You are on page 1of 23

COVER

i
KATA PENGANTAR

ii
DAFTAR ISI

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Resusitasi jantung paru (RJP) adalah metode untuk mengembalikan fungsi


pernapasan dan sirkulasi pada pasien yang mengalami henti napas dan henti
jantung yang tidak diharapkan mati pada saat itu. Metode ini merupakan
kombinasi pernapasan buatan dan bantuan sirkulasi yang bertujuan mencukupi
kebutuhan oksigen otak dan substrat lain sementara jantung dan paru tidak
berfungsi. Keberhasilan RJP dimungkinkan oleh adanya interval waktu antara
mati klinis dan mati biologis, yaitu sekitar 4 – 6 menit. Dalam waktu tersebut
mulai terjadi kerusakan sel-sel otak rang kemudian diikuti organ-organ tubuh lain.
Dengan demikian pemeliharaan perfusi serebral merupakan tujuan utama pada
RJP.

Panduan terbaru (2010) yang dikeluarkan oleh AHA lebih menekankan


pada penanganan “CAB” (Chest Compression, Airway, Breathing) yaitu dengan
terlebih dahulu melakukan kompresi dada, memeriksa jalan napas kemudian
melakukan pernapasan buatan. Panduan ini juga mencatat bahwa pernapasan
buatan melalui mulut boleh tidak dilakukan pada kekhawatiran terhadap orang
asing dan kurangnya pelatihan formal. Sebenarnya, seluruh metode ini memiliki
tujuan yang sama, yaitu membuat aliran darah dan oksigen tetap bersirkulasi
secepat mungkin.

Panduan “Resusitasi Jantung Paru” terbaru ini menjadi lebih mudah


dilakukan juga bagi orang awam karena menekankan pada kompresi dada untuk
mempertahankan aliran darah dan oksigen dalam darah tetap mengalir ke jantung
dan otak. Kompresi dada memang cenderung lebih mudah untuk dilakukan, dan
setiap orang dapat melakukannya. Kompresi dada dapat dilakukan dengan
meletakkan satu tangan di atas tangan yang lain dan menekan dengan kuat pada
dada korban. Panduan RJP yang baru ini menekankan bahwa penolong harus
berfokus memberikan kompresi sekuat dan secepat mungkin, 100 kali kompresi

1
dada per menit, dengan kedalaman kompresi sekitar 5-5,5 cm. Dan, sangat
penting untuk tidak bersandar pada dada ketika melakukan kompresi dada pada
korban. Penolong tidak perlu takut dan ragu untuk melakukan kompresi dada yang
dalam karena risiko ketidakberhasilan justru terjadi ketika kompresi dada yang
dilakukan kurang dalam.

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

1. Dapat mengetahui tentang RJP


2. Dapat mengetahui tentang Teknik Resusitasi Jantung Paru (Kompresi)
3. Dapat mengetahui mengenai tentang Resusitasi Jantung Paru Pada Bayi, Anak
dan Dewasa

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Resusitasi Jantung Paru

Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan gawat darurat akibat


kegagalan sirkulasi dan pernafasan untuk dikembalikan ke fungsi optimal guna
mencegah kematian biologis. Resusitasi jantung paru (RJP) atau juga dikenal
dengan cardio pulmonier resusitation (CPR), merupakan gabungan antara pijat
jantung dan pernafasan buatan. Teknik ini diberikan pada korban yang mengalami
henti jantung dan nafas, tetapi masih hidup. Komplikasi dari teknik ini adalah
pendarahan hebat. Jika korban mengalami pendarahan hebat, maka pelaksanaan
RJP akan memperbanyak darah yang keluar sehingga kemungkinan korban
meninggal dunia lebih besar. Namun, jika korban tidak segera diberi RJP, korban
juga akan meninggal dunia. RJP harus segera dilakukan dalam 4-6 menit setelah
ditemukan telah terjadi henti nafas dan henti jantung untuk mencegah kerusakan
sel-sel otak dan lain-lain. Jika penderita ditemukan bernafas namun tidak sadar
maka posisikan dalm keadaan mantap agar jalan nafas tetap bebas dan sekret
dapat keluar dengan sendirinya.

1. Mati Klinis
Tidak ditemukan adanya pernapasan dan denyut nadi, bersifat reversibel,
penderita punya kesempatan waktu 4-6 menit untuk dilakukan resusitasi tanpa
kerusakan otak.

