You are on page 1of 20

7

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
Dalam teori jurnalistik klasik, pembagian koran harian
didasarkan pada waktu terbit. Koran harian yang terbit pada
pagi hari biasanya menggunakan format broadsheet, memuat
peristiwa berita secara analitis, ekstensif dan komprehensif.
Pembaca mereka biasanya berpendidikan menengah dan tinggi
(weel educated), bekerja pada level menengah keatas. Koran
harian format pagi menyajian informasi yang bernilai dan
membentuk opini dan perilaku yang berbeda ke pembacanya.
Para pembaca berharap koran harian pagi (broadsheet)
menyajikan informasi yang seimbang, analitis dan reportase
yang tidak bias. Mereka juga berharap komentar dan pendapat
yang dimuat berdasarkan fakta dan pernyataaan-peryataan yang
secara jelas dapat diverifikasi.
Di dunia dikenal The New York Times, The Guardian
(sebelum berubah), Frankfurter Allgemeine Zeitung, Corriere
della Serra atau Delo. Sementara di Indonesia Kompas (sebelum
berubah), Suara Pembaharuan dan Kedaulatan Rakyat yang
mewakili jenis koran terbitan pagi
Namun pada kasus banyak negara, pembaca jenis ini
teramat jarang dan membuat sirkulasi koran pagi tidak
sefenomenal tabloid. Dengan reputasi yang rendah tabloid
menempati urutan teratas dalam sirkulasi dibandingkan dengan
jenis penerbitan berkala lainnya.
Tabel 1
8

Perbandingan Sirkulasi Koran Harian dan Tabloid di

Indonesia

Jenis Tahun
1997 1998
1999
Harian Nasional 2,646 2,728
2,292
Harian Lokal/Regional 2,071 2,289
2,490
Total 4,717 5,017
4,782
Non Harian/Tabloid 3,357 3,156
5,270
Nasional
Non Harian/ Tabloid 1,287 1,918 2,488
Lokal/Regional
Total 4,644 5,074 7,758
Sumber: A Word Association of Newspaper/Word Bank

Conferemce, Zurich,Switzerland, 1999

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan


sirkulasi koran harian dari tahun ke tahun (data terekam sampai
dengan 1999) semakin menyusut dan kalah dengan
perkembangan terbitan non harian dan tabloid. Bahkan di tahun
1999, terbitan non harian/ tabloid mengalami pertumbuhan dua
kali lebih besar dibanding dengan terbitan harian.
Untuk periode tahun 2003, Survei dari Kantor Menteri
Negara Komunikasi dan Informasi, memperlihatkan bahwa
jumlah penerbitan pers di Indonesia sekitar 450 penerbit,
dengan total tiras sekitar tujuh juta eksemplar. Dari jumlah itu,
surat kabar 4,3 juta eksemplar, majalah 1,4 juta, dan tabloid 1,1
juta (Perskita, No 21, Juni 2005).1
Meskipun pada versi ini, data yang terjadi menujukan
fenomena yang berbeda, namun survei ini tidak menunjukan
jumlah perkembangan yang signifikan dari sirkulasi surat kabar
harian, mengingat pada masa Orde Baru hingga awal Era
Reformasi angka tiras penerbitan masih 14 juta, dengan jumlah

1
Ninok Leksono, Koran, Renaisans menuju Masa Depan Berbagi, Kompas, Selasa, 28 Juni
2005 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/28/opini/1845162.htm
9

surat kabar sekitar enam juta.2 Dengan kata lain, jumlah


penerbitan bertambah, namun jumlah oplah tidak meningkat.3
Di Kenya, 4 besar harian (broadsheet) yang menguasai
pangsa pasar audien dan pengiklan kesemuanya berformat
tabloid. Keempat broadbloid tersebut adalah : Daily Nation,
Taifa Leo, Kenya Times dan East African Standard.4
Di republik Czech, tingkat pertumbuhan koran harian
antara 1998/2000 dan 2000/2001 mengalami pertumbuhan
minus mulai -4 % sampai dengan -7%, sementara untuk koran
non harian dan tabloid pada periode yang sama mengalami
pertumbuhan dari 19,22% sampai dengan 36.99% dari total
sirkulasi dan pendapatan iklan. 5

