You are on page 1of 19

dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.

Ked

KEJANG DEMAM

I. DEFINISI

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6

bulan sampai 5 tahun akibat kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38˚C, dengan

metode pengukuran apapun) yang tidak disebabkan oleh suatu proses

intrakranial.

Ada tiga definisi yang saat ini digunakan untuk menggambarkan kejang

demam. Definisi pertama diterbitkan pada tahun 1980 oleh National Institute of

Health (NIH) yang mendefinisikan kejang demam sebagai sesuatu yang

abnormal, tiba-tiba, sebagai pelepasan muatan listrik yang berlebihan dari

neuron yang dapat menurunkan proses neuron dan dapat berpengaruh pada

organ seperti pada gambaran klinis, yang terjadi pada anak atau masa kanak-

kanak. Biasanya terjadi sekitar usia 3 bulan hingga 5 tahun dan berhubungan

dengan demam tetapi tidak ada kaitannya dengan infeksi intrakranial.

Definisi kedua diterbitkan oleh International League Against Epilepsy

(ILAE) pada tahun 1993 dan memiliki konsep yang serupa, tetapi diperluas pada

kelompok umur anak berbeda dengan neonatus dan anak dengan gejala kejang

demam.

Saat ini, American Academy of Pediatrics (AAP) mengdefinisikan standar

definisi kejang demam sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada saat anak

demam dengan kisaran umur antara 6 - 60 bulan dimana tidak ada infeksi

intrakranial, gangguan metabolik atau riwayat kejang tanpa demam.


dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

II. EPIDEMIOLOGI

Insidens di negara-negara barat berkisar antara 3-5%. Di Asia berkisar

antara 4,47% di Singapura, sampai 9,9% di Jepang. Data di Indonesia belum ada

secara nasional. Sekitar 80% diantaranya adalah kejang demam sederhana.

Sedikit lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan.

Kejang demam merupakan jenis kejang yang paling sering, biasanya

merupakan kejadian tunggal dan tidak berbahaya. Berdasarkan studi populasi,

angka kejadian kejang demam di Amerika Serikat dan Eropa 2–7%, sedangkan

di Jepang 9–10%. 21% kejang demam durasinya kurang dari 1 jam, 57% terjadi

antara 1-24 jam berlangsungnya demam, dan 22% lebih dari 24 jam.Sekitar 30%

pasien akan mengalami kejang demam berulang dan kemudian meningkat

menjadi 50% jika kejang pertama terjadi usia kurang dari 1 tahun. Sejumlah 9–

35% kejang demam pertama kali adalah kompleks, 25% kejang demam

kompleks tersebut berkembang ke arah epilepsi.

III. ETIOLOGI

Beberapa teori dikemukakan mengenai penyebab terjadinya kejang

demam, dua diantaranya adalah karena lepasnya sitokin inflamasi (IL-1 beta),

atau hiperventilasi yang menyebabkan alkalosis dan meningkatkan pH otak

sehingga terjadi kejang.

Demam yang memicu kejang berasal dari proses ekstrakranial, paling

sering disebabkan karena infeksi saluran napas akut, otitis media akut, infeksi

saluran kemih namun kasusnya jarang, dan infeksi saluran cerna terutama jika

penyebabnya adalah infeksi Shigella atau Campylobacter. Penyakit roseola


dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

infantum jarang menjadi penyebab namun merupakan penyebab klasik. Sebuah

penelitian menemukan penyebab virussebanyak 86% dari kasus kejang demam.

Imunisasi juga dapat menjadi penyebab lainnya.

Kejang demam juga diturunkan secara genetik sehingga eksitasi neuron

terjadi lebih mudah. Pola penurunan genetik hingga sekarang masih belum

ditemukan gambaran spesifiknya dan belum dapat dijelaskan kaitannya.

Mungkin ada hubungannya dengan riwayat keluarga dan mungkin juga karena

multifkatorial. Namun beberapa studi menunjukkan keterkaitan dengan

kromosom tertentu seperti 19p dan 8q13-21, sementara studi lain menunjukkan

pola autosomal dominan.

IV. KLASIFIKASI

Klasifikasi kejang demam dibagi menjadi :

1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)

Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan

umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau

klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.

Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.

2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)

Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini :

a. Kejang lama > 15 menit

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau

kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak

tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.


dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang

parsial.

c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2

bangkitan kejang anak sadar.

Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang

demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai dengan

demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang

demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun

mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya

infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.

V. PATOFISIOLOGI

Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan

letupan aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan sitokin

yang merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring

kejadian demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap demam biasanya

dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan pirogen endogen atau

lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai pirogen eksogen.

