You are on page 1of 29

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori

1. Skizofrenia Paranoid

Skizofrenia adalah pola penyakit bidang psikiatri yang merupakan sindroma klinis
dari berbagai keadaan psikopatologis yang sangat mengganggu, melibatkan proses pikir,
emosi, gerakan dan tingkah laku. Skizofrenia sebagai suatu gangguan kronik dengan
konsekwensi fisik, sosial dan ekonomik. Skizofrenia merupakan masalah utama dalam
kesehatan masyarakat yang berpengaruh pada sebagaian besar orang dan kerugian ekonomi
diseluruh dunia. Kerugian secara ekonomik yang diakibatkan skizofrenia diperkirakan 33
milyar dolar di Amerika Serikat pada tahun 1990. Kebanyakan biaya tersebut dihubungkan
dengankonsekwensi gejala psikosis yang mengalami relaps.

Gangguan skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi pikiran, persepsi yang


mendasar dan khas, dan efek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted).
Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap dipertahankan walaupun
deficit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. Gangguan ini melibatkan fungsi yang
paling mendasar yang memberikan kepada orang normal suatu perasaan individual, keunikan
dan pengarahan diri (self-direction). Skizofrenia merupakan gangguan mental yang
mengakibatkan kerusakan berat dan mengakibatkan disabilitas. Di Amerika Serikat,
prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1- 1.5%,
biasanya diawali pada masa remaja atau pada awal dewasa, dengan usia puncak onset untuk
laki laki adalah 10-25 tahun; untuk wanita 25-35 tahun, kurang dari 20% pasien mengalami
kesembuhan total (full recovery) setelah episode pertama. Skizoprenia paranoid adalah jenis
skizofrenia yang paling sering dijumpai di negara manapun. Gambaran klinis didominasi oleh
waham. Waham yang secara relatif stabil, seringkali bersifat paranoid, biasanya disertai oleh
halusinasi, terutama halusinasi pendengaran dan gangguan persepsi.

a. Skizofrenia paranoid adalah salah satu dari beberapa jenis skizofrenia, yaitu suatu penyakit
mental yang kronis di mana seseorangkehilangan kontak dengan kenyataan/ realitas
(psikosis). Gambaran umum dari skizofrenia paranoid adalah adanya delusi (waham) dan
mendengar hal-hal yang tidak nyata. Dari semua jenis skizofrenia, skizofrenia paranoid
mungkin yang paling sering didiagnosis. Jenis paranoid memiliki prognosis keseluruhan
terbaik.(Lane, 2013)
b. Karakteristik dan Gejala skizofrenia paranoid memiliki syarat untuk menentukan
diagnosis, dua kriteria utama yang harus dipenuhi (Lane, 2013):

1) Pengalaman Sering halusinasi pendengaran atau keasyikan dengan setidaknya satu


khayalan atau delusi.

2) Gejala-gejala berikut tidak menonjol: emosi tumpul atau tidak ada ekspresi, perilaku
tidak teratur, perilaku katatonik, atau berbicara yang tidak teratur.

c. Delusi dan Halusinasi

1) Delusi sering disebut waham ialah keyakinan yang dipegang teguh tidak didasarkan
pada realitas. Contoh dari khayalan akan menjadi keyakinan bahwa alien telah
menghapus otak seseorang dan menggantinya dengan otak alien. Pada skizofrenia
paranoid, delusi sering terlibat keyakinan bahwa mereka adalah korban atau sasaran
penganiayaan. Mereka mungkin percaya seseorang memata-matai mereka atau
berencana menyakiti mereka. Khayalan mungkin juga megah di alam, misalnya,
keyakinan bahwa dia memiliki kekuatan supranatural atau pada misi untuk
menyelamatkan dunia. Jenis lain dari delusi juga dapat terjadi, seperti yang melibatkan
tubuh mereka.

Jenis – Jenis Delusi (Keith, Regier, & Rae, 1991)

a) Kebesaran: juga dikenal sebagai delusi keagungan, adalah rasa berlebihan kepentingan
atau diri.Sekarang sering disertai dengan keyakinan pemikiran magis.

b) Penganiayaan: Orang dengan skizofrenia mungkin mengalami delusi penganiayaan.


Mereka mungkin percaya seseorang sedang mencoba untuk menyakiti mereka dan,
karena itu, kegagalan pribadi dalam kehidupan adalah kesalahan dari orang lain yang
berbahaya.

c) Delusi kontrol: terjadi ketika orang percaya bahwa perasaan, impuls, pikiran, atau
tindakan tidak seseorang memiliki tetapi dipaksakan oleh kekuatan eksternal.

d) Waham agama melibatkan keyakinan palsu dengan agama atau tema spiritual.

e) Waham Erotomanic adalah keyakinan bahwa biasanya seseorang yang terkenal dan
status yang lebih tinggi, jatuh cinta dengan dia atau dia. Kadang-kadang berubah
kekerasan, bukan karena kebencian orang, tetapi karena orang tidak dapat memenuhi
delusi romantis.
f) Waham Somatik terjadi ketika orang percaya sesuatu abnormal dan berbahaya yang
terjadi pada tubuh mereka.

g) Ide referensi adalah pernyataan atau tindakan oleh seseorang lain yang sama sekali
tidak mengacu pada orang, tetapi yang ditafsirkan sebagai berkaitan dengan dia atau
dia.

h) pemikiran penyiaran terjadi ketika orang percaya bahwa pikiran mereka dapat didengar
oleh orang lain.

i) Penarikan Pikiran adalah keyakinan bahwa orang lain mampu menghilangkan pikiran
dari pikiran seseorang.

j) Pemikiran penyisipan adalah keyakinan bahwa orang lain mampu menempatkan pikiran
ke dalam pikiran seseorang.

Jenis – Jenis Delusi (Keith, Regier, & Rae, 1991)

a) Kebesaran: juga dikenal sebagai delusi keagungan, adalah rasa berlebihan kepentingan
atau diri.Sekarang sering disertai dengan keyakinan pemikiran magis.

b) Penganiayaan: Orang dengan skizofrenia mungkin mengalami delusi penganiayaan.


Mereka mungkin percaya seseorang sedang mencoba untuk menyakiti mereka dan,
karena itu, kegagalan pribadi dalam kehidupan adalah kesalahan dari orang lain yang
berbahaya.

c) Delusi kontrol: terjadi ketika orang percaya bahwa perasaan, impuls, pikiran, atau
tindakan tidak seseorang memiliki tetapi dipaksakan oleh kekuatan eksternal.

d) Waham agama melibatkan keyakinan palsu dengan agama atau tema spiritual.

e) Waham Erotomanic adalah keyakinan bahwa biasanya seseorang yang terkenal dan
status yang lebih tinggi, jatuh cinta dengan dia atau dia. Kadang-kadang berubah
kekerasan, bukan karena kebencian orang, tetapi karena orang tidak dapat memenuhi
delusi romantis.

f) Waham Somatik terjadi ketika orang percaya sesuatu abnormal dan berbahaya yang
terjadi pada tubuh mereka.
g) Ide referensi adalah pernyataan atau tindakan oleh seseorang lain yang sama sekali
tidak mengacu pada orang, tetapi yang ditafsirkan sebagai berkaitan dengan dia atau
dia.

h) pemikiran penyiaran terjadi ketika orang percaya bahwa pikiran mereka dapat didengar
oleh orang lain.

i) Penarikan Pikiran adalah keyakinan bahwa orang lain mampu menghilangkan pikiran
dari pikiran seseorang.

j) Pemikiran penyisipan adalah keyakinan bahwa orang lain mampu menempatkan pikiran
ke dalam pikiran seseorang cukup stabil dari waktu ke waktu. Dibandingkan dengan
subtipe lain, penderita skizofrenia paranoid sering lebih mungkin untuk dapat hidup
mandiri dan dan dapat mempertahankan bekerjan.