Di Amerika Serikat, krisis iklan dan sirkulasi pada koran


harian telah menyebabkan The New York Times mengurangi
sekitar 8-9 persen dari 14.000 pekerja medianya pada
September 2001. Pada tahun yang sama Miami Herald, juga
mengumumkan telah mempesiun-dinikan sekitar 20 %
perkerjanya. USA Today (pen:sebelum merubah format ke
tabloid) membuat kebijakan baru berupa pensiun dini bagi
karyawan. Kondisi serupa juga dialami industri pers di Inggris
dan Jerman6
Sementara di Indonesia tablodisasi koran merupakan
kondisi yang seakan nasib yang tidak bisa ditolak, sebagaimana
dinyatakan oleh Jacoeb Oetama7 :

2
Ibid.
3
Jacoeb Oetama menyebutkan bahwa dalam periode ini Indonesia mengalamai pertumbuhan
industri penerbitan surat kabar dari 289 menjadi 1.600 perusahaan. Namun hal ini tidak diiringi
dengan jumlah oplah yang meningkat, justru menurun. Jacoeb Oetama, Powering the Media
Dynamic, Kompas, Kamis 17 Maret 2005
4
A WAN/Word Bandk Conference, Zurich, Switzerland, 1999
5
Ibid.
6
David Vidal, 2003, hal. 3
7
Jacob Oetama, Powering the Media Dynamic, Kompas, Kamis, 17 Maret 2005
10

“Sekali lagi dikemukakan, saat pola tabloid


mendapat panggung baru, yakni media
elektronik, lalu media digital seperti televisi,
internet, dan media interaktif lain, maraklah
informasi dan liputan yang berasosiasi dengan
entertaiment. Informasi, namun informasi yang
serba hiburan dikemas dalam konteks
entertainment yang lebih kuat daya tariknya.
Dalam fase inilah kita di Indonesia kini
berada. Media elektronik, radio, televisi,
internet dan lain-lain mendapat momentum
baru. Kebebasan serta revolusi teknologi
informasi (TI). Sudah lebih dulu,
perkembangan TI dan media di negara-negara
industri maju memunculkan dan meluaskan
globalisasi.
Adalah benar dalam lingkungan serba
globalisasi itulah kita Indonesia maupun
negara-negara Asia Pasifik dan semua negara
di dunia kini berada. Suka tidak suka,
melawan atau menyikapi secara kritis
konstruktif, itulah lingkungan hidup baru bagi
kita semua.” (cetak tebal dari penulis)

Penelitian yang dilakukan oleh Engels (1996), Cronkrite


(1998) dan Humprhys (1999) mengawali kritik tabloidisasi
koran, sebuah proses penyajian berita koran yang menekankan
pada “infotaiment” untuk diketahui khalayak dibanding dengan
menyajikan “ program acara yang berkualitas”
Colin Spark, profesor Media Studies di Centre for
Communication and Information Studies, Universitas
Westminster membuat penelitian tentang proses tabloidisasi
media. Salah satu dari hasil penelitianya adalah rekomendasi
tentang cara pembangunan sebuah pasar media di negara-
negara Eropa Southeastern pasca 1990. Dalam rekomendasinya
Colin 8menyebutkan bahwa:

“Koran yang berkualitas adalah koran yang


dalam format besarnya memuat reportase
8
www.fc.vdu.lt/e-media/md/pers.html.
11

berita yang mendalam (in depth news),


acapkali menggunakan bahasa tingkat tinggi
dan dalam nada yang serius.Berita didominasi
dengan peristiwa nasional dan internasional,
politik dan bisnis, dengan sedikit porsi untuk
berita selebritis dan gosip.”

Tabloidisasi atau “pentabloidan” berita dan isu mutakhir


di masyarakat dalam media merupakan proses pengabungan
antara “informasi” dengan “entertaiment” (infotaiment) atau
“emosi” dengan “entertaiment” (emotaiment) dibanding sajian
berita “hard news” atau “indept news”. Hal ini merupakan
proses penurunan dari jurnalistik tradisional dan memunculkan
antusiasme baru karya jurnalistik dalam bentuk budaya populer.

Menurut Stephan Malovic9 inti utama dari definisi tabloid


adalah:
“a tabloid is that it publishes sensational
information about the private life of prominent
people. The more prominent the person and
more sensational the story, the better.”