LPS menstimulus makrofag yang akan memproduksi pro- dan anti-inflamasi

sitokin tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6, interleukin-1 receptor

antagonist (IL-1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini mungkin

melalui sel endotelial circumventricular akan menstimulus enzim

cyclooxygenase-2 (COX-2) yang akan mengkatalis konversi asam arakidonat


dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

menjadi PGE2 yang kemudian menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus,

sehingga terjadi kenaikan suhu tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis

sitokin di hipokampus. Pirogen endogen, yakni interleukin 1ß, akan

meningkatkan eksitabilitas neuronal (glutamatergic) dan menghambat GABA-

ergic, peningkatan eksitabilitas neuronal ini yang menimbulkan kejang.

Mekanisme terjadinya kejang demam berhubungan dengan sitokin-sitokin

inflamasi pada demam seperti interleukin (IL)-1β yang berhubungan dengan

terjadinya kejang demam. Gen polimorfisme yang termasuk ke dalam

pengeluaran sitokin tidak dapat dijelaskan dalam penelitian lain. Sebuah

penelitian yang menyajikan data dengan tikus sebagai bahan percobaan

menunjukkan bahwa demam yang disertai dengan kompensasi hiperventilasi,

menyebabkan alkalosis dan peningkatan pH otak. Pada percobaan tikus,

bangkitan kejang dan gambaran elektroensefalografi (EEG) berubah yang

disebabkan oleh hiperventilasi dan alkalosis. Peningkatan suhu pada otak sendiri

dapat menyebabkan kejang demam, namun ini hanya merupakan percobaan

langsung pada tikus yang belum jelas.

Prichard dan Mc Greal mengemukakan pendapat bahwa anoksia relatif

(keadaan kekurangan oksigen) yang terjadi sewaktu demam mungkin merupakan

penyebab daripada kejang. Mereka mengutarakan bahwa meningkatnya suhu

sebesar 1 derajat fahrenheit akan meningkatkan metabolisme basal sebesar kira-

kira 7%. Rasio sirkulasi serebral terhadap sirkulasi tubuh seluruhnya jauh lebih

tinggi pada anak ketimbang orang dewasa. Pada orang dewasa kira-kira 18%

dari sirkulasi total tubuh pergi ke otak. Pada anak yang berusia 3 tahun angka ini
dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

jauh lebih tinggi yaitu sekitar 65%. Pada anak yang lebih muda mungkin lebih

tinggi lagi. Bila suhu meningkat beberapa derajat, aliran darah harus pula

ditingkatkan untuk menjaga agar pasokan oksigen dan glukosa ke otak tetap

cukup. Bila peningkatan aliran darah ini tidak mencukupi, maka terdapatlah

anoreksia relatif yang mungkin memicu kejang.

Kejang demam banyak ditemukan pada riwayat keluarga dengan kejang

demam. Riwayat kejang demam pada usia 1 tahun merupakan faktor risiko

terjadinya kejang demam. Seseorang yang memiliki saudara kandung dengan

riwayat kejang demam memiliki 10-20% faktor risiko terjadinya kejang demam.

Jika memiliki orang tua dan kejang demam berulang, faktor risiko dapat

meningkat 3 kali lipat.

VI. MANIFESTASI KLINIS

Kejang demam baik kejang demam sederhana maupun kejang demam

kompleks awalnya didahului dengan demam, anak dapat terlihat sakitberat.

Demam tinggi perlu diwaspadai, terutama kenaikan suhu yang berhubungan

dengan terjadinya kejang demam. Demam dengansuhubadan> 38˚C, usia anak

biasanya berkisar antara 3 bulan hingga 5 tahun (rata-rata 17 – 23 bulan). Kejang

yang paling sering ditemukan yaitu kejang demam sederhana, tetapi kejang

demam kompleks juga bisa terjadi. Durasi kejang demam sederhana biasanya

kurang dari 15 menit yaitu sekitar 58% penderita, antara 15 – 60 menit pada

28% penderita dan lebih dari 60 menit pada 14% penderita.

Kejang selalu didahului oleh naiknya suhu tubuh dengan cepat. Pada

kejang demam simpleks, tipe kejang berupa kejang umum klonik atau tonik-
dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

klonik. Adanya tanda kejang demam fokal atau parsial selama maupun sesudah

kejang (misalnya pergerakan satu tungkai saja, atau satu tungkai terlihat lebih

lemah dibanding tungkai yang lain) menunjukkan kejang demam

kompleks.Kejang demam simpleks berlangsung < 15 menit, namun periode

mengantuk atau tertidur pasca iktal dapat terjadi > 15 menit.

