Professional Documents
Culture Documents
Kel 11 Strategi-1
Kel 11 Strategi-1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Teori Belajar ialah pandangan yang amat mendasar, sistematis dan menyeluruh
tentang proses bagaimana manusia, khususnya anak didik. Beberapa teori-teori yang
dikembangkan dalam pandangan-pandangan tentang teori aktualisasi diri dan teori
apersepsi. Beberapa teori meningkatkan proses peningkatan (bertambahnya) wawasan,
pengetahuan dan harapan anak. Jadi teori amat meningkatkan diri pada pembentukan
aspek psikologis, khususnya pada pembentukan “pola pikir” anak. Proses belajar anak
terjadi dalam kaitan interaksi antara person dengan dume organisme, antara lingkungan
psikologi dengan lingkungan fisik atau biologis. Belajar berarti proses mengorganisasi
kembali persepsi dan kognisi anak untuk mencapai tingkat pengerian tertentu.
Sementara itu menurut pandangan Slavin dalam Trianto (2009:16) belajar secara
umum diartikan sebagai perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman, dan
bukan karena pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya atau karakteristik seseorang
sejak lahir. Sementara makna pembelajaran yakni produk interaksi berkelanjutan antara
pengembangan dan pengalaman hidup. Dalam makna yang lebih kompleks pembelajaran
hakekatnya adalah usaha sadar dari seseorang guru untuk membelajarkan siswa dalam
rangka mencapai tujuan yang diharapkan, dari makna ini jelas terlihat bahwa
pembelajaran merupakan interaksi dua arah antara guru dan siswanya dan terjadi interaksi
dan komunikasi yang intens dan terarah.
Heruman (2007:1) menyatakan bahwa matematika adalah bahasa simbol ilmu
deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif, ilmu tentang bola keteraturan,
dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsyur yang tidak didefinisikan, ke unsyur
yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil. Siswa Sekolah Dasar
(SD) umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget,
mereka berada pada fase operasional konkrit. Kemampuan yang tampak pada fase ini
adalah kemampuan dalam proses berfikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika,
meskipun masih terikat dengan objek yang bersifat konkret.
Kemampuan siswa Sekolah Dasar yang masih berada pada fase operasional konkrit,
menuntut guru yang bisa mengelola pembelajaran yangg sesuai dengan tingkat
perkembangan kognitifnya. Oleh sebab itu, guru sebaiknya memahami teori belajar dari
berbagai pendapat para ahli, agar guru dapat menciptakan proses belajar mengajar yang
efektif dan efesien.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
makanan dan tidak perlu lagi mengitari kandang karena tindakan ini dirasa tidak
cocok. Akan tetapi kucing tadi langsung memegang jeruji yang menyebabkannya bisa
keluar untuk makan.
4
dibutuhkan pengulangan sebanyak-banyaknya dengan harapan pesan yang telah
didapat tidak mudah hilang dari benaknya.
5
dialami dengan situasi lama yang pernah mereka alami, selanjutnya terjadi
perpindahan ( transfer ) unsur – unsur yang telah mereka kenal kepada situasi baru.
5. Law of associative shifting.
Perpindahan Asosiasi adalah proses peralihan suatu situasi yang telah dikenal ke
situasi yang belum dikenal secara bertahap, dengan cara ditambahkanya sedikit demi
sedikit unsur – unsur ( elemen ) baru dan membuang unsur – unsur lama sedikit demi
sedikit, yang menyebabkan suatu respons dipindahkan dari suatu situasi yang sudah
dikenal ke situasi lain yang baru sama sekali.
Soal :
Dari Teori Pembelajaran yng dikemukakan Oleh Thorndike, Jelaskan Apa saja
Kekurangan/Kelemahan dari Teori Thorndike tersebut?
Jawab ;
Inti dari teori behaviorisme Skinner adalah Pengkondisian operan (kondisioning operan).
Pengkondisian operan adalah sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi
dari prilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas prilaku itu akan diulangi. Ada 6
asumsi yang membentuk landasan untuk kondisioning operan (Margaret E. Bell Gredler,
hlm 122). Asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:
6
4. Data dari studi eksperimental tingkah-laku merupakan satu-satunya sumber informasi
yang dapat di terima tentang penyebab terjadinya tingkah laku.
Berdasarkan asumsi dasar tersebut menurut Skinner (J.W. Santrock, 272) unsur yang
terpenting dalam belajar adalah adanya penguatan (reinforcement ) dan hukuman
(punishment).
Penguatan dan Hukuman. Penguatan (reinforcement) adalah konsekuensi yang
meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi.
Sebaliknya, hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas
terjadinya suatu perilaku. (baca Teori penguatan dan hukuman yang lebih lengkap di sini)
Penguatan boleh jadi kompleks. Penguatan berarti memperkuat. Skinner membagi penguatan
ini menjadi dua bagian:
– Penguatan positif adalah penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi respons
meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding). Bentuk-bentuk
penguatan positif adalah berupa hadiah (permen, kado, makanan, dll), perilaku (senyum,
menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau
penghargaan (nilai A, Juara 1 dsb).
– Penguatan negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi respons
meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak
menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak memberi
penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang
(menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll).
Berikut ini disajikan contoh dari konsep penguatan positif, negatif, dan hukuman (J.W
Santrock, 274).
Penguatan positif
Penguatan negatif
Hukuman
7
guru langsung menyela guru
Ingat bahwa penguatan bisa berbentuk postif dan negatif. Dalam kedua bentuk
itu, konsekuensi meningkatkan prilaku. Dalam hukuman, perilakunya berkurang.
