You are on page 1of 29

Nama Peserta: dr.

Khalifa Rahmani

Nama Wahana: RSU Aisyiah Ponorogo

Topik: STEMI Inferior

Tanggal (kasus): 24 Maret 2017

Nama Pasien: Tn. S No. RM 412xxx

Tanggal Presentasi: Nama Pendamping: dr. Ani Ruliana

Tempat Presentasi: Ruang Komite Medis RSU Aisyiyah Ponorogo

Obyektif Presentasi:

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi: Laki-laki, usia 69 tahun mengeluhkan jari manis tangan kanan tergigit ular + 1,5 jam SMRS

Tujuan: mendiagnosa dan memberikan terapi yang tepat

Bahan bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit

Cara membahas: Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos

Data pasien: Nama: Tn. S. Nomor Registrasi: 412xxx

Nama klinik: RSU ‘Aisyiyah dr. Sutomo Telp: Terdaftar sejak: 2017

Data utama untuk bahan diskusi:

1
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Keluhan utama:
Laki-laki, 59 tahun mengeluhkan nyeri pada dada kiri sejak + 1 jam SMRS.
Riwayat Penyakit:
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada dada kiri sejak + 1 jam SMRS. Nyeri yang dirasakan mendadak saat pasien bangun
tidur, dada kiri terasa panas, ampeg, seperti tertindih dan tembus ke punggung. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas, keluar
keringat dingin dan lemas. Pasien tidak mengeluhkan demam, batuk, pilek, mual, muntah. Setelah muncul keluhan tersebu t,
pasien langsung segera dibawa ke RS.
2. Riwayat Pengobatan:
Pasien belum memeriksakan keluhannya tersebut ke tempat lain dan belum mengkonsumsi obat apapun sebelumnya

3. Riwayat kesehatan/Penyakit:
Pasien menyangkal menderita penyakit dengan keluhan serupa. Pasien juga menyangkal memiliki riwayat penyakit h ipertensi,
diabetes melitus, asma, riwayat penyakit jantung koroner, riwayat stroke, riwayat alergi.

4. Riwayat keluarga:
Riwayat keluarga dengan keluhan serupa disangkal. Riwayat keluarga dengan hipertensi, diabetes melitus, asma, riwayat penyakit
jantung koroner, riwayat stroke disangkal.

5. Riwayat pekerjaan:
Pasien merupakan seorang petani.

6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik:


Pasien sudah menikah, tinggal di rumah milik sendiri bersama dengan istrinya. Pasien memiliki kebiasaan merokok.

2
Daftar Pustaka:

1. Alwi, I., 2009. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST, dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, K.M., Setiati, S.editor. Buku
Ajar Penyakit Dalam Jilid II, edisi V, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-UI, Jakarta.
2. Antman, E.M., Braunwald, E., 2005. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E.,
Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw-Hill 1449-1450

3. Armstrong, E.J., Morrow, D.A., Sabatine, M.S. 2006. Inflammatory Biomarkers in Acute Coronary Syndrome.Circulation.e152-e155

4. Clifton, P.M., Mackinnon, A.M., Barter, P.J. 1985.Effect of Serum Amyloid A Protein (SAA) on Composition, Size, and Density of High Density
Lipoprotein in Subject with Myocardial Infarction. Journal of Lipid Research. 26:1389-1398

5. Kumar, A., Cannon, C.P. 2009. Acute Coronary Syndrome:Diagnosis and Management,Part I. Mayo Clin Proc;84(10)917-938

6. Rilantono, L.L., 2012., Penyakit Kardiovaskuler (PKV). Fakultas Kedokteran UI, Jakarta

7. Pedoman Tatalaksana SIndrom Koroner Akut. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2015

Hasil Pembelajaran:

