 4 dan kanal 5 (infra merah termal) yang
dipergunakan untuk menentukan sebaran suhu permukaan laut (SPL). Untuk
mendapatkan hasil perhitungan SPL yang baik, dilakukan 3 (tiga) kegiatan
penting yaitu : (1) pemisahan data hasil akuisisi pada saat terjadi El-Nino; (2)
pemilihan data yang bebas awan; dan (3) dilakukan cropping untuk cakupan data
NOAA-AVHRR wilayah Jawa Timur.
Selain data SPL yang diperoleh dari data NOAA-AVHRR dan data
kandungan klorofil-a bulanan yang diperoleh (download) dari situs internet
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/brpuse.pl, dalam penelitian ini juga digunakan:
50
1) Data kecepatan angin dan tinggi gelombang diperoleh dari laporan hasil survei
di Selat Madura yang dilakukan oleh Dinas Hidrooseanografi – TNI AL. Data
angin dan gelombang bulanan, dihasilkan dari perata-rataan data selama 10
tahun dan diperoleh dari Dinas Hidrooseanografi.
2) Data kedalaman laut Selat Madura dan perairan sekitarnya, yang dibuat
berdasarkan peta kedalaman laut yang diterbitkan Dinas Hidrooseanografi
nomor 1608 dan 1706.
3) Data feedback berupa lokasi penangkapan, jenis dan jumlah ikan hasil
tangkapan yang diperoleh dari uji coba penerapan ZPPI di Selat Madura mulai
Juli 2003 sampai dengan November 2005.
4) Data produksi perikanan tangkap dari statistik yang diterbitkan Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo, tahun 2002 - 2003.
5) Data hasil survei lapangan pada bulan September 2007 meliputi jenis alat
tangkap, lokasi penangkapan, lama operasi penangkapan, dan penghasilan
nelayan per trip penangkapan untuk PPI Pondok Mimbo, TPI Jangkar, PPT
Besuki, PPI Probolinggo, PPI Pamekasan dan PPI Dungke – Sumenep.
Dalam perkembangan terakhir ini, satelit penginderaan jauh yang
menggunakan Radar-SAR dilengkapi dengan sensor altimeter untuk mengamati
ketinggian permukaan laut (sea surface height / SSH), dengan resolusi spasial
0,25o (27,5 km x 27,5 km). Karena resolusi spasial citra SSH yang bersifat global
sehingga sangat bermanfaat untuk mendeteksi SSH di perairan laut yang luas
seperti Samudera Hindia, namun tidak dapat dipergunakan untuk mendeteksi SSH
Selat Madura karena merupakan perairan yang sempit dan dangkal.
Ln = Sn Cn + In ............................................................................................1
b
TBn = ......................................................................................2
[ln( Ln ) − a]
dengan : TBn : Temperatur kecerahan air laut masing-masing kanal 4 dan kanal
5, sedangkan a dan b adalah nilai konstanta yang ditentukan berdasarkan panjang
52
gelombang kanal 4 dan 5. Nilai konstanta a dan b untuk kanal 4 dan kanal 5
dinyatakan dengan Tabel 6 berikut :
C 2Yn
TWn = .....................................................................3
C 2Yn
ln[1 − e + e exp( )]
TBn
Dimana : C2 : konstanta radiasi sinar matahari dengan nilai 1,438833 cmK; Yn :
central wave number kanal infra merah jauh sensor AVHRR; Nilai Yn untuk kanal
4 dan kanal 5 masing-masing adalah 927,73cm dan 938,55cm.
Langkah terakhir adalah perhitungan SPL dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
Dengan : SPL = Suhu Permukaan Laut (Sea Surface Temperature) dalam derajat
Celcius; TW4 = suhu air laut berdasarkan kanal 4; TW5 = suhu air laut
berdasarkan kanal 5; 273 = adalah pengurangan nilai derajat Kelvin (pada 0o
Celcius); dan 0,582 adalah koefisien koreksi.
Setelah diperoleh citra SPL dilakukan koreksi geometrik dan rektifikasi citra
SPL sebagai berikut :
1) Melakukan koreksi geometrik citra SPL dengan titik-titik referensi pada peta
dasar skala 1:200.000;
53
2) Melakukan rektifikasi semua citra SPL hasil akuisisi mingguan yang akan
dikoreksi secara geomentrik dengan data yang sudah dikoreksi secara akurat
sebagai citra referensi;
arah gelombang yang dominan pada tiap-tiap bulannya. Data yang dipergunakan
adalah rata-rata bulanan arah dan kecepatan angin di perairan Selat Madura dan
sekitarnya dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2007.
Arah dan kecepatan angin rata-rata yang diperoleh dari Dinas
Hidrooseanografi TNL-AL. Kecepatan angin dikelompokkan menjadi 6 interval
kecepatan dalam satuan knot yaitu antara 0 - 1 knot, 1 – 3 knot, 4 – 6 knot, 7 – 10
knot, 11 – 16 knot dan lebih besar dari 17 knot. Tinggi gelombang rata-rata dibagi
menjadi 5 interval dalam satuan meter yaitu 0; 0,1 – 0,5; 0,6 – 1,0; 1,1 – 1,5; dan
> 1,5 meter. Arah angin dan gelombang dibagi menjadi 8 arah yaitu utara, timur
laut, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, dan barat laut.
Data kedalaman perairan laut diperoleh dari peta kedalaman laut buatan
Dinas Hidrooseanografi TNI AL sesuai dengan skala yang tersedia. Data
kedalaman perairan ini digunakan untuk mendukung analisis daerah-daerah yang
potensial terjadinya penaikan massa air laut yang disebabkan oleh terjadinya
perubahan kedalaman dasar laut. Karena gradasi kedalaman kawasan Selat
Madura antara di sisi timur yang berbatasan dengan Laut dan Selat Bali dengan
perairan di utara Situbondo ke arah barat maka isobath dibuat tidak liner,
tergantung pada karakteristik kedalaman perairan. Gradasi kedalaman sebelah
timur dengan isobath 1.000 meter, 500 meter, dan 200 meter. Gradasi kedalaman
Selat Madura yang masuk dalam kategori perairan dangkal mulai utara Pondok
Mimbo dengan kedalaman 100 meter ke arah barat sampai kedalaman 10 meter
dibuat isobath dengan gradasi 10 meter.
Data lokasi, waktu dan jenis ikan diperoleh melalui kegiatan uji coba
penerapan informasi spasial ZPPI di Selat Madura, dilakukan atas kerjasama
antara Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh
LAPAN dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo. Penerapan
informasi spasial ZPPI dilaksanakan oleh personel LAPAN bersama nelayan dari
PPI Pondok Mimbo, TPI Tanjung Jangkar, dan PPI Besuki, dengan operasi
penangkapan ikan di Selat Madura. Lokasi penangkapan ikan ditentukan
berdasarkan informasi spasial ZPPI yang diproduksi oleh LAPAN, sementara
kegiatan penangkapan ikan dengan menerapkan informasi spasial ZPPI dilakukan
dengan dua pola yaitu, (1) penerapan informasi yang dilakukan secara bersama
oleh nelayan setempat dengan personel LAPAN beserta Dinas Kelautan dan
Perikanan Situbondo, dan (2) kegiatan penerapan informasi ZPPI dilakukan oleh
nelayan kemudian melaporkan hasil tangkapan (waktu, koordinat, jenis dan
jumlah berat ikan yang tertangkap) pada setiap ZPPI.
Data
NOAA
Cropping Citra
Berdasarkan Daerah
Penelitian
Batas-batas
Koreksi Geometrik koordinat daerah
Dan Radiometrik penelitian (peta dasar
1;200.000)
Penentuan Suhu
Permukaan Laut (SPL)
Mingguan
Analisis deteksi
”Thermal front”
Informasi Spasial
Zona Potensi
Penangkapan Ikan
(ZPPI)
SPL minggu Mi
bulan Bj tahun Tk SPL rata-rata Thermal front
minggu pertama minggu pertama
SPLT minggu Mi bulan Bj bulan Bj
bulan Bj tahun Tk
ZPPI minggu
SPL minggu Mi pertama bln 1-12
bulan Bj tahun Tk
SPL minggu Mi
bulan Bj tahun Tk SPL rata-rata Thermal front
minggu ke dua minggu ke dua
SPL minggu Mi bulan Bj bulan Bj
bulan Bj tahun Tk
ZPPI minggu ke
SPL minggu Mi dua bulan 1 - 12
bulan Bj tahun Tk
SPL minggu Mi
bulan Bj tahun Tk SPL rata-rata Thermal front
minggu ke tiga minggu ke tiga
SPL minggu Mi bulan Bj bulan Bj
bulan Bj tahun Tk
ZPPI minggu ke
SPL minggu Mi tiga bulan 1 - 12
bulan Bj tahun Tk
SPL minggu Mi
bulan Bj tahun Tk SPL rata-rata Thermal front
minggu ke empat minggu ke empat
SPL minggu Mi bulan Bj bulan Bj
bulan Bj tahun Tk
ZPPI minggu ke
SPL minggu Mi
empat bulan 1-12
bulan Bj tahun Tk
ZPPI bulan
Mei tahun Tk
ZPPI bulan
Juni tahun Tk
ZPPI bulan
Juli tahun Tk
ZPPI bulan
Agustus tahun Tk
Gambar 12 Proses sintesis data untuk menghasilkan pola spasial ZPPI bulanan
setiap tahun, dengan Tk adalah tahun data.
61
Gambar 13 Diagram alir proses ZPPI bulanan, dengan Ti menyatakan tahun data.
62
Untuk setiap unit spasial diberikan satu klasifikasi kepadatan dan tingkat
prospek keberhasilan penangkapan ikan. Dalam penelitian diterapkan 4 kelas
kepadatan ZPPI yang menggambarkan tingkat prospek keberhasilan dari setiap
unit spasial, sebagai berikut:
1) kelas sangat padat : unit spasial yang didalamnya terdapat lebih dari 5 ZPPI;
2) kelas padat : unit spasial yang didalamnya terdapat 4 - 5 ZPPI;
3) kelas sedang : unit spasial yang didalamnya terdapat 2 – 3 ZPPI;
4) kelas rendah : unit spasial yang didalamnya terdapat hanya 1 ZPPI.
Klasifikasi kepadatan ZPPI ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran
tentang tinggi rendahnya kemungkinan keberhasilan operasi penangkapan ikan
yang berpengaruh terhadap produktivitas penangkapan.
Berdasarkan kategori ukuran perahu motor dan jarak tempuh perahu motor
dari PPI/TPI untuk masing-masing ukuran, dibuat skenario zona penangkapan
yang dibagi menjadi 2 jenis yaitu dalam bentuk lingkaran dan dalam bentuk
sejajar garis pantai. Skenario pertama yaitu zona berbentuk lingkaran dengan titik
pusat pada masing-masing PPI/TPI, sedangkan skenario kedua berbentuk zona
sejajar garis pantai (Gambar 14). Secara umum, zona penangkapan dibagi menjadi
4 (empat) zona yaitu : (1) zona dengan jarak 0 – 4 km; (2) zona dengan jarak
antara 4 km sampai 10 km; (3) zona berjarak antara 10 km sampai dengan 20 km,
dan (4) zona berjarak di atas 20 km. Berdasarkan batas masing-masing zona
tersebut, dihitung luas masing-masing zona yang dialokasikan untuk masing-
masing kelompok ukuran perahu motor. Pembagian zona penangkapan ini
diarahkan untuk mencegah terjadinya konflik perebutan penangkapan antar
perahu motor khususnya antara perahu motor tradisional dengan perahu motor
yang berukuran besar dan menggunakan peralatan modern, sekaligus untuk
meningkatkan efisiensi dan produktivitas penangkapan oleh nelayan Situbondo.
63
Alokasi perahu motor didasarkan pada jarak tempuh untuk setiap kategori
ukuran perahu motor dalam bentuk lingkaran dengan titik pusat PPI, sehingga luas
zona penangkapan per unit perahu motor dapat diformulasikan sebagai berikut.
Dengan : Wri = luas zona per unit perahu layar/moror untuk setiap kategori (0 – 4
km, 4 – 10 km atau 10 – 20 km); Lri = luas zona ke i dalam masing-masing
kategori; Jpm = jumlah perahu layar layar/moro (unit); .
Analisis alokasi perahu/kapal motor pada masing-masing zona, dilakukan
dengan cara :
a. menghitung luas zona untuk setiap kategori perahu kapal motor dalam
masing-masing zona (km2/unit);
b. menghitung rata-rata luas zona untuk setiap kategori perahu/kapal motor pada
masing-masing zona untuk seluruh Situbondo.
c. menentukan jumlah perahu/kapal motor yang selayaknya berpangkalan pada
PPI bersangkutan.
d. menentukan perbandingan antara luas zona per perahu/kapal motor pada
masing-masing PPI dengan luas rata-rata per perahu/kapal motor seluruh
Situbondo.
e. menentukan PPI yang mempunyai luas zona per perahu/kapal motor di bawah
rata-rata yang berarti sudah melebihi daya tampung maksimum, dan PPI yang
mempunyai luas zona per perahu/kapal motor lebih tinggi dari rata-rata
sehingga mempunyai peluang menerima relokasi perahu/kapal motor dari PPI
lain, sesuai dengan zona dan kategori perahu/kapal motor.
4.5.3 Pengaturan zona penangkapan ikan dalam jarak sejajar garis pantai
Dengan : Wz = luas zona untuk setiap kategori perahu layar dan perahu motor
pada masing-masing zona (km2/unit); Lz = luas zona (km2); Jpm = jumlah
perahu/kapal motor (unit).
Analisis alokasi perahu/kapal motor pada masing-masing zona dan ukuran
perahu motor, dilakukan dengan kriteria sebagaimana analisis pada Bagian 4.6.1,
4.6.2 dan 4.6.4 di atas.
(2) Nelayan melakukan kerjasama penangkapan ikan antar PPI dalam wilayah
pengelolaan perikanan tangkap Kabupaten Situbondo (Besuki, Tanjung
Pecinan, dan Pondok Mimbo);
(3) Nelayan Situbondo (dari PPI Besuki, Tanjung Pecinan, dan Pondok Mimbo)
melakukan kerjasama penangkapan ikan dengan nelayan dari PPI lain di
sekitar Selat Madura (Probolinggo, Sampang, Pamekasan, Sumenep);
(4) Nelayan Situbondo yang menggunakan kapal penangkapan ikan dengan
ukuran di atas 20 GT (khususnya dari PPI Besuki dan Tanjung Pecinan)
melakukan kerjasama dengan nelayan dari PPI lain yang beroperasi di Selat
Bali (PPI Banyuwangi), Laut Bali (PPI Singaraja) dan Laut Jawa bagian timur
khususnya PPI Sokabana (Sampang), PPI Pasongsongan (Pamekasan), PPI
Karanglanggar (Sumenep), nelayan dari pulau Sepudi dan Raas.
68
5 HASIL PENELITIAN
SPL Selat Madura dan perairan sekitarnya pada awal musim barat yaitu
bulan Desember, SPL berada bervariasi pada selang 26o - 30o C. Kandungan
klorofil-a berada pada kisaran 0,1 – 0,8 mg/m3, di perairan Laut Bali pada kisaran
0,1 – 0,4 mg/m3. Pada bulan Januari, SPL Selat Madura dan sekitarnya dengan
kisaran 28o - 30o C, dengan klorofil-a 0,1 – 3,0 mg/m3, di Laut Bali pada kisaran
0,2 – 0,6 mg/m3. Sebaran SPL Selat Madura pada bulan Februari pada kisaran 27o
– 28o C, konsentrasi klorofil-a pada kisaran 0,3 – 0,5 mg/m3. SPL Laut Jawa dan
Laut Bali pada kisaran 30o – 31o C, konsentrasi kolofil 0,2 – 0,4 mg/m3.