2. Mati Biologis
Biasanya terjadi dalam waktu 8-10 menit dari henti jantung, dimulai dengan
kematian sel otak, bersifat irreversibel. (kecuali berada di suhu yang ekstrim
dingin, pernah dilaporkan melakukan resusitasi selama 1 jam/ lebih dan berhasil).
Catatan:

3
Pada korban yang sudah tidak ada refleks mata dan terjadi kerusakan batang otak
tidak perlu dilakukan RJP.

A. Indikasi Melakukan RJP

1. Henti Napas (Apneu)


Dapat disebabkan oleh sumbatan jalan napas atau akibat depresi
pernapasan baik di sentral maupun perifer. Berkurangnya oksigen di dalam tubuh
akan memberikan suatu keadaan yang disebut hipoksia. Frekuensi napas akan
lebih cepat dari pada keadaan normal. Bila perlangsungannya lama akan
memberikan kelelahan pada otot-otot pernapasan. Kelelahan otot-otot napas akan
mengakibatkan terjadinya penumpukan sisa-sisa pembakaran berupa gas CO2,
kemudian mempengaruhi SSP dengan menekan pusat napas. Keadaan inilah yang
dikenal sebagai henti nafas.

2. Henti Jantung (Cardiac Arrest)


Otot jantung juga membutuhkan oksigen untuk berkontraksi agar darah
dapat dipompa keluar dari jantung ke seluruh tubuh. Dengan berhentinya napas,
maka oksigen akan tidak ada sama sekali di dalam tubuh sehingga jantung tidak
dapat berkontraksi dan akibatnya henti jantung (cardiac arrest).

C. Langkah Sebelum Memulai Resusitasi Jantung Paru (RJP)


1. Penentuan Tingkat Kesadaran ( Respon Korban )
Dilakukan dengan menggoyangkan korban. Bila korban menjawab, maka ABC
dalam keadaan baik. Dan bila tidak ada respon, maka perlu ditindaki segera.
2. Memanggil bantuan (call for help)
Bila petugas hanya seorang diri, jangan memulai RJP sebelum memanggil
bantuan.
3. Posisikan Korban

4
Korban harus dalam keadaan terlentang pada dasar yang keras (lantai, long
board). Bila dalam keadaan telungkup, korban dibalikkan. Bila dalam keadaan
trauma, pembalikan dilakukan dengan ”Log Roll”
4. Posisi Penolong
Korban di lantai, penolong berlutut di sisi kanan korban .
5. Pemeriksaan Pernafasan
Yang pertama harus selalu dipastikan adalah airway dalam keadaan baik.
1. Tidak terlihat gerakan otot napas

2. Tidak ada aliran udara via hidung

Dapat dilakukan dengan menggunakan teknik lihat, dengan dan rasa, bila korban
bernapas, korban tidak memerlukan RJP.

6. Pemeriksaan Sirkulasi
1. Pada orang dewasa tidak ada denyut nadi carotis
2. Pada bayi dan anak kecil tidak ada denyut nadi brachialis
3. Tidak ada tanda-tanda sirkulasi
4. Bila ada pulsasi dan korban pernapas, napas buatan dapat dihentikan. Tetapi bila
ada pulsasi dan korban tidak bernapas, napas buatan diteruskan. Dan bila tidak
ada pulsasi, dilakukan RJP.
D. Henti Napas
Pernapasan buatan diberikan dengan cara :
1. Mouth to Mouth Ventilation
Cara langsung sudah tidak dianjurkan karena bahaya infeksi (terutama hepatitis,
HIV) karena itu harus memakai ”barrier device” (alat perantara). Dengan cara ini
akan dicapai konsentrasi oksigen hanya 18 %.
1. Tangan kiri penolong menutup hidung korban dengan cara memijitnya dengan jari
telunjuk dan ibu jari, tangan kanan penolong menarik dagu korban ke atas.
2. Penolong menarik napas dalam-dalam, kemudian letakkan mulut penolong ke atas
mulut korban sampai menutupi seluruh mulut korban secara pelan-pelan sambil
memperhatikan adanya gerakan dada korban sebagai akibat dari tiupan napas