2. Konsep Keluarga

Sullivan (2003) mengemukakan teori psikodinamika skizofrenia paranoid adalah


gangguan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, lingkungan terutama
keluarga, keluarga memegang peran penting dalam proses terjadinya skizofrenia paranoid.
Pernyataan ini juga berlaku sebaliknya, lingkungan dan keluarga memegang peran penting
dalam penyembuhan skizofrenia paranoid. Sebab skizofrenia paranoid merupakan hasil
dari kumpulan pengalaman-pengalaman traumatis dalam hubungannya dengan lingkungan
selama masa perkembangan individu (Kaplan & Sadock, 2005)

a. Definisi Keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil didalam masyarakat. Kehidupan berkeluarga


saling mempengaruhi antara anggota keluarga yang satu dengan anggota keluarga yang
lain. Menurut Burgess dan koleganya (1963, dalam Friedman, 1998) keluarga terdiri
dari orang- orang yang disatukan dalam ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi
yang hidup hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup
terpisah mereka menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka, serta saling
berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran-peran sosial keluarga
seperti suami-istri, ayah dan ibu,anak laki-laki dan perempuan, saudara dan saudari
yang menggunakan kultur yang diambil dari masyarakat dengan berapa ciri unik
tersendiri.
Keluarga juga diartikan dua orang atau lebih dimana mereka hidup bersama dan
saling berbagi ekonomi yang mempuyai hubungan dengan kelahiran, perkawinan atau
adopsi dan mempunyai komitmen untuk setiap anggotanya dalam waktu yang tak
terbatas dan tugas utamanya adalah memelihara pertumbuhan psikososial anggota-
anggotanya dan kesejahteraan selama hidupnya secara umum (Murray& Huelskoetter,
1995, Friedman, 1998). Merujuk dari pengertian dari beberapa teori keluarga adalah
dua orang atau lebih yang hidup bersama yang diikat oleh perkawinan, ikatan darah,
dan adopsi yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan saudara yang tinggal dalam satu rumah
yang saling berbagi dalam hal ekonomi dan mempunyai suatu komitmen serta
menjalankan perannya masing-masing, tidak hanya memperhatikan pertumbuhan fisik
tetapi juga memelihara pertumbuhan psikososial anggota keluarganya.

b. Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga di definisikan sebagai hasil atau konsekuensi dari struktur


keluarga. fungsi-fungsi dasar keluarga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota
individu keluarga dan masyarakat yang lebih luas (Friedman, 1998). Fungsi keluarga
sangat penting dalam menjalan kehidupan berkeluarga. Jika ada salah satu fungsi yang
tidak berjalan dengan baik akan mempengaruhi fungsi-fungsi lainnya.

Lima fungsi keluarga yang paling berhubungan erat saat mengkaji dan mengintervensi
keluarga menurut Friedman (1998) adalah:

1) Fungsi Afektif

Menurut Duvall(1977, dalam Friedman, 1998) kebahagian di ukur dengan


kekuatan dan cinta kasih keluarga. Keluarga harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan
afeksi atau kasih sayang dari anggotanya karena respon afektif dari seorang anggota
keluarga memberikan penghargaan terhadap kehidupannya. Peran sebagai orang tua,
fungsi ini berkaitan dengan persepsi keluarga dan perhatian terhadap kebutuhan-
kebutuhan sosio-emosional para anggota keluarga, meliputi pengurangan tekanan dan
penjagaan terhadap moral.

Pada keluarga yang anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa peran ini
sangat penting dalam memberikan perawatan, perhatian dan kasih sayang yang
diberikan keluarga akan sangat membantu dalam proses penyembuhan secara
psikologis yang juga akan berpengaruh kepada fisik. Jika ada anggota keluarga yang
sakit diharapkan anggota keluarga yang lain memberikan perhatian dan kasih sayang
kepada yang sakit, bila anggota keluarga yang sehat tidak dapat menjalankan fungsi ini
tentu akan berpengaruh terhadap masalah psikososial keluarga seperti ansietas dan
beban keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.

2) Fungsi Sosialisasi

Sosialisasi anggota keluarga merupakan syarat fungsional silang budaya bagi


keberlangsung masyarakat (Lislie & Korman, 1989, dalam Friedman, 1998). Fungsi ini
menyatakan begitu banyak pengalaman belajar yang ada dalam keluarga dengan tujuan
untuk mengajarkan anak-anak dapat berfungsi dan menerima peran-peran sosial dewasa
seperti suami-ayah dan istri-ibu. Dengan kata lain fungsi sosialisasi ini membuat
anggota keluarga menjadi anggota masyarakat yang produkitf, dan sebagai
penganugerahan status anggota keluarga.

Keluarga dengan anggotanya yang mengalami penyakit gangguan jiwa tentu akan
mengalami masalah dalam peran ini. Penyakit gangguan jiwa dapat menimbulkan
kecacatan bagi penderitanya misalnya ketidakmampuan bicara, kelemahan dan
kelumpuhan, hal ini tentu membuat anggota yang sakit gangguan jiwa ini tidak dapat
bersosialisasi karena keterbatasan tersebut. Lamanya waktu perawatan serta dampak
dari penyakit gangguan jiwa ini tentu akan membuat keluarga tidak banyak waktu
untuk bersosialisasi dengan orang-orang disekitarnya akibat waktu yang digunakan
tersita oleh perawatan yang diberikan kepada anggota yang sakit, sehingga fungsi
sosialisasi menjadi menurun.

3) Fungsi Reproduktif

Fungsi reproduksi ini adalah untuk menjamin kontinuitas keluarga antar generasi
dan masyarakat yaitu menyediakan tenaga kerja bagi masyarakat (Lislie & Korman,
1989, dalam Friedman, 1998). Penyakit gangguan jiwa dapat menyebabkan
kelumpuhan termasuk kemampuan untuk berproduksi. Kelumpuhan pada alat
reproduksi yang terjadi pada seorang suami yang diharapkan dapat memberikan
keturunan tentu akan berpengaruh terhadap kemampuan dalam meneruskan
keturunan. Sehingga bila hal ini terjadi tentu fungsi ini akan terganggu.
4) Fungsi Ekonomi

Fungsi ekonomi meliputi tersedianya sumber-sumber dari keluarga secara cukup-


finansial, ruang gerak dan materi dan pengalokasian sumber-sumber tersebut yang
sesuai melalui proses pengambilan keputusan (Friedman, 1998). Penyakit gangguan
jiwa tentu akan menguras ekonomi keluarga dalam memberikan perawatan kepada
anggota keluarganya yang sakit. Jika seorang suami atau ayah yang berfungsi sebagai
tulang punggung keluarga dan pencari nafkah yang menderita gangguan jiwa maka
pendapatan keluarga akan berkurang sehingga peran ini akan digantikan oleh anggota
keluarga yang lain, sehingga ini akan menimbulkan beban bagi keluarga. Keluarga
dapat memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia dalam anggota keuarganya agar
fungsi ekonomi ini dapat berjalan dengan baik.

5) Fungsi Perawatan Kesehatan

Fungsi-fungsi fisik keluarga di penuhi oleh orang tua dengan menyediakan


pangan, papan, sandang dan perlindungan terhadap bahaya. Perawatan kesehatan dan
praktik-praktik sehat (yang mempengaruhi status kesehatan anggota keluarga secara
individual) merupakan bagaian yang paling relevan dari fungsi keluarga bagi perawatan
keluarga (Friedman, 1998).

