Professional Documents
Culture Documents
KEWAJIBAN PERAWAT :
• Wajib memiliki : SIP, SIK, SIPP
• Menghormati hak pasien
• Merujuk kasus yang tidak dpt ditangani
• Menyimpan rahasia pasien sesuai dgn peraturan perundang-undangan
• Wajib memberikan informasi kepada pasien sesuai dengan kewenangan
• Meminta persetujuan setiap tindakan yg akan dilakukan perawat sesuai dgn kondisi pasien baik
scr tertulis maupun lisan
• Mencatat semua tindakan keperawatan secara akurat sesuai peraturan dan SOP yg berlaku
• Memakai standar profesi dan kode etik perawat Indonesia dalam melaksanakan praktik
• Meningkatkan pengetahuan berdasarkan IPTEK
• Melakukan pertolongan darurat yang mengancam jiwa sesuai dg kewenangan
• Melaksanakan program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
• Mentaati semua peraturan perundang-undangan
• Menjaga hubungan kerja yang baik antara sesama perawat maupun dgn anggota tim kesehatan
lainnya.
HAK-HAK PERAWAT
Hak perlindungan wanita.
Hak mengendalikan praktik keperawatan sesuai yang diatur oleh hukum.
Hak mendapat upah yang layak.
Hak bekerja di lingkungan yang baik
Hak terhadap pengembangan profesional.
Hak menyusun standar praktik dan pendidikan keperawatan.
Jumlah perawat yang menganggur di Indonesia ternyata cukup mencengangkan. Hingga tahun
2005 mencapai 100 ribu orang. Hal ini disebabkan kebijakan zero growth pegawai pemerintah,
ketidakmampuan rumah sakit swasta mempekerjakan perawat dalam jumlah memadai,
rendahnya pertumbuhan rumah sakit dan lemahnya kemampuan berbahasa asing. Ironisnya, data
WHO 2005 menunjukkan bahwa dunia justru kekurangan 2 juta perawat, baik di AS, Eropa,
Australia dan Timur Tengah. Fakta lain di lapangan, saat ini banyak tenaga perawat yang bekerja
di rumah sakit dan puskesmas dengan status magang (tidak menerima honor seperserpun) bahkan
ada rumah sakit yang meminta bayaran kepada perawat bila ingin magang. Alasan klasik dari
pihak rumah sakit “mereka sendiri yang datang minta magang”. Dilematis memang, tinggal di
rumah menganggur , magang di rumah sakit/puskesmas tidak dapat apa-apa . Padahal kalau kita
menyadari sebenarnya banyak sekali kesempatan dan tawaran kerja di luar negeri seperti :USA,.
Canada, United Kingdom (Inggris), Kuwait, Saudi Arabia, Australia, New Zaeland, Malaysia,
Qatar, Oman, UEA, Jepang, German, Belanda, Swiss (Yusuf, 2006).
Kemampuan bersaing perawat Indonesia bila di bandingkan dengan negara-negara lain seperti
Philipines dan India masih kalah . Pemicu yang paling nyata adalah karena dalam system
pendidikan keperawatan kita masih menggunakan “Bahasa Indonesia”sebagai pengantar dalam
proses pendidikan. Hal tersebut yang membuat Perawat kita kalah bersaing di tingkat global.
Salah satu tolak ukur kualitas dari Perawat di percaturan internasional adalah kemampuan untuk
bias lulus dalam Uji Kompetensi keperawatan seperti ujian NCLEX-RN dan EILTS sebagai
syarat mutlak bagi seorang perawat untuk dapat bekerja di USA. Dalam hal ini kualitas dan
kemampuan perawat Indonesia masih sangat memprihatinkan (Muhammad, 2005)
Sejak disepakatinya keperawatan sebagai suatu profesi pada Lokakarya Nasional Keperawatan
tahun 1983, terjadilah pergeseran paradigma keperawatan dari pelayanan yang sifatnya
vokasional menjadi pelayanan yang bersifat professional. Keperawatan kini dipandang sebagai
suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan
yang meliputi aspek bio,psiko,sosio dan spiritual yang komperehensif, dan ditujukan kepada
individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat yang baik yang sehat maupun yang sakit dan
mencakup seluruh siklus hidup manusia . Sebagai profesi yang masih dalam proses menuju
“perwujudan diri”, profesi keperawatan dihadapkan pada berbagai tantangan. Pembenahan
internal yang meliputi empat dimensi domain yaitu; Keperawatan, pelayanan keperawatan,
asuhan keperawatan, dan praktik keperawatan. Belum lagi tantangan eksternal berupa tuntutan
akan adanya registrasi, lisensi, sertifikasi, kompetensi dan perubahan pola penyakit, peningkatan
kesadaran masyarakat akan hak dan kewajiban, perubahan sistem pendidikan nasional, serta
perubahan-perubahan pada suprasystem dan pranata lain yang terkait (Yusuf, 2006).
Keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No 2/1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Surat Keputusan Menteri Kesehatan No
1239/Menkes/SK/2001 tentang registrasi dan praktik keperawatan lebih mengukuhkan
keperawatan sebagai suatu profesi di Indonesia. Adanya Undang-undang No. 8 tahun 1999
tetang Perlindungan Konsumen semakin menuntut perawat untuk melaksanakan praktik
keperawatan secara profesional menjadi suatu keharusan dan kewajiban yang sudah tidak dapat
ditawar-tawar lagi. Penguasaan Ilmu dan keterampilan, pemahaman tetang standar praktik,
standar asuhan dan pemahaman hak-hak pasien menjadi suatu hal yang penting bagi setiap insan
pelaku praktik keperawatan di Indonesia (Yanto, 2001)
Konsekuensi dari perkembangan itu harus ada jenjang karier dan pengembangan staf yang tertata
baik, imbalan jasa, insentif serta sistem penghargaan yang sesuai dan memadai. Rendahnya
imbalan jasa bagi perawat selama ini mempengaruhi kinerja perawat. Banyak perawat bergaji di
bawah upah minimum regional (UMR). Sebagai gambaran, gaji perawat pemerintah di Indonesia
antara Rp 300.000-Rp 1 juta per bulan tergantung golongan. Sementara perawat di Filipina tak
kurang dari Rp 3,5 juta (Kompas, 2001)
Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal dan teknikal, perawat di Indonesia juga
harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia menanggung resiko, bertanggung
jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan
dan mengatur dirinya sendiri. Tetapi yang terjadi di lapangan sangat memilukan, banyak sekali
rekan-rekan Perawat yang melakukan “Praktek Pelayanan Kedokteran dan Pengobatan” yang
sangat tidak relevan dengan ilmu keperawatan itu sendiri. Hal tersebut telah membuat profesi
Perawat di pandang rendah oleh profesi lain. Banyak hal yang menyebabkan hal ini berlangsung
berlarut-larut antara lain:
a. Kurangnya kesadaran diri dan pengetahuan dari individu perawat itu sendiri.
b. Tidak jelasnya aturan yang ada serta tidak tegasnya komitmen penegakan hukum di Negara
Republik Indonesia.
c.Minimnya pendapatan secara finansial dari rekan-rekan perawat secara umum
d.Kurang peranya organisasi profesi dalam membantu pemecahan permasalah tersebut.
e.Rendahnya pengetahuan masyarakat, terutama di daerah yang masih menganggap bahwa
Perawat juga tidak berbeda dengan “DOKTER”atau petugas kesehatan yang lain (Muhammad,
2005)
Kondisi Sistem Pendidikan Keperawatan di Indonesia
Pengakuan body of knowledge keperawatan di Indonesia dimulai sejak tahun 1985, yakni ketika
program studi ilmu keperawatan untuk pertama kali dibuka di Fakultas Kedokteran UI. Dengan
telah diakuinya body of knowledge tersebut maka pada saat ini pekerjaan profesi keperawatan
tidak lagi dianggap sebagai suatu okupasi, melainkan suatu profesi yang kedudukannya sejajar
dengan profesi lain di Indonesia. Tahun 1984 dikembangkan kurikulum untuk mempersiapkan
perawat menjadi pekerja profesional, pengajar, manajer, dan peneliti. Kurikulum ini
diimplementasikan tahun 1985 sebagai Program Studi Ilmu Keperawatan di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Tahun 1995 program studi itu mandiri sebagai Fakultas Ilmu
Keperawatan, lulusannya disebut ners atau perawat profesional. Program Pascasarjana
Keperawatan dimulai tahun 1999. Kini sudah ada Program Magister Keperawatan dan Program
Spesialis Keperawatan Medikal Bedah, Komunitas, Maternitas, Anak Dan Jiwa.