Disamping itu pula dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan
selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat
melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan
perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
9
2.3 IMPLIKASI GAGNE
Pemecahan masalah
↑
Aturan-aturan tingkat tinggi
↑
Aturan-aturan
↑
Konsep-konsep Terdefenisi
↑
Konsep-konsep konkrit
Mencermati sistematika pada gambar 4 di atas, dapat dipahami bahwa belajar konsep
dapat terjadi dengan baik setelah melalui belajar diskriminan, artinya kemampuan siswa
untuk mengadakan diskrimanasi menjadi penunjang kemampuan memahami suatu konsep.
Lebih lanjut Gagne membagi belajar konsep atas dua bagian, yaitu belajar konsep kongkrit
dan belajar konsep terdefenisi.
Belajar konsep kongkret adalah belajar memahami kebersamaan sifat-sifat dari benda-benda
kongkrit atau peristiwa peristiwa untuk di kelompokkan menjadi satu jenis, sedang belajar
konsep terdefenisi adalah kemampuan mendemonstrasikan makna dari kelas tertentu tentang
objek-objek, kejadian-kejadian, atau hubungan-hubungan, dan mampu menunjukkan
komponen-komponen dalam konsep tersebut.
Seperti yang dipaparkan terdahulu bahwa setiap tipe belajar dapat menghasilkan performasi
yang maksimal bila di perhatikan kondisi internal dan kondisi eksternal yang terjadi pada
setiap tipe belajar. Dalam hal belajar konsep kondisi internal dan kondisi eksternal di
paparkan sbb:
Konsep konsep kongkret
Menurut Gagne (1979: 65) kondisi internal dan kondisi eksternal yang dibutuhkan dalam
belajar konsep konkrit adalah
1. Kondisi Internal
Siswa dapat membedakan secara cermat contoh suatu konsep. Dengan demikian kemampuan
memahami konsep konkrit ini tergantung pada kemampuan siswa dalam mengadakan
diskriminasi.
2. Kondisi Eksternal
Mencakup kejelasan dalam ciri-ciri fisik pada objek yang harus dikelompokkan. Ini berarti
belajar konsep konkrit dapat dipercepat dengan bantuan isyarat-isyarat, dan penyajian
beberapa contoh.
10
Konsep-konsep terdefinisi
Menurut Gagne (1979:67) kondisi internal dan kondisi eksternal yang dibutuhkan dalam
belajar konsep terdefinisi adalah
1. Kondisi internal
Untuk memperoleh konsep terdefinisi, siswa harus mengeluarkan atau memanggil semua
kompenen-kompenen konsep yang terdapat dalam definisi, termasuk hubungan antara
konsep.
2. Kondisi eksternal
Suatu konsep terdefinisi dapat dipelajari dengan meminta siswa mengamati suatu
demonstrasi atau skema/bagan dari komponen atau melalui pernyataan verbal.
11
D. Fase-Fase Belajar
Fase ini untuk menyadarkan siswa akan adanya stimulus dan menangkap stimulus yang
relevan, stimulus yang dimaksudkan dapat berupa komunikasi verbal (lisan atau tulisan),
gambar diam dll.
Menarik perhatian siswa dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang merangsan
minat, menceritakan kejadian yang lain dari biasanya, atau membangkitkan minat tertentu.
2. Fase Pengharapan
Fase pengharapan berfungsi mengantar siswa untuk mengetahui tujuan belajar, orientasi
tujuan yang sudah terbentuk pada tahap ini membuat siswa dapatmemilih hasil apa yang
sesuai pada setiap fase berikutnya dalam pengolahan informasi (Gagne, 1977: 61).
Arahan yang diberikan pada fase pertama akan menimbulkan harapan untuk mengetahui
sajian yang akan diajarkan, dan sekaligus menimbulkan rasa keingintahuan siswa terhadap
pelajaran yang akan diberikan.
Fase ini mengubah bentuk stimulus fisik menjadi ciri-ciri yang dapat dikenal dan
memungkinkan disampingnya ciri-ciri tersebut secara singkat dalam memori kerja dan dapat
dibuat sandi-sandi. Pada fase ini siswa melakukan seleksi terhadap stimulus yang datang,
informasi yang relevan dengan pelajaran yang akan disajikan dipanggil dari ingatan jangka
panjang maupun ingatan jangka pendek untuk diberi kode.
12
6. Fase Retrival dan Respon
Fase ini berfungsi mengembalikan informasi yang disimpan ke pembangkit respons orang
dan mengaktifkan respons. Pada fase ini siswa mendapatkan kembali sandi yang baru saja
disimpan pada memori jangka panjang.
9. Fase Generalisasi
Fase ini berfungsi meningkatkan kemampuan alih belajar kesituasi baru.
Berdasarkan uraian tentang model pemrosesan informasi dan fase- fase belajar Gagne
sebagaimana telah dikemukakan, terlihat bahwa Gagne sangat memerhatikan proses yang
terjadi dalam diri individu yang belajar. Disamping itu, Gagne juga memerhatikan perilaku
yang tampak (respon) dari individu setelah diberikan stimulus. Dengan demikian Gagne
memadukan antara psikologi kognitif dan psikologi tingkah laku dalam belajar.
Menurut Piaget pengetahuan merupakan proses dari tindakan, baik fisik dan/atau mental pada
objek, images dan symbol-simbol. Pokok – pokok pikiran yang mewarnai dunia pendidikan
antara lain :
1. Pendekatan terpusat pada anak (siswa). Hal ini karena pada hakekatnya jalan pikiran
siswa (anak) berbeda dengan orang dewasa, baik dalam pendekatannya terhadap
realitas maupun cara pandangnya terhadap dunia.
2. Aktivitas. Untuk mempelajari sesuatu, anak membutuhkan kesempatan untuk
mengadakan tindakan terhadap obyek yang dipelajari. Oleh karena itu tugas guru
adalah mendorong aktifitas siswa. Guru hendaknya memaparkan materi atau
mempersiapkan situasi yang dapat mendorong siswa untuk merancang eksperimennya
sendiri.
