You are on page 1of 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asfiksia merupakan suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen
dan berlebihnya kadar karbon dioksida secara bersamaan dalam darah dan
jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen dalam alveoli paru –
paru dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru – paru. Asfiksia karena
obstruksi jalan nafas adalah satu dari beberapa penyebab kegagalan oksigenasi
jaringan yang biasanya karena kekerasan (Amir, 2013).
Terdapat empat jenis asfiksia yaitu anoksia anoksik dimana oksigen gagal
untuk masuk ke dalam sirkulasi darah seperti pembekapan, gantung diri,
penjeratan, pencekikan, pemitingan, atau korpus alienum dalam tenggorokan
sehingga menyebabkan hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan
nafas yang dikenal sebagai asfiksia mekanik. Selain itu terdapat anemik-hipoksia
dimana darah yang tersedia tidak dapat membawa oksigen yang cukup untuk
metabolisme dalam jaringan, stagnan hipoksia dimana karena suatu sebab terjadi
kegagalan sirkulasi, histotoksik-hipoksia dimana oksigen yang terdapat dalam
darah karena suatu hal oksigen tersebut tidak dapat dipergunakan oleh jaringan.
(Amir, 2013).
Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai pada
bunuh diri. Tindakan bunuh diri dengan cara penggantungan sering dilakukan
karena dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja, dapat menggunakan seutas
tali, kain, dasi atau bahan apa saja yang dapat melilit leher. Demikian pula pada
pembunuhan atau hukuman mati dengan cara penggantungan yang sudah
digunakan sejak zaman dahulu. Penggantungan (hanging) adalah penyebab
kematian akibat asfiksia yang paling sering ditemukan (Noharakrizo, 2011; Idries,
1997).

1
Penggantungan merupakan penyebab kematian yang paling sering
menimbulkan persoalan karena rawan terjadi kesalahan interpretasi baik oleh ahli
forensik maupun non forensik. Selain itu, penggantungan diri merupakan metode
bunuh diri yang paling sering ditemukan di banyak negara. Di Inggris, terdapat
lebih dari 2000 kasus bunuh diri dengan penggantungan dilaporkan setiap tahun.
Pada balita, biasanya terjadi accidental hanging yaitu penggantungan yang tidak
disengaja misalnya terjerat tali ayunan (Sharma, 2013; Ernoehazy, 2013).
Data statistik mengenai frekuensi dan distribusi variasi kasus gantung diri
di Indonesia masih sangat langka. Penelitian tentang gantung diri di Indonesia
juga masih sangat terbatas jumlahnya. Data yang dihimpun dari Polda Metro Jaya
diketahui bahwa pada tahun 2009 ada 90 kasus gantung diri, tahun 2010 ada 101
kasus dan tahun 2011 ada 82 kasus gantung diri (Felisiani, 2012).
Dalam kasus gantung diri diperlukan pemeriksaan yang teliti untuk
mencegah kemungkinan lain seperti pembunuhan atau kecelakaan. Oleh karena
itu, sangat diperlukan pemahaman lebih mendalam mengenai penggantungan
(hanging). Selain itu, dalam aspek medikolegal, dokter yang memeriksa perlu
memastikan apakah kasus penggantungan tersebut merupakan bunuh diri,
pembunuhan, atau kecelakaan sehingga dapat memperjelas suatu perkara pidana
khusunya penggantungan (Idries, 1997).

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan dari pembuatan tulisan ini adalah untuk lebih mengerti dan
memahami mengenai gantung diri / hanging. Tulisan ini juga dibuat untuk
memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik RS Bhayangkara POLDASU
medan.

1.3 Manfaat Penulisan


Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat lebih
mengetahui dan memahami mengenai gantung diri / hanging.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Hanging

Penggantungan (hanging) adalah suatu keadaan dimana terjadi kontriksi


dari leher oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau
sebagian. Alat penjerat sifatnya pasif sedangkan berat badan sifatnya aktif
sehingga konstriksi terjadi pada leher (Idries, 1997).
Pada beberapa kasus, konstriksi dari leher terjadi akibat eratnya jeratan tali
bukan karena berat badan yang tergantung. Pada beberapa kasus, jeratan tali
dipererat oleh berat tubuh yang tergantung oleh individu dalam keadaan tegak
lurus. Kekuatan tambahan juga kadang dibutuhkan untuk menggerakkan tali
(Skhrum, 2007).