1. Definisi STEMI

2. Etiologi STEMI

3. Patofisiologi STEMI

3
4. Manifestasi Klinis STEMI

5. Klasifikasi STEMI

6. Diagnosis STEMI

7. Penatalaksanaan STEMI

8. Komplikasi STEMI

9. Prognosis STEMI

SUBJEKTIF
Keluhan utama:
Laki-laki, 59 tahun mengeluhkan nyeri pada dada kiri sejak + 1 jam SMRS.
Riwayat Penyakit:
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada dada kiri sejak + 1 jam SMRS. Nyeri yang dirasakan mendadak saat pasien bangun
tidur, dada kiri terasa panas, ampeg, seperti tertindih dan tembus ke punggung. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas, keluar
keringat dingin dan lemas. Pasien tidak mengeluhkan demam, batuk, pilek, mual, muntah. Setelah muncul keluhan tersebut,
pasien langsung segera dibawa ke RS.
Riwayat Pengobatan
Pasien belum memeriksakan keluhannya tersebut ke tempat lain dan belum mengkonsumsi obat apapun sebelumnya

4
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal menderita penyakit dengan keluhan serupa. Pasien juga menyangkal memiliki riwayat penyakit hipertensi,
diabetes melitus, asma, riwayat penyakit jantung koroner, riwayat stroke, riwayat alergi.
Riwayat Penyakit Keuarga
Riwayat keluarga dengan keluhan serupa disangkal. Riwayat keluarga dengan hipertensi, diabetes melitus, asma, riwayat penyakit
jantung koroner, riwayat stroke disangkal.
Riwayat Personal Sosial
Pasien merupakan seorang petani. Pasien sudah menikah, tinggal di rumah milik sendiri bersama istrinya. Pasien memiliki kebiasaan
merokok.

OBJEKTIF
Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
 Keadaan Umum : Tampak kesakitan, Compos Mentis
 Tanda vital :
- Tekanan darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 64 x/menit, irreguler
- Suhu : 36.8 ° C
- Pernafasa : 24x/menit
- SpO2 : 95% dengan O2 canul 99%
 Kepala : normosefali, hematom (-)
 Mata : konjungtiva pucat (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil bulat isokor

5
 Telinga : normotia, serumen (-/-), sekret (-/-)
 Hidung : normosepta, sekret (-), darah (–)
 Tenggorokan : dbn
 Leher : KGB tidak teraba membesar,
 Cor : S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
 Pulmo :
- Bentuk paru simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan bentuk.
- Tidak ada ketinggalan gerak
- Perkusi : sonor
- Suara dasar vesikuler : +/+, ronkhi : -/- wheezing : -/-
 Abdomen :
- Bentuk Flat, jejas (-) supel (+)
- Bising usus (+) normal perkusi timpani
- Nyeri tekan (-)
 Ekstremitas :
- Edema : (-) ekstremitas atas maupun bawah
- Akral dingin : (+) ekstremitas atas maupun bawah
- CRT <2”

6
Hasil EKG

Hasil EKG:
 Irama : irregular
 Heart rate : 80x/menit
 Axis : Normal ( lead I (+) dan lead AVF
(+)
 ST elevasi pada lead II,III, AVF, dan V6
 Reciprocal ST depresi pada lead AVR,
AVL, V1, V2, V4