3. Belajar secara individual. Hal ini dimaksudkan karena meski pun usia siswa sama,
akan tetapi tingkat kognisi belum tentu sama. Oleh karena itu guru hendaknya
memperhatikan perbedaan individu dalam pemerolehan pengetahuan siswa.
4. Interaksi social. Interaksi social ini dimaksudkan agar siswa dapat saling bertukar
pengalaman, memberikan alas an dan mempertahankan pendapat siswa.
Teori Piaget sangatlah memiliki peranan penting dalam dunia pendidikan secara umum.
Dalam pembelajaran matematika, teori piaget juga mewarnai bentuk-bentuk model,
pendekatan, dan strategi pembelajaran yang dilaksanakan. Hal ini tampak dalam kegiatan
pembelajaran yang menginginkan adanya student centered, yang dengan aktivitasnya mampu
mebangun pengetahuan dengan memperhatikan perbedaan individual tanpa
13
mengesampingkan interaksi social. Berikut ini adalah contoh pendekatan pembelajaran yang
menurut penyusun memenuhi teori perkembangan kognitif Piaget, yaitu pendekatan
pembelajaran tipe SAVI dengan berbasis masalah kontekstual.
Dave Meier mengemukakan idenya tentang pendekatan belajar SAVI (Somatis, Auditory,
Visual, Intellectual) yaitu belajar dengan bergerak dan berbuat, belajar dengan berbicara dan
mendengar, belajar dengan mengamati dan menggambarkan, belajar dengan memecahkan
masalah dan merenung. Keempat cara belajar itu harus ada agar belajar berlangsung optimal.
Karena unsur-unsur tersebut semuanya terpadu. Belajar yang paling baik bisa berlangsung
jika semuanya digunakan secara simultan. Masalah yang diberikan pun sebaiknya adalah
masalah kontekstual. Menurut Armanto (2008) masalah kontekstual adalah masalah yang
merepresentasikan hadirnya lingkungan nyata bagi siswa, dapat dipandang, dapat
dibayangkan, terjangkau imajinasi, menggambarkan situasi kehidupan, situasi bersifat fantasi,
dan situasi matematis.
1. Menciptakan suasana yang kondusif bagi siswa untuk belajar dan mengecek
kehadiran siswa.
2. Mengingatkan pengetahuan siswa tentang materi sebelumnya dan menghubungkan
dengan materi yang akan dipelajari.
3. Menyampaikan tujuan dan manfaat pembelajaran dengan jelas
4. Mengajukan masalah kontekstual yang berkaitan dengan materi guna merangsang
rasa ingin tahu dan motivasi belajar siswa
5. Menyampaika garis besar materi dan mengajak siswa terlibat sejak awal
14
4. Guru membimbing siswa untuk memecahkan masalah yang telah diajukan
sebelumnya.
5. Salah satu kelompok mempresentasikan hasil kerja mereka dan kelompok lain
menanggapi.
6. Guru memberikan latihan soal dan setiap siswa mengerjakannya secara individu.
1. Memberi kesempatan pada siswa untuk menampilkan apa yang mereka peroleh dari
kegiatan pembelajaran tersebut baik secara individu, kelompok atau klasikal
2. Guru membimbing siswa membuat kesimpulan dari materi yang telah dipelajari
dengan menggunakan peta konsep.
3. Guru memberikan penguatan terhadap materi.
4. Guru dan siswa melakukan refleksi dan melakukan perbincangan dengan siswa
tentang kegiatan belajar pada hari itu dan mendengarkan keluhan siswa, memberikan
umpan balik dan evaluasi kinerja
Tema pertama mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan. Hal ini perlu karena
dengan struktur pengetahuan kita menolong siswa untuk untuk melihat, bagaimana fakta-
fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan satu dengan yang lain.
Tema kedua adalah tentang kesiapan untuk belajar. Menurut Bruner kesiapan terdiri atas
penguasaan keterampilan-keterampilan yang lebih sederhana yang dapat mengizinkan
seseorang untuk mencapai kerampilan-ketrampilan yang lebih tinggi.
Tema ketiga adalah menekankan nilai intuisi dalam proses pendidikan. Dengan intuisi,
teknik-teknik intelektual untuk sampai pada formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui
langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupakan
kesimpulan yang benar atau tidak.
Tema keempat adalah tentang motivasi atau keingianan untuk belajar dan cara-cara yang
tersedia pada para guru untuk merangsang motivasi itu.
Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi. Asumsi pertama adalah
bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Berlawanan dengan
penganut teori perilakau Bruner yakin bahwa orang yang belajar berinteraksi dengan
lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan tetapi juga dalam
diri orang itu sendiri. Asumsi kedua adalah bahwa orang mengkonstruksi pengetahuannya
dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan yang
diperoleh sebelumnya, suatu model alam (model of the world). Model Bruner ini
mendekati sekali struktur kognitif Aussebel. Setiap model seseorang khas bagi dirinya.
15
Dengan menghadapi berbagai aspek dari lingkungan kita, kita akan membentuk suatu
struktur atau model yang mengizinkan kita untuk mengelompokkan hal-hal tertentu atau
membangun suatu hubungan antara hal-hal yang diketahui.