2.2. Posisi Gantung Diri

Posisi korban pada kasus gantung diri bisa bermacam – macam,


kemungkinan tersering (Sharma, 2005) :
1. Kedua kaki tidak menyentuh lantai (complete hanging)
2. Duduk berlutut (biasanya menggantung pada daun pintu)
Untuk posisi ini ada yang menyebutkan dengan istilah penggantungan
parsial. Istilah ini digunakan jika beban berat badan tubuh tidak sepenuhnya
menjadi kekuatan daya jerat tali. Pada kasus tersebut berat badan tubuh tidak
seluruhnya menjadi gaya berat sehingga disebut penggantungan parsial. Bahan
yang digunakan biasanya tali, ikat pinggang, kain, dll.

3
2.3. Mekanisme Terjadinya Kematian
Sebab kematian mati gantung adalah asfiksia, tetapi sering disertai
penyebab yang lain. Yang paling sering adalah kombinasi asfiksia dengan
obstruksi pada pembuluh darah. Dengan demikian, sebab kematian bisa terjadi
karena (Amir, 2013) :
 Asfiksia
 Apopleksia (kongesti pada otak)
 Kombinasi dari asfiksia dengan apopleksia
 Iskemia serebral
 Syok vaso vagal
 Fraktur atau dislokasi vertebra servikalis
Mekanisme kematian akibat hanging masih belum dimengerti sepenuhnya,
penelitian tentang mekanisme tersebut masih banyak dilakukan. Tanda klasik dari
asfiksia dapat tidak muncul meskipun terdapat penggantungan yang penuh,
keadaan ini menunjukkan adanya penyebab kematian lain yang lebih cepat
mendahului munculnya tanda klasik asfiksia. Fenomena tersebut memunculkan
kemungkinan adanya peran tekanan pada sinus karotis dan henti jantung
neurogenik dalam kematian akibat hanging (James, 2011). Secara umum kematian
akibat hanging termasuk ke dalam asfiksia kompresi pada leher seperti pada kasus
strangulasi (Dix, 1999).
Pada kematian hanging akibat asfiksia, dapat dijumpai beberapa fase
seperti yang ditemukan pada kasus asfiksia secara umum. Fase sekuensial ini yang
dijumpai pada “episode asfiksia” tersebut adalah; fase dispnea, fase konvulsif,
fase pernafasan pra-terminal, dan fase gasping yang diikuti fase terminal. Tanda
yang dapat dijumpai pada fase tersebut adalah (James, 2011):
1. Fase dispnea ditandai dengan sesak nafas, peningkatan laju pernafasan,
dan sianosis yang dapat berlangsung selama beberapa menit.
2. Fase konvulsif ditandai kehilangan kesadaran, penurunan gerakan
bernafas, kongesti wajah, bradikardi, dan hipertensi yang dapat
berlangsung selama beberapa menit.

