You are on page 1of 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Teori Belajar ialah pandangan yang amat mendasar, sistematis dan menyeluruh
tentang proses bagaimana manusia, khususnya anak didik. Beberapa teori-teori yang
dikembangkan dalam pandangan-pandangan tentang teori aktualisasi diri dan teori
apersepsi. Beberapa teori meningkatkan proses peningkatan (bertambahnya) wawasan,
pengetahuan dan harapan anak. Jadi teori amat meningkatkan diri pada pembentukan
aspek psikologis, khususnya pada pembentukan “pola pikir” anak. Proses belajar anak
terjadi dalam kaitan interaksi antara person dengan dume organisme, antara lingkungan
psikologi dengan lingkungan fisik atau biologis. Belajar berarti proses mengorganisasi
kembali persepsi dan kognisi anak untuk mencapai tingkat pengerian tertentu.
Sementara itu menurut pandangan Slavin dalam Trianto (2009:16) belajar secara
umum diartikan sebagai perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman, dan
bukan karena pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya atau karakteristik seseorang
sejak lahir. Sementara makna pembelajaran yakni produk interaksi berkelanjutan antara
pengembangan dan pengalaman hidup. Dalam makna yang lebih kompleks pembelajaran
hakekatnya adalah usaha sadar dari seseorang guru untuk membelajarkan siswa dalam
rangka mencapai tujuan yang diharapkan, dari makna ini jelas terlihat bahwa
pembelajaran merupakan interaksi dua arah antara guru dan siswanya dan terjadi interaksi
dan komunikasi yang intens dan terarah.
Heruman (2007:1) menyatakan bahwa matematika adalah bahasa simbol ilmu
deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif, ilmu tentang bola keteraturan,
dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsyur yang tidak didefinisikan, ke unsyur
yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil. Siswa Sekolah Dasar
(SD) umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget,
mereka berada pada fase operasional konkrit. Kemampuan yang tampak pada fase ini
adalah kemampuan dalam proses berfikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika,
meskipun masih terikat dengan objek yang bersifat konkret.
Kemampuan siswa Sekolah Dasar yang masih berada pada fase operasional konkrit,
menuntut guru yang bisa mengelola pembelajaran yangg sesuai dengan tingkat
perkembangan kognitifnya. Oleh sebab itu, guru sebaiknya memahami teori belajar dari
berbagai pendapat para ahli, agar guru dapat menciptakan proses belajar mengajar yang
efektif dan efesien.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Implikasi Teori Pembelajaran Menurut Thorndike?
2. Bagaimanakah Implikasi Penerapan Pembelajaran Menurut Teori B.F Skinner?
3. Bagaimana Implikasi pembelajaran Menurut Gagne?
4. Bagaimana Implikasi Teori Belajar Yang dikemukakan oleh Peaget dalam
Pembelajaran Matematika?
1
5. Bagaimana Implikasi Pembelajaran Menurut Bruner?
6. Bagaimana Implikasi Pembelajaran Menurut Brownel?
7. Bagaimana Implikasi Pembelajaran Menurut Dienes?
8. Bagaimana Implikasi Pembelajaran Menurut Van Hielle?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Implikasi Teori Pembelajaran Oleh Thorndike.
2. Untuk mengetahui Implikasi Penerapan Pembelajaran Oleh B.F Skinner.
3. Untuk mengetahui Implikasi pembelajaran Oleh Gagne.
4. Untuk mengetahui Implikasi Teori Belajar Yang dikemukakan oleh Peaget dalam
Pembelajaran Matematika.
5. Untuk mengetahui Implikasi Pembelajaran Oleh Bruner.
6. Untuk mengetahui Implikasi Pembelajaran Oleh Brownel.
7. Untuk mengetahui Implikasi Pembelajaran Oleh Dienes.
8. Untuk mengetahui Implikasi Pembelajaran Oleh Van Hielle.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 IMPLIKASI TEORI THORNDIKE


1. Definisi Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike (Budiningsih, 2005: 21) belajar adalah proses interaksi
antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya
kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap
melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik
ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan.
Thorndike dalam teori belajarnya mengungkapkan bahwasanya setiap tingkah laku
makhluk hidup itu merupakan hubungan antara stimulus dan respon, adapun teori
Thorndike ini disebut teori konesionisme.Belajar adalah pembentukan hubungan
stimulus dan respon sebanyak-banyaknya. Dengan artian dengan adanya stimulus itu
maka diharapkan timbul respon yang maksimal. Teori ini sering juga disebut dengan
teori trial dan error dalam teori ini orang yang bisa menguasai hubungan stimulus
dan respon sebanyak-banyaknya maka dapat dikatakan orang ini merupakan orang
yang berhasil dalam belajar. Adapun cara untuk membentuk hubungan stimulus dan
respon ini dilakukan dengan ulangan-ulangan.
Dalam teori trial dan error ini, berlaku bagi semua organisme dan apabila
organisme ini dihadapkan dengan keadaan atau situasi yang baru maka secara
otomatis organisme ini memberikan respon atau tindakan-tindakan yang bersifat
coba-coba atau bisa juga berdasarkan naluri karena pada dasarnya disetiap stimulus
itu pasti ditemui respon. Apabila dalam tindakan-tindakan yang dilakukan itu
menimbulkan perbuatan atau tindakan yang cocok atau memuaskan maka tindakan ini
akan disimpan dalam benak seseorang atau organisme lainnya karena dirasa diantara
tindakan-tindakan yang paling cocok adalah tindakan itu, selama yang telah dilakukan
dalam menanggapi stimulus adalah situasi baru. Jadi dalam teori ini pengulangan-
pengulangan respon atau tindakan dalam menanggapi stimulus atau stimulus baru itu
sangat penting sehingga seseorang atau organisme mampu menemukan tindakan yang
tepat dan dilakukan secara terus-menerus agar lebih tajam dan tidak terjadi
kemunduran dalam tindakan atau respon terhadap stimulus.
Dalam membuktikan teorinya Thorndike melakukan percobaan terhadap
seekor kucing yang lapar dan kucing itu ditaruh di kandang, yang mana kandang
tersebut terdapat celah-celah yang kecil sehingga seekor kucing itu bisa melihat
makanan yang berada di luar kandang dan kandang itu bisa terbuka dengan sendiri
apabila seekor kucing tadi menyentuh salah satu jeruji yang terdapat dalam kandang
tersebut. Mula-mula kucing tersebut mengitari kandang beberapa kali sampai ia
menemukan jeruji yang bisa membuka pintu kandang, kucing ini melakukan respon
atau tindakan dengan cara coba-coba, ia tidak mengetahui jalan keluar dari kandang
tersebut, kucing tadi melakukan respon yang sebanyak-banyaknya sehingga
menemukan tindakan yang cocok dalam situasi baru atau stimulus yang ada.
Thorndike melakukan percobaan ini berkali-kali pada kucing yang sama dan situasi
yang sama pula. Memang pertama kali kucing tersebut dalam menemukan jalan
keluar memerlukan waktu yang lama dan pastinya mengitari kandang dengan jumlah
yang banyak pula, akan tetapi karena sifat dari setiap organisme itu selalu memegang
tindakan yang cocok dalam menghadapi situasi atau stimulus yang ada, maka kucing
tadi dalam menemukan jeruji yang menyebabkan kucing tadi bisa keluar dari
kandang, ia pegang tindakan ini sehingga kucing ini dapat keluar untuk mendapatkan

3
makanan dan tidak perlu lagi mengitari kandang karena tindakan ini dirasa tidak
cocok. Akan tetapi kucing tadi langsung memegang jeruji yang menyebabkannya bisa
keluar untuk makan.

2. Ciri-ciri Belajar Menurut Thorndike


Adapun beberapa ciri-ciri belajar menurut Thorndike (Kartika, 2013: 6), antara lain:
a. Ada motif pendorong aktivitas.
b. Ada berbagai respon terhadap sesuatu.
c. Ada eliminasi respon-respon yang gagal atau salah.
d. Ada kemajuan reksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.

3. Hukum-hukum yang Digunakan Edward Lee Thorndike


Thorndike menyatakan bahwa belajar pada hewan maupun manusia berlangsung
berdasarkan tiga macam hukum pokok belajar, yaitu :
a. Hukum Kesiapan (Law of Readiness)
Dalam belajar seseorang harus dalam keadaan siap dalam artian seseorang yang
belajar harus dalam keadaan yang baik dan siap, jadi seseorang yang hendak belajar
agar dalam belajarnya menuai keberhasilan maka seseorang dituntut untuk memiliki
kesiapan, baik fisik maupun psikis. Siap fisik seperti seseorang tidak dalam keadaan
sakit, yang mana bisa mengganggu kualitas konsentrasi. Adapun contoh dari siap
psikis adalah seperti seseorang yang jiwanya tidak lagi terganggu, seperti sakit jiwa
dan lain-lain. Disamping seseorang harus siap fisik dan psikis seseorang juga harus
siap dalam kematangan dalam penguasaan pengetahuan serta kecalapan-kecakapan
yang mendasarinya.
Menurut Thorndike (Ayuni, 2011: 9) ada tiga keadaan yang menunjukkan berlakunya
hukum ini, yaitu :
a. Bila pada organisme adanya kesiapan untuk bertindak atau berprilaku, dan bila
organisme itu dapat melakukan kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami
kepuasan.
b. Bila pada organisme ada kesiapan organisme untuk bertindak atau berperilaku,
dan organisme tersebut tidak dapat melaksanakan kesiapan tersebut, maka organisme
akan mengalami kekecewaan.
c. Bila pada organisme tidak ada persiapan untuk bertindak dan organisme itu
dipaksa untuk melakukannya maka hal tersebut akan menimbulkan keadaan yang
tidak memuaskan.
Di samping hukum-hukum belajar seperti yang telah dikemukakan di atas, konsep
penting dari teori belajar koneksionisme Thorndike adalah yang dinamakan transfer
of training. Konsep ini menjelaskan bahwa apa yang pernah dipelajari oleh anak
sekarang harus dapat digunakan untuk hal lain di masa yang akan datang. Dalam
konteks pembelajaran konsep transfer of training merupakan hal yang sangat penting,
sebab seandainya konsep ini tidak ada, maka apa yang akan dipelajari tidak akan
bermakna.

