You are on page 1of 5

Kesultanan Melaka

Kesultanan Malaka adalah sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri di Malaka,
Malaysia. Kerajaan ini didirikan oleh Parameswara, kemudian mencapai puncak kejayaan
pada abad ke 15 dengan menguasai jalur pelayaran Selat Malaka, sebelum ditaklukan oleh
Portugal tahun 1511. Kejatuhan Malaka ini menjadi pintu masuknya kolonialisasi Eropa di
kawasan Nusantara.

Kerajaan ini tidak meninggalkan bukti arkeologis yang cukup untuk dapat digunakan sebagai
bahan kajian sejarah, namun keberadaan kerajaan ini dapat diketahui melalui Sulalatus
Salatin dan kronik Cina masa Dinasti Ming. Dari perbandingan dua sumber ini masih
menimbulkan kerumitan akan sejarah awal Malaka terutama hubungannya dengan
perkembangan agama Islam di Malaka serta rentang waktu dari pemerintahan masing-masing
raja Malaka. Pada awalnya Islam belum menjadi agama bagi masyarakat Malaka, namun
perkembangan berikutnya Islam telah menjadi bagian dari kerajaan ini yang ditunjukkan oleh
gelar sultan yang disandang oleh penguasa Malaka berikutnya.
Berdasarkan Sulalatus Salatin kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu di
Singapura, kemudian serangan Jawa dan Siam menyebabkan pusat pemerintahan berpindah
ke Malaka. Kronik Dinasti Ming mencatat Parameswara sebagai pendiri Malaka
mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing pada tahun 1405 dan meminta pengakuan atas
wilayah kedaulatannya.[1] Sebagai balasan upeti yang diberikan, Kaisar Cina menyetujui
untuk memberikan perlindungan pada Malaka,[2] kemudian tercatat ada sampai 29 kali utusan
Malaka mengunjungi Kaisar Cina.[3] Pengaruh yang besar dari relasi ini adalah Malaka dapat
terhindar dari kemungkinan adanya serangan Siam dari utara, terutama setelah Kaisar Cina
mengabarkan penguasa Ayutthaya akan hubungannya dengan Malaka.[4] Keberhasilan dalam
hubungan diplomasi dengan Tiongkok memberi manfaat akan kestabilan pemerintahan baru
di Malaka, kemudian Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, dan
juga menjadi salah satu pangkalan armada Ming.[5][6]

Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409, mengambarkan Islam telah mulai
dianut oleh masyarakat Malaka,[4] sementara berdasarkan catatan Ming, penguasa Malaka
mulai mengunakan gelar sultan muncul pada tahun 1455. Sedangkan dalam Sulalatus Salatin
gelar sultan sudah mulai diperkenalkan oleh penganti berikutnya Raja Iskandar Syah, tokoh
yang dianggap sama dengan Parameswara oleh beberapa sejarahwan.[5] Sementara dalam
Pararaton disebutkan terdapat nama tokoh yang mirip yaitu Bhra Hyang Parameswara
sebagai suami dari Ratu Majapahit, Ratu Suhita. Namun kontroversi identifikasi tokoh ini
masih diperdebatkan sampai sekarang.

Pada tahun 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah,[2] memerintah
selama 10 tahun, kemudian menganut agama Islam[7] dan digantikan oleh Sri Maharaja atau
Sultan Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya, Raja
Ibrahim, mengambil gelar Sri Parameswara Dewa Syah. Namun masa pemerintahannya
hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara seayahnya, Raja
Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.

Hubungan dengan kekuatan regional

Sampai tahun 1435, Malaka memiliki hubungan yang dekat dengan Dinasti Ming, armada
Ming berperan mengamankan jalur pelayaran Selat Malaka yang sebelumnya sering diganggu
oleh adanya kawanan perompak dan bajak laut.[4] Di bawah perlindungan Ming, Malaka
berkembang menjadi pelabuhan penting di pesisir barat Semenanjung Malaya yang tidak
dapat disentuh oleh Majapahit dan Ayutthaya. Namun seiring berubahnya kebijakan luar
negeri Dinasti Ming, Kawasan ujung tanah ini terus diklaim oleh Siam sebagai bagian dari
kedaulatannya sampai Malaka jatuh ke tangan Portugal, dan setelah takluknya Malaka,
kawasan Perlis, Kelantan, Terengganu dan Kedah kemudian berada dalam kekuasaan Siam.[6]

Sulalatus Salatin juga mengambarkan kedekatan hubungan Malaka dengan Pasai, hubungan
kekerabatan ini dipererat dengan adanya pernikahan putri Sultan Pasai dengan Raja Malaka
dan kemudian Sultan Malaka pada masa berikutnya juga turut memadamkan pemberontakan
yang terjadi di Pasai. Ma Huan juru tulis Cheng Ho menyebutkan adanya kemiripan adat
istiadat Malaka dengan Pasai serta ke dua kawasan tersebut telah menjadi tempat
permukiman komunitas muslim di Selat Malaka.[4] Sementara kemungkinan ada ancaman
dari Jawa dapat dihindari, terutama setelah Sultan Mansur Syah membina hubungan
diplomatik dengan Batara Majapahit yang kemudian meminang dan menikahi putri Raja
Jawa tersebut.[8] Selain itu sekitar tahun 1475 di Jawa juga muncul kekuatan muslim di
Demak yang nanti turut melemahkan hegemoni Majapahit atas kawasan yang mereka klaim
sebelumnya sebagai daerah bawahan. Adanya keterkaitan Malaka dengan Demak terlihat
setelah jatuhnya Malaka kepada Portugal, tercatat ada beberapa kali pasukan Demak
mencoba merebut kembali Malaka dari tangan Portugal.[7][9]

Masa kejayaan

Pada masa pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah, Malaka melakukan ekspansi di


Semenanjung Malaya dan pesisir timur pantai Sumatera, setelah sebelumnya berhasil
mengusir serangan Siam.Di mulai dengan menyerang Aru yang disebut sebagai kerajaan
yang tidak menjadi muslim dengan baik. Penaklukan Malaka atas kawasan sekitarnya
ditopang oleh kekuatan armada laut yang kuat pada masa tersebut serta kemampuan
mengendalikan Orang Laut yang tersebar antara kawasan pesisir timur Pulau Sumatera
sampai Laut Cina Selatan. Orang laut ini berperan mengarahkan setiap kapal yang melalui
Selat Malaka untuk singgah di Malaka serta menjamin keselamatan kapal-kapal itu sepanjang
jalur pelayarannya setelah membayar cukai di Malaka.
Di bawah pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur
Syah, Melaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal. Di bawah
sultan yang sama Kampar, dan Siak juga takluk.Sementara kawasan Inderagiri dan Jambi
merupakan hadiah dari Batara Majapahit untuk Raja Malaka.Sultan Mansur Syah kemudian
digantikan oleh putranya Sultan Alauddin Syah namun memerintah tidak begitu lama karena
diduga ia diracun sampai meninggal dan kemudian digantikan oleh putranya Sultan Mahmud
Syah.

Hingga akhir abad ke-15 Malaka telah menjadi kota pelabuhan kosmopolitan dan pusat
perdagangan dari beberapa hasil bumi seperti emas, timah, lada dan kapur. Malaka muncul
sebagai kekuatan utama dalam penguasaan jalur Selat Malaka, termasuk mengendalikan
kedua pesisir yang mengapit selat itu.

Penurunan

Sultan Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut
diserang pasukan Portugal di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque. Serangan dimulai
pada 10 Agustus 1511 dan pada24 agustus 1511 Malaka jatuh kepada Portugal. Sultan
Mahmud Syah kemudian melarikan diri ke Bintadan menjadikan kawasan tersebut sebagai
pusat pemerintahan baru. Perlawanan terhadap penaklukan Portugal berlanjut, pada bulan
Januari 1513 Patih Yunus dengan pasukan dari Demak berkekuatan 100 kapal 5000 tentara
mencoba menyerang Malaka, namun serangan ini berhasil dikalahkan oleh Portugal.
Selanjutnya untuk memperkuat posisinya di Malaka, Portugal menyisir dan menundukkan
kawasan antara Selat Malaka. Pada bulan Juli 1514, de Albuquerque berhasil menundukkan
Kampar, dan Raja Kampar menyatakan kesediaan dirinya sebagai vazal dari Portugal di
Malaka.

Sejak tahun 1518 sampai 1520, Sultan Mahmud Syah kembali bangkit dan terus melakukan
perlawanan dengan menyerang kedudukan Portugal di Malaka. Namun usaha Sultan Malaka
merebut kembali Malaka dari Portugal gagal. Di sisi lain Portugal juga terus memperkukuh
penguasaannya atas jalur pelayaran di Selat Malaka. Pada pertengahan tahun 1521, Portugal
menyerang Pasai, sekaligus meruntuhkan kerajaan yang juga merupakan sekutudari Sultan
Malaka.

Selanjutnya pada bulan Oktober 1521, pasukan Portugal di bawah pimpinan de Albuquerque
mencoba menyerang Bintan untuk meredam perlawanan Sultan Malaka, namun serangan ini
dapat dipatahkan oleh Sultan Mahmud Syah. Namun dalam serangan berikutnya pada 23
Oktober 1526Portugal berhasil membumihanguskan Bintan, dan Sultan Malaka kemudian
melarikan diri ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian. Berdasarkan Sulalatus
Salatin Sultan Mahmud Syah kemudian digantikan oleh putranya Sultan Alauddin Syah yang
kemudian tinggal di Pahang beberapa saat sebelum menetap di Johor. Kemudian pada masa
berikutnya para pewaris Sultan Malaka setelah Sultan Mahmud Syah lebih dikenal disebut
dengan Sultan Johor.

Pemerintahan

Walaupun Kesultanan Malaka sangat kuat dipengaruhi oleh agama Islam namun dalam
menjalankan pemerintahan, kerajaan ini tidak menerapkan pemerintahan Islam sepenuhnya.
Undang-undang yang berlaku di Malaka seperti Hukum Kanun Malaka hanya 40,9%
mengikut aturan Islam. Begitu juga Undang-undang Laut Malaka hanya 1 pasal dari 25 pasal
yang mengikut aturan Islam.

Kesultanan Malaka dalam urusan kenegaraan telah memiliki susunan tata pemerintahan yang
rapi. Sultan Malaka memiliki kekuasaan yang absolut, seluruh peraturan dan undang-undang
merujuk kepada Raja Malaka. Sementara dalam administrasi pemerintahan Sultan Malaka
dibantu oleh beberapa pembesar, antaranya Bendahara, Tumenggung, Penghulu Bendahari
dan Syahbandar. Kemudian terdapat lagi beberapa menteri yang bertanggungjawab atas
beberapa urusan negara.Selain itu terdapat jabatan Laksamana yang pada awalnya diberikan
kepada kelompok masyarakat Orang Laut.

You might also like