4
3. Fase pernafasan pra-terminal ditandai tidak adanya pernafasan, kegagalan
pusat pernafasan dan sirkulasi, takikardi, dan hipertensi yang juga dapat
berlangsung selama beberapa menit.
4. Fase gasping ditandai refleks pernafasan.
5. Fase terminal ditandai terhentinya gerakan, hilangnya refleks, dan dilatasi
pupil.
Mekanisme kematian asfiksia pada hanging termasuk pada asfiksia
mekanis yang berhubungan dengan tekanan pada leher, tiga akibat dari tekanan
langsung pada leher yang penting dalam ilmu forensik adalah strangulasi manual,
strangulasi tali, dan hanging. Hampir tidak dapat ditentukan dengan pasti laju
proses kematian dalam keadaan hanging, pada kasus tertentu kematian dapat
terjadi relatif lambat dan menimbulkan tanda klasik asfiksia, sedangkan pada
kasus lain tanda klasik asfiksia tidak timbul. Tekanan langsung pada leher dapat
menimbulkan beberapa efek tergantung pada tipe, daerah, dan luas tekanan yang
terjadi pada leher, efek tersebut dijabarkan sebagai berikut (James, 2011):
1. Obstruksi pada vena jugular, mengakibatkan gangguan pada aliran balik
vena dari kepala ke jantung yang berakibat sianosis, kongesti, dan petekie.
2. Obstruksi arteri karotis yang menyebabkan hipoksia serebral.
3. Stimulasi baroreseptor sinus karotis pada daerah bifurkasio dan arteri
karotis komunis berakibat henti jantung neurologis.
4. Elevasi dari laring dan lidah yang menutup saluran nafas pada tingkat
faring.

5
Gambar 2.1. Gambaran lokasi sinus karotis pada bifurkasio arteri karotis
komunis di leher, tekanan pada leher dapat mengakibatkan kompresi sinus karotis
(James, 2011).

Mengikuti kompresi pada leher, kehilangan kesadaran dapat terjadi dengan


cepat – kehilangan kesadaran dapat terjadi dalam 10 detik. Namun waktu sampai
terjadi kematian masih belum didapati pastinya, meskipun pada kasus hanging
yang terekam tidak dijumpai gerakan pernafasan setelah 2 menit dan hilangnya
gerakan otot dalam 7,5 menit (James, 2011). Setelah terjadinya kehilangan
kesadaran akibat suspensi beban tubuh pada hanging, kerusakan otak yang
ireversibel terjadi dalam 4 – 6 menit (Catanese, 2010).
Mekanisme kematian spesifik pada hanging dapat dibagi menjadi kejadian
yang berhubungan dengan peradilan (hukuman mati) dan yang tidak berhubungan
dengan peradilan. Pada kejadian hanging non-judicial umumnya individu
menempatkan tali atau pengikat pada daerah superior pada lehernya dengan ujung
lainnya diikatkan pada penyokong yang tetap. Akibatnya beban tubuh (seluruhnya
atau sebagian) menarik kebawah sehingga terjadi oklusi pada struktur leher
sampai terjadinya kehilangan kesadaran. Pada hanging judicial tubuh akan
dijatuhkan dari ketinggian yang menimbulkan kekuatan yang cukup untuk
menimbulkan fraktur pada tulang leher, keadaan ini akan mengakibatkan henti
nafas dan jantung (Catanese, 2010).

6
Pada keadaan dimana terdapat struktur di dekat tubuh yang digantung,
individu dapat menarik atau mendorong tubuhnya secara parsial sehingga terjadi
pembebasan tekanan dengan derajat bervariasi sebelum hilangnya kesadaran,
keadaan hanging ini akan menimbulkan keadaan serupa dengan strangulasi.
Sirkulasi vena membutuhkan tekanan yang relatif kecil untuk menimbulkan
oklusi, pada keadaan dimana terjadi oklusi vena tanpa hambatan pada sirkulasi
arteri – tekanan besar pada arteri akan mengakibatkan ruptur pada kapiler yang
menimbulkan gambaran petekie (Catanese, 2010).

2.4. Gejala dan Tanda Klinis

Dari letak jeratan dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2013), yaitu:


1. Tipikal, dimana letak simpul di belakang leher, jeratan berjalan simetris di
samping leher dan di bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada saluran
nafas dan arteri karotis paling besar pada tipe ini.
2. Atipikal, bila letak simpul di samping, sehingga leher dalam posisi sangat
miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri karotis
dan arteri vetebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak sadar.

