You are on page 1of 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gagal Jantung Kongestif.


2.1.1. Defenisi.
Gagal jantung kongestif adalah sindroma klinis kompleks yang merupakan hasil dari
gangguan fungsional atau struktural jantung dimana terjadi gangguan pengisian ventrikel atau
pemompaan darah. Gangguan jantung ini dapat merupakan hasil langsung akibat disfungsi
sistotik ventrikel kiri dan/atau disfungsi diastolik ataupun dari bawaan yang menghasilkan
sekumpulan gejala dan tanda klinis. (Figueroa, 2006).

2.1.2. Etiologi.
Tabel 2.1. Penyebab gagal jantung kiri
Gangguan kontraktilitas
Infark miokardium
Transient myocardial ischemia
Beban volume: regurgitasi katup (mitral atau aorta)
Kardiomiopati dilatasi
Peningkatan afterload (beban tekanan)
Hipertensi sistemik
Obstruksi aliran: stenosis aorta
Obstruksi pengisian ventrikel kiri
Stenosis mitral
Konstriksi pericardial atau tamponade
Gangguan relaksasi ventrikel
Hipertrofi ventrikel kiri
Kardiomiopati hipertrofi
Kardiomiopati restriktif
Sumber: Shah, R.V., Fifer, M.A., 2007. Heart Failure. In: Lilly, L.S., ed. Pathophysiology of
Heart Disease. 4thed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 234
Tabel 2.2. Penyebab gagal jantung kanan
Penyebab jantung
Gagal jantung kiri
Stenosis katup pulmonal
Infark ventrikel kanan
Penyakit parenkim paru
Penyakit paru obstruksi kronis
Penyakit paru interstisial
Adult respiratory distress syndrome
Infeksi paru kronis atau bronkiektasis
Penyakit vaskular paru
Emboli paru
Hipertensi pulmonal primer
Sumber: Shah, R.V., Fifer, M.A., 2007. Heart Failure. In: Lilly, L.S., ed. Pathophysiology of
Heart Disease. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 235

2.1.3. Klasifikasi.
Dibedakan atas onset, lokasi dan fungsi terjadinya gagal jantung, yaitu:
1. Gagal jantung akut-kronik
a) Gagal jantung akut yang terjadi secara tiba-tiba, ditandai dengan penurunan
kardiak output dan tidak adekuatnya perfusi jaringan. Ini dapat mengakibatkan
edama paru dan kolaps pembuluh darah.
b) Gagal jantung kronik terjadi secara perlahan ditandai dengan penyakit jantung
iskemik, penyakir paru kronis. Pada gagal jantung kronik terjadi retensi air
dan sodium pada ventrikel sehingga menyebabkan hipervolemis, akibat
ventrikel dilatasi dan hipertrofi.

2. Gagal jantung kanan-kiri


a) Gagal jantung kiri terjadi karena ventrikel gagal untuk memompa darah secara
adekuat sehingga menyebabkan kongesti pulmonal, hipertensi dan kelainan
pada katub aorta/mitral.
b) Gagal jantung kanan disebabkan peningkatan tekanan pulmonal akibat gagal
jantung kiri yang berlangsung cukup lama sehingga cairan yang terbendung
akan berakumulasi secara sistemik di kaki, asites, hepatomegali, efusi
pleura,dan lain-lain.

3. Gagal jantung sistolik-diastolik


a) Gagal hantung sistolik terjadi karenan kontraktilitas ventrikel kiri sehingga
ventrikel kiri tidak mampu memompa darah akibatnya kardiak output
menurun dan ventrikel hipertrofi.
b) Gagal jantung diastolik terjadi karena ketidak mampuan ventrikel dalam
pengisian darah akibatnya stroke volume kardiak output turun.