b. Hukum Latihan (Law of Exercise)


Untuk menghasilkan tindakan yang cocok dan memuaskan untuk merespon suatu
stimulus maka seseorang harus mengadakan percobaan dan latihan yang berulang-
ulang, adapun latihan atau pengulangan perilaku yang cocok yang telah ditemukan
dalam belajar, maka ini merupakan bentuk peningkatan existensi dari perilaku yang
cocok tersebut semakin kuat(Law of Use). Dalam suatu teknik agar seseorang dapat
mentransfer pesan yang telah ia dapat dari sort time memory ke long time memory ini

4
dibutuhkan pengulangan sebanyak-banyaknya dengan harapan pesan yang telah
didapat tidak mudah hilang dari benaknya.

c. Hukum Akibat (Law of Effect)


Hukum akibat Thorndike mengemukakan (Dahar, 2011: 18) jika suatu
tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan,
kemungkinan tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip akan meningkat. Akan
tetapi, bila suatu perilaku diikuti oleh suatu perubahan yang tidak memuaskan dalam
lingkungan, kemungkinan perilaku itu diulangi akan menurun. Jadi konsekuensi
perilaku seseorang pada suatu waktu memegang peranan penting dalam menentukan
perilaku orang itu selanjutnya.
Thorndike mengungkapkan bahwa organisme itu sebagai mekanismus yang
hanya bertindak jika ada perangsang dan situasi yang mempengaruhinya. Dalam
dunia pendidikan Law of Effect ini terjadi pada tindakan seseorang dalam
memberikan punishment atau reward. Akan tetapi dalam dunia pendidikan menurut
Thorndike yang lebih memegang peranan adalah pemberian reward dan inilah yang
lebih dianjurkan. Teori Thorndike ini biasanya juga disebut
teori koneksionismekarena dalam hukum belajarnya ada “Law of Effect” yang mana
di sini terjadi hubungan antara tingkah laku atau respon yang dipengaruhi oleh
stimulus dan situasi dan tingkah laku tersebut mendatangkan hasilnya (effect).
Ketiga hukum yang telah dikemukakan itu adalah hukum-hukum primer
(primary-laws). Kecuali ketiga hukum-hukum pokok atau hukum-hukum primer itu
Thorndike mengemukakan pula lima macam hukum-hukum subside atau hukum-
hukum minor (subsidiary laws, minor laws). Kelima hukum subsider tersebut
merupakan prinsip-prinsip yang penting di dalam proses belajar, akan tetapi tidak
sepenting hukum-hukum primer. Hubungan antara hukum-hukum pokok/primer dan
hukum-hukum subsider itu tidak begitu jelas, dan dalam tulisan-tulisan Thorndike
yang lebih kemudian hukum-hukum subsider tersebut kadang-kadang dipakai lagi.
Adapun ke lima hukum subsider tersebut adalah:
1. Law of multiple respon,
Merupakan langkah permulaan dalam proses belajar. Melalui proses “trial and error“
seseorang akan melakukan bermacam – macam respons sebelum memperoleh
respons yang tepat dalam memecahkan masalah yang di hadapi.
2. Law of attitude (law of set, law of disposition),
Merupakan situasi di dalam diri individu yang menentukanapakah sesuatu itu
menyenangkan atau tidak bagi individu tersebut. Proses belajar individu dapat
berlangsung dengan baik, lancar, bila situasi menyenangkan dan terganggu
bila situasi tidak menyenangkan.
3. Law of partial activity (law of prepotency element),
Merupakan prinsip yang menyatakan bahwa manusia memberikan respons hanya pada
aspek tertentu sesuai dengan presepsinya dari keseluruhan situasi ( respons selektif ),
dengan demikiaian orang dapat memberi respons yang berbeda pada stimulus yang
sama.
4. Law of respon by analog (law of assimilation), dan
Menurut thorndike, manusia dapat melakukan respon pada situasi yang belum dialami
karena mereka dapat menghubungkan situasi yang baru yang belum pernah

5
dialami dengan situasi lama yang pernah mereka alami, selanjutnya terjadi
perpindahan ( transfer ) unsur – unsur yang telah mereka kenal kepada situasi baru.
5. Law of associative shifting.
Perpindahan Asosiasi adalah proses peralihan suatu situasi yang telah dikenal ke
situasi yang belum dikenal secara bertahap, dengan cara ditambahkanya sedikit demi
sedikit unsur – unsur ( elemen ) baru dan membuang unsur – unsur lama sedikit demi
sedikit, yang menyebabkan suatu respons dipindahkan dari suatu situasi yang sudah
dikenal ke situasi lain yang baru sama sekali.

Soal :

Dari Teori Pembelajaran yng dikemukakan Oleh Thorndike, Jelaskan Apa saja
Kekurangan/Kelemahan dari Teori Thorndike tersebut?

Jawab ;

Kelemahan-kelemahan Teori Belajar Thorndike yaitu :


1. Terlalu memandang Manusia sebagai mekanismus dan otomatisme belaka
disamakan dengan hewan. Meksipun banyak tingkah laku Mausia yang otomatis,
tetapi tidak selalu bahwa tingkah laku manusia itu dapat dipengaruhi secara trian
and error. Trial and error tidak berlaku mutlak bagi manusia.
2. Memandang belajar hanya merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan respon.
Sehingga yang dipentingkan dalam belajar ialah memperkuat asosiasi tersebut
dengan latihan-latihan atau ulangan-ulangan yang terus-menerus.
3. Karena belajar berlangsung secra mekanitis, maka pengertian tidak dipandangnya
sebagai suatu yang pokok dalam belajar. Mereka mengabaikan pengertian sebagai
unsur yang pokok dalam belajar.

2.2 IMPLIKASI SKINNER


1. Kajian Umum Teori B.F Skinner

Inti dari teori behaviorisme Skinner adalah Pengkondisian operan (kondisioning operan).
Pengkondisian operan adalah sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi
dari prilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas prilaku itu akan diulangi. Ada 6
asumsi yang membentuk landasan untuk kondisioning operan (Margaret E. Bell Gredler,
hlm 122). Asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:

1. Belajar itu adalah tingkah laku.


2. Perubahan tingkah-laku (belajar) secara fungsional berkaitan dengan adanya
perubahan dalam kejadian-kejadian di lingkungan kondisi-kondisi lingkungan.
3. Hubungan yang berhukum antara tingkah-laku dan lingkungan hanya dapat di
tentukan kalau sifat-sifat tingkah-laku dan kondisi eksperimennya di devinisikan
menurut fisiknya dan di observasi di bawah kondisi-kondisi yang di control secara
seksama.

6
4. Data dari studi eksperimental tingkah-laku merupakan satu-satunya sumber informasi
yang dapat di terima tentang penyebab terjadinya tingkah laku.

Berdasarkan asumsi dasar tersebut menurut Skinner (J.W. Santrock, 272) unsur yang
terpenting dalam belajar adalah adanya penguatan (reinforcement ) dan hukuman
(punishment).
Penguatan dan Hukuman. Penguatan (reinforcement) adalah konsekuensi yang
meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi.
Sebaliknya, hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas
terjadinya suatu perilaku. (baca Teori penguatan dan hukuman yang lebih lengkap di sini)
Penguatan boleh jadi kompleks. Penguatan berarti memperkuat. Skinner membagi penguatan
ini menjadi dua bagian:
– Penguatan positif adalah penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi respons
meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding). Bentuk-bentuk
penguatan positif adalah berupa hadiah (permen, kado, makanan, dll), perilaku (senyum,
menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau
penghargaan (nilai A, Juara 1 dsb).
– Penguatan negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi respons
meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak
menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak memberi
penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang
(menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll).
Berikut ini disajikan contoh dari konsep penguatan positif, negatif, dan hukuman (J.W
Santrock, 274).
Penguatan positif

Perilaku Prilaku kedepan


Murid mengajukan Murid mengajukan
pertanyaan yang Konsekuensi lebih banyak
bagus Guru menguji murid pertanyaan

Penguatan negatif

Perilaku Prilaku kedepan


Murid Konsekuensi Murid makin sering
menyerahkan PR Guru berhenti menegur menyerahkan PR tepat
tepat waktu murid waktu

Hukuman

Perilaku Konsekuensi Prilaku kedepan


Murid menyela Guru mengajar murid Murid berhenti

7
guru langsung menyela guru

Ingat bahwa penguatan bisa berbentuk postif dan negatif. Dalam kedua bentuk
itu, konsekuensi meningkatkan prilaku. Dalam hukuman, perilakunya berkurang.

Disamping itu pula dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan
selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat
melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan
perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

2. Aplikasi Teori Skinner terhadap Pembelajaran


Beberapa aplikasi teori belajar Skinner dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:Bahan
yang dipelajari dianalisis sampai pada unit-unit secara organis.
 Hasil berlajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan dan jika
benar diperkuat.Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
 Materi pelajaran digunakan sistem modul.
 Tes lebih ditekankan untuk kepentingan diagnostic.
 Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
 Dalam proses pembelajaran tidak dikenakan hukuman.
 Dalam pendidikan mengutamakan mengubah lingkungan untuk mengindari
pelanggaran agar tidak menghukum.
 Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah.
 Hadiah diberikan kadang-kadang (jika perlu)Tingkah laku yang diinginkan, dianalisis
kecil-kecil, semakin meningkat mencapai tujuan.
 Dalam pembelajaran sebaiknya digunakan shaping.
 Mementingkan kebutuhan yang akan menimbulkan tingkah laku operan.
 Dalam belajar mengajar menggunakan teaching machine.
 Melaksanakan mastery learning yaitu mempelajari bahan secara tuntas menurut
waktunya masing-masing karena tiap anak berbeda-beda iramanya.
 Sehingga naik atau tamat sekolah dalam waktu yang berbeda-beda.
 Tugas guru berat, administrasi kompleks.