Dari letak tubuh terhadap lantai, hanging dapat dibedakan menjadi 2 tipe
(Amir, 2013), yaitu:
1. Tergantung total (complete), dimana tubuh seluruhnya tergantung di atas lantai
2. Setengah tergantung (partial), dimana tidak seluruh bagian tubuh tergantung,
misalnya pada posisi duduk, bertumpu pada kedua lutut, dalam posisi
telungkup dan posisi lain. Sisa berat bdan 10-15 kg pada orang dewasa sudah
dapat menyebabkan tersumbat saluran nafas dan hanya diperlukan sisa berat
badan 5 kg untuk menyumbat arteri karotis. Partial hanging hampir selamanya
karena bunuh diri.

Ada dua jenis simpul yaitu simpul hidup (running noose) dan simpul mati
(satu atau lebih). Pemeriksaan jenis dan panjang bahan yang dipakai, serta jenis

7
simpul dapat membantu menentukan cara kematian. Pada waktu membebaskan
lilitan dari leher korban, tidak boleh membuka simpul, tetapi lilitan dipotong di
luar simpul, karena bentuk simpul bisa membantu penentuan kematian secara
medikolegal (Saisudheer et al, 2012).

Gambar 2.2. Perubahan setelah kematian

2.5. Gambaran Postmortem pada Gantung Diri

Terdapat beberapa tanda klasik yang umumnya ditemukan pada kasus


asfiksia, namun tanda – tanda ini tidak spesifik yang juga dapat dijumpai pada
keadaan kongesti jantung. Peningkatan tekanan intravascular pada pembuluh
darah kepala dapat menimbulkan tiga tanda pertama pada tranda klasik asfiksia,
sedangkan kongesti jantung kanan dapat dianggap tidak relevan sebagai sumber
‘asfiksia’. Tanda klasik paling penting dalam asfiksia adalah petekie pada wajah
yang pelru dicari penyebab dan ditelaah oleh ahli patologi forensik. Tanda – tanda
klasik asfiksia secara berurutan adalah (James, 2011):

1. Pendarahan petekie pada kulit wajah dan pinggiran kelopak mata.


2. Kongesti dan edema pada wajah.
3. Sianosis (kebiruan) pada kulit wajah.
4. Kongesti jantung kanan dan keenceran abnormal darah.

8
Gambar 2.3. Gambaran petekie pada wajah dan subpleura yang dapat dijumpai
pada asfiksia mekanis (James, 2011).

Jejas luar pada leher kasus hanging bunuh diri lebih jelas daripada jejas
dalam. Tali atau penggantung yang menekan leher dapat meninggalkan bekas
pada leher, bila penggantung yang digunakan tipis (seperti tali) akan timbul tanda
depresi kulit yang jelas dan pola-nya dapat dicocokkan dengan penggantung
tersebut. Bila penggantungnya lebar (seperti handuk atau baju), tanda yang
ditimbulkan tidak spesifik (Dix, 1999). Bentuk jeratan pada leher umumnya
terputus pada bagian tertentu yang menunjukkan titik (garis) gantungan yang
umumnya ditemukan pada samping atau belakang leher. Bila tanda jeratan tampak
naik dari sisi leher (membentuk huruf v terbalik pada belakang kepala)
menunjukkan titik gantungan pada belakang kepala (Catanese, 2010).

9
Gambar 2.4. Gantung diri, dijumpai tanda jeratan yang terputus pada leher yang
menunjukkan titik gantungan (James, 2011).

2.6. Perbedaan Hanging Antemortem dan Postmortem

Tabel 2.1. Perbedaan hanging pada antemortem dan post-mortem (Saisudheer, 2012)

No. Penggantungan Antemortem Penggantungan Postmortem


1 Tanda-tanda penggantungan Tanda-tanda post-mortem
antemortem bervariasi. Tergantung menunjukkan kematian yang bukan
dari cara kematian korban disebabkan penggantungan
2 Tanda jejas jeratan miring, berupa Tanda jejas jeratan biasanya berbentuk
lingkaran terputus (non-continuous) lingkaran utuh (continuous), agak
dan letaknya pada leher bagian atas sirkuler dan letaknya pada bagian
Tanda-tanda post-mortem leher tidak begitu tinggi
menunjukkan kematian yang bukan
disebabkan penggantungan.
3 Simpul tali biasanya tunggal, Simpul tali biasanya lebih dari satu,
terdapat pada sisi leher. diikatkan dengan kuat dan diletakkan
pada
bagian depan leher
4 Ekimosis tampak jelas pada salah Ekimosis pada salah satu sisi jejas
satu penjeratan tidak ada atau tidak jelas.
sisi dari jejas penjeratan. Lebam Lebam mayat terdapat pada bagian
mayat tampak di atas jejas jerat dan tubuh yang menggantung sesuai
pada tungkai bawah dengan posisi mayat setelah
meninggal