Hasil Laboratorium
Nama Pemeriksaan NILAI NORMAL

Leukosit 11.100 4.500-11.000/µL

Hitung Jenis 3/2/0/58/30/7 1-4/0-1/2-5/36-66/22-40/2-8

Hemoglobin 12,2 13,5-18,0 g/dl

Eritrosit 4,19 4,6-6,2 juta/µL

PCV/Hematokrit 37 % 40-54%

7
Trombosit 438.000 150.000-450.000/µL

Gula Darah Sewaktu 224 80-144 mg/dl

Cholesterol Total 238 < 200 mg/dl

Trigliserida 125 < 150 mg/dl

SGOT 23 < 37 IU/L

SGPT 23 < 40 IU/L

Serum Creatinin 1,19 0,8-1,5 mg/dl

BUN 25,07 7-21 g/dl

Uric Acid 9,6 3,1-7,9 mg/dl

Natrium 135 135-148 mmol/L

Kalium 3,7 3,5-5,3 mmol/L

Chlorida 101 98-107 mmol/L

Calcium Ion 1,17 1,16-1,32 mmol/L

ASSESSMENT
ST- Elevation Miocard Infarc STEMI Inferior

8
PLANNING
• Terapi di IGD : Loading ASA 300 mg, CPG 300 mg, Atorvastatin 40 mg, periksa lab : DL, Profil Lipid, LFT, RFT, GDS, Serum Eektrolit
• Konsul Sp. JP, advice terapi:
- Transfer ICU segera
- EKG ulang ( termasuk lead II panjang) di ICU
- Inj. Lovenox 0,4 cc bolus IV selanjutnya 2 x 0,6 cc S.C
- Inj. Ranitidin 2 x 50
- ASA 1 x 100 mg (0-1-0)
- CPG 1 x 20 mg (0-0-1)
- Natto 10 mg 1-0-0
- Miozidin 1-0-1
PEMBAHASAN

A. Definisi STEMI
STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction) merupakan bagian dari ACS (Acute Coronary Syndrom) yang terdiri dari Unstable Angina,
STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction), dan NSTEMI (Non-ST Elevation Myocardial Infarction). STEMI terjadi apabila aliran darah koroner
menurun secara mendadak setelah oklusi total thrombus yang terbentuk karena rupturnya plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya dan
mengakibatkan matinya otot-otot jantung oleh karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Daerah otot yang samasekali tidak
mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark.

B. Etiologi dan Faktor Resiko STEMI


Atherosclerosis adalah penyakit utama yang bertanggung jawab pada sebagian besar kasus ACS (Acute Coronary Syndrom). Sekitar 90%
Myocardial Infarction (MI) diakibatkan oleh trombus aterosklerotik akut yang menyumbat arteri koroner. Erosi dan pecahnya plak dianggap sebagai
pemicu utama trombosis koroner. Setelah erosi atau ruptur plak, proses aktivasi dan agregasi platetelet , aktivasi jalur koagulasi, dan vasokonstriksi
endotel terjadi, menyebabkan trombosis dan oklusi pada pembuluh darah koroner.

9
Sedangkan factor resiko Acute Coronary Syndrom termasuk STEMI secara garis besar dibagi menjadi 2 berdasarkan dapat atau tidaknya
dimodifikasi, yaitu:
1. Faktor Resiko Non-Modifiable
a. Usia
Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor
resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik.
b. Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena serangan jantung dan kejadiannyalebih awal dari pada wanita. Morbiditas penyakit ini pada laki-
laki lebih besar daripada wanita dan kondisi ini terjadi dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun lebih dini pada wanita. Wanita setelah
menopause menjadi sama rentannya seperti pria. Hal diduga karena tidak adanya efek perlindungan esterogen.
c. Ras
Ras kulit putih lebih sering terjadi serangan jantung daripada ras African American. Kelompok masyarakat kulit putih maupun kulit berwarna,
laki-laki mendominasi kematian, tetapi lebih nyata pada kulit putih dan lebih sering ditemukan pada usia muda dari pada usia lebih tua.
Insidensi kematian dini akibat penyakit jantung koroner pada orang Asia yang tinggal di Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan populasi
lokal dan juga angka yang rendah pada ras Afro-Karibia.
d. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga pada kasus penyakit jantung koroner yaitu keluarga langsung yang berhubungan darah pada pasien berusia kurang dari
70 tahun merupakan faktor risiko independen. Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam patogenesis PJK, hal
tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting dalam diagnosis, penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK.

