You are on page 1of 20

LAPORAN TUTORIAL

BLOK ILMU THT


“SKENARIO 2”

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 1

Tutor:
Warda Elmaida R, dr., M.Ked.Trop

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2018
SKENARIO 2

Ibu bersama anak laki-laki 8 tahun datang ke dokter dengan keluhan telinga kanan terasa ada
air dan pendengaran berkurang 1 bulan. Tidur mendengkur keras dan saat tidur sering
terbangun.

KATA KUNCI

1. Telinga kanan terasa ada air


2. Pendengaran berkurang 1 bulan
3. Tidur mendengkur keras
4. Saat tidur sering terbangun

RUMUSAN MASALAH

1. Apa penyebab keluhan telinga kanan terasa ada air?


2. Apa hubungan telinga kanan terasa ada air dengan pendengaran berkurang?
3. Kenapa pasien mendengkur keras?
4. Apa saja differential diagnosis dari skenario?
5. Apa kemungkinan penyebab pasien sering terbangun pada saat tidur?
6. Apa hubungan usia dengan keluhan?

JAWABAN RUMUSAN MASALAH

1. Terjadi sumbatan tuba eustasius sehingga terasa seperti ada cairan di telinga yang tidak
bisa keluar. Telinga media yang mengalami infeksi yang menyebabkan adanya skeret yang
bersifat mukoid/purulen.
2. Ada hubungan. Karena terganggunya fungsi tuba eustasius terutama fungsi ventilasinya.
3. Terjadi pembesaran pada adenoid sehingga tuba eustasius terganggu dan mengganggu
nafas. Karena saat tidur, otot-otot mengalami rileks sehingga mengakibatkan tidur dengan
mulut terbuka yang menyebabkan lidah menutupi saluran nafas.
4. Otitis media serosa
Adeno tonsilitis
Obstructive sleep apnea
Ca adenoid
Hipertrofi tonsil
Hipertrofi adenoid
Adenoid face
5. Karena adanya obstructive sleep apnea yang menyebabkan turunnya kadar oksigen.
Karena oksigen di otak menurun, menyebabkan kita terbagun.
6. Pada pasien anak-anak, tuba eustasius nya masih kecil dan belum sempurna sehingga jika
ada pembesaran adenoid ataupun ada infeksi, akan sangat rentan terjadi gangguan pada
tuba eustasius tersebut, dimana jika terjadi gangguan akan menyebabkan sumbatan udara
dan obstruksi jalan nafas.

HIPOTESIS

Diduga dari keluhan pasien tersebut dikarenakan adanya gangguan adenoid yang ditandai
dengan keluhan pendengaran dan keluhan mendengkur.
MINDMAPPING

Laki-laki 8 tahun

Mendengkur Gangguan
pendengaran

Terasa ada air

 Obstructive sleep  Adeno tonsilitis  Otitis media


apnea  Ca adenoid serosa
 Adenoid face  Hipertrofi tonsil
 Hipertrofi adenoid

Pemeriksaan fisik
dan penunjang

Ciri khusus

Tatalaksana

Monitoring dan
edukasi
LEARNING OBJECTIVE

1. Mampu mengetahui dan menjelaskan mengenai otitis media serosa


2. Mampu mengetahui dan menjelaskan mengenai adeno tonsilitis
3. Mampu mengetahui dan menjelaskan mengenai obstructive sleep apnea
4. Mampu mengetahui dan menjelaskan mengenai Ca adenoid
5. Mampu mengetahui dan menjelaskan mengenai hipertrofi tonsil
6. Mampu mengetahui dan menjelaskan mengenai hipertrofi adenoid
7. Mampu mengetahui dan menjelaskan mengenai adenoid face

JAWABAN LEARNING OBJECTIVE

1. Mampu mengetahui dan menjelaskan mengenai otitis media serosa

Definisi

Otitis media efusi (OME) adalah suatu proses inflamasi mukosa telinga tengah yang
ditandai dengan adanya cairan non-purulen di telinga tengah tanpa tanda infeksi akut. Sekret
dapat berupa serous atau mukoid yang menetap selama 3 bulan atau lebih. Proses tersebut dapat
berlangsung akut, subakut atau kronis. Nama lain penyakit ini antara lain glue ear, allergic
otitis media, mucoid ear, otitis media sekretoria, otitis media non-supuratif, dan otitis media
serosa.

Etiologi

Etiologi OME bersifat multipel. OME terjadi karena interaksi berbagai faktor host,
alergi, faktor lingkungan, dan disfungsi tuba Eustachius. Tekanan telinga tengah negatif,
abnormalitias imunologi, atau kombinasi kedua faktor tersebut diperkirakan menjadi
faktor utama. Faktor penyebab lain adalah hipertrofi adenoid, adenoiditis kronik, palatoskisis,
barotrauma, dan radang penyerta seperti sinusitis atau rinitis

Manifestasi klinis

o Telinga terasa penuh


o Ada cairan
o Penurunan pendengaran

Patfis
Teori klasik menjelaskan disfungsi persisten tuba Eustachius (TE). Fungsi TE adalah
sebagai ventilasi, proteksi, dan drainase. Fungsi ventilasi untuk menyeimbangkan tekanan
udara telinga tengah sama dengan tekanan udara luar. Fungsi proteksi untuk perlindungan
telinga tengah terhadap tekanan dan sekret nasofaring. Fungsi drainase untuk mengalirkan
produksi sekret dari telinga tengah ke nasofaring. TE tidak hanya tabung melainkan sebuah
organ yang mengandung lumen dengan mukosa, kartilago, dikelilingi jaringan lunak, musculus
tensor veli palatine, levator veli palatine, salpingofaringeus, dan tensor timpani. Tuba terdiri
atas tulang rawan pada 2/3 ke arah nasofaring dan sepertiganya terdiri atas tulang. Panjang tuba
pada anak 17,5 mm, lebih pendek, lebih lebar, dan lebih horizontal daripada TE dewasa.
Anatomi tuba pada anak inilah yang mengakibatkan sekret dari nasofaring dapat lebih mudah
refluks ke dalam telinga tengah melalui TE

Disfungsi TE bisa terjadi karena upper respiratory tract infection (URTI), trauma,
obstruksi mekanis, atau alergi yang mengakibatkan inflamasi. Jika disfungsi tuba persisten,
akan terbentuk tekanan negatif dalam telinga tengah akibat absorpsi dan/ atau difusi nitrogen
dan oksigen ke dalam sel mukosa telinga tengah. Selanjutnya sel mukosa akan menghasilkan
transudasi, kemudian akan terjadi akumulasi cairan serous, berupa efusi steril sehingga terjadi
OME. Jika disfungsi tuba Eustachius berlanjut, efusi menjadi media ideal untuk tumbuhnya
bakteri, sehingga OME berubah menjadi OMA. Beberapa ahli mengoreksi teori ini karena
ditemukan patogen pada OME, sama seperti pada kasus OMA. Dari 62 kasus OME yang diteliti
terdapat 28 kasus dengan kultur positif. Bakteri yang sering ditemukan antara lain S.
pneumoniae, M. catarrhalis, dan H. influenzae, semuanya mampu membentuk biofilm. Biofilm
adalah kumpulan sel mikroorganisme, khususnya bakteri yang menempel pada permukaan
mukosa dan memproduksi struktur tiga dimensi yang ditutupi matriks eksopolisakarida.
Biofilm ini mengakibatkan resistensi terhadap azitromisin dan terjadinya OME persisten
karena mencegah penetrasi obat. Terdapat 9% kasus telinga sehat dengan biofilm dan
semuanya tidak bergejala klinis. Cairan efusi tidak steril

Diagnosis Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Anamnesis

Anak mengeluh pendengaran berkurang, biasanya ringan dan bisa dideteksi dengan
audiogram. Selain itu, anak juga mengeluh rasa tersumbat pada telinga atau suara sendiri
terdengar lebih nyaring atau berbeda (diplacusis binauralis) pada telinga yang sakit. Otalgia
sering ringan. Pada anak balita, gejala sulit dikenali, tetapi timbul gangguan bicara dan bahasa
karena pendengaran berkurang, kadang orang tua mengeluh anaknya berbicara dengan suara
keras dan tidak respons saat dipanggil. Kadang tidak ada gejala pada anak. Temuan lain yaitu
adanya riwayat bepergian dengan pesawat, diving, atau riwayat alergi.

Otoskopi

Pada pemeriksaan otoskopi terlihat membran timpani suram dan retraksi, kadang
kekuningan, atau efusi kebiruan

Otoskopi Pneumatik

Pemeriksaan ini menunjukkan membran timpani retraksi atau bombans dengan


mobilitas menurun. Sensitivitas pneumatik otoskopi adalah 94% dan spesifisitasnya 80%;
merupakan metode diagnosis primer dan untuk membedakan OME dari OMA. Otoskopi
pneumatik dilakukan sebelum timpanometri.

Audiometri Nada Murni


Pada pemeriksaan ini didapatkan tuli konduksi ringan sampai sedang. Tuli konduksi
bilateral persisten lebih dari 25 dB dapat mengganggu perkembangan intelektual dan
kemampuan berbicara anak.

Timpanometri

Timpanometri memberikan penilaian objektif mobilitas membran timpani, fungsi TE,


dan fungsi telinga tengah dengan mengukur jumlah energi suara yang dipantulkan kembali oleh
probe kecil yang ditempatkan pada liang telinga. Prosedur ini tidak nyeri, relatif
sederhana, dan dapat dilakukan dengan portable screening unit. Hasil pemeriksaan
timpanometri disebut timpanogram. Timpanometri digunakan untuk mengkonfirmasi
diagnosis OME. Pada timpanogram didapatkan hasil tipe B atau C. Tipe ini menunjukkan
gerakan membran timpani terbatas karena adanya cairan atau perlekatan dalam kavum timpani.
Sensitivitas dan spesifisitas timpanometri cukup tinggi (sensitivitas 94%, spesifisitas
50-70%) jika dibandingkan dengan miringotomi

Tatalaksana

Anti-histamin/ dekongestan

Pada berbagai percobaan klinis, efikasi anti-histamin/dekongestan tidak dapat


dibuktikan.

Kortikosteroid

Secara teori, kortikosteroid bermanfaat untuk pengobatan OME. Mekanisme anti-


inflamasi terjadi karena penghambatan fosfolipase A2, yang kemudian menghambat
pembentukan asam arakidonat, sehingga menghambat sintesis mediator inflamasi, peningkatan
regulasi ion natrium transepitelial, menyebabkan pengosongan cairan dari telinga tengah dan
menekan produksi musin dengan cara menekan musin5ac (MUC5AC).Bukti ilmiah perbaikan
jangka pendek penggunaan kortikosteroid intranasal masih terbatas.Clinical practice guideline
dari American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery tidak merekomendasikan
penggunaan kortikosteroid oral ataupun intranasal.27 Metaanalisis menunjukkan tidak ada
manfaat steroid oral dalam 2 minggu, tetapi steroid oral dengan antimikroba lebih bermanfaat
jangka pendek dibandingkan antimikroba saja; setelah beberapa minggu perbedaan manfaat
tidak signifikan. Outcome setelah 12 minggu penggunaan kortikosteroid intranasal plus
antibiotik ekuivalen dengan pemberian antibiotik saja. Antibiotik Banyaknya studi yang
menunjukkan bakteri pada cairan efusi, menyebabkan amoksisilin dipergunakan sebagai
antibiotik lini pertama. Mendel, et al, melaporkan pada 518 pasien anak dengan OME,
penyembuhan dengan amoksilin dengan atau tanpa kombinasi antihistamin dekongestan 2 kali
lebih tinggi dibandingkan plasebo. Namun, antibiotik rutin tidak dianjurkan karena risiko
resistensi. Penggunaan antibiotik jangka panjang dengan atau tanpa kortikosteroid tidak
terbukti efektif untuk OME

Miringotomi

Miringotomi (timpanostomi) – pemasangan pipa ventilasi untuk evakuasi cairan dari


dalam telinga tengah. Tujuannya adalah menghilangkan cairan di telinga tengah, mengatasi
gangguan pendengaran, mencegah kekambuhan, mencegah gangguan perkembangan kognitif,
bicara, bahasa, dan psikososial.

Adenoidektomi

Adenoidektomi dengan pemasangan miringotomi pipa ventilasi direkomendasikan


pada anak usia 4 tahun atau lebih. Untuk anak usia di bawah 4 tahun, adenoidektomi
dilakukan jika terdapat hipertrofi adenoid yang menimbulkan keluhan hidung buntu
dan adenoiditis kronik. Pasien OME usia 2-11 tahun yang menjalani adenoidektomi
atau miringotomi dengan pemasangan pipa ventilasi hasilnya lebih baik daripada tanpa
pipa.

Edukasi dan Monitoring

Pengobatan OME masih menjadi perdebatan karena cara konservatif ataupun operatif
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Harus diteliti adanya faktor risiko
yang akan menjadi predisposisi sekuele atau memprediksi OME persisten. Observasi ketat
sangat dianjurkan untuk anak-anak dengan faktor risiko di atas. Tes pendengaran disarankan
jika OME menetap selama 3 bulan atau lebih. Pada anak-anak tanpa risiko, disarankan evaluasi
setiap 3-6 bulan sampai efusi terserap, teridentifikasinya struktur membran timpani abnormal,
gangguan pendengaran, bicara, dan bahasa (Rimelda,2017).

2. Mampu mengetahui dan menjelaskan mengenai adeno tonsilitis

Definisi dan Etiologi


Adenotonsilitis kronis adalah radang kronis pada tonsila palatina dan adenoid.
Pembesaran dari tonsil bisa menyebabkan tidur ngorok, nafas melalui mulut, gangguan tidur,
dan sleep apnoe syndrom, selama pasien berhenti bernafas dan pasokan oksigen dalam darah
berkurang, tonsilektomi bisa menjadi pengobatan. Adenotonsilitis kronis merupakan infeksi
yang menetap atau berulang dari tonsil dan adenoid. Ciri khas dari adenotonsilitis kronis adalah
kegagalan dari terapi dengan antibiotik. Adenoid merupakan kumpulan jaringan limfoid
sepanjang dinding posterior nasofaring diatas batas palatum mole (Mansjoer, 2009)

Penyebab yang tersering pada adenotonsilitis kronis adalah bakteri Streptococcus ß


hemoliticus grupA, selain karena bakteri tonsilitisdapat disebabkan oleh virus. Kadang-kadang
tonsillitis dapat disebabkan oleh bakteri seperti spirochaeta, dan Treponema Vincent. Gejala
adenotonsilitis adalah sering sakit menelan, hidung tersumbat sehingga nafas lewat mulut, tidur
sering mendengkur karena nafas lewat mulut sedangkan otot-otot relaksasi sehingga udara
menggetarkan dinding saluran nafas dan uvula, sleep apnea symptoms, dan maloklusi
(Mansjoer, 2009).

Patofisiologi

Adenoid merupakan kumpulan jaringan limfoid di sepanjang dinding posterior dan


nasofaring, fungsi utama dari adenoid adalah sebagai pertahanan tubuh, dalam hal ini apabila
terjadi invasi bakteri melalui hidung yang menuju ke nasofaring, maka sering terjadi invasi
sistem pertahanannya berupa sel-sel leucosit. Apabila sering terjadi invasi kuman maka
adenoid semakin lama akan membesar karena sebagai kompensasi bagian atas maka dapat
terjadi hiperplasi adenoid, akibat dari hiperplasi ini akan timbul sumbatan koana dan sumbatan
tuba eustachius (Supardi, 2007).

Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai peranan yang penting sebagai organ yang
khusus dalam respon imun humoral maupun selular, seperti pada bagian epithelium kripte,
folikel limfoid dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu hipertropi dari jaringan merupakan
respon terhadap kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen. Adenoid
dapat membesar seukuran bola pingpong, yang mengakibatkan tersumbatnya jalan udara yang
melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha yang keras untuk bernapas, sebagai
akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang terbuka. Adenoid juga dapat menyebabkan
obstruksi pada jalan udara pada nasal sehingga mempengaruhi suara. Pembesaran adenoid
dapat menyebabkan obstruksi pada tuba Eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduksi
karena adanya cairan dalam telinga tengah akibat tuba Eustachius yang tidak bekerja efisien
karena adanya sumbatan, hiperplasia adenoid juga akan menimbulkan gangguan tidur, tidur
ngorok, dan pertumbuhan fisik berkurang (Supardi, 2007).

Pemeriksaan fisik dan penunjang

1. Pemeriksaan Rinoskopi anterior : untuk melihat tertahannya gerakan palatum mole


pada waktu fonasi.
2. Pemeriksaan Rinoskopi Posterior
3. Pemeriksaan radiologi x-foto soft tissue nasofaring radio adenoid, untuk melihat
adanya pembesaran pada adenoid
4. Pemeriksaan ASTO.

Tatalaksana

1. Medikamentosa

Penatalaksanaan adenonsilitis kronis meliputi terapi medikamentosa. Terapi ini


ditujukan untuk mengatasi hygiene mulut yang buruk dengan cara berkumur ataupun
pemberian antibiotik. Antibiotik jenis penisilin masih merupakan pilihan pada sebagian besar
kasus. Pada kasus yang berulang akan meningkatkan terjadinya perubahan bakteriologi
sehingga perlu diberikan antibiotik alternative selain jenis penisilin. Untuk bakteri penghasil β
laktamase perlu antibiotik yang stabil terhadap enzim ini seperti amoksisilin clavulanat
(Mansjoer, 2009).

2. Pembedahan

Terapi pembedahan pada adenotonsillitis kronis dilakukan bila terapi konservatif gagal.
Tindakan pembedahan ini dikenal dengan tonsiloadenoidektomi. Tonsiloadenoidektomi
dengan indikasi obstruksi seperti OSA, gangguan pertumbuhan dan gangguan menelan.
Indikasi infeksi antara lain seperti adenotonsilitis kronis, adanya otitis media efusi, otitis media
supuratif kronik, sinusitis kronik, penyakit katup jantung dan halitosis. Indikasi
tonsiloadenoidektomi pada neoplasia yaitu kecurigaan tumor baik jinak maupun ganas
(Mansjoer, 2009)

Edukasi dan monitoring

Yang perlu di edukasi dan monitoring dari adeno tonsillitis adalah Gejala dan tanda
yang dapat terjadi di adeno tonsilitis seperti panas, terutama panas yang disertai pilek dan
batuk, sering sakit kepala, tenggorok terasa mengganjal, tenggorok sering merasa berdahak,
suara sengau, ngorok, gangguan napas terutama waktu tidur terlentang. Begitu halnya dengan
antibiotic yang diberikan kepada pasien, apabila antibiotic dirasakurang untuk memberikan
efek, maka dapat diganti dengan antibiotic golongan yang lain. Beserta keadaan dari adenoid
dan tonsil apakah tetap membesar atau membaik keadaannya (Supardi, 2007).

3. Mampu mengetahui dan menjelaskan mengenai obstructive sleep apnea

Definisi

Obstructive sleep apnea (OSA) adalah suatu keadaan dimana terjadi obstruksi jalan
napas atas secara periodik selama tidur yang menyebabkan napas berhenti secara intermiten,
baik komplit (apnea) atau parsial (hipopnea). Apnea adalah henti napas selama 10 detik atau
lebih, bisa berupa apnea sentral atau apnea obstruktif. Hiponea adalah sumbatan parsial saluran
napas atas yang disertai pengurangan aliran udara 30-50% dan desaturasi oksigen minimal 3%
diikuti arousal selama minimal 10 detik. Kejadian apnea atau hipopnea biasanya durasinya
lebih lama dan desaturasi oksigen lebih berat pada tidur stadium REM dan posisi telentang
(Tedjasukmana, 2014).
Menurut American Academy of Sleep Medicine (2014) secara klinis OSA didefinisikan
sebagai berulangnya mengantuk berlebihan disiang hari, mendengkur, saksi mata yang melihat
adanya gangguan nafas, terbangun karena terengah – engah atau tersedak yang terjadi paling
sedikit 5 kejadian osbtruksi nafas (apnea, hiponea atau usaha nafas saat bangun) per jam selama
tidur. Adanya > 15 kali kejadian obstruksi nafas per jam selama tidur tanpa disertai gejala klinis
terkait sudah cukup untuk mendiagnosa OSA, terkait adanya hubungan tingkat obstruksi. Pada
OSA yang terjadi adalah penghentian airan udara namun usaha napas tetap ada, sedangkan
henti napas sentral (CSA) adalah penghentian aliran udara dan usaha napas secara bersamaan
(Tedjasukmana, 2014).

Patofisiologi

Kebanyakan penelitian telah menunjukkan bahwa luas penampang saluran napas faring
lebih kecil pada pasien dengan OSA dibandingkan dengan subjek normal, penyempitan jalan
nafas telah ditunjukkan terutama di regio retropalatal. Pengurangan ukuran dari saluran napas
faring pada pasien dengan OSA dibandingkan orang normal secara sekunder menyebabkan
pembesaran jaringan lunak sekitarnya atau pengurangan atau perubahan struktur kraniofasial.
Studi sefalometrik menunjukkan pengurangan panjang mandibula (yaitu, retrognatia), tulang
hyoid yang diposisikan inferior, dan retroposisi maxilla pada pasien dengan OSA dibandingkan
dengan subyek normal. Pengurangan panjang mandibula, khususnya, telah terbukti menjadi
faktor resiko penting untuk obstructive sleep apneu. Selain perbedaan kraniofasial, pembesaran
struktur jaringan lunak saluran napas atas (lidah, dinding faring lateral, palatum molle, bantalan
lemak parafaringeal) juga telah ditunjukkan pada pasien dengan OSA dibandingkan orang
normal (Schwab et al, 2011).
Beberapa penjelasan yang mungkin untuk pembesaran struktur jaringan lunak saluran
napas atas pada pasien OSA termasuk edema, berat badan, cedera otot, jenis kelamin, dan
faktor genetic (Schwab et al, 2011).

Pemeriksaan fisik dan penunjang

Kriteria diagnosis OSA didasarkan pada gejala klinis yang ditemukan pada evaluasi
tidur yang komprehensif, termasuk riwayat penyakit yang dihubungkan dengan tidur,
pemeriksaan fisik dan sleep testing

Anamnesis

Gejala OSA umumnya dimulai diam-diam dan sering muncul selama bertahun-tahun
sebelum pasien dirujuk untuk evaluasi. Gejala nokturnal dapat meliputi: mendengkur, biasanya
keras, menjadi kebiasaan (habitual), dan mengganggu orang lain; apnea nyata; sensasi
terengah-engah dan tersedak yang membuat pasien bangun dari tidur, meskipun dalam proporsi
yang sangat rendah dibandingkan dengan jumlah apnea yang mereka mengalami; nokturia;
insomnia, gelisah saat tidur. Gejala siang mungkin dapat meliputi: tidur yang tidak
menyegarkan, sakit kepala pagi hari, sakit tenggorokan atau tenggorokan kering, mengantuk
berlebihan di siang hari (Excessive Daytime Sleppiness / EDS), kelelahan / keletihan siang
hari, defisit kognitif; memori dan gangguan intelektual (memori jangka pendek, konsentrasi),
penurunan kewaspadaan, kebingungan di pagi hari, perubahan kepribadian dan perubahan
mood, termasuk depresi dan kecemasan, disfungsi seksual, termasuk impotensi dan libido
menurun, gastroesophageal reflux, hipertensi, depresi (Tedjasukmana, 2014).

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik umum seringkali normal pada pasien dengan OSA, selain adanya
obesitas, pembesaran lingkar leher, dan hipertensi. Lakukan evaluasi saluran napas bagian atas
pada semua pasien, tetapi terutama pada orang dewasa nonobese dengan gejala yang sejalan
dengan OSA. Temuan pemeriksaan fisik yang mungkin adalah sebagai berikut :
 Obesitas - indeks massa tubuh (BMI) lebih dari 30 kg / m2
 Lingkar leher yang besar - Lebih dari 43 cm (17 inch) pada pria dan 37 cm (15
inch) pada wanita. Lingkar leher 40 cm atau lebih memiliki sensitivitas 61% dan spesifisitas
93% untuk OSA, terlepas dari jenis kelaminnya
 Skor Mallampati abnormal (meningkat)
 Penyempitan dinding saluran napas lateral, yang merupakan prediktor
independen dari adanya OSA pada pria tapi tidak pada wanita
 Tonsil yang membesar
 Retrognatia atau mikrognathia
 Langit-langit keras(palatum durum) melengkung tinggi
 Hipertensi arteri sistemik, muncul pada sekitar 50% dari pasien dengan OSA
 Gagal jantung kongestif (CHF)
 Hipertensi pulmonal
 Pemeriksaan penunjang
 Pencitraan / Imaging
 Tes fungsi paru—Pulmonary Function Test (PFT)
 Tes laboratorium
 Polisomnografi (PSG)

Tatalaksana

Secara umum terapi untuk mengatasi gangguan tidur pada OSA dapat dibagi menjadi
3 bagian, yaitu intervensi bedah : pembedahan hidung; bedah plastik untuk palatum, uvula dan
faring; trakeostomi; perubahan gaya hidup : menurunkan berat badan; menghindari alkohol dan
obat-obatan pembantu untuk tidur; menghindari kelelahan yang sangat dan mengkonsumsi
kafein; penggunaan alat-alat buatan : alat untuk mereposisi rahang dan mempertahankan posisi
lidah, cervical collars atau bantal, CPAP (Antariksa dkk, 2010).
4. Mampu mengetahui dan menjelaskan mengenai Ca adenoid
(DENOD)
5. Mampu mengetahui dan menjelaskan mengenai hipertrofi tonsil
(RAFIQA)
6. Mampu mengetahui dan menjelaskan mengenai hipertrofi adenoid

Hipertrofi Adenoid
Adenoid merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid pada dinding
posterior nasofaring di atas batas palatum molle dan termasuk dalam cincin waldeyer.
Secara fisiologik pada anak-anak, adenoid dan tonsil mengalami hipertrofi.
Adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian mengecil dan menghilang
sama sekali pada usia 14 tahun (Rusmarjono, 2004).
Apabila sering terjadi infeksi pada saluran napas bagian atas, maka dapat terjadi
hipertrofi adenoid yang akan mengabatkan sumbatan pada koana, sumbatan tuba
eustachius serta gejala umum. Gejala umum yang ditemukan pada hipertrofi adenoid yaitu
gangguan tidur, tidur ngorok/mendengkur, retardasi mental dan pertumbuhan fisis kurang
dan dapat menyebabkan sumbatan pada jalan napas bagian atas yang dapat mencetuskan
kor pulmonale dimana sukar disembuhkan dengan penggunaan diuretik tetapi
memberikan respon yang cepat terhadap adenoidektomi. Biasanya asimptomatik, namun
jika cukup membesar akan menyebabkan gejala. Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada
anak yang mengalami infeksi kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas atau ISPA
(Rusmarjono, 2004).

Patogenesis
Pada balita jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada anak
berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid
(pharyngeal tonsil) merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang
memfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai
peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun selular,
seperti pada bagian epithelium kripte, folikel limfoid dan bagian ekstrafolikuler.
Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respons terhadap kolonisasi
dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen (Ballenger, 1994).
Adenoid dapat membesar seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan
tersumbatnya jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha yang
keras untuk bernapas sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang terbuka.
Adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada nasal sehingga
mempengaruhi suara. Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada tuba
eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan dalam telinga
tengah akibat tuba eustachius yang tidak bekerja efisien karena adanya sumbatan
(Ballenger, 1994).

Manifestasi Klinis
Pembesaran adenoid dapat menimbulkan beberapa gangguan sebagai berikut
ini (Rusmarjono, 2004 dan Hultcrantz E,2007) :
a. Obstruksi nasi oleh karena adenoid menyumbat parsial atau total
respirasi hidung sehingga terjadi ngorok, percakapan hiponasal, dan membuat
anak-anak akan terus bernafas melalui mulut. Bernafas melalui mulut
juga menyebabkan udara pernafasan tidak disaring dan kelembabannya
kurang, sehinnga mudah terjadi infeksi saluran pernafasan bagian bawah.
b. Secara umum telah diketahui bahwa anak dengan pembesaran adenoid
mempunyai tampak muka yang karakteristik yang disebut facies adenoid
yang berupa mulut yang terbuka, gigi atas yang prominen dan bibir atas yang
pendek (namun sering juga muncul pada anak-anak yang minum susu dengan
menghisap dari botol dalam jangka panjang), hidung yang kecil, maksila
tidak berkembang/hipoplastik, sudut alveolar atas lebih sempit, arkus palatum
lebih tinggi
c. Pada sumbatan, tuba eustachius akan terjadi otitis media serosa baik rekuren
maupun otitis medis akut residif, otitis media kronik dan terjadi tuli
konduktif. Obstruksi ini juga menyebabkan perbedaan dalam kualitas
suara.
d. Sleep apnea pada anakyang berupa adanhya episode apnea pada saat tidur dan
hipersomnolen pada siang hari. Sering juga disertai dengan hipoksemia dan
bradikardi. Episode apnea dapat terjadi akibat adanya obstruksi sentral atau
campuran.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinik, pemeriksaan
rhinoskopi anterior dan melihat tertahannya gerakan velum palatum mole pada waktu
fonasi, pemeriksaan rhinoskopi posterior (pada anak biasanya sulit), pemeriksaan digital
untuk meraba adanya adenoid dan pemeriksaan radiologik untuk membuat foto lateral
kepala (pemeriksaan ini lebih sering digunakan pada anak) (Soepardi, 2012).

Tatalaksana
Pada hipertrofi adenoid dilakukan terapi bedah adnoidektomi dengan cara
kuretase memakai adenotom (Soepardi, 2012).
Indikasi adnoidektomi (Soepardi, 2012) :
1. Sumbatan
a. Sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas melalui mulut
b. Sleep apnea
c. Gangguan menelan
d. Gangguan berbicara
e. Adenoid face
2. Infeksi
a. Adenoiditis berulang/kronik
b. Otitis media efusi berulang/kronik
c. Otitis media akut berulang
3. Kecurigaan neoplasma jinak/ganas.

7. Mampu mengetahui dan menjelaskan mengenai adenoid face

Adenoid Face

Adalah wajah yang khas untuk anak yang mengalami hipertrofi adenoid, yaitu seperti
mulutnya selalu terbuka, langit-langit mulut tumbuh cekung ke atas, dan gigi rahang atas maju
kedepan. Akibat mulut selalu terbuka maka kuman sangat mudah masuk dan menginfeksi (Sakina,
2015).

Pemeriksaan fisik

 Rinoscopy anterior (Rusmarjono, 2004).

Pemeriksaan penunjang

 Radiologi : terlihat perbesaran adenoid


 Endoskopi : terlihat ukuran adenoid secara langsung (Rusmarjono, 2004).
Patofisiologi

Tatalaksana
Operasi adenoidektomi
Terdapat dua cara :
a) Eksisi melalui mulut
Adenoid di keluarkan melalui mulut setelah mulut dibuka dengan
menggunakan suatu alat dan menarik langit-langit mulut. Suatu cermin digunakan
untuk melihat adenoid karena adenoid terletak pada rongga hidung bagian
belakang melalui pendekatan ini beberapa instrumen dapat dimasukkan. Cold
Surgical Techniques (Joseph GD, 2005) :
 Curette adenoid : Alat adenoid currete mempunyai sisi yang tajam dan
bengkok. Untuk mengangkat adenoid digunakan mata pisau yang tajam
setelah terlebih dahulu memposisikan nasofaring. Perdarahan dapat
dikontrol dengan elektrocauter.
 Adenoid Punch : Penekanan pada adenoid dengan menggunakan satu
instrumen bengkok yang mempunyai celah dan ditempatkan di atas
adenoid kumudian celah itu ditutup dan pisau bedah mengangkat adenoid.
 Magill Forceps : Adalah suatu instnunen yang berbentuk bengkok yang
digunakan untuk mencabut jaringan sisa pada adenoid.
 Elektrocauter dengan suction bovie : Teknik kedua dengan menggunakan
elektrocauter dengan suatu suction bovie yang berfungsi untuk mencabut
jaringan adenoid.
 Surgical microdebrider
b) Eksisi melalui Hidung
Alat yang digunakan mikrodebrider. Dengan prosedur ini, jika terjadi
perdarahan dikontrol dengan menggunakan cauter suction (Joseph GD, 2005).
Daftar Pustaka

Ballenger JJ. 1994. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 13th ed. Alih
bahasa: staf Ahli Bagian THT RSCM-FKUI Indonesia. Jakarta: Binarupa Aksara.
Hultcrantz E. 2007. Surgical treatment of children with obstructive sleep apnea. In: Onerci
Joseph GD, Wohl DL. 2005. Complication in Pediatric Otolaryngology. London: Taylor& francis
Group.

M, Kountakis SE, editors. Rhinologic and sleep apnea surgical techniques. Berlin:
Springer.
Rusmarjono. 2004. Penyakit Serta Kelainan Pada Faring dan Tonsil. Dalam: Efiaty AS;
Iskandar, Nurbaiti, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok
Kepala Leher. 5th ed: Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Rusmarjono. 2004. Penyakit serta kelainan pada faring dan tonsil. In: Efiaty AS; Iskandar, Nurbaiti,
editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-tenggorok kepala leher. 5th ed: Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
Sakina. 2015. Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Operasi Amandel”. SS MEDIKA

Soepardi,dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher. Edisi ke-7:Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

You might also like