2.1.4. Patofisiologi.
Gagal jantung kongestif tidak hanya mengindikasikan ketidakmampuan jantung untuk
mempertahankan aliran oksigen yang adekuat, tetapi juga merupakan suatu respon sistemik
untuk mengkompensasi ketidakmampuan itu.
Determinan dari curah jantung adalah kecepatan denyut jantung dan volume
sekuncup. Volume sekuncup ditentukan oleh preload (volume yang masuk ke ventrikel kiri),
kontraktilitas, dan afterload (impedansi aliran dari ventrikel kiri). Variabel ini penting dalam
memahami patofisiologi dari gagal jantung.
Preload biasanya dinyatakan sebagai volume akhir diastolik dari ventrikel kiri dan
secara klinis dapat dinilai dengan mengukur tekanan atrium kanan. Kontraktilitas
menggambarkan pemompaan oleh otot jantung dan biasanya dinyatakan sebagai fraksi ejeksi.
Afterload adalah tahanan yang harus dilawan oleh jantung untuk memompa darah
keluar, biasanya dinilai dengan mengukur tekanan arteri rata – rata. Gangguan jantung pada
gagal jantung kongestif dapat dievaluasi dari variabel – variabel di atas. Jika curah jantung
menurun, kecepatan denyut jantung atau volume sekuncup harus berubah untuk
mempertahankan perfusi normal. Jika volume sekuncup tidak bisa dipertahankan, maka
kecepatan denyut jantung harus meningkat untuk mempertahankan curah jantung (Figueroa,
2006).
Gambar 2.1. Determinan dari curah jantung
Sumber: Figueroa, M.S., Peters, J.I., 2006. Congestive Heart Failure: Diagnosis,
Pathophysiology, Therapy, and Implications for Respiratory Care, University of Texas Health
Science Center.
Akan tetapi, patofisiologi dari gagal jantung kongestif tidak hanya mencakup
abnormalitas struktural jantung, tetapi juga mencakup respon kardiovaskular terhadap perfusi
yang menurun dengan cara pengaktivasian dari sistem neurohumoral (Jessup, 2003). Sistem
renin-angiotensin akan teraktivasi untuk meningkatkan preload dengan cara menstimulasi
retensi garam dan air, meningkatkan vasokonstriksi, dan memperbesar kontraksi jantung.
Pada awalnya, respon ini mencukupi kebutuhan, namun aktivasi berkepanjangan akan
mengakibatkan kehilangan miosit dan perubahan pada miosit dan matriks ekstraselular yang
masih ada. Miokardium yang tertekan akan mengalami perubahan bentuk dan dilatasi sebagai
respon dari hal tersebut. Proses ini juga merusak fungsi paru, ginjal, otot, pembuluh darah,
dan beberapa organ lainnya.
Perubahan bentuk jantung sebagai dekompensasi juga menyebabkan beberapa
komplikasi, seperti regurgitasi mitral akibat peregangan dari anulus katup dan aritmia jantung
akibat perubahan bentuk atrium. Pasien dengan peningkatan tekanan diastolik akhir akan
mengalami edema paru dan dispnea (Figueroa, 2006).

2.1.5. Gejala Klinis.


Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatnya tekanan vena
pulmonalis dan paru menyebabkan pasien menjadi sesak nafas dan ortopnea. Gagal jantung
kanan terjadi jika kelainannya menyebabkan kelemahan ventrikel kanan, seperti pada
hipertensi pulmonal primer/ sekunder, tromboembli paru kronik sehingga terjadi kongesti
vena sistemik yang menyebabkan peningkatan edema perifer, hepatomegali, dan distensi
vena jugularis (Panggabean, 2006).
Pada gagal jantung tahap akhir dapat ditemukan pola pernafasan hiperpnea dan apnea
yang disebut sebagai pernafasan Cheyne-Stokes. Beberapa faktor yang menyebabkan
pernafasan ini adalah hiperventilasi akibat kongesti paru dan hipoksia. Hiperventilasi
menyebabkan kadar CO2 arteri menjadi rendah dan memicu apnea sentral (Gopal, 2009).
Tabel 2.3. Gejala klinis gagal jantung
Gagal Jantung Kiri Gagal Jantung Kanan
Gejala Temuan Klinis Gejala Temuan Klinis
Dyspnoea Diaphoresis Edem Perifer Tekanan Vena
Orthopnoea Takikardi
Tidak nyaman pada Jugular
Paroxysmal Takipnoe
perut kuadran meningkat
Nocturnal Dyspnoea Ronki paru Hepatomegali
Fatigue P2 mengeras kanan atas Edem perifer
S3 gallop

2.1.6. Diagnosis.
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi, foto
toraks, ekokardiografi-Doppler, dan kateterisasi. Kriteria Framingham dapat digunakan untuk
diagnosis gagal kongestif (Panggabean, 2006).