Bruner menandai perkembangan kognitif manusia sebagai berikut:
a. Perkembangan intelektul ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi suatu
rangsangan.
b. Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan
informasi secara realis
c. Perkembangan intelekual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri
sendiri atau pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa yang telah
dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada
diri sendiri.
d. Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak
diperlukan bagi perkembangan kognitifnya
e. Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif karena bahasa merupakan alat komunikasi
antara manusia. Untuk memahami konsep-konsep yang ada diperlukan bahasa. Bahasa
diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep ke pada oraag lain.
f. Perkembaagan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa
alternatif secara simultan. memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas yang
berurutan dalam berbagai situasi
Bruner mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir
bersamaan. Ketiga proses itu adalah (1) memperoleh informasi baru, (2) transformasi
informasi dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Informasi baru
merupakan penghalusan dari informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang atau
informasi itu dapat bersifat sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan informasi
sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam transformasi pengetahuan seseorang
memperlakukan pengetahuan agar cocok dengan tugas baru. Jadi, transformasi
menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi atau
dengan mengubah bentuk lain. Hampir semua orang dewasa melalui penggunaan tiga
sistem keterampilan untuk menyatakan kemampuannya secara sempurna. Ketiga sistem
keterampilan itu adalah yang disebut tiga cara penyajian (modes of presentation) oleh
Bruner. Ketiga cara itu ialah: cara enaktif, cara ikonik dan cara simbolik.
Kajian Bruner menekankan perkembangan kognitif. Ia menekankan cara-cara manusia
berinteraksi dalam alam sekitar dan menggambarkan pengalaman secara mendalam.
Menurut Bruner, perkembangan kognitif juga melalui tiga tahapan yang ditentukan cara
melihat lingkungan, yaitu:
a. Tahap enaktif (0-2 tahun), seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya
untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya dalam memahami dunia sekitarnya,
anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan
dan sebagainya.
16
b. Tahap ikonik (2-4 tahun), seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui
gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya,
anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komperasi)
c. Tahap simbolik (5-7 tahun), seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-
gagasan yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika.
Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika,
matematika dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak
sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses pemikirannya, semakin dominan
sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia tidak lagi sistem enaktif dan ikonik.
Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih
diperlukannya sistem enaktif dan ekonik dalam proses belajar.
Cara penyajian enaktif ialah melalui tindakan, jadi bersifat manipulatif. Dengan cara ini
seseorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-
kata. Jadi cara ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui respon-
respon motorik. Misalnya seseorang anak yang enaktif mengetahui bagaimana
mengendarai sepeda.
Cara penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan oleh
sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan
sepenuhnya konsep itu. Misalnya sebuah segitiga tidak menyatakan konsep kesegitigaan.
Penyajian simbolik menggunakan kata-kata atau bahasa. Penyajian simbolik dibuktikan
oleh kemampuan seseorang lebih memperhatikan proposisi atau pernyataan dari pada
objek-objek, memberikan struktur hirarkis pada konsep-konsep dan memperhatikan
kemungkinan-kemungkinan alternatif dalam suatu cara kombinatorial.
Sebagai contoh dari ketiga cara penyajian ini, tentang pelajaran penggunaan timbangan.
Anak kecil hanya dapat bertindak berdasarkan ”prinsip-prinsip” timbangan dan
menunjukkan hal itu dengan menaiki papan jungkat-jungkit. Ia tahu bahwa untuk dapat
lebih jauh kebawah ia harus duduk lebih menjauhi pusat. Anak yang lebih tua dapat
menyajikan timbangan pada dirinya sendiri dengan suatu model atau gambaran.
”Bayangan” timbangan itu dapat diperinci seperti yang terdapat dalam buku pelajaran.
Akhirnya suatu timbangan dapat dijelaskan dengan menggunakan bahasa tanpa
pertolongan gambar atau dapat juga dijelaskan secara matematik dengan menggunakan
Hukum Newton tentang momen.
B. Belajar Penemuan
Salah satu model kognitif yang sangat berpengaruh adalah model dari Jerome Bruner
yang dikena dengan nama belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap
bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia
dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Bruner meyarankan agar
siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-
prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan
eksperimen-eksperimen yang mengijinkan mereka untuk meemukan konsep dan prinsip
itu sendiri.
Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa kebaikan.
Diantaranya adalah:
17
1. Pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat.
2. Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik.
3. Secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan
kemampuan untuk berfikir secara bebas.
Asumsi umum tentang teori belajar kognitif:
a. Bahwa pembelajaran baru berasal dar proses pembelajaran sebelumnya.
b. Belajar melibatkan adanya proses informasi (active learning).
c. Pemaknaan berdasarkan hubungan.
d. Proses kegiatan belajar mengajar menitikberatkan pada hubungan dan strategi.
Model kognitif mulai berkembng pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori
perilaku yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif
bahwa para peserta didik memproses informasi dan pelajaran melalui upayanya
mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan
yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana
informasi diproses peneliti yang mengembangkan kognitif ini adalah Ausebel, Bruner,
dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda.
Ausebel menekankan pada aspek pengelolaan (Advance Organizer) yang memiliki
pengaruh utama terhadap belajar. Menurut Ausebel, konsep tersebut dimaksudkan untuk
penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk pengalaman belajar. Bruner bekerja pada
pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana
peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan. Bruner mengembangkan teorinya
tentang perkembangan intelektual, yaitu: enaktif, ikonik, dan simbolik.
Sejalan dengan pernyataan di atas, maka untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu
sampai anak mencapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus
ditata dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan kata lain perkembangan
kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari
dan menyajikannya seusia dengan tingkat perkembangannya. Penerapan teori Bruner
yang terkenal dalam dunia Pendidikn adalah kurikulum spiral dimana materi pelajaran
yang sama dapat diberikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi
disesuaikan dengan tingkap perkembangan kognitif mereka. Cara belajar yang terbaik
menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses
intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu kesimpulan (discovery learning).