Anggota keluarga yang sakit gangguan jiwa tentu membutuhkan anggota


keluarga yang lain untuk merawatnya. Anggota keluarga membutukan informasi dan
pengetahuan tentang penyakit gangguan jiwa dalam merawat anggotanya, karena tanpa
pengetahuan yang cukup dalam merawat anggota yang menderita gangguan jiwa tentu
akan menyulitkan dalam memberikan perawatan.

Keluarga dapat memberikan perawatan kesehatan kepada anggotanya yang sakit


dengan membawa ke tempat-tempat fasilitas kesehatan untuk perawatan maupun
rehabilitasi. Perawatan kesehatan ini dapat dilakukan oleh semua anggota keluarga
secara secara bergiliran agar selain fungsi ini dapat berjalan baik tentu saja hal ini akan
mengurangi beban bagi keluarga.

Selain dari fungsi perawatan kesehatan, ada faktor lain yang mempengaruhi
kesehatan keluarga. Menurut Notoatmodjo (2003) faktor umur, jenis kelamin, kelas
sosial, pekerjaan,jenis pekerjaan, penghasilan, etnis atau budaya, status perkawinan,
besar keluarga, struktur keluar dan paritas keluarga dapat mempengaruhi kesehatan
dalam keluarga, baik kesehatan fisik maupun kesehatan mental.

Keterlibatan keluarga dalam setiap perawatan kesehatan anggota keluarganya


yang gangguan jiwa sangat penting. Friedman (1992, dalam Nies & Mc.Ewen, 2001)
mengemukakan enam alasan pemberdayaan keluarga, yaitu: (1) bila salah satu unit
keluarga mengalami disfungsi maka berdampak pada anggota dan seluruh keluarga; (2)
potensi keluarga tergantung dari peran keluarga dalam setiap aspek perawatan keluarga
secara preventif dan rehabilitasi; (3) potensi dapat ditingkatkan melalui perawatan dan
mengurangi risiko pada lingkungan dan gaya hidup dengan cara promosi kesehatan,
self care, pendidikan kesehatan, dan konseling keluarga; (4) diskusi tentang penyakit
atau faktor risiko untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah; (5) fungsi
individu yang optimal hanya dapat tercapai bila mendapatkan bantuan dari sebagian
besar keluarga; dan (6) keluarga merupakan sistem pendukung utama.

Menurut Mohr (2006) ada lima peran dalam keluarga adalah memberikan respon
terhadap kebutuhan anggota keluarga, membantu mengatasi masalah dan stress dalam
keluarga secara aktif, memenuhi tugas dengan distribusi yang merata dalam keluarga,
menganjurkan interaksi terhadap sesama anggota keluarga dan komunitas,
meningkatkan kesehatan personal. Keluarga yang anggotanya menderita gangguan jiwa
tentu akan mengalami ansietas dan beban akibat dari penyakit yang diderita oleh
anggotanya. Keluarga dapat bekerja sama antara anggotanya dalam menjalankan
perannya masing-masing, bila peran dalam keluarga apat berjalan dengan baik tentu
fungsi keluarga dapat juga berjalan dengan baik karena sisem dalam keluarga akan
saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya dan saling ketergantungan.

c. Respon keluarga terhadap anggota yang skizofrenia

Ketika gangguan jiwa dipandangan sebagai suatu beban sendiri bagi keluarga,
maka hal itu dapat dibedakan menjadi bersifat obyektif dan subyektif. Dikatakan
obyektif, maksudnya berupa tingkah laku pasien, peran pasien, bantuan untuk
memenuhi kebutuhan pasien, masalah keuangan dan lain-lain. Sedangkan beban
keluarga dikatakan bersifat subyektif, maksudnya berupa perasaan pasien karena
menjadi beban bagi keluarga.

Kategori respon keluarga terhadap anggota keluarga dengan gangguan jiwa menurut
Susana (2007):
1) Berduka (grief)

Berduka adalah respon wajar yang paling umum terjadi sehubungan dengan adanya
proses kehilangan seseorang yang awalnya dikenal sebelum sakit, untuk kemudian
hilangnya harapan pada pasien, hanya masalahnya, seberapa dalam dan lamanya
respon berduka ini dialami oleh keluarga, seawal mungkin perawat mampu
mengidentifikasinya, sehingga keluarga maupun pasien sendiri dapat pulih dengan
segera.

2) Marah (anger)

Respon berikutnya ketika berduka dialami keluarga, maka akan berhadapan dengan
respon kedua yaitu marah. Respon tersebut merupakan hal yang wajar namun jangan
sampai perilaku tersebut membawa keluarga kedalam penderitaan yang justru
semakin parah lagi.

3) Merasa tidak berdaya dan takut

Keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa merupakan suatu
beban tersendiri. Keluarga berupaya untuk mengobati atau menyembuhkan pasien
skizofrenia. Pada kenyataanya patologis gangguan jiwa itu sendiri semakin lama
diderita justru semakin sulit kesembuhannya, inilah yang menyebabkan keluarga
merasa tidak berdaya dan takut. Perasaan keluarga demikian, di negara kita juga
didukung oleh rata-rata keadaan ekonomi yang pas-pasan bahkan kekurangan,
sehingga sangat wajar, apabila tidak sedikit mereka yang terganggu jiwanya menjadi
gelandangan atau keluyuran dimana-mana atau tersangkut oleh razia dinas sosial
(Susana,2007).

d. Penerimaan keluarga

Penerimaan keluarga terhadap skizofrenia ditandai dengan adanya perhatian dan


kasih sayang, memberikan waktu berperan serta dalam kegiatan sehari-hari, tidak
mengharapkan terlalu banyak pada penderita. Penerimaan keluarga terhadap skizofrenia
yang sebenarnya sesuai dengan pemahaman yang dimiliki keluarga akan menerima
kondisi penderita baik secara mental maupun fisik serta memberikan kasih-sayang,
perhatian yang banyak dan mampu untuk memahami perkembangan sejak dini.
Menerima seseorang dengan ikhlas, tepat serta apa adanya orang tersebut, adalah faktor
kritis dalam membantu mengembangkan perubahan konstruktif orang tersebut, dalam
memberi kemudahan pemecahan problemnya, dan mendorong usaha menuju kesehatan
jiwa yang lebih besar atau belajar produktif (Gordon, 1996).

e. Faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan pasien skizofrenia oleh keluarga

Rivai (1996) mengatakan bahwa rumah sakit jiwa seringkali mengalami kesulitan
memulangkan klien ke pihak keluarga, sebab setiap kali hanya dalam waktu beberapa
hari akan kambuh kembali, selain itu keluarga pasien sering menolak menerima
kembali dengan berbagai macam alasan serta kurangnya pengertian terhadap
penanganan dan perawatan pasien mantan gangguan jiwa. Pasien dengan perawatan
pasien dengan gangguan jiwa di rumah sakit jiwa memang memerlukan waktu yang
lama, terutama pasien dengan gangguan jiwa kronis (menahun), disebabkan kurangnya
keterlibatan keluarga untuk ikut serta cara perawatannya sehari-hari, sehingga keluarga
tidak siap dan tidak dapat beradaptasi dengan pasien lagi.

Proses perencanaan kepulangan klien gangguan jiwa dari Unit Psikiatri di awali
dengan pertemuan yang pada proses keperawatan disebut dengan proses pangkajian.
Proses pengkajian ini penting dilakukan untuk memperoleh data dari pasien dan
keluarga sehingga dapat ditemukan masalah yang dihadapi pasien dan keluarga
berhubungan dengan keadaan kesehatan pasien dan perawatannya di rumah. Biasanya
yang dikaji adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kesiapan mereka menerima
kepulangan pasien gangguan jiwa dan faktor-faktor tersebutlah yang paling banyak
menjadi alasan keluarga menolak kehadiran klien gangguan jiwa ditengah-tengah
keluarga mereka (Depkes RI, 1994).

f. Peran serta keluarga dalam perawatan klien skizofrenia

Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung


pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien skizofrenia. Umumnya, keluarga meminta
bantuan tenaga kesehatan jika mereka tidak sanggup lagi merawatnya. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab kambuhnya gangguan jiwa
adalah keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku klien di rumah. Keluarga
merupakan tempat individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya.
Keluarga merupakan “institusi” pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan
mengembangkan nilai, keyakinan, sikap, dan perilaku. Individu menguji coba
perilakunya di dalam keluarga, dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu
dalam mengadopsi perilaku tersebut. Semua ini merupakan persiapan individu untuk
berperan di masyarakat (Keliat, 1996).