10
5 Pada kulit di tempat jejas penjeratan Tanda parchmentisasi tidak ada atau
teraba seperti perabaan kertas tidak begitu jelas
perkamen, yaitu tanda
parchmentisasi
6 Sianosis pada wajah, bibir, telinga, Sianosis pada bagian wajah, bibir,
dan lain-lain sangat jelas terlihat telinga dan lain-lain tergantung dari
terutama jika kematian karena penyebab kematian
asfiksia
7 Wajah membengkak dan mata Tanda-tanda pada wajah dan mata
mengalami kongesti dan agak tidak terdapat, kecuali jika penyebab
menonjol, disertai dengan gambaran kematian adalah pencekikan
pembuluh dara vena yang jelas pada (strangulasi) atau sufokasi
bagian kening dan dahi
8 Lidah bisa terjulur atau tidak sama Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus
sekali kematian akibat pencekikan

9 Penis. Ereksi penis disertai dengan Penis. Ereksi penis dan cairan sperma
keluarnya cairan sperma sering tidak ada. Pengeluaran feses juga tidak
terjadi pada korban pria. Demikian ada
juga sering ditemukan keluarnya
feses
10 Air liur. Ditemukan menetes dari Air liur tidak ditemukan yang menetes
sudut mulut, dengan arah yang pada kasus selain kasus
vertikal menuju dada. Hal ini penggantungan.
merupakan pertanda pasti
penggantungan ante-mortem

2.7. Perbedaan Hanging pada Gantung Diri dan Pembunuhan

Tabel 2.2. Perbedaan hanging pada gantung diri dan pembunuhan (Saisudheer, 2012)

No. Penggantungan bunuh diri Penggantungan pembunuhan


1 Usia. Gantung diri lebih sering Tidak mengenal batas usia, karena
terjadi tindakan pembunuhan dilakukan oleh
pada remaja dan orang dewasa. musuh atau lawan dari korban dan
Anak-anak di bawah usia 10 tahun tidak bergantung pada usia
atau orang dewasa di atas usia 50
tahun jarang melakukan gantung diri
2 Tanda jejas jeratan, bentuknya Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran
miring, berupa lingkaran terputus tidak terputus, mendatar, dan
(noncontinuous) dan terletak pada letaknya di bagian tengah leher,
bagian atas leher karena usaha pelaku pembunuhan
untuk membuat simpul tali
3 Simpul tali, biasanya hanya satu Simpul tali biasanya lebih dari satu
simpul yang letaknya pada bagian pada bagian depan leher dan simpul