2. Faktor Resiko Modifiable


a. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja
jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi, maka
penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar

10
oksigen yang tersedia. Secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga
rupture dan oklusi vaskuler dapat terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang normotensi.
b. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik - pathologi pada system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi
endothelial dan gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko terjadinya Coronary Artery Diseases (CAD).
c. Dislipidemia
The National Cholesterol Education Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab penyakit jantung koroner.
Peningkatan kadar lipoprotein LDL berhubungan dengan proses pembentukan aterosklerosis karena LDL merupakan bahan utama
pembentukan plak aterosklerosis itu sendiri. Berikut ini faktor risiko dari faktor lipid darah: total kolesterol plasma > 200 mg/dl, kadar LDL >
130 mg/dl, kadar trigliserid > 150 mg/dl, kadar HDL < 40 mg/dl. The Coronary Primary Prevention Trial (CPPT) memperlihatkan bahwa
penurunan kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark miokard.
d. Overweight dan Obesitas
Overweight dan Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di negara
berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks massa tubuh (IMT). Biasanya keadaan ini berhubungan dengan kelainan metabolik
seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus
tipe II. Sedangkan keadaan tersebut meningkatkan resiko terbentuknya plak aterosklerosis yang merupakan prekusor terjadinya Myocardial
Infarction.
e. Riwayat Merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner sebesar 50%. Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama perokok
(perokok pasif) memiliki peningkatan risiko sebesar 20 – 30 % dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan bukan perokok. Hal ini
disebabkan karena kebiasaan merokok akan mempercepat terbentuknya plak aterosklerosis yang merupakan etiologi utama terjadinya
Myocardial Infarction
f. Faktor psikososial
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi
secara konsisten meningkatkan resiko terkena aterosklerosis.30Stres merangsang sistem kardiovaskuler dengan dilepasnya catecholamine

11
yang meningkatkan kecepatan denyut jantung dan pada akhirnya dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah koronaria.16Beberapa
ilmuwanmempercayai bahwa stress menghasilkan suatu percepatan dari prosesatherosklerosis pada arteri koroner.37 Perilaku yang rentan
terhadap terjadinya penyakit koroner (kepribadian tipeA) antara lain sifat agresif, kompetitif, kasar, sinis, keinginan untuk
dipandang,keinginan untuk mencapai sesuatu, gangguan tidur, kemarahan di jalan, dan lain-lain.Baik ansietas maupun depresi merupakan
predictor penting bagi PJK.
g. Aktivitas Fisik
Olah raga yang teratur berkaitan dengan penurunan insiden PJK sebesar 20 – 40 %. Pada latihan fisik akan terjadi dua perubahan pada
sistem kardiovaskuler,yaitu peningkatan curah jantung dan redistribusi aliran darah dari organ yang kurang aktif ke organ yang aktif.
Olah raga secara teratur akan menurunkan tekanan darah sistolik, menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadar kolesterol
dan lemak darah, meningkatkan kadar HDL lipoprotein, memperbaiki sirkulasi coroner, meningkatkan sensitivitas insulin serta menurunkan
berat badan.
h. Gaya Hidup
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang mengkonsumsi diet yang rendah serat, kurang vitamin C dan E, dan bahan-
bahan polisitemikal.

C. Patofisiologi STEMI
STEMI terjadi karena terbentuknya trombus akibat rupturnya plak aterosklerosis yg telah ada sebelumnya. Trombus ini selanjutnya akan
menjadi sumbatan bagi aliran darah koroner, STEMI terjadi apabila sumbatan ini bersifat total. Hal tersebut mengakibatkan penurunan aliran darah
koroner secara mendadak dan mengakibatkan otot-otot jantung yang dinervasi arteri koroner yang tersumbat menjadi infark. Hal ini terjadi karena
arteri kororner merupakan arteri cabang terakhir yang menginervasi otot jantung sehingga tanpa adanya aliran darah dari arteri koroner, maka otot
jantung tidak mendapatkan suplai oksigen dan nutrisi dari manapun, sehingga terjadilah infark.
Trombus yang mengakibatkan sumbatan total dari arteri koroner ini terbentuk mula-mula karena rupturnya plak aterosklerosis. Plak ini
mudah ruptur jika memiliki fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Setelah terjadi rupture, maka akan terjadi aktivasi kaskade
koagulasi serta adhesi, aktivasi, dan agregasi platelet, proses ini akan menghasilkan produk fibrin dan bekuan platelet yang dapat menyumbat
pembuluh darah koroner dan mengakibatkan myocardial infark ( infark otot-otot jantung).