Dari definisi konseptual Stephan Malovic tersebut diatas,


maka tabloid bukan sekedar format dalam pengertian ukuran
kertas atau lay-out tampilan sebuah media cetak, namun lebih
mengarah pada kecenderungan isi media dan konstruksi awak
media dalam meliput sebuah peristiwa.
Howard Kurtz mentengarai fenomena tablodisiasi
berdasarkan analisis dari penelitian yang dilakukannya tentang
perubahan media massa di Amerika Serikat di tahun 1990-an.
Kurtz memandang bahwa banyak penerbit di Amerika Serikat di
tahun 90-an yang menginginkan korannya terlihat friendly
(dekat) dengan pembaca. Konsekuensinya adalah berita hard
9
Opcit. hal.2
12

news harus hilang dan relevansi ditonjolkan. Deklarasi dari


perubahan format ini tampak pada ratusan koran kemudian
didesain ulang, halaman muka dijejali dengan foto-foto besar
dan bingkai kotak teks yang kecil. 10

Frank Esser (1999) memperkenalkan konsep tablodisasi


ketika mempersentasikan paper berjudul “Tablodization of
News: A Comparative Analysis of Anglo-American and German
Press Journalism”. Menurut Esser, proses tablodisasi media
muncul dalam dua level yakni level mikro dan makro. Di skala
mikro, tablodisasi dapat dipandang sebagai sebuah fenomena
media yang meliputi perbaikan-perbaikan dari koran tradisional
dan media berformat lain berdasarkan preferensi pembaca dan
permintaan-permintaan komersial.
Di skala makro, tablodisasi dapat dipandang sebagai
fenomena sosial dari perubahan-perubahan utama penyimbolan
dan penginstingan tujuh konstitusi dalam masyarakat.(sebagai
contoh, kemunculan banyak simbol dan ikon dalam media
memberi pengaruh yang kurang pada pendidikan dan memberi
porsi lebih pada pemasaran-pemasaran politik, menghasilan
peningkatan dalam keterasingan-keterasingan politik)11
Pada akhirnya proses tabloidisasi koran harus dipandang
sebagai fenomena yang terpisah dalam masing-masing
lingkungan media, tergantung pada faktor budaya yang unik,
sejarah dan warisan budaya. Sehingga fenomena global dari
tablodisisasi ini dapat dikaji dalam konteks ke-Indonesiaan
dengan menggunakan definisi teoritis tersebut diatas.
Berbagai literatur klasik tentang teori jurnalistik sering
kali mengutip pernyataan C.P Scott’s12 bahwa “fakta adalah
suci, sementara opini adalah bebas. (“Fact are sacred,
10
Opcit. Kurtz, 1993, hal.339.
11
Opcit, Stephan, hal.6
12
David Vidal, 2003, hal.14
13

comments are free”), sebuah pernyataan yang kemudian


melandasi teori jurnalistik cetak atau teori pers.
Akar dari pernyataan ini adalah kerangka positivistik dan
realisme, sebagaimana objektivitas ilmiah positivist, meskipun
pada kenyataan epistemologisnya pernyataan ini dapat
diperdebatkan. Bahwa fakta adalah kepentingan terlepas
bagaimana cara kita menghubungkannya. Konvensi umum juga
memandang bahwa fakta dan berita ada sesuatu yang berada di
luar sosok wartawan, sehingga sang wartawan harus mencari,
dan menyampaikan fakta tersebut secara objektif, tanpa harus
memodifikasi atau memolesnya. Dari pendekatan ini
memastikan bahwa proses produksi berita steril dari setiap
intervensi opini dari wartawan.
Dengan kata lain, wartawan tidak eksis dalam proses
produksi berita, wartawan hanya berfungsi sebagai informan,
saksi mata yang melaporkan kejadian, tanpa terlibat dalam fakta
itu sendiri.
Pendekatan ini berangkat dari ide bahwa teks seharusnya
mampu bercerita sendiri tentang sebuah peritiwa. Hal ini
disebut dengan gaya penulisan informatif, sebuah gaya
penulisan yang mesyaratkan ketepatan alur, terbuka dan
konsisten. Seorang jurnalis adalah pelaku yang dihilangkan,
diganti dengan keberadaan sebuah objektivitas.
Akan tetapi sebuah teks berita selalu intensional, seorang
wartawan meskipun ditempatkan sebagai seorang komunikator
non-intensional, namun pada kenyataannya dalam menulis
berita ia selalalu memberikan tekanan pada bagian tertentu dan
tidak pada bagian lain.
Sebagaimana ditulis oleh Nuriez Ladeveze bahwa “gaya
penulisan informatif adalah bebas dari jenis bahasa yang
14