11
samping leher tali tersebut terikat kuat
4 Riwayat korban. Biasanya korban Sebelumnya korban tidak
mempunyai riwayat untuk mencoba mempunyai riwayat untuk bunuh diri
bunuh diri dengan cara lain
5 Cedera. Luka-luka pada tubuh Cedera berupa luka-luka pada tubuh
korban yang bisa menyebabkan korban biasanya mengarah kepada
kematian mendadak tidak ditemukan pembunuhan
pada kasus bunuh diri
6 Racun. Ditemukannya racun dalam Terdapatnya racun berupa asam
lambung korban, misalnya arsen, opium hidrosianat atau kalium
sublimat korosif dan lain-lain tidak sianida tidak sesuai pada kasus
bertentangan dengan kasus gantung pembunuhan, karena untuk hal ini
diri. Rasa nyeri yang disebabkan perlu waktu dan kemauan dari
racun tersebut mungkin mendorong korban itu sendiri. Dengan demikian
korban untuk melakukan gantung maka kasus penggantungan tersebut
diri adalah karena bunuh diri
7 Tangan tidak dalam keadaan terikat, Tangan yang dalam keadaan terikat
karena sulit untuk gantung diri mengarahkan dugaan pada kasus
dalam keadaan tangan terikat pembunuhan
8 Kemudahan. Pada kasus bunuhdiri, Pada kasus pembunuhan, mayat
mayat biasanya ditemukan ditemukan tergantung pada tempat
tergantung pada tempat yang mudah yang sulit dicapai oleh korban dan
dicapai oleh korban atau di alat yang digunakan untuk mencapai
sekitarnya ditemukan alat yang tempat tersebut tidak ditemukan
digunakan untuk mencapai tempat
tersebut
9 Tempat kejadian. Jika kejadian Tempat kejadian. Bila sebaliknya
berlangsung di dalam kamar, dimana pada ruangan ditemukan terkunci
pintu, jendela ditemukan dalam dari luar, maka penggantungan
keadaan tertutup dan terkunci dari adalah kasus pembunuhan
dalam, maka kasusnya pasti
merupakan bunuh diri
10 Tanda-tanda perlawanan, tidak Tanda-tanda perlawanan hampir
ditemukan pada kasus gantung diri selalu ada kecuali jika korban sedang
tidur, tidak sadar atau masih anak-
anak.

2.8. Aspek Medikolegal

Sekarang ini masih terdapat stigma dalam masyarakat bahwa kasus hanging
lebih menunjukkan kasus bunuh diri. Penyidik lebih cenderung yakin terhadap
kasus bunuh diri, terlebih lagi apabila peyidik tidak sadar terhadap tanda-tanda
yang membedakan antara hanging bunuh diri dengan hanging pada kasus

12
pembunuhan. Dalam hal ini, dokter dapat membantu menjelaskan kepada
penyidik mengenai tanda-tanda post-mortem tersebut dan membantu memberikan
suatu kesimpulan (Saukko, 2004).
Perbuatan bunuh diri dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan dan
dari remaja hingga orang tua. Pemeriksaan TKP penting untuk menjelaskan luka
di tubuh korban. Pembunuhan dengan cara hanging jarang terjadi, kecuali pada
orang yang tidak berdaya atau dilemahkan terlebih dahulu dengan kekerasan atau
racun. Tidak jarang korban yang telah mati digantung untuk menghilangkan jejak
pembunuhan (Amir, 2013).

Accidental Hanging
Penggantungan yang tidak disengaja ini dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu yang terjadi sewaktu bermain atau bekerja dan sewaktu melampiaskan nafsu
seksual yang menyimpang ( Auto – erotic Hanging ). Auto-erotic hanging atau
sexual asphyxia adalah salah satu bentuk dari accidental hanging. Disebutkan
bahwa penjeratan pada leher dapat meningkatkan rangsangan seksual. Korbannya
yang paling banyak adalah pria. Beberapa bahan lunak seperti handuk atau kabel
digunakan oleh korban dan kekuatan jeratannya ditingkatkan dengan tangan atau
digerakkan dengan kaki. Korbannya biasanya ditemukan dalam keadaaan
telanjang dengan gambar atau benda berisi hal-hal porno di sekitarnya. Jika
korban telah meminum alkohol, proses asfiksia menjadi lebih cepat terjadi.
Terkadang, korban tidak dapat melepaskan atau menurunkan kekuatan jeratan
tepat pada waktunya dan mungkin mati. Di dalam semua kasus seperti ini,
pemeriksaan tempat kejadian di sekitar korban sangat berguna (Bryan, 2005;
Sharma, 2005).

Homicidial Hanging
Pembunuhan dengan metode menggantung korbannya relatif jarang
dijumpai, cara ini baru dapat dilakukan bila korbannya anak – anak atau orang
dewasa yang kondisinya lemah, baik lemah oleh karena menderita penyakit, di
bawah pengaruh obat bius, alkohol atau korban yang sedang tidur. Pembunuhan

13
dengan cara penggantungan sulit untuk dilakukan oleh seorang pelaku (Bryan,
2005).

