You are on page 1of 6

BIOKOMPETIBILITAS MEMBRAN DIALISER

Dr Rubin Surachno Gondodiputro


Subdevisi Ginjal dan Hipertensi , Departemen Ilmu Penyakid Dalam
Fakultas kedokteran UNPAD/ RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung

Apabila materi darah berkontak dengan membran dialisis maka akan menimbulkan respon inflamasi.
Definisi suatu membrane biokompatibilitas adalah: sesuatu yang akan menimbulkan sekurang-
kurangnya sejumlah respon-respon inflamasi pada pasien apabila pasien tersebut terpapar olehnya.

Pengertian secara lebih luas mengatakan biokompatibilitas terjadi pada beberapa aspek dialisis.
Contohnya: komposisi dialisat serta suhunya, permeabilitas (porositas) dari membran dialiser, tipe
klirens (difusi atau koveksi), penggunaan sterilsasi awal (ethylene oxide), prosedur reuse, zat pensteril
seperti: formaldehyde, hypochlorida, asam peroxiacetik atau hydrogen peroksida serta materi-materi
sisa dari proses pembuatan bahan habis pakai. Walupun sesungguhnya pembahasan biokompatibilitas
terbatas pada membran saja.1,2,6

Komposisi dari membran-membran dialiser dapat diklasifikasi dalam kelompok-kelompok:

1. Cellulose (cuprophane): membran berbasis polisakharida yang terbentuk dari katun yang
diperas. Komposisi terdiri dari rantai-rantai cincin glucosan yang terikat dengan gugus hidroxsyl
bebas.
2. Subsituted cellulose (triacetate dan hemophane): terdiri dari ikatan yang terbentuk oleh gugus
hydroxyl bebas dipermukaan polimer selulosa.
3. Synthetic hydrophobic atau hydrophilic (hydrophobic: PAN*, PAN/AN69**, PS***): memiliki
permeabilitas yang tinggi dan bersifat lebih biokompatibilitas (lebih mahal harganya).
*= polycrylonitrite
**= copolymer, acrylonitrile
***= polysulfone
Permeabilitas dari membran dialiser atau porositas dari membran dapat mempengaruhi
biokompatibilitas. Sebelum itu kita harus membedakan antara prositas dan biokompabilitas. “flux” dari
suatu membran menggambarkan fungsi dari ukuran pori dialiser sementara itu biokompatibilitas hanya
menggambarkan fungsi dari material membran dialiser. Contoh : suatu dialiser “high flux” dapat
memiliki derajat biokompatibilitas yang berbeda-beda dan secara umum tergantung terhadap
kemampuan membran tersebut untuk menyaring “midlle molecule” seperti beta-2 microglobulin.
Sebaliknya membran yang bersifat sangat biokompatibilitas terdapat baik pada membran high-flux atau
low-flux dan tergantung dari ukuran pori membran dan karakteristik filtrasinya.1,6,7

Konsekwensi utama apabila kita menggunakan dialiser dengan pori besar serta high flux adalah: sering
terjadi “back-filtration atau back-diffusion”. Kondisi ini akan menimbulkan aliran berbalik dari dialisat
kedalam kompartemen darah yaitu: membawa air dialisat yang tidak murni serta mengandung
endotoxin kedalam aliran darah selama proses dialisis. Sehinggs hal tersebut diatas mengharuskan kita
mengobati biokompatibilitas akibat dari respon inflamasi yang terjadi .1,6,7

Interaksi darah dengan membran akan menimbulkan triger-triger terutama terhadap kaskade
komplemen, koagulase serta reaksi “contact-phase” yang kesemuanya dikenal sebagai jalur yang
dimediasi oleh protein. Selain itu terjadi pula jalur seluler akibat kontak langsung antara sel dengan
membran dialiser dan dengan produk-produk sampingan dari aktivasi komplemen. Jalur-jalur tesebut
diatas berhubungan dimana aktivasi dari salah satu sitem akan mengaktifkan sistem lainnya.1,2,6,7

Aktivasi komplemen:

Aktivasi komplemen timbul melalui jalur alternatif selama proses hemodialisis. Penggunaan membran
cuprophane baru tapi sudah kadaluarsa akan mengaktifkan sistem komplemen secara besar. Diduga
gugus hidroxyl bebas pada permukaan membran cuprophane akan menimbulkan deposisi komplemen
C3b dan menempelkan C3b dengan faktor B. Kejadian tersebut diatas dilanjutkan dengan aktivasi faktor
B oleh faktor D dan secara bersamaan menghasilkan pembentukan C3 convertase C3bBb dan C5
convertase C(3b)nBb. Akibat aktivasi sitem komplemen tersebut akan terjadi kerusakan-kerusakan
seperti: 1,6,8,9,10

1. Pelepasan anafilaktoksin (C3a dan C5a)


2. Pembentukan kompleks yang akan menyerang membran
3. Aktivasi dari netrofil dan monosit.

C3a dan C5a merupakan agen biologi yang sangat kuat dan menghasilkan kontraksi otot polos pembuluh
darah yang kuat, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan pelepasan mast cell dan histamine.
Aktivasi jalur koagulasi:

Kaskade koagulasi diaktifkan secara cepat oleh semua permukaan membrane. Selama proses dialisis
kaskade ini dapat diatasi oleh karena penggunaan heparin.