5
penolong. Gerakan ini menunjukkan bahwa udara yang ditiupkan oleh penolong
itu masuk ke dalam paru-paru korban.
3. Setelah itu angkat mulut penolong dan lepaskan jari penolong dari hidung korban.
Hal ini memberikan kesempatan pada dada korban kembali ke posisi semula.
2. Mouth to Stoma
Dapat dilakukan dengan membuat Krikotiroidektomi yang kemudian
dihembuskan udara melalui jalan yang telah dibuat melalui prosedur
Krikotiroidektomi tadi.
3. Mouth to Mask ventilation
Pada cara ini, udara ditiupkan ke dalam mulut penderita dengan bantuan face
mask.
4. Bag Valve Mask Ventilation ( Ambu Bag)
Dipakai alat yang ada bag dan mask dengan di antaranya ada katup. Untuk
mendapatkan penutupan masker yang baik, maka sebaiknya masker dipegang satu
petugas sedangkan petugas yang lain memompa.
5. Flow restricted Oxygen Powered Ventilation (FROP)
Pada ambulans dikenal sebagai “ OXY – Viva “. Alat ini secara otomatis akan
memberikan oksigen sesuai ukuran aliran (flow) yang diinginkan.
Bantuan jalan napas dilakukan dengan sebelumnya mengevaluasi jalan napas
korban apakah terdapat sumbatan atau tidak. Jika terdapat sumbatan maka
hendaknya dibebaskan terlebih dahulu.

E. Henti Jantung
RJP dapat dilakukan oleh satu orang penolong atau dua orang penolong.
Lokasi titik tumpu kompresi.
1. 1/3 distal sternum atau 2 jari proksimal Proc. Xiphoideus
2. Jari tengah tangan kanan diletakkan di Proc. Xiphoideus, sedangkan jari telunjuk
mengikuti
3. Tempatkan tumit tangan di atas jari telunjuk tersebut
4. Tumit tangan satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada tepat di titik
pijat jantung

6
5. Jari-jari tangan dapat dirangkum, namun tidak boleh menyinggung dada korban

F. Teknik Resusitasi Jantung Paru (Kompresi)

1. Kedua lengan lurus dan tegak lurus pada sternum

2. Tekan ke bawah sedalam 4-5 cm

a. Tekanan tidak terlalu kuat

b. Tidak menyentak

c. Tidak bergeser / berubah tempat

3. Kompresi ritmik 100 kali / menit ( 2 pijatan / detik )

4. Fase pijitan dan relaksasi sama ( 1 : 1)

5. Rasio pijat dan napas 30 : 2 (15 kali kompresi : 2 kali hembusan


napas)

6. Setelah empat siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi

untuk menyelamatkan nyawa sampai korban dapat


dibawa atau

tunjangan hidup Ian jutan sudah tersedia. Di sini termasuk


langkah-

langkah ABC dari RKP :

A (Airway) : Jalan nafas terbuka.

B( B r e a t h i n g ) :Pernapasan, pernapasan buatan


RKP.

C (Circulation) : Sirkulasi, sirkulasi buatan.

Indikasi tunjangan hidup dasar terjadi karena :

1.H e n t i n a p a s .

2.H e n t i j a n t u n g , ya n g d a p a t t e r j a d i k a r e n a :

7
a.K o l a p s k a r d i o v a s k u l a r

b.Fibrilasi ventrikel atau


c.A s i s t o l e v e n t r i k e l .
Pernapasan buatan
Membuka jalan napas dan pemulihan pernapasan adalah
dasar pemapasan buatan.Cara mengetahui adanya
sumbatan jalan napas dan apne
Resusitasi Jantung Paru Pada Bayi, Anak dan Dewasa

Resusitasi Jantung Pada Bayi dan Anak

Hal yang harus diperhatikan jika RJP pada bayi dan anak:

1. Saluran Pernapasan (Airway =A)

Hati-hatilah dalam memengang bayi sehingga Anda tidak mendongakkan kepala


bayi dengan berlebihan. Leher bayi masih terlalu lunak sehingga dongakan yang
kuat justru bisa menutup saluran pernapasan.

2. Pernapasan (Breathing = B)

Pada bayi yang tidak bernapas, jangan meneoba menjepit hidungnya. Tutupi
mulut dan hidungnya dengan mulut Anda lalu hembuskan dengan perlahan (1
hingga 1,5 detik/napas) dengan menggunakan volume yang eukup untuk membuat
dadanya mengembang. Pada anak kecil, jepit hidungnya, tutupi mulutnya, dan
berikan hembusan seperti pada bayi.

3. Peredaran Darah (Circulation = C)

Pemeriksaan Denyut:

Pada bayi, untuk menentukan ada atau tidaknya denyut nadi adalah dengan
meraba bagian dalam dari lengan atas pad a bagian tengah antara siku dan bahu.
Pemeriksaan denyut pada anak keeiL sarna dengan orang dewasa.