Bruner mempreskripsikan pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi agar siswa
dapat belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan
pengethuan dan kemampuan yang khas baginya. Sedangkan Ausbel mempreskripsikan
agar siswa dapat mengembangkan situasi belajar, memilih dan menstrukturkan isi, serta
menginformasikannya dalam bentuk sajian pembelajaran yang terorganisasi dari umum
menuju kepada yang rinci dalam satu satuan bahasan yang bermakna.
Teori pembelajaran Bruner mementingkan pembalajaran melalui penemuan bebas (Free
discovery learnig) atau enemuan yang dibimbing, atau latihan penemuan. Bruner
mementingkan aspek-aspek berikut dalam teori pembelajarannya yaitu; cara manusia
berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan pengalamannya, perkembangan mental
manusia dan pemikiran semasa proses pembelajaran, pemikiran secara logika,
penggunaan istilah untuk memahami susunan struktur pengetahuan, pemikiran analisis
18
dan intuitif, pembelajaran induktif menguasai konsep/kategori, dan pemikiran
metakogniti. Teori-teori tersebut dapat diaplikasikan dalam 10 cara sebagai berikut:
1. Pembelajaran penemuan
2. Pembelajaran melalui metode induktif
3. Memberi contoh-contoh yang berkaitan dan tidak berkaitan dengan konsep
4. Membantu siswa melihat hubungan antar konsep
5. Membiasakan siswa membuat pemikiran intuitif
6. Melibatkan siswa
7. Pengajaran untuk pelajar tahap rendah
8. Menggunakan alat bantu mengajar
9. Pembelajaran melalui kajian luar
10. Mengajar mengikuti kemampuan siswa
1. Teori Belajar
Teori William Artur Brownell meletakkan pondasi munculnya matematika baru
.“…he characterized his point of view as the “meaning theory.” In developing it, he laid the
foundation for the emergence of the “new mathematics.” He showed that understanding, not
sheer repetition, is the basis for children's mathematical learning…” . William meletakkan
dasar pembelajaran matematika sebagai ‘Meaning Theory’. Penelitiannya mengenai
pembelajaran anak khususnya pada aritmetika mengemukakan belajar matematika harus
merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian atau yang dikenal teori bermakna. Jika
dilihat dari teorinya ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt yang muncul pada
pertengahan tahun 1930. Dimana menurut teori Gestalt, latihan hafalan atau yang dikenal
dengan sebutan drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara drill diberikan
setelah tertanam pengertian.
Teori Drill dalam pengajaran matematika berdasarkan kepada teori belajar asosiasi
yang lebih dikenal dengan sebutan teori belajar stimulus respon yang dikembangkan oleh
Edward L. Thorndike (1874-1949). Teori belajar ini menyatakan bahwa pada hakikatnya
belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Menurut
hukum ini belajar akan lebih berhasil bila respon anak didik terhadap suatu stimulus segera
diikuti rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau puas ini bisa timbul sebagai akibat anak
didik mendapat pujian atau ganjaran sehingga ia merasa puas karena sukses yang diraihnya
dan sebagai akibatnya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.
Gambaran yang diberikan William tentang ciri-ciri perilaku kognitif adalah:
a. Berpikir lancar, yaitu menghasilkan banyak gagasan atau jawaban yang relevan dan arus
pemikiran lancar.
b. Berpikir luwes, yaitu menghasilkan gagasan-gagasan yang beragam, mampu mengubah
cara atau pendekatan atau arah pemikiran yang berbeda-beda.
c. Berpikir orisinal, yaitu memberikan yang tidak lazim atau lain dari yang lain yang
diberikan kebanyakan orang lain.
19
d. Berpikiir terperinci (elaborasi), yaitu mengembangkan, menambah, memperkaya suatu
gagasan, memperinci detail-detail dan memperluas suatu gagasan.
Menurut William dalam belajar orang membutuhkan makna, bukan hanya sekedar
respon otomatis yang banyak. Maka dengan demikian teori drill dalam pembelajaran
matematika yang dikembangkan atas dasar teori asosiasi atau teori stimulus respon,
menurutnya terkesan bahwa proses pembelajaran matematika khususnya aritmetika dipahami
semata-mata hanya sebagai kemahiran.
Teori belajar William Arthur Brownell didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak
pasti memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara
terus menerus untuk waktu yang lama. Salah satu cara bagi anak-anak untuk
mengembangkan pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda
tertentu ketika mereka mempelajari konsep matematika. Terdapat perkembangan yang
menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki kekeliruan yang cukup mendasar. Dari
penelitian yang dilaksanakan pada abad 19 terdapat hasil yang menunjukkan bahwa belajar
tidak melalui latihan hafalan dan mengasah otak, namun diperoleh anak melalui bagaimana
anak berbuat, berpikir, memperoleh persepsi, dll.
20
penggunaan benda-benda konkrit untuk dimanipulasikan sehingga anak-anak dapat
memahami makna dari konsep dan keterampilan baru yang mereka pelajari.
2. Konsep notasi
Sifat-sifat bilangan yang merupakan akibat langsung dari cara penyajian bilangan. Fakta
bahwa dalam basis sepuluh, 275 berarti 2 ratusan ditambah 7 puluhan ditambah 5 satuan
merupakan akibat dari notasi nilai tempat dalam menyajikan bilangan-bilangan yang
didasarkan pada sistem pangkat dari sepuluh. Pemilihan sistem notasi yang sesuai untuk
berbagai cabang matematika adalah faktor penting dalam pengembangan dan perluasan
matematika selanjutnya.