Tabel 2.4. Kriteria Framingham untuk diagnosis gagal jantung kongestif


Kriteria Mayor
Paroksismal nokturnal dispnea
Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peningkatan tekanan vena jugularis ( > 16 cmH2 O)
Refleks hepatojugular

Kriteria Minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dyspnea d’ effort
Hepatomegali
Efusi Pleura
Penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal
Takikardia ( > 120 kali/menit)
Mayor atau Minor
Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
Sumber: Braunwald, E., 2005. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper, D.L et al., eds.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. USA: McGraw-Hill, 1371

Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan bila minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor (Braunwald, 2005).
The New York Heart Association (NYHA) Klasifikasi Fungsional menyediakan cara yang
mudah untuk mengklasifikasi tingkat gagal jantung. Ini menempatkan pasien dalam satu dari
empat kategori berdasarkan berapa banyak mereka dibatasi selama aktivitas fisik,
keterbatasan / gejala dalam hal pernapasan normal dan berbagai tingkatan dalam sesak napas
dan atau nyeri angina.

Tabel 2.5. Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association
Kelas Simptom
I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik.
II Pembatasan ringan pada aktivitas fisik, dispnea dan kelelahan pada aktivitas
fisik sedang, seperti menaiki tangga dengan cepat.
III Pembatasan pada aktivitas fisik, dispnea muncul pada aktivitas fisik minimal.
IV Pembatasan berat pada aktivitas fisik, simptom muncul bahkan pada saat
istirahat.
Sumber: Shah, R.V., Fifer,M. A., 2007. Heart Failure. In: Lilly, L.S., ed. Pathophysiology of
Heart Disease. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 242
2.1.7. Pemeriksaan Penunjang.
1. Foto rontgen dada:
Berguna untuk mandeteksi kardiomegali, kongesti paru, dan akumulasi cairan pleura,
dan dapat menunjukkan adanya penyakit paru atau infeksi yang menyebabkan atau
memberikan kontribusi terhadap dispnea. Temuan ini bersifat prediktif.
2. Elektrokardiografi:
Membantu menunjukkan etiologi gagal jantung (infark, iskemia, hipertrofi) dapat
ditemukan low voltage, T inverse, QS, depresi st dll.
3. Tes Laboratorium:
Evaluasi diagnostik rutin pasien dengan gagal jantung diduga termasuk hitung darah
lengkap, serum elektrolit, kreatinin serum, diperkirakan GFR, glukosa, tes fungsi hati dan
urine.
4. Echocardiography:
Echocardiography tersedia secara luas, cepat, nonvasif dan aman, dan menyediakan
informasi secara ekstensif tentang anatomi jantung, dinding gerak, dan fungsi katup.

2.1.8. Penatalaksanaan.
a) Terapi Farmakologi
1. Glikosida Jantung
Digitalis , meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan memperlambat
frekuensi jantung. Efek yang dihasilkan : peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena
dan volume darah dan peningkatan diuresis dan mengurangi edema. Preparat digitalis seperti
digoxin 0,5 mg secara IV atau IM terutama bila sudah ada takikardia supraventrikular.
2. Terapi Diuretik
Diberikan untuk memacu eksresi natrium dan air melalui ginjal. Penggunaan harus
hati – hati karena efek samping hiponatremia dan hipokalemia. Pemberian diuretik seperti
furosemid (40- 80 mg) secara IV.
3. Penghambat ACE
Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan pada gagal
jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.

4. Penyekat Reseptor Beta


Penyekat respetor beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Penyekat reseptor
beta yang digunakan biasanya adalah carvedilol, bisoprolol atau metoprolil dan digunakan
bersama penghambat ACE dan diuretik.
5. Terapi Vasodilator.
Obat-obat vasoaktif digunakan untuk mengurangi impedansi tekanan terhadap
penyemburan darah oleh ventrikel. Obat ini memperbaiki pengosongan ventrikel dan
peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat diturunkan.
6. Antikoagulan dan Antiplatelet.
Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli serebral pada penderita dengan
fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi
atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis dan transient ischemic attacks,
trombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel.

Gambar 2.2. Algoritme terapi pasien gagal jantung.


b) Terapi Non Farmakologi
Anjuran umum:
1. Edukasi: terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
2. Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan dapat dilakukan seperti biasa.
3. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan
4. Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.

Tindakan umum:
1. Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 gram pada gagal jantung ringan dan 1 gram pada
gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal
jantung ringan.
2. Hentikan rokok
3. Aktivitas fisik ( latihan jasmani: jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30menit atau sepeda
statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada
gagal jantung ringan dan sedang)
4. Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.

2.1.9. Prognosis.
Menentukan prognosis pada gagal jantung sangat kompleks, banyak variable yang
harus diperhitungkan seperti etiologi, usia, ko-morbiditas, variasi progresi gagal jantung tiap
individu yang berbeda. Dampak spesifik gagal jantung terhadap setiap individu sulit untuk
diperkirakan.

You might also like