digunakan. Satu saat, bisa jadi (gaya penulisan informatif) ini


menjadi sebuah gaya non-informatif, dan bukan untuk
menginformasikan, atau hanya sebagian saja”
Bret Cunningham dalam Columbia Journalism Review
(CJR), edisi Juli-Agustus 2003, menulis artikel berjudul Re-
thingking Objectivity yang isinya menyoroti tentang prinsip
objektifitas. Menurut Cunningham, prinsip objektivitas membuat
wartawan menjadi penerima pasif—passive recipient, alih-alih
menjadi penganalisis dan pemberi penjelasan. Objetivitas
mengekang wartawan untuk menulis isu yang tidak berkaitan
langsung dengan berita, meskipun isu itu kemungkinan
mempunyai hubungan yang erat dengan berita yang ditulis.13
Kalimat dan kata sebagaiman dalam filsafat bahasam
sering kali menyembunyikan dari pada menyampaikan makna.
Artinya bahwa wartawan sebagai subjek yang menulis berita,
tidak dapat serta merta menghilangkan keberadaannya dan
berlindung dibalik objetivitas, namun wartawan harus
mempunyai kesadaran atas segala sesuatu yang ditulis dan
dipublikasikan.
Dari sisi ini muncul pandangan objektivitas yang subjektif.
Bahwa fakta objektif melekat pada peristiwa atau sesuatu yang
diamati, sementara hasil pengamatan yang diungkapkan
merupakan bentuk subjektifitas pelaku pengamatan.
Oleh karena itu menulis berita di koran merupakan bentuk
kerja intelektual dalam budaya tulis dan komunikasi yang harus
dapat meningkatkan kualitas dari cerita, membuat khalayak
mendapatkan pengalaman-pengalaman kaya atas fakta-fakta
baru dan menjadi lebih mendalam dalam analisis dan penjelasan
terhadap isu-isu yang kompleks—yang melibatkan unsur

13
Luwi Ishwara, Catatan-catatan Jurnalisme Dasar, Kompas, Juli 2005, hal.43.
15

tekstual-rasional---ciri dari jurnalistik cetak dibanding dengan


jurnalistik elektronik baik radio maupun televisi.
W.Philiphs Davidson dari Columbia University menyatakan
bahwa radio merupakan media yang memberikan peringatn atau
alarm—alerting medium, karena radio cenderung menjadi media
pertama yang memberikan informasi atas peristiwa yang baru
saja terjadi. Televisi adalah media yang melibatkan---involving
medium---karena televisi bisa mengikat emosi khalayak dengan
kemampuannya menyajikan gambar sekaligus audio. Sementara
koran adalah media yang menginformasikan---informing
medium, karena koran bisa melengkapi informasi visual ataupun
audio dengan isu-isu yang lebih mendalam dan kompleks.
Namun disisi lain teknologi telah membuat dunia menjadi
terlalu banyak paradoks, terlalu banyak informasi dan terlalu
banyak keseragaman dalam berfikir, budaya dan rasa, yang
secara bersamaan pula terlalu banyak sumber informasi,
menyebabkan perubahan dalam pola konsumsi media oleh
masyarakat. Khalayak sudah puas menonton televisi dan
mendengar radio daripada koran untuk mendapatkan informasi
yang dibutuhkan, karena kelebihan dalam hal akses, kecepatan
meskipun tidak selalu akurat atau mendalam.
Jurnalistik radio dan televisi telah mengambil alih peran
jurnalistik cetak, dimana headline (judul utama) dan frontpage
(halaman muka) koran menjadi tidak lebih bermakna dibanding
siaran live report dari reporter dari tempat peristiwa yang
dipancarluaskan lewat stasiun broadcast. Lebih-lebih dengan
kehadiran online journalism lewat internet, semakin memojokan
posisi koran ditengah kecepatan teknologi informasi.
16

Hal ini juga membawa konsekuensi yang lebih lanjut,


yakni perubahan dalam budaya baca ke arah budaya menonton,
dari jurnalistik cetak ke jurnalistik visual.
Umberto Eco14 melukiskan hal ini dengan analogi:

“lubang di lapisan ozone akan merubah


permukaan benua dan daratan (...), banjir
informasi merubah kepala kita. Kita seperti
mutant, sedang berjalan menuju sebuah
perubahan”.