Judicial Hanging
Judicial hanging telah dilakukan sejak zaman dahulu sebagai bentuk
penghukuman. Pada judicial hanging, kematian berlangsung sangat cepat karena
fraktur di vertebra servikalis yang mengakibatkan perdarahan di medulla
oblongata. Sering didapati jantung masih berdenyut untuk beberapa saat
kemudian. Bila kematian karena penutupan arteri juga berlangsung cepat karena
iskemik otak, sedangkan kematian berlangsung lebih lambat pada penyumbatan
vena. Bila yang terobstruksi adalah saluran pernapasan, maka kematian dapat
berlangsung di bawah 5 menit (Amir, 2013).

14
BAB 3

KESIMPULAN

Penggantungan (hanging) adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari


leher oleh alat penjerat, misalnya dengan menggunakan tali, kain, dasi, atau bahan
apa saja yang dapat melilit leher, yang ditimbulkan oleh sebagian atau
keseluruhan berat badan. Pada kematian akibat asfiksia, dapat dijumpai beberapa
fase sekuensial akibat asfiksia, yaitu fase dispnea, fase konvulsif, fase pernafasan
pra-terminal, fase gasping, dan fase terminal. Secara umum, dapat dijumpai juga
tanda klasik asfiksia, yaitu petekia pada kulit wajah, kongesti, edema, dan sianosis
pada wajah. Namun, tanda-tanda tersebut berbeda pada setiap fase sekuensial.

Sebagai dokter, perlu pemahaman lebih mendalam mengenai


penggantungan (hanging), sehingga dapat memastikan apakah kasus
penggantungan tersebut merupakan bunuh diri, pembunuhan, atau kecelakaan
sehingga dapat memperjelas suatu perkara pidana khusunya penggantungan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Amir, Amri. 2013. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Kedua. Medan :
Percetakan Ramadhan.

Bryan, RW. 2005. Encyclopedia of Forensic and Legal Medicine Volume 1 First
Edition. USA : Academic Press.

Catanese, C.A., 2010. Asphyxia (Suffocation) and Drowning. Color Atlas of


Forensic Medicine and Pathology. USA : CRC Press – Taylor and Francis
Group.

Dix, J. & Calaluce, R., 1999. Asphyxia and Drowning. Guide to Forensic
Pathology. USA : CRC Press – Taylor and Francis Group.

Ernoehazy, W. 2013. Hanging injuries and Strangulation. Available at :


http://www.emedicine.com/emerg/topic227.htm

Felisiani, T. 2012. Laporan Wartawan Tribunnews.com. Available at :


http://m/tribunnews.com/2012/03/07/gantung-diri-jadi-trend-2009-hingga-
awal-2012

Idries A.M. 1997. Penggantungan. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta :


EGC. 202-7.

James, J.P., et al., 2011. Asphyxia. Simpson’s Forensic Medicine. 13th ed. UK :
Hodder & Stoughton ltd.

Noharakrizo. 2011. Makalah hanging. Available at :


http://www.scribd.com/doc/49388289/Makalah-Hanging.

Saisudheer, T, Nagaraja TV. 2012. A Study of Ligature Mark in Cases of Hanging


Deaths. Dalam : International Journal Pharmacology Biomedicine Science
2012 Volume 3.

16
Saukko, P, Knight, B. 2004. Fatal Pressure on the Neck. Knight’s Forensic
Pathology 3rd Edition. CRC Press. 391-392.

Sharma, R.K. 2005. Concise Textbook of Forensic Medicine and Toxicology


Third Edition. New Delhi : Global Education Consultants.

Sharma, S.K. 2013. Ligature Strangulation: Not very common but contested too
often. Available at: www.crimeandclues.com/ligature_strangulation.htm

Skhrum, J, et al. 2007. Forensic Pathology of Trauma, Common Problems for the
Pathologist. Tontowa, New Jersey : 81-107.

17

You might also like