Sebagian besar kejang demam terjadi dalam 24 jam pertama sakit, sering

sewaktu suhu tubuh meningkat cepat, tetapi pada sebagian anak, tanda pertama

penyakit mungkin kejang dan pada yang lain, kejang terjadi saat demam

menurun. Derajat demam bukan merupakan faktor kunci yang memicu kejang.

Selama suatu penyakit, setelah demam turun dan naik kembali sebagian anak

tidak kembali kejang walaupun tercapai tingkatan suhu yang sama, dan sebagian

anak lain tidak lagi mengalami kejang pada penyakit demam berikutnya

walaupun tercapai tingkatan suhu yang sama.

Anamnesis dan pemeriksaan fisis harus diarahkan untuk mencari fokus

infeksi penyebab demam, tipe kejang, serta pengobatan yang telah diberikan

sebelumnya. Selain itu, tanyakan riwayat trauma, riwayat perkembangan dan

fungsi neurologis, serta riwayat kejang demam maupun kejang tanpa demam

dalam keluarga. Pada kejang demam, ditemukan perkembangan dan neurologis

yang normal. Tidak ditemukan tanda-tanda meningitis maupun ensefalitis

(misalnya kaku kuduk atau penurunan kesadaran).

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada umumnya pemeriksaan penunjang pada kejang demam tidak rutin

dilakukan. Pemeriksaan penunjang tersebut antara lain pemeriksaan


dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

laboratorium yaitu pemeriksaan darah rutin, kimia darah, elektrolit dan pungsi

lumbal untuk pengambilan cairan serebrospinal, sedangkan untuk pemeriksaan

pencitraan dapat dilakukan pemeriksaan seperti EEG, X-Ray, CT Scan, atau

MRI.

Pemeriksaan laboratorium dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber

penyebab demam, atau keadaan lain misalnya ISPA, otitis media akut,

gastroenteritis yang disertai demam.

1. Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab demam

pada kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Pemeriksaan

darah yang dapat dilakukan yaitu darah rutin untuk melihat adanya infeksi,

pemeriksaan kimia darah seperti kadar gula darah untuk mengetahui adanya

hipoglikemia dan pemeriksaan elektrolit untuk menentukan ada tidaknya

gangguan elektrolit. Dokter harus fokus mendiagnosa dari penyebab

demamnya. Pada kasus kejang demam, baik pada kejang demam sederhana

maupun kejang demam kompleks, pemeriksaan laboratorium mungkin

diperlukan untuk menentukan penyebab demamnya. Sebagai contoh, anak

dengan diare berat mungkin diperlukan untuk pemeriksaan darah seperti

kadar gula darah dan pemeriksaan elektrolit.

2. Pungsi lumbal

Pemeriksaan pungsi lumbal dilakukan untuk menegakkan atau

menyingkirkan kemungkinan meningitis pada kejang demam kompleks.

Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Pada bayi kecil


dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

seringkali sulit untuk menegakkan diagnosis meningitis karena manifestasi

klinisnya tidak jelas.

Anjuran untuk dilakukan lumbal pungsi jika :

 Sangat dianjurkan pada anak di bawah 12 bulan karena tanda dan gejala

dari meningitis bakterialis bisa minimal atau tidak spesifik pada

kelompok umur ini.

 Lumbal pungsi dianjurkan pada anak umur 12-18 bulan karena tanda

dan gejala klinis dari meningitis bakterialis mungkin tidak jelas pada

kelompok umur ini.

 Tidak rutin dilakukan pada anak yang berusia di atas 18 bulan, hanya

dilakukan bila tanda meningitis positif.

3. Pencitraan

Pemeriksaan seperti X-Ray, CT Scan, atau MRI tidak perlu dilakukan

pada kejang demam sederhana, hanya diindikasikan bila ada kelainan

neurologis fokal, kelainan saraf kranial yang menetap, atau papiledem pada

keadaan kejang demam kompleks untuk menyingkirkan diagnosa kerja yang

lain.

4. Elektroensefalografi (EEG)

Elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya

kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien

kejang demam. Oleh karena itu tidak direkomendasikan pada kejang demam

sederhana. Namun dianjurkan pada anak dengan kejang demam usia >6
dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

tahun, ataupun ada gambaran kejang fokal seperti pada kejang demam

kompleks.