Sejak tahun 2000 terjadi euphoria Pendirian Institusi Keperawatan baik itu tingkat Diploma III
(akademi keperawatan) maupun Strata I. Pertumbuhan institusi keperawatan di Indonesia
menjadi tidak terkendali. Seperti jamur di musim kemarau. Artinya di masa sulitnya lapangan
kerja, proses produksi tenaga perawat justru meningkat pesat. Parahnya lagi, fakta dilapangan
menunjukkan penyelenggara pendidikan tinggi keperawatan berasal dari pelaku bisnis murni dan
dari profesi non keperawatan, sehingga pemahaman tentang hakikat profesi keperawatan dan
arah pengembangan perguruan tinggi keperawatan kurang dipahami. Belum lagi sarana
prasarana cenderung untuk dipaksakan, kalaupun ada sangat terbatas (Yusuf, 2006). Saat ini di
Indonesia berdiri 32 buah Politeknik kesehatan dan 598 Akademi Perawat yang berstatus milik
daerah,ABRI dan swasta (DAS) yang telah menghasilkan lulusan sekitar 20.000 – 23.000 lulusan
tenaga keperawatan setiap tahunnya. Apabila dibandingkan dengan jumlah kebutuhan untuk
menunjang Indonesia sehat 2010 sebanyak 6.130 orang setiap tahun, maka akan terjadi surplus
tenaga perawat sekitar 16.670 setiap tahunnya. (Sugiharto, 2005).
Salah satu tantangan terberat adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) tenaga
keperawatan yang walaupun secara kuantitas merupakan jumlah tenaga kesehatan terbanyak dan
terlama kontak dengan pasien, namun secara kualitas masih jauh dari harapan masyarakat.
Indikator makronya adalah rata-rata tingkat pendidikan formal perawat yang bekerja di unit
pelayanan kesehatan (rumah sakit/puskesmas) hanyalah tamatan SPK (sederajat SMA/SMU).
Berangkat dari kondisi tersebut, maka dalam kurun waktu 1990-2000 dengan bantuan dana dari
World Bank, melalui program “health project” (HP V) dibukalah kelas khusus D III keperawatan
hampir di setiap kabupaten. Selain itu bank dunia juga memberikan bantuan untu peningkatan
kualitas guru dan dosen melalui program “GUDOSEN”. Program tersebut merupakan suatu
percepatan untuk meng-upgrade tingkat pendidikan perawat dari rata-rata hanya berlatar
belakang pendidikan SPK menjadi Diploma III (Institusi keperawatan). Tujuan lain dari program
ini diharapkan bisa memperkecil gap antara perawat dan dokter sehingga perawat tidak lagi
menjadi perpanjangan tangan dokter (Prolonged physicians arms) tapi sudah bisa menjadi mitra
kerja dalam pemberian pelayanan kesehatan(Yusuf, 2006).
Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan sisitem pendidikan keperawatan di Indonesia
adalah UU no. 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional, Peraturan pemerintah no. 60 tahun
1999 tentang pendidikan tinggi dan keputusan Mendiknas no. 0686 tahun 1991 tentang Pedoman
Pendirian Pendidikan Tinggi (Munadi, 2006). Pengembangan sistem pendidikan tinggi
keperawatan yang bemutu merupakan cara untuk menghasilkan tenaga keperawatan yang
profesional dan memenuhi standar global. Hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan mutu lulusan pendidikan keperawatan menurut Yusuf (2006) dan Muhammad
(2005) adalah :
1. Standarisasi jenjang, kualitas/mutu, kurikulum dari institusi pada pendidikan.
2. Merubah bahasa pengantar dalam pendidikan keperawatan dengan menggunakan bahasa
inggris. Semua Dosen dan staf pengajar di institusi pendidikan keperawatan harus mampu
berbahasa inggris secara aktif
3. Menutup institusi keperawatan yang tidak berkualitas
4. institusi harus dipimpin oleh seorang dengan latar belakang pendidikan keperawatan
5. Pengelola insttusi hendaknya memberikan warna tersendiri dalam institusi dalam bentuk
muatan lokal,misalnya emergency Nursing, pediatric nursing, coronary nursing.
6. Standarisasi kurikulum dan evaluasi bertahan terhadap staf pengajar di insitusi pendidikan
keperawatan
7. Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, dan Organisasi profesi serta sector lain yang
terlibat mulai dari proses perizinan juga memiliki tanggung jawab moril untuk melakukan
pembinaan.
Pada akhirnya keperawatan yang bermutu adalah suatu bentuk pelayanan yang mampu
memenuhi kebutuhan dan kepuasan pasien sebagai pelanggan. Untuk mencapainya Perawat
dapat memulai dari dirinya sendiri, Perawat harus bekerja sesuai standar praktek pelayanan
keperawatan sesuai wewenang dan tangung jawabnya, selalu berupaya mengembangkan diri
melalui pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan serta sistem jenjang karir.