Aktivasi dari komponen-komponen seluler:

Netrofil, monosit, limfosit, eritrosit dan trombosit fungsinya terpengaruh oleh kontaknya dengan
membran hemodialisis. Netrofil akan menimbulkan upregulasi dari reseptor adhesi, melepaskan
proteinase, ROS, lekotrienes dan platelet activating factors. Aktivasi monosit akan merangsnag
pembentukan monokines (IL-1) dan tumor necrosis factors (TNF). Aktivasi trombosit akan melepaskan
tromboxane.1,2,8,9,10

Terdapat dua macam reaksi terhadap dialiser yang dikenal dengan reaksi tipe A dan reaksi tipe B. Reaksi-
reaksi tersebut dulu disebut dengan “first use reactions” oleh karena terjadi pada pasien yang baru
pertama kali di hemodialisis.1

Reaksi Tipe A

Reaksi ini sering terjadi dan terjadi sebanyak 4 dari 100.000 pengobatan dialisis. Reaksi akan timbul
setelah beberapa menit saja sejak proses dialisis dimulai dan onsetnya dapat terlambat sampai 30
menit. Gejala yang timbul akibat reaksi ini dapat dalam bentuk yang ringan sampai dengan yang
terberat. Gejala-gejala yang sering timbul : gatal-gatal, rasa terbakar pada akses dialisis, utikaria,
kemerahan pada wajah, batuk-batuk, bersin-bersin, nafas mengi (berbunyi), kram perut, diare, sakit
kepala, sakit pinggang dan dada, mual dan muntah, demam dan menggigil. Bentuk yang paling berat
adalah terjadi sesak nafas, rasa mau meninggal, hipotensi, henti jantung hingga dapat menimbukjan
kematian.1,3,6

Reaksi tipe A ini lebih sering terjadi pada pasien-pasien yang cenderung memiliki atopik atau diathesis
alergi serta eosinophilia.

Etiologi dari reaksi tipe A: Terjadi kebocoran dari bahan-bahan dialiser yang terkontaminasi oleh peptide
bakteri. Penyebab yang klasik dari reaksi ini adalah digunakannya ethylene oxide untuk mengsterilkan
dialiser. Reaksi anafilaktoid sering terjadi pada pasien yang mendapatkan obat anti-hipertensi golongan
ACEI dan memakai dialiser jenis high-flux AN-69. Membran-membran tersebut diduga bereaksi dengan
meningkatkan pembentukan kinin. ACEI juga merupakan suatu kinase, sehingga apabila kita memblok
angiotensin converting enzyme akan mencegah inaktivasi bardikinin, sehingga konsetrasinya akan
meningkat 20-30 kali sehingga memungkinkan terjadinya reaksi anafilaktoid. Reaksi anafilaktoid dapat
juga terjadi bila kita melakukan proses pemutihan dialiser menggunakan hipokhlorit. Zat tersebut bila
dipergunakan pada dialiser AN-69 akan mengaktifkan faktor Hageman pada permukaannya. Hipoklorit
merupakan suatu zat kuat bersifat oksidatif yang dapat menghancurkan lapisan protein di membran
dialiser yang dipakai sehingga mengaktifkan factor XII. Sebaliknya apbila kita menggunakan pemutih
jenis formaldehyde, zat ini malahan akan memperkuat ikatan protein pada permukaan membran dialiser
sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya aktivasi dari faktor Hageman.3,4,5,6

Reaksi tipe A ini dapat timbul pula pada keadaan-keadaan dibawah ini:

a. Penggunaan dialiser high-flux dengan dialisat bikarbonat diduga terkontaminasi oleh peptida
bakteri.
b. Reaksi tipe A jarang terjadi pada dialiser yang direuse. Pada keadaan ini tidak ditemukan
penyebab maupun hubungannya dengan proses reuse (otomatis atau manual), jenis dialisat
(bikarbonat atau acetat). Diduga berhubungan dengan proses pemutihan menggunakan
hidrogen peroksida.
c. Heparin dengan acetat dapat mempresipitasi reaksi tipe A yang memberikan keluhan
bronkhospasme.
d. Formaldehyde dan karet latex murni ternyata dapat menimbulkan reaksi anafilaktoid.