SPL Selat Madura pada bulan pertama musim peralihan pertama yaitu bulan
Maret pada kisaran 30o – 32o C, dengan konsentrasi klorofil-a pada kisaran 0,4 –
1,0 mg/m3. SPL Laut Bali pada kisaran 28o - 30o C dan Laut Jawa pada kisaran
antara 28o – 31o C, dengan klorofil-a pada kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3. Pada bulan
April, SPL Selat Madura dalam kisaran 27o – 32o C, konsentrasi klorofil-a dalam
kisaran 0,3 – 1,5 mg/m3. SPL Jawa terjadi pada kisaran 30o - 31o C, dengan
konsentrasi klorofil-a dalam kisaran 0,3 – 0,5 mg/m3. Pada bulan Mei, perairan
Selat Madura dan Laut Jawa didominasi oleh SPL 29o – 31o C, dengan konsentrasi
klorofil-a di Selat Madura pada kisaran 0,4 – 1,5 mg/m3, sedangkan di Laut Jawa
bagian timur pada kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3. Sebaran SPL di perairan Selat Bali
dengan kisaran 27o – 28o C.
Pada awal musim timur yaitu bulan Juni, SPL Selat Madura, Laut Jawa, dan
Laut Bali berada pada kisaran 29o - 31o C. Konsentrasi klorofil-a Selat Madura
pada 0,5 – 1,5 mg/m3, di Laut Jawa serta Laut Bali pada kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3.
Perairan sebelah timur Pulau Raas pada kisaran 0,6 – 3,0 mg/m3. Pada bulan Juli,
SPL Selat Madura pada kisaran 29o - 31o C, dengan klorofil-a pada kisaran 0,4 –
1,5 mg/m3, di Laut Jawa berkisar pada kisaran 0,3 – 0,8 mg/m3, perairan bagian
utara Selat Bali dengan kisaran 0,2 – 0,4 mg/m3 menyebar ke bagian barat Laut
69
Bali. Konsentrasi klorofil-a di perairan sebelah timur Pulau Raas pada kisaran 0,6
– 1,5 mg/m3. Pada bulan Agustus yang merupakan bulan terakhir musim angin
timur, SPL pada perairan Selat Madura bagian timur di timur laut Pondok Mimbo
terjadi pada kisaran suhu 28o - 31o C. Konsentrasi klorofil-a di Selat Madura
dengan kisaran 0,4 – 1,0 mg/m3, di Laut Jawa juga pada kisaran 0,4 – 1,5 mg/m3.
Konsentrsi klorofil-a di Laut Bali didominasi oleh kisaran 0,3 – 0,5 mg/m3, di
perairan antara Pulau Raas dan Kangean pada kisaran 2,0 – 3,0 mg/m3.
Pada awal musim peralihan kedua yaitu bulan September, SPL Selat
Madura dan Laut Jawa pada kisaran 28o - 32o C, dengan konsentrasi klorofil-a
pada kisaran 0,4 – 0,7 mg/m3, di Laut Bali pada kisaran 0,3 – 0,5 mg/m3.
Konsentrasi klorofil-a sebelah timur Pulau Raas pada kisaran 2,0 – 3,0 mg/m3.
SPL bulan Oktober di Selat Madura dan Laut Jawa pada kisaran 28o - 30o C,
dengan konsentrasi klorofil-a didominasi oleh kisaran 0,5 – 1,5 mg/m3, pada sisi
timur berkisar antara 0,4 – 0,6 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa berada
dalam kisaran 0,2 – 0,4 mg/m3, di perairan Laut Bali dalam kisaran 0,3 – 0,5
mg/m3. Konsentrasi klorofil-a di perairan sebelah timur Pulau Raas pada kisaran
1,5 – 3,0 mg/m3. Pada bulan Nopember yang merupakan bulan terakhir musim
peralihan kedua, SPL Selat Madura pada kisaran 28o - 30o C dengan konsentrasi
klorofil-a pada kisaran 0,2 – 0,8 mg/m3. Kosentrasi klorofil-a di Laut Bali pada
kisaran 0,3 – 0,8 mg/m3, di sebelah timur Pulau Raas pada 0,5 – 1,0 mg/m3.
Contoh citra SPL Selat Madura dan perairan sekitarnya berdasarkan satelit
penginderaan jauh NOAA-AVHRR sebagaimana ditunjukkan pada lampiran 1 (a
sampai dengan d), sedangkan citra klorofil-a berdasarkan satelit SeaWiFS
sebagaimana ditunjukkan pada lampiran 2 (a sampai dengan d).
Angin pada awal musim barat yaitu bulan Desember, dominan dengan
kecepatan 1 – 3 knot, ketinggian gelombang dominan 0,1 - 0,5 meter. Pada bulan
Januari, angin dominan datang dari arah barat dengan kecepatan 1 – 3 knot dan
ketinggian gelombang 0,1 - 0,5 meter. Pada akhir musim barat yaitu bulan
Februari, angin dari arah barat dengan kecepatan 4 – 10 knot dan ketinggian
gelombang dominan antara 0,1 - 0,5 meter.
70
Pada awal musim peralihan pertama yaitu bulan Maret, angin dari barat
dengan kecepatan 1 - 6 knot, ketinggian gelombang 0,1 - 0,5 meter. Pada bulan
April, angin dari arah timur dengan kecepatan 1 – 6 knot, ketinggian gelombang
0,1 - 0,5 m. Pada akhir musim peralihan pertama yaitu bulan Mei, angin dari arah
timur dengan kecepatan 1 - 6 knot dan ketinggian gelombang 0,1 - 0,5 meter.
Pada awal musim timur yaitu bulan Juni, angin dominan dari timur dengan
kecepatan 1 - 10 dan gelombang dengan ketinggian 1 – 1,5 meter. Pada bulan Juli,
angin dominan dari timur dan tenggara dengan kecepatan 1 – 16 meter dan
gelombang mencapai ketinggian lebih dari 1,5 meter. Pada bulan terakhir musim
timur yaitu bulan Agustus, angin dari timur dengan kecepatan mulai dari 1 knot
sampai lebih dari 17 knot dan gelombang dengan ketinggian 1,1 - 1,5 meter,
kadang-kadang lebih dari 1,5 meter.
Pada bulan pertama musim peralihan kedua yaitu bulan September, angin
dominan datang dari arah timur dengan kecepatan berkisar mulai 4 sampai di atas
17 knot, dan ketinggian gelombang dominan antara 0,1 - 1,5 meter. Pada bulan
Oktober, angin dominan datang dari arah timur dan tenggara dengan kecepatan 11
– 16 knot. gelombang dominan dengan ketinggian maksimum 0,1 – 1,0 meter.
Pada bulan terakhir musim peralihan kedua yaitu November, angin dominan dari
selatan dan barat dengan kecepatan 1 - 6 knot dan gelobang dengan ketinggian 0,1
– 1,5 meter. Data arah, kecepatan dan frekuensi angin selengkapnya sebagaimana
dinyatakan dalam lampiran 3 (a sampai dengan l), sedangkan data arah, ketinggian
dan frekuensi gelombang dinyatakan pada lampiran 4 (a sampai dengan l). Contoh
arah dan kecepatan angin serta tinggi gelombang digambarkan secara tematik
sebagaimana ditunjukkan pada lampiran 5.
Kedalaman Selat Madura bagian timur sama dengan kedalaman Selat Bali
bagian utara dan Laut Bali bagian barat. Kedalaman Selat Madura bagian timur
berkisar antara 500 m – 1.000 m, mengalami gradasi kedalaman sehingga antara
selatan Kangean ke selatan pulau Raas sampai utara Pondok Mimbo mempunyai
kedalaman antara 100 m – 200 m, antara selatan Kangean sampai selatan pulau
Raas dan utara Pondok Mimbo mempunyai kedalaman sekitar 90 m. Antara utara
71
Tabel 7 Data ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah operasi
serta pendapatan bersih nelayan per trip dari PPI Pondok Mimbo
Ukuran Lama Pendapatan
Jenis Alat Daerah
No Perahu Operasi Bersih per
Tangkap Operasi
(GT) (jam) orang-Trip (Rp)
1 2 Trawl Udang 12 Jangkar, Mimbo 10.000 – 50.000
2 6 Trawl 72 Jangkar, Merak 100.000
3 2 Trawl Udang 12 Mimbo 10.000 – 50.000
4 2 Trawl Udang 12 Jangkar, Merak 10.000 - 50.000
5 5 Purse Seine 8 Mimbo, Selat Madura 80.000
6 2 Trawl Udang 72 Jangkar, Merak 50.000 - 100.000
7 4 Purse Seine 12 Selat Madura 75.000
8 2 Trawl Udang 72 Jangkar, Merak 50.000 - 100.000
72
Tabel 8 Data ukuran perahu motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah operasi
serta pendapatan bersih nelayan per trip dari PPI Besuki
Uji coba penerapan informasi spasial ZPPI di Selat Madura oleh nelayan
Situbondo, dilakukan atas kerjasama antara Pusat Pengembangan Pemanfaatan
dan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN dengan Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Situbondo. Penerapan informasi spasial ZPPI dilaksanakan oleh
nelayan dari PPI Pondok Mimbo, TPI Tanjung Jangkar, dan PPI Besuki, dengan
operasi penangkapan ikan di Selat Madura. Hasil uji coba penangkapan
berdasarkan informasi spasial ZPPI di Selat Madura untuk musim yang berbeda
menunjukkan bahwa, sumberdaya ikan yang paling dominan adalah ikan lemuru,
tongkol, layang, dan kembung. Feedback hasil tangkapan dibagi menjadi 3
kategori yaitu : (1) panangkapan pada unit spasial dengan hasil tangkapan ikan
diatas 200 kg; (2) unit spasial dengan tangkapan kurang dari 200 kg; dan (3) unit
spasial yang menunjukkan uji coba penangkapan ikan menggunakan informasi
spasial ZPPI yang dilakukan secara bersama oleh nelayan dan tim dari Pusat
Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN.
75
Hasil pengolahan citra yang digunakan untuk uji coba bulan Juli 2003
menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 26 ZPPI, menyebar mulai dari Laut Jawa,
Selat Madura hingga Laut Bali, sedangkan nelayan melakukan operasi
penangkapan hanya pada 3 zona di Selat Madura. Dari penggabungan antara data
informasi ZPPI dengan operasi penangkapan ikan oleh nelayan, hanya ada 1 (satu)
zona yang sama, yaitu pada koordinat 113o 25’ – 113o 30’ BT dan 7o 30’ – 7o 35’
LS dengan jumlah hasil tangkapan cukup tinggi berupa ikan lemuru (Lampiran
8.c). Integrasi feedback kegiatan penangkapan ikan dengan ZPPI seperti
ditunjukkan pada Gambar 18.
76
Penangkapan ikan pada bulan Juli 2004 dilakukan pada minggu kedua,
minggu ketiga dan minggu keempat, dengan hasil tangkapan sangat rendah. Dari
10 kegiatan penangkapan hanya 1 kali operasi yang mendapatkan hasil tangkapan
ikan. Rendahnya hasil tangkapan disebabkan karena kondisi gelombang besar,
arus dan angin kencang sehingga tidak memungkinkan untuk menebar jaring,
walaupun pada alat fishfinder menunjukkan banyak ikan. Kegiatan penangkapan
ikan hanya dilakukan tanggal 28 Juli 2004 pada posisi 113O 40' 45" BT dan 7O 29'
35" dengan tangkapan berupa lemuru sebanyak 200 kg (Lampiran 8.d). Di
samping itu jenis perahu dan alat tangkap nelayan kurang mendukung sehingga
menyulitkan dalam operasi penangkapan. Hasil integrasi data penangkapan
berdasarkan feedback dari nelayan dengan ZPPI menunjukkan distribusi potensi
ikan menyebar di perairan Selat Madura dan Laut Jawa. Zona penangkapan ikan
dari data feedback terkonsentrasi di sebelah utara Besuki pada koordinat 113° 36'
38” - 113° 42' 47” BT dan 7° 29' 5” - 7° 31' 0” LS, juga di utara Pondok Mimbo
pada jarak ± 13 mil dari garis pantai (Gambar 19).
Gambar 19 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan pada
bulan Juli tahun 2004.
80
Gambar 24 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan pada
bulan Nopember tahun 2003.
Gambar 25 Informasi spasial ZPPI dengan data feedback hasil penangkapan pada
bulan Nopember 2005.
83
Tabel 9 Distribusi jumlah dan ukuran perahu motor pada masing-masing PPI di
wilayah Kabupaten Situbondo.
Jumlah Perahu Layar dan Perahu Motor Tiap Zona
No. Nama PPI
Perahu Perahu Motor (GT) Jumlah
Layar <5 5 – 10 10 – 20 >20
1 Besuki 252 5 267 21 249 794
2 Tanjung Pecinan 468 - 102 394 183 1.147
3 Pondok Mimbo 163 2 312 109 - 586
7 681 524 432
Jumlah 883 2.527
1.644
Distribusi jumlah dan ukuran perahu layar dan perahu motor menunjukkan
ketidak seimbangan antara PPI Besuki, Tanjung Pecinan dan Pondok Mimbo
(Gambar 26). PPI Besuki yang berada di sisi paling barat dari wilayah Situbondo
mempunyai perahu motor berukuran diatas 20 GT paling banyak. Hasil survei
lapangan menunjukkan bahwa perahu motor motor dari PPI Besuki, banyak
melakukan penangkapan di utara Pondok Mimbo. Kondisi ini menunjukkan
bahwa operasi penangkapan menjadi tidak efisien karena perahu motor harus
menempuh jarak yang cukup jauh. Perahu motor di PPI Tanjung Pecinan akan
mendominasi wilayah penangkapan dalam zona 12 mil, karena perahu motor yang
84
ada didominasi ukuran 10 – 20 GT. Karena zona PPI Tanjung Pecinan paling
sempit maka membuka peluang terjadinya konflik perebutan lokasi penangkapan,
baik antara nelayan yang menggunakan perahu motor 10 – 20 GT, juga antara
nelayan yang menggunakan perahu motor 10 – 20 GT dengan nelayan yang
menggunakan perahu motor di atas 20 GT yang seharusnya melakukan
penangkapan pada zona di atas 12 mil.
Nelayan Pondok Mimbo kalah bersaing dari nelayan Besuki dan Tanjung
Pecinan. Karena perahu motor yang dipergunakan dominan berukuran 5 – 10 GT
maka nelayan Pondok mimbo hanya mampu melakukan penangkapan antara 5 –
10 mil, dan berpeluang konflik dengan nelayan yang menggunakan perahu motor
berukuran 10 – 20 GT yang juga melakukan penangkapan pada zona yang sama.
Kemungkinan konflik semakin tinggi akibat perluasan penangkapan oleh nelayan
dari PPI Tanjung Pecinan dan Besuki.
450
394
400
Jumlah Perhu Motor
350 312
300 267 <5 GT
249
250 5-10 GT
200 183 10-20 GT
150 109 >20 GT
102
100
50 21
5 0 2 0
0
Besuki T. Pecinan P. Mimbo
Nama PPI dan Ukuran Perahu Motor
Tabel 10 Luas zona masing-masing ring (km2) untuk tiap kategori ukuran perahu
layar/motor di PPI Besuki
Luas alokasi zona penangkapan per unit perahu motor di PPI Tanjung
Pecinan diperoleh dengan menggunakan persamaan 5 dan Tabel 9 di atas, dan
diperoleh hasil perhitungan sebagaimana dinyatakan pada Tabel 11.
Tabel 11 Luas zona masing-masing ring (km2) untuk tiap kategori ukuran perahu
layar/motor di PPI Tanjung Pecinan
Tabel 12 Luas zona masing-masing ring (km2) untuk tiap kategori ukuran perahu
layar/motor dan zona penangkapan di PPI Pondok Mimbo
Tabel 15 Luas zona sejajar garis pantai untuk alokasi per unit perahu/kapal motor
masing-masing untuk PPI Besuki, Tanjung Pecinan, dan Pondok
Mimbo, dan rata-rata untuk seluruh Situbondo
Gambar 27 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada
bulan Desember.