Menurut Hawari (2003) salah satu kendala dalam upaya penyembuhan pasien
gangguan jiwa adalah pengetahuan masyarakat dan keluarga. Keluarga dan masyarakat
menganggap gangguan jiwa penyakit yang memalukan dan membawa aib bagi
keluarga. Penilaian masyarakat terhadap gangguan jiwa sebagai akibat dari
dilanggarnya larangan, guna –guna, santet, kutukan dan sejenisnya berdasarkan
kepercayaan supranatural. Dampak dari kepercayaan masyarakat dan keluarga, upaya
pengobatan pasien gangguan jiwa dibawa berobat ke dukun atau paranormal. Kondisi
ini diperberat dengan sikap keluarga yang cenderung memperlakukan pasien dengan
disembunyikan, diisolasi, dikucilkan bahkan sampai ada yang dipasung.

g. Faktor-faktor yang perlu dikaji dikeluarga :

1) Pengetahuan keluarga

Sebagai sebuah keluarga, seharusnya mengetahui tentang peran dan tanggung


jawab dalam proses keperawatan yang direncanakan untuk perawatan klien
dirumah. Faktor ini adalah salah satu faktor yang sering kali diabaikan oleh pihak
keluarga padahal peran keluarga dalam proses penyembuhan merupakan peran
yang paling penting (Depkes RI, 1994).

Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha


dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarganya. Keluarga
selain dapat meningkatkan dan mempertahankan kesehatan mental anggota
keluarga, juga dapat menjadi sumber problem bagi anggota keluarga yang
mengalami persoalan kejiwaan keluarganya (Notosoedirdjo & Latipun, 2005) .

Keluarga harus menambah pengetahuan dan melengkapi dirinya dengan


berbagai pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat memperlakukan mereka
dalam keluarga secara baik dan memadai, bersifat terapeutik dan membawa anggota
keluarga tersebut kepada kesembuhan yang seteru. Perlakuan-perlakuan keluarga
terhadap salah satu anggota keluarga yang mengidap perilaku kekerasan, apabila
tidak disertai pengetahuan dan sikap yang benar dapat mengakibatkan kekambuhan
kembali (Chandra, 2004).
Sebuah keluarga dengan penderita gangguan jiwa perlu menegetahui dan
menyadari keadaan diri penderita, mengambil keputusan untuk menetukan
bagaimana sikap yang sebaiknya diambil agar terhindar dari hal-hal yang tidak
diinginkan. Banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita boleh berhenti
minum obat (berobat) apabila gejala-gejala suda menghilang/berkurang, juga banyak
keluarga yang berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa hanya perlu medikasi
(obat-obatan) untuk dapat sembuh saat proses pemulihanny dirumah. Hal ini jelas
keliru, terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian obat dan
rehabilitasi medik, namun diperlukan peran keluarga guna resosialiosasi dan
pencegahan kekambuhan (Vijay, 2005).

1) Peran serta keluarga dalam perawatan klien skizofrenia

Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan


langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien skizofrenia. Umumnya,
keluarga meminta bantuan tenaga kesehatan jika mereka tidak sanggup lagi
merawatnya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab
kambuhnya gangguan jiwa adalah keluarga yang tidak tahu cara menangani
perilaku klien di rumah. Keluarga merupakan tempat individu memulai hubungan
interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan “institusi”
pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai,
keyakinan, sikap, dan perilaku. Individu menguji coba perilakunya di dalam
keluarga, dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi
perilaku tersebut. Semua ini merupakan persiapan individu untuk berperan di
masyarakat (Keliat, 1996).

2) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoadmojo (2003) pengetahuan dipengaruhi oleh faktor :

(a) Pendidikan

Pendidikan adalah proses belajar yang berarti terjadi proses pertumbuhan,


perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih
matang pada diri individu, keluarga atau masyarakat. Beberapa hasil penelitian
mengenai pengaruh pendidikan terhadap perkembangan pribadi, bahwa pada
umumnya pendidkan itu mempertinggi taraf intelegensi keluarga dalam
merawat pasien skizofrenia agar pasien skizofrenia mampu kembali ke
keluarga dan beradaptasi dengan lingkungan.

(b) Persepsi

Persepsi, mengenal dan memilih objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil. Persepsi keluarga tentang skizofrenia merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi kesembuhan pasien skizofrenia tersebut. Keluarga
menganggap skizofrenia merupakan penyakit yang memalukan dan membawa
aib bagi keluarga maka hal ini juga akan mempengaruhi kesembuhan
pasien skizofrenia.

(c) Motivasi

Motivasi merupakan dorongan, keinginan dan tenaga penggerak yang berasal


dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dengan mengesampingkan
hal-hal yang dianggap kurang bermanfaat. Dalam mencapai tujuan dan
munculnya motivasi dan memerlukan rangsangan dari dalam individu maupun
dari luar. Motivasi murni adalah motivasi yang betul-betul disadari akan
pentingnya suatu perilaku akan dirasakan suatu kebutuhan. Motivasi keluarga
dalam mencari informasi tentang skizofrenia mempengaruhi cara keluarga
melakukan perawatan pada pasien skizofrenia. Tingginya motivasi keluarga
untuk mendapatkan informasi menunjang tingginya pengetahuan dan
informasi yang diperoleh keluarga mengenai skizofrenia.

(d) Pengalaman

Pengalaman adalah sesuatu yang dirasakan (diketahui, dikerjakan) juga


merupakan kesadaran akan suatu hal yang tertangkap oleh indera manusia.
Faktor eksternal yang mempengaruhi pengetahuan antara lain meliputi :
lingkungan, sosial, ekonomi, kebudayaan dan informasi. Lingkungan sebagai
faktor yang berpengaruh bagi pengembangan sifat dan perilaku individu.
Sosial ekonomi, penghasilan sering dilihat untuk memiliki hubungan antar
tingkat penghasilan dengan pemanfaatan. Kecenderungan perawatan berulang
pada pasie skizofrenia merupakan pengalaman keluarga dalam merawat pasien
skizofrenia. Pengalaman tersebut merupakan pembelajaran kepada keluarga
tentang bagaimana cara yang tepat merawat pasien skizofrenia
h. Struktur keluarga

Struktur keluarga meliputi pola dan proses komunukasi yang memungkinkan


anggota keluarga untuk mengekspresikan marahnya, sedih, gembira, komunikasi
yang terbuka, komunikasi yang dapat menyelesaikan konflik keluarga, suasana
emosi yang hangat, saling percaya menghargai, memperhatikan dan menerima.
Pelaksanaan peran yang dilakukan keluarga, nilai-nilai yang dimilki dan dianut
keluarga yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, norma social yang dianut
oleh masyarakat turut mempengaruhi kesiapan keluarga (Depkes RI, 1994).

Menerima kenyataan adalah kunci pertama proses penyembuahan atau


pengendalian perilaku kekerasan. Keluarga harus bersikap menerima, tetap
berkomunikasi dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan kasar, berantakan atau
mengucilkan justru akan membuat penderita skizofrenia semakin depresi bahkan
cenderung bersikap kasar. Akan tetapi, terlal memanjakan juga tidak baik (Chandra,
2004).