3. Analisis Perilaku Terapan dalam Pendidikan


Analisis Perilaku terapan adalah penerapan prinsip pengkondisian operan untuk
mengubah perilaku manusia. Ada tiga penggunaan analisis perilaku yang penting dalam
bidang pendidikan yaitu:
a. Meningkatkan perilaku yang diharapkan
Lima strategi pengkondisian operan dapat dipakai untuk meningkatkan perilaku anak
yang diharapkan yaitu:
8
- Memilih Penguatan yang efektif: tidak semua penguatan akan sama efeknya
bagi anak. Analisis perilaku terapan menganjurkan agar guru mencari tahu
penguat apa yang paling baik untuk anak, yakni mengindividualisasikan
penggunaan penguat tertentu. Untuk mencari penguatan yang efektif bagi seorang
anak, disarankan untuk meneliti apa yang memotivasi anak dimasa lalu, apa yang
dilakukan murid tapi tidak mudah diperolehnya, dan persepsi anak terhadap
manfaat dan nilai penguatan. Penguatan alamiah seperti pujian lebih dianjurkan
ketimbang penguat imbalan materi, seperti permen, mainan dan uang.
- Menjadikan penguat kontingen dan tepat waktu: agar penguatan dapat efektif,
guruharus memberikan hanya setelah murid melakukan perilaku tertentu. Analisis
perilaku terapan seringkali menganjurkan agar guru membuat pernyataan
”jika…maka”. penguatan akan lebih efektif jika diberikan tepat pada waktunya,
sesegera mungkin setelah murid menjalankan tindakan yang diharapkan. Ini akan
membantu anak melihat hubungan kontingensi antar-imbalan dan perilaku
mereka. Jika anak menyelesaikan perilaku sasaran (seperti mengerjakan sepuluh
soal matematika) tapi guru tidak memberikan waktu bermain pada anak, maka
anak itu mungkin akan kesulitan membuat hubungan kontingensi.
- Memilih jadwal penguatan terbaik: menyusun jadwal penguatan menentukan
kapan suatu respons akan diperkuat. Empat jadwal penguatan utama adalah
a) Jadwal rasio tetap: suatu perilaku diperkuat setelah sejumlah respon.
b) Jadwal rasio variabel : suatu perilaku diperkuat setelah terjadi sejumlah
respon, akan tetapi tidak berdasarkan basis yang dapat diperidiksi.
c) Jadwal interval – tetap : respons tepat pertama setelah beberapa waktu akan
diperkuat.
d) Jadwal interval – variabel : suatu respons diperkuat setelah sejumlah variabel
waktu berlalu.
Menggunakan Perjanjian. Perjanjian (contracting) adalah menempatkan
kontigensi penguatan dalam tulisan. Jika muncul problem dan anak tidak
bertindak sesuai harapan, guru dapat merujuk anak pada perjanjian yang mereka
sepakati. Analisis perilaku terapan menyatakan bahwa perjanjian kelas harus
berisi masukan dari guru dan murid. Kontrak kelas mengandung pernyataan
”jika… maka” dan di tandatangani oleh guru dan murid, dan kemudian diberi
tanggal.
Menggunakan penguatan negatif secara efektif: dalam pengutan negatif,
frekuensi respons meningkat karena respon tersebut menghilangkan stimulus
yang dihindari.seorang guru mengatakan”Pepeng, kamu harus menyelesaikan PR
mu dulu diluar kelas sebelum kamu boleh masuk kelas ikut pembelajaran” ini
berarti seorang guru menggunakan penguatan negatif.
Menggunakan dorongan (prompt) dan pembentukan (shapping)
Prompt (dorongan) adalah stimulus tambahan atau isyarat tambahan yang
diberikan sebelum respons dan meningkatkan kemungkinan respon tersebut akan
terjadi. Shapping (pembentukan) adalah mengajari perilaku baru dengan
memperkuat perilaku sasaran.

9
2.3 IMPLIKASI GAGNE

1. Belajar Konsep Menurut Gagne


Pada hirarki belajar yang dikemukakan oleh Gagne, belajar konsep ditempatkan pada
urutan kelima, sedang pada tipe hasil belajarnya, belajar konsep dipandang sebagai bagian
dari keterampilan itelektual, yang disusun dalam suatu hirarki tersendiri.
Hirarki tingkat-tingkat kemampuan intelek-tual tersebut digambarkan oleh Gagne (1979: 62)

Pemecahan masalah

Aturan-aturan tingkat tinggi

Aturan-aturan

Konsep-konsep Terdefenisi

Konsep-konsep konkrit

Gambar 4: Hirarki tingkat kemampuan

Mencermati sistematika pada gambar 4 di atas, dapat dipahami bahwa belajar konsep
dapat terjadi dengan baik setelah melalui belajar diskriminan, artinya kemampuan siswa
untuk mengadakan diskrimanasi menjadi penunjang kemampuan memahami suatu konsep.
Lebih lanjut Gagne membagi belajar konsep atas dua bagian, yaitu belajar konsep kongkrit
dan belajar konsep terdefenisi.
Belajar konsep kongkret adalah belajar memahami kebersamaan sifat-sifat dari benda-benda
kongkrit atau peristiwa peristiwa untuk di kelompokkan menjadi satu jenis, sedang belajar
konsep terdefenisi adalah kemampuan mendemonstrasikan makna dari kelas tertentu tentang
objek-objek, kejadian-kejadian, atau hubungan-hubungan, dan mampu menunjukkan
komponen-komponen dalam konsep tersebut.
Seperti yang dipaparkan terdahulu bahwa setiap tipe belajar dapat menghasilkan performasi
yang maksimal bila di perhatikan kondisi internal dan kondisi eksternal yang terjadi pada
setiap tipe belajar. Dalam hal belajar konsep kondisi internal dan kondisi eksternal di
paparkan sbb:
Konsep konsep kongkret
Menurut Gagne (1979: 65) kondisi internal dan kondisi eksternal yang dibutuhkan dalam
belajar konsep konkrit adalah
1. Kondisi Internal
Siswa dapat membedakan secara cermat contoh suatu konsep. Dengan demikian kemampuan
memahami konsep konkrit ini tergantung pada kemampuan siswa dalam mengadakan
diskriminasi.

2. Kondisi Eksternal
Mencakup kejelasan dalam ciri-ciri fisik pada objek yang harus dikelompokkan. Ini berarti
belajar konsep konkrit dapat dipercepat dengan bantuan isyarat-isyarat, dan penyajian
beberapa contoh.

10
Konsep-konsep terdefinisi
Menurut Gagne (1979:67) kondisi internal dan kondisi eksternal yang dibutuhkan dalam
belajar konsep terdefinisi adalah
1. Kondisi internal

Untuk memperoleh konsep terdefinisi, siswa harus mengeluarkan atau memanggil semua
kompenen-kompenen konsep yang terdapat dalam definisi, termasuk hubungan antara
konsep.
2. Kondisi eksternal

Suatu konsep terdefinisi dapat dipelajari dengan meminta siswa mengamati suatu
demonstrasi atau skema/bagan dari komponen atau melalui pernyataan verbal.

C. Sistem Pemrosesan Informasi


Definisi belajar yang telah dikemukakan oleh Gagne seperti dipaparkan terdahulu
menempatkan pengolahan informasi sebagai suatu proses untuk memperbaiki kapasitas
belajar. Selanjutnya Gagne mengemukakan suatu teori tentang proses belajar yang mengacu
pada sistem pemrosesan informasi.
Pada model pemrosesan informasi tersebut, stimulus dari lingkungan peserta didik akan
mempengaruhi receptor (penerima stimulus), kemudia masuk ke sistem saraf melalui sensory
register (yaitu organ yang pertama kali menerima adanya stimulus tersebut) yang terdapat
dalam sistem saraf pusat. Penerimaan stimulus ini merupakan persepsi objek dan peristiwa
yang pertama kali bagi peserta didik. Stimulus yang berupa informasi itu akan disimpan
dalam sistem saraf pusat dalam waktu yang sangat singkat.
Menurut Sperling (dalam Ratna, 1989: 34) informasi itu hanya disimpan selama seperempat
detik. Dari seluruh informasi yang masuk, sebagian kecil disimpan untuk selanjutnya
memasuki short-term memory (ingatan jangka pendek), sedangkan selebihnya akan hilang
dari sistem. Proses reduksi ini disebut selective perception (tanggapan selektif).
Tertangkapnya informasi tertentu itu ke dalam short-term memory memerlukan waktu yang
relatif singkat (kira-kira 10 detik), kecuali bila informasi tertentu itu diulang-ulang maka akan
tertahan dalam jangka waktu yang agak lama.
Informasi yang terdapat dalam short-term memory dapat diberi kode, kemudian disimpan
dalam long-term memory (ingatan jangka panjang). Coding (pengkodean) sebaiknya
dilakukan dengan teknik tertentu agar pengitegrasian informasi baru ke dalam tidak merusak
struktur yang terdapat di dalam long-term memory. Informasi yang tersimpan pada long-term
memory akan bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama. Bila informasi tersebut akan
digunakan maka informasi itu harus dipanggil. Informasi yang telah dipanggil merupakan
dasar pada response generator (penghasil respon). Dalam pikiran sadar, informasi mengalir
dari long-term memory ke short-term memory dan kemudian ke response generator. Tetapi
untuk respon otomatis, informasi mengalir langsung dari long-term memory ke response
generator selama pemanggilan.
Response generator akan mengatur urutan respon dan membimbing effectors ke dalam suatu
tindakan yang akan mempengaruhi lingkungan (environment). Effectors meliputi semua otot
dan kelenjar kita, tetapi effectors yang utama untuk tugas sekolah ialah tangan (untuk
menulis) dan alat suara (untuk berbicara).
Executive control (pengaturan) dan expectancies (pengharapan) dalam model pemrosesan
informasi dipandang untuk mengaktifkan dan memodifikasi arus informasi.

