You are on page 1of 50

Andi Dennu Tenri Batari

1651042003
PBSI A

SASTRA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF MULTIKULTURALISME


oleh Puja
Posted on December 3, 2008
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi liberal dari pluralisme budaya demo-kratis.
Multikulturalisme didasarkan pada keyakinan bahwa semua kelompok budaya secara sosial
dapat diwujudkan, direpresentasikan, dan dapat hidup berdampingan. Selain itu, diyakini pula
bahwa rasisme dapat direduksi oleh penetapan citra positif keanekaragaman etnik dan melalui
pengetahuan kebudayaan-kebudayaan lain. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pengetahuan
kebudayaan-kebudayaan lain itu, tentu saja penting artinya dalam rangka pembukaan ruang
interaksi antaretnis, antarsuku bangsa dan antarbudaya. Dari sanalah pemahaman adanya
perbedaan budaya dapat ditempatkan dalam posisi yang setara, sehingga ia dapat diapresiasi
masing-masing etnis dan suku bangsa dengan keanekaragamannya. Secara ideologis,
multikulturalisme sangat mengagungkan adanya perbedaan budaya yang mengakui dan
mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai sebuah corak kehidupan kemasyarakatan.
Pusat perhatian dan titik tekan multikulturalisme adalah pada pemahaman dan kesadaran bahwa
individu dan kelompok sosial sejatinya hidup dalam berbagai perbedaan, baik perbedaan
ideologi, agama, suku bangsa, maupun budaya. Melalui pemahaman dan kesadaran itu, setiap
individu sebagai bagian dari kelompok sosial dan warga suku bangsa akan dapat menempatkan
perbedaan budaya dalam kerangka kesetaraan derajat, dan bukan dalam kategori kelompok
mayoritas yang mendominasi kelompok minoritas. Kesusastraan sebagai bagian dari
kebudayaan, dan secara spesifik sebagai karya yang dihasilkan melalui proses panjang
kegelisahan dan pemikiran sastrawannya, tentu saja tidak terlepas dari berbagai persoalan yang
dalam konteks multikultural, justru dapat dianggap sebagai representasi salah satu corak
kebudayaan. Jadi, ia tidak hanya dapat diperlakukan sebagai dokumen sosial yang
menggambarkan corak individu di dalam interaksinya dengan sebuah kelompok masyarakat atau
suku bangsa, tetapi juga dapat dimaknai sebagai representasi budaya yang melahirkan,
membesarkan, dan melingkarinya. Dengan demikian, karya sastra dapat pula persoalannya
ditarik dalam lingkaran cultural studies atau multikulturalisme. Yang kemudian disoroti
bukanlah teks, melainkan konteks budayanya yang mengagungkan perbedaan-perbedaan dan
pluralisme kultural. *** Masalah multikulturalisme dalam sastra Indonesia, boleh dikatakan
secara praksis muncul bersamaan dengan lahirnya sastra Indonesia modern. Ada beberapa alasan
yang melatari pemikiran itu. Pertama, sastra Indonesia modern lahir sebagai hasil pertemuan
dengan kebudayaan Barat yang lalu wujud dalam bentuk sastra tulis. Dengan begitu, tradisi lisan
(oral tradition), tersisih oleh berbagai ragam sastra tulis. Kedua, sastra Indonesia dilahirkan dari
rahim sastrawan yang tidak dapat melepaskan dirinya dari kultur etnik yang membesarkan dan
membentuknya. Mengingat sastrawan Indonesia berasal dari pluralitas dan keanekaragaman
etnik, maka niscaya khazanah sastra Indonesia mencerminkan juga kenekaragaman itu. Ketiga,
sastra Indonesia ditulis dalam bahasa Indonesia, sebuah bahasa yang diangkat dari bahasa etnis
Melayu yang penyebarannya di wilayah Nusantara telah punya sejarah yang panjang. Ia juga