Jurnalistik visual secara jelas telah merubah informasi.


Kekuatan awal tentang sesuatu yang lebih hidup dan yang
membawa emosi khalayak menjadi sebuha pendekatan terhadap
isi berita.
Ramonet15 menjelaskan bahwa :

“Sejak tahun 1990-an, televisi secara mutlak


telah mengambil semuanya dari koran
(...)televisi menjadi dominan dan menjadi
referensi hukum dari model media lain
(...)Televisi telah menjadi satu-satunya medium
yang menjelaskan dengan cara bagaimana
berita itu harus disampaikan..”

Gaya jurnalistik visual meniscayakan isi berita menjadi


lebih spektakuler, superfisial dan banyak melakukan repetisi,
yang menjadi elemen-elemen dasar dari emotif-ikonik
(audiovisual) yang sebenarnya kontaproduktif dengan elemen
rasional-tekstual yang menjadi dasar dari Jurnalistik cetak. Nilai
dari informasi bukan lagi hadir dalam pesan yang disampaikan,
namun lebih pada kemasan yang dibuat.
Jacob Oetama16 menyatakan bahwa :
14
Opcit. Hal.16
15
Logcit, hal.9
16
Jacoeb Oetama, Powering The Media Dynamics, Kompas, 17 Maret 2005
17

“Informasi dalam panggung media dewasa


ini adalah informasi yang bekerja dalam
panggung yang penuh persaingan dan
perebutan atensi. Bukan saja adu keras suara,
juga adu menarik. Demikianlah panggung
media juga merupakan panggung tontonan.
Kecuali menarik juga menghibur. Serba
entertainment, serba celebrity, serba populer
bahkan vulgar. Informasi dikemas sebagai
infotainment, edukasi sebagai edutainment,
komersial sebagai infomercial.”

Intrusi dari jurnalistik visual dalam tradisi jurnalistik


cetak ini telah melahirkan suatu pendekatan baru, yang disebut
dengan McJournalism. McJournalism sebagai terminologi
teoritis diperkenalkan oleh George Ritzer (1993) yang
mengambil istilah dan filsafat dari McDonald, sebuah restoran
fast-food waralaba jaringan internasional.
Ritzer memperkenalkan konsep McDonalisasi (untuk
merujuk konseptualisasi teori), McJournalism (untuk merujuk
gaya jurnalistik) dan Mcpaper (untuk merujuk koran bergaya
tabloid (broadbloid).
Akar pandangan Ritzer tentang McDonaldisasi ini dapat
ditelusuri melalui pemikiran-pemikiran Max Weber yang
menyinggung tentang Modernitas dan proses rasionalisasi di
masyarakat.
.Max Weber dalam seminar tentang modernitas,
menyebutkan bahwa rasionalisasi merupakan tipikal dari
masyarakat modern, cerminan dari masyarakat industrial dan
kapitalis yang menuntut penjelasan dan alasan rasional disetiap
keputusan yang diambil dalam lingkup kehidupan sosial
manusia.
18