3. Konsep terapan
Penerapan dari konsep matematika murni dan notasi untuk penyelesaian masalah dalam
matematika dan dalam bidang-bidang yang berhubungan. Panjang, luas dan volume adalah
konsep matematika terapan. Konsep-konsep terapan hendaknya diberikan kepada siswa
setelah mereka mempelajari konsep matematika murni dan notasi sebagai prasyarat. Konsep-
konsep murni hendaknya dipelajari oleh siswa sebelum mempelajari konsep notasi, jika
dibalik para siswa hanya akan menghafal pola-pola bagaimana memanipulasi simbol-simbol
tanpa pemahaman konsep matematika murni yang mendasarinya. Siswa yang membuat
kesalahan manipulasi simbol seperti 3x + 2 = 4 maka x + 2 = 4 – 3, = x, a2 x a3 = a6, dan =
x + berusaha menerapkan konsep murni dan konsep notasi yang tidak cukup mereka kuasai.
21
Dienes memandang belajar konsep sebagai seni kreatif yang tidak dapat dijelaskan oleh teori
stimulus-respon manapun seperti tahap-tahap belajar Gagne. Dienes percaya bahwa semua
abstraksi didasarkan pada intuisi dan pengalaman konkret; akibatnya sistem pembelajaran
matematika Dienes menekankan laboratorium matematika, objek-objek yang dapat
dimanipulasi, dan permainan matematika.
Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari
permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak
berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama
permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur
mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang
dipelajari. Tahap ini merupakan tahap yang penting sebab pengalaman pertama, peserta didik
berhadapan dengan konsep baru melalui interaksi dengan lingkungannya yang mengandung
representasi konkrit dari konsep itu.
Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan
yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu
tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Jelaslah, dengan melalui permainan siswa
diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin
banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas
konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan
matematis dalam konsep yang dipelajari itu.Sehingga peserta didik itu siap untuk memainkan
permainan tersebut.
Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat
kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari kesamaan
sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan menstranslasikan kesamaan struktur
dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang
ada dalam permainan semula.
22
4. Permainan Representasi (Representation)
Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa
menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah mereka berhasil menyimpulkan
kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang
diperoleh ini bersifat abstrak, Dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur
matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.
Ada beberapa kelebihan dan kekurangan teori belajar Dienes antara lain:
23
v Kelemahan teori belajar Dienes
1) Tidak semua materi dapat menggunakan teori belajar Dienes, karena teori ini lebih
mengarah kepermainan
2) Tidak semua siswa memiliki kemampuan yang sama
3) Bila pengajar tidak memiliki kemampuan mengarah siswa maka siswa cenderung
hanya bermain tanpa berusaha memahami konsep.
Model mengajar matematika dari Dienes hendaknya diperlakukan sebagai pedoman, dan
bukan sekumpulan aturan yang harus diikuti secara ketat. Konsep perkalian bilangan bulat
negatif akan dibahas di sini sebagai contoh bagaimana tahap-tahap Dienes dapat digunakan
sebagai pedoman dalam merancang kegiatan mengajar/belajar. Karena hampir semua siswa
belajar menambah, mengurang, mengalikan dan membagi bilangan-bilangan asli, dan
menambah dan mengurang bilangan-bilangan bulat sebelum belajar mengalikan bilangan
bulat, kita berasumsi bahwa konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan itu telah dikuasai
oleh para siswa. Bagi para siswa kelas 7 SMP, dapat mulai sesi permainan bebas dengan
secara informal mendiskusikan pengerjaan hitung pada bilangan asli dan sifat-sifat aljabar
dari bilangan asli. Guru mungkin juga mendiskusikan penjumlahan dan pengurangan pada
bilangan bulat dan sifat pertukaran dan pengelompokan penjumlahan. Guru bisa juga
mengganti permainan bebas dengan tinjauan informal. Atau tahap bermain bebas dan game
bisa digabung menjadi beberapa permainan seperti permainan kartu sederhana berikut: guru
hendaknya menyiapkan meja panjang secukupnya untuk permainan kartu standar sedemikian
hingga terdapat satu meja panjang untuk setiap lima siswa dalam kelas. Para siswa yang
bermain dalam kelompok lima orang dan setiap anak memegang empat kartu. Setiap siswa
mengelompokkan kartu-kartunya menjadi berpasang-pasangan, kemudian mengalikan kedua
bilangan yang ditunjukkan oleh setiap pasang kartu, dan kemudian menjumlahkan kedua
hasil kali itu. Siswa yang dapat memasangkan kartu-kartunya sehingga memperoleh jumlah
hasil kali terbesar adalah pemenang dalam kelompoknya. Bilangan-bilangan pada kartu hitam
(keriting dan waru) dianggap sebagai bilangan positif, dan bilangan-bilangan pada kartu
merah (hati dan belah ketupat) sebagai bilangan negatif. Konsekuensinya para siswa langsung
dihadapkan pada masalah bagaimana mengelompokkan kartu-kartu negatif untuk
mendapatkan hasil kali dan jumlah positif yang besar. Beberapa kelompok mungkin
menyepakati aturan-aturan yang berbeda untuk menangani hasil kali dua bilangan negatif.
Sebagai contoh, kartu hitam 2 dan 4 dan kartu merah 7 dan 5 dapat digunakan untuk
membuat 2 x 4 + (-7 x -5) = 43, jika aturan yang benar bahwa hasil kali dua bilangan bulat
24
negatif adalah suatu bilangan bulat positif telah dirumuskan. Jika tidak, maka bilangan-
bilangan negatif tidak akan menolong dalam mengorganisasi seorang pemenang. Beberapa
siswa tentunya akan saling bertanya atau bertanya kepada guru tentang bagaimana menyekor
bilangan bulat negatif.
E. Metode Permainan
Permainan matematika adalah sesuatu kegiatan yang menyenangkan yang dapat menunjang
tujuan instruksional dalam pengajaran matematika baik aspek kognitif, afektifr, maupun
psikomotor. Kita perlu membatasi penggunaan permainan yang hanya sekedar permainan
yang membuat orang senang, ketawa, dan lain – lain, tetapi tidak menunjang tujuan
instruksional dalam pengajaran matematika. Permainan matematika itu supaya dipergunakan
secara berencana, tujuan instruksionalnya jelas, tepat penggunaannya, dan tepat pula
waktunya. Bila demikian permainan matematika itu akan merupakan alat yang efektif untuk
belajar.