VIII. DIAGNOSIS

Kejang demam dapat didiagnosis hanya setelah kasus kejang yang

disertaidemam lain disingkirkan. Hal ini mengharuskan kita menyingkirkan

berbagai kemungkinan etiologi, misalnya infeksi susunan saraf pusat, gangguan

akut hemostasis air dan elektrolit, gangguan metabolisme, dan lesi struktural

pada susunan saraf. Pada situasi yang sesuai, hal ini mungkin memerlukan

pemeriksaan CSS dan penentuan elektrolit, gula dan kalsium serum serta

pemeriksaan radiologik yang sesuai misalnya pemindaian CT otak. Pemeriksaan

ini tidak perlu dilakukan secara rutin pada anak yang diperiksa oleh dokter yang

berpengalaman dan terbukti normal secara perkembangan dan neurologis, dan

pada anak yang tidak dicurigai mengidap meningitis. Anak yang lebih muda

yang mungkin lebih sulit dievalusi secara pasti mungkin memerlukan lebih

banyak pemeriksaan diagnostik. Setiap anak yang mengalami kejang disertai

peningkatan suhu memerlukan pengamatan dan tindak lanjut cermat.

EEG umumnya kejang bermanfaat dalam evaluasi dan penatalaksanaan

pasien kejang demam. Kelainan ditemukan lebih dari 80% rekaman EEG yang

dibuat dalam satu hari kejang demam, tetapi hal ini menurun sampai sekitar 30%

dalam 3-5 hari. Kelainan berupa perlambatan yang mencolok, terutama di

posterior dan sering asimetris. Faktor yang cenderung berkaitan dengan kelainan

yang menetap adalah kejang yang parah, demam tinggi berkepanjangan, dan

riwayat disfungsi neurologik. Anak yang memperlihatkan perlambatan yang


dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

ekstrim pada EEG cenderung mengalami kejang afebris rekuren dibandingkan

dengan anak yang rekamannya normal. EEG tidak dapat digunakan untuk

memperkirakan anak mana yang akan mengalami kejang demam berulang atau

yang kemudian mengalami epilepsi. Pada anak dengan kejang demam, temuan

EEG cenderung menjadi abnormal seiring dengan pertambahan usia, tanpa

bergantung pada apakah mereka kemudian akan mengalami kejang-kejang, dan

insidensi kelainan EEG pada anggota keluarga lebih tinggi daripada pada

populasi kontrol.

IX. PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan saat kejang

Apabila ditemukan anak dengan kejang, baik itu kejang demam

sederhana maupun kejang demam kompleks, pastikan jalan napas tidak

terhalang, pakaian ketat dilonggarkan, anak diposisikan miring agar lendir

atau cairan dapat mengalir keluar. Periksa tanda vital, baik pernapasan, nadi,

suhu. Berikan antipiretik seperti parasetamol (10-15kg/BB/kali, sampai 4-5

kali) atau ibuprofen (5-10 mg/KgBB/kali, sampai 3-4 kali). Kemudian

lanjutkan tata laksana kejang akut pada anak.

Pada kejang demam sederhana, biasanya kejang demam berlangsung

singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang

dalam keadaan kejang baik sederhana maupun kompleks, obat yang paling

cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara

intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan


dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis

maksimal 20 mg.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah

pada saat kejang adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-

0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang

dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg. Atau diazepam

rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg

untuk anak di atas usia 3 tahun.

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat

diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.

Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,

kemungkinan anak tidak lagi mengalami kejang demam sederhana, namun

masuk ke dalam klasifikasi kejang demam kompleks. Anak dengan kejang

demam kompleks dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan

diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.

Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena

dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau

kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8

mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.

Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat

di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat

selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam

sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.


dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

2. Pemberian obat pada saat demam

a. Antipiretik

Tidak di temukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi

risiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat

bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan

adalah 10 –15 mg/kgbb/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5

kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kgbb/kali ,3-4 kali sehari.Dosis Aspirin 10-

15 mg/kgbb/kali diberikantiap 4-6 jam.

b. Antikonvulsan

1) Pemberian antikonvulsan intermitten

Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat

antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.Profilaksis

intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko

di bawah ini:

 Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral

 Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun

 Usia <6 bulan

 Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius

 Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu

tubuhmeningkat dengan cepat.

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per

oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10

mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis
dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan

selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada orangtua

bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia,

iritabilitas, serta sedasi.

2) Pemberian antikonvulsan rumatan

Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya

dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak

diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus

selektif dan dalam jangka pendek. Indikasi pengobatan rumat:

 Kejang fokal

 Kejang lama >15 menit

 Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah

kejang,misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.

Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:

 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.

 Kejangdemamterjadipadabayikurangdari 12 bulan.

 Kejangdemam>4 kali per tahun.

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif

dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital

setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar

pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada

sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam

valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat


dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4

mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.

Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan

rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun

dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.

