You are on page 1of 3

Venus

Karya Wulan Endah

Mereka lahir kembar. Tubuh Rara memang lebih besar hingga tak perlu
diinkubator, Rara dapat segera menyusu dengan damai di payudara bundanya. Venus
sesekali menangis karena merasa tak nyaman berada di inkubator, nyala lampunya
mungkin terlalu panas, tidak senyaman di rahim bundanya. Entahlah, waktu bundaku
melahirkan adik-adikku itu, usiaku sudah jauh besar, aku kelas empat. Awalnya aku
merasa senang karena akan memiliki adik, terus terang aku kesepian, tapi teman-
temanku bilang tidak enak punya adik. Aku akan tersisih, bunda akan sibuk mengurus
adik saja. Aku jadi khawatir apa yang dikatakan teman-temannku itu benar.

Bunda sayang pada Venus, tapi setelah pulang ke rumah dia kewalahan
mengurus keduanya, hingga akhirnya Venus disusui oleh botol, oleh nenekku. Rara
tetap anteng bersama bunda, sementara aku mulai menjauh dari keduanya, sambil
kadang-kadang aku nilai juga perilaku bundaku itu. Menurutku bunda lebih menyayangi
Rara, adikku yang satu ini secara total mencuri posisiku, sedangkan Venus menjadi
anak nenekku, nenekku tetap seperti biasa, dia selalu memperhatikanku walaupun dia
kelihatan sibuk juga mengurusi Venus.

Venus tumbuh menjadi anak yang cantik dan ramah, kepada siapapun dia selalu
tersenyum. Meskipun aku tahu Venus sedih, merasa tersisih sepertiku.

Sore itu Venus menangis dengan kencang sambil burguling di lantai, aku yang
ditugasi ibu menjaganya tak mampu menghalau perangainya. Sudah aku gendong dan
aku bawa ke kamar untuk menenangkannya. Tapi ia berlari mengejar Rara dan bunda.
Bunda memberengut padaku. Bunda menggendong Venus ke kamar, mengganti
pakainnya.

Aku merasa bebas di rumah. Selagi kedua adikku itu pergi aku bermain psp
dengan riang, sesekali tatapan tajam bunda mengangguku. Tak begitu lama rasanya
bunda pergi. Namun tiba-tiba nenek mengajakku ke rumah sakit, dengan panik.
“Ya Allah, kasihanilah Venus, selamatkan dia!

“Kenapa Venus Nek?”

“Kena ban motor”

Nenek terlarut dalam duka dan tak dapat lagi aku tanya. Aku merasa dadaku
sesak, seakan-akan mata bunda kembali datang dan menusukku. Bunda memang tak
ingin membawa Venus ke perayaan ulang tahun teman Rara. Dari setelah pulang
sekolah bunda sudah pesan “Jagain Venus, dia ga bunda ajak”

“Ga ah mah, males” jawabku

“berani kamu lawan bunda, dia itu adikmu, tugas seorang kakak itu jagain adik”

“kasian Venus bun, ga pernah diajak kemana-mana, yang diajak Rara terus”

“Alah kamu sok peduli, padahal kamu yang minta diajak”

“Venus itu item, kurus bunda malu kalau bawa-bawa dia”

Aku hanya membisu dan ingat pada Venus. Duh, adikku yang malang, kenapa
bunda setega itu, aku merasa tak berguna sebagai seorang kakak. Aku sadar kalau
Rara lebih disayangi bunda, tetapi aku tak berusaha menjadi kakak yang menyayangi
Venus, aku terlalu asyik dengan gameku. Ada apa dengan kaki Venus? Dadaku
semakin sesak memikirkan ini sepanjang jalan menuju rumah sakit.

Setelah kami sampai, Venus sudah di ruang operasi. Aku semakin menyesal. Ini
semua salahku. Mata bunda tampak merah dan bibirnya pucat gemetar.

“Ma, venus jari kakinya hilang!’ sambil terus memeluk nenek bunda bercerita.

Katanya, Bunda sudah memberi lampu kode untuk menyeberang, namun motor
dibelakangnya melaju kencang dan semuanya sudah terlambat. Kaki Venus sungguh
naas terjepit jari-jari motor yang masih berputar, alhasil Venus kehilangan dua jari
kakinya. Tidak bisa disambung, meski potongannya masih utuh, karena tulangnya telah
patah. Bulan demi bulan ku lihat Venus masih sering menangisi jari kakinya. Venus jadi
semakin kurus saja.

Venus menemukan bunda yang lebih peka di alam lain. Aku jadi membenci diriku
sendiri, aku telah gagal jadi kakak yang baik. Bunda sudah tak lagi peduli padaku
ataupun Rara. Bunda dibawa nenek entah ke mana. Kata nenek, bunda sakit dan
sedang berobat. Bunda kian lusuh dan kacau ketika menerima telepon dari teman ayah.
Ayah harusnya sudah pulang dari Lampung, tetapi mobil yang dibawa ayah terperosok
ke jurang, ayah tak bisa diselamatkan.

You might also like