Bermain peran identik dengan bermain drama. Pembelajaran dengan bermain peran biasanya
hanya dikaitkan dengan pembelajaran bahasa. Sebenarnya bermain peran dapat dilakukan
dalam pembelajaran matematika yaitu pada pembelajaran bilangan, hanya saja pembelajaran
dengan cara ini lebih tepatnya untuk permainan sebagai selingan dalam pembelajaran
matematika dan sebagai motivasi siswa untuk menyukai matematika.
Menurut Dienes, permainan matematika sangat penting sebab operasi matematika dalam
permainan tersebut menunjukkan aturan secara kongkret dan lebih membimbing dan
menajamkan pengertian matematika pada anak didik. Dapat dikatakan bahwa objek-objek
kongkret dalam bentuk permainan mempunyai peranan sangat penting dalam pembelajaran
matematika jika dimanipulasi dengan baik.
konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes
membagi tahap-tahap belajar menjadi 6 tahap, yaitu:
25
permainan kartu sederhana berikut: guru hendaknya menyiapkan meja panjang secukupnya
untuk permainan kartu standar sedemikian hingga terdapat satu meja panjang untuk setiap
lima siswa dalam kelas. Para siswa yang bermain dalam kelompok lima orang dan setiap
anak memegang empat kartu. Setiap siswa mengelompokkan kartu-kartunya menjadi
berpasang-pasangan, kemudian mengalikan kedua bilangan yang ditunjukkan oleh setiap
pasang kartu, dan kemudian menjumlahkan kedua hasil kali itu. Siswa yang dapat
memasangkan kartu-kartunya sehingga memperoleh jumlah hasil kali terbesar adalah
pemenang dalam kelompoknya. Bilangan-bilangan pada kartu hitam (keriting dan waru)
dianggap sebagai bilangan positif, dan bilangan-bilangan pada kartu merah (hati dan belah
ketupat) sebagai bilangan negatif. Konsekuensinya para siswa langsung dihadapkan pada
masalah bagaimana mengelompokkan kartu-kartu negatif untuk mendapatkan hasil kali dan
jumlah positif yang besar. Beberapa kelompok mungkin menyepakati aturan-aturan yang
berbeda untuk menangani hasil kali dua bilangan negatif. Sebagai contoh, kartu hitam 2 dan 4
dan kartu merah 7 dan 5 dapat digunakan untuk membuat 2 x 4 + (-7 x -5) = 43, jika aturan
yang benar bahwa hasil kali dua bilangan bulat negatif adalah suatu bilangan bulat positif
telah dirumuskan. Jika tidak, maka bilangan-bilangan negatif tidak akan menolong dalam
mengorganisasi seorang pemenang. Beberapa siswa tentunya akan saling bertanya atau
bertanya kepada guru tentang bagaimana menyekor bilangan bulat negatif.
Pembelajaran dengan metode bermain peran dapat dilakukan di dalam kelas atau di luar
kelas. Apabila pembelajaran dilakukan di dalam kelas maka dibutuhkan tempat yang lebih
luas atau lebih baik jika anak berada di luar tempat duduknya. Pembelajaran akan terasa lebih
santai jika dilakukan di luar kelas seperti di lapangan, di halaman sekolah, ataupun di teras
kelas.
26
Pada tingkat ini, siswa memandang bangun geometri sebagai suatu
keseluruhan.Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan sifat-sifat dari masing-masing
bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama suatu
bangun, siswa belum mengamati cirri-ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini
siswa tahu suatu bangun bernama persegi panjang, tetapi ia belum menyadari sifat-sifat
dari bangun persegi panjang tersebut. Jadi guru harus memahami karakter anak pada tahap
pengenalan, anak belum mampu diajarkan sifat-sifat bangun geometri tersebut, karena
anak ana menerimanya melalui hafalan bukan dengan pengertian.
2. Tahap Analisis
Bila pada tahap pengenalan anak belum mengenal sifat-sifat dari bangun geometri,
tidak demikian pada tahap analisis. Pada tahap ini anak sudah dapat memahami sifat-sifat
dari bangun geometri. Pada tahap ini anak sudah mengenal sifat-sifat bangun geometri,
seperti sebuah persegi banyak sisinya ada 4 buah. Anak pada tahap analisi belum mampu
mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri
lainnya.
3. Tahap pengurutan
Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap geometri lebih mengingkat lagi dari
sebelumnya yang hanya mengenal bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya, maka
pada tahap ini anak sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun
geometri dengan bangun geometri yang lainnya. Anak yang berada pada tahap ini sudah
memahami pengurutan bangun-bangun geometri. Misalnya persegi adalah persegi panjang
sebab mempunyai semua sifat persegi panjang, karena persegi juga memiliki cirri-ciri
persegi panjang.
4. Tahap Deduksi
Pada tahap ini anak sudah mampu memahami deduksi, yaitu mengambil
kesimpulan secara deduktif. Pengambilan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan
kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum ke khusus. Sebagai contoh untuk menentukan
bahwa jumlah sudut segitiga dari bangun persegi panjang. Anak pada tahap ini telah
mengerti pentingnya peranan unsure-unsur yang tidak didefinisikan.
5. Tahap Akurasi
Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-
prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, anak pada tahap ini sudah
mengetahui dalil yang mendasari bahwa jumlah sudut-sudut segitiga adalah 180 derajat.
Tahap akurasi merupakan gtahap tertinggi dalam memahami geometri.
