You are on page 1of 2

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengesahkan UU No.

2 Tahun 2014 tentang


perubahan UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Rampungnya revisi undang-undang
ini disambut baik oleh para notaris yang tergabung dalam Ikatan Notaris Indonesia (INI). “Ini
buah dari perjuangan selama empat tahun (sejak 2009,-red),” ujar Ketua INI Adrian Djuaini.

Buah perjuangan ini tentu tidak dapat memuaskan seluruh anggota. Adrian sempat meminta
untuk tidak melihat kekurangan undang-undang ini. Kendati demikian, pro kontra atas undang-
undang jabatan notaris yang baru tak terelakkan. Berbagai rasa tumpah ruah. Ada yang suka,
ada yang tidak. Ada yang puas dan ada yang harus menelan rasa kecewa dan bingung. Masuk
akal memang jika timbul pro kontra sebab tak mungkin semua keinginan para anggota
ditampung dalam satu undang-undang.

Salah satu pasal yang dianggap mengecewakan adalah soal jangka waktu magang notaris.
Para calon notaris sebagian tak menyukai masa magang menjadi 24 bulan. Calon notaris
berpikir tak ada guna magang selama 2 tahun. Hingga muncullah pemikiran bahwa
perpanjangan masa magang adalah salah satu bentuk moratorium terselubung.

Pasal lain yang sempat menyedot perhatian adalah ketentuan mengenai sidik jari. Terdengar
sederhana, tetapi tidak dalam praktiknya. Para notaris kebingungan jari-jari mana saja yang
harus diambil sidik jarinya dan bagaimana mekanisme penggunaan sidik jari secara elektronik.
Bahkan sempat terlontar jika notaris disamakan dengan pemeriksa para kriminal.

Selain pasal-pasal tersebut, banyak pasal yang berbeda antara ketentuan yang baru dengan
yang lama. Berdasarkan pengamatan hukumonline, ada 44 pasal yang mengalami
amandemen, baik berupa perubahan, penambahan, maupun penghapusan. Hal ini juga patut
diperhatikan sebab implikasi hukumnya menjadi berbeda. Coba simak di bawah ini pasal-pasal
yang perbedaannya cukup krusial antara ketentuan lama dengan yang baru berdasarkan
pengamatan hukumonline:

Ketentuan lain yang sempat menjadi perdebatan hangat di kalangan notaris adalah mengenai
Pasal 15 ayat (2) huruf f, yaitu notaris memiliki kewenangan untuk membuat akta yang
berkaitan dengan pertanahan. Isu ini sedikit panas karena terjadi “perebutan kewenangan”
antara Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan Notaris. Sebab, klausula ini dianggap
dapat mematikan profesi PPAT.

Terhadap persoalan ini, Mantan Ketua Pengurus Wilayah IPPAT Jawa Barat, Pieter A
Latumeten menganggap hal ini tidak perlu dipersoalkan. Pieter mengatakan notaris memang
berwenang untuk membuat akta di bidang pertanahan. Hal ini dimungkinkan sebab
kewenangan notaris itu tidak hanya bersumber pada Pasal 1868 KUHPerdata, teatpi juga
bersumber dari UU Jabatan Notaris itu sendiri.

Ia menjelaskan, untuk kewenangan yang bersumber pada Pasal 1868 KUHPerdata


diejawantahkan pada Pasal 15 ayat (1) UUJN, sedangkan kewenangan notaris yang berasal
dari UUJN adalah kewenangan-kewenangan yang tercantum dalam Pasal 15 ayat (2) termasuk
kewenangan untuk membuat akta di bidang pertahanahan tersebut.

Pengajar di Magister Kenotariatan di FHUI ini pun mencontohkan kewenangan dalam membuat
suatu akta yang juga dimiliki instansi lain selain notaris, yaitu akta pengakuan terhadap anak
luar kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 281 KUHPerdata. Kewenangan membuat akta
pengakuan terhadap anak luar kawin ini juga dimiliki oleh Kantor Catatan Sipil.

“Itu tidak perlu dipersoalkan,” tuturnya kepada hukumonline ketika ditemui di Universitas
Indonesia, Kamis (13/3).

Banyak Sanksi Intai Notaris Aturan main tentu tak lengkap jika tidak diikuti dengan sebuah
hukuman. Tampaknya, UUJN yang baru memberikan perhatian yang penuh atas terhadap
sanksi. Hukumonlinemencatat setidaknya ada sembilan pasal yang mengatur dengan tegas
sanksi yang diancam kepada notaris yang melakukan kesalahan sebagaimana diatur dalam
pasal-pasal tersebut.

Pasal-pasal yang memuat sanksi itu adalah Pasal 7 ayat (2); Pasal 16 ayat (11), ayat (12), ayat
(13); Pasal 17 ayat (2), Pasal 19 ayat (2); Pasal 32 ayat (4); Pasal 37 ayat (2); Pasal 54 ayat
(2), dan Pasal 65A. Pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut dikenakan sanksi yang dimulai
dari peringatan tertulis hingga pemberhentian tidak hormat.

Sementara itu, terhadap notaris yang melakukan kesalahan sehingga menyebabkan kekuatan
pembuktian akta berubah menjadi akta di bawah tangan, para pihak dapat meminta ganti rugi
kepada notaris yang bersangkutan. Hal itu dapat terjadi apabila notaris melanggar Pasal 41
yaitu tidak melaksanakan Pasal 38, 39, dan 40; Pasal 44 ayat (5); Pasal 48 ayat (3), Pasal 49
ayat (4), Pasal 50 ayat (5), dan 51 ayat (4).

Jika dibandingkan dengan ketentuan yang lama, ketentuan mengenai sanksi diatur dalam bab
tersendiri, bukan pasal per pasal. Untuk sanksi berupa peringatan tertulis hingga
pemberhentian tidak hormat, dijerat kepada notaris yang melanggar Pasal 7, Pasal 16, 17,
Pasal 19, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, dan Pasal 63.

Pieter tak setuju dengan banyaknya aturan mengenai sanksi dalam UU Jabatan Notaris ini.
Menurutnya, ada beberapa aturan yang tidak perlu diatur secara tegas mengenai pemberian
sanksinya. Contohnya adalah pencantuman mengenai ganti rugi. Kendati demikian, hal ini juga
dapat memudahkan pihak yang dirugikan dalam hal pembuktian. Penggugat dinilai menjadi
mudah dalam membuktikan unsur kesalahan si notaris ketika melakukan kesalahan.

“Saya tidak setuju. Sebenarnya nggak perlu dicantumkan karena otomatis melanggar Pasal
1365 KUHPerdata. Kan ada lex generalisnya,” lanjutnya.

You might also like