sudah sejak lama menjadi lingua franca; bahasa perhubungan antarsuku-suku bangsa yang
berbeda dan antara pribumi dan orang asing, baik dalam hubungan pemerintahan, maupun
perdagangan. Demikian, kesusastraan Indonesia sejak awal kelahirannya sudah memperlihatkan
dirinya sendiri yang multikultural. Ada pluralitas yang mendiami ruh sastra Indonesia, dan
dengan demikian ada keanekaragaman, baik yang menyangkut tema yang diangkat, maupun
gaya pengucapan yang disampaikannya. Dalam konteks yang lebih luas, sastra Indonesia
merupakan representasi pluralisme budaya yang melatarbelakangi, melingkari, dan yang melekat
dalam diri pengarangnya. Di dalam perkembangannya kemudian, representasi pluralitas budaya
tadi sering dilupakan atau sengaja dilalaikan. Akibatnya, sastra Indonesia seolah-olah lahir
begitu saja, tanpa proses kultural. Ia seperti tak punya kaitan dengan problem yang berada di
belakangnya. Ia juga seperti tak berhubungan dengan kegelisahan dan pergolakan kultural yang
berkecamuk dalam diri pengarang, baik sebagai individu, maupun sebagai anggota masyarakat
yang berkebudayaan. Dengan begitu, secara tersirat kesadaran mengenai identitas kesusastraan
Indonesia, sepertinya ditiadakan dan yang muncul ke permukaan adalah wadah persamaan dan
kesatuan keindonesiaan yang seolah-olah homogen. Sastra Indonesia jadinya tercerabut dari akar
pluralitas kulturalnya. *** Problem dasar sastra Indonesia dalam kaitannya dengan
multikulturalisme adalah kenyataan bahwa lewat wadah bahasa Indonesia, berbagai perbedaan
etnis dan budaya, dianggap telah selesai. Padahal, bahasa Indonesia sekadar sarana; hanya alat
bagi sastrawan kita untuk mengejawantahkan kegelisahan kulturalnya. Di dalam masyarakat-
bangsa yang majemuk, pluralitas etnik adalah kenyataan. Dan kenyataan itu tidak serta-merta
lebur dan menjelma dalam keseragamanan, hanya lantaran ia menggunakan bahasa yang sama.
Dalam kaitan itulah, para pendiri bangsa ini merumuskan butiran Sumpah Pemuda dengan
kesadaran untuk tidak meninggalkan dan menanggalkan pluralitas etnik. Butiran kedua Sumpah
Pemuda: ?Kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia? tidaklah
berhenti hanya sampai di sana, karena ada butiran ketiga yang mengikuti sekaligus yang
melengkapinya. Cermati rumusan butir ketiga Sumpah Pemuda: ?Kami putra-putri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.? Demikian, secara politis-ideologis, berbagai
perbedaan etnik dapat dipersatukan melalui kesadaran menjunjung bahasa persatuan dan tidak
mengaku sebagai bahasa yang satu. Ini berarti ada pengakuan mengenai keberadaan bahasa yang
lain. Secara kultural, masing-masing etnis tetap hidup dengan keanekaragaman perbedaan
bahasanya. Tersirat, ada pengakuan kesetaraan terhadap perbedaan-perbedaan budaya yang
melekat pada keanekaragaman pluralitas etnik. Bagian itulah yang mestinya dikembangkan
sebagai bentuk pengakuan dan sekaligus apresiasi terhadap perbedaan yang memang sejatinya
telah ada sebagai kenyataan. Jadi, pemaknaan terhadap butir kedua dan ketiga Sumpah Pemuda
itu bukanlah dalam kerangka monokulturalisme yang menekankan penyatuan budaya-budaya
sebagai sebuah kesatuan yang seragam, melainkan dalam kerangka multikulturalisme yang
mengagungkan dan sekaligus mengakomodasi perbedaan-perbedaan kesukubangsaan . *** Sejak
awal kelahiran dan pertumbuhan sastra Indonesia, politik kolonial Belanda memperlihatkan