Siswa dalam mempelajari geometri akan memahami secara efektif apabila
pembelajaran disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa atau kemampuan berpikir
kognitif siswa. Hal ini sesuai dengan Jean Peaget dalam teori perkembangan kognitif
mental anak atau teori tingkat perkembangan berpikir anak, bahwa periode operasional
formal dimulai dari usia dua belas tahun sampai dewasa. Sesuai hal tersebur berarti siswa
sekolah dasar menempati periode operasional konkret. Tahapan Van Hiele menuntut
27
bahwa tingkat yang lebih tinggi tidak langsung menurut pendapat guru, tetapi melalui
pilihan-pilihan yang tepat. Anak-anak sendiri yang akan menentukan kapan saatnya untuk
naik ke tingkat yang lebih tinggi. Meskipun demikiann, siswa tidak akan mencapai
kemajuan tanpa bantuan guru. Oleh karena itu, muncul model pembelajaran Van Hiele
yang ditetapkan dalam fase-fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan belajar siswa dan
peran guru dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan itu. Fase-fase pembelajaran
tersebut adalah fase inkuiri (informasi), fase orientasi berarah, fase uraian, fase orientasi
bebas dan fase integrasi.
1. Fase Inkuiri (Informasi).
Dengan Tanya jawab antara guru dengan siswa, disampaikan konsep-konsep awal
tentang materi yang akan dipelajari. Guru mengajukan informasi baru dalam setiap
pertanyaan yang dirancang secermat mungkin agar siswa dapat menyatakan kaitan-kaitan
konsep-konsep awal dengan materi yang akan dipelajari. Bentuk pertanyaan diarahkan
pada konsep yang telah dimiliki siswa.Informasi dari Tanya jawab tersebut memberikan
masukan bagi guru untuk menggali tentang perbendaharaan bahasa dan interpretasi atas
konsepsi-konsepsi awal siswa untuk memberikan materi selanjutnya, dipihak siswa, siswa
mempunyai gambaran tentang arah belajar selanjutnya.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh diharapkan bukan hasil mengingat
seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus merancang
kegiatan yang merujuk pada kegiatan yang menemukan, apapun materi yang diajarkannya
siklus inkuiri secara umum terdiri dari; proses perpindahan dari pengamatan menjadi
pemahaman, siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis, observasi,
mengajukan dugaan, bertanya, mengumpulkan data, dan menyimpulkan (Sofan Amri
2010:29).
2. Fase Orientasi berarah
Sebagai refleksi dari fase 1, siswa meneleliti materi pelajaran melalui bahan ajar
yang ditancang guru. Guru mengarahkan siswa untuk meneliti objek-objek yang dipelajari.
Kegiatan mengarahkan merupakan rangkaian tugas singkat untuk memperoleh respon-
respon khusus siswa. Misalnya guru meminta siswa mengamati bangun-bangun geometris
yang ada disekitarnya yang berbentuk segi empat. Siswa diminta mengelompokkan jenis
segiempat, sesuai dengan jenisnya. Aktivitas belajar ini bertujuan untuk memotivasi siswa
agar aktif mengeksplorasi sifat-sifat bangun yang dipelajari. Fase ini bertujuan untuk
mengarahkan dan membimbing eksplorasi siswa sehingga menemukan konsep-konsep
khusus daribangun-bangun geometri.
3. Fase Uraian.
Pada fase ini, siswa diberi motivasi untuk mengemukakan pengalamannya tentang
struktur bangun yang diamati menggunakan bahasa sendiri. Sejauh mana pengalamannya
bisa diungkapkan, mengekspresikan dan merubah atau menghapus pengetahuan intuitif
siswa yang tidak sesuai dengan struktur bangun yang diamati. Pada fase pembelajaran ini,
guru membawa onjek-objek ke tahap pemahaman melalui diskusi antar siswa dalam
28
menggunakan ketepatan bahasa dengan menyatakan sifat-sifat yang dimiliki oleh bangun-
bangun yang dipelajari.
4. Fase Orientasi bebas
Pada fase ini siswa dihadapkan dengan tugas-tugas yang lebih kompleks. Siswa
ditantang dengan situasi masalah kompleks. Siswa diarahkan untuk belajar memecahkan
masalah dengan cara siswa sendiri sehingga siswa akan semakin jelas melihat hubungan-
hubungan antar sifat-sifat suatu bangun. Jadi siswa ditantang untuk mengelaborasi sintesis
dari penggunaan konsep-konsep dan relasi-relasi yang telah dipahami sebelumnya
5. Fase integrasi
Pada fase ini, guru merancang pembelajaran agar siswa membuat ringkasan
tenatng kegiatan yang sudah dipelajari. Tujuan kegiatan belajar fase ini adalah
menginterpretasikan pengetahuan dari apa yang telah diamati dan didisusikan. Peran guru
adalah membantu penginterpretasian pengetahuan siswa dengan meminta membuat
refleksi dan mengklarifikasi pengetahuan geometri siswa, serta menguatkan tekanan pada
penggunaan struktur matematika.
29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari berbagai teori belajar yang dikemukan oleh para ahli, terdapat beberapa kesamaan
dasar teori. Seperti, pembelajaran yang dikehendaki adalah pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik menjadi aktif dalam pembelajaran, para calon guru bidang study
juga harus memahami tingkatan berfikir siswanya agar siswa dapat mengerti dan terampil
dalam menyelesaikan masalah dalam pelajaran matematika.
3.2 Saran
Bagi para pembaca atau guru-guru pada khususnya, ciptakanlah pembelajaran
matematika yang menyenangkan. Mari bersama kita hapus anggapan siswa bahwa belajar
matematika itu membosankan, dengan cara menggunakan media yang konkrit dalam proses
pembelajaran.
30