Gambar 28 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada
bulan Januari
89
Gambar 33 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada
bulan Juni.
Gambar 34 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada
bulan Juli.
92
Gambar 35 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada
bulan Agustus.
Gambar 36 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada
bulan September
93
Gambar 37 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada
bulan Oktober.
Gambar 38 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada
bulan November.
94
Pada zona PPI Besuki (zona A), sebaran ZPPI paling tinggi selama musim
angin barat ada pada bulan Desember dengan penyebaran ZPPI pada 113°20’-
113° 50’ BT dan 7° 20’ - 7° 40’ LS, dari sebelah timur laut Probolinggo hingga
timur laut Besuki. Konsentrasi ZPPI paling tinggi pada musim peralihan pertama
terjadi pada bulan April pada perairan di atas 10 km dengan koordinat 113° 20’ -
113° 40’ BT dan 7° 20’ - 7° 40’ LS yaitu mulai utara Pasuruan sampai timur laut
Besuki. Sebaran dan konsentrasi ZPPI paling tinggi selama musim angin timur
ada pada bulan Juli, yaitu pada perairan diatas 10 km dalam koordinat 113° 20’ -
113° 40’ BT dan 7° 20’ - 7° 40’ LS, yaitu utara Pasuruan sampai dengan timur
laut Besuki. Sebaran ZPPI pada perairan di atas 10 km selama musim peralihan
kedua menunjukkan konsentrasi tinggi pada bulan September dan Oktober, serta
dalam zona 10 km pada bulan November mulai dari utara Probolinggo hingga
utara Besuki (Tabel 16).
Pada zona PPI Tanjung Pecinan (zona B), selama musim angin barat
sebaran ZPPI paling luas terjadi pada bulan Februari dibandingkan bulan
Desember dan Januari, pada selang koordinat 113° 50’ - 114° 10’ BT dan 7° 20’ -
7° 40’ LS, yaitu di perairan utara Tanjung Pecinan. Pada musim peralihan
pertama, perairan ini menunjukkan kondisi yang sama, kecuali pada bulan Mei
karena ZPPI terkonsentrasi di perairan dalam 10 km dari garis pantai. Sebaran
terluas dan konsentrasi tertinggi terjadi selama musim angin timur terjadi pada
bulan Juli, pada musim ini juga terdapat sebaran ZPPI pada zona untuk nelayan
tradisionil. Pada musim peralihan kedua, sebaran ZPPI pada bulan September
sama dengan bulan Oktober tetapi mempunyai pola dan arah penyebaran yang
berbeda. Penyebaran paling sempit terjadi pada bulan November (Tabel 17).
Pada zona PPI Pondok Mimbo (zona C), sebaran ZPPI selama musim angin
barat relatif sama, tetapi luas dan konsentrasi ZPPI paling tinggi terjadi pada bulan
Desember. Pada musim peralihan pertama, sebaran konsentrasi ZPPI relatif
sama, tetapi konsentrasi ZPPI terendah terjadi pada bulan Mei. Sebaran dan
konsentrasi ZPPI paling tinggi di perairan sekitar PPI Pondok Mimbo selama
musim angin timur terjadi pada bulan Juli, khususnya di sebelah utara dan
tenggara sampai dengan timur laut Pondok Mimbo. Sebaran konsentrasi ZPPI
96
paling tinggi terjadi di sebelah utara Pondok Mimbo pada bulan September,
sedangkan di sebelah tenggara hingga timur laut terjadi sebaran konsentrasi paling
tinggi pada bulan Oktober dalam koordinat 114° 30’ - 115° 00’ BT dan 7° 20’ -
8° 00’ LS (Tabel 18).
Pada awal musim barat yaitu bulan Desember, ZPPI terdapat di utara pulau
Bali, menyebar sampai ke perairan antara pulau Raas dan pulau Kangean.
Demikian juga di perairan Laut Jawa sebelah utara pulau Madura, terdapat
sebaran ZPPI di perairan antara utara Sumenep dengan pulau Kangean.
Konsentrasi ZPPI sekitar Selat Madura pada bulan Januari terdapat di perairan
Laut Jawa antara utara Bangkalan dan Sumenep. Sebaran ZPPI pada bulan
97
Februari di perairan Laut Jawa bergeser lebih ke arah timur laut dibandingkan
bulan sebelumnya, tersebar antara utara Bangkalan sampai timur laut Kangean.
Pada awal musim peralihan pertama yaitu bulan Maret, ZPPI tersebar di
perairan Laut Jawa sebelah utara Kepulauan Madura, terkonsentrasi dalam antara
utara Bangkalan sampai barat laut Kangean. ZPPI pada bulan April di perairan
Laut Jawa, tersebar sebelah utara Pulau Madura terkonsentrasi dalam selang
antara utara Sokabana sampai Pasongsongan, serta antara Karanglanggar sampai
barat laut pulau Kangean. Sebaran ZPPI pada bulan Mei, tersebar mulai sebelah
selatan pulau Raas sampai ke sebelah selatan Kangean, di perairan sebelah utara
Pulau Madura terdapat mulai utara Sokabana sampai Karanglanggar.
Sebaran ZPPI pada awal musim timur yaitu bulan Juni, berada di perairan
Laut Jawa sebelah utara pulau Madura mengalami pergeseran ke sebelah barat,
menyebar mulai dari sebelah utara Bangkalan sampai ke sebelah utara pulau
Kangean dan Sumenep, terkonsentrasi antara utara Sokabana sampai Karang-
langgar. Sebaran ZPPI pada bulan Juli tidak banyak mengalami perubahan
dibandingkan bulan Juni. Penyebaran ZPPI di Selat Madura bersambung ke
perairan di Laut Bali sebelah utara sampai ke bagian timur Laut Bali. Sebaran
ZPPI di perairan sebelah utara Pulau Madura terdapat di perairan sekitar Sokabana
sampai Pasongsongan dan sebelah utara Karanglanggar. Sebaran ZPPI pada bulan
Agustus di perairan sebelah utara Pulau Madura mengalami penurunan
dibandingkan sebelumnya. ZPPI terdapat di perairan utara Sokabana, sebelah
utara Pasongsongan, sebelah utara Karanglanggar, serta beberapa ZPPI yang
menyebar mulai sebelah timur laut pulau Raas sampai Kangean.
Pada awal musim peralihan kedua yaitu bulan September, sebaran ZPPI di
perairan sebelah utara Pulau Madura juga mengalami penurunan. ZPPI terdapat di
perairan utara Pasongsongan, sebelah utara Karanglanggar, serta di sebelah utara
Pulau Sepudi. Terdapat sebaran ZPPI antara sebelah utara pulau Raas sampai
timur laut Kangean. Sebaran ZPPI pada bulan Oktober, terdapat di perairan laut
sebelah utara Pulau Madura, terdapat di perairan utara Sokabana sampai
Pasongsongan, juga terdapat ZPPI di sebelah utara pulau Sepudi. Pada bulan
November, konsentrasi ZPPI di perairan laut sebelah utara Pulau Madura terdapat
di perairan sebelah utara Sokabana, Pasongsongan, dan pulau Sepudi (Tabel 19).
98
6 PEMBAHASAN
Pulau Madura, sedangkan yang datang dari arah timur laut pengaruhnya menjadi
berkurang karena terhalang oleh dataran kepulauan di sebelah timur Pulau Madura
(Sumenep, Raas, Sepudi dan Kangean). Angin yang besar pengaruhnya terhadap
Selat Madura datang dari arah timur, berlangsung pada periode mulai dari bulan
Juni hingga September. Gelombang di Selat Madura pada musim timur lebih
tinggi dari gelombang pada periode waktu lainnya (Santos, 2005). Tinggi
gelombang di selat ini sangat tergantung pada perbedaan tekanan udara dan jarak
tempuh angin (Nontji, 2002). Kegiatan penangkapan ikan di Selat Madura bagian
timur terutama antara timur laut sampai tenggara Pondok Mimbo selama musim
angin dari timur mengalami hambatan paling tinggi. Sedangkan angin dari arah
tenggara yang kecepatannya dapat mencapai di atas 17 knot, terhalang oleh
pegunungan antara Situbondo dan Banyuwangi serta daratan dan pegunungan di
Pulau Bali sehingga pengaruhnya bagi Selat Madura menjadi sangat berkurang.
penangkapan ikan, sebaliknya Laut Jawa sangat diperngaruhi oleh angin dari arah
barat sehingga menghambat kegiatan penangkapan ikan.
Sebaran SPL pada bulan Januari mengalami peningkatan dari sebelumnya
sehingga thermal front terjadi dalam kisaran 28o - 30o C. Kenaikan suhu dalam
periode tersebut yang dihitung berdasarkan data satelit NOAA-AVHRR ini
sejalan dengan hasil pengamatan lapangan yang menunjukkan nilai kisaran suhu
28,5o – 29,0o C. Sebagaimana bulan sebelumnya, arus air laut mayoritas dari arah
barat dan kadang-kadang dari utara dengan kecepatan maksimum 0,19 m/detik
dan kecepatan rata-rata 0,07 m/detik (Santos, 2005). Hasil perolehan SPL dan
pengukuran suhu tersebut juga sesuai dengan hasil pengukuran oleh Bintoro
(2002) bahwa suhu di permukaan berada pada kisaran 28,5o – 28,88o C.
Kandungan khlorofil-a secara umum berada dalam kisaran 0,1 – 0,8 mg/m3.
Angin yang dominan datang dari arah barat dan barat laut tidak banyak
mempengaruhi Selat Madura sehingga sangat memungkinkan bagi nelayan
Situbondo untuk melakukan penangkapan ikan dengan penuh selama bulan
Januari. Sebaliknya, kondisi angin dan gelombang di Laut Jawa dan Laut Flores
masih seperti bulan sebelumnya sehingga menimbulkan kesulitan bagi kegiatan
penangkapan ikan.
Sebaran SPL Selat Madura berdasarkan data NOAA-AVHRR pada bulan
Februari yang merupakan akhir musim barat mengalami perubahan dibandingkan
bulan Januari. Suhu terendah mengalami penurunan dari 28o C menjadi 27o C,
sedangkan suhu tertinggi mengalami peningkatan dari 30o C menjadi 31o C,
sehingga Thermal front terjadi dalam kisaran SPL 27o – 31o C. Nilai kisaran SPL
hasil perhitungan menggunakan data satelit NOAA-AVHRR ini sesuai dengan
hasil pengukuran lapangan di stasiun Oyong Sampang yang menunjukkan suhu
dalam kisaran 28,5o – 29,0o C, dengan arus air laut mayoritas dari arah timur dan
kadang-kadang dari utara dan selatan dengan kecepatan maksimum 0,19 m/detik
dan rata-rata dengan kecepatan 0,07 m/detik (Santos, 2005). Hasil pengukuran di
beberapa stasiun pengamatan menunjukkan bahwa suhu permukaan berada pada
kisaran 28,0o – 29,0o C (Bintoro, 2002). Konsentrasi klorofil-a yang berada pada
kisaran 0,3 – 0,5 mg/m3 menunjukkan kesuburan perairan Selat Madura lebih
tinggi dibandingkan di perairan Laut Jawa dan Laut Bali dengan kandungan
102
klorofil-a yang lebih rendah yaitu 0,2 – 0,4 mg/m3. Kecepatan angin dan
ketinggian gelombang yang dominan datang dari arah barat dan barat laut,
memberikan kemungkinan bagi nelayan Situbondo untuk melakukan kegiatan
penangkapan ikan di Selat Madura selama bulan Februari.
Kondisi oseanografi di perairan Selat Madura pada bulan Maret yang
merupakan bulan pertama musim peralihan pertama, mengalami perubahan
dibandingkan bulan terahir musim barat. Thermal front terjadi pada pertemuan
antara massa air dalam kisaran SPL 28 o - 32o C. Konsentrasi klorofil-a di Selat
Madura mengalami peningkatan terutama mulai dari bagian tengah hingga bagian
timur dengan kisaran 0,4 – 1,0 mg/m3. Kisaran SPL berdasarkan data NOAA-
AVHRR berkorelasi dengan hasil pengukuran suhu lapangan pada bulan Maret
2003 di beberapa stasiun Oyong yang berada dalam kisaran 28,0o – 28,5o C
(Santos, 2005), sementara hasil pengukuran oleh Bintoro (2002) diketahui bahwa
suhu permukaan dalam kisaran 28,0o – 29,0o C. Di sisi lain, hasil pengukuran
klorofil-a di perairan Selat Bali yang dilakukan pada bulan yang sama tahun 1975,
menunjukkan nilai lebih tinggi yaitu 0,13 – 0,40 mg/m3 (Ilahude, 1978). Thermal
front di Laut Jawa terjadi pada pertemuan massa air yang berada dalam kisaran
suhu lebih tinggi, demikian juga konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa dan Laut Bali
mengalami sedikit peningkatan dibandingkan pada akhir musim barat yaitu pada
kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a di perairan Laut Jawa bagian timur
khususnya antara Pulau Raas dan Pulau Kangean didominasi oleh kisaran 0,4 –
1,0 mg/m3. Kecepatan dan ketinggian angin dominan di Selat Madura yang datang
dari barat dan barat laut memberi peluang bagi nelayan Situbondo untuk
melakukan penangkapan ikan, sebaliknya angin di Laut Jawa yang datang dari
arah utara dan barat sangat menghambat kegiatan penangkapan ikan di Laut Jawa
bagian timur sebelah utara Kepulauan Madura.
Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan April yang merupakan bulan
kedua musim peralihan pertama, menunjukkan keadaan yang bervariasi. SPL
beberapa lokasi di perairan Selat Madura berada dalam kisaran 27o – 29o C,
lokasi-lokasi lainnya mempunyai kisaran lebih tinggi yaitu 30o – 32o C. Nilai
kisaran SPL hasil perhitungan menggunakan data NOAA-AVHRR ini sesuai
dengan hasil pengukuran lapangan pada beberapa stasiun di selatan Sampang
103
yaitu dalam kisaran 29,5o – 30,0o C (Santos, 2005), sedang di beberapa lokasi
lainnya berada dalam kisaran 28,0o – 29,0o C (Bintoro, 2002). Hasil pengamatan
SPL berdasarkan data NOAA-AVHRR yang menunjukkan suhu tinggi sejalan
dengan penelitian Sulistya (2007), yang menyatakan bahwa suhu tertinggi Laut
Jawa (termasuk Selat Madura) diantaranya terjadi pada bulan April. SPL Selat
Madura umumnya berada pada kisaran lebih rendah dibandingkan di Laut Jawa,
sehingga thermal front di Selat Madura juga terjadi pada suhu lebih tinggi
dibandingkan sebelumnya. Hasil pengamatan SPL di Selat Madura menggunakan
data NOAA-AVHRR sebanding dengan hasil pengukuran suhu di Selat Makassar
dengan kisaran 28,2 – 30,0 o C (Soegiharto, 1976). Konsentrasi klorofil-a di Selat
Madura sedikit mengalami penurunan walaupun beberapa lokasi mengalami
peningkatan, sebaliknya di Pulau Jawa dan Laut Bali sedikit mengalami
peningkatan terutama di perairan timur Pulau Raas dan sekitar Pulau Kangean.
Selat Madura sudah mulai dipengaruhi oleh angin dan gelombang yang berubah-
ubah yaitu dari arah timur, barat dan utara, sedangkan Laut Jawa sudah
dipengaruhi oleh angin dari arah timur, tenggara, dan barat laut. Nelayan
Situbondo dapat melakukan penangkapan ikan selama bulan April karena kondisi
angin dan gelombang mayoritas cukup baik untuk kegiatan penangkapan ikan,
namun nelayan tradisionil atau nelayan dengan perahu/kapal motor ukuran kecil
yang berpangkalan di Pondok Mimbo harus mulai memperhatikan perubahan
angin dan gelombang yang datang dari timur dan tenggara.
Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Mei yang merupakan akhir
musim peralihan pertama, menunjukkan mulai adanya pengaruh musim timur
yang semakin kuat. Berdasarkan data satelit NOAA-AVHRR bahwa sebaran SPL
di perairan Selat Madura pada bulan Mei pada kisaran 29o – 31o C, sesuai dengan
hasil pengukuran lapangan yang menunjukkan suhu dalam kisaran 29,0o – 29,5o C
o
(Santos, 2005), juga dengan hasil pengukuran suhu rata-rata yaitu 28,36 C
(Bintoro, 2002). Hasil pengamatan SPL menggunakan data NOAA-AVHRR juga
relatif sama dengan hasil pengukuran di lapangan yang dilakukan Soegiharto
(1976) bahwa SPL di perairan Selat Madura berada dalam kisaran 29,2 – 30,2 oC,
dengan suhu terendah berada di sisi antara timur laut Pondok Mimbo membentang
ke utara sampai perairan selatan Raas dan suhu tertinggi terdapat di sebelah utara
104
sebagai indikator perairan yang subur juga terdapat di sekitar Kepulauan Kangean
dan sebelah timur pulau Raas. Sejalan dengan datangnya angin dari arah timur dan
selatan yang kadang–kadang mengganggu kegiatan penangkapan ikan karena
kecepatannya dapat mencapai lebih dari 17 knot dengan gelombang mencapai
ketinggian lebih dari 1,5 meter, sehingga cukup menyulitkan penangkapan ikan
oleh nelayan Situbondo terutama dari PPI Pondok Mimbo.
Kondisi oseanogafi di Selat Madura pada bulan Juli khususnya SPL hampir
sama dengan bulan sebelumnya yaitu dalam kisaran 29o – 31o C. Thermal front di
perairan Selat Madura bagian timur terjadi pada pertemuan massa air dengan SPL
dalam selang 29o - 30o C. Suhu hasil pengukuran lapangan menunjukkan
terjadinya penurunan yaitu dalam kisaran 28,0o – 28,5o C. Hasil pengukuran
menujukkan menunjukkan bahwa kecepatan arus laut tidak banyak mengalami
perubahan dibandingkan sebelumnya yaitu maksimum 0,20 m/detik dan rata-rata
0,07 m/detik, dengan arah dominan dari timur (Santos, 2005). Konsentrasi
klorofil-a di perairan Selat Madura lebih tinggi dibandingkan Laut Jawa (0,4 – 1,5
mg/m3) dan perairan bagian utara Selat Bali dan Laut Bali (0,2 – 0,4 mg/m3).
Hasil pengukuran klorofil-a di perairan Selat Bali yang dilakukan pada bulan yang
sama tahun 1973, menunjukkan nilai lebih tinggi yaitu 0,31 – 2,85 mg/m3
(Ilahude, 1978). Konsentrasi klorofil-a yang tinggi di perairan sebelah timur Pulau
Raas mengalami pergeseran lebih ke arah timur dari bulan sebelumnya. Angin
dari arah timur dan tenggara dengan kecepatan lebih dari 17 knot semakin
mendominasi perairan Selat Madura, dan menimbulkan gelombang dengan
ketinggian lebih dari 1,5 meter. Kecepatan angin dan ketinggian gelombang
selama bulan Juli sangat berpengaruh bagi kegiatan penangkapan ikan di Selat
Madura, sehingga nelayan Situbondo terutama yang berpangkalan di PPI Pondok
Mimbo mayoritas tidak dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan.
Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Agustus yang merupakan
bulan terakhir musim timur, thermal front terjadi dalam kisaran SPL 28o - 31o C,
sesuai dengan hasil pengukuran lapangan yang menunjukkan suhu dalam kisaran
27,5o – 28,0o C (Santos, 2005). Pengukuran di stasiun pengamatan Oyong
menunjukkan bahwa arus air mempunyai kecepatan dan arah dominan sama
dengan bulan sebelumnya yaitu kecepatan maksimum 0,20 m/detik dan rata-rata
106
0,07 m/detik, dengan arah dominan dari timur. Kisaran SPL di Selat Madura
berdasarkan satelit NOAA juga masih sesuai dengan hasil pengukuran di lapangan
yang dilakukan pada bulan Agustus tahun 1975 bahwa sebaran mendatar berada
dalam kisaran 28,0 – 28,8o C dengan suhu terendah terdapat di perairan antara
Pondok Mimbo hingga Pulau Raas, sedangkan suhu tertinggi terdapat di perairan
sebelah utara Besuki (Soegiharto A, 1976). Sebaran SPL ini juga masih sesuai
dengan hasil pengamatan oleh Tangdom (2005), yang menyatakan bahwa SPL di
bagian selatan dari Selat Makassar adalah 29o C. Thermal front banyak terjadi di
perairan sebelah timur hingga timur laut Pondok Mimbo dengan konsentrasi
klorofil-a 0,4 – 1,0 mg/m3. Pergerakan massa air dari arah Laut Flores
menyebabkan pengayaan klorofil-a di Laut Jawa (0,4 – 1,5 mg/m3) dan di Laut
Bali (0,3 – 0,5 mg/m3) serta di perairan antara Pulau Raas dan Pulau Kangean (2,0
– 3,0 mg/m3) sehingga menjadi perairan yang potensial untuk penangkapan ikan.
Namun demikian, angin timur yang mencapai kecepatan lebih dari 17 knot dan
gelombang lebih dari 1,5 meter semakin dominan dan menghambat kegiatan
penangkapan ikan terutama di perairan Selat Madura bagian timur. Kondisi ini
diperkuat dengan hasil pengamatan lapangan bahwa ketinggian gelombang rata-
rata pada bulan Agustus berada dalam kisaran 1,0 - 1,5 meter, sedangkan
gelombang maksimum berada dalam kisaran 2,5 – 3,0 meter (Santos, 2005).
Bulan Agustus merupakan masa yang sulit bagi nelayan Situbondo terutama dari
Pondok Mimbo karena angin yang dominan dari arah timur mempunyai kecepatan
lebih dari 17 knot dan ketinggian gelombang rata-rata lebih dari 1,5 meter.
Kondisi kecepatan angin dan ketinggian seperti ini menyebabkan terjadinya
musim paceklik ikan bagi nelayan dari PPI Pondok Mimbo.
Kondisi oseanografi Selat Madura pada awal musim peralihan kedua yaitu
bulan September masih dipengaruhi oleh angin dan gelombang dari timur.
Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan data satelit NOAA-AVHRR bahwa
nilai SPL Selat Madura dalam kisaran 28o – 32o C, sehingga thermal front terjadi
pada pertemuan massa air dengan suhu dalam kisaran tersebut. Hasil pengukuran
lapangan pada beberapa stasiun pengamatan di selatan Sampang menunjukkan
terjadinya peningkatan SPL, namun masih dalam kisaran 27,5o – 28,0o C (Santos,
2005). Konsentrasi klorofil-a yang sangat tinggi terjadi pada perairan sebelah
107
timur Pulau Raas dan sebelah utara Kepulauan Kangean (2,0 – 3,0 mg/m3),
diduga disebabkan oleh pergerakan massa air dari Laut Flores. Angin dari timur,
selatan dan tenggara mencapai kecepatan lebih tinggi dari 17 knot dan gelombang
dengan ketinggian mencapai di atas 1,5 meter sangat menghambat kegiatan
penangkapan ikan, sehingga nelayan Situbondo khususnya nelayan Pondok
Mimbo masih menghadapi kesulitan dan masa paceklik yang lebih berat.
Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Oktober, memunjukan SPL
berada dalam kisaran 27o - 31o C. Sebaran suhu ini sesuai dengan hasil
pengukuran lapangan pada beberapa stasiun yang menunjukkan suhu rata-rata
adalah 28,5o C (Santos, 2005). Konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa dan Laut Bali
mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya. Konsentrasi klorofil-a
yang sangat tinggi (1,5 – 3,0 mg/m3) terdapat pada perairan yang lebih luas di
sebelah timur Pulau Raas dan sekitar Kepulauan Kangean. Angin dan gelombang
di Selat Madura yang dominan datang dari timur dan tenggara, frekuensi dan
kecepatannya sudah mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya,
menunjukkan mulai terdapat situasi yang menguntungkan bagi kegiatan
penagkapan ikan. Kondisi ini diperkuat dengan hasil pengamatan lapangan bahwa
ketinggian gelombang rata-rata pada bulan Oktober berada dalam kisaran 0,5 – 1
meter (Santos, 2005). Kondisi angin dan gelombang bulan Oktober menunjukkan
bahwa nelayan Situbondo khususnya dari Pondok Mimbo sudah dapat melakukan
kegiatan penangkapan ikan, terutama yang menggunakan perahu/kapal motor
diatas 10 GT, sedangkan nelayan tradisionil terutama yang menggunakan perahu
layar atau perahu/kapal motor sampai ukuran 10 GT harus berhati-hati karena
angin kadang-kadang mencapai 17 knot dan gelombang yang mencapai 1,5 meter.
Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Nopember yang merupakan
bulan terakhir musim peralihan kedua, kembali mengalami perubahan dan
perbaikan dibandingkan sebelumnya. SPL di perairan Selat Madura, Laut Jawa
dan Laut Bali secara umum lebih tinggi dari sebelumnya yaitu dalam kisaran 28 o
– 30o C. SPL ini sesuai dengan hasil pengamatan lapangan pada beberapa stasiun
pengamatan yang menunjukkan bahwa sebaran suhu di permukaan laut adalah
29,0o C, lebih tingi 1o C dari bulan sebelumnya (Santos, 2005). Sebaran klorofil-a
yang agak tinggi (0,2 – 0,8 mg/m3) bergeser ke arah timur sebagai akibat
108
pergerakan massa air dari arah barat yang disebabkan oleh pergantian musim
peralihan kedua menuju musim Barat. Konsentrasi klorofil-a pada perairan bagian
timur Selat Madura mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya,
demikian juga konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa, Laut Bali dan Laut Flores
bagian barat mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya. Sebagai
indikator pergeseran dari musim peralihan kedua ke musim barat maka angin
dengan frekuensi dan kecepatan yang dominan datang dari arah selatan dan barat
dengan kecepatan mencapai lebih dari 17 knot. Gelombang dominan dengan
ketinggian dalam kisaran 0,1 – 0,5 meter, memberi peluang bagi nelayan
Situbondo untuk melakukan penangkapan ikan di Selat Madura dan sekitarnya.
Uraian tentang kondisi oseanografi di atas menunjukkan bahwa perairan
Selat Madura mengalami perubahan sangat dinamis dan berdampak pada pola
penangkapan ikan. Hal ini juga menunjukkan bahwa penentuan zona yang
berpotensi untuk penangkapan ikan harus selalu memperhatikan kondisi
oseanografi Selat Madura dan sekitarnya. Secara umum, kondisi oseanografi yang
diidentifikasi berdasarkan citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini
berkorelasi dengan hasil beberapa pengamatan lapangan (Bintoro, 2002; Santos,
2005; Illahude, 1978; dan Soegiharto, 1976). Perolehan data SPL dari satelit
NOAA-AVHRR dan hasil pengukuran lapangan menunjukkan bahwa suhu di
Selat Madura pada kawasan tertentu dalam kisaran cukup sempit (0,5o – 1,5o C ),
meskipun kisaran antara suhu yang terendah dengan yang tertinggi dapat
mencapai 3o sampai 4o C. Semakin kecil perbedaan suhu antara massa air yang
berbeda maka semakin sulit menemukan thermal front, menandakan air laut
semakin homogen sehingga thermal front sulit dideteksi, berarti ikan menyebar di
seluruh kawasan perairan. Penyebab terjadinya konsentrasi ikan pada lokasi
tertentu berarti bukan karena suhu tapi parameter lainnya, misalnya klorofil-a atau
salinitas. Selat Madura yang seperti jebakan sangat menguntungkan karena ikan
masuk dari sisi timur yang terbuka sehingga menjadi pintu masuk ikan dari laut
Bali dan Laut Flores. Kondisi ini berbeda dengan Laut Jawa yang merupakan laut
terbuka sehingga lebih sulit mencari tempat kumpulan (schooling) ikan.
109
Selat Madura bagian timur berhubungan langsung dengan Laut Bali dan
Selat Bali sehingga kedalamannya hampir sama dengan kedalaman perairan Laut
Bali bagian barat dan Selat Bali bagian utara. Berdasarkan informasi spasial
kedalaman Selat Madura dan sekitarnya, perairan antara selatan Pulau Kangean
dan utara Pulau Bali sampai ke sebelah timur dan timur laut Pondok Mimbo
mengalami gradasi kedalaman yang cukup tajam. Kondisi ini memungkinkan
terjadi pergerakan air naik dari Laut Bali bagian barat dan Selat Bali bagian
tengah yang dalamnya 1.000 m, ke perairan Selat Madura bagian timur yang
mempunyai kedalaman 500 m, selanjutnya dari kedalaman 500 m ke kedalaman
200 m yang didorong oleh angin dari arah timur dan tenggara. Pada saat angin
dari arah timur, juga akan mendorong massa air dari sekitar Pulau Raas dan Pulau
Kangean dengan kedalaman sekitar 200 m memasuki perairan Selat Madura.
Setelah perairan dengan kedalaman sekitar 80 mil, perairan antara utara Besuki
sampai sebelah utara Probolinggo mempunyai kedalaman sekitar 70 m – 60 m.
Perairan mulai utara Probolinggo ke sebelah barat, membentang dari sisi utara dan
selatan sampai perairan pantai mempunyai kedalaman sekitar 50 m, selanjutnya ke
perairan pantai dengan kedalaman sekitar 10 meter. Gradasi kedalaman ini
berkaitan erat dengan jenis ikan yang ada di perairan tersebut. Kondisi ini
diperkuat oleh hasil penelitian di lapangan bahwa perairan Selat Madura dangkal
di bagian barat dengan kedalaman rata antara 2 – 30 meter, dan menjadi lebih
dalam di bagian timurnya dengan kedalaman 20 – 70 meter (Santos, 2005).
Perubahan kedalaman Selat Madura mulai dari bagian timur yang agak
dalam dan bagian tengah yang relatif dangkal tersebut, berpengaruh terhadap
keberadaan jenis ikan di perairan tersebut. Perubahan kedalaman perairan Selat
Madura ini juga berkaitan erat dengan jenis ikan yang tertangkap oleh nelayan
Situbondo. Memperhatikan kedalaman, Selat Madura khususnya di sekitar
Situbondo termasuk dalam kategori perairan dangkal berupa paparan karena
kedalamannya berada dalam kisaran 60 – 200 m (Nontji, A. 2002).
110
dapat diketahui bahwa jenis ikan yang tertangkap selama musim barat berlanjut
pada musim peralihan pertama, namun pada pertengahan musim pertama sudah
mulai ditemukan ikan lemuru. Jenis ikan lemuru mendominasi sumberdaya ikan
selama musim timur sampai menjelang akhir musim peralihan kedua, setelah itu
terjadi campuran ikan tongkol, layang, kembung, selar dan lemuru. Dari hasil uji
coba penangkapan ikan di Selat Madura oleh nelayan Situbondo menggunakan
informasi ZPPI diketahui bahwa ikan lemuru berada di Selat Madura paling lama
dibandingkan jenis ikan lain. Hasil tangkapan ini berkorelasi dengan jenis ikan
terbanyak bahkan sangat dominan yang tertangkap oleh nelayan Situbondo adalah
lemuru, diikuti oleh tongkol, layang dan kembung (Dinas Perikanan dan Kelautan
Situbondo, 2003). Hasil tangkapan oleh nelayan Situbondo, berkorelasi dengan
hasil tangkapan ikan oleh nelayan Sampang bahwa ikan pelagis kecil yang paling
banyak tertangkap adalah lemuru, tembang, selar dan kembung (Santos, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, jenis ikan yang tertangkap pada
pelaksanaan kegiatan penangkapan ikan menggunakan informasi spasial ZPPI
didukung dengan referensi diatas, dapat dilakukan pengelompokan sumberdaya
ikan di Selat Madura dalam kaitannya dengan musim sebagai berikut :
(1) Selama musim barat yaitu bulan Desember, Januari dan Februari, sumberdaya
ikan didominasi oleh tongkol, layang, kembung, dan selar.