cengkeraman hegemoninya. Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial, secara efektif memperalat
sastra Indonesia untuk kepentingan membangun citra positif bangsa Belanda. Langkah-langkah
politis melalui kebijaksanaan pendidikan pun lalu dijalankan. Muncullah kemudian sastra
Indonesia yang elitis, yang tidak menyinggung perbedaan etnis, yang dilarang mengangkat
persoalan agama, dan yang tidak boleh membicarakan semangat kebangsaan. Hegemoni politik
kolonial pun diperluas dengan usahanya membendung pengaruh bacaan-bacaan yang diterbitkan
pihak swasta. Dikatakannya, bacaan-bacaan itu sebagai produk agitator dari ?Saudagar kitab
yang tidak suci hatinya.? Bacaan-bacaan itu berbahaya karena dapat menghasut dan
menyesatkan. Dengan menggunakan cap sebagai ?Bacaan liar,? karya-karya sastra yang
diterbitkan pihak swasta, selalu terhadang memasuki wilayah dunia pendidikan. Jadilah, karya-
karya sastra yang terbit di luar Balai Pustaka bergulir dengan konotasi yang buruk sebagai
bacaan yang menyesatkan. Sekadar menyinggung beberapa karya, sebutlah buah tangan para
pengarang peranakan Tionghoa, seperti Oey Se (1903) karya Thio Tjien Boen, Lo Fen Koei
(1903) karya Gouw Peng Liang, Tjerita si Riboet (1917) karya Tan Boen Kim, Nyai Marsina
(1923) karya Numa, Boenga Roos dari Tjikembang (1927) dan Drama dari Krakatau (1929)
karya Kwee Tek Hoaij, Itu Bidadari dari Rawa Pening (1929) karya Madame d?Eden Lovely,
dan Njai Isah (1931) karya Sie Liplap. Selain itu, karya-karya bangsa pribumi macam Mas
Marco Kartodikromo, Studen Hidjo (1919) dan Rasa Medika (Hikajat Soedjanmo) (1924),
Semaun, Hikajat Kadiroen (1924), Hamka, Didjempoet Mamaknja (1930), Soeman Hs,
Pertjobaan Setia (1931), A. Hasjmy, Melaloei Djalan Raja Doenia (1938), A. Damhoeri, Depok
Anak Pagai (1938), dan Merayu Soekma, Menanti Kekasih dari Mekah (1938) termasuk karya
yang diterbitkan pihak swasta. Lalu apa maknanya karya-karya itu dalam konteks pembicaraan
multikulturalis-me? Sebagai akibat dijalankannya politik kolonial yang kemudian mengalir terus
dalam dunia pendidikan kita selama ini, karya-karya itu secara apriori dimasukkan ke dalam
kotak roman picisan –menurut Roolvink– dan bacaan liar menurut versi kebijaksanaan Balai
Pustaka pada masa awal berdirinya lembaga itu. Buku-buku sejarah sastra Indonesia juga tidak
memasukkan karya-karya itu dalam kanon resmi perjalanan sastra Indonesia. Akibatnya, banyak
nama dengan sejumlah karyanya, masih tetap tercecer, termarjinalisasi, dan tenggelam oleh
kanon sastra yang resmi. Lebih jauh lagi, persoalannya tidak hanya sampai di sana. Karya-karya
yang ditulis oleh para pengarang peranakan Tionghoa, banyak yang mengangkat wacana
asimilasi sebagai sebuah proses pembauran etnik minoritas ke dalam masyarakat mayoritas.
Dalam novel Lo Fen Koei (1903) karya Gouw Peng Liang, misalnya, proses itu tampak masih
terbatas pada usaha menampilkan kultur masyarakat Tionghoa, pribumi, dan Belanda. Hasrat
mengangkat wacana pembauran itu lebih jelas lagi tampak dalam Boenga Roos dari Tjikembang
(1927) karya Kwee Tek Hoaij. Percintaan antaretnis (Tionghoa dan pribumi) dibumbui pula
gambaran budaya Cina dan Sunda. Di dalamnya termasuk juga persoalan kepercayaan
(Konghucu dan Islam). Wacana yang juga dimunculkan Madame d?Eden Lovely dalam Itu
Bidadari dari Rawa Pening (1929). Dalam karya Mas Marco Martodikromo dan Semaun, konflik