11
D. Fase-Fase Belajar

Berdasarkan model pemrosesan informasi, Gagne (dalam Bell Gredler,1994:198)


menerapkan konsep pengolahan (proses) kognitif dalam kupasannya terhadap hal belajar,
Gagne menemukan sembilan tahapan pengolahan yang esensial bagi belajar dan harus
dilaksanakan secara berurutan, kesembilan tahapan tersebut dinamakan fase-fase belajar.
Uraian masing- masing fase tersebut sbb:
Persiapan untuk belajar
Persiapan untuk belajar memuat 3 (tiga) fase, yaitu :
1. Fase Attending (Mengarahkan Perhatian)

Fase ini untuk menyadarkan siswa akan adanya stimulus dan menangkap stimulus yang
relevan, stimulus yang dimaksudkan dapat berupa komunikasi verbal (lisan atau tulisan),
gambar diam dll.
Menarik perhatian siswa dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang merangsan
minat, menceritakan kejadian yang lain dari biasanya, atau membangkitkan minat tertentu.

2. Fase Pengharapan
Fase pengharapan berfungsi mengantar siswa untuk mengetahui tujuan belajar, orientasi
tujuan yang sudah terbentuk pada tahap ini membuat siswa dapatmemilih hasil apa yang
sesuai pada setiap fase berikutnya dalam pengolahan informasi (Gagne, 1977: 61).
Arahan yang diberikan pada fase pertama akan menimbulkan harapan untuk mengetahui
sajian yang akan diajarkan, dan sekaligus menimbulkan rasa keingintahuan siswa terhadap
pelajaran yang akan diberikan.

3. Fase Retrival (Mendapatkan Kembali)


Fase ini berfungsi untuk mengingat kembali kapabilitas prasyarat esensial untuk kegiatan
belajar yang baru, proses menggali ingatan dapat dipengaruhi oleh stimulus eksternal. Pada
proses ini kemungkinan peserta didik akan kehilangan hubungan dengan informasi yang ada
dalam ingatan jangka panjang. Dalam keadaan demikian, pengajar harus memberikan
stimulus eksternal, misalnya memberikan sedikit informasi yang relevan kemudian meminta
peserta didik untuk mencari kaitannya.
Perolehan dan performasi
Bagian ini 4 fase berikutnya, yaitu:
4. Fase Persepsi Selektif atas Sifat-Sifat Stimulus

Fase ini mengubah bentuk stimulus fisik menjadi ciri-ciri yang dapat dikenal dan
memungkinkan disampingnya ciri-ciri tersebut secara singkat dalam memori kerja dan dapat
dibuat sandi-sandi. Pada fase ini siswa melakukan seleksi terhadap stimulus yang datang,
informasi yang relevan dengan pelajaran yang akan disajikan dipanggil dari ingatan jangka
panjang maupun ingatan jangka pendek untuk diberi kode.

5. Fase Semantic Econding (Sandi Semantik)


Fase merupakan fase pengkodean, yaitu memberikan kode pada ciri-ciri stimulus dengan
kerangka kerja konseptual atau bermakna dan disimpan dalam memori jangka panjang.
Proses ini merupakan tahap sentral dan kritis dalam belajar dan tampa tahap ini belajar tidak
akan terjadi (Gagne, 1977: 66). Sandi yang disimpan dapat berupa konsep, proposisi, atau
organisasi lain yang bermakna.

12
6. Fase Retrival dan Respon
Fase ini berfungsi mengembalikan informasi yang disimpan ke pembangkit respons orang
dan mengaktifkan respons. Pada fase ini siswa mendapatkan kembali sandi yang baru saja
disimpan pada memori jangka panjang.

7. Fase Reinforcement (Penguatan)


Fase ini berfungsi mengkorfirmasikan pengharapan siswa tentang tujuan belajar. pada fase ini
siswa mendapatkan pengukuhan atas diperolehnya kapabilitas baru, alih belajar
Alih belajar memuat 2 (dua) fase terakhir, yaitu:

8. Fase Pengisyaratan Untuk Retrival


Fase ini berfungsi memberikan isyarat tambahan untuk mengingat kembali kapabilitas yang
sesuai dari memori jangka panjang.

9. Fase Generalisasi
Fase ini berfungsi meningkatkan kemampuan alih belajar kesituasi baru.
Berdasarkan uraian tentang model pemrosesan informasi dan fase- fase belajar Gagne
sebagaimana telah dikemukakan, terlihat bahwa Gagne sangat memerhatikan proses yang
terjadi dalam diri individu yang belajar. Disamping itu, Gagne juga memerhatikan perilaku
yang tampak (respon) dari individu setelah diberikan stimulus. Dengan demikian Gagne
memadukan antara psikologi kognitif dan psikologi tingkah laku dalam belajar.

2.4 IMPLIKASI PEAGET

IMPLIKASI TEORI PIAGET DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Menurut Piaget pengetahuan merupakan proses dari tindakan, baik fisik dan/atau mental pada
objek, images dan symbol-simbol. Pokok – pokok pikiran yang mewarnai dunia pendidikan
antara lain :

1. Pendekatan terpusat pada anak (siswa). Hal ini karena pada hakekatnya jalan pikiran
siswa (anak) berbeda dengan orang dewasa, baik dalam pendekatannya terhadap
realitas maupun cara pandangnya terhadap dunia.
2. Aktivitas. Untuk mempelajari sesuatu, anak membutuhkan kesempatan untuk
mengadakan tindakan terhadap obyek yang dipelajari. Oleh karena itu tugas guru
adalah mendorong aktifitas siswa. Guru hendaknya memaparkan materi atau
mempersiapkan situasi yang dapat mendorong siswa untuk merancang eksperimennya
sendiri.
3. Belajar secara individual. Hal ini dimaksudkan karena meski pun usia siswa sama,
akan tetapi tingkat kognisi belum tentu sama. Oleh karena itu guru hendaknya
memperhatikan perbedaan individu dalam pemerolehan pengetahuan siswa.
4. Interaksi social. Interaksi social ini dimaksudkan agar siswa dapat saling bertukar
pengalaman, memberikan alas an dan mempertahankan pendapat siswa.

Teori Piaget sangatlah memiliki peranan penting dalam dunia pendidikan secara umum.
Dalam pembelajaran matematika, teori piaget juga mewarnai bentuk-bentuk model,
pendekatan, dan strategi pembelajaran yang dilaksanakan. Hal ini tampak dalam kegiatan
pembelajaran yang menginginkan adanya student centered, yang dengan aktivitasnya mampu
mebangun pengetahuan dengan memperhatikan perbedaan individual tanpa

13
mengesampingkan interaksi social. Berikut ini adalah contoh pendekatan pembelajaran yang
menurut penyusun memenuhi teori perkembangan kognitif Piaget, yaitu pendekatan
pembelajaran tipe SAVI dengan berbasis masalah kontekstual.

Dave Meier mengemukakan idenya tentang pendekatan belajar SAVI (Somatis, Auditory,
Visual, Intellectual) yaitu belajar dengan bergerak dan berbuat, belajar dengan berbicara dan
mendengar, belajar dengan mengamati dan menggambarkan, belajar dengan memecahkan
masalah dan merenung. Keempat cara belajar itu harus ada agar belajar berlangsung optimal.
Karena unsur-unsur tersebut semuanya terpadu. Belajar yang paling baik bisa berlangsung
jika semuanya digunakan secara simultan. Masalah yang diberikan pun sebaiknya adalah
masalah kontekstual. Menurut Armanto (2008) masalah kontekstual adalah masalah yang
merepresentasikan hadirnya lingkungan nyata bagi siswa, dapat dipandang, dapat
dibayangkan, terjangkau imajinasi, menggambarkan situasi kehidupan, situasi bersifat fantasi,
dan situasi matematis.

Langkah-Langkah Penerapan Pendekatan Pembelajaran Tipe SAVI dengan Berbasis Masalah


Kontekstual
Dengan menggunakan kerangka perencanaan pembelajaran SAVI, maka langkah-langkah
penerapan pendekatan pembelajaran Tipe SAVI dengan berbasis masalah kontekstual dapat
dilakukan dengan empat tahapan, yaitu :

1. Tahap Persiapan (kegiatan pendahuluan)

1. Menciptakan suasana yang kondusif bagi siswa untuk belajar dan mengecek
kehadiran siswa.
2. Mengingatkan pengetahuan siswa tentang materi sebelumnya dan menghubungkan
dengan materi yang akan dipelajari.
3. Menyampaikan tujuan dan manfaat pembelajaran dengan jelas
4. Mengajukan masalah kontekstual yang berkaitan dengan materi guna merangsang
rasa ingin tahu dan motivasi belajar siswa
5. Menyampaika garis besar materi dan mengajak siswa terlibat sejak awal

2. Tahap Penyampaian (kegiatan inti)

1. Meminta siswa melakukan pengamatan secara langsung terhadap benda nyata


disekitar yang berkaitan dengan materi dan menggunakannya untuk memahami materi
yang sedang dipelajari.
2. Melakukan tanya jawab secara klasikal untuk membicarakan masalah yang telah
diajukan.
3. Memberikan gambaran bentuk penyelesaian dari masalah yang telah diajukan.

3. Tahap Pelatihan (kegiatan inti)

1. Membagi siswa dalam kelompok dengan anggota yang heterogen


2. Setiap kelompok melakukan kegiatan dengan menggunakan benda nyata atau media
pembelajaran yang telah disiapkan guna menyelesaikan masalah yang telah diajukan
sebelumnya.
3. Siswa berdiskusi dengan anggota kelompoknya untuk membahas hasil kegiatan yang
telah mereka lakukan.