Diazepam 5-10mg/rektal 0-10 menit


Pre-hospital
Max 2x, jarak 5 menit
10-20 menit

Rumah sakit/ Diazepam 0,25-0,5 mg/kg/iv


UGD Periksa A,B,C
Kecepatan 2 mg/menit, max dosis 20 mg

Periksa EKG, gula


darah, elektrolit,
AGD, koreksi
ICU/UGD
Kadar
obat darah
Kejang stop, lanjut Fenitoin 20mg/kg/iv (larutkan 10mg/1ml
5-7 mg/kg 12 jam NS), 20-30
kemudian Kec 1 mg/kgBB/menit max dosis 1 gram menit

ICU

Kejang stop, lanjut Fenobarbital 20mg/kg/iv dalam 5- 30-60


4-5 mg/kg 12 jam 10 menit, max dosis 1 g menit
kemudian

ICU Refrakter

Midazolam 0,2 mg/kg/iv Pentoal – Propofol 3-


bolus, lanjut infus 0,02- Tlopental 5-8 5mg/kg/infusion
0,04 mg/kg/jam mg/kg/iv
dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

Gambar 1. Algoritma Tata Laksana Kejang.

X. PROGNOSIS

Anak-anak dengan kejang demam memiliki kemungkinan 30-50%

mengalami kejang demam berulang, dan 75% nya terjadi dalam satu tahun

setelah awitan yang pertama.Risiko rekurensi bertambah bila :

 Kejang demam terjadi <1 tahun, risiko berulang adalah 50%. Kejang demam

terjadi >1 tahun, risiko berulang adalah 28%;

 Riwayat keluarga kejang demam atau epilepsi;

 Cepatnya kejang setelah demam;

 Kejang yang terjadi pada suhu yang tidak terlalu tinggi (38˚C)

Adanya keempat faktor tersebut meningkatkan risiko kejang demam

berulang hingga 80%. Namun bila tidak satupun faktor di atas ditemukan,

kemungkinan berulang 10-15%. Anak yang mengalami kejang demam

sederhana tidak memiliki risiko lebih tinggi mengidap epilepsi dibanding

populasi normal. Risiko epilepsi di kemudian hari akan meningkat apabila

terdapat :

 Kejang demam kompleks

 Riwayat keluarga epilepsi

 Kejang demam sebelum usia 9 bulan

 Adanya perkembangan yang terlambat atau terdapat kelainan neurologis

sebelumnya.

Adanya satu faktor risiko meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 4-

6%, sementara bila terdapat beberapa faktor risiko sekaligus kemungkinannya


dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

naik hingga 10-49%. Pemberian profilaksis terus-menerus tidak dapat

menurunkan risiko kejadian epilepsi. Kematian setelah kejang adalah hal yang

sangan jarang terjadi, bahkan pada anak risiko tinggi sekalipun.

Pengobatan dengan barbiturat dapat meningkatkan risiko terhadap fungsi

kognitif dan perilaku pada anak. Pada sebuah penelitian acak, rata-rata IQ 7

lebih rendah pada anak dengan kejang demam kompleks, atau kejang demam

berulang yang mendapat terapi fenobarbital selama 2 tahun jika dibandingkan

dengan pemberian placebo. Tidak ada perbedaan bangkitan kejang antara anak

dengan pemberian fenobarbital ataupun placebo.

XI. INDIKASI MASUK RUMAH SAKIT

Pada kejang demam sederhana, anak <18 bulan sangat disarankan untuk

dilakukan observasi dan pemeriksaan lebih lanjut seperti pungsi lumbal,

sedangkan pada anak >18 bulan tidak harus observasi di rumah sakit jika kondisi

stabil, keluarga perlu diberitahu jika terjadi kejang berulang maka harus dibawa

ke rumah sakit.

Indikasi rawat rumah sakit :

1. Kejang demam kompleks

2. Hiperpireksia

3. Usia dibawah 6 bulan

4. Kejang demam pertama kali

5. Terdapat kelainan neurologis


dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

XII. EDUKASI ORANG TUA

Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada

saat kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan

meninggal. Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:

1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis

baik.

2. Memberitahukan cara penanganan kejang.

3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.

4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang

efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat.

Beberapa hal yang dikerjakan bila anak kejang :

1. Tetap tenang dan tidak panik.

2. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.

3. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah,

bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.

4. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah

tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.

5. Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.

6. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.

7. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit.

Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh

diberikan satu kali oleh orangtua.


dr. UMI MUCHTIAAH UDHE, S.Ked

8. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih,

suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan

diazepam rektal, kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat

kelumpuhan.

You might also like