budaya feodal dan egaliterian dihadapkan pada persoalan sukubangsa dan kebangsaan. Masalah
kultur etnik dan kritik tajam terhadap feodalisme dan tradisi, memang paling mudah dicari dalam
novel-novel terbitan swasta dibandingkan dalam novel-novel terbitan Balai Pustaka. Kecuali
novel Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis yang menampilkan hubungan dua budaya melalui
Corrie (Indo-Perancis, Barat) dan Hanafi (Minangkabau, pribumi) dan Asmara Jaya (1928) karya
Adinegoro yang juga menampilkan dua budaya melalui Rustam (Minangkabau) dan Dirsina
(Sunda), sebagian besar novel Balai Pustaka sebelum merdeka, tidak menjadikan kultur etnik dan
pertemuan antarbudaya etnik sebagai persoalan atau tema penting. Oleh karena itu, dalam novel-
novel Balai Pustaka, kita akan sulit menjumpai tema yang mengangkat konflik antarbudaya atau
persoalan yang ditimbulkan lantaran perbedaan-perbedaan budaya, agama, kepercayaan,
sukubangsa atau ideologi. Persoalan itu tentu saja ada kaitannya dengan politik kolonial Belanda.
Nota Rinkes (1910) secara eksplisit menyebutkan tiga syarat penting yang digunakan Balai
Pustaka dalam menyeleksi naskah-naskah yang akan diterbitkan. Ketiga syarat itu adalah (1)
tidak mengandung unsur antipemerintah kolonial, (2) tidak menyinggung perasaan dan etika
golongan masyarakat tertentu,dan (3) tidak menyinggung perasaan suatu agama tertentu. Dengan
adanya ketentuan Nota Rinkes itu, maka wajarlah jika novel-novel Balai Pustaka cenderung
memperlihatkan tokoh-tokoh yang karikaturis dan hitam-putih dengan persoalan seputar
perkawinan dan kehidupan rumah tangga. Persyaratan model Nota Rinkes itu tentu saja tidak
berlaku bagi penerbit swasta. Dengan demikian, penerbit swasta lebih leluasa menerbitkan buku-
bukunya tanpa harus mempertimbangkan masalah etnik, agama, kepercayaan, dan golongan.
Bahkan, dalam beberapa novel, pengarangnya tampaknya justru sengaja mengeksploitasi
konflik-konflik yang ditimbulkan oleh perbedaan sukubangsa, agama, kepercayaan, etnik, dan
golongan sebagai bentuk promosi, baik untuk bukunya itu sendiri, maupun untuk majalah tempat
cerita itu dimuat secara bersambung. Peristiwa-peristiwa percintaan, kehidupan rumah tangga
atau peristiwa apa saja yang menjadi berita, sering kali kemudian diangkat sebagai novel dengan
menyebutkan bahwa cerita novel itu berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Novel Lo Fen Koei,
misalnya, di halaman depannya ada keterangan sebagai berikut: ?Tjerita jang betoel soeda
kedjadian di pulo Djawa dari halnja satoe toean tana dan pachter opioem di Res. Benawan …?
Dengan memperhatikan tema-tema yang begitu beragam dari khazanah karya sastra terbitan di
luar Balai Pustaka itu, maka di satu pihak, terbuka penelitian yang luas bagi cultural studies dan
lebih khusus lagi melalui pendekatan multikulturalisme untuk mencari bentuk multikulturalisme
yang pas bagi kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk dan pluralis. Di samping itu, sudah
saatnya bagi kita membuka lebar-lebar kesadaran tentang berbagai perbedaan dan interaksi
kultural untuk menempatkan multikulturalisme sebagai sebuah wadah yang dinamis, ruh yang
demokratis. Meskipun demikian, tentu saja tidak semua khazanah karya yang diterbitkan di luar
Balai Pustaka dapat digunakan sebagai bahan kajian. Karya-karya yang cuma sekadar
mengeksploitasi konflik-konflik etnis tanpa dibarengi oleh eksplorasi literer-estetik, tentu saja