12
Trombus terbentuk dari rupturnya plak aterosklerosis, sedangkan plak aterosklerosis ini terbentuk dari proses yang cukup panjang, dimulai
dari akumulasi lipoprotein (LDL). LDL ini akan berikatan dnegan reseptor di permukaan endothelial sel, lalu akan mengalami internalisasi dari lumen
ke tunika intima endothelium. Lalu LDL ini mengalami oksidasi menjadi Modified LDL. Modified LDL ini akan memacu MCP-1 sehingga memudahkan
sel monosit untuk masuk ke intima, yang nantinya akan memacu sitokin dan menyebabkan sel inflamasi melakukan adhesi. Selain itu, Modified
LDL ini juga akan dimakan oleh makrofag dan menghasilkan sel busa (foam cell). Foam cell ini berkembang terus menerus seiring bertambahnya
usia yang ditunjang oleh berbagai faktor resiko. Foam cell akan berkembang menjadi Fatty streak lalu menjadi Intermediate lesion lalu menjadi
atheroma hingga menjadi fibrous plaque, jika sudah menjadi fibrous plaque, maka akan memiliki kecenderungan untuk ruptur, karena pada jenis
plak ini memiliki fibrous cap, yaitu batas atas plak. Fibrous cap ini dapat semakin tipis seiring terpajannya faktor resiko dan usia dan pada akhirnya
akan mudah sekali ruptur dan membentuk trombus, menjadi penyumbat, dan menyebabkan infark myocardial sebagaimana sudah dijelaskan di
atas. Berikut gambaran terbentuknya foam cells dan plak atherosclerosis hingga rupturnya plak aterosklerosis.

Proses pembentukan foam cells Proses pembentukan dan perkembangan plak aterosklerosis

13
D. Diagnosis STEMI
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos
dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan SKA, dan
Definitif SKA.
Anamnesis. Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen).
Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan
penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain
nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah
mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita,
penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia.
Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan
aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak
prediktif terhadap diagnosis SKA. Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan karakteristik sebagai
berikut :
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pintas koroner, atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas
risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education Program)

Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan
menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu
diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah
halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan
regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam
memikirkan diagnosis banding SKA.
14
Pemeriksaan elektrokardiogram. Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia harus
menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R,
serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu,
sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat
dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle
Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan
atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk
diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik
beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV,
pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia,
adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun
nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang
berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di
V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien
tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi
sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
15
16
Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG
Sadapan dengan Deviasi Lokasi Iskemia atau Infark
Segmen ST
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan
elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti
ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan
segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.

Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard
dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia
adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi
segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV
mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik dikategorikan
sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.

Pemeriksaan marka jantung. Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka
untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB.
Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit

17
tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma
kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah
sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya
troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada
keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.

Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan
SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan
hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot
skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih
terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural.

Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung
(point of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care testing
sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung
secara point of care testing menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.

Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:

1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.

2. EKG normal atau nondiagnostik, dan

3. Marka jantung normal

Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda:

1. Angina tipikal.

2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard,
atau LBBB baru/persangkaan baru.

3. Peningkatan marka jantung


Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka jantung normal perlu menjalani observasi di ruang gawat-darurat. Definitif
SKA dan angina tipikal dengan gambaran EKG yang nondiagnostik sebaiknya dirawat di rumah sakit dalam ruang intensive cardiovascular care
(ICVCU/ICCU).
18
Pemeriksaan laboratorium. Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes
darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda
terapi SKA.

