You are on page 1of 7

MAKALAH FARMAKOKINETIKA KLINIK

AMINOGLIKOSIDA

Disusun oleh :

Nama : Tuti muthiarahmi(15160016)


Ni wayan sritanjung (15160007)
Muthiarani nabila ( 15160011)
Eka ervianda (15160035)
Ocha marliani harefa (15160020)

Kelas : 6 Farmasi 1

LABORATORIUM FARMASI
UNIVERSITAS DHARMA ANDALAS
PADANG
2018
FARMAKOKINETIKA KLINIK

Farmakokinetika klinis merupakan penerapan metode farmakokinetika untuk terapi


obat. Farmakokinetika klinismencakup suatu pedekatan multidisiplin untuk strategi
pendosisan optimal individual yang didasarkan pada kondisi penyakit pasien dan
pertimbangan spesifik-pasien. Akan tetapi variasi intra dan interinvidual sering akan
mengakibatkan respon subterapeutik (konsentrasi obat di bawah/MEC) atau toksik
(konsentrasi obat diatas konsentrasi toksik minimum/MTC) yang selanjutnya memerlukan
penyesuaian aturan dosis.

Farmakokinetika juga diterapkan untuk pemantauan obat terapeutik (therapeutic


drug monitoring /TDM) untuk obat-obat yang sangat poten seperti obat-obat dengan
rentang terapeutik sempit, untuk mengoptimasi kemanjuran dan mencegah berbagai
toksisitas yang merugikan. Untuk obat-obat ini, perlu memantau pasien, baik dengan
pemantauan konsentrasi obat dalam plasma (misal teofilin) atau dengan pemantau hasil
farmakodinamik khas seperti waktu pembentukan protrombin (misal warfarin). Pelayanan
farmakokinetika dan analisis obat perlu untuk pemantauan keamanan obat yang pada
umumnya diberikan melalui pelayanan farmakokinetika klinis. Beberapa obat yang sering
dipantau adalah aminoglikosida dan antikonvulsan. Obat-obat lain yang dipantau secara
ketat adalah obat-obat yang digunakan pada kemoterapi kanker, untuk meminimalkan efek
samping yang merugikan.

Kurva kadar dalam plasma – waktu.

Kurva kadar dalam plasma-waktu didapatkan dengan mengukur konsentrasi obat


dalam sampel plasma yang diambil pada berbagai jarak waktu setelah pemberian suatu
produk. Hubungan kurva kadar obat-waktu dan berbagai parameter dapat dilihat pada MEC
dan MTC suatu obat. Untuk beberapa obat,seperti yang bekerja pada sistem saraf otonom
(ANS = autonomic nervous sisyem), adalah penting untuk mengetahui konsentrasi obat yang
akan dimulai menghasilkan suatu efek farmakologis yang nyata (yakni, MEC). Dengan
menganggap konsentrasi dalam plasma dalam keseimbangan dengan obat-obat dalam
jaringan, maka MEC mencerminkan konsentrasi obat yang diperlukan oleh reseptor untuk
menghasilkan efek farmakologis yang diinginkan. Demikian pula,MTC menyebabkan
konsentrasi obat yang diperlukan untuk mulai menghasilkan suatu efek toksik. Waktu mula
kerja sama dengan waktu yang diperlukan obat untuk mencapai MEC. Intensitas efek
farmakologi adalah sebanding dengan sejumlah reseptor obatyang ditempati , yang
dicerminkan dalam pengamatan, dimana konsentrasi obat dalam plasma lebih tinggi
menghasilkan respon farmakologis yang lebih besar, sampai maksimum. Lama kerja obat
adalah selisih waktu antara waktu mula kerja obat dan waktu yangdiperlukan obatturun
kembali ke MEC.
Berdasarkan gambaran profil farmakokinetika secara umum obat di dalam tubuh
mengalami absorbsi, distribusi dan eliminasi. Proses tersebut sangat mempengaruhi kadar
obat dalam plasma. Misalnya,suatu obat dapat terabsorbsi dengan cepat maka kadar
obatnya akan menjadi lebih cepat dan tinggi di dalam plasma dibandingkan dengan obat
yang absorbsinya lebih lambat. Tetapi juga dilihat dari segi eliminasi, jika obat tereliminasi
dengan cepat maka kadar obat dalam plasma akan cepat terun. Sehingga profil
farmakokinetik tersebut dapat dilihat dari parameternya yaitu klirens, biavailabilitas dan t1/2
eliminasi obat.