Weber berpendapat bahwa “zweckrationalitat” atau


“rasionalitas intrumental” sebagai model rasionalitas
tradisional/teknikal merupakan pusat dari setiap bentuk
rasionalisasi. Rasionalitas intrumental menitikberatkan pada
ekspektasi-ekspetasi (pengharapan) yang dapat
dikuantifikasikan, termasuk dalam tradisi ilmiah akademik yakni
objektivitas.
Bahwa setiap sesuatu harus dapat dikuantifikasi,
distandarisasikan guna mendapatkan hasil yang sama bagi
setiap orang. Rasionalitas intrumental berbeda dengan
Rasionalitas nilai (“value rationality”, “wertrationalitat”) yang
berorientasi pada kesadaran atas nilai.17
Modernitas meniscayakan rasionalitas instrumental atau
objektivitas sebagai matra masyarakat kapitalis, merasuk pada
etika produktifitas protestan dan mengatarkan proses kemajuan
sains dan teknologi.18 Sementara penetrasi Rasionalitas
Instrumental dalam dunia akademik-ilmiah tidak saja terjadi di
ilmu-ilmu sains,eksakta dan teknologi, namun telah merasuk
pada disiplin ilmu-ilmu sosial. Immanuel Wallerstein
menyinggung kondisi ini dalam buku berjudul “Open The Social
Science; Report of Gulbenkian Commision on the Restructuring
of The Social Science” (1996).19
Selanjutnya Weber menandai abad ke 20 dengan kalimat :

“No one knows who will live in this cage in


the future, whether new prophets will arise, or
there will be a great rebirth of old ideas and
ideals, or, if neither, mechanised petrification,
embellished with a sort of compulsive self-
importance. For the last stage of this cultural

17
Bob Franklin, 2005, hal.3
18
Untuk kajian tentang “Etika Protestan” dapat ditelusuri
19
Versi Bahasa Indonesia, “Lintas Batas Ilmu Sosial” (peny:Budiawan) diterbitkan oleh LkiS
Yogjakarta, Oktober 1997
19

development, it might well be truly said:


Specialists without spirit, sensualists without
heart: this nullity imagines that it has attained
a level of civilisation never before achieved”20

George Ritzer (1993) mentengarai rasionalisasi


masyarakat seperti dalam pandangan Weberian terus
berlangsung dan semakin intensif terjadi. Ritzer kemudian
memberi istilah McDonaldisasi untuk menggambarkan proses
kontrol yang tinggi, birokratis dan menafikan nilai-nilai
kemanusiaan.
Masuk dalam sebuah restoran fast-food, pengunjung akan
disambut dengan senyum pramusaji, senyum yang bukan
berangkat dari ketulusan, tetapi senyuman hasil latihan keras
dan berbulan-bulan. Desain interior dan eksterior yang atraktif
dan sebanyak mungkin menggunakan bahan kaca tembus
pandang, mempunyai maksud menarik pengunjung untuk
datang dan memesan makanan cepat saji atau softdrink.
Sementara kursi dan meja didesain tidak nyaman supaya
pengunjung dapat menghabiskan menu makanannya secara
cepat dan segera keluar.
Standarisasi yang ketat juga diterapkan pada menu
makananan, bahwa membeli burger di Mc Donald Singosaren,
Solo akan dijamin persis sama ketika membeli burger tersebut
di Mc Donanld Downtown, Singapura. Mulai dari ukuran
kentang yang digoreng, jumlah bumbu sampai berapa menit
burger tersebut harus dipanggang.
Selajutnya Ritzer21 mengungkapkan bahwa :

“The fast-food restaurant built on principles


of efficiency, calculability, predictability and
control, where quantity and standardisation
replace quality and variety as the indicators of
20
Weber dalam Bob Frankin, 2005, hal.3
21
George Ritzer 1998,hal 134-50 dalam Bob Franklin, 2005 hal.3
20

value, serves as a metaphor for the general


mania for efficiency. Increasing areas of social
life are subject to McDonaldisation including
packaged holidays”

Empat dimensi yang dianut dalam McDonaldisasi22


adalah :
1. Efisiensi
Efisiensi merujuk pada nilai-nilai kepraktisan;
bagaimana mengerjakan yang terbaik melalui cara yang
termudah. Ritzer (1993, hal 35) mendefinisikan bahwa
“Efficiency means the choice of the optimum means to a
given end”. Restoran fast-food memberikan efisiensi
kepada pelanggan untuk menikmati makanan olahannya
dibanding dengan memasak sendiri di rumah.
Dalam efisensi, maka produksi dan pelayanan selalu
berorentasi pada pemenuhan kebutuhan pasar dan
sistem produksi global. Jika terdapat pernyataan “Ketika
seseorang merasa lapar, maka kebutuhannya adalah
makan yang kenyang” maka McDonald menambahkan,
“ketika seseorang merasa lapar, maka kebutuhannya
adalah makan yang kenyang saat itu juga”