(2) Pada bulan Maret yang merupakan bulan pertama musim peralihan pertama
yaitu bulan Maret jenis ikan didominasi oleh tongkol, layang, kembung, dan
selar, namun sudah mulai ada terdapat ikan lemuru. Pada bulan kedua musim
peralihan pertama yaitu bulan April, sumberdaya ikan sudah mulai campuran
antara tongkol, layang, kembung, selar, dan lemuru yang semakin banyak.
Pada bulan terakhir musim peralihan pertama yaitu bulan Mei, sumberdaya
ikan sudah didominasi oleh lemuru.
(3) Pada musim timur yaitu bulan Juni, Juli dan Agustus, sumberdaya ikan
didominasi oleh lemuru, sehingga alat tangkap dan pengelolaan ikan hasil
tangkapan perlu disesuaikan dengan karakteristik ikan lemuru.
(4) Pada bulan pertama musim peralihan kedua yaitu bulan September,
sumberdaya ikan masih didominasi oleh Lemuru. Jenis sumberdaya ikan pada
bulan Oktober, masih didominasi oleh ikan lemuru, namun sudah mulai
112
banyak tertangkap ikan tongkol, layang dan selar. Pada bulan terakhir musim
peralihan kedua yaitu bulan November, sumberdaya ikan sudah campuran
antara lemuru, tongkol, layang, kembung, dan selar.
Produktivitas ikan lemuru hasil tangkapan oleh nelayan Situbondo dan
Sampang berkorelasi dengan produktivitas lemuru yang tinggi di perairan Selat
Bali pada bulan April sampai dengan Oktober yang mencapai 78,5% dari total
ikan hasil tangkapan (Merta, 2003). Berdasarkan ukuran panjangnya, ikan lemuru
(sardinela longiceps) dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu : lemuru yang panjangnya
kurang dari 11 cm disebut sempenit ditemukan mulai bulan Mei/Juni dampai
September; yang panjangnya antara 11 - 15 cm disebut protolan ; dan yang
panjangnya lebih dari 15 cm disebut dengan lemuru. Lemuru di Selat Bali terdiri
dari 4 jenis yaitu sardinella longiceps, sardinella aurita, sardinella lelogaster,
dan sardinella clupeoides. Dibandingkan dengan ikan pelagis kecil lainnya,
lemuru di Selat Bali mempunyai sifat yang khusus, hidup dan berkembang di
kawasan perairan yang sempit, dan melimpah pada saat terjadi uppwelling
dengan salinitas 34 o/oo dan suhu 24,5o C. Perkembangan lemuru belum diketahu
dengan pasti, ada yang menyatakan bahwa lemuru bertelur pada akhir musim
hujan dan pada kawasan perairan dalam sehingga tidak terjangkau oleh alat
tangkap jaring. Ada yang menyatakan bahwa lemuru bertelur pada perairan pantai
atau tidak jauh dari perairan pantai karena air laut mempunyai salinitas rendah
(Merta, 2003). Uraian di atas memberikan gambaran atau dugaan bahwa ikan
lemuru bertelur pada waktu musim hujan, yang di daerah Situbondo dan
Banyuwangi terjadi sekitar pertengahan musim barat sampai bulan pertama
musim peralihan pertama. Ini berarti bahwa pada musim hasil tangkapan lemuru
melimpah, pada waktu yang sama juga terdapat sempenit dan protolan. Namun
demikian, sempenit akan ditemukan pada perairan dekat dari pantai sedangkan
protolan akan ditemukan lebih ketengah (lebih dalam).
Desember dalam kisaran 26o C – 30o C. Nilai minimum dan maksimum SPL Selat
Madura berdasarkan data NOAA-AVHRR mencakup kisaran suhu hasil
pengukuran lapangan di stasiun Oyong yaitu 27,0o – 27,5o C (Santos, 2005), juga
hasil pengukuran lapangan pada beberapa lokasi di Selat Jawa dengan kisaran
suhu 28,0o – 28,82o C (Bintoro, 2002). Kandungan klorofil terendah terjadi pada
bulan Desember dengan nilai 0,1 mg/m3, sedangkan yang tertinggi terjadi pada
bulan April, Juli dan Oktober yaitu dengan nilai 1,4 mg/m3. Angin dan
gelombang yang paling besar pengaruhnya terhadap Selat Madura adalah yang
datang dari arah timur, dan menjadi kendala besar bagi kegiatan penangkapan
ikan oleh nelayan Situbondo Situbondo untuk mengakses ZPPI virtual yang
tersebar di utara, timur laut sampai timur PPI Pondok Mimbo. Arus air laut di
Selat Madura yang dominan searah dengan arah angin dengan kecepatan
maksimum 0,2 m/detik atau rata-rata 0,07 m/detik, berarti kecepatannya sangat
rendah karena bentuk Selat Madura yang semi tertutup.
Memperhatikan kedalaman perairan, kawasan yang mempunyai kedalaman
cukup untuk lapisan renang ikan pelagis (lemuru, layang, kembung, tongkol)
hanya sampai di perairan utara Pajarakan dengan kedalaman 60 m. Berdasarkan
hasil kegiatan penangkapan ikan dengan menerapkan informasi spasial ZPPI dan
hasil survei lapangan, jenis ikan yang dominan tertangkap di Selat Madura adalah
lemuru, tongkol, layang, kembung, dan selar. Komposisi hasil tangkapan
berkorelasi dengan musim yang mempengaruhi Selat Madura, sedangkan
sumberdaya ikan yang paling dominan tertangkap adalah ikan lemuru.
Beradasarkan data statistik produksi ikan tangkap ikan hasil tangkapan oleh
nelayan yang dominan adalah lemuru, layang, tongkol, kembung, dan kurisi
(Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo, 2002 -2006).
Berdasarkan hasil perhitungan luas area rata-rata yang dapat diakses oleh
nelayan Situbondo (Lampiran 9.c) maka perahu/kapal motor ukuran 0 – 5 GT
mempunyai peluang mengakses area dengan luas terkecil yaitu 0,10 km2/unit,
zona 5 – 10 GT mempunyai luasan 0,68 km2/unit, perahu/kapal motor dengan
kategori ukuran 10 – 20 GT berpeluang mengakses area paling luas yaitu 2,73
km2/unit. Dari hasil perhitungan luas perairan yang diperlukan untuk kegiatan
penangkapan ikan berdasarkan rata-rata luas operasi penangkapan dikalikan
jumlah perahu/kapal motor (Lampiran 9.d), dapat diketahui bahwa perahu/kapal
motor PPI Tanjung Pecinan dengan kategori ukuran 10 -20 GT memerlukan area
penangkapan paling luas yaitu 1.076,85 km2. Kondisi ini cukup beralasan karena
berdasarkan parbandingan jumlah perahu/kapal motor yang ada di masing-masing
PPI (Lampiran 9.a) maka PPI Tanjung Pecinan mempunyai jumlah perahu/kapal
motor dengan kategori ukuran 10 – 20 GT paling banyak yaitu 394 unit,
dibandingkan PPI Besuki yang hanya mempunyai 21 unit dan PPI Pondok Mimbo
mempunyai 109 unit.
Dengan memperhatikan area yang diperlukan untuk kegiatan penangkapan
ikan pada setiap zona penangkapan berdasarkan luas rata-rata yang diperlukan
untuk kegiatan penangkapan dan kategori perahu/kapal motor dibandingkan area
yang ada pada masing-masing PPI, diketahu bahwa:
a. PPI Besuki kekurangan area penangkapan seluas 14,85 km2 dalam zona 4 – 10
km, yaitu dalam zona penangkapan ikan oleh perahu/kapal motor pada
kategori ukuran 5 – 10 GT.
b. PPI Tanjung Pecinan kekurangan area penangkapan paling luas (kritis) yaitu
508,60 km2 pada zona 10 – 20 km untuk penangkapan ikan oleh perahu/kapal
motor 10 – 20 GT, juga pada zona untuk penangkapan ikan oleh nelayan
115
Tabel 20 Skeario jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima dari PPI lain
atau perahu/kapal motor setempat yang harus direlokasi melakukan
kerjasama penangkapan ke PPI sekitarnya
Skenario Jumlah Perahu/Kapal Motor yang Diterima dari PPI
Kategori lain atau Direlokasi ke PPI Sekitarnya.
Perahu/Kapal Besuki Tanjung Pecinan Pondok Mimbo
Motor (GT) Terima Relokasi Terima Relokasi Terima Relokasi
107 - - 241 134 -
<5
- 22 156 - - 134
5 - 10
130 - - 186 56
10 - 20
Berdasarkan hasil perhitungan area untuk tiap unit perahu/kapal motor yang
diperoleh dari hasil pembagian luas masing-masing zona terhadap jumlah
perahu/kapal motor untuk setiap kategori yang beroperasi pada zona
116
bersangkutan, dapat diperoleh perbedaan luas perairan yang dapat diakses oleh
tiap kategori perahu/kapal motor pada masing-masing PPI (Lampiran 10.a).
Dengan dasar hasil perhitungan luas rata-rata yang dapat diakses oleh setiap
kategori perahu/kapal motor di Situbondo, diperoleh luas perairan yang diperlu-
kan untuk kegiatan penangkapan ikan pada masing-masing PPI (Lampiran 10. c).
Selanjutnya berdasarkan perhitungan selisih antara luas zona dikurangi luas yang
diperlukan untuk kegiatan penangkapan ikan bagi masing-masing kategori
perahu/kapal motor, diketahui bahwa :
a. PPI Besuki mengalami kekurangan area penangkapan seluas 84,63 km2,
sehingga berada dalam kondisi kritis dan berpeluang terjadi konflik perebutan
lokasi penangkapan antar nelayan setempat.
b. PPI Tanjung Pecinan, mengalami kondisi sangat kritis dan berpeluang konflik
tinggi pada zona penangkapan 10 – 20 km karena kekurangan area
penangkapan seluas 863,26 km2, juga pada zona penangkapan < 5 km karena
kekurangan area penangkapan seluas 160,16 km2.
c. PPI Pondok Mimbo, dalam kondisi aman karena luas zona untuk semua
kategori melebihi luas yang diperlukan untuk penangkapan ikan.
Dengan memperhatikan hasil perhitungan area yang dibutuhkan dan tersedia
untuk kegiatan penangkapan pada masing PPI (Lampiran 10.c dan 10.d) dan hasil
perhitungan jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima melakukan kerjasama
penangkapan pada PPI bersangkutan atau perahu/kapal motor setempat yang
seharusnya direlokasi untuk melakukan kerjasama penangkapan ikan di PPI
sekitarnya, dibuat skenario sebagaimana dinyatakan pada Tabel 21 berikut.
Tabel 21 Skenario jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima atau direlokasi
melakukan kerjasama penangkapan ke PPI sekitarnya dengan pola
pengaturan sejajar garis pantai
Skenario Jumlah Perahu/Kapal Motor yang Diterima dari PPI
Kategori lain atau Direlokasi ke PPI Sekitarnya.
Perahu/Kapal Besuki Tanjung Pecinan Pondok Mimbo
Motor (GT) Terima Relokasi Terima Relokasi Terima Relokasi
17 - - 241 224 -
<5
- 65 47 - 18 -
5 - 10
120 - - 293 173 -
10 - 20
117
berbeda-beda terhadap kegiatan penangkapan oleh nelayan dari PPI yang ada di
Situbondo. Kegiatan penangkapan ikan di sekitar PPI Pondok Mimbo yang
berlokasi di sisi timur dari Situbondo khususnya di perairan sebelah timur laut
hingga tengara Pondok Mimbo mengalami hambatan angin dan gelombang paling
besar, sebaliknya nelayan dari Besuki yang terletak di sisi paling barat mengalami
dampak paling kecil. Kondisi ini mengakibatkan, kegiatan penangkapan ikan oleh
nelayan Pondok Mimbo lebih pendek dibandingkan waktu efektif penangkapan
ikan oleh nelayan dari PPI Besuki. Terlebih lagi nelahan Besuki dan Tanjung
Pecinan banyak yang menggunakan perahu/kapal motor ukuran di atas 20 GT,
sehingga mampu menempuh jarak lebih jauh dan lebih tahan mengadapi
hambatan angin dan gelombang di musim timur.
Dalam upaya mendukung peningkatan produktivitas perikanan tangkap
Kabupaten Situbondo, dilakukan analisis sebaran ZPPI bulanan dan arahan
pengaturan zona penangkapan ikan di Selat Madura dan perairan sekitarnya.
Pengaturan zona penangkapan ikan bulanan bagi nelayan Situbondo mengacu
pada pembagian wilayah penelitian menjadi 3 zona yaitu wilayah PPI Besuki, PPI
Tanjung Pecinan, dan PPI Pondok Mimbo. Pembahasan pengaturan zona
penangkapan ikan bulanan ini juga termasuk pengaturan kerjasama antar 3 PPI
yang ada di Kabupaten Situbondo serta kerjasama masing-masing PPI tersebut
dengan PPI dari kabupaten sekitarnya khususnya kabupaten Probolinggo,
Sampang, Pamekasan, Sumenep dan Banyuwangi.
ditinjau dari segi geografis dan peluang untuk melakukan kegiatan penangkapan
ikan maka posisi PPI Besuki paling strategis, karena punya peluang melakukan
kegiatan penangkapan dalam zona Besuki dan melakukan kerjasama penangkapan
dengan nelayan Probolinggo dan Pamekasan sepanjang tahun. Namun demikian,
nelayan Besuki mempunyai kelemahan dari segi efisienai jika harus melakukan
penangkapan pada ZPPI di sisi timur Selat Madura khususnya disekitar PPI
Pondok Mimbo, dan perairan mulai sebelah selatan Sumenep sampai Kangean.
Melalui kerjasama operasional penangkapan ikan maka nelayan dari PPI Besuki
berpeluang mengakses ZPPI virtual jauh lebih banyak dibandingkan dalam PPI
Besuki sendiri (Lampiran 12.1).
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Besuki selama bulan Desember
diarahkan pada 4 unit spasial dalam kelas sedang dan padat yang berada di
sebelah utara Besuki mulai dari perairan pantai sampai di atas zona 20 km antara
Besuki dan Pamekasan, serta di timur laut Besuki di atas zona 20 km. Dalam
memanfaatkan ZPPI di Selat Madura, nelayan Besuki yang menggunakan
perahu/kapal motor diatas 20 GT dapat diarahkan melakukan kerjasama
penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam 2 unit spasial dengan kategori rendah
di sebelah utara Probolinggo, sebelah barat laut Tanjung Pecinan dengan kategori
rendah, serta sebaran ZPPI virtual di sebelah utara, timur laut hingga timur
Pondok Mimbo dalam kategoti rendah dan sedang. Disamping melakukan
kerjasama dengan nelayan dari PPI di Situbondo, nelayan Besuki yang
menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT juga diarahkan untuk melakukan
kerjasama penangkapan pada ZPPI virtual dalam 2 unit spasial dengan kategori
rendah dan sedang di sebelah selatan dan timur laut PPI Dungke (Sumenep).
Nelayan tidak disarankan melakukan penangkapan di Laut Jawa pada unit spasial
antara utara Sumenep sampai utara Pulau Raas pada kelas rendah dan sedang.