Tetapi yang kita temukan pada kenyataannya justru keluarga menjadi


emosional, kritis, bahkan bermusuhan, jauh dari sikap hangat yang dibutuhkan
ketika berhadapan dengan penderita memicu kekambuhan (Sumarjo, 2004).
Penelitian tentang faktor psikologis sebagai sebab skizofrenia berfokus pada
hubungan orang tua dan anak, pola komunikasi dalam keluarga. Penelitian keluarga
penderita skizofrenia mengidentifikasikan dua tipe keluarga yang tampaknya dapat
menyebabkan gangguan tersebut. Pada keluarga pertama orang tua sangat menarik
batas dan tidak mau bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, masing-masing
tidak menghargai dan mencoba mendominasi yang lain serta berlomba memperoleh
kesetiaan anaknya. Kedua tidak terdapat perselisihan yang terbuka, orang tua yang
dominan menunjukkan psikopatologi yang serius sehingga orang tua yang satunya
secara pasif menerimanya sebagai hal normal. Kedua keluarga di atas
mengambarkan keluarga yang aneh, tidak dewasa, dan yang memanfaatkan anaknya
untuk memenuhi kebutuhan mereka dan dengan mudah menyebabkan anak-anak
merasa bingung, terasing dan tidak yakin akan perasaan yang sebenarnya. Dalam arti
tertentu anak- anak tumbuh dan belajar menerima distorsi-distorsi realita orang
tuanya sebagai hal yang normal (Otong, 1994).
i. Dukungan Keluarga

Keluarga sebagai sebuah kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah atau


memperbaiki masalah kesehatan yang dalam hal ini adalah gangguan jiwa yang ada
dalam kelompoknya sendiri, oleh karena itu keluarga merupakan sistem yang
terutama sebagai pendukung bagi klien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Maka
dukungan keluarga dan lingkungan menjadi faktor yang penting (Depkes RI, 1994).

Keluarga pasien diharapkan memberikan perhatian khusus kepada penderita.


Biasanya keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan menta
menyembungikannya sehingga tidak terlihat oleh tamu-tamu yang datang ke rumah
mereka. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena penderita akan merasa dikucilkan.
Yang harus dilakukan adalah menyapa penderita setiap hari dan memberikan
perhatian agar mereka tidak disingkirkan (Chandra, 2004).

Kesedian keluarga untuk tetap merawat dan tetap mengakuinya sebagai bagian
dari orang yang disayangi sangatlah diperlukan agar mereka tetap merasa dihargai
sebagai manusia layaknya. Dukungan keluarga dan teman merupakan salah satu obat
penyembuhan yang sangat berarti bagi penderita. Dengan dibentuknya kelompok
keluarga gangguan jiwa dimasyarakat akan memungkin pasien dan keluarga
gangguan jiwa di masyarakat akan memungkinkan klien dan keluarga mengadakan
diskusi dan tukar pengalaman dalam mengatasi gejala yang timbul pada pasien
gangguan jiwa. Sayangnya masyarakat sendiri justru mengasingkan keberadaan
penderita gangguan jiwa sehingga hal ini turut mempengaruhi sikap keluarga
terhadap pasin bahkan gangguan jiwa dianggap sebagai penyakit yang membawa aib
bagi keluarga sehingga diputuskan untuk dibuang oleh keluarganya sendiri, akhirnya
factor lingkungan dalam keluarga justru tidak mendukung kesembuhan pasien
(Sumarjo, 2004).

Penyakit jiwa sampai saat ini memang masih dianggap sebagai penyakit yang
memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya sendiri. Masyarakat kita
menyebut penyakit jiwa pada tingkat yang paling parah seperti “gila”, sehingga
penderita harus disembunyikan atau dikucilkan, bahkan lebih parah lagi
ditelantarkan oleh keluarganya. Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat secara etis
untuk melakukan diskriminasi dan perlakuan buruk terhadap penderita kelainan
jiwa. Karena pengucilan dan diskriminasi justru memperburuk kondisi penderita itu
sendiri. Tempat terbaik bagi penderita gangguan jiwa bukan di panti rehabilitasi atau
di rumah sakit jiwa, apalagi dijalanan. Tempat terbaik bagi mereka adalah berada di
tengah-tengah keluarganya, diantaranya orang-orang yang dicintainya. Yang mereka
butuhkan adalah perhatian, pengertian, dukungan, cinta dan kasih sayang. Perhatian
dan kasih sayang tulus dari keluarga dan orang-orang terdekatnya akan sangat
membantu proses penyembuhan kondisi jiwanya (Tarjum, 2004).

Penyakit gangguan jiwa ini sesungguhnya dapat teratasi dengan syarat


ditangani secara tepat dan cepat. Dukungan moril dari keluarga dan orang-orang
terdekat jelas sangat penting bagi penderita. Ironisnya penerimaan merupakan hal
tersulit yang dapat diperoleh seorang penderita. Masih banyak orang tua yang malu
mengakui anaknya adalah pengidap gangguan jiwa. Penyangkalan ini justru semakin
menjauhkan penderita dari kemungkinan untuk sembuh (Sumarjo, 2004).

Jenis-jenis dukungan keluarga:

1) Dukungan emosional : pasien skizofrenia membutuhkan empati dari orang lain.


Bila mana orang dapat menghargai, mempercayai dan mengerti dirinya lebih
baik, pasien skizofrenia akan menjadi lebih terbuka terhadap aspek-aspek baru
dalam pengalaman hidupnya.

2) Dukungan penghargaan : pasien skizofrenia membutuhkan penghargaan yang


positif. Penilaian atas usaha-usaha yang dilakukan dan peran sosial yang terdiri
atas umpan balik merupakan alat yang digunakan untuk memberikan
masukanmasukan agar seseorang mengurangi perasaan-perasaan negatif yang
dirasakan, dan mengembangakan harga diri pasien skizofrenia yang positif.

3) Dukungan informatif : pemberian informatif dimaksudkan agar informasi dapat


digunakan untuk mengatasi masalah pribadi maupun masalah lain. Informasi ini
mencangkup pemberian nasehat, pengarahan, saran-saran dan keterangan-
keterangan yang dibutuhkan oleh pasien skizofrenia.

4) Dukungan instrumental : dukungan yang berupa batuan langsung seperti ketika


orang lain memberikan bantuan tenaga atau pikiran atau membantu mengeluarkan
dari stres pada pasien skizofrenia (Kartono, 1989).
j. Karakteristik Sistem Keluarga

Keluarga (Caregive) di pandang sebagai suatu unit perawatan dan patner pada
intervensi maupun rehabilitas (Fountaine, 2003). Oleh karena itu perawat perlu
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik keluarga. Menurut
Stuart & Laria (2005).