14
4. Guru membimbing siswa untuk memecahkan masalah yang telah diajukan
sebelumnya.
5. Salah satu kelompok mempresentasikan hasil kerja mereka dan kelompok lain
menanggapi.
6. Guru memberikan latihan soal dan setiap siswa mengerjakannya secara individu.

4. Tahap penampilan hasil (kegiatan penutup)

1. Memberi kesempatan pada siswa untuk menampilkan apa yang mereka peroleh dari
kegiatan pembelajaran tersebut baik secara individu, kelompok atau klasikal
2. Guru membimbing siswa membuat kesimpulan dari materi yang telah dipelajari
dengan menggunakan peta konsep.
3. Guru memberikan penguatan terhadap materi.
4. Guru dan siswa melakukan refleksi dan melakukan perbincangan dengan siswa
tentang kegiatan belajar pada hari itu dan mendengarkan keluhan siswa, memberikan
umpan balik dan evaluasi kinerja

2.5 IMPLIKASI BRUNER


A. Ciri khas Teori Pembelajaran Menurut Bruner
1. Empat Tema tentang Pendidikan

Tema pertama mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan. Hal ini perlu karena
dengan struktur pengetahuan kita menolong siswa untuk untuk melihat, bagaimana fakta-
fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan satu dengan yang lain.
Tema kedua adalah tentang kesiapan untuk belajar. Menurut Bruner kesiapan terdiri atas
penguasaan keterampilan-keterampilan yang lebih sederhana yang dapat mengizinkan
seseorang untuk mencapai kerampilan-ketrampilan yang lebih tinggi.
Tema ketiga adalah menekankan nilai intuisi dalam proses pendidikan. Dengan intuisi,
teknik-teknik intelektual untuk sampai pada formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui
langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupakan
kesimpulan yang benar atau tidak.
Tema keempat adalah tentang motivasi atau keingianan untuk belajar dan cara-cara yang
tersedia pada para guru untuk merangsang motivasi itu.

2. Model dan Kategori

Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi. Asumsi pertama adalah
bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Berlawanan dengan
penganut teori perilakau Bruner yakin bahwa orang yang belajar berinteraksi dengan
lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan tetapi juga dalam
diri orang itu sendiri. Asumsi kedua adalah bahwa orang mengkonstruksi pengetahuannya
dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan yang
diperoleh sebelumnya, suatu model alam (model of the world). Model Bruner ini
mendekati sekali struktur kognitif Aussebel. Setiap model seseorang khas bagi dirinya.

15
Dengan menghadapi berbagai aspek dari lingkungan kita, kita akan membentuk suatu
struktur atau model yang mengizinkan kita untuk mengelompokkan hal-hal tertentu atau
membangun suatu hubungan antara hal-hal yang diketahui.
Bruner menandai perkembangan kognitif manusia sebagai berikut:
a. Perkembangan intelektul ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi suatu
rangsangan.
b. Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan
informasi secara realis
c. Perkembangan intelekual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri
sendiri atau pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa yang telah
dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada
diri sendiri.
d. Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak
diperlukan bagi perkembangan kognitifnya
e. Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif karena bahasa merupakan alat komunikasi
antara manusia. Untuk memahami konsep-konsep yang ada diperlukan bahasa. Bahasa
diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep ke pada oraag lain.
f. Perkembaagan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa
alternatif secara simultan. memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas yang
berurutan dalam berbagai situasi

3. Belajar sebagai Proses Kognitif

Bruner mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir
bersamaan. Ketiga proses itu adalah (1) memperoleh informasi baru, (2) transformasi
informasi dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Informasi baru
merupakan penghalusan dari informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang atau
informasi itu dapat bersifat sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan informasi
sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam transformasi pengetahuan seseorang
memperlakukan pengetahuan agar cocok dengan tugas baru. Jadi, transformasi
menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi atau
dengan mengubah bentuk lain. Hampir semua orang dewasa melalui penggunaan tiga
sistem keterampilan untuk menyatakan kemampuannya secara sempurna. Ketiga sistem
keterampilan itu adalah yang disebut tiga cara penyajian (modes of presentation) oleh
Bruner. Ketiga cara itu ialah: cara enaktif, cara ikonik dan cara simbolik.
Kajian Bruner menekankan perkembangan kognitif. Ia menekankan cara-cara manusia
berinteraksi dalam alam sekitar dan menggambarkan pengalaman secara mendalam.
Menurut Bruner, perkembangan kognitif juga melalui tiga tahapan yang ditentukan cara
melihat lingkungan, yaitu:
a. Tahap enaktif (0-2 tahun), seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya
untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya dalam memahami dunia sekitarnya,
anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan
dan sebagainya.

16
b. Tahap ikonik (2-4 tahun), seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui
gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya,
anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komperasi)
c. Tahap simbolik (5-7 tahun), seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-
gagasan yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika.
Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika,
matematika dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak
sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses pemikirannya, semakin dominan
sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia tidak lagi sistem enaktif dan ikonik.
Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih
diperlukannya sistem enaktif dan ekonik dalam proses belajar.
Cara penyajian enaktif ialah melalui tindakan, jadi bersifat manipulatif. Dengan cara ini
seseorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-
kata. Jadi cara ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui respon-
respon motorik. Misalnya seseorang anak yang enaktif mengetahui bagaimana
mengendarai sepeda.
Cara penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan oleh
sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan
sepenuhnya konsep itu. Misalnya sebuah segitiga tidak menyatakan konsep kesegitigaan.
Penyajian simbolik menggunakan kata-kata atau bahasa. Penyajian simbolik dibuktikan
oleh kemampuan seseorang lebih memperhatikan proposisi atau pernyataan dari pada
objek-objek, memberikan struktur hirarkis pada konsep-konsep dan memperhatikan
kemungkinan-kemungkinan alternatif dalam suatu cara kombinatorial.
Sebagai contoh dari ketiga cara penyajian ini, tentang pelajaran penggunaan timbangan.
Anak kecil hanya dapat bertindak berdasarkan ”prinsip-prinsip” timbangan dan
menunjukkan hal itu dengan menaiki papan jungkat-jungkit. Ia tahu bahwa untuk dapat
lebih jauh kebawah ia harus duduk lebih menjauhi pusat. Anak yang lebih tua dapat
menyajikan timbangan pada dirinya sendiri dengan suatu model atau gambaran.
”Bayangan” timbangan itu dapat diperinci seperti yang terdapat dalam buku pelajaran.
Akhirnya suatu timbangan dapat dijelaskan dengan menggunakan bahasa tanpa
pertolongan gambar atau dapat juga dijelaskan secara matematik dengan menggunakan
Hukum Newton tentang momen.

B. Belajar Penemuan
Salah satu model kognitif yang sangat berpengaruh adalah model dari Jerome Bruner
yang dikena dengan nama belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap
bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia
dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Bruner meyarankan agar
siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-
prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan
eksperimen-eksperimen yang mengijinkan mereka untuk meemukan konsep dan prinsip
itu sendiri.
Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa kebaikan.
Diantaranya adalah:

17
1. Pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat.
2. Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik.
3. Secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan
kemampuan untuk berfikir secara bebas.
Asumsi umum tentang teori belajar kognitif:
a. Bahwa pembelajaran baru berasal dar proses pembelajaran sebelumnya.
b. Belajar melibatkan adanya proses informasi (active learning).
c. Pemaknaan berdasarkan hubungan.
d. Proses kegiatan belajar mengajar menitikberatkan pada hubungan dan strategi.
Model kognitif mulai berkembng pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori
perilaku yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif
bahwa para peserta didik memproses informasi dan pelajaran melalui upayanya
mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan
yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana
informasi diproses peneliti yang mengembangkan kognitif ini adalah Ausebel, Bruner,
dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda.
Ausebel menekankan pada aspek pengelolaan (Advance Organizer) yang memiliki
pengaruh utama terhadap belajar. Menurut Ausebel, konsep tersebut dimaksudkan untuk
penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk pengalaman belajar. Bruner bekerja pada
pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana
peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan. Bruner mengembangkan teorinya
tentang perkembangan intelektual, yaitu: enaktif, ikonik, dan simbolik.
Sejalan dengan pernyataan di atas, maka untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu
sampai anak mencapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus
ditata dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan kata lain perkembangan
kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari
dan menyajikannya seusia dengan tingkat perkembangannya. Penerapan teori Bruner
yang terkenal dalam dunia Pendidikn adalah kurikulum spiral dimana materi pelajaran
yang sama dapat diberikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi
disesuaikan dengan tingkap perkembangan kognitif mereka. Cara belajar yang terbaik
menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses
intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu kesimpulan (discovery learning).
Bruner mempreskripsikan pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi agar siswa
dapat belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan
pengethuan dan kemampuan yang khas baginya. Sedangkan Ausbel mempreskripsikan
agar siswa dapat mengembangkan situasi belajar, memilih dan menstrukturkan isi, serta
menginformasikannya dalam bentuk sajian pembelajaran yang terorganisasi dari umum
menuju kepada yang rinci dalam satu satuan bahasan yang bermakna.
Teori pembelajaran Bruner mementingkan pembalajaran melalui penemuan bebas (Free
discovery learnig) atau enemuan yang dibimbing, atau latihan penemuan. Bruner
mementingkan aspek-aspek berikut dalam teori pembelajarannya yaitu; cara manusia
berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan pengalamannya, perkembangan mental
manusia dan pemikiran semasa proses pembelajaran, pemikiran secara logika,
penggunaan istilah untuk memahami susunan struktur pengetahuan, pemikiran analisis

18
dan intuitif, pembelajaran induktif menguasai konsep/kategori, dan pemikiran
metakogniti. Teori-teori tersebut dapat diaplikasikan dalam 10 cara sebagai berikut:
1. Pembelajaran penemuan
2. Pembelajaran melalui metode induktif
3. Memberi contoh-contoh yang berkaitan dan tidak berkaitan dengan konsep
4. Membantu siswa melihat hubungan antar konsep
5. Membiasakan siswa membuat pemikiran intuitif
6. Melibatkan siswa
7. Pengajaran untuk pelajar tahap rendah
8. Menggunakan alat bantu mengajar
9. Pembelajaran melalui kajian luar
10. Mengajar mengikuti kemampuan siswa