ZPPI sekitar PPI Besuki pada bulan Januari mengalami pergeseran
dibandingkan sebelumnya. Nelayan Besuki diarahkan melakukan penangkapan
mengakses ZPPI dalam 2 unit spasial dengan kelas sedang dan 1 unit spasial kelas
rendah di sebelah utara Besuki mulai dari perairan dekat pantai sampai di atas 20
km. Disamping mengakses ZPPI dalam zona PPI Besuki sendiri, nelayan juga
diarahkan melakukan kerjasama penangkapan pada ZPPI virtual dalam 2 unit
120
spasial dengan kelas sedang di antara barat laut Paiton dan timur laut Pamekasan.
Nelayan dengan perahu/kapal motor diatas 20 GT juga diarahkan melakukan
kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual pada unit spasial pada zona di
atas 20 km yang tersebar antara utara hingga timur laut Pondok Mimbo dengan
kategori kelas rendah dan sedang. Nelayan Besuki dengan perahu/kapal motor
ukuran diatas 20 GT juga diarahkan bekerjasama mengakses ZPPI virtual pada 3
unit spasial dengan kelas rendah di antara utara Pamekasan dan pulau Raas,
Memperhatikan perubahan sebaran ZPPI pada bulan Februari, pola kegiatan
penangkapan ikan juga harus disesuaikan dengan perubahan sebaran ZPPI
dibandingkan bulan sebelumnya. Nelayan Besuki dengan perahu/kapal motor
sampai ukuran 10 GT diarahkan pada ZPPI dalam 2 unit spasial dengan kelas
sedang di utara dan sisi barat laut PPI Besuki, sementara nelayan dengan
perahu/kapal motor antara 10 – 20 GT diarahkan melakukan kerjasama
mengakses ZPPI pada unit spasial dengan kelas sedang di barat laut Paiton.
Nelayan dengan perahu/kapal motor di atas 20 GT disamping diarahkan
mengakses ZPPI pada unit spasial dengan kelas rendah juga diarahkan mengakses
ZPPI virtual pada 2 unit spasial dengan kelas sedang di barat laut Paiton. Nelayan
Besuki tersebut, juga diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses
ZPPI virtual dengan kategori kelas sedang sampai sangat padat di utara dan timur
laut PPI Pondok Mimbo. Disamping melakukan kerjasama penangkapan di
perairan Selat Madura, nelayan Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor di
atas 20 GT juga diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI
virtual pada unit spasial dengan kelas sedang di perairan Laut Jawa sebelah utara
Sumenep dan pulau Raas.
Kegiatan penangkapan ikan pada bulan Maret berpeluang mendapatkan
hasil tangkapan lebih baik karena sebaran ZPPI mengalami perluasan
dibandingkan sebelumnya. Nelayan dengan perahu/kapal motor sampai 20 GT
diarahkan melakukan penangkapan mengakses ZPPI pada 2 unit spasial kelas
rendah di utara Besuki dalam zona 20 km, sementara nelayan yang menggunakan
perahu/kapal motor di atas 20 GT diarahkan mengakses 2 ZPPI lainnya di atas
zona 20 km, masing-masing dengan kelas rendah dan sangat padat. Nelayan
Besuki dengan perahu motor di bawah 20 GT juga dapat diarahkan melakukan
121
Karena pengaruh angin timur di perairan bagian timur Selat Madura sudah
menurun maka nelayan Besuki dapat diarahkan melakukan kerjasama
penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam sebaran unit spasial kelas rendah
sampai padat yang tersebar mulai timur laut sampai timur Pondok Mimbo.
Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor di atas 20 GT juga dapat
diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam unit
spasial kelas rendah dan sedang di sebelah di perairan Laut Jawa bagian timur
antara utara Pamekasan sampai utara pulau Raas.
Berdasarkan informasi spasial ZPPI pada bulan November, kegiatan
penangkapan ikan oleh nelayan Besuki berpeluang mendapatkan hasil lebih baik
dan dapat dilakukan secara lebih efisien. Kondisi ini berpeluang memberikan
peluang baik bagi nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor sampai ukuran
20 GT mengakses ZPPI dalam 3 unit spasial kelas rendah dan sedang di utara
Besuki, dan melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial
kelas rendah di sebelah utara Probolinggo. Nelayan Besuki yang menggunakan
perahu/kapal motor di atas 20 GT mempunyai peluang diarahkan bekerjasama
mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial kelas padat di utara Probolinggo,
antara Besuki dan pamekasan, timur laut Tanjung Pecinan, serta ZPPI virtual
dalam 2 unit spasial kelas rendah dan sedang di utara Pondok Mimbo, serta ZPPI
virtual dalam unit spasial kelas rendah sampai padat mulai timur laut hingga timur
Pondok Mimbo. Nelayan dari PPI Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor
ukuran di atas 20 GT juga dapat diarahkan bekerjasama mengakses ZPPI virtual
dalam unit spasial kelas rendah hingga sedang antara utara Sumenep sampai Raas.
Zona penangkapan ikan PPI Tanjung Pacinan yang terletak di antara Besuki
di sebelah barat dan Pondok Mimbo di sebelah timurnya, secara geografis sangat
menguntungkan karena merupakan lintasan migrasi ikan baik dari arah timur
maupun perjalanan kembali dari arah barat. Dari segi peluang untuk melakukan
penangkapan sepanjang tahun, nelayan Tanjung Pecinan juga mempunyai
126
keuntungan karena pengaruh angin musim timur tidak terlalu kuat dibandingkan
PPI Pondok Mimbo. Zona PPI Tanjung Pecinan juga tidak terkena pengaruh angin
dan gelombang musim barat karena kecepatan gerakan merambat massa sudah
berkurang setelah melalui bagian barat dan timur dari Selat Madura. Karena
secara segi geografis PPI Tanjung Pecinan terletak di tengah, mempunyai peluang
melakukan kerjasama penangkapan ikan ke beberapa arah yaitu ke arah barat
bekerjasama mengakses ZPPI virtual dalam zona Besuki, Probolinggo, ke arah
utara melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual di selatan Pamekasan,
kesebelah timur dan timur laut bekerjasama mengakses ZPPI virtual dalam zona
penangkapan nelayan Pondok Mimbo dan Sumenep. Nelayan Tanjung Pecinan
juga berpeluang bersama nelayan Besuki melakukan kerjasama dengan nelayan
Pamekasan, Sumenep, Raas dan Kangean melakukan penangkapan di Laut Jawa.
Berdasarkan sebaran ZPPI di Selat Madura dan sekitarnya pada bulan
Desember, kegiatan penangkapan ikan diarahkan pada ZPPI dalam unit spasial
kelas rendah di sebelah barat laut PPI Tanjung Pecinan. Nelayan Tanjung Pecinan
yang menggunakan perahu/kapal motor 10 - 20 GT dapat memperluas wilayah
penangkapannya melalui kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam
unit spasial di utara Besuki sampai Probolinggo. Nelayan dengan perahu motor
diatas 20 GT dapat diarahkan ke sisi timur Selat Madura melakukan kerjasama
dengan nelayan Besuki mengakses ZPPI virtual di sebelah utara, timur laut hingga
timur Pondok Mimbo di luar zona 20 km. Nelayan Tanjung Pecinan yang
menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT juga diarahkan untuk bersama
nelayan Besuki melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial
di sebelah selatan dan tenggara PPI Dungke (Sumenep), dan tidak diarahkan
melakukan penangkapan di Laut Jawa pada unit spasial antara utara Sumenep
sampai utara Pulau Raas karena kondisi angin barat.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan
Januari, hanya berpeluang diarahkan pada ZPPI dalam unit spasial kelas sedang di
sebelah timur laut PPI Tanjung Pecinan sendiri. Dalam usaha meningkatkan
produktivitas hasil tangkapan ikan, nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan
perahu/kapal motor 10 – 20 GT dibagi menjadi 2 kelompok yaitu diarahkan ke
barat melakukan kerjasama penangkapan pada ZPPI virtual dalam zona PPI
127
Besuki dan melakukan penangkapan bersama pada ZPPI virtual di perairan utara
Pajarakan, serta ke arah timur mengakses ZPPI dalam unit spasial di sisi barat laut
Pondok Mimbo. Nelayan Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal
motor diatas 20 GT juga dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu ke arah barat dan
barat laut mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di atas zona 20 km melalui
kerjasama dengan nelayan Besuki, Probolinggo dan Pamekasan, sedangkan
kelompok lainnya diarahkan ke arah timur mengakses ZPPI virtual dalam unit
spasial yang tersebar antara utara hingga timur laut Pondok Mimbo. Prospek
penangkapan ikan di Laut Jawa bagian timur kurang baik, ditandai dengan
rendahnya ZPPI virtual di sebelah utara Sumenep hingga utara Pulau Raas.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan
Februari harus diarahkan pada ZPPI dalam 2 unit spasial masing-masing kelas
rendah dan sedang di utara PPI Tanjung Pecinan sendiri. Nelayan dengan
perahu/kapal motor 10 – 20 GT dapat diarahkan melakukan kerjasama mengakses
ZPPI virtual dalam unit spasial kelas sedang di utara Pondok Mimbo, juga
melakukan bekerjasama penangkapan pada ZPPI virtual kelas sedang dalam zona
PPI Besuki. Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT
diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan kerjasama dengan nelayan lokal
mengakses ZPPI virtual di perairan utara Probolinggo dan selatan Pamekasan.
Nelayan Tanjung Pecinan tersebut bersama nelayan Besuki,selain diarahkan
melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di
utara dan timur laut Pondok Mimbo, juga diarahkan bekerjasama dengan nelayan
lokal mengakses ZPPI dalam unit spasial di perairan Laut Jawa sebelah utara
Sumenep sampai utara Pulau Raas.
Pola kegiatan penangkapan ikan dalam zona PPI Tanjung Pecinan pada
bulan Maret relatif sama dengan bulan sebelumnya. Nelayan Tanjung Pecinan
yang menggunakan perahu/kapal motor dibawah 20 GT berpeluang diarahkan
melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di
utara Besuki. Nelayan yang meggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT,
diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual
pada zona diatas 20 km di utara Besuki sampai utara Probolinggo dan di timur
laut Pamekasan, juga mengakses ZPPI virtual dalam zona di atas 20 km sebelah
128
utara sampai timur laut Pondok Mimbo dan tenggara Sumenep. Nelayan juga
diarahkan bersama dengan nelayan Besuki, melakukan kerjasama penangkapan
ikan pada ZPPI virtual di perairan Laut Jawa bagian timur antara utara Sampang
sampai utara Pulau Sepudi.
Pada bulan April, kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan
mulai dari nelayan tradisional sampai yang menggunakan perahu/kapal motor
diatas 20 GT berpeluang mendapatkan hasil lebih banyak dari sebelumnya karena
terjadinya peningkatan sebaran ZPPI pada 3 unit spasial di sekitar Tanjung
Pecinan dengan kelas sedang sampai padat. Nelayan tradisionil dan yang
menggunakan perahu/kapal motor sampai 10 GT dapat diarahkan ke unit spasial
sebelah barat dan barat laut PPI Tanjung Pecinan, serta bekerjasama dengan
nelayan Besuki. Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT
diarahkan mengakses ZPPI dalam unit spasial kategori padat di utara Tanjung
Pecinan. Untuk meningkatkan hasil tangkapannya, nelayan Tanjung Pecinan
diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan kerjasama penangkapan pada ZPPI
virtual yang ada di dalam zona PPI Besuki, Probolinggo dan Pamekasan. Nelayan
yang akan melakukan penangkapan ke arah timur diarahkan bekerjasama dengan
nelayan dari Pondok Mimbo dan Sumenep agar dapat mengakses ZPPI virtual
antara timur laut Tanjung Pecinan hingga timur laut Pondok Mimbo. Disamping
itu, untuk memanfaatkan ZPPI virtual di sisi utara Selat Madura, nelayan dengan
perahu/kapal motor diatas 20 GT diarahkan bersama nelayan Besuki bekerjasama
dengan nelayan lokal mengakses ZPPI virtual antara selatan Sumenep hingga
selatan Pulau Raas, juga pada ZPPI virtual di perairan Laut Jawa bagian timur
antara utara Sumenep sampai utara Pulau Sepudi.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan Mei,
harus dilakukan perubahan lokasi karena sebaran ZPPI bergeser lebih ke utara
diatas zona 20 km. ZPPI untuk nelayan tradisional yang pada bulan sebelumnya
berada di sebelah barat sampai barat laut Tanjung Pecinan sudah tidak ada lagi.
Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor 10 – 20 GT diarahkan
melakukan kerjasama penangkapan pada 2 arah yaitu ke arah barat melakukan
kerjasama mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial di utara Besuki, yang
lainnya ke arah timur mengakses ZPPI di sisi barat Pondok Mimbo. Nelayan
129
ke sebelah barat hingga barat laut PPI Tanjung Pecinan. Nelayan Tanjung Pecinan
yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT mempunyai peluang
keberhasilan lebih tinggi dari bulan sebelumnya karena terdapat sebaran ZPPI
dalam 2 unit spasial dengan kelas sedang dalam zona di atas 20 km. Nelayan
Tanjung Pecinan diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI
virtual di utara Besuki, serta antara Probolinggo dengan Pamekasan. Nelayan
Tanjung Pecinan yang biasa melakukan penangkapan ke arah timur, diarahkan
bekerjasama dengan nelayan Besuki melakukan penangkapan mengakses ZPPI
virtual di perairan antara utara Pondok Mimbo dengan selatan Sumenep. Nelayan
Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT bersama
nelayan Besuki memperluas zona penangkapannya melalui kerjasama dengan
nelayan lokal mengakses ZPPI virtual antara utara Sumenep dan utara Pulau Raas.
Berdasarkan informasi spasial ZPPI bulan Juli, terdapat sebaran ZPPI virtual yang
luas mulai dari timur laut hingga timur Pondok Mimbo, namun sulit diakses
karena hambatan angin kencang dan gelombang tinggi yang datang dari arah
timur dan tenggara.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan dalam zona Tanjung Pecinan pada
bulan Agutus harus dilakukan dengan pola yang sama dengan bulan Juli karena
sebaran ZPPI sama dengan bulan sebelumnya. Karena terjadi penurunan ZPPI
virtual dalam zona 20 km di utara Besuki maka hanya nelayan dengan
perahu/kapal motor diatas 20 GT yang dapat diarahkan melakukan kerjasama
pada perairan di atas 20 km antara sisi barat Besuki, juga antara Probolinggo
dengan Pamekasan. Nelayan dengan perahu/kapal motor diatas 20 GT dan biasa
melakukan penangkapan ke arah timur, diarahkan bersama nelayan Besuki
mengakses ZPPI virtual di selatan Sumenep dan di utara Pondok Mimbo. Kondisi
angin dan gelombang di bagian timur Selat Madura tidak memungkinkan bagi
nelayan Tanjung Pecinan dan Besuki mengakses ZPPI virtual di sebelah timur
Pondok Mimbo. Jika kondisi angin dan gelombang di Selat Madura bagian timur
tidak memungkinkan melakukan penangkapan, nelayan Tanjung Pecinan juga
bersama nelayan Besuki dapat diarahkan bekerjasama mengakses ZPPI virtual
antara utara Sumenep sampai utara Pulau Raas.