Beberapa faktor sosiokultural yang dapat berfungsi sebagai factor resiko atau
pendukung dalam system keluarga yaitu :

a. Usia

Usia akan mempengaruhi cara individu membuat keputusan, semakin


bertambah usia seseorang biasanya semakin menambah keyakinan untuk
mencari pertolongan ke petugas kesehatan. Usia yang matang biasanya dicapai
pada usia 25-44 tahun. Setelah usia tersebut maka dapat terjadi penurunan
kepercayaan terhadap sesuatu. Hal ini diakibatkan pengalaman hidup dan
kematangan jiwa seseorang.

b. Etnis

Istilah etnis berhubungan dengan ras, kebangsaan, suku, Bahasa asal,


kebudayaan. Etnis turut berkontrubusi terhadap perkembangan dan
pemulihan gangguan jiwa. Faktor kebudayaan menjadi penghambat untuk
mencari pertolongan kesehatan. Bangsa Amerika dan kulit hitam lebih tinggi
memanfaatkan fasilitas kesehatan di banding bangsa asia

c. Jenis kelamin

Umumnya laki-laki dan perempuan memiliki prevalensi yang sama


terhadap gangguan jiwa, perbedaan hanya pada jenis gangguannya. Pada laki-
laki lebih kepada kekerasan, sedangkan perempuan pada gangguan efektif dan
kecemasan.

d. Pendidikan

Beberapa study menjelaskan pentingnya pendidikan sebagai sumber


koping dan pencegahan terhadap gangguan jiwa. Individu dengan pendidikan
tinggi lebih sering mengguanakan kesehatan jiwa di banding pendidikan
rendah
e. Pendapatan

Faktor resiko yang menentukan seseorang mencari pertolongan dan


dalam pengambilan keputusan menentukan fasilitas kesehatan.

f. System keyakinan

Keyakinan seseorang meliputi semua aspek kehidupan meliputi system


keyakinan, pandangan, agama, atau spiritualitas yang dapat memberikan efek
positif atau negative terhadap kesehatan jiwa. System keyakinan yang adaptif
dapat meningkatkan kesejahteraan dan kwalitas hidup, sedangkan system
keyakinan yang maladaptif dapat berperan terhadap perubahan status
kesehatan dan penolakan terhadap intervensi yang dianjurkan

c. Konsep Kecemasan

1. Pengertian

Kecemasan merupakan pengalaman individu yang bersifat subyektif


yang sering bermanifestasi sebagai prilaku yang disfungsionalkan yang
diartikan sebagai perasaan “kesulitan” dan kesusahan terhadap kejadian
yang tidak diketahui dengan pasti (Varcarolis, 2007). Kecemasan menurut
Kaplan (2005), sebagai “kesulitan” atau “kesusahan” dan merupakan
konsekuensi yang normal dari pertumbuhan, perubahan, pengalaman baru,
penemuan identitas dan makna hidup. Kecemasan adalah perasaan tidak
khas, disebabkan oleh dugaan akan bahaya atau frustasi yang akan
membahayakan rasa aman, keseimbangan atau kehidupan seseorang atau
kelompok sosialnya.boyd (2008) menjelaskan bahwa kecemasan
merupakan suatu perasaan tidak nyaman sebagai ungkapan atau dread yang
di tunjukan dengan gejala fisik, emosi, kognitif dan prilaku. Fortinash dan
Warret (2006) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan bagian integral
dalam kehidupan manusia. Hampir sebagian individu dalam kehidupannya
pernah mengungkapkan secara subyektif terhadap perasaan yang tidak
spesifik berupa kesulitan dan kesusahan akibat ancaman eksternal yang
berbahaya. Kecemasan merupakan sinyal peringatan terhadap situasi yang
mengancam, konflik dan bahaya.
Comer (1992, dalam Videbeck, 2008) menggambarkan kecemasan
sebagai perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi.
Ketika mengalami perasaan kecemasan, individu mungkin memiliki firasat
akan ditimpa petaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang
mengancam tersebut terjadi. Kecemasan merupakan alat peringatan
internalyang memberikan tanda bahaya bagi individu.

Kecemasan memiliki dua aspek yakni aspek sehat dan aspek


membahayakan, yang bergantung pada tingkat, lama kecemasan dialami
dan beberapa baik individu melakukan koping terhadap kecemasan.
Bersarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan
merupakan reaksi emosional terhadap penilaian individu yang subyektif
yang sangat akrap dengan kehidupan sehari-hari yang menggambarkan
keadaan kuatir, gelisah, tidak tentram, dan disertai ketidakseimbangan fisik,
kognitif, psikologis dan prilaku.

Kecemasan merupakan respon terhadap stress atau sesuatu kondisi


keletihan dan kelelahan pada tubuh yang disebabkan oleh peristiwa dalam
hidup (Seyle, 1956, dalam Videbeck, 2008). Kecemasan terjadi jika
individu mengalami kesulitan dalam beradaptasi terhadap situasi
kehidupan, masalah dan tujuan hidup. System saraf otonom berespon
terhadap kecemasan secara tidak sadar dalam tubuh. Saraf otonom
menyebabkan perubahan pada tanda-tanda vital sebagai persiapan
mekanisme pertahanan tubuh. Glanda adrenal mengeluarkan adrenalin
atau epinephrine yang menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen,
dilatasi pupil dan peningkatan tekanan arteri dan denyut jantung dan
peningkatan glikogenolisis. Jika kondisi berbahaya atau kecemasan sudah
selesai, maka saraf parasimpatis yang bekerja dan mengembalikan tubuh
dalam kondisi normal kembali (Videbeck, 2008).

2. Proses Terjadinya Cemas

a. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi adalah faktor yang mempengaruhi jenis dan jumlah


sumber yang dapat digunakan individu untuk mengatasi stress (Stuart &
Laria, 2005). Berbagai teori telah di kembangkan untuk menjelaskan proses
terjadinya kecemasan antara lain :

1) Biologi

Otak memiliki reseptor khusus terhadap benzodiaszepin. Reseptor


tersebut berfungsi membantu regulasi kecemasan. Regulasi tersebut
berhubungan dengan aktifitas neutrotransmiter gamma amino butyric
acid (GABA) yang mengontrol aktivitas neuron di bagian otak yang
bertanggung jawab menghasilkan kecemasan. Bila GABA
bersentuhan dengan sinaps dan berkaitan dengan reseptor GABA pada
membran post-sinaps akan membuka aliran atau pintu eksitasi sel dan
memperlambat aktifitas sel. Teori ini menjelaskan bahwa individu
yang sering mengalami kecemasan mempunyai masalah dengan
proses neurotransmitter

2) Psikologis

Stuart dan Laria (2005) menjelaskan bahwa aspek psikologis


memandang kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara
dua elemen kepribadian yaitu id mewakili dorongan insting dan
implus primitive, sedangkan superego mencerminkan hati nurani dan
dikendalikan oleh norma budaya. Ego berfungsi menengani tuntutan
dari dua elemen yang bertentangan tersebut dan fungsi kecemasan
adalah untuk mengingatkan ego bahwa ada ancaman berbahaya.

Sullivan (1953, dalam Stuart dan Laria, 2005) mempercayai


bahwa kecemasantidak dapat muncul sampai seseorang mempunyai
kesadaran terhadap lingkungannya. Kecemasan pertama kali
ditentukan oleh hubungan ibu dan anak pada awal kehidupannya, bayi
berespon seolah-olah ia dan ibunya adalah asatu unit. Seiring dengan
bertambahnya usia, anak melihat ketidaknyamanan yang timbul
akibat tindakannya sendiri. Anak meyakini bahwa ibunya setuju atau
tidak setuju dengan prilakunya itu.

Menurut Tarwo dan Wartonah (2003), maturitas individu, tipe


kepribadian dan pendidikan juga mempengaruhi tingkat kecemasan
seseorang. Individu yang memiliki kepribadian matang akan lebih
sukar mengalami gangguan akibat stress, sebab mempunyai daya
adaptasi yang besar terhadap stressor yang timbul, sebaliknya
individu yang berkepribadian tidak matang yaitu individu yang
sikapnya sangat ketergantungan dan peka terhadap rangsangan
sehingga sangat mudah mengalami gangguan akibat adanya stress.
Orang dengan kepribadian tipe A mudah mengalami gangguan stress
dari pada orang dengan kepribadian B.

Sedangkan status pendidikan yang rendah pada seseorang, akan


menyebabkan orang tersebut lebih muda mengalami stress dibanding
dengan mereka yang status pendidikannya tinggi. Factor pendidikan
seseorang sangat mempengaruhi kecemasan. Klien dengan
pendidikan tinggi akan lebih mampu mengatasi, menggunakan
koping efektif dan konstruktif dari pada seseorang dengan pendidikan
rendah. Pendidikan adalah salah satu usaha untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan luar
sekolah dan berlangsung sepanjang hidup.

Siswati, dkk (2005) memaparkan bahwa ketegangan dalam


kehidupan yang dapat menimbulkan kecemasan diantaranya adalah
peristiwa traumatic individu baik krisis perkembangan maupun
situasional seperti peristiwa bencana, konflik emosional individu
yang tidak terselesaikan dengan baik, konsep diri terganggu yang
akan menimbulakan ketidakmampuan diri terganggu yang akan
menimbulkan ketidakmampuan individu berfikir secara realistis,
frustasi atau rasa ketidakberdayaan untuk mengambil keputusan yang
dampak terhadap ego serta pola mekanisme koping keluarga atau pola
keluarga menangi stres yang akan mempengaruhi individu dalam
berespon terhadap konflik.

3) Sosial budaya

Suliswati, dkk (2005) menerangkan bahwa riwayat gangguan


kecemasan dalam keluarga (caregiver) akan mempengaruhi respon
individu dalam berespon terhadap konflik dan cara mengatasi
kecemasan. Tarwoto dan wartonah (2003) memaparkan jika sosial
budaya, potensi stres serta lingkungan merupakan faktor yang
mempengaruhi terjadinya kecemasan. Cara hidup orang di
masyarakat berdampak pada timbulnya stress. Individu yang
mempunyai falsafah hidup yang jelas maka pada umumnya lebih
sukar mengalami stress, sedangkan orang yang berada di tempat atau
lingkungan asing ternyata lebih muda mengalami stress.

3. Stresor Presipitasi

Stressor presipitasi adalah ketegangan dalam kehidupan yang dapat


mencetuskan timbulnya kecemasan (Suliswati, 2005). Stuart dan Laria
(2005) menggambarkan stressor pencetus sebagai stimulus yang di
persepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman atau tuntutan yang
memerlukan energi ekstra untuk koping. Stressor pencetus dapat berasal
dari sumber internal ataupun eksternal. Struat dan Lria (2005) menjelaskan
bahwa stressor pencetus ini dapat disebabkan karena adanya ancaman
terhadap integritas fisik yang meliputi disabilitas fisiologis atau penurunan
kemampuan untuk melakukan aktifitas hidup sehari-hari dan adanya
ancaman terhadap system diri yang dapat membahayakan identitas, harga
diri, dan fungsi sosial yang integritas pada individu. Stressor pencetus
kecemasan dapat di kelompokkan dalam tiga kategori yaitu :

a. Biologis

Menurut Stuart dan Laria (2005), kecemasan dapat mengancam


integritas seseorang baik berupa ancaman secara eksternal. Ancaman
eksternal. Ancaman ekternal yaitu masuknya kuman, virus, polusi
lingkungan, rumah tidak memadai, pakaian, makanan atau trauma injuri,
sedangkan ancaman internal yaitu kegagalan mekanisme fisiologi tubuh
seperti jantung, system kekebalan, pengaturan suhu dan kehamilan. Situasi
keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan penyakit terminal
membuat kondisi ketidakteraturan dalam memenuhi kehidupan sehari-hari
dapat menimbulkan kecemasan.
b. Psikologis

Ancaman terhadap integritas fisik dapat mengakibatkan


ketidakmampuan psikologis atau penurunan aktivitas sehari-hari
seseorang. Apabila pengancaman tersebut menyangkut identitas diri
dan harga diri seseorang maka dapat mengakibatkan ancaman
terhadap self system. Ancaman eksternal yang terkait dan kondisi
psikologis dan dapat mencetuskan terjadinya kecemasan
diantaranya adalah peristiwa kematian, perceraian, dilemma etik,
pindah kerja, perubahan dalam status kerja. Sedangkan yang
termasuk ancaman internal yaitu gangguan hubungan interpersonal di
rumah, di tempat kerja atau ketika menerima peran baru (istri, suami,
murud, dan sebagainya).

4. Tanda dan Gejala

Pemahaman tentang kecemasan perlu integrasi banyak faktor, termasuk


pengetahuan dari perspektif psikoanalitis, interpersonal, prilaku, genetic dan
biologis. Begitu juga manusia sebagai individu yang unik memiliki
kemampuan penialaian terhadap stressor yang menyebabkan terjadinya
kecemasan yang berbeda pula. Menurut Stuart (2005) penilaian terhadap
stressor adalah evaluasi bagi kesejahteraan individu, dimana di dalamnya
stressor memiliki arti, intensitas dan kepentingan. Peplau (1963, dalam Stuart
& Laria, 2005), Issacs (2005) serta Videback (2008) mengkatagorikan
kecemasan menjadi empat tindakan beserta tanda dan gejalanya yakni :

a. Kecemasan ringan, berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan


sehari-hari. Selama tahap ini, individu menjadi waspada dan meningkatkan
lapang persepsinya. Individu melihat, mendengar dan menyerap lebih dari
sebelumnya. Kecemasan ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan
pertumbuhan serta kreativitas.

b. Kecemasan sedang merupakan perasaan yang menganggu bahwa ada


sesuatu yang benar-benar berbeda dan individu menjadi gugup/agitasi.
Kecemasan sedang memungkinkan individu berfokus pada hal yang
penting dan mempersempit lapang persepsi. Individu melihat, mendengar
dan menyerap lebih sedikit. Individu mengalami tidak perhatian yang
selektif namun dapat melakukannya jika diarahkan.

c. Kecemasan berat dinilai dengan lapang pandang yang berkurang. Individu


cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berfikir
tentang hal lain. Semua prilaku diarahkan pada pengurangan kecemasan
dan memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain.

d. Panik, berhubungan dengan terpengarah, ketakutan dan terror serta tidak


mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panic mencakup
disororganisasi kepribadian dan dapat mengancam kehidupan.
Meningkatnya aktivitas motorik, menurunnya kemampuan unatuk
berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan
pikiran yang rasional adalah semua gejala panik.

5. Tingkat Cemas

Tabel dibawah ini adalah hasil modifikasi tingkat kecemasan berdasarkan


respon fisiologis, kognitif, prilaku dan emosional yang dimodifikasi dari
Austarika dan Sutejo (2009berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Peplau
(1963, dalam Stuart & Laria, 2005), Issacs (2005) serta Videback (2008)

Tabel 2.1

Tingkat Kecemasan

Tingkat Ringan Sedang Berat Panik


Kecemasan
Tekanan Tidak ada Meningkat Meningkat Meningkat
Darah perubahan kemudian
menurun
Nadi Tidak ada Nadi cepat Cepat Cepat
perubahan kemudian
lambat
Pernafasan Tidak Meningkat meningkat Cepat dan
perubahan dangkal
Ketegangan Rileks Wajah Rahang Wajah
otot tampak menegang menyeringai
tegang menggetarkan mulut
gigi ternganga
Pola Makan Masih ada Meningkat Kehilangan Mual dan
nafsu makan atau nafsu makan muntah
menurun
Pola Tidur Teratur Sulit untuk Sering terjaga Insomnia
mengawali
tidur
Pola Teratur Frekuensi Frekuensi Retensi urin
Eliminasi BAK dan BAK dan dan
BAB BAB konstipasi
meningkat meningkat
Kulit Tidak ada Mulai Keringat Keringat
keluhan berkeringat berlebihan berlebihan
akral dingin kulit terasa
dan pucat panas dingin
Kognitif Cepat Fokus pada Fokus pada Fokus
fokus berespon hal penting hal rinci yang perhatian
perhatian terhadap spesifik pecah
stimulasi
Proses Motivasi Perlu arahan Perlu banyak Tidak bisa
belajar belajar tinggi arahan berfikir
Proses Pikiran logis Perhatian Egosentris Halusinasi
berfikir menurun
Orientasi Baik Ingatan Pelupa Disorientasi
menurun waktu, orang
dan tempat
Perilaku Rileks Gerakan Agitasi Aktifitas
motorik mulai tidak motorik
agitasi kasar
meningkat
Komunikasi Koheren Koheren Bicara cepat Inkoheren
Produktifitas Kreatif Menurun Bicara cepat Tidak
produktif
Interaksi Memerlukan Memerlukan Interaksi Menarik diri
sosial orang lain orang lain social
berkurang
Emosional Ideal diri Tidak Merasa Putus asa
konsep diri tinggi percaya diri bersalah
Penguasaan Tergesa-gesa Tidak sabra Bingung Lepas
diri kendali

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa respon klien terhadap


kecemasan dimanifestasikan sebagai tanda dan gejala kecemasan berbeda untuk setiap
tingkatan. Hal ini menunjukan semakin berat gejala kecemasan yang dialami individu
maka semakin berat pula tingkat kecemasannya.

Seorang akan mengalami stres dan ansietas berkaitan dengan sumber koping
dalam diri internal individu maupun dari lingkungan sekitarnya. Sumber-sumber
tersebut meliputi asset ekonomi, kemampan diri (kemampuan pemecahan masalah),
dukungan sosial dan keyakinan diri (Stuart & Laria, 2005). Kemampuan diri yang
dimiliki individu akan menetukan prilaku individu tersebut. Bloom (1908, dalam
Tufik, 2007) mengatakan ada tiga ranah atau domain prilaku yang cognitive, affective,
dan psychomotor . kogmitif berkaitan dengan knowledge (pengetahuan) merupakan
pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra.
Psikomotor berhubungan dengan tindakan (practice) yaitu kecenderungan untuk
bertindak

Derajat kecemasan seseorang dapat dilakukan pengukuran dengan


menggunakan alat ukur (instrument). Menurut Stuart & Laria (2005) membagi
kecemasan berdasarkan respon klien yang terdiri dari 4 (empat) respon yaitu :
fsiologis, prilaku, kognitif, dan afektif sedangkan Vicebeck (2008) membagi derajat
kecemasan dibagi 3 (tiga) bagian yaitu berdasar respon fisik, kognitif dan emosional.

Instrument pengukuran kecemasan lainnya adalah Hamilton Rating Scale for


Anxiety atau HRS-A (Hawari, 008). Hamilton Rating Scale for Anxiety adalah skala
penilaian yang dikembangkan untuk mengukur tingkat keparahan kecemasan
berdasarkan simtomatologi. Alat ukur terdiri dari 14 kelompok gejala yaitu perasaan
cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan depresi
(murung), gejala somatik (otot), gejala somatic (sensorik), gejala pernafasan, gejala
pencernaan, gejala perkemihan dan kelamin, gejala autonom dan prilaku. Masing-
masing kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Nilai setiap
item pada skala 5 titik, mulai dari nol (tidak ada) sampai 4 (parah).

6. Tindakan untuk Mengatasi Kecemasan

Penanganan terhadap masalah kecemasan pada individu dapat dilakukan


dengan berbagai macam pendekatan antara lain dapat dilakukan dengan mekanisme
koping, tindakan keperawatan dan tindakan medis.

a. Mekanisme Koping

Individu yang mengalami kecemasan akan menggunakan berbagai


mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya. Ketidakmampuan
mengatasi kecemasan secara konstruktif merupakan penyebab utama
terjadinya prilaku patologis (Stuart & Laria, 2005). Kecemasan ringan
sering ditanggulangi tanpa pemikiran yang sadar. Kecemasan sedang dan
berat menimbulkan dua jenis mekanisme koping yang berorientasi pada
petugas dan mekanisme pertahanan ego.

Reaksi yang berorientasi pada petugas yaitu upaya yang disadari dan
berorientasi pada tindakan untuk memenuhi tuntutan situasi stress secara
realistic. Perilaku menyerang digunakan untuk menghilangkan atau
mengatasi hambatan pemenuhan kebutuhan. Prilaku menarik diri
digunakan untuk menjauhkan diri dari sumber ancaman, baik secara fisik
maupun psikologis. Prilaku kompromi digunakan untuk mengubah cara
yang biasa dilakukan individu, mengganti tujuan atau mengorbankan
aspek kebutuhan personal.

Mekanisme pertahanan ego membantu mengatasi kecemasan ringan dan


sedang. Tetapi karena mekanisme tersebut berlangsung secara relative
pada tingkat sadar dan mencakup penipuan diri dan distori realistis, maka
mekanisme ini merupakan respons maladaptive terhadap stress.

Menurut Doenges, dkk (1995) tindakan keperawatan yang dilakukan


untuk mengatasi koping indivudu tidak efektif pada diagnosa keperawatan
ansietas antara lain mengkaji kapasitas fungsi saat ini, mengembangkan
tingkat fungsi dan tingkat koping, menentukan mekanisme pertahanan
yang digunakan (misalnya : penolakan, represi, koversi, disosiasi,
pembentukan reaksi, tidak melakukan apa-apa, displacement proyeksi),
mengidentifikasi metode koping sebelumnya terhadap masalah
kehidupan, mendengarkan secara aktif terkait dengan masalah klien dan
identifikasi persepsi tentang apa yang sedang terjadi, membantu klien
mengidentifikasi efek maladaptife mekanisme koping yang sekarang,
member informasi tentang cara lain untuk menghadapi ansietas
(misalnya : pengenalan dan ekspresi perasaan yang sesuai serta
keterampilan dan ekspresi perasaan yang sesuai serta keterampilan
penyelesaian masalah).

b. Penanganan Medis

Menurut PPDGJ III (2001), kecemasan diklasifikasikan sebagai gangguan


kecemasan fobik seperti agoraphobia, fobia sosial dan fobia khas :
gangguan kecemasan lainnya seperti gangguan panik, gangguan
kecemasan menyeluruh (GAD), gangguan campuran kecemasan dengan
depresi serta gangguan obsesif kompulsif. Terapi obat untuk gangguan
kecemasan diklasifikasikan menjadi antikecemasan yang terdiri dari
ansiolitik, transquilizer minor, sedative, hipnotik dan antikonfulsan
(Stuart, 2005). Mekanisme kerja dari obat ini adalah mendepresi susunan
saraf pusat (SSP). Meskipun mekanisme kerja yang tepat tidak diketahui,
obat ini diduga menimbulkan efek yang diinginkan melalui interaksi
dengan serotonin, dapanin dan reseptor neurotransmitter lain (Halloway,
1996).

Obat antiansetas digunakan dalam penatalaksanaan gangguan


kecemasan, gangguan somatoform, gangguan disosiatif, gangguan kejang,
dan untuk pemulihan sementara gejala insomnia dan kecemasan.

Efek samping yang umum dari penggunaan obat anti kecemasan


yakni pada SSP (pelambat mental, mengantuk, vertigo, bingung, tremor,
letih, depresi, sakit kepala, kecemasan, insomnia, kejang, delirium, kaki
lemas, ataksia, bicara tidak jelas) :
kardiovaskuler (hipotensi ortostatik, takikardia, perubahan
elektrokardiogram / EKG) mata dan THT (pandangan kabur, midriasis,
tinnitus) : gastro intestinal (anoreksia, mual, mulut kering, muntah, diare,
kontivasi) : kulit (kemerahan, dermatis,gatal-gatal). Kontra indikasinya
yaitu penyakit hati klien lansia, penyakit ginjal, glaucoma, kehamilan atau
menyusui, psikologis penyakit pernafasan yang telah ada serta reaksi
hipersensitivitas (Copel, 2007).

You might also like