2.6 IMPLIKASI BROWNELL

1. Teori Belajar
Teori William Artur Brownell meletakkan pondasi munculnya matematika baru
.“…he characterized his point of view as the “meaning theory.” In developing it, he laid the
foundation for the emergence of the “new mathematics.” He showed that understanding, not
sheer repetition, is the basis for children's mathematical learning…” . William meletakkan
dasar pembelajaran matematika sebagai ‘Meaning Theory’. Penelitiannya mengenai
pembelajaran anak khususnya pada aritmetika mengemukakan belajar matematika harus
merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian atau yang dikenal teori bermakna. Jika
dilihat dari teorinya ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt yang muncul pada
pertengahan tahun 1930. Dimana menurut teori Gestalt, latihan hafalan atau yang dikenal
dengan sebutan drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara drill diberikan
setelah tertanam pengertian.
Teori Drill dalam pengajaran matematika berdasarkan kepada teori belajar asosiasi
yang lebih dikenal dengan sebutan teori belajar stimulus respon yang dikembangkan oleh
Edward L. Thorndike (1874-1949). Teori belajar ini menyatakan bahwa pada hakikatnya
belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Menurut
hukum ini belajar akan lebih berhasil bila respon anak didik terhadap suatu stimulus segera
diikuti rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau puas ini bisa timbul sebagai akibat anak
didik mendapat pujian atau ganjaran sehingga ia merasa puas karena sukses yang diraihnya
dan sebagai akibatnya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.
Gambaran yang diberikan William tentang ciri-ciri perilaku kognitif adalah:
a. Berpikir lancar, yaitu menghasilkan banyak gagasan atau jawaban yang relevan dan arus
pemikiran lancar.
b. Berpikir luwes, yaitu menghasilkan gagasan-gagasan yang beragam, mampu mengubah
cara atau pendekatan atau arah pemikiran yang berbeda-beda.
c. Berpikir orisinal, yaitu memberikan yang tidak lazim atau lain dari yang lain yang
diberikan kebanyakan orang lain.

19
d. Berpikiir terperinci (elaborasi), yaitu mengembangkan, menambah, memperkaya suatu
gagasan, memperinci detail-detail dan memperluas suatu gagasan.
Menurut William dalam belajar orang membutuhkan makna, bukan hanya sekedar
respon otomatis yang banyak. Maka dengan demikian teori drill dalam pembelajaran
matematika yang dikembangkan atas dasar teori asosiasi atau teori stimulus respon,
menurutnya terkesan bahwa proses pembelajaran matematika khususnya aritmetika dipahami
semata-mata hanya sebagai kemahiran.
Teori belajar William Arthur Brownell didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak
pasti memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara
terus menerus untuk waktu yang lama. Salah satu cara bagi anak-anak untuk
mengembangkan pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda
tertentu ketika mereka mempelajari konsep matematika. Terdapat perkembangan yang
menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki kekeliruan yang cukup mendasar. Dari
penelitian yang dilaksanakan pada abad 19 terdapat hasil yang menunjukkan bahwa belajar
tidak melalui latihan hafalan dan mengasah otak, namun diperoleh anak melalui bagaimana
anak berbuat, berpikir, memperoleh persepsi, dll.

2. Implikasi Dalam Pembelajaran Anak Usia Dini


Implikasi teori perkembangan kognitif William dalam pembelajaran pada anak usia
dini sebagai berikut:
a. Belajar pada anak usia dini memerlukan benda konkrit sebagai implikasi perkembangan
kognitif anak yang berpikir konkrit. Karena itu guru harus pandai-pandai memilih metode
untuk mengajarkan matematika dasar atau berhitung pada anak usia dini. Guru hendaknya
menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak.
b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila lingkungan mendukung. Dalam hal ini adalah
guru, teman belajar maupun lingkungan sekolah termasuk alat permainan. Guru harus
membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c. Guru memilih metode belajar yang sesuai dengan karakteristik anak yaitu inovatif dan
kreatif sehingga anak tidak merasa bosan ataupun terbebani.
d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e. Anak didik hendaknya diberi peluang untuk saling berinteraksi dengan temannya.
Pengaplikasian teori kognitif William dalam belajar bergantung pada akomodasi.
Kepada anak didik harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar,
karena ia tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui saja. Dengan adanya area baru,
anak didik akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasikan.

Teori belajar William Brownell didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak


memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara terus
menerus untuk waktu yang lama. Salah satu cara bagi anak-anak untuk mengembangkan
pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda tentu ketika
mereka mempelajari konsep matematika. Sebagai contoh, pada saat anak-anak baru pertama
kali diperkenalkan dengan konsep membilang, mereka akan lebih mudah memahami konsep
itu jika mereka menggunakan benda kongkrit yang mereka kenal ; seperti mangga, kelereng,
bola atau sedotan. Dengan kata lain, teori belajar William Brownell ini mendukung

20
penggunaan benda-benda konkrit untuk dimanipulasikan sehingga anak-anak dapat
memahami makna dari konsep dan keterampilan baru yang mereka pelajari.

2.7 IMPLIKASI DIENES


A. Konsep Matematika
Dienes memandang matematika sebagai penyelidikan tentang struktur, pengklasifikasian
struktur, memilah-milah hubungan di dalam struktur, dan membuat kategorisasi hubungan-
hubungan di antara struktur-struktur. Ia yakin bahwa setiap konsep atau prinsip matematika
dapat dipahami dengan tepat jika mula-mula disajikan melalui berbagai representasi
konkret/fisik. Dienes menggunakan istilah konsep untuk menunjuk suatu struktur
matematika, suatu definisi tentang konsep yang jauh lebih luas daripada definisi Gagne.
Menurut Dienes, ada tiga jenis konsep matematika yaitu konsep murni matematika, konsep
notasi, dan konsep terapan.

1. Konsep murni matematis

Konsep matematis murni berhubungan dengan klasifikasi bilangan-bilangan dan hubungan-


hubungan antar bilangan, dan sepenuhnya bebas dari cara bagaimana bilangan-bilangan itu
disajikan. Sebagai contoh, enam, 8, XII, 1110 (basis dua), dan Δ Δ Δ Δ, semuanya
merupakan contoh konsep bilangan genap; walaupun masing-masing menunjukkan cara yang
berbeda dalam menyajikan suatu bilangan genap.

2. Konsep notasi

Sifat-sifat bilangan yang merupakan akibat langsung dari cara penyajian bilangan. Fakta
bahwa dalam basis sepuluh, 275 berarti 2 ratusan ditambah 7 puluhan ditambah 5 satuan
merupakan akibat dari notasi nilai tempat dalam menyajikan bilangan-bilangan yang
didasarkan pada sistem pangkat dari sepuluh. Pemilihan sistem notasi yang sesuai untuk
berbagai cabang matematika adalah faktor penting dalam pengembangan dan perluasan
matematika selanjutnya.

3. Konsep terapan

Penerapan dari konsep matematika murni dan notasi untuk penyelesaian masalah dalam
matematika dan dalam bidang-bidang yang berhubungan. Panjang, luas dan volume adalah
konsep matematika terapan. Konsep-konsep terapan hendaknya diberikan kepada siswa
setelah mereka mempelajari konsep matematika murni dan notasi sebagai prasyarat. Konsep-
konsep murni hendaknya dipelajari oleh siswa sebelum mempelajari konsep notasi, jika
dibalik para siswa hanya akan menghafal pola-pola bagaimana memanipulasi simbol-simbol
tanpa pemahaman konsep matematika murni yang mendasarinya. Siswa yang membuat
kesalahan manipulasi simbol seperti 3x + 2 = 4 maka x + 2 = 4 – 3, = x, a2 x a3 = a6, dan =
x + berusaha menerapkan konsep murni dan konsep notasi yang tidak cukup mereka kuasai.

21
Dienes memandang belajar konsep sebagai seni kreatif yang tidak dapat dijelaskan oleh teori
stimulus-respon manapun seperti tahap-tahap belajar Gagne. Dienes percaya bahwa semua
abstraksi didasarkan pada intuisi dan pengalaman konkret; akibatnya sistem pembelajaran
matematika Dienes menekankan laboratorium matematika, objek-objek yang dapat
dimanipulasi, dan permainan matematika.

B. Tahap – Tahap Belajar Menurut Dienes

Menurut Dienes (dalam Ruseffendi, 1992:125-127), konsep-konsep matematika akan berhasil


jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6
tahap, yaitu:

1. Permainan Bebas (Free Play)

Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari
permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak
berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama
permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur
mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang
dipelajari. Tahap ini merupakan tahap yang penting sebab pengalaman pertama, peserta didik
berhadapan dengan konsep baru melalui interaksi dengan lingkungannya yang mengandung
representasi konkrit dari konsep itu.

2. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)

Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan
yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu
tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Jelaslah, dengan melalui permainan siswa
diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin
banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas
konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan
matematis dalam konsep yang dipelajari itu.Sehingga peserta didik itu siap untuk memainkan
permainan tersebut.

3. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)

Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat
kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari kesamaan
sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan menstranslasikan kesamaan struktur
dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang
ada dalam permainan semula.

22
4. Permainan Representasi (Representation)

Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa
menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah mereka berhasil menyimpulkan
kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang
diperoleh ini bersifat abstrak, Dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur
matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.

5. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)

Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan


representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui
perumusan verbal.