131
dan Probolinggo mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial pada perairan di atas
20 km antara sebelah barat laut Besuki dan Probolinggo. Nelayan Tanjung
Pecinan yang melakukan kegiatan penangkapan ke arah timur diarahkan
melakukan kerjasama penangkapan ikan dengan nelayan Besuki mengakses ZPPI
virtual di utara Pondok Mimbo dan selatan Sumenep, serta di sebelah selatan
Pulau Sepudi. Nelayan juga diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan
kerjasama mengakses ZPPI virtual di perairan sebelah timur laut sampai timur
Pondok Mimbo. Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT
dan sanggup melakukan kegiatan penangkapan minimal satu minggu, dapat
diarahkan bersama nelayan Besuki melakukan kerjasama dengan nelayan
Sumenep dan Pulau Sepudi mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial kelas
rendah dan sedang di perairan Laut Jawa bagian timur antara utara Pamekasan
sampai utara Pulau Raas.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan pada bulan
November, harus dilakukan dengan pola yang berbeda dibandingkan bulan
sebelumnya. Perubahan pola penangkapan ikan harus dilakukan oleh nelayan
Tanjung Pecinan yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT karena
ZPPI yang dapat dijadikan sasaran lokasi penangkapan hanya terdapat dalam unit
spasial dalam kelas padat di timur laut PPI Tanjung Pecinan. Nelayan yang
menggunakan perahu/kapal motor sampai 20 GT juga dapat diarahkan melakukan
kerjasama mengakses ZPPI virtual di sisi timur laut sampai utara PPI Besuki.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Tanjung Pecinan ke arah barat diarahkan
bekerjasama dengan nelayan Besuki mengakses ZPPI virtual antara barat laut
Besuki dan timur laut Probolinggo. Nelayan Tanjung Pecinan bersama nelayan
Besuki bekerjasama dengan nelayan lokal mengakses ZPPI virtual dalam zona
PPI Probolinggo. Nelayan Tanjung Pecinan bersama nelayan Besuki juga
diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI di selatan
Pamekasan dan di selatan Sumenep. Kelompok nelayan lain yang mampu
melakukan kegiatan penangkapan beberapa hari dapat diarahkan bersama nelayan
Besuki yang juga menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT bekerjasama
mengakses ZPPI virtual antara perairan dalam zona Pondok Mimbo hingga
perairan selatan sampai tenggara Pulau Raas, juga bekerjasama dengan nelayan
133
timur laut PPI Pondok Mimbo. Kegiatan penangkapan ikan tidak dapat dilakukan
pada sebaran ZPPI lainnya karena berada di luar jangkauan perahu/kapal motor
Pondok Mimbo. Nelayan Pondok Mimbo hanya mempunyai peluang melakukan
kerjasama penangkapan ikan mengakses ZPPI virtual di sisi barat laut PPI
Tanjung Pecinan. Nelayan Pondok Mimbo dapat melakukan kegiatan
penangkapan ikan selama bulan Desember sepenuhnya karena tidak terpengaruh
oleh angin dan gelombang musim barat.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan Januari
hanya berpeluang dilakukan pada ZPPI dalam unit spasial dengan kelas sedang
dalam zona 20 km di sebelah utara dan sebelah timur laut PPI Pondok Mimbo.
Nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor ukuran 20 GT masih berpeluang
memperluas zona penangkapannya mengakses ZPPI dalam unit spasial kelas
sedang di sebelah utara Pondok Mimbo. Kegiatan penangkapan ikan tidak dapat
dilakukan pada ZPPI lainnya dalam zona penangkapan PPI Pondok Mimbo
sebagai akibat keterbatasan ukuran perahu/kapal motor dan kebiasaan kegiatan
penangkapan ikan one day fishing. Nelayan juga diarahkanbekerjasama
mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial kelas sedang di sebelah timur laut
Tanjung Pecinan. Kegiatan penangkapan ikan dapat dilakukan sepenuhnya karena
tidak terpengaruh oleh angin dan gelombang musim barat.
Kegiatan penangkapan ikan pada bulan Februari yang merupakan akhir
musim barat yaitu, dapat dilakukan oleh nelayan yang menggunakan perahu/kapal
motor sampai ukuran 10 GT mengakses ZPPI dalam unit spasial dengan kelas
sedang yang berlokasi di sebelah utara Pondok Mimbo, sedangkan perahu/kapal
motor dengan ukuran 10 – 20 GT dapat diarahkan mengakses ZPPI dalam unit
spasial kelas sedang di timur laut Pondok Mimbo. Disamping meningkatkan
kegiatan penangkapan ikan dalam zona PPI Pondok Mimbo sendiri, nelayan yang
menggunakan perahu/kapal motor ukuran 10 – 20 GT juga dapat diarahkan
melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual antara timur laut hingga barat laut
Tanjung Pecinan. Pada akhir musim barat, nelayan Pondok Mimbo masih dapat
melakukan kegiatan penangkapan ikan sepenuhnya karena tidak berpengaruh oleh
angin musim barat, sedangkan angin dari arah timur masih sangat lemah dengan
frekuensi yang rendah.
135
Kegiatan penagkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan Maret,
mempunyai pola yang berbeda dibandingkan bulan sebelumnya. Nelayan
berpeluang diarahkan untuk melakukan penangkapan pada ZPPI dalam unit
spasial masing-masing kelas sedang dan rendah di sebelah utara dan timur laut
Pondok Mimbo. Namun demikian, sebagai akibat keterbatasan perahu/kapal
motor dan sistem penangkapan one day fishing maka kegiatan penangkapan tidak
dapat dilakukan pada sebaran ZPPI dalam wilayah yang cukup luas di utara, timur
laut dan timur Pondok Mimbo. Memperhatikan faktor efisiensi dan ukuran
perahu/kapal motor yang ada, nelayan hanya berpeluang diarahkan melakukan
kerjasama penangkapan pada ZPPI virtual dalam unit spasial di barat laut dan
timur laut Tanjung Pecinan. Angin yang dominan di Selat Madura datang dari
barat dan barat laut mempunyai kecepatan rendah, memberi peluang bagi nelayan
Pondok Mimbo untuk melakukan penangkapan ikan sepenuhnya.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan April,
berpeluang memperoleh hasil yang baik jika dilakukan pada ZPPI dalam unit
spasial kelas sedang dan rendah di perairan dalam zona 20 km di sisi utara, timur
laut dan sebelah timur PPI Pondok Mimbo. Sebaran ZPPI di luar zona 20 km di
sebelah utara, timur laut dan timur Pondo Mimbo berada di luar jangkauan
perahu/kapal motor yang ada di PPI Pondok Mimbo. Nelayan Pondok Mimbo
juga dapat diarahkan melakukan kerjasama penangkapan ikan mengakses ZPPI
yang ada di sebelah timur laut Tanjung Pecinan. Nelayan Pondok Mimbo dapat
melakukan kegiatan penangkapan ikan selama bulan April karena kecepatan
angin memungkinkan bagi nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan,
namun nelayan tradisional atau yang menggunakan perahu/kapal motor kecil (<5
GT) harus memperhatikan perubahan angin yang datang dari timur.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan Mei
hanya berpeluang mengakses ZPPI dalam unit spasial dengan kelas sedang pada
jarak sekitar 20 km di sebelah utara, timur laut dan tenggara PPI Pondok Mimbo.
Kegiatan penangkapan ikan tidak dapat dilakukan pada ZPPI lainnya karena
lokasinya berada di luar jangkauan perahu/kapal motor Pondok Mimbo. Nelayan
Pondok Mimbo dapat memperluas zona penangkapannya melalui kerjasama
penangkapan mengakses ZPPI virtual sebelah timur laut dan barat laut PPI
136
penangkapan pada ZPPI virtual dalam zona PPI Tanjung Pacinan. Meskipun
terdapat ZPPI dalam area yang luas di sebelah timur laut sampai tenggara PPI
Pondok Mimbo, namun tidak mungkin diakses oleh nelayan Pondok Mimbo
karena jaraknya terlalu jauh serta terkendala oleh angin dan gelombang.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan
Agutus, harus bergeser lebih ke barat dibandingkan sebelumnya. ZPPI untuk
lokasi penangkapan nelayan Pondok Mimbo, terdapat dalam unit spasial dengan
kelas sedang di sebelah utara serta mulai dari sebelah timur laut sampai tenggara
PPI Pondok Mimbo, namun kondisi angin dan gelombang yang sudah sangat
didominasi oleh angin kecang dan gelombang tinggi hanya mampu mengakses
ZPPI terdekat. Akibat keterbatasan teknis perahu/kapal motor serta kondisi angin
dan gelombang maka nelayan hanya berpeluang melakukan kegiatan penangkapan
pada ZPPI di sebelah barat laut PPI Pondok Mimbo. Nelayan diarahkan
melakukan kerjasama mengakses ZPPI virtual di sebelah barat, barat laut dan
timur laut Tanjung Pecinan.
Kegiatan penangkapan ikan di sekitar PPI Pondok Mimbo pada bulan
September, masih terkendala oleh angin kencang dan gelombang tinggi dari arah
timur. Jika kondisi angin dan gelombang memungkinkan, nelayan dapat diarahkan
pada ZPPI dalam unit spasial dengan kelas sedang di sebelah barat laut PPI
Pondok Mimbo. Kegiatan penangkapan ikan juga tidak mungkin diarahkan ke
ZPPI dalam wilayah perairan yang luas di sebelah timur Pondok Mimbo karena
jaraknya terlalu jauh untuk dapat dijangkau oleh perahu/kapal motor yang ada
serta terkendala oleh angin dan gelombang musim timur. Nelayan Pondok Mimbo
dengan perahu/kapal motor 10 - 20 GT dapat diarahkan melakukan kerjasama
mengakses ZPPI virtual di sebelah timur dan timur Tanjung Pecinan.
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo pada bulan
Oktober, berpeluang mengakses ZPPI dalam unit spasial dengan kelas sedang dan
rendah yang ada di sebelah timur PPI Pondok Mimbo karena sudah tidak
terkendala oleh angin dan gelombang. Sebaran ZPPI yang mencakup wilayah
perairan yang luas di sebelah timur PPI Pondok Mimbo tidak mungkin diakses
karena keterbatasan jangkauan perahu/kapal motor, dan hanya berpeluang
diarahkan pada ZPPI terdekat di sebelah timur dan timur laut Pondok Mimbo.
138
angin dari timur yang bertiup kencang disertai gelombang tinggi, sehingga hanya
ZPPI dalam 5 unit spasial yang dapat diakses dari antara 8 sampai 15 unit spasial
yang ada di sekitar PPI Pondok Mimbo.
Unit spasial dalam zona PPI Besuki yang dapat dijadikan arahan kegiatan
penangkapan ikan selalu mengalami perubahan baik dari segi distribusi maupun
kelas kepadatannya. Dibandingkan unit spasial untuk kegiatan penangkapan ikan
di atas 20 km, distribusi unit spasial untuk sasaran kegiatan penangkapan ikan
yang paling banyak mengalami perubahan adalah yang mencakup zona
penangkapan ikan di bawah 20 km. Demikian juga dengan unit spasial dalam
kegiatan penangkapan ikan dalam zona PPI Tanjung Pecinan yang paling banyak
mengalami perubahan adalah yang di sebelah barat dan timur PPI Tanjung
Pecinan, dibandingkan unit spasial dalam zona penangkapan di atas 20 km.
Perubahan distribusi unit spasial untuk kegiatan penangkapan ikan di sekitar PPI
Pondok Mimbo mengalami perubahan pada tiga posisi yaitu sebelah utara Pondok
Mimbo dengan perubahan arah barat – timur, sebelah timur laut dengan
141
perubahan barat – timur dan utara – selatan, serta sebelah timur Pondok mimbo
dengan pergeseran barat timur. Demikian juga dengan kelas kepadatan ZPPI
dalam masing-masing unit spasial selalu mengalami perubahan mulai dari kelas
rendah sampai kelas sangat padat, dan kepadatan ZPPI yang paling sering adalah
dalam kelas sedang.
Dinamika ZPPI dalam unit spasial secara mingguan dan bulanan didukung
dengan data tentang fenomena oseanografi, klimatologi dan prilaku ikan pelagis
yang ada di Selat Madura, dapat digunakan untuk melakukan peramalan tentang
ZPPI untuk beberapa waktu kedepan, juga pada saat kesulitan mendapatkan data
SST dan klorofil-a dari satelit penginderaan jauh karena hambatan tutupan awan.
Hal ini sangat penting untuk memelihara kontinuitas informasi spasial ZPPI
kepada nelayan untuk mendukung kegiatan dan produktivitas penangkapan ikan.
Nelayan Besuki memiliki kemampuan teknis yang tinggi karena dalam
melaksanakan kegiatan penangkapan didukung oleh perahu/kapal motor ukuran di
atas 20 GT paling banyak (249 unit) dibandingkan nelayan dari PPI lainnya,
sehinggan disamping mampu mengakses zona penangkapan diatas 20 km di utara
Besuki juga mampu mengakses daerah penangkapan ikan yang jauh lebih luas,
dapat mencapai kawasan lain di Selat Madura dan bagian timur Laut Jawa bagian
selatan secara lebih aman. Nelayan Tanjung Pecinan meskipun memiliki zona
penangkapan yang paling sempit, namun memiliki kemampuan teknis yang dapat
mengakses kawasan Selat Madura dan sekitarnya secara lebih aman karena
kegiatan penangkapan ikan didukung oleh perahu/kapal motor ukuran di atas 20
GT sebanyak 183 unit. Nelayan Pondok Mimbo mempunyai prospek ZPPI yang
paling tinggi tersebar dalam zona penangkapan paling luas dibandingkan dengan
nelayan Besuki dan Tanjung Pecinan, namun karena memiliki kemampuan teknis
yang paling rendah (tidak punya perahu/kapal motor ukuran di atas 20 GT),
sehingga tidak mampu mengakses sebaran ZPPI yang ada di sekitarnya. Nelayan
dari PPI Pondok Mimbo, juga menghadapi kendala angin kencang dan gelombang
tinggi di musim timur sehingga tidak dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan
selama Selat Madura bagian timur dipengaruhi oleh angin timur dan tenggara.
Beradasarkan sebaran ZPPI dan jumlah perahu motor pada masing-masing
kategori ukuran untuk zona penangkapan ikan bagi perahu motor kategori
142
7.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan sintesis dari suhu permukaan laut (1996 – 2005) dan klorofil-a di
Selat Madura dan perairan sekitarnya yang diperoleh dari data satelit
penginderaan jauh, dapat diperoleh informasi bahwa ZPPI dalam unit spasial
dan unit spasial yang prospektif untuk penangkapan ikan berubah-ubah secara
spasial dan temporal. ZPPI di sekitar PPI Besuki mengalami pergeseran arah
barat timur dalam selang koordinat 113o 30’ – 113 o 50’ BT dan 7 o 20’ – 7 o
45’ LS, ZPPI di sekitar Tanjung Pecinan juga mengalami pergeseran arah
barat timur dalam koordinat 113 o 50’ – 114 o 6’ 30” BT dan 7 o 20’ – 7 o 40’
LS, sedangkan ZPPI sekitar PPI Pondok Mimbo mengalami pergeseran arah
barat timur serta utara selatan dalam koordinat 114 o 6’ 30” – 115 o BT dan 7 o
20’ – 7 o 55’ 30” LS. Sebaran ZPPI yang paling banyak mengalami perubahan
adalah dalam zona 20 km yaitu untuk kegiatan penangkapan ikan bagi
perahu/kapal motor sampai ukuran 20 GT.
7.2 Saran
Sebagai penutup dari disertasi ini disampaikan saran yang diharapkan dapat
ditindak lanjuti oleh pihak pemangku kepentingan di Kabupaten Situbondo atau
penelitian lainnya, sebagai berikut :
8 DAFTAR PUSTAKA
Gastellu E. and Mardio P. 1983. The Remote Sensed Sea Surface Temperatue A
Case Study In Indonesia. The Indonesian Journal of Geography. Volume
13, Number 46. Page 13 – 27.
Gordon A.L. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and Their Throughflow.
Journal Oceanography, Vol. 18, No. 4. 27 Pages.
Hadiat. 2005. Adopsi Informasi Spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan Dengan
Studi Kasus Proses Intermediasi Teknologi Dalam Sistem Inovasi.
Disertasi. Institut Pertanian Bogor. 147 halaman.