tidak perlu dipertimbangkan. Nilai estetik dan literer, bagaimanapun tetap menjadi bahan
pertimbangan, di samping sebagai salah satu usaha menghindar dari kepentingan ideologis
tertentu. *** Khazanah sastra Indonesia selepas merdeka, terutama di awal tahun 1950-an,
sebenarnya lebih kuat mencerminkan semangat etnik kedaerahan. Dengan begitu,
memperlihatkan juga semangat mengangkat kultur etnik. Hal tersebut dimungkinkan oleh
beberapa faktor berikut. Pertama, pengaruh Balai Pustaka selepas merdeka tidaklah sekencang
dan sekuat sebelumnya. Nota Rinkes dan persyaratan penggunaan bahasa Indonesia yang bersih
dari unsur etnik, tidak lagi berlaku. Dengan demikian, sastrawan Indonesia selepas merdeka jauh
lebih leluasa mengungkapkan kegelisahan kulturalnya. Kedua, bersamaan dengan pudarnya
pengaruh Balai Pustaka, muncul pula penerbit-penerbit lain yang juga cukup luas pengaruhnya.
Ketiga, pudarnya pengaruh sastrawan asal Sumatra dan munculnya sastrawan-sastrawan dari
berbagai daerah, terutama Jawa dan Sunda, makin memperkaya style, gaya pengucapan, serta
tema-tema yang dikedepankan. Keempat, masuknya pengaruh asing secara lebih leluasa,
membuka ruang yang lebih lebar bagi pemerkayaan tema, gaya atau apapun yang berkaitan
dengan usaha sastrawannya meningkatkan kualitas kesastrawanannya. Keempat faktor itu terjadi
pada dasawarsa tahun 1950-an ketika pemerintah Indonesia tidak lagi diganggu oleh militer
Belanda. Kini, terjadinya gerakan Reformasi yang melengserkan rezim Soeharto, telah
membawa ke dalam situasi yang dalam kesusastraan Indonesia kondisinya hampir sama dengan
kondisi awal tahun 1950-an itu. Bahkan kini, arus deras globalisasi dan hilangnya sekat-sekat
geografis dalam dunia telekomunikasi, makin meramaikan keberagaman dan kesemarakan
budaya. Oleh karena itu, saatnya kini sastrawan kita mengeksploitasi keberagaman dan berbagai
perbedaan budaya sebagai lahan garapannya. Ini tentu saja penting tidak hanya untuk
menghindari terjadinya konflik etnik, tetapi juga menarik persoalannya dalam kerangka integrasi
dan kebangsaan. Dalam konteks itulah, multikulturalisme dapat memainkan peranannya. ***
Kondisi saat ini sesungguhnya membuka kemungkinan yang sangat besar bagi laju
perkembangan sastra Indonesia di kancah sastra dunia. Ada sejumlah faktor pendukung yang
niscaya membawa kesusastraan Indonesia dengan mudah memasuki wilayah sastra dunia dan
memperoleh pengakuan internasional. Beberapa faktor pendukung itu dapatlah disebutkan di sini
sebagai berikut: Pertama, pluralitas kultural yang dimiliki suku-suku bangsa di wilayah
Nusantara ini merupakan lahan yang tak bakal habis digali dan dimanfaatkan bagi pemerkayaan
khazanah sastra Indonesia. Periksa saja karya-karya yang dihasilkan sastrawan kita yang
mengalami kegelisahan kultural atas budaya etniknya sendiri. Dari kultur Minangkabau,
misalnya, kita dapat menyebutkan nama-nama Darman Munir lewat novelnya, Bako (1983) dan
Dendang (1990), Wisran Hadi, Orang-Orang Blanti (2000), dan Gus tf Sakai, Tambo: Sebuah
Pertemuan (Grasindo, 2000). Dari kultur Jawa, dapat disebutkan di antaranya, karya Arswendo
Atmowiloto, Canting (1986), Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Umar Kayam,
Para Priyayi (1992), Kuntowijoyo, Pasar (1994), dan Danarto, Asmaraloka (1999) dan antologi
cerpennya, Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Dari kultur Melayu dapat disebutkan karya
Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba (2000), Taufik Ikram Jamil, Hempasan
Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001). Dari kultur Madura dapat kita cermati dari
sejumlah antologi puisi D. Zawawi Imron dan dari kultur Dayak, pilihan jatuh pada novel
Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan. Tentu saja masih banyak nama dan karya lain yang
tidak disebutkan di atas yang memperlihatkan kuatnya kegelisahan kultural yang dihadapi
pengarangnya. Niscaya pula karya-karya mereka juga sangat pantas menjadi bahan kajian kita.
Kedua, hadirnya begitu banyak penerbit di luar Jakarta, seperti Riau, Padang, Yogyakarta,
Surabaya, Magelang, Bandung, Lampung, telah memungkinkan munculnya kesemarakan bagi
khazanah kesusastraan Indonesia. Dalam hal ini, karya-karya yang diterbitkan penerbit dari
berbagai kota itu memperlihatkan kuatnya kultur etnik. Ketiga, munculnya sastrawan-sastrawan
wanita dengan latar belakang budaya yang berbeda, ikut pula meramaikan peta kesusastraan
Indonesia. Yang menarik dari karya-karya mereka adalah beragamnya bentuk representasi yang
jika dilihat dari perspektif multikultural, justru memperlihatkan pengagungan pada
keanekaragaman dan pluralitas. Periksa misalnya dua novel Ayu Utami, Saman (1998) dan
Larung (2001), Dewi Lestari, Supernova (2001), antologi cerpen Dorothea Rosa Herliany,
Perempuan yang Menunggu (2000) dan antologi puisinya, Kill the Radio (2001), Helvy Tiana
Rosa, Manusia-Manusia Langit (2000) dan Nyanian Perjalanan (2000), Fira Basuki, Jendela-
Jendela (2001), Abidah el-Khalieqy, Perempuan Berkalung Sorban (2001) dan antologi cerpen
Menari di atas Gunting (2001), antologi cerpen Ratna Indraswari, Namanya, Massa (2001), dan
dua novel Oka Rusmini, Tarian Bumi (2000) dan Sagra (2001). Keempat, diberlakukannya
otonomi daerah makin melebarkan peluang bagi sastrawan daerah untuk melakukan eksplorasi
kekayaan budaya suku bangsanya sendiri. Dengan demikian, bakal meramaikan konstelasi
kesusastraan Indonesia melalui eksplorasi dan penggalian berbagai budaya etnik. Pada
gilirannya, kondisi ini makin mempertegas adanya keanekaragaman budaya dan pluralitas yang
melekat dalam diri sastrawan kita. *** Menempatkan kesusastraan Indonesia dalam perspektif
multikulturalisme pada akhirnya menggulirkan pertanyaan mendasar: peranan apa yang hendak
dimainkan sastra Indonesia di dalam kerangka multikulturalisme? Melihat kenyataan pahit
bahwa di berbagai daerah terjadi konflik etnis dan agama serta munculnya benih-benih
disintegrasi, sangat boleh jadi pemicunya lantaran hilangnya toleransi dan pemahaman budaya
etnik yang lain. Dalam konteks itulah, sastra Indonesia yang merupakan salah satu bentuk
representasi kultural sastrawannya, dapat menjadi alat yang efektif untuk saling mempelajari
kebudayaan-kebudayaan lain. Jadi, melalui karya-karya sastra sebagaimana yang telah
disebutkan di atas, bangsa ini dapat memulai program pendidikan kebudayaan suku-suku bangsa
lain yang tersebar di Nusantara ini. Bersamaan dengan itu, boleh pula dicobakan pendidikan
multikultural yang bahan-bahannya, di antaranya, juga karya-karya sastra tadi. Persoalannya
tinggal, bagaimana pendidikan kebudayaan-kebudayaan lain lewat karya-karya sastra itu disusun
dan disiapkan guna menemukan format yang paling ideal. Barangkali, gagasan ini bolehlah
dicobakan!
(Maman S. Mahayana, Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia,
Depok, 16424)

