You are on page 1of 42

1

PEMANFAATAN KITOSAN UNTUK PENGENDALIAN


PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum sp.) PADA CABAI
(Capsicum annuum L.)

ANDI PRASETYO

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
2
3

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER


INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanfaatan Kitosan


Untuk Pengendalian Penyakit Antraknosa (Colletotrichum sp.) pada Cabai
(Capsicum annum L.) adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2017

Andi Prasetyo
NIM A34120072
4
5

ABSTRAK

ANDI PRASETYO. Pemanfaatan Kitosan Untuk Pengendalian Penyakit


Antraknosa (Colletotrichum sp.) pada Cabai (Capsicum annum L.). Dibimbing
oleh WIDODO.

Penyakit antraknosa merupakan salah satu penyakit penting pada


pertanaman cabai yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp. Tanaman
cabai yang terserang menimbulkan gejala pada buah cabai muda hingga buah
cabai yang siap panen. Kitosan yang berasal dari limbah cangkang hewan
Crustaceae diketahui dapat menjadi fungisida alami. Mekanisme kitosan dalam
menginduksi sistem ketahanan tanaman sangat berhubungan dengan respon
enzimatis. Enzim-enzim berperan penting dalam ketahanan tanaman dan
menghambat proses serangan dari patogen. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengetahui potensi kitosan sebagai alternatif fungisida sintetik dalam menekan
insidensi dan keparahan penyakit antraknosa pada tanaman cabai. Percobaan di
lapangan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan dan
3 ulangan. Kitosan dengan konsentrasi 1% diaplikasikan dengan metode
penyemprotan pada daun (KS) dan penyiraman pada tanah (KK) pada saat 4, 6,
dan 8 minggu setelah tanam (MST). Adapun peubah yang diamati meliputi
perkecambahan benih, tinggi tanaman, jumlah daun tanaman, dan kejadian serta
intensitas penyakit antraknosa. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa seluruh
perlakuan berpotensi dalam meningkatkan perkecambahan benih, tinggi tanaman,
dan jumlah daun, serta menekan insidensi dan keparahan penyakit antraknosa.
Perlakuan kitosan dan konvensional yang menggunakan fungisida sintetik
memiliki kemampuan yang sama dalam menekan insidensi penyakit antraknosa
dan perlakuan kitosan dengan cara penyemprotan pada daun paling baik dalam
menekan intensitas penyakit antraknosa pada cabai di lapangan.

Kata kunci: antraknosa, daya berkecambah benih, induksi ketahanan, intensitas


penyakit
6
7

ABSTRACT

ANDI PRASETYO. Utilization of Chitosan for Controling Anthracnose


(Colletotrichum sp). on Chili (Capsicum annuum L.). Supervised by WIDODO.

Anthracnose is one of the most important diseases on chili pepper caused


by Colletotrichum sp. Plant infected with symptoms from early stage of fruit until
harvesting. Chitosan made of from the waste of crustacea shells is known to be a
natural fungicide. Mechanism of chitosan for induce systemic resistance on the
plant is correlated with enzymatic response. Enzymes have main function for
plant resistance and inhibit process of pathogens attack. The objective of this
research is to determine the potential of chitosan as an alternative of synthetic
fungicide for suppressing the incidence and severity of anthracnose disease on
chili pepper. This experiment used a randomized block design (RBD) with 3
treatments and 3 repetitions. Chitosan with concentration 1% was applied by
using a foliar spray (KS) and soil drench (KK) at 4, 6, and 8 weeks after planting
(WAP).Variables was observed including seed germination, plant height, number
of leaves, incidence and severity of anthracnose disease. The results showed that
all treatments have a potential to improve seed germination, plant height, number
of leaves, and suppress the incidence and severity of anthracnose. Chitosan and
conventional treatments using synthetic fungicide have the same ability to
suppress the incidence of anthracnose disease and chitosan treatment by foliar
spray has good ability to suppress the severity of anthracnose on chili pepper in
the field.

Keywords: anthracnose, disease severity, induce resistance, seed germination


8
9

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2017


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis


dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
10
11

PEMANFAATAN KITOSAN UNTUK PENGENDALIAN


PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum sp.) PADA CABAI
(Capsicum annuum L.)

ANDI PRASETYO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
12
14
15

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
usulan penelitian ini yang berjudul “Pemanfaatan Kitosan Untuk Pengendalian
Penyakit Antraknosa (Colletotrichum sp.) pada Cabai (Capsicum annum L.).”
Penelitian dilakukan di Laboratorium WISH Indonesia dan di lahan percobaan
WISH Indonesia di desa Situgede, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.
Penelitian ini berlangsung mulai bulan April 2016 sampai dengan Oktober 2016.
Rasa cinta dan kasih sayang yang dalam tak lupa penulis ucapkan kepada
ibu, bapak dan seluruh keluarga atas segala dukungan yang diberikan baik secara
moril maupun materil. Rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-sebesarnya
kepada Dr. Ir. Widodo, MS. sebagai dosen pembibing skripsi sekaligus dosen
pembimbing akademik dan Dr. Ir. R Yayi Munara Kusumah, M.Si yang telah
memberikan dukungan moril maupun materil pada penelitian ini, serta pelajaran
hidup selama penulis menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Rasa sayang
dan terima kasih kepada Reyhana Zahra yang telah memberikan semangat serta
menemani penulis selama penelitian hingga penulisan skripsi ini. Tidak lupa
penulis sampaikan terima kasih kepada UKM MAX!! dan teman-teman Proteksi
Tanaman angkatan 49, kontrakan X-18, kontrakan C-15, Kosan Milzam yang
telah menjadi keluarga selama penulis berada di Bogor.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian tugas akhir
ini. Semoga kritik dan saran yang disampaikan kepada penulis dapat memperbaiki
penelitian tugas akhir ini, serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
kepada penulis dan pembaca.

Bogor, Juni 2017

Andi Prasetyo
16
17

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
BAHAN DAN METODE 3
Waktu dan Tempat 3
Bahan dan Alat 3
Metode Penelitian 3
Penyiapan Larutan Kitosan 3
Perlakuan 3
Penyemaian 3
Penanaman 4
Peubah Pengamatan 4
Pengamatan Kejadian dan Intensitas Penyakit 4
Analisis Data 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
Pengaruh Kitosan terhadap Perkecambahan dan Karakter Agronomi di
Persemaian 5
Pengaruh Kitosan terhadap Karakter Agronomi di Lapangan 6
Kejadian dan Intensitan Penyakit Antraknosa 7
Pembahasan Umum 9
SIMPULAN DAN SARAN 12
DAFTAR PUSTAKA 13
LAMPIRAN 16
RIWAYAT HIDUP 22
18
19

DAFTAR TABEL
1. Pengaruh perlakuan kitosan terhadap presentase daya berkecambah di
persemaian 5
2. Pengaruh perlakuan kitosan terhadap tinggi dan jumlah daun bibit pada
6 MSS 6
3. Pengaruh kitosan terhadap jumlah buah dan bobot buah 10

DAFTAR GAMBAR
1. Pengaruh perlakuan kitosan terhadap tinggi tanaman cabai 6
2. Pengaruh kitosan terhadap jumlah daun tanaman cabai 7
3. Pengaruh kitosan terhadap insidensi penyakit antraknosa 8
4. Pengaruh kitosan terhadap keparahan penyakit antraknosa 9

DAFTAR LAMPIRAN
1. Analisis sidik ragam tinggi tanaman cabai di lapangan 17
2. Analisis sidik ragam jumlah daun tanaman cabai di lapangan 18
3. Analisis sidik ragam insidensi penyakit antraknosa di lapangan 19
4. Analisis sidik ragam keparahan penyakit antraknosa di lapangan 19
5. Analisis sidik ragam jumlah buah total cabai 19
6. Analisis sidik ragam jumlah buah cabai sakit 19
7. Analisis sidik ragam jumlah bobot buah cabai 19
8. Analisis sidik ragam jumlah daun bibit cabai 20
9. Analisis sidik ragam tinggi bibit cabai 20
10. Pengaruh perlakuan kitosan terhadap tinggi tanaman cabai 21
11. Pengaruh perlakuan kitosan terhadap jumlah daun tanaman cabai 21
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae).
Beberapa spesies cabai yang telah dikenal adalah cabai besar (Capsicum annuum
L), cabai rawit (C. frutescens), C. baccatum, C. pubescens dan C. chinense. Cabai
kaya akan vitamin A dan C, niacin, riboflavin dan thiamin (AVRDC 2003). Cabai
selain dapat dikonsumsi segar sebagai campuran bumbu masakan, dapat juga
diawetkan dalam bentuk sambal, saus, pasta acar, buah kering dan tepung.
Produksi cabai besar Indonesia tahun 2014 sebesar 1 074 611 ton. Tahun 2015
produksi cabai besar mengalami penurunan menajdi 1 045 200 ton. Produksi cabai
yang fluktuatif terjadi akibat penurunan luas panen cabai besar menurun pada
triwulan III dan triwulan IV (Badan Pusat Stasistik 2015).
Dalam upaya meningkatkan produksi cabai dalam negeri, tidak sedikit
permasalahan yang dihadapai oleh petani Indonesia. Kendala yang paling penting
dalam proses produksi dan dapat menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi
adalah hama dan penyakit. Penyakit yang umumnya terjadi pada tanaman cabai
dapat disebabkan oleh bakteri, cendawan, nematoda, dan virus. Antraknosa pada
cabai merupakan penyakit yang paling sering ditemukan dan hampir selalu terjadi
di setiap areal tanaman cabai. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan
oleh tiga spesies cendawan Colletotrichum yaitu Colletotrichum acutatum,
Colletotrichum gloeosporioides, dan Colletotrichum capsici (AVRDC 2003).
Penyakit ini selain mengakibatkan penurunan hasil juga dapat merusak nilai
estetika dari cabai itu sendiri. Infeksi patogen ini dapat terjadi baik sebelum
maupun setelah panen. Penyakit antraknosa ini menyebabkan kerugian yang
sangat besar baik di daerah tropis maupun subtropis. Gejala penyakit timbul
terutama pada buah masak, berupa bercak sirkular berlekuk yang ukuran
diameternya dapat mencapai 30 mm. Serangan berat dapat menyebabkan seluruh
buah mengering dan keriput.
Selama ini pengendalian penyakit antraknosa masih bertumpu pada
penggunaan fungisida. Varietas cabai komersial berdaya hasil tinggi dan tahan
terhadap penyakit busuk antraknosa masih belum ada. Ada kecenderungan di
seluruh dunia untuk mengeksplorasi alternatif baru bahwa kontrol pascapanen
penyakit patogen, memberikan prioritas untuk metode yang mengurangi kejadian
penyakit dan menghindari efek negatif dan samping pada kesehatan manusia
sebagai hasil penerapan berlebihan fungisida sintetik (Bautista et al 2005).
Kitosan adalah polisakarida berasal dari limbah kulit/cangkang Crustaceae.
Kitosan diketahui dapat menginduksi respons ketahanan tanaman terhadap infeksi
patogen (Hamdayanty et al 2012). Menurut Muhammad (2015), pemberian
kitosan pada tanaman cabai, dapat memulihkan tanaman yang teserang penyakit
busuk buah antraknosa. Aktifitas fungisida kitosan telah banyak diteliti baik
dalam in vitro dan studi in situ. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa tingkat
penghambatan cendawan sangat berkorelasi dengan konsentrasi kitosan yang
diaplikasikan ke tanaman, karena setiap tanaman memilki tingkat optimum
konsentrasi kitosan yang diaplikasikan. Untuk itu, penelitian mengenai pemanfaat
kitosan pada tanaman perlu diteliti untuk peningkatan kualitas tanaman pertanian,
informasi ini menjadi hal yang sangat berharga di kemudian hari.
2

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui potensi kitosan sebagai alternatif
fungisida sintetik dalam menekan kejadian dan keparahan penyakit antraknosa
pada tanaman cabai.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keefektifan
kitosan dalam menekan kejadian dan keparahan penyakit antraknosa pada
tanaman cabai.
3

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium WISH dan di lahan percobaan
WISH di Desa Situ Gede, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Penelitian
dilakukan pada bulan April 2016 sampai Oktober 2016.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan adalah benih cabai besar varietas Landung, asam
asetat 1.5%, bubuk kitosan, tanah, pupuk kandang, fungisida berbahan aktif
propineb dan profenofos, pupuk urea, SP-36, KCL, NPK, dan aquades steril. Alat
yang digunakan adalah trai semai, polybag ukuran 30 cm x 35 cm, autoclave,
ember, gembor, jerigen, ajir, sprayer, cawan petri, buku catatan, alat tulis.

Metode Penelitian
Penyiapan Larutan Kitosan
Kitosan dalam bentuk bubuk diperoleh dengan membeli melalui CV. WISH
Indonesia. Konsentrasi kitosan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1%
dalam bentuk larutan. Sebanyak 50 g kitosan dilarutkan dalam 1 L asam asetat
1.5% untuk membuat larutan stok kitosan dengan konsentrasi 5%. Larutan stok
kitosan dibuat konsentrasinya menjadi 1% dengan pengenceran bertingkat.
Perlakuan
Terdapat tiga perlakuan pada penlitian ini yaitu, konvensional (KO)
sebagai pembanding, kitosan dengan aplikasi siram pada tanah (KK), dan kitosan
dengan aplikasi semprot (KS). Pada perlakuan konvensional, treatment yang
dilakukan yaitu perendaman benih menggunakan air hangat selama 15 menit, dan
pemeliharaan selanjutnya mengikuti cara budidaya yang dilakukan petani.
Perlakuan kitosan dengan aplikasi siram, treatment yang dilakukan yaitu
perendaman benih menggunakan kitosan 1% selama dua jam, lalu penyiraman
kitosan saat umur 3 minggu setelah semai (MSS) sebanyak 5 ml/bibit, selanjutnya
aplikasi kitosan dilakukan saat tanaman berumur 4 dan 6 minggu setelah tanam
(MST) sebanyak 20 ml/tanaman, saat berumur 8 minggu setelah tanam (MST)
sebanyak 25 ml/tanaman. Perlakuan kitosan dengan aplikasi semprot, treatment
yang dilakukan sama seperti aplikasi siram, hanya diganti dengan menyemprotkan
larutan kitosan pada tanaman.
Penyemaian
Media semai yang digunakan adalah tanah dan pupuk kandang dengan
perbandingan 1:1. Setelah benih direndam sesuai perlakuan diatas, kemudian
benih dikeringanginkan, dan ditanam pada trai yang telah diisi media semai,
masing-masing lubang diisi dua benih. Dilakukan penyiraman serta perawatan
setiap hari, dan pada umur bibit 6 minggu setelah semai (MSS) dilakukan pindah
tanam ke lapangan.
4

Penanaman
Penanaman bibit cabai dilakukan setelah bibit berdaun 4 sampai 5 helai.
Ditanam pada polybag berukuran 30 cm x 35 cm dengan perbandingan media
tanah dan pupuk kandang 1:2. Media tanam yang telah disiapkan diberikan pupuk
dasar yaitu NPK 10 g/L dan disiramkan pada setiap polybag sebanyak 250
ml/polybag. Selanjutnya bibit ditanam pada polybag. Masing-masing perlakuan
terdiri dari 20 unit percobaan. Jumlah total tanaman yaitu 180. Perawatan tanaman
dilakukan dengan memberikan pupuk NPK Mutiara 16:16 dengan dosis 10 g/L
setiap minggu sebanyak 250 ml/tanaman. Perlakuan konvensional diberikan
pestisida sintetik Curacron 500 EC dengan bahan aktif profenofos 500 g/L,
fungisida sintetik Antracol 70 WP dengan bahan aktif propineb 70% ,
penyemprotan dilakukan satu kali seminggu hingga umur 8 MST.
Peubah Pengamatan
Peubah yang diamati diantaranya daya kecambah, tinggi bibit dan jumlah
daun bibit. Tinggi tanaman, dan jumlah daun tanaman saat tanaman berumur 2 – 8
minggu setelah tanam (MST). Jumlah buah per tanaman dan bobot buah per
tanaman dihitung pada setiap pemanenan ,pemanenan dilakukan tiga kali pada
saat tanaman berumur 10, 12, dan 14 minggu setelah tanam (MST).
Pengamatan Keparahan dan Kejadian Penyakit
Pengamatan kejadian dan keparahan penyakit dihitung menggunakan
rumus sebagai berikut:
Rumus kejadian penyakit Rumus keparahan penyakit
𝑎
𝐼
𝑎+𝑏
Keterangan : Keterangan :
KP : Kejadian Penyakit I : Keparahan Penyakit
n : Jumlah tanaman terserang a : Jumlah buah terserang
N : Jumlah tanaman total b : Jumlah buah sehat
Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dengan 3 ulangan. Perlakuan yang dilakuakan terdiri atas perlakuan
konvensional (KO), perlakuan kitosan dengan penyemprotan daun (KS), dan
perlakuan kitosan dengan penyiraman tanah (KK). Data yang diperoleh ditabulasi
silang menggunakan Microsoft Excel 2010 dan dianalisis menggunakan analisis
ragam (ANOVA) dengan menggunakan program Statistical Analysis System
(SAS) for windows versi 9.1.3 Perlakuan yang berpengaruh diuji lanjut dengan uji
selang berganda Duncan (DMRT) pada taraf nyata 5%.
5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Kitosan terhadap Perkecambahan dan Karakter Agronomi di


Persemaian
Daya berkecambah tanaman cabai diamati pada 2 MSS (Tabel 1). Daya
berkecambah untuk setiap perlakuan berkisar dari 92.5%-96%, artinya benih dapat
dikatakan bermutu baik. Hal ini sesuai dengan ketetapan Deptan (2003) mengenai
standar mutu benih, bahwa benih bermutu baik adalah benih yang memiliki daya
berkecambah ≥ 80%. Benih yang diberi perlakuan kitosan memiliki hasil lebih
rendah dibandingkan dengan perlakuan konvensional yang menggunakan air
hangat untuk perlakuan benih. Perlakuan perendaman benih pada larutan kitosan
1% dapat mempengeruhi kinerja perkecambahan tanaman yang bisa berdampak
baik dan bisa juga buruk. Uthairatnakij et al. (2007) menyatakan bahwa kitosan
dapat meningkatkan sinyal untuk sintesis hormon tanaman seperti giberelin dalam
jumlah yang optimal, apabila berlebihan akan menghambat pertumbuhan
tanaman. Sifat hidrophillic kitosan (Kumar 2000) menyebabkan kitosan mampu
menyerap air dari lingkungan yang akan masuk ke dalam biji, namun bila
berlebihan akan menyebabkan biji dorman kembali (Gardner et al. 1991).
Kembalinya biji ke fase dorman akan menyebabkan biji busuk di dalam tanah.
Hal ini yang menyebabkan pada perlakuan kitosan memungkinkan terjadi
penurunan daya berkecambah dikarenakan konsentrasi kitosan yang tidak tepat.

Tabel 1 Pengaruh perlakuan kitosan terhadap presentase daya berkecambah di


persemaian
Perlakuan Daya berkecambah (%)
Air hangat 95.0
Kitosan 92.5

Penyiraman perlakuan kitosan dilakukan saat umur bibit 3 MSS tidak


memberikan pengaruh bagi pertumbuhan bibit cabai, diantaranya tinggi bibit dan
jumlah daun bibit (Tabel 2). Tinggi bibit pada perlakuan konvesional (KO)
berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya, meskipun dari ketiga hasil
tersebut memiliki selisih yang kecil. Perlakuan konvensional (KO) memiliki
tinggi bibit yaitu 5.55 cm. Sedangkan untuk perlakuan kitosan semprot (KS)
memiliki tinggi paling rendah yaitu 5.01 cm. Jumlah daun bibit paling banyak
terdapat pada perlakuan konvensional (KO) meskipun hasil dari ketiga perlakuan
memiliki selisih yang kecil. Perlakuan konvesional (KO) memilki jumlah daun
paling banyak yaitu 4.78 helai/bibit. Sedangkan perlakuan pemberian kitosan
dengan penyemprotan (KS) memiliki jumlah daun paling sedikit yaitu 4.29
helai/bibit. Perlakuan pemberian kitosan dengan cara penyiraman (KK)
menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan cara penyemprotan
(KS). Chookhongkha et al. (2012) melaporkan dalam penelitiannya, bibit cabai
yang diberikan perlakuan kitosan yang dilarutkan dengan asam asetat memberikan
hasil bibit yang lemah dengan daun berwana hijau muda, asam asetat yang
digunakan untuk melarutkan kitosan dapat mempengaruhi sel tanaman cabai. Hal
ini menunjukkan bahwa asam asetat yang digunakan untuk melarutkan kitosan
6

yang diaplikasikan ke media semai dan tanaman memilki pengaruh pada


pertumbuhan bibit.

Tabel 2 Pengaruh perlakuan kitosan terhadap tinggi dan jumlah daun bibit pada 6
MSS
Perlakuana Tinggi bibit (cm) Jumlah daun bibit (helai)
KO 5.55 ± 0.25b 4.78 ± 0.06b
KK 5.04 ± 0.16a 4.71 ± 0.04b
KS 5.01 ± 0.15a 4.29 ± 0.05a
*Angka pada satu kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata (uji Duncan α=5%).
a
(KO) perlakuan konvensional, (KK) perlakuan penyiraman kitosan pada tanah,
(KS) penyemprotan kitosan pada daun.

Pengaruh Kitosan terhadap Karakter Agronomi di Lapangan


Berdasarkan pengamatan pada 2 MST di lapangan (Gambar 1), perlakuan
konvensional (KO) memilki rata-rata tinggi tanaman paling tinggi dibandingkan
perlakuan lainnya. Namun, berdasarkan uji ANOVA, aplikasi kitosan tidak
berbeda nyata dengan setiap perlakuan lainnya. Rata-rata tinggi tanaman paling
tinggi pada pengamatan terakhir adalah perlakuan konvensional (KO) yaitu 49.12
cm. Sedangkan perlakuan kitosan dengan penyemprotan (KS) memilki rata-rata
tinggi tanaman paling rendah yaitu 37.57 cm.
50
45 KO KK KS
Tinggi tanaman (cm)

40
35
30
25
20
15
10
5
0
2 3 4 5 6 7 8
Umur tanaman (MST)

Gambar 1 Pengaruh perlakuan kitosan terhadap tinggi tanaman. (KO) perlakuan


konvensional, (KK) perlakuan penyiraman kitosan pada tanah, (KS)
penyemprotan kitosan pada daun.

Keberhasilan aplikasi kitosan di lapangan sangat dipengaruhi oleh banyak


faktor, diantaranya yaitu faktor suhu, kelembaban, pupuk, dan metode aplikasi
kitosan. Meskipun dalam penelitian laboratorium dan rumah kaca pengaruh
kitosan signifikan untuk mengontrol pertumbuhan dan patogen tanaman, namun
hasil di lapangan tidak konsisten. Keberhasilan kitosan tergantung pada
7

konsentrasi yang memberikan pengaruh berbeda terhadap tanaman terutama


menstimulir hormon pertumbuhan (Uthairatanakij et al. 2007).
Tinggi tanaman dipengaruhi oleh aktfitas hormon pertumbuhan yang
berperan dalam perpanjangan batang yaitu auksin. Penelitian sebelumnya
melaporkan tanaman tomat yang disemprotkan kitosan memiliki pengaruh
terhadap tinggi tanaman. Karena penyemprotan kitosan secara langsung kepada
bagian pucuk dan daun tanaman dapat meningkatan sintesis auksin pada tomat
(Mursid 2010). Kitosan dapat meningkatkan aktifitas hormon auksin melalui jalur
independen triptofan (Uthairatanakij et al. 2007). Pernyataan tersebut berbanding
terbalik dengan hasil pada percobaan ini, karena percobaan tersebut dilakukan di
rumah kaca dan hasil di lapang dipengaruhi berbagai macam faktor yang lebih
kompleks. Karena percobaan pada rumah kaca, semua faktor lingkungan dibuat
optimum untuk pertumbuhan tanaman cabai. Sedangkan percobaan dilapangan
faktor lingkungan dapat berubah sewaktu-waktu dan tidak dapat diprediksi.
Menurut hasil pengamatan, jumlah daun tanaman di lapangan pada umur
tanaman 3 dan 4 MST pada setiap perlakuan memilki jumlah pertambahan daun
yang sama (Gambar 2). Pada pengamatan terakhir yaitu umur tanaman 8 MST,
perlakuan konvensional (KO) memilki jumlah daun terbanyak yaitu 59.26
helai/tanaman, dan perlakuan kitosan dengan penyemprotan pada daun (KS)
memilki jumlah daun paling sedikit yaitu 39.88 helai/tanaman.

60
KO KK KS
50
40
Jumlah Daun

30
20
10
0
2 3 4 5 6 7 8
Umur tanaman (MST)

Gambar 2 Pengaruh kitosan terhadap jumlah daun tanaman cabai. (KO) perlakuan
konvensional, (KK) perlakuan penyiraman kitosan pada tanah, (KS) pe-
nyemprotan kitosan pada daun.

Insidensi dan Keparahan Penyakit Antraknosa


Insidensi penyakit antraknosa diamati pada setiap tanaman cabai yang
buahnya terinfeksi antraknosa. Aplikasi kitosan dengan metode penyiraman pada
tanah (KK) dan penyemprotan pada tanaman (KS) dapat menekan insidensi
penyakit antraknosa di lapangan (Gambar 3). Pada pengamatan pertama yaitu saat
tanaman berumur 10 MST perlakuan kitosan dengan cara penyemprotan pada
tanaman (KS) memiliki nilai kejadian penyakit paling rendah dari perlakuan
8

lainnya yaitu 13.33%, sedangkan perlakuan konvensional (KO) memiliki nilai


insidensi penyakit lebih tinggi, yaitu 23.33%. Pada pengamatan kedua, seluruh
perlakuan kitosan KK dan KS mengalami peningkatan nilai insidensi penyakit
hingga dua kali lipat, namun kenaikan nilai insidensi tidak terjadi pada perlakuan
konvensional (KO). Pengamatan terakhir yang dilakukan saat tanaman berumur
14 MST, perlakuan konvensional (KO) memiliki nilai insidensi penyakit paling
rendah yaitu sebesar 15%, sedangkan untuk perlakuan kitosan KK dan KS
memilki nilai yang sama yaitu 18.33%. Akan tetapi nilai insidensi penyakit
tersebut tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan setelah diuji ANOVA. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Hamdayanty et al. (2012) bahwa aplikasi kitosan dapat
mengurangi insidensi penyakit antraknosa pada buah pepaya. Hasil tersebut
ditunjukkan dengan nilai insidensi penyakit yang sedang untuk semua perlakuan.

40
35 KO KK KS
Insidensi penyakit (%)

30
25
20
15
10
5
0
10 12 14
Umur tanaman (MST)

Gambar 3 Pengaruh kitosan terhadap insidensi penyakit antraknosa, (KO)


perlakuan konvensional, (KK) perlakuan penyiraman kitosan pada
tanah, (KS) penyemprotan kitosan pada daun.

Pengamatan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai dilakukan pada


setiap pemanenan. Tanaman pada seluruh perlakuan memilki tingkat keparahan
penyakit yang rendah. Pada pengamatan 10 MST perlakuan konvensional (KO)
memilki tingkat keparahan penyakit paling rendah yaitu 15.75% dan perlakuan
kitosan penyiraman pada tanah (KK) memilki tingkat keparahan penyakit lebih
tinggi yaitu 22.01%. Pengamatan saat tanaman berumur 12 MST terjadi
peningkatan nilai keparahan pada semua perlakuan, dan nilai keparahan tertinggi
pada perlakuan kitosan penyemprotan pada tanaman (KS) yaitu sebesar 63.96%
dan paling rendah pada perlakuan kitosan penyiraman pada tanah (KK) dengan
nilai 34.79%. Pengamtan terakhir yang dilakukan pada umur 14 MST, perlakuan
kitosan penyiraman pada tanaman memilki nilai keparahan penyakit paling rendah
yaitu 25.40% dan nilai lebih tinggi pada perlakuan konvensional (KO) yaitu
29.57%. Nilai keparahan penyakit antraknosa setelah dilakukan uji ANOVA pada
setiap pengamatan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata untuk semua
perlakuan (Gambar 4).
9

Keberhasilan kitosan menurunkan nilai insidensi dan keparahan penyakit di


lapangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor lingkungan seperti suhu,
kelembaban, dan curah hujan mempengaruhi keberhasilan kitosan menginduksi
ketahanan pada tanaman cabai. Faktor lainnya seperti kondisi tanaman juga
mempengaruhi keberhasilan induksi ketahanan oleh kitosan, karena berpengaruh
terhadap kemampuan tanaman menyerap kitosan ke dalam jaringan sel tanaman.

70
KO KK KS
Keparahan penyakit (%)

60
50
40
30
20
10
0
10 12 14
Umur tanaman (MST)

Gambar 4 Pengaruh kitosan terhadap keparahan penyakit antraknosa, (KO)


perlakuan konvensional, (KK) perlakuan penyiraman kitosan pada
tanah, (KS) penyemprotan kitosan pada daun.

Jumlah buah cabai terbanyak terdapat pada perlakuan kitosan dengan cara
penyemprotan pada daun (KS) dengan jumlah buah 8.13 buah/tanaman dan bobot
buah 56.01 g/tanaman. Meskipun pada perlakuan kitosan dengan cara
penyemprotan pada daun (KS) jumlah buah cabai per tanaman lebih banyak
daripada jumlah buah cabai perlakuan konvensional. Berdasarkan pengamatan,
aplikasi kitosan penyemprotan pada tanaman (KS) dapat memberikan pengaruh
positif terhadap jumlah buah cabai, namun tidak pada bobot buah cabai (Tabel 4).
Hal tersebut karena ukuran buah cabai perlakuan konvensional lebih besar pada
setiap pemanenan dan rata-rata jumlah buah terinfeksi lebih sedikit dibandingkan
dengan perlakuan kitosan, sehingga tanaman perlakuan konvensional memiliki
nilai bobot buah lebih besar. Akan tetapi nilai jumlah buah sakit dan bobot buah
cabai tidak berbeda nyata pada semua perlakuan setelah diuji ANOVA.
Pemanenan buah cabai yang dilakukan saat buah masih berwarna hijau dan
sudah mencapai berat penuh, bertujuan menghindari serangan dari lalat buah.
Perlakuan aplikasi kitosan dengan cara penyiraman pada tanah (KK) di sekitar
perakaran tanaman dan penyemprotan daun tanaman (KS) diharapkan dapat
meningkatkan kualitas dan kuantitas buah. Namun, menurut hasil yang didapat
produksi buah pada perlakuan konvesional lebih baik dibandingkan dengan
perlakuan kitosan. Penggunaan konsentrasi kitosan yang tepat mampu membantu
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan, serta produksi buah pada
10

tanaman (Muhammad 2015). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan diatas,


konsentrasi kitosan yang optimum pada setiap tanaman bisa saja berbeda-beda.

Tabel 3 Pengaruh kitosan terhadap jumlah buah dan bobot buah


Jumlah buah Jumlah buah Bobot buah
Perlakuana *
total/tanaman sakit/tanaman* g/tanaman*
KO 7.99 ± 2.31a 2.24 ± 2.23a 63.37 ± 26.03a
KK 6.88 ± 1.31a 2.23 ± 1.08a 48.01 ± 12.80a
KS 8.13 ± 1.50a 2.67 ± 0.94a 56.01 ± 10.43a
*Angka pada satu kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata (uji Duncan α=5%).
a
(KO) perlakuan konvensional, (KK) perlakuan penyiraman kitosan pada tanah,
(KS) penyemprotan kitosan pada daun.

Pembahasan Umum
Kurang optimumnya hasil yang diperoleh pada perlakuan kitosan dari awal
penyemaian disebabkan belum optimumnya konsesntrasi yang diaplikasikan pada
tanaman cabai. Selain itu, pertumbuhan tanaman cabai yang diberi perlakuan
kitosan tidak maksimal, dikarenakan terganggunya masa pertumbuhan saat
pembibitan. Tanaman akan memilki hasil yang baik apabila dari awal penanaman
tanaman tersebut sehat, sehingga tidak terjadinya gangguan fisiologis yang
menggagu produksi tanaman itu sendiri. Faktor lingkungan yang optimum juga
mempengaruhi keberhasilan kitosan diserap oleh tanaman secara maksimal,
percobaan yang dilakukan di lapang sulitnya membuat lingkungan yang optimum
karena cepatnya perubahan cuaca yang terjadi.
Keberhasilan kitosan dalam menekan patogen tanaman tergantung pada
konsentrasi. Konsentrasi kitosan saat diaplikasikan ke tanaman mempengaruhi
tingkat serangan penyakit antraknosa. Penghambatan pertumbuhan cendawan
sangat berhubungan dengan konsentrasi kitosan (Bautista et al. 2006). Penelitian
sebelumnya melaporkan bahwa aplikasi kitosan dengan konsentrasi 0.75% dapat
menekan serangan penyakit antraknosa pada buah pepaya (Hamdayanty et al.
2012) dan kitosan konsentrasi 2% dapat menekan serangan penyakit antraknosa
pada buah pisang (Pamekas 2009). Konsentrasi kitosan 1% pada tanaman cabai
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan
konvensional yang menggunakan fungisida sintetik, hal ini menunjukkan bahwa
setiap tanaman memilki perbedaan konsentrasi kitosan untuk mencapai hasil yang
optimum. Konsentrasi kitosan yang tinggi bisa merangsang kepekaan jaringan
tanaman terhadap patogen (Sun et al. 2008).
Kitosan dapat menguap oleh sinar matahari dan tercuci oleh air hujan.
Waktu aplikasi kitosan pada tanaman lebih baik saat sore hari karena intensitas
cahaya matahari sudah berkurang, dan kita dapat memprakirakan cuaca apakah
akan hujan atau tidak. Hal ini mempengaruhi kitosan untuk menginduksi
ketahanan alami pada tanaman cabai tergantung banyaknya kitosan yang diserap
secara maksimal.
Perlakuan kitosan pada penghambatan nilai insidensi penyakit memilki hasil
yang baik, karena hasilnya mendekati dengan tanaman yang menggunakan
11

fungisida sintetik. Nilai insidensi tersebut berhubungan dengan daya


penghambatan penyebaran penyakit antraknosa pada tanaman cabai di lapangan.
Hasil yang ditunjukkan data diatas pada saat pengamatan pertama perlakuan
kitosan memilki hasil yang lebih baik dibandingkan perlakuan konvensional,
namun terjadi peningkatan pada pengamatan kedua saat umur 12 MST, ini terjadi
karena konsentrasi yang belum optimum sehingga membutuhkan waktu yang
lebih lama dalam menghambat penyebaran antraknosa, dibandingkan dengan
perlakuan konvensional yang menggunakan fungisida sintetik. Pada pengamatan
terakhir, perlakuan kitosan mengalami penurunan nilai insidensi penyakit dan
berhasil dalam pemulihan tanaman dengan membentuk sel baru.
Penekanan nilai keparahan penyakit pada perlakuan kitosan juga sudah
memberikan hasil yang baik, bahkan pada pengamatan terakhir hasil perlakuan
kitosan penyemprotan pada tanaman (KS) lebih baik dibandingkan dengan
perlakuan konvesional yang menggunakan fungisida sintetik. Terjadi peningkatan
nilai keparahan penyakit pada umur 12 MST pada semua perlakuan, ini
diakibatkan dengan meningkatnya jumlah buah yang dipanen. Sehingga
mempengaruhi dalam penghitungan nilai keparahan penyakit.
Mekainsme kitosan dalam menginduksi sistem ketahanan tanaman sangat
berhubungan dengan respon enzimatis. Enzim-enzim berperan dalam ketahanan
tanaman dan menghambat proses serangan dari patogen. Induksi ketahanan
sistemik akibat perlakuan kitosan mempunyai spektrum luas, karena kitosan
mampu menginduksi ketahanan terhadap cendawan, bakteri, maupun virus
(Fatimah 2014). Kitosan diketahui memberikan respon ketahanan pada berbagai
tanaman dengan mengaktifkan fungsi gen phatogensis-related (PR) seperti
kitinase, kitosanase, β-glucanase dan lignin (Notsu et al. 1994), dan kalus (Kauss
et al. 1989). Kitosan menginduksi enzim kitinase yang dapat mendegradasi kitin,
yang merupakan penyusun utama dinding sel cendawan (Ghaouth et al. 1991).
Dinding sel cendawan umumnya tersusun atas lapisan peptidoglikan dan
lipopolisakarida yang merupakan lemak dan protein (Sugiprihatini 2009).
Menurut Restuati (2008), gugus asam amino dalam bentuk asetil amino
(HCOCH3) dan glukosamin (C6H9NH2) dalam kitosan yang bermuatan positif
dapat berikatan dengan bagian makromolekul bermuatan negatif pada permukaan
sel cendawan. Hal ini menyebabkan apresorium dan pertumbuhan cendawan akan
terhambat. Sehingga tanaman cabai yang telah diaplikasikan kitosan memiliki
toleransi terhadap penyakit antraknosa. Meskipun perlakuan kitosan dalam
penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan perlakuan konvensional yang
menggunakan fungisida sintetik, penggunaan aplikasi kitosan setidaknya dapat
menjadi alternatif sebagai pengganti penggunaan fungisida sintetik. Selain tidak
meninggalkan residu pada tanaman, pengunaan kitosan pada penelitian ini lebih
efisien dibandingkan dengan fungisida sintetik. Biaya yang dikeluarkan untuk 50
gram kitosan sebesar Rp50 000 yang dapat digunakan dari awal penanaman
hingga panen, tanpa perlu penggunaan pestisida lainnya, sedangkan pada
perlakuan konvensional biaya yang dikeluarkan sebesar Rp75 000 untuk
insektisida dan fungisida. Pengaplikasian insektisida dan fungisida sintetik setiap
satu minggu sekali dapat menghasilkan residu yang tinggi pada tanaman, dan
biaya yang lebih banyak dibandingkan penggunaan kitosan.
12

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Seluruh perlakuan kitosan dengan konsentrasi 1% dan perlakuan
konvensional yang menggunakan fungisida sintetik mampu menekan insidensi
dan keparahan penyakit antraknosa di lapangan. Penggunaan kitosan cukup efektif
karena menunjukkan hasil yang sama dengan penggunaan fungisida sintetik pada
cara budidaya cabai konvensional, pada pengamatan keparahan penyakit
perlakuan kitosan penyemprotan pada tanaman (KS) memiliki hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan perlakuan konvensional, meskipun hasilnya tidak
berbeda nyata.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk penggunaan konsentrasi yang
lebih tepat dan meningkatkan frekuensi aplikasi kitosan di lapangan sehingga
memungkinkan meningkatkan induksi ketahanan tanaman cabai dan mampu
menekan infeksi penyakit antraknosa.
13

DAFTAR PUSTAKA

Agrios GN. 1988. Plant Pathology. Ed ke-3. London (UK): Academic Press.
Ameriana M, Natawidjaja RS, Arief B, Rusidi, Karmana MH. 2006. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kepedulian terhadap sayuran aman residu pestisida
(kasus pada buah tomat dikota bandung). J Hort 16(1):77-86.
Antuni W, Erfan P. 2012. Pengaruh Konsentrasi Kitosan dari Cangkang Udang
Terhadap Efisiensi Penjerapan Logam Berat. J Pendid Kim UNY 1-27
AVRDC. 2003. Evaluation of Phenotypic and Molecular Criteria for the
Identification for Colletotrichum species Causing Pepper Antrachnose in
Taiwan, p. 58-59. In AVRDC Report 2003. Taiwan.
[Balitsa] Balai Penelitian Tanaman Sayuran. 2014. Budidaya Cabai Merah di
dalam Polybag [Internet]. [diunduh 2015 Mei 25]. Tersedia pada:
http://balitsa.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/berita-terbaru/253-
budidaya-cabai-merah-di-dalam-polybag.html.
Bautista-BS, Hernandez LAN, Velazquez-del VMG, Hernandez LM, Ait BE,
Bosquez ME, Wilson CL. 2006. Chitosan as a potential compound to
control pre and postharvest diseases of horticultural commodities. Crop Prot
25(2006):108-118.
Bano M, Sivaramakrishnan VM. 1980. Preparation and properties of L.
asparaginase from green chillies ( Capsicum annum L .). J Biosci 2(4):291-
297.
Bernardius TWW. 2002. Bertanam Cabai Pada Musim Hujan. Jakarta (ID):
Agromedia.
Boonlertnirun S, Boonraung C, Suvanasara R. 2008. Application of chitosan in
rice production. J Met Mater Miner. 18:47-52.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabai
2014 [Internet]. [diunduh pada 2015 Mei 31]. Tersedia pada: http://www.
bps.go.id/site/resultTab.html.
Chandrkrachang S, Sompongchaiyakul P, Sangtain S. 2005. Profitable spin-off
from using chitosan in orchid farming in Thailand. J Met Mater Miner
15:45-48.
Chookhongkha N, Miyagawa S, Jirakiattikul Y, Photchanachai S. 2012. Chili
growth and seed productivity as affected by chitosan. International
Conference on Agriculture Technology and Food Sciences (ICATFS2012);
2012 Nov 17-18; Manila, Philippines. Manila (PH): Manila. hlm 146-149;
[diunduh 2016 Nov 10]. Tersedia pada:
http://www.psrcentre.org/images/extraimages/31.%201112041.pdf
Damayanti TA, Haryanto, Wiyono S. 2013. Pemanfaatan kitosan untuk
pengendalian Bean Commo Mosaic Virus (BCMV) pada kacang panjang. J
HPT Trop 13(2):110-116.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2015. Produktivitas Cabai Indonesia 2004
[Internet]. [diunduh pada 2015 Mei 31]. Tersedia pada
http://www.deptan.go.id./side/resultTab.html.
14

Duriat AS. 1994. Efikasi fungisida terhadap penyakit antraknosa (Colletotricum


capsici) pada buah cabai (Capsicum annum). Bul Penel Hort 19(2):112:120.
Fatimah WNA. 2014. Keefektifan kombinasi plant growth promoting
rhizobacteria dan unsur mikro dalam pengendalian penyakit antraknosa
pada cabai merah [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Susilo,
Herawati, penerjemah. Jakarta (ID): UI Press. Terjemahan dari : Physiology
of Crop Plants.
Ghaout AE, Aul J, Ponampalan R. 1991. Chitosan coating effect on storability and
quality of fresh strawberries. J Food Sci 56(6):1618-1620.
Hakim A, Syukur M, Widodo. 2009. Evaluasi daya hasil dan ketahanan cabai
(Capsicum aanuum L.) terhadap antraknosa yang disebabkan oleh
Colletotrichum acutatum. Makalah Seminar Departemen Agronomi dan
Hortikultura. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hakim A. 2010. Evaluasi daya hasil dan ketahanan cabai (Capsicum aanuum L.)
terhadap antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hamdayanty, Yunita R, Amin NN, Damayanti TA, 2012. Pemanfaatan kitosan
untuk mengendalikan antraknosa pada pepaya (Colletotrichum
gloeosporoides) dan meningkatkan daya simpan buah. J Fitopatol Indones
8(4):97-102.
Kalie MB. 1992. Mengatasi Buah Rontok, Busuk dan Berulat. Ed Ke-1. Jakarta
(ID): Penebar Swadaya.
Kauss H, Jeblick W, Domard A. 1989. The degrees of polymerization and N-
acetylation of chitosan determine its ability to elicit callose formation in
suspension cells and protoplasts of Catharanthus roseus. Planta.
178(3):215-230.
Kumar MNR. 2000. A review of chitin and chitosan application. J Reac and Func
Poly 46:1-27.
Mursid S. 2010. Pengaruh perlakuan kitosan terhadap pertumbuhan tomat
(Lycopersicum esculentum) selama fase vegetatif [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Muhammad M. 2015. Pemanfaatan kitosan dan media organik untuk pertumbuhan
dan produktivitas tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) di
screenhouse [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Pakdeevaraporn p, Wasee S, Taylor PWJ, Mongkolporn O. (2005). Inheritance of
resistance to anthracnose caused by Colletotrichum capsici in Capsicum.
Plant Breed (124):206-208.
Pamekas T. 2009. Induksi ketahanan buah pisang ambon curup terhadap penyakit
pascapanen antraknos dan penundaan kematangan dengan aplikasi kitosan.
JIPI 9(1):58-63.
Prajnanta F. 2004. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Jakarta (ID):
Penebar Swadaya.
Restuati M. 2008. Perbandingan kitosan kulit udang dan kulit kepiting dalam
menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus. Prosiding Seminar
15

Nasional Sains dan Teknologi; 2008 Nov 17; Lampung (ID): Satek. Hlm
582-590.
Rukmana R. 1996. Cabai Hibrida Sistem Mulsa Plastik. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Samsudin I. 2002. Pengaruh ekstrak kompos bokashi dan konvensional terhadap
patogen Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bishy penyebab penyakit
antraknosa pada cabai [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sudibyaningsih T. 1990. Residu pestisida Diazinon dalam daun kubis dari saat
panen sampai penanganan sebelum dikonsumsi. Majalah Ilmiah Unsoed.
15(5):105-112.
Sugiprihatini D. 2009. Potensi penggunaan khamir dan kitosan untuk
pengendalian busuk buah Lasiodiplodia theobromae pada buah mangga
selama penyimpanan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sun T, Xu Z, Wu CT, Janes M, Prinyawiwatkul W. 2007. Antioxidant activities of
different colored sweet bell peppers (Capsicum annuum L.). J Food Sci
72(2):S98-S102.
Semangun H. 1994. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.
Semangun H. 2006. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta (ID):
Gadjah Mada University Press.
Uthairatanakij A, Silva JAT, Obsuwan K. 2007. Chitosan for improving orchid
production and quality. J Orchid Sci and Biotech. 1:1-5.
16

LAMPIRAN
17

Lampiran 1 Analisis sidik ragam tinggi tanaman cabai di lapangan


Sumber Jumlah Derajat Kuadrat
F Sig.
keragaman kuadrat bebas tengah
2 MST
Perlakuan 6.587 2 3.293 5.961 0.090
Ulangan 0.299 2 0.149 0.270 0.299
Galat 1.657 4 0.552
Total 610.093 8
3 MST
Perlakuan 14.005 2 7.002 4.661 0.090
Ulangan 1.358 2 0.679 0.452 0.665
Galat 6.009 4 1.502
Total 1340.029 8
4 MST
Perlakuan 24.227 2 12.114 4.652 0.090
Ulangan 2.408 2 1.204 0.462 0.660
Galat 10.416 4 2.604
Total 2339.931 8
5 MST
Perlakuan 79.222 2 39.611 9.171 0.032
Ulangan 1.156 2 0.578 0.134 0.879
Galat 17.276 4 4.319
Total 4566.799 8
6 MST
Perlakuan 138.327 2 69.163 12.356 0.019
Ulangan 1.538 2 0.769 0.137 0.876
Galat 22.390 4 5.597
Total 7409.654 8
7 MST
Perlakuan 122.601 2 61.300 3.453 0.135
Ulangan 13.792 2 6.896 0.388 0.701
Galat 71.008 4 17.752
Total 10398.640 8
8 MST
Perlakuan 330.721 2 165.360 7.512 0.044
Ulangan 98.989 2 49.494 2.248 0.222
Galat 88.054 4 22.013
Total 13286.010 8
18

Lampiran 2 Analisis sidik ragam jumlah daun tanaman cabai di lapangan


Sumber Jumlah Derajat Kuadrat
F Sig.
keragaman kuadrat bebas tengah
2 MST
Perlakuan 5.402 2 2.701 7.895 0.041
Ulangan 0.485 2 0.242 0.709 0.545
Galat 1.368 4 0.342
Total 509.015 8
3 MST
Perlakuan 11.102 2 5.551 4.612 0.091
Ulangan 1.334 2 0.667 0.554 0.613
Galat 4.814 4 1.204
Total 922.257 8
4 MST
Perlakuan 16.532 2 8.266 1.950 0.256
Ulangan 6.047 2 3.023 0.713 0.543
Galat 16.952 4 4.238
Total 1544.970 8
5 MST
Perlakuan 38.736 2 19.368 1.481 0.330
Ulangan 15.367 2 7.684 0.588 0.597
Galat 52.303 4 13.076
Total 3015.210 8
6 MST
Perlakuan 155.285 2 77.643 3.862 0.116
Ulangan 11.547 2 5.773 0.287 0.765
Galat 80.418 4 20.105
Total 6759.740 8
7 MST
Perlakuan 302.221 2 151.110 2.156 0.232
Ulangan 66.101 2 33.050 0.472 0.655
Galat 280.344 4 70.086
Total 11845.832 8
8 MST
Perlakuan 780.167 2 390.084 5.102 0.079
Ulangan 274.429 2 137.214 1.795 0.278
Galat 305.804 4 76.451
Total 17253.205 8
19

Lampiran 3 Analisis sidik ragam insidensi penyakit antraknosa di lapangan


Sumber Jumlah Derajat Kuadrat
F Sig.
keragaman kuadrat bebas tengah
Perlakuan 38.889 2 19.444 0.047 0.955
Ulangan 972.222 2 486.111 1.171 0.398
Galat 1661.111 4 415.278
Total 24675.000 8

Lampiran 4 Analisis sidik ragam keparahan penyakit antraknosa di lapangan


Sumber Jumlah Derajat Kuadrat
F Sig.
keragaman kuadrat bebas tengah
Perlakuan 8.247 2 4.123 0.459 0.662
Ulangan 22.326 2 11.163 1.243 0.380
Galat 35.933 4 8.983
Total 1725.112 8

Lampiran 5 Analisis sidik ragam jumlah buah total cabai


Sumber Jumlah Derajat Kuadrat
F Sig.
keragaman kuadrat bebas tengah
Perlakuan 2.814 2 1.407 0.434 0.675
Ulangan 5.669 2 2.834 0.873 0.484
Galat 12.980 4 3.245
Total 550.923 8

Lampiran 6 Analisis sidik ragam jumlah buah cabai sakit


Sumber Jumlah Derajat Kuadrat
F Sig.
keragaman kuadrat bebas tengah
Perlakuan 0.356 2 0.178 0.163 0.855
Ulangan 9.649 2 4.825 4.408 0.097
Galat 4.378 4 1.094
Total 65.601 8

Lampiran 7 Analisis sidik ragam jumlah bobot buah cabai


Sumber Jumlah Derajat Kuadrat
F Sig.
keragaman kuadrat bebas tengah
Perlakuan 354.095 2 177.047 0.582 0.600
Ulangan 683.258 2 341.629 1.123 0.410
Galat 1217.202 4 304.300
Total 30272.851 8
20

Lampiran 8 Analisis sidik ragam jumlah daun bibit cabai


Sumber Jumlah Derajat Kuadrat
F Sig.
keragaman kuadrat bebas tengah
Perlakuan 0.434 2 0.215 77.748 0.001
Ulangan 0.004 2 0.002 0.698 0.550
Galat 0.011 4 0.003
Total 190.401 8

Lampiran 9 Analisis sidik ragam tinggi bibit cabai


Sumber Jumlah Derajat Kuadrat
F Sig.
keragaman kuadrat bebas tengah
Perlakuan 0.551 2 0.276 8.776 0.034
Ulangan 0.093 2 0.047 1.485 0.329
Galat 0.126 4 0.031
Total 244.026 8

Lampiran 10
Insidensi Penyakit
Perlakuan
10 MST 12 MST 14 MST
Konvensional (KO) 23.33 ± 15.27a 18.33 ± 7.64a 15.00 ± 18.03a
Kitosan siram (KK) 15.00 ± 13.23a 36.67 ± 30.14a 18.33 ± 23.63a
Kitosan semprot (KS) 13.33 ± 11.55a 26.82 ± 20.33a 18.33 ± 17.56a
*Angka pada satu kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata (uji Duncan α=5%).

Lampiran 11
Keparahan Penyakit
Perlakuan
10 MST 12 MST 14 MST
Konvensional 15.75 ± 12.42a 42.47 ± 28.43a 29.57 ± 42.65a
Kocor 22.10 ± 22.04a 34.79 ± 33.81a 26.75 ± 30.52a
Semprot 21.08 ± 18.57a 63.96 ± 22.73a 25.40 ± 26.02a
*Angka pada satu kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata (uji Duncan α=5%).
Lampiran 12 Pengaruh perlakuan kitosan terhadap tinggi tanaman cabai
Tinggi Tanaman*
Perlakuan
2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST
Konvensional 9.83 ± 0.87a 13.80 ± 1.70a 18.19 ± 2.21a 26.34 ± 2.05a 33.74 ± 1.63a 38.77 ± 5.06a 46.23 ± 6.16a
(KO)
Kitosan
8.15 ± 0.46a 11.65 ± 0.80a 15.55 ± 1.03a 21.17 ± 1.98b 26.90 ± 2.59b 31.99 ± 4.01a 33.71 ± 7.32b
Siram (KK)
Kitosan
7.71 ± 0.15a 10.86 ± 0.38a 14.25 ± 0.66a 19.34 ± 1.05b 24.49 ± 1.61b 30.20 ± 0.80a 33.05 ± 1.40b
Semprot (KS)
*Angka pada satu kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Duncan α=5%).

Lampiran 13 Pengaruh perlakuan kitosan terhadap jumlah daun tanaman cabai


Daun Tanaman
Perlakuan
2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST
Konvensional 8.53 ± 0.81a 11.5 ± 1.38a 14.63 ± 2.99a 20.83 ± 4.96a 32.73 ± 4.66a 43.47 ± 10.32a 55.18 ± 12.34a
(KO)
Kitosan
7.15 ± 0.48b 9.72 ± 0.92a 12.85 ± 1.21a 17.13 ± 2.20a 24.58 ± 3.79a 31.27 ± 7.35a 35.78 ± 11.40a
Siram (KK)
Kitosan
6.72 ± 0.21b 8.85 ± 0.56a 11.32 ± 1.05a 15.97 ± 2.09a 23.38 ± 3.15a 31.08 ± 3.55a 35.10 ± 2.79a
Semprot (KS)
*Angka pada satu kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Duncan α=5%).
21
22
22

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 16 Juni 1994 sebagai anak


kedua dari pasangan Bapak Suraji dan Ibu Susilo Yuni. Penulis memilki seorang
kakak dan seorang adik yang bernama Irvan Surya Ramadhan dan Ferri Rachmat
Saputro. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 3
Tangerang Selatan pada tahun 2012. Pada tahun yang sama penulis diterima
sebagai mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN undangan.
Selama menjadi mahasiswa, selain aktif di kegiatan perkuliahan penulis
juga aktif mengikuti organisasi kampus yaitu UKM MAX!! IPB sebagai anggota
divisi Event Organizer (EO) pada tahun 2012, Ketua Music Corner pada tahun
2013, Kepala Divisi Public Relation The 4th ACRA pada tahun 2014, Manager
Property pada tahun 2015. Penulis juga aktif dalam kegiatan pengabdian
masyarakat yaitu mengikuti IPB Goes To Field (IGTF) 2014 di Kabupaten
Pekalongan.
Selain itu, penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-dasar
Proteksi Tanaman pada tahun 2014, 2015, 2016, mata kuliah Vertebrata Hama
pada tahun 2014, mata kuliah Pestisida untuk Proteksi Tanaman pada tahun 2015,
mata kuliah Pengendalian Hama Terpadu pada tahun 2016, mata kuliah Hama dan
Penyakit Kelapa Sawit pada tahun 2016.

You might also like