Harger J.R.E. 1995. ENSO Variations and Drought Occurrence in Indonesia
and the Philippines. Atmospheric Environment; 29 (16): 1943-1955.
Hartuti M., Manoppo A.K.S., Prayitno Y., dan Noor M. 2006. Laporan Kegiatan
Produksi Informasi bagi Nelayan Perikanan Tangkap Di Wilayah Timur
Indonesia (Pekalongan, Bali, Parepare, Balikpapan, Situbondo, Nusa
Tenggara Timur, dan Biak). Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan
Teknologi Penginderaan Jauh, Deputi Bidang Penginderaan Jauh, Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional. 79 halaman.
Hasyim B. 1986. Penentuan Temperatur Permukaan Laut Mempergunakan Data
AVHRR dengan Analisa Berbagai Saluran. Majalah LAPAN No. 41 Tahun
ke XI. Halaman 31 – 38.
Hasyim B. 2003. Kajian Daerah Penangkapan Ikan dan Budidaya Laut
Berdasarkan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis
Wilayah Kabupaten Situbondo. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan IPB. Tesis. 138 halaman.
Hasyim B., Sondita F., Haluan J., dan Kartasasmita M. 2009. Identifikasi Zona
Potensi Penangkapan Ikan di Selat Madura dan Perairan Sekitarnya
Berdasarkan Data Penginderaan Jauh. Jurnal Kelautan Nasional, Vol. 1
Edisi Khusus Januari 2009. Halaman 165 – 181.
Hela and Laevastu. 1970. Fisheries Oceanography : The Effect of Environment on
Fish Behaviour and Abundance Fishing News Book. London. 104 halaman.
Hendiarti N., Suwarso, Aldrian E, Amri K, Andiatuti R, Sachomar A, and
Wahyono I.B. 2005. Seasonal Variation of Pelagic Fish Catch Around
Java. Journal Oceanography Vol. 18, No. 4. Page 113 – 123.
148
Ilahude AG. 1978. On the Factors Affecting the Productivity of the Southern
Makassar Straith. Marine Research in Indonesia. Lembaga Oseanologi
Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Halaman 81 – 106.
Kantor Statistik dan Bappeda Tk. II Situbondo. 1997. Situbondo Dalam Angka
Tahun 1996. Kabupaten Situbondo.
Kostianoy A.G., Ginzburg A.I., Frankignoulle M., and Delille B. 2004. Fronts in
the Southern Indian Ocean as Inferred from Satellite Sea Surface
Temperature Data. Journal of Marine Systems 45. Page 55 – 73.
Lintin M., Badrudin, Wirdaningsih N. 1994. Indeks Kelimpahan Stok Sumber
Daya Ikan Pelagis Kecil di Perairan Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian
Perikanan Laut No. 87 Tahun 1994. Halaman 48 – 55.
Lumban Gaol J., Pasaribu B.P., Manurung D., and Endriani R. 2004. The
Fluctuation of Chlorophyl-a Concentration Derived from Satellite and Cath
of Oily Sardine (Sardinela lemuru) in Bali Strait. International Journal
Remote Sensing and Earth Sciences, Vol 1 No. 1. Page 24 – 60.
Lumban Gaol J., Endriani R. A., Manurung D., and Kawaru M. 2007. Pemetaan
Sumber Daya Laut Pulau Nias Dengan Teknologi Penginderaan Jauh Satelit
Pasca-Tsunami 2004. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 12 No. 3.
Halaman 131 - 139.
Laurs M. R. 1993. Integration of Various Satellite – Derived Oceanography
Information for the Identification of Potenstial Fishing Zones. U.S. National
Marine Fisheries Service, Southwest Fisheries Scence Center. La Jolla,
California. 6 pages.
Merta G.S. 2003. Review of the Lemuru Fishery in the Bali Strait. Bology,
Dynamics, Exploitation of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea.
(Biodinex). The Agency of Marine and Fisheries Research. Jakarta. Page 97
– 105.
Merta G.S. and Eidman F.M. 2003. Prediction of Biomass, Yield and Value of the
Lemuuru (Sardinela lemuru) Fishery in the Bali Strait. (Biodinex). The
Agency of Marine and Fisheries Research. Jakarta. Page 137 – 153.
149
Nahib I., Kaidati B., Fitriah N. 2007. Pemanfaataan Data Aqua Modis untuk
Pengkajian Pendugaan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Besar (Tongkol Dan
Cakalang) di Perairan Teluk Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.
Proceeding Geo-Marine Research Forum. Halaman 71 – 92.
Narendra Nath A. 1993. Retrieval of Sea Surface Temperature Using NOAA-
AVHRR Data for Identification of Potential Fishing Zone – Dissemination
and Validation. National Remote Sensing Agency. Hiyderabad, India. 40
pages.
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Jambatan. Jakarta. 367 halaman.
Nurhakim S., Nikijuluw V., Nogroho D., and Prisantoso B. 2007. Status
Perikanan Menuurut Wilayah Pengelolaan (Informasi Dasar Pemanfaatan
Berkelanjutan). Pusat Riset Perikanan Tangkap – Badan Riset Kelautan dan
Perikanan. Jakarta. 47 halaman.
Nikijuluw V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat
Pemberdayaan dan Pembangunan Regional dan PT. Pustaka Cidesindo.
Jakarta. 254 halaman.
Pasaribu B.P., Manurung D., and Nugroho D. 2004. Fish Stock Assessment Using
Marine Acoustics Detection And Oceanographical Characteristics In Java
Sea. Jurnal Gayana 68(2): 1-5. Page 466-475.
Pemerintah Kabupaten Sitbondo. 2001. Program Pembangunan Daerah
(PROPEDA) Kabupaten Situbondo 2001-2005. Situbondo.
Pet J.S., Densen W.L.T, Machiels M.A.M,. Sukkel M, Setyohadi D, and
Tumuljadi A. 1997. Length-based Analysis of Population Dynamics and
Stock Identification in the Sardine Fisheries around East Java, Indonesia.
Journal of Fisheries Research 31. Page 107 – 120.
Potier M. and Sadhotomo B. 2003. Exploitation of Large and Medium Seiners
Fisheries. Biodinex. The Agency of Marine and Fisheries Research. Jakarta.
Page 195 – 214.
Qu T., Du Y., Strachan J., Meyer G. S., and Slingo J. 2005. Sea Surface
Temperature And Its Variability In The Indonesian Region Sea Surface
Temperature And Its Variability In The Indonesian Region. Journal
Oceanography Vol. 18, No. 4. Page 51 – 61.
150
Susilo E. and Ismadi. 2003. The Mobility of Andhon Fishermen in East Java.
Proceeding of Socio Economics, Innovation and Management of the Java
Sea Pelagic Fisheries. Seminar Sosekima. The Agency for Marine and
Fisheries Research. 407 pages.
Triatmodjo B. 1996. Pelabuhan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 299
halaman.
Trisakti B., Hasyim B., Dewanti R., Hartuti M., dan Winarso G. Editor. 2003.
Teknologi Penginderaan Jauh Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Lautan. Jakarta. 109 halaman.
Vasconcellos M,. 2003. An Analysis of Harvest Strategies and Information Needs
in the Purse Seine Fishery for the Brazillian Sardine. Journal of Fisheries
Research 59. Page 363 – 378.
Widodo J. and Burhanuddin. 2003. Systematics of the Small Pelagic Fish Species.
Bology, Dynamics, Exploitation of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea.
(Biodinex). Page 39 – 48.
Widodo J. 2003. Population Dynamics of Ikan Layang, Scads (Decapterus spp.).
Dynamics, Exploitation of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea
(Biodinex). The Agency of Marine and Fisheries Research. Page 125 – 136.
Widodo J., Aziz, K.A., Priyono, B.E., Tampubolon T.H., Namin N., dan Djamali
A. 1998. Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan
Indonesia. Jakarta, 251 halaman
Wirasasmita S. 2007. Penataan Wilayah Pengelolaan Perikanan. Pusat Riset
Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 48 halaman.
Wudianto. 2001. Analisis Sebaran dan Kelimpahan Ikan Lemuru (Sadinela lemuru
Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali : Kaitannya Dengan Optimasi
Penangkapan. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
221 halaman.
Zainuddin M. 2007. Pemetaan Daerah Potensial Penangkapan Ikan Kembung
Lelaki (Rastrelliger Kanagurta) di Perairan Kabupaten Bantaeng, Sulawesi
Selatan. Jurnal Sains & Teknologi Vol. 7 No. 2. Halaman 57–64.
1
a. Sebaran konsentrasi klorofil-a Selat Madura dan sekitarnya pada bulan Januari
b. Sebaran konsentrasi klorofil-a Selat Madura dan sekitarnya pada bulan April
4
c. Sebaran konsentrasi klorofil-a Selat Madura dan sekitarnya pada bulan Juli
d. Sebaran konsentrasi klorofil-a Selat Madura dan sekitarnya pada bulan Oktober
5
Lampiran 5 Peta gelombang dan kecepatan angin di Laut Jawa dan sekitarnya
Lampiran 6 Gambar kontur kedalaman (batimetri) Selat Madura, Laut Bali bagian
barat dan Selat Bali bagian utara
14
Lampiran 7 Data hasil survei lapangan tentang ukuran perahu/kapal motor, jenis
alat tangkap, lama dan daerah operasi serta pendapatan bersih
nelayan
a. Data ukuran perahu perahu/kapal motor, jenis alat tangkap, lama dan daerah
operasi penangkapan ikan serta pendapatan bersih nelayan per trip dari TPI
Tanjung Jangkar
b Data hasil survei tentang ukuran perahu/kapal motor, jenis alat tangkap, lama
dan daerah operasi penangkapan ikan serta pendapatan bersih nelayan per trip
dari PPI Probolinggo
Ukuran Lama Pendapatan per
Jenis Alat
No Perahu Operasi Daerah Operasi orang-Trip
Tangkap
(GT) (jam) (Rp)
1 4 Trawl 12 Selat Madura 20,000 – 50,000
2 4 Trawl 360 Selat Madura 100,000-200,000
3 6 Trawl 216 Selat Madura 50,000- 100,000
4 2 Trawl Teri 12 Selat Madura 300,000 - 100,000
5 15 Trawl 12 Selat Madura 100,000 - 500,000
6 5 Trawl Udang 4 Selat Madura 25,000
15
c. Data hasil survei lapangan tentang ukuran perahu/kapal motor, jenis alat
tangkap, lama dan daerah operasi penangkapan ikan serta pendapatan bersih
nelayan per trip dari PPI Pamekasan
Ukuran Lama Pendapatan per
Jenis Alat Daerah
No Perahu Operasi Orang-Trip
Tangkap Operasi
(GT) (jam) (Rp)
1 4 Trawl 12 Selat Madura 20,000-50,000
2 4 Trawl 360 Selat Madura 100,000-100,000
3 6 Trawl 216 Selat Madura 50,00 - 100,000
6 2 Trawl Teri 12 Selat Madura 300,000- 400,000
8 15 Trawl 12 Selat Madura 100,000- 500,000
9 5 Trawl Udang 4 Selat Madura 25,000
d. Data hasil survei lapangan tentang ukuran perahu/kapal motor, jenis alat
tangkap, lama dan daerah operasi penangkapan ikan serta pendapatan bersih
nelayan per trip dari PPI Dungkek (Sumenep)
Ukuran Lama Pendapatan per
Daerah
No Perahu Jenis Alat Tangkap Operasi Orang-Trip
Operasi
(GT) (jam) (Rp)
1 3 Trawl Teri 12 Jadung 10,000- 30,000
2 3 Trawl dan Gilnet 12 Jadung 10,000- 50,000
5 3 Trawl Teri 12 Jadung 10,000- 30,000
9 3 Trawl dan Gilnet 12 Jadung 15,000- 50,000
8 3 Trawl Udang dan Gilnet 12 Jadung 25,000- 50,000
9 3 Trawl Udang dan Gilnet 12 Jadung 25,000- 40,000
16
Lampiran 8 Tabel Feedback hasil tangkapan ikan di Selat Madura oleh nelayan
Situbondo dalam penerapan informasi spasial ZPPI
a. Jumlah perahu/kapal motor pada setiap PPI dan secara keseluruhan untuk
masing-masing kategori
c. Hasil perhitungan alokasi luas rata-rata per perahu/kapal motor untuk tiap
kategori zona penangkapan di Situbondo
e. Selisih (kelebihan atau kekurangan) area pada masing-masing zona (luas zona
dikurangi area yang digunakan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan
pada masing-masing PPI
f. Jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima (potisif) dari PPI lain atau
direlokasi (negatif) direlokasi ke PPI lain untuk melakukan kerjasama
penangkapan ikan (diperoleh dari selisih (kelebihan atau kekurangan) area
pada masing-masing zona (luas zona dikurangi area yang digunakan oleh
nelayan untuk melakukan penangkapan pada masing-masing PPI dibagi
dengan luas rata-rata alokasi area penangkap)
b. Hasil perhitungan alokasi luas rata-rata per perahu/kapal motor untuk tiap
kategori zona penangkapan di Situbondo
d. Selisih (kelebihan atau kekurangan) area pada masing-masing zona (luas zona
dikurangi area yang digunakan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan
pada masing-masing PPI
g. Jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima (potisif) dari PPI lain atau
direlokasi (negatif) ke PPI lain untuk melakukan kerjasama penangkapan ikan
(diperoleh dari selisih (kelebihan atau kekurangan) area pada masing-masing
zona (luas zona dikurangi Area yang digunakan oleh nelayan untuk
melakukan penangkapan pada masing-masing PPI dibagi dengan luas rata-rata
alokasi area penangkap)
Lampiran 11.1 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Desember di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh
Lampiran 11.2 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Januari di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh
Lampiran 11.3 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Februari di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh
Lampiran 11.4 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Maret di Selat Madura bagian
timur berdasarkan data penginderaan jauh
Lampiran 11.5 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan April di Selat Madura bagian
timur berdasarkan data penginderaan jauh
Lampiran 11.6 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Mei di Selat Madura bagian
timur berdasarkan data penginderaan jauh
Lampiran 11.7 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Juni di Selat Madura bagian
timur berdasarkan data penginderaan jauh
Lampiran 11.8 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Juli di Selat Madura bagian
timur berdasarkan data penginderaan jauh
Lampiran 11.9 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Agustus di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh
Lampiran 11.10 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan September di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh
Lampiran 11.11 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan Oktober di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh
Lampiran 11.12 Sebaran ZPPI mingguan pada bulan November di Selat Madura
bagian timur berdasarkan data penginderaan jauh
Lampiran 12 Grafik perbandingan antara ZPPI dengan ZPPI virtual yang dapat
diakses melalui kerjasama operasional penangkapan ikan
Lampiran 12.1 Grafik perbandingan antara ZPPI dalam zona PPI Besuki sendiri
dengan ZPPI virtual yang dapat diakses
25 26
23 23 24
25
20 17
15
15
10
6 5
4 3 3 4 3 3 3 3 4
5 2
0
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov
Bulan
Lampiran 12.2 Grafik perbandingan antara ZPPI dalam zona PPI Tanjung
Pecinan sendiri dengan ZPPI virtual yang dapat diakses
45
ZPPI Dalam Zona T Pecinan
39
40 ZPPI Virtual Bagi Nelayan T. Pecinan
35
35 32
31 31
29 29
Jumlah Unit Spasial
30 28
25 25
25 23
21
20
15
10
5 2 2 3 2 2 3 3 3 3 2
1 1
0
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov
Bulan
48
Lampiran 12.3 Grafik perbandingan antara ZPPI yang ada dalam zona PPI
Pondok Mimbo sendiri dengan ZPPI yang dapat diakses serta
ZPPI virtual yang dapat diakses melalui kerjasama penangkapan
ikan.
10 10
10
8
8 7
6
6 5 5 5 5 5 5
4 4
4 3 33 33 3 3
2 2 2 2 2 2
2 1 1
0
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov
Bulan