2. Kuantifikasi/Kalkulabilitas
Bahwa segala sesuatu harus dapat dikuantifikasikan atau
dihitung. Sehingga waktu selalu diassosiasikan dengan
satuan kerja yang rigit, alih-alih kesatuan kualitas yang
menyakinkan. Daging yang matang adalah daging yang
dipanggang dalam suhu x selsius dan dalam jangka
waktu y menit.
Produk jadinya adalah “Big Mac” (Burger Mac yang
besar) bukan “Delicius Mac” (Burger Mac yang lezat).
22
Ibid.
21

Kentang goreng yang besar, bukan kentang yang padat


rasa, atau dua atau tiga lapis burger yang besar, alih-alih
satuan organis burger yang lezat.

3. Prediksibilitas
Prediksibilitas merujuk pada standarisasi, atau setting
bahwa produk makanan dan perilaku karyawan mereka
harus identik. Makanan yang harus selalu disajikan
secara cepat, menuntut kinerja lini depan sampai juru
masak untuk bekerja secara cepat pula. Standarisasi
juga berlaku dalam pengertian universalitas bahwa
burger yang dibeli sekarang, rasanya sama dengan
burger yang dibeli kemaren atau esok. Makanan
McDonald dimana saja rasanya selalu sama untuk tiap
lidah yang berbeda.
4. Kontrol
Kontrol dalam pengertian ini adalah segala sesuatunya
berlangsung dalam proses mekanis dan hierarkis. Mesin
penggoreng kentang hanya membutuhkan staf yang
hafal kapan memencet tombol on dan of. Mc Donald
bukan merupakan tempat bagi para juru masak berbakat
untuk mengembangkan karir, karena segala sesuatunya
sudah diperhitungkan dan dikontrol secara otomatis.
Tidak ada rasa kreatif dalam produk dan proses produksi
di McDonald.

Menggunakan empat dimensi McDonalisasi diatas, Ritzer


menerapkannya pada gaya baru jurnalistik yang disebut dengan
McJournalism. McJournalism menggunakan prinsip 4 dimensi
Mc.Donalisasi sebagai berikut:
22

1. Dimensi Efisiensi
Efisiensi dalam prinsip McJournalism adalah efisiensi
bagi para pembaca untuk “menyantap” berita. Di format
penulisan jurnalistik klasik, setiap berita di halaman
depan selalu disambung di halaman tengah. Artinya tidak
semua berita habis dibaca di satu halaman dan
memungkinkan pembaca untuk melompat ke halaman
tengah atau belakang. McJournalism menganggap hal ini
tidak efisien dan menyebabkan pembaca menghabiskan
waktu untuk membolak-balik halaman koran guna mencari
sambungan berita dari halaman depan.
Di Amerika koran berformat tabloid menawarkan satu
cara kepraktisan yang lain. Berita di format untuk “sekali
baca selesai”. Tidak ada sambungan halaman atau
potongan berita. Adagium yang dipakai adalah :
“....busy executives don’t have time to read I
depth so don’t waste time reading the Wall
Street Journal every day when one quick bite of
Business Week once a week is sufficient to give
you a step ahead of the competition.23”

Semetara tulisan hard news semakin kecil karena


untuk ruang kolom yang sama, hard news harus
berhimpitan dengan font headline dan image yang besar.
Gaya (style) lain yang ditawarkan adalah format tulisan
dan berita yang “easy reading”. Dengan menggunakan
seminimal mungkin kata-kata dan memaksimalkan
permainan grafis baik font huruf ataupun image,
diharapkan pembaca mudah memahami pesan berita yang
disampaikan. Koran kemudian banyak menggunakan gaya
jurnalistik televisi seperti program berita “breaking
23
Ritzer, 1993 hal.58, Ibid
23

news”. Bahwa berita harus disampaikan secepat, semudah


dan sedramatik mungkin.
Beberapa koran meletakan kolom vertikal di kanan
atau kiri dari halaman guna memuat sebanyak mungkin
“breaking news” berupa kutipan pernyataan, berita
singkat atau catatan peristiwa yang menggelikan.
Efisiensi juga muncul pada pola kepemilikan media
yang cenderung dimonopoli oleh industri media yang
besar. Hal ini berakibat pada kebijakan redaksional yang
cenderung untuk seragam dengan kepentingan media
induknya. Kompas dan Jawa Pos juga mempunyai beragam
divisi atau anak perusahaan yang melahirkan format
media berdasarkan segmentasi khalayak. Alih-alih
memunculkan keanekaragaman dalam sajian beritanya,
kelompok usaha media semacam ini cenderung untuk
membuat berita yang seragam.