Pemeriksaan foto polos dada. Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat untuk tujuan
pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat
diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.

Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA

19
E. Penatalaksanaan STEMI

20
a. Tindakan Umum dan Langkah Awal
Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi
penanganan selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan
SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal
yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.
1. Tirah baring (Kelas I-C)
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi (Kelas I-C)
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2i (Kelas IIa-C)
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak
bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat (Kelas I-C)
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI
yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik (Kelas I-B) atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-C).
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas
I-C). Jika nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin
intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas I-C). dalam keadaan tidak tersedia
NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual
(kelas IIa-B).

21
b. Terapi reperfusi
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam
dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa
IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada
lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP.
Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah
sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah
fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP. Berikut evaluasi yang harus dilakukan
sebelum menentukan jenis terapi reperfusi:
 Langkah 1
a. Nilai waktu onset serangan
b. Nilai Resiko STEMI
c. Nilai Resiko Fibrinolisis
d. Nilai waktu yang diperlukan dari transportasi kepada ahli intervensi ( kateterisasi/IKP) yang tersedia
 Langkah II
a. Pemilihan strategi terapi perfusi (fbrinolisis atau invasive)

22
Pemilihan Strategi Terapi Reperfusi pada STEMI
Keadaan di mana fibrinolisis lebih baik: Keadaan di mana strategi invasif lebih baik:

• Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan • Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejal
terdapat halangan untuk strategi invasif • Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan
* Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-
• Strategi invasif tidak dapat dilakukan
balloon kurang dari 90 menit
* Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai
* Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang
* Kesulitan mendapatkan akses vaskular
dari 1 jam
* Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang • Risiko tinggi STEMI
mampu melakukan IKP dalam waktu <120 menit * Syok kardiogenik
• Halangan untuk strategi invasif * Kelas Killip ≥ 3
• Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko
* Transportasi bermasalah
perdarahan dan perdarahan intracranial
* Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari
• Diagnosis STEMI masih ragu-ragu
60 menit * Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau
door-to-balloon lebih dari 90 menit

1. Intervensi Koroner Perkutan Primer


IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang
berat atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang dengan awitan
gejala yang telah lama. Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasti balon untuk IKP primer. Tidak disarankan untuk melakukan IKP
secara rutin pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang
telah maupun belum diberikan fibrinolisis. Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual (dual antiplatelet therapy-
DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal stents (BMS)

23
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat
reseptor ADP sesegera mungkin sebelum angiografi (Kelas I-A), disertai dengan antikoagulan intravena (Kelas I-C). Aspirin dapat
dikonsumsi secara oral (160320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain:

 Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali sehari) (Kelas I-B).

 Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading 600 mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia
atau diindikasikontrakan (Kelas I-C).

Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya antara lain:

 Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak
mendapatkan bivarlirudin atau enoksaparin (Kelas I-C).

 Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa) dapat lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi (Kelas
IIb-B).

 Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer (Kelas III-B).

 Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang direncanakan untuk IKP primer (Kelas III-A).

2. Terapi Fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien
STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien
tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama
(Kelas I-A). Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah,
fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit (Kelas IIa-B). Fibrinolisis
harus dimulai pada ruang gawat darurat. Sebelum dilakukan tindakan fibrinolisi, pasien harus dilakukan pemeriksaan ada tidaknya
kontraindikasi fibrinolysis dan menilai resikonya dengan ceklis fibrinolitik.