Pengobatan dan pencegahan reaksi tipe A: Proses hemodialisis harus segera dihentikan. Jangan
mengembalikan darah yang sudah keluar masuk kembali kedalam tubuh pasien. Terapi steroid
epinephrine, bronkho-dilator atau bronkho-presor dapat digunakan tergantung kepada berat ringannya
gejala. Reaksi tipe A dapat dicegah dengan mencuci dialiser dengan baik dan benar, sterilisasi yang
cukup, gunakan dialiser reuse dan jangan mengunakan membran PAN pada mereka yang diobati dengan
ACEI. Pada pasien-pasien yang baru pertama kali didialisis maka sterilisasi membran menggunakan
iradiasi gamma atau diuap serta pencegahan dapat dilakukan dengan cara pemberian antihistamin atau
steroid sebelum dialisis terutama pada pengguna pertama yang pernah mengalami reaksi tipe
sebelumnya 1,3,6
Disadur dari Pastan S, Bayle J. Dialysis Therapy NEJM 1918

Reaksi Tipe B

Reaksi tipe B lebih sring terjadi dan gejalanya tidak seberat rekasi tipe A. Reaksi tipe B terjadi sebanyak
3-5% pada pasien yang menggunakan membran baru celluloid. Gejala yang sering terjadi adalah: nyeri
dada dan pinggang, sesak nafas, mula muntah dan hipotensi. Gejala anafilaksis sangat jarang terjadi
pada reaksi tipe B ini.1,3,6

Perbedaan yang menyolok antara tipe B dan A adalah:

a. Gejala yang timbul agak lambat, dan biasanya dimulai 15-30 menit atau lebih lama setelah
proses dialisis berlangsung.
b. Perbaikan akan segera timbul bila kita tetap melanjutkan proses hemodialysis.

Etiologi atau patogenesis reaksi tipe B diduga berhubungan dengan komplemen. Kelompok gugus
hidroksil bebas dari membran dialiser akan mengaktifkan jalur alternatif komplemen yang meningkatkan
aktivitas netrofil dan sekaligus bocor kedalam sirkulasi paru-paru. Aktivasi komplemen ditentukan dari
jenis membran dialiser. Bila biokompatibilitas membran yang digunakan tinggi maka reaksi
komplemennya akan berkurang. Jenis-jenis membaran dialiser menurut tingkat biokompatibilitas (dari
yang tinggi sampai yang paling rendah): membran sisntetik (paling biokompatibel), reused cellulose,
cellulosyntetic (hemophan), subsitute cellulose (cellulose acetate) dan cellulose/cuprophane (paling
rendah biokompatibilitasnya).1,6
Pengobatan dan pencegahan reaksi tipe B biasanya berupa terapi suportif saja oleh karena reaksi ini
akan baik sendiri apabila proses dialisis tetap dilanjutkan. Sindroma ini dapat dihindari dengan
penggunaan dialiser reuse dimana terjadi penurunan aktivitas komplemen dan leukopenia sebesar 90%.
Sifat proteksi ini disebabkan oleh karena gugus hidroksil bebas dilapisi oleh protein plasma. Apabila
reaksi tipe B ini masih terjadi sebaiknya dialiser diganti dengan dialiser yang lebih biokompatibel.1,6

Kepustakaan

1. Daugiras JT, Ing TS. First-use reactions during hemodialysis: a definition of subtypes. Kidney Int
Suppl 1988:24:S37-S43.
2. Lemke HD, Heidland A, Schaefer RM. Hypersensitivity reactions during haemodialysis: role of
complement fragments and ethylene oxide antibodies. Nephrol Dial Transplant 1990;5:264-9.
3. Parnes EL, Shapiro WB. Anaphylactoid reactions in Hemodialysis patients treated with the AN69
dialyzer. Kidney Int 1991; 40:1148-52.
4. Schulman G, Hakim R, Arias R et al. Bradykinin generation by dialysis membranes:pssible role in
anaphylactic reaction. JASN 1993;3:1563-9
5. John B, Anijeet HK, Ahmad R. Anaphylactic reaction during haemodialysis on AN69 membrane in
a patient receiving angiotensin II receptor antagonist. Nephrol Dial Transplant 2001;16: 1955-6.
6. Hakim RM. Clinical implications of hemodialysis membrane biocompatibility. Kidney Int 1993:
44(3):484-94.
7. BoureT, Vanholder R. Which dialyzer membrane to choose? Nephrol Dial Transplant
2004,19:293-296.
8. Hakim RM. Complement activation by biomaterials. Cardiovasc Pathol 1993;2: S187-S197.
9. Chenoweth DE. Complement activation in extracorporeal ciecuits. Ann N Y Acad Sci
1987;516:306-13.
10. Pastan F, Bayle J. Dialysis therapy.NEJM 1998;May 14:1428-1437

You might also like