1. Resusitasi jantung paru pada bayi ( < 1 tahun)


a. 2 – 3 jari atau kedua ibu jari
b. Titik kompresi pada garis yang menghubungkan kedua papilla mammae

8
c. Kompresi ritmik 5 pijatan / 3 detik atau kurang lebih 100 kali per menit
d. Rasio pijat : napas 15 : 2
e. Setelah tiga siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi
2. Resusitasi Jantung paru pada anak-anak ( 1-8 tahun)

a. Satu telapak tangan


b. Titik kompresi pada satu jari di atas Proc. Xiphoideus
c. Kompresi ritmik 5 pijatan / 3 detik atau kurang lebih 100 kali per menit
d. Rasio pijat : napas 30 : 2
e. Setelah tiga siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi
A. Bantuan Hidup Dasar

Airway (jalan nafas)

Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan nafas. Caranya


ialah segera menekuk kepala korban ke belakang sejauh mungkin, posisi
terlentang kadang-kadang sudah cukup menolong karena sumbatan anatomis
akibat lidah jatuh ke belakang dapat dihilangkan. Kepala harus dipertahankan
dalam posisi ini.

Bila tindakan ini tidak menolong, maka rahang bawah ditarik ke depan.

Caranya ialah,

 Tarik mendibula ke depan dengan ibu jari sambil,


 Mendorong kepala ke belakang dan kemudian,
 Buka rahang bawah untuk memudahkan bernafas melalui mulut atau
hidung.
 Penarikan rahang bawah paling baik dilakukan bila penolong berada pada
bagian puncak kepala korban. Bila korban tidak mau bernafas spontan,
penolong harus pindah ke samping korban untuk segera melakukan
pernafasan buatan mulut ke mulut atau mulut ke hidung. (5, 6, 7)

Breathing (Pernafasan)

9
Dalam melakukan pernafasa mulut ke mulut penolong menggunakan satu tangan
di belakang leher korban sebagai ganjalan agar kepala tetap tertarik ke belakang,
tangan yang lain menutup hidung korban (dengan ibu jari dan telunjuk) sambil
turut menekan dahi korban ke belakang. Penolong menghirup nafas dalam
kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korban dengan kuat. Ekspirasi korban
adalah secara pasif, sambil diperhatikan gerakan dada waktu mengecil. Siklus ini
diulang satu kali tiap lima detik selama pernafasan masih belum adekuat.
Pernafasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu perhatikan :

 gerakan dada waktu membesar dan mengecil


 merasakan tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang
 dengan suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.
 Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru
korban mengecil sampai batas habis. (5)

Circulation (Sirkulasi buatan)


Sering disebut juga dengan Kompresi Jantung Luar (KJL). Henti jantung (cardiac
arrest) ialah hentinya jantung dan peredaran darah secara tiba-tiba, pada seseorang
yang tadinya tidak apa-apa; merupakan keadaan darurat yang paling gawat.
Sebab-sebab henti jantung :

 Afiksi dan hipoksi


 Serangan jantung
 Syok listrik
 Obat-obatan
 Reaksi sensitifitas
 Kateterasi jantung
 Anestesi. (5)
Untuk mencegah mati biologi (serebral death), pertolongan harus diberikan dalam
3 atau 4 menit setelah hilangnya sirkulasi. Bila terjadi henti jantung yang tidak
terduga, maka langkah-langkah ABC dari tunjangan hidup dasar harus segera
dilakukan, termasuk pernafasan dan sirkulasi buatan.

10
Henti jantung diketahui dari :

 Hilangnya denyut nadi pada arteri besar


 Korban tidak sadar
 Korban tampak seperti mati
 Hilangnya gerakan bernafas atau megap-megap.

Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertama-tama membuka jalan
nafas dengan menarik kepala ke belakang. Bila korban tidak bernafas, segera tiup
paru korban 3-5 kali lalu raba denyut a. carotis. Perabaan a. carotis lebih
dianjurkan karena : (5)

1. Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk melakukan


pernafasan buatan
2. Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepas pakaian korban
3. Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih berdenyut
sekalipun daerah perifer lainnya tidak teraba lagi.
Bila teraba kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila denyut nadi hilang atau
diragukan, maka ini adalah indikasi untuk memulai sirkulasi buatan dengan
kompresi jantung luar. Kompresi jantung luar harus disertai dengan pernafasan
buatan. ( 5, 7)

11
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan ABC RJP tersebut adalah,

1. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun


2. Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali
bila ia sudah stabil
3. Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat
berakibat robeknya hati
4. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada
sternum, jari-jari jangan menekan iga korban
5. Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan
tidak terputus

6. Perhatikan komplikasi yang mungkin karena RJP. (5)

ABC RJP dilakukan pada korban yang mengalami henti jantung dapat memberi
kemungkinan beberapa hasil,