24
Kontra Indikasi Terapi Fibrinolitik
Indikasi Kontra Absolut Indikasi Kontra Relatif
Stroke hemoragik atau stroke yang Transient Ischaemic Attack (TIA) dalam
penyebabnya belum diketahui, dengan 6 bulan terakhir
awitan kapanpun

Stroke iskemik 6 bulan terakhir Pemakaian antikoagulan oral


Kerusakan sistem saraf sentral dan Kehamilan atau dalam 1 minggu post-
neoplasma Partum

Trauma operasi/trauma kepala yang Tempat tusukan yang tidak dapat


berat dalam 3 minggu terakhir dikompresi

Perdarahan saluran cerna dalam 1 bulan Resusitasi traumatic


terakhir
Penyakit perdarahan Hipertensi refrakter (tekanan darah
sistolik >180 mmHg)
Diseksi aorta Penyakit hati lanjut, Infeksi
endokarditis
Ulkus peptikum yang aktif

Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik
terhadap fibrin (streptokinase) (Kelas I-B). Aspirin oral atau intravena harus diberikan (Kelas I-B). Clopidogrel diindikasikan diberikan
sebagai tambahan untuk aspirin (Kelas I-A).
Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan)
atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari (Kelas I-A). Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:

1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak terfraksi) (Kelas I-A).

2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan infus selama 3 hari (Kelas I-C).

25
3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam
kemudian (Kelas IIa-B).

Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan IKP setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien
(Kelas I-A). IKP “rescue”diindikasikan segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50% setelah 60 menit disertai
tidak hilangnya nyeri dada (Kelas I-A). IKP emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia rekuren atau bukti adanya reoklusi setelah
fibrinolisis yang berhasil (Kelas I-B). Hal ini ditunjukkan oleh gambaran elevasi segmen ST kembali.

Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah
dilakukannya fibrinolisis inisial (Kelas I-A). Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi (pada arteri yang
mengalami infark) diindikasikan setelah fibrinolisis yang berhasil (Kelas I-A). Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah lisis yang
berhasil adalah 3-24 jam (Kelas IIa-A).

26
Pada Pasien STEMI yang dilakukan terapi fibrinolitik, maka harus mendapatkan ko terapi sebagai berikut:

1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi antikoagulan selama minimum 48 jam (Kelas II-C) dan
lebih baik selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila lama terapi lebih dari 48 jam karena risiko
heparin-induced thrombocytopenia dengan terapi UFH berkepanjangan (Kelas II-A)

2. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga
maksimum 8 hari pemberian (Kelas IIa-B)

3. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH (Kelas IIa-C) atau fondaparinuks (Kelas IIa-B) dengan regimen dosis sama dengan
pasien yang mendapat terapi fibrinolisis.

4. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan berikut ini merupakan rekomendasi dosis:

• Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai kebutuhan untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP
IIb/IIIA telah diberikan (Kelas II-C).

• Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam 8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan
terakhir antara 8-12 jam, maka ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg (Kelas II-B)

• Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan dengan aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan
GP IIb/ IIIa (Kelas II-C)

5. Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP,
sebaiknya ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa (Kelas III-C)

27
F. Komplikasi STEMI
ACS termasuk STEMI dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah gangguan irama dan gangguan pompa
jantung. Gangguan rama dapat bersifat fatal bila mengakibatkan henti jantung, misalnya pada VF atau VT tanpa nadi. Komplikasi gangguan pompa
jantung dapat menyebabkan gagal jantung akut. Komplikasi gagal jantng pada ACS dengan infark miokard (dengan peningkatan enzim jantung)
diklasifikasikan dalam klasifikasi Killip

Kelas Killip Temuan Klinis Mortalitas

I Tidak terdapat gagal jantung (tidak terdapat 6%


ronkhi maupun S3)

II Terdapat gagal jantung ditandai dengan S3


dan ronkhi basah pada setengah lapangan
paru 17%
III Terdapat edema paru ditandai oleh ronkhi
basah di seluruh lapangan paru 38%
IV Terdapat syok kardiogenik ditandai oleh
tekanan darah sistolik <90 mmHg dan tanda
hipoperfusi jaringan
81%

G. Prognosis STEMI

Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA:


a. Klasifikasi Killip: berdasarkan pemeriksaan fisik bedsite sederhana: S3 gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik
b. Klasifikasi Forrester: berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
c. TIMI Risk Score: adalah sistem prognostic paling akhir yang menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada
pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.

28
29

You might also like