2. Dimensi Kuantifikasi/Kalkulabilitas

Hal yang tampak jelas dalam kuatifikasi adalah


penambahan jumlah halaman yang fenomenal. Kompas
pada setiap hari Minggu memuat terbitan sampai dengan
187 halaman. Jawa Pos juga membuat kebijakan untuk
menambah jumlah halaman olah raga dan life style jauh
lebih banyak dibanding untuk berita-berita “serius”.
Adagium yang dipakai adalah :”Lebih banyak halaman dari
sebelumnya dan lebih banyak berita daripada
sebelumnya”. Hal ini sama dengan slogan dari BigMac
“Bigger than ever”.
3. Dimensi Prediksibilitas
24

Prediksibilitas meniscayakan proses standarisasi dan


keseragaman dalam meliput sebuah berita. Kasus
mutakhir yang unik adalah peristiwa bom bali di tahun
2005. Sebagai peristiwa kedua setelah bom bali tahun
2002, hampir seluruh media massa nasional dan lokal
membuat nama yang sama untuk liputan khususnya, yakni
“Bom Bali II”.Penamaan yang hampir seragam disetiap
media ini mengingatkan pembaca pada salah satu judul
sinetron di televisi yang tidak pernah habis masa tayang,
karena terus menerus diproduksi secara serial.
Prediksibilitas ini membuat keseragaman, karena fakta
yang ditulis oleh wartawan bukan sekedar fakta sebagai
kesatuan tunggal, namun fakta yang telah dibungkus oleh
citarasa “emotaiment”. Dunia panggung yang selalu
melibatkan emosi.

4. Dimensi Kontrol

Kontrol media dapat ditelurusi dalam pola kepemilikan


konglomerasi, yang mau tidak mau menyebabkan pekerja
media kehilangan banyak akses terhadap produksi berita
yang mereka lakukan.
Seperti mesin penggoreng kentang otomatis,
keberadaan teknologi yang disuatu sisi memudahkan
pekerja media untuk melakukan aktivitasnya, namun disisi
lain telah menyebabkan “de-skilling” proses
ketidakterampilan pekerja media dalam memproduksi
berita. Selain karena kemudahannya, teknologi juga
memungkinkan campur tangan dari berbagai pihak terjadi
ketika proses produksi tersebut dilakukan. Teknologi baru
juga memungkinkan adanya kontrol atas “kecepatan”
25

dalam proses penyampaian berita. Dengan kamera digital,


laptop dan modem, cukup sudah perlengkapan pekerja
media di lapangan.
Dari sisi manajemen, teknologi merupakan salah satu
cara untuk mencapai maksimalisasi produk dengan
seefisien mungkin, namun dari sisi sumber daya dan
kualitas jurnalistik hal ini cenderung berlawanan. Kontrol
terhadap pekerja media yang sedikit merupakan bentuk
akses mutlak dari pemilik media guna mencapai tujuan
pasar pembaca.
Dimensi kontrol juga hadir di jaringan media ataupun
kantor berita. Bagi sebuah industri koran, adalah efisien
jika mempunyai jaringan media atau berlanganan agen
berita (news agency), lebih-lebih untuk liputan luar negeri.
Agen berita atau jaringan media merupakan perpanjangan
dari mekanisme kontrol, otomatisasi yang berdampak
pada keseragaman---untuk tidak merujuk pada monopoli
informasi.

B. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini dirancang untuk mengidentifikasi,


mengeksplorasi serta membuka idiologi dibalik perubahan
format broadsheet ke broadbloid. Proses penelitian yang
berlangsung bersifat intrepretatif terhadap produk-produk
jurnalistik berformat broadbloid.
Adapun kerangka pemikiran penelitian ini adalah sebagai
berikut :

Tabel 2
26

Kerangka Pemikiran

Idiologi Media

Frame Media

Broadsheet Broadbloid Teks Media

Kapitalisme Media

You might also like