1. Korban menjadi sadar kembali

12
2. Korban dinyatakan mati, ini dapat disebabkan karena pertolongan RJP
yang terlambat diberikan atau pertolongan tak terlambat tetapi tidak betul
pelaksanaannya.
3. Korban belum dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan.
Dalam hal ini perlu diberi pertolongan lebih lanjut yaitu bantuan hidup
lanjut (BHL). (4)

B. Bantuan Hidup Lanjut

Drugs

Setelah penilaian terhadap hasil bantuan hidup dasar, dapat diteruskan dengan
bantuan hidup lanjut (korban dinyatakan belum mati dan belum timbul denyut
jantung spontan), maka bantuan hidup lanjut dapat diberikan berupa obat-obatan.
Obat-obatan tersebut dibagi dalam 2 golongan yaitu,

1. Penting, yaitu :

 Adrenalin

 Natrium bikarbonat

 Sulfat Atropin

 Lidokain

2. Berguna, yaitu :

 Isoproterenol

 Propanolol

 Kortikosteroid. (5)

 Natrium bikarbonat

Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1


mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10
menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif
tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis,

13
takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka
ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama.

Adrenalin

Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan 0,5 – 1
mg iv diulang setelh 5 menit sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat
meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel.

Lidokain

Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara


meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis
terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard,
tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif
menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah
defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang
mutlti fokal dan episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv
sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan
infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa
lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).

Sulfat Artopin

Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan


mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna
dalam mencegah “arrest” pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark
miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv.
Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi >
60 /menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler
derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar.

Isoproterenol

Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena


complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20

14
mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur
untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna
untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine.

Propranolol

Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk
kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang
dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya
adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat.

Kortikosteroid

Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon


sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok
kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak
setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam
akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi,
maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.

15
EKG

Diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan


monitoring.

Fibrillation Treatment

Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang


sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas.

16
Keputusan untuk mengakhiri resusitasi
Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis,
tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan kardiovaskuler
penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi
pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasan spontan dan refleks. Keadaan
tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30
menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi
selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila
tidak ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10
menit atau lebih sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat. (5)

17
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Resusitasi mengandung arti harfiah “Menghidupkan kembali” tentunya


dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode
henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi jantung paru terdiri
atas 2 komponen utama yakni : bantuan hidup dasar / BHD dan Bantuan hidup
lanjut / BHL Usaha Bantuan Hidup Dasar bertujuan dengan cepat
mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil
menunggu pengobatan lanjutan. Bantuan hidup lanjut dengan pemberian obat-
obatan untuk memperpanjang hidup Resusitasi dilakukan pada : infark jantung
“kecil” yang mengakibatkan “kematian listrik”, serangan Adams-Stokes, Hipoksia
akut, keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan, sengatan listrik, refleks vagal,
serta kecelakaan lain yang masih memberikan peluang untuk hidup. Resusitasi
tidak dilakukan pada : kematian normal stadium terminal suatu yang tak dapat
disembuhkan.

Penanganan dan tindakan cepat pada resusitasi jantung paru khususnya pada
kegawatan kardiovaskuler amat penting untuk menyelematkan hidup, untuk itu
perlu pengetahuan RJP yang tepat dan benar dalam pelaksanaannya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Safar P, Resusitasi Jantung Paru Otak, diterbitkan Departemen Kesehatan


Republik Indonesia, hal : 4, 1984.

Alkatri J, dkk, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam, Editor Soeparman, Jilid I, ed. Ke-2, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
hal : 281, 1987.

Soerianata S, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Kardiologi, Editor Lyli Ismudiat R, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal :


106, 1998.

Sunatrio DR, Resusitasi Jantung Paru, Editor Muchtaruddin


Mansyur, IDI, Jakarta, hal : 193.

Siahaan O, Resusitasi Jantung Paru Otak, Cermin Dunia Kedokteran, Edisi


Khusus, No. 80, hal : 137-129, 1992.

Emergency Medicine Illustrated, Editor Tsuyoshi Sugimoto, Takeda


Chemical Industries, 1985.

Mustafa I, dkk, Bantuan Hidup Dasar, RS Jantung Harapan Kita, Jakarta,


1996.

Sunatrio S, dkk, Resusitasi Jantung Paru, dalam Anesteiologi, Editor


Muhardi Muhiman, dkk, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI,
1989.

Otto C.W., Cardiopulmonary Resuscitation, in Critical Care Practice, The


American Society of Critical Care Anesthesiologists, 1994.

19
Sjamsuhidajat R, Jong Wd, Resusitasi, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah,
Edisi Revisi, EGC, Jakarta, hal : 124-119, 1997.

20

You might also like