6. Permainan dengan Formalisasi (Formalization)


Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-siswa
dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru
konsep tersebut. Contohnya, anak didik telah mengenal dasar-dasar dalam struktur
matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma,
dalam arti membuktikan teorema tersebut. Karso (1999:1.20) menyatakan, pada tahap
formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta membuktikannya secara
deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari
pemahaman konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya. Misalnya bilangan bulat dengan
operasi penjumlahan peserta sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya elemen identitas
dan mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem matematika. Anak didik pada
masa ini bermain dengan simbol dan aturan dengan bentuk-bentuk konkret dan mereka
memanipulasi untuk mengatur serta mengelompokkan aturan-aturan.

C. Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Dienes

Ada beberapa kelebihan dan kekurangan teori belajar Dienes antara lain:

Kelebihan teori belajar Dienes

1) Dengan menggunakan benda-benda konkret, siswa dapat lebih memahami konsep


dengan benar,
2) Susunan belajar akan lebih hidup, menyenangkan, dan tidak membosankan.
3) Dominasi guru berkurang dan siswa lebih aktif
4) Konsep yang lebih baik dipahami dapat lebih mengakar karena siswa
membuktikannya sendiri.
5) Dengan banyaknya contoh dengan melakukan permainan siswa dapat menerapkan ke
dalam situasi yang lain.

23
v Kelemahan teori belajar Dienes

1) Tidak semua materi dapat menggunakan teori belajar Dienes, karena teori ini lebih
mengarah kepermainan
2) Tidak semua siswa memiliki kemampuan yang sama
3) Bila pengajar tidak memiliki kemampuan mengarah siswa maka siswa cenderung
hanya bermain tanpa berusaha memahami konsep.

D. Penerapan Teori Dienes dalam Pembelajaran Matematika


Dalam menerapkan enam tahap belajar konsep dari Dienes untuk merancang pembelajaran
matematika, mungkin suatu tahap (bisa tahap bermain bebas) tidak cocok bagi para siswa
atau kegiatan-kegiatan untuk dua atau tiga tahap dapat digabung menjadi satu kegiatan.
Mungkin perlu dirancang kegiatan-kegiatan belajar khusus untuk setiap tahap jika kita
mengajar siswa-siswa kelas rendah, tetapi untuk siswa-siswa SMP dimungkinkan
menghilangkan tahap-tahap tertentu dalam mempelajari beberapa konsep.

Model mengajar matematika dari Dienes hendaknya diperlakukan sebagai pedoman, dan
bukan sekumpulan aturan yang harus diikuti secara ketat. Konsep perkalian bilangan bulat
negatif akan dibahas di sini sebagai contoh bagaimana tahap-tahap Dienes dapat digunakan
sebagai pedoman dalam merancang kegiatan mengajar/belajar. Karena hampir semua siswa
belajar menambah, mengurang, mengalikan dan membagi bilangan-bilangan asli, dan
menambah dan mengurang bilangan-bilangan bulat sebelum belajar mengalikan bilangan
bulat, kita berasumsi bahwa konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan itu telah dikuasai
oleh para siswa. Bagi para siswa kelas 7 SMP, dapat mulai sesi permainan bebas dengan
secara informal mendiskusikan pengerjaan hitung pada bilangan asli dan sifat-sifat aljabar
dari bilangan asli. Guru mungkin juga mendiskusikan penjumlahan dan pengurangan pada
bilangan bulat dan sifat pertukaran dan pengelompokan penjumlahan. Guru bisa juga
mengganti permainan bebas dengan tinjauan informal. Atau tahap bermain bebas dan game
bisa digabung menjadi beberapa permainan seperti permainan kartu sederhana berikut: guru
hendaknya menyiapkan meja panjang secukupnya untuk permainan kartu standar sedemikian
hingga terdapat satu meja panjang untuk setiap lima siswa dalam kelas. Para siswa yang
bermain dalam kelompok lima orang dan setiap anak memegang empat kartu. Setiap siswa
mengelompokkan kartu-kartunya menjadi berpasang-pasangan, kemudian mengalikan kedua
bilangan yang ditunjukkan oleh setiap pasang kartu, dan kemudian menjumlahkan kedua
hasil kali itu. Siswa yang dapat memasangkan kartu-kartunya sehingga memperoleh jumlah
hasil kali terbesar adalah pemenang dalam kelompoknya. Bilangan-bilangan pada kartu hitam
(keriting dan waru) dianggap sebagai bilangan positif, dan bilangan-bilangan pada kartu
merah (hati dan belah ketupat) sebagai bilangan negatif. Konsekuensinya para siswa langsung
dihadapkan pada masalah bagaimana mengelompokkan kartu-kartu negatif untuk
mendapatkan hasil kali dan jumlah positif yang besar. Beberapa kelompok mungkin
menyepakati aturan-aturan yang berbeda untuk menangani hasil kali dua bilangan negatif.
Sebagai contoh, kartu hitam 2 dan 4 dan kartu merah 7 dan 5 dapat digunakan untuk
membuat 2 x 4 + (-7 x -5) = 43, jika aturan yang benar bahwa hasil kali dua bilangan bulat

24
negatif adalah suatu bilangan bulat positif telah dirumuskan. Jika tidak, maka bilangan-
bilangan negatif tidak akan menolong dalam mengorganisasi seorang pemenang. Beberapa
siswa tentunya akan saling bertanya atau bertanya kepada guru tentang bagaimana menyekor
bilangan bulat negatif.

E. Metode Permainan

Permainan matematika adalah sesuatu kegiatan yang menyenangkan yang dapat menunjang
tujuan instruksional dalam pengajaran matematika baik aspek kognitif, afektifr, maupun
psikomotor. Kita perlu membatasi penggunaan permainan yang hanya sekedar permainan
yang membuat orang senang, ketawa, dan lain – lain, tetapi tidak menunjang tujuan
instruksional dalam pengajaran matematika. Permainan matematika itu supaya dipergunakan
secara berencana, tujuan instruksionalnya jelas, tepat penggunaannya, dan tepat pula
waktunya. Bila demikian permainan matematika itu akan merupakan alat yang efektif untuk
belajar.

Bermain peran identik dengan bermain drama. Pembelajaran dengan bermain peran biasanya
hanya dikaitkan dengan pembelajaran bahasa. Sebenarnya bermain peran dapat dilakukan
dalam pembelajaran matematika yaitu pada pembelajaran bilangan, hanya saja pembelajaran
dengan cara ini lebih tepatnya untuk permainan sebagai selingan dalam pembelajaran
matematika dan sebagai motivasi siswa untuk menyukai matematika.

Menurut Dienes, permainan matematika sangat penting sebab operasi matematika dalam
permainan tersebut menunjukkan aturan secara kongkret dan lebih membimbing dan
menajamkan pengertian matematika pada anak didik. Dapat dikatakan bahwa objek-objek
kongkret dalam bentuk permainan mempunyai peranan sangat penting dalam pembelajaran
matematika jika dimanipulasi dengan baik.

konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes
membagi tahap-tahap belajar menjadi 6 tahap, yaitu:

1. Permainan Bebas (Free Play)


2. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)
3. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
4. Permainan Representasi (Representation)
5. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)
6. Permainan dengan Formalisasi (Formalization)
Belajar dengan permainan bisa menjadikan pembelajaran matematika yang awalnya sulit
menjadi mudah dan menyenangkan. Misalnya peserta didik dalam belajar bilangan bulat,
pada awal pembelajaran sebelum dilakukan pembelajaran materi bilangan bulat dengan
maksud untuk mengetahui kemampuan awal siswa, menarik minat siswa terhadap
matematika, dan membuat pembelajaran yang menyenangkan. contoh permainannya yaitu

25
permainan kartu sederhana berikut: guru hendaknya menyiapkan meja panjang secukupnya
untuk permainan kartu standar sedemikian hingga terdapat satu meja panjang untuk setiap
lima siswa dalam kelas. Para siswa yang bermain dalam kelompok lima orang dan setiap
anak memegang empat kartu. Setiap siswa mengelompokkan kartu-kartunya menjadi
berpasang-pasangan, kemudian mengalikan kedua bilangan yang ditunjukkan oleh setiap
pasang kartu, dan kemudian menjumlahkan kedua hasil kali itu. Siswa yang dapat
memasangkan kartu-kartunya sehingga memperoleh jumlah hasil kali terbesar adalah
pemenang dalam kelompoknya. Bilangan-bilangan pada kartu hitam (keriting dan waru)
dianggap sebagai bilangan positif, dan bilangan-bilangan pada kartu merah (hati dan belah
ketupat) sebagai bilangan negatif. Konsekuensinya para siswa langsung dihadapkan pada
masalah bagaimana mengelompokkan kartu-kartu negatif untuk mendapatkan hasil kali dan
jumlah positif yang besar. Beberapa kelompok mungkin menyepakati aturan-aturan yang
berbeda untuk menangani hasil kali dua bilangan negatif. Sebagai contoh, kartu hitam 2 dan 4
dan kartu merah 7 dan 5 dapat digunakan untuk membuat 2 x 4 + (-7 x -5) = 43, jika aturan
yang benar bahwa hasil kali dua bilangan bulat negatif adalah suatu bilangan bulat positif
telah dirumuskan. Jika tidak, maka bilangan-bilangan negatif tidak akan menolong dalam
mengorganisasi seorang pemenang. Beberapa siswa tentunya akan saling bertanya atau
bertanya kepada guru tentang bagaimana menyekor bilangan bulat negatif.

Pembelajaran dengan metode bermain peran dapat dilakukan di dalam kelas atau di luar
kelas. Apabila pembelajaran dilakukan di dalam kelas maka dibutuhkan tempat yang lebih
luas atau lebih baik jika anak berada di luar tempat duduknya. Pembelajaran akan terasa lebih
santai jika dilakukan di luar kelas seperti di lapangan, di halaman sekolah, ataupun di teras
kelas.

2.8 IMPLIKASI VAN HIELLE

A. Model Pembelajaran Van Hiele


Model pembelajaran Van Hiele merupakan model yang didasarkan pada teori
belajar Van Hiele dalam mata pelajaran matematika, khususnya geometri. Teori belajar
matematika ini dicetuskan oleh dua tokoh pendidikan matematika dari Belanda, yaitu
Pierre Van Hiele dan isterinya yaitu Dian Van Hiele-Geldo yang mengajukan suatu teori
mengenai proses perkembangan kognitif yang dilalui siswa dalam mempelajari geometri
pada tahun 1957 samapi 1959. Van Hiele mengemukakan bahwa ada tiga unsure utama
pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran dan metode pengajaran yang
diterapkan. Bila ketiganya ditata secara terpadu dapat berakibat pada meningkatnya
kemampuan berpikir peserta didik kepada tahap yang lebih tinggi.
Dalam memahami geometri terdapat lima tahapan yaitu tahap pengenalan, analisis,
pengurutan, deduksi dan akurasi. Penjabaran lima tahapan pemahaman geometri tersebut
adalah:
1. Tahap Pengenalan

26
Pada tingkat ini, siswa memandang bangun geometri sebagai suatu
keseluruhan.Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan sifat-sifat dari masing-masing
bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama suatu
bangun, siswa belum mengamati cirri-ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini
siswa tahu suatu bangun bernama persegi panjang, tetapi ia belum menyadari sifat-sifat
dari bangun persegi panjang tersebut. Jadi guru harus memahami karakter anak pada tahap
pengenalan, anak belum mampu diajarkan sifat-sifat bangun geometri tersebut, karena
anak ana menerimanya melalui hafalan bukan dengan pengertian.
2. Tahap Analisis
Bila pada tahap pengenalan anak belum mengenal sifat-sifat dari bangun geometri,
tidak demikian pada tahap analisis. Pada tahap ini anak sudah dapat memahami sifat-sifat
dari bangun geometri. Pada tahap ini anak sudah mengenal sifat-sifat bangun geometri,
seperti sebuah persegi banyak sisinya ada 4 buah. Anak pada tahap analisi belum mampu
mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri
lainnya.
3. Tahap pengurutan
Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap geometri lebih mengingkat lagi dari
sebelumnya yang hanya mengenal bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya, maka
pada tahap ini anak sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun
geometri dengan bangun geometri yang lainnya. Anak yang berada pada tahap ini sudah
memahami pengurutan bangun-bangun geometri. Misalnya persegi adalah persegi panjang
sebab mempunyai semua sifat persegi panjang, karena persegi juga memiliki cirri-ciri
persegi panjang.
4. Tahap Deduksi
Pada tahap ini anak sudah mampu memahami deduksi, yaitu mengambil
kesimpulan secara deduktif. Pengambilan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan
kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum ke khusus. Sebagai contoh untuk menentukan
bahwa jumlah sudut segitiga dari bangun persegi panjang. Anak pada tahap ini telah
mengerti pentingnya peranan unsure-unsur yang tidak didefinisikan.
5. Tahap Akurasi
Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-
prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, anak pada tahap ini sudah
mengetahui dalil yang mendasari bahwa jumlah sudut-sudut segitiga adalah 180 derajat.
Tahap akurasi merupakan gtahap tertinggi dalam memahami geometri.
Siswa dalam mempelajari geometri akan memahami secara efektif apabila
pembelajaran disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa atau kemampuan berpikir
kognitif siswa. Hal ini sesuai dengan Jean Peaget dalam teori perkembangan kognitif
mental anak atau teori tingkat perkembangan berpikir anak, bahwa periode operasional
formal dimulai dari usia dua belas tahun sampai dewasa. Sesuai hal tersebur berarti siswa
sekolah dasar menempati periode operasional konkret. Tahapan Van Hiele menuntut

27
bahwa tingkat yang lebih tinggi tidak langsung menurut pendapat guru, tetapi melalui
pilihan-pilihan yang tepat. Anak-anak sendiri yang akan menentukan kapan saatnya untuk
naik ke tingkat yang lebih tinggi. Meskipun demikiann, siswa tidak akan mencapai
kemajuan tanpa bantuan guru. Oleh karena itu, muncul model pembelajaran Van Hiele
yang ditetapkan dalam fase-fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan belajar siswa dan
peran guru dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan itu. Fase-fase pembelajaran
tersebut adalah fase inkuiri (informasi), fase orientasi berarah, fase uraian, fase orientasi
bebas dan fase integrasi.
1. Fase Inkuiri (Informasi).
Dengan Tanya jawab antara guru dengan siswa, disampaikan konsep-konsep awal
tentang materi yang akan dipelajari. Guru mengajukan informasi baru dalam setiap
pertanyaan yang dirancang secermat mungkin agar siswa dapat menyatakan kaitan-kaitan
konsep-konsep awal dengan materi yang akan dipelajari. Bentuk pertanyaan diarahkan
pada konsep yang telah dimiliki siswa.Informasi dari Tanya jawab tersebut memberikan
masukan bagi guru untuk menggali tentang perbendaharaan bahasa dan interpretasi atas
konsepsi-konsepsi awal siswa untuk memberikan materi selanjutnya, dipihak siswa, siswa
mempunyai gambaran tentang arah belajar selanjutnya.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh diharapkan bukan hasil mengingat
seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus merancang
kegiatan yang merujuk pada kegiatan yang menemukan, apapun materi yang diajarkannya
siklus inkuiri secara umum terdiri dari; proses perpindahan dari pengamatan menjadi
pemahaman, siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis, observasi,
mengajukan dugaan, bertanya, mengumpulkan data, dan menyimpulkan (Sofan Amri
2010:29).
2. Fase Orientasi berarah
Sebagai refleksi dari fase 1, siswa meneleliti materi pelajaran melalui bahan ajar
yang ditancang guru. Guru mengarahkan siswa untuk meneliti objek-objek yang dipelajari.
Kegiatan mengarahkan merupakan rangkaian tugas singkat untuk memperoleh respon-
respon khusus siswa. Misalnya guru meminta siswa mengamati bangun-bangun geometris
yang ada disekitarnya yang berbentuk segi empat. Siswa diminta mengelompokkan jenis
segiempat, sesuai dengan jenisnya. Aktivitas belajar ini bertujuan untuk memotivasi siswa
agar aktif mengeksplorasi sifat-sifat bangun yang dipelajari. Fase ini bertujuan untuk
mengarahkan dan membimbing eksplorasi siswa sehingga menemukan konsep-konsep
khusus daribangun-bangun geometri.
3. Fase Uraian.
Pada fase ini, siswa diberi motivasi untuk mengemukakan pengalamannya tentang
struktur bangun yang diamati menggunakan bahasa sendiri. Sejauh mana pengalamannya
bisa diungkapkan, mengekspresikan dan merubah atau menghapus pengetahuan intuitif
siswa yang tidak sesuai dengan struktur bangun yang diamati. Pada fase pembelajaran ini,
guru membawa onjek-objek ke tahap pemahaman melalui diskusi antar siswa dalam

28
menggunakan ketepatan bahasa dengan menyatakan sifat-sifat yang dimiliki oleh bangun-
bangun yang dipelajari.
4. Fase Orientasi bebas
Pada fase ini siswa dihadapkan dengan tugas-tugas yang lebih kompleks. Siswa
ditantang dengan situasi masalah kompleks. Siswa diarahkan untuk belajar memecahkan
masalah dengan cara siswa sendiri sehingga siswa akan semakin jelas melihat hubungan-
hubungan antar sifat-sifat suatu bangun. Jadi siswa ditantang untuk mengelaborasi sintesis
dari penggunaan konsep-konsep dan relasi-relasi yang telah dipahami sebelumnya
5. Fase integrasi
Pada fase ini, guru merancang pembelajaran agar siswa membuat ringkasan
tenatng kegiatan yang sudah dipelajari. Tujuan kegiatan belajar fase ini adalah
menginterpretasikan pengetahuan dari apa yang telah diamati dan didisusikan. Peran guru
adalah membantu penginterpretasian pengetahuan siswa dengan meminta membuat
refleksi dan mengklarifikasi pengetahuan geometri siswa, serta menguatkan tekanan pada
penggunaan struktur matematika.

B. Manfaat teori belajar Van Hiele


Bansu Ansari (2009: 39) mengemukakan bahwa teori yang diterapkan Van Hiele
lebih kecil ruang lingkupnya dibandingkan dengan teori belajar yang lainnya karena Van
Hiele hanya mengkhususkan pada pembelajaran geometri. Namun demikian terdapat
beberapa hal yang dapat diambil manfaat teori belajar Van Hiele yaitu :
a. Guru dapat mengambil manfaat dari tahap-tahap perkebangan kognitif siswa di SD, dalam
hal ini guru dapat mengetahui mengapa seorang siswa tidak memahami bahwa persegi itu
merupakan persegipanjang karena siswa tersebut tahap berpikirnya masi berada pada
tahap analisis kebawah dan belum sampai pada tahap pengurutan.
b. Agar siswa dapat memahami geometri maka pengajarannya harus disesuaikan dengan
tahap berpikir siswa, sehingga jangan sekali-kali memberikan pelajaran yang berada diatas
tahap berpikirnya.
c. Agar topik pelajaran pada materi geometri dapat dipahami siswa dengan baik, maka topik
pelajaran tersebut dapat dipelajari berdasarkan urutan tingkat kesukarannya dan dimulai
dari tingkat yang paling mudah sampai dengan tingkat yang paling rumit dan kompleks.

29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari berbagai teori belajar yang dikemukan oleh para ahli, terdapat beberapa kesamaan
dasar teori. Seperti, pembelajaran yang dikehendaki adalah pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik menjadi aktif dalam pembelajaran, para calon guru bidang study
juga harus memahami tingkatan berfikir siswanya agar siswa dapat mengerti dan terampil
dalam menyelesaikan masalah dalam pelajaran matematika.
3.2 Saran
Bagi para pembaca atau guru-guru pada khususnya, ciptakanlah pembelajaran
matematika yang menyenangkan. Mari bersama kita hapus anggapan siswa bahwa belajar
matematika itu membosankan, dengan cara menggunakan media yang konkrit dalam proses
pembelajaran.

30

You might also like