AMINOGLIKOSIDA.

Golongan aminoglikosida meliputi amikasin,gentamisin,neomisin,netilmisin,sterptomisin.


Semia golongan aminoglikosida bersifat bakterisidal dan terutama aktif terhadap kuman
bakteri gram negatif. Aminoglikosida tidak diserap melalui saluran cerna (walaupun ada
resiko absorbsi pada inflammatory bowel disease parenteral untuk infeksi sistemik. Ekskresi
terutama melalui ginjal dan terjadi akumulasi pada gangguan fungsi ginjal. Jika terjadi
gangguan fungsi ginjal ( atau kadar serum yang tinggi sebelum pemberian obat), interval
pemberian harus diperpanjang. Jika gangguan fungsi ginjal berat, maka dosis sebaiknya
diturunkan.

1. Ambang terapetik dan ambang konsentrasi toksik (MEC dan MTC) pada
aminoglikosida

Dosis lazim :

 gentamisin dan tobramisin : 50-120mg (1-2 mg/kgBB) diberikan selama 30-60 menit
dengan iterfal dosis tiap 8 jam
 amikasin 200-500 mg (5-7,5 mg/kgBB) tiap 8-20 jam
 cl,vd,t1/2 : sama, model farmakokinetika yang sama dapat digunakan untuk semua
aminoglikosida

Konsentrasi plasma terapetik dan toksik pada aminoglikosida adalah :

 cp (Cpss max) gentamisin dan tebramisin 4-8 mg/L.


 Cp < 2-4 mg/L ( melaluicp,cpss min) tidak efektif cp 8 mg/L
 Pengobatan pneumonia puncak cp amikacin 20-30 mg/L melalui cp <10mg/L

Konsentrasi aminoglikosida dengan nefrotoksisitas merujuk ke palung cp sebagian besar


pasian mengalami disfungsi ginjal selama terapi amnoglikosida, untuk mendapatkan kembali
fungsi ginjal setelah obat dihentikan. Ototoksik terkait dengan cpss min gentamisin 4mg/L
selama lebih dari 10 hari untuk menggunakan cp aminoglikosida sebagai prediktor untuk
keampuhan dan toksisitas.
2. Parameter farmakokinetika klinik

Semua golongan aminoglikosida mempunyai sifat farmakokinetik yang hampir sama. 15-
30 menit pasca pemberian intravena mengalami distribusi ke ruang ekstraseluler dan
konsentrasi puncak dalam plasma dialami setelah 30-60 menit pasca pemberian. Waktu
paruh aminoglikosida rerata antara 1,5-3,5 jam pada fungsi ginjal yang normal, waktu paruh
ini akan memendek pada keadaan demam dan akan memanjang pada penurunan fungsi
ginjal. Volume distribusi aminoglikosida adalah 0.2-0.3 L/k. Volume ini setara dengan cairan
ekstraseluler sehingga tidak akan mudah tercapai konsentrasi terapeutik dalam darah,
tulang, cairan sinovia, peritonium, mempunyai konsentrasi distribusi pada paru dan otak.

Efek samping aminoglikosida nefrofatik. Penggunaan aminoglikosida multidosis selama


lebih dari 3 hari, menggunakan obat bersifat nefrotoksik secara bersamaan seperti
vankomisin, manitol, amfoterisin B dan radiokontras untuk diagnostik atau penderita rawat
intensive care unite dengan hipotensi akibat hipovolemik mempunyai resiko tinggi untuk
terjadi nefrotoksik. Nekrosis tubulus renal yang mendasari nefrotoksik , umumnya bersifat
ringan dan revesibel. Recovery akan terjadi secara spontan beberapa hari setelah
penghentian obat, selama tidak didapatkan hipotensi berkepanjangan dan tidak
menggunakan obat nefropatik kontek renal akibat penyakit yang lain.

3. Pengaruh kondisi patologis pasien terhadap parameter dan regimen dosis

Faktor klinik.

1. Status pasien.
- Umur, berat badan.
Regiment dosis harus dilakukan terutama pada anank-anak dan orang tua karena
pada anak-anak fungsi ginjal organnya masih belum berfungsi dengan maksimal
sedangkan pada orang tua fungsi organnya sudah menurun. Perubahan dan
belum maksimalnya fungsi organ inilah yang menyebabkan adanya perbedaan
pada profil farmakokinetik sehingga respon terapi juga berbeda.
- Pengaruh adanya penyakit lain.
Perlu dipertimbangkan adanya regimen dosis, misalnya untuk pasien dengan
gangguan fungsi ginjal, hati dll. Misalnya salah satu kasusnya jika obat yang akan
digunakan merupakan prodrug atau metabolitnya yang aktif dan proses
metabolisme ini terjadi di hati sedangkan pasien tersebut menderita gangguan
fungsi hati , maka perlu dipertimbangkan untuk pemilihan pemberian obat lain.
2. Terapi.
- Pemberian macam obat dan frekuensi penggunaan yang terlalu banyak, akan
berpengaruh pada ketaatan pasien untuk mengkonsumsi obat. Selain itu, bentuk
sediaan yang tidak sesuai akan berpengaruh pada kenyamanan penggunaan
obat, tentunya akan berpengaruh pada efektivitas dari obat karena kadar obat
dalam plasma tidak terpenuhi.

Faktor-faktor lain.

1. Rute pemberian.
Kecepatan absorbsi obat dipengaruhi oleh rute pemberian. Obat yang tidak stabil
pada saluran pencernaan atau obat yang mengalami first pass metabolism tidak
tepat untuk digunakan secara peroral. Pemberian secara intravena merupakan rute
pemberianyang paling cepat untuk mengantarkan obat kedalam system sirkulasi dan
juga lebih cepat tereliminasi sehingga pemberian harus diberikan secara intensif.
Jika obat cepat terdistribusi maka konsentrasi pada plasma lebih cepat tercapai juga
sehingga efek yang ditimbulkan lebih cepat. Dan dapat dipastikan bahwa respon
terapi juga cepat tercapai.
2. Bentuk sediaan obat
Bentuk sediaan obat lebih terkait dengan proses absorbsi, dimana jika suatu obat
lebih cepat terabsorbsi maka efek yang ditimbulkan lebih cepat. Misalnya obat yang
diberikan secara i.v akan lebih cepat berefek daripda diberikan secara oral.
3. Pharmacogenetics
Perbedaan genetik antara orany yang satu dengan orang yang lain menyebabkan
adanya perbedaan fungsi fisiologis tiap orang. Secara tidak langsung hal itu akan
berpengaruh pada respon terapi dan toksisitas. Dengan adanya perbedaan genetik
pada masing-masing ras menyebabkan perbedaan fungsi fisiologis dari tubuh.
Misalnya orang-orang indonesia lambungnya lebih tahan asam daripada orang-orang
jepang, sehingga obat-obat yang bersifat asam lebih mudah terabsorbsi pada orang
jepang dari pada orang indonesia.
4. Interaksi obat.
Jika diberikan lebih dari satu obat maka ada kemungkinan atau menurunkan
efektifitas dari obat yang lain. Misalnya pemberian warfarin dengan fenobarbital
secara bersamaan, dimana metabolit dari warfarin bersifat kurang aktif dan proses
metabolisme ini terjadi pada sitokrom P-450. Sedangkan fenobarbital merupakan
induktor enzim metabolisme pada sitokrom P-450. Hal ini akan menyebabkan
metabolit yang kurang aktif dari warfarin akan lebih cepat terbentuk sehingga
menjadi kurang efektif.
5. Biaya.
Faktor biaya juga harus dipertimbangkan dalam pemilihn obat untuk pasien. Jangan
sampai pasien menjadi sangat terbebani oleh biaya obat saja, karena harus
dipikirkan selain obat pasien juga masih harus mengeluarkan biaya dokter, terapi
non-obat dll.
DAFTAR PUSTAKA

Shargel,leon.dkk.2012.biofarmasetika dan farmakokinetika terapan edisi v. Jakarta :


airlangga universiti press

You might also like