Kajian Sastra dengan Pendekatan Kearifan Lokal


Oleh: Siti Aida Azis
Jumat, 10 Oktober 2014
Kearifan lokal dalam sebuah karya sastra seringkali tidak terlalu diperhatikan padahal
kearifan lokal sangat identik dengan kesusateraan, misalnya tentang kearifan lokal yang bersifat
tentang bahasa, panggilan seseorang, dan status sosial. Kadang disalah artikan kearifan lokal.
Arif berarti bijaksana, akan tetapi sebagian dari budaya tidak terggambarkan kearifan. Tindakan
merusak alam, dan pemborosan kerap menjadi ritual kebudayaan. Kadang pula berada dalam
suatu kebimbangan karena budaya kerap menjadi hal yang sangat sensitif, karena dapat
memecah belah persaudaraan. Budaya adalah lekat pada bidang-bidang lain yang terstruktur rapi.
Keterkaitan antar unsur kehidupan itulah yang membentuk sebuah budaya. Dengan demikian,
budaya bukan sekedar tumpukan acak fenomena, atau bukan sekedar kebiasaan lazim, malainkan
tertata rapi dan penuh makna. (Endarswara, 2003 : 1)
Dalam kebudayaan Bugis Makassar ada sesuatu yang sangat urgen dalam kehidupan
yaitu siri, makna siri adalah berbeda-beda menurut ruang dan waktu tertentu tergantung pada
bagaimana tingkat perkembangan makna, nilai dan struktur sosil yang mendukungnya atau
dengan kata lain, bahwa makna itu sangat ditentukan oleh tingkat kebudayaan yang menyangkut
masalah nilai dalam kehidupan. Oleh karenanya ungkapan-ungkapan yang dapat dikemukakan
dapat menjadi jembatan penghubung antara nilai sosial dan nilai budaya yang ada ditengah
masyarakat. Seperti yang diuraikan oleh Mattulada,tiga sifat yang bisa menjadi pedoman dalam
kehidupan sosial. Ketiga sifat yang dimaksud yaitu sipakatau', sipakainge', dan sipakalebbi
Sipakatau', merupakan sifat untuk memandang manusia seperti manusia. Maksudnya dalam
kehidupan sosial selayaknya dipandang manusia seperti manusia seutuhnya dalam kondisi apa
pun. Pada intinya manusia seharusnya saling menghormati tanpa melihat status dan derajat.
Sipakainge', merupakan sifat saling mengingatkan. Hal yang tak dapat di pungkiri dari
manusia yaitu, memiliki kekurangan. Karena tentunya manusia tidaklah sempurna, walaupun
manusia adalah ciptaan-Nya yang paling sempurna di muka bumi ini.
Sipakalebbi, sifat yang dilarang melihat manusia dengan segala kekurangannya. Seperti
mengingat kebaikan orang dan melupakan keburukannya. Manusia memiliki naluri yang senang
dipuji, jadi saling memuji dapat menjernihkan suasana dan mengeratkan tali silaturahmi
Ketiga sifat yang diwariskan nenek moyang suku bugis makassar. dengan merealisasikan dalam
kehidupan, berarti telah melaksanakan kearifan lokal.
Adapun kearifan local dalam kupulan cerpen Panggil Aku Aisyah karya Thamrin Paelori
dan Rahman Rahim, dapat dilahat berikut ini.
1. Sipakatau (Tata Krama)
Sipakatau', merupakan sifat untuk memandang manusia seperti manusia. Maksudnya
dalam kehidupan sosial selayaknya dipandang manusia seperti manusia seutuhnya dalam kondisi
apa pun. Pada intinya manusia seharusnya saling menghormati tanpa melihat status dan derajat.
Sipakatau adalah bagian dari tata krama sebagaimana dalam pengertian tata krama adalah adalah
kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia setempat.
Tata krama terdiri dari kata “tata” dan “krama”, tata berarti ada, aturan, norma, peraturan. Krama
berarti sopan, santun, bahasa yang taklim (amat terhormat), kelakuan, tindakan perbuatan.
Dengan demikian, tata krama berarti adat sopan santun, kebiasaan sopan santun, atau tata sopan
santun. Hal tersebut dapat dilihat dari petikan cerpen sebagai berikut :
“Istirahatlah Daeng, sudah larut malam, nanti besok
Bisa dilanjutkan,” Indoupe memecah kesunyian tatkala
melihat suaminya terus terbenam dalam kenikmatannya.
Peringatan itu sudah sangat dihafal oleh Daeng Sallo.

“Aku paham, Upe. Ini semua untuk Latuwo, bukan untuk orang lain. Untuk anak kita. “ Daeng
Sallo kembali membangkitkan rasa rindu pada kedua anaknya. (Paelori, hlm. 7).

“Kata mereka, Daeng selalu merusak perangkapnya,”

Indoupe menatap suaminya dengan lekat. Daeng Sallo


Tersenyum getir.
“Perangkap torisalo itu ? Tanya Daeng Sallo sambil mengerutkan dahi. Diletakkannya gelas
yang telah kosong di dekatnya.

Indoupe hanya mengangguk lemah tanpa berani melihat wajah suaminya menegang dengan
tatapan kosong.
“ Mengapa aku yang dituduh?” suara Daeng Sallo seolah diperdengarkan kepada angin yang ada
disekelilingnya.
“Entahlah, Daeng. Kata mereka kita selalu menghalangi niatnya untuk menangkap torisalo,
penunggu sungai itu,

“ Indoupe berucap dengan hati-hati dan selembut mungkin. (Paelori, hlm. 9).
“Jalanmi Daeng ” Aku mengajak pak supir yang berdiri di sisi mobil.

“Belumpi penuh Kareng” jawabnya disertai dengan senyum. Aku menoleh. Masih kurang tiga
orang. Biasanya mobil meninggalkan terminal jika penumpang sudah penuh.

“Saya pi yang bayar untuk empat orang Daeng”. Aku sudah tidak sabaran. Bayangan ibu, ayah,
saudara dan segenap kawan kecilku telah terlintas di depan mata. (Rahim, hlm. 19).
Ternyata tidak demikian. Mereka justru membantuku dan memberi makanan buat adikku. Kami
ikut mereka menyeberang sungai untuk menyelematkan diri, tapi Isak tidak kuat lagi, dia
meninggal di tengah jalan. Kembali air mata Yohanna tumpah mengenang tragedi yang
memilukan itu.

Saya satu-satunya Nasrani di kelompok itu. Mereka ternyata baik-baik, tidak seperti yang sering
dituduhkan sebagian orang. Saya diperlakukan dengan baik, bukan seperti musuh. Di situlah
saya mulai berpikir bahwa Islam benar-benar agama yang damai. (Rahim, hlm. 48).

“Dari mana dik?” tanyanya dengan sopan disertai dengan senyum yang ramah.
“Sekolah,” jawabku sekenanya.
Setelah itu, diam. Ia juga tidak berbicara banyak. (2)Tapi dalam diam, setiap sekali matanya
membentur bola mataku pasti ia tersenyum ramah. Ramah sekali. (Paelori, hlm. 56).

Kutipan di atas menggambarkan perbincangan yang sopan antara Daeng Sallo dan Indo
Upe. percakapan tersebut sangat relefan dengan nilai sipakatu adalah sifat memanusiakan
manusia. Daeng Sallo dan Indo Upe menggunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai
antara suami istri seperti bagaimana mestinya. Di sisi lain, menggambarkan betapa sopannya
Indoupe berbicara dengan suaminya Daeng Sallo. Kepada seorang sopir yang belum dikenalnya.
Ini sangat menampakkan rasa sipakatau. sifat memanusiakan manusia tidak melihat manusia dari
segi jabatan, pangkat dan status sosial.
Cerita Yohanna kepada seorang sahabatnya ketika Yohanna diperlakukan dengan baik
oleh umat islam meskipun dia seorang nasrani. Ini membuktikan nilai siapakatau manusia tidak
meliha dari segi budaya, ras, dan agama.
Percakapan yang sangat sopan dan ramah, kutipan diatas tersebut menggambarkan nilai
siapakau yang yang mengedepankan nilai kesopanan dan keramahan ketika sedang berbicara
tanpa memandang dari segi apa pun.
2. Sipakainge (watak)
Sipakainge', merupakan sifat saling mengingatkan. Hal yang tak dapat di pungkiri dari
manusia yaitu, memiliki kekurangan. Karena tentunya manusia tidaklah sempurna, walaupun
manusia adalah ciptaan-Nya yang paling sempurna di muka bumi ini.
Sipakainge sangat erat hubungannya dengan watak yaitu sifat batin manusia yang
mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya seperti: tabiat, budi pekerti. Hal tersebut dapat
dilihat dari petikan cerpen sebagai berikut :
(1)“Jangan ganggu..., Jangan ganggu dia! Anakku tidak bersalah. Dia tidak bersalah...! Daeng
Sallo berteriak dengan mata tajam menancap satu-persatu orang di sekelilingnya. (Paelori, hlm.
12)

(1)“Torisalo yang kamu musuhi itu adalah anakku. Adalah darah dagingku. (2)Jika kamu
membunuhnya, berarti kamu juga telah membunuhku...!!!” suara Daeng Sallo semakin meninggi
dengan matanya tetap jalang meneliti orang-perorang yang mengelilinya. (Paelori, hlm. 12).

“Aku pernah bertemu dengan Karaeng Labakang. Beliau menanyakan kamu. (1)Jalan-jalanlah ke
rumahnya nanti. Putri bungsunya sudah mengajar di pesantren. (Rahim, hlm. 18).

(1)“Tolong Pak, larang mereka meninggalkan tempat”.Pinta Nurul pada seorang pedagang yang
memakai peci putih
(2)“Mari bapak-bapak kita hadapi mereka”. Ajak Nurul kepada para pedagang yang berani
tinggal di tempatnya. (Rahim, hlm.50).

(1)“coba Bapak pikir, seandainya yang berjualan di tempat ini adaalah orang tua atau saudara
Bapak, (2) apakah bapak tega untuk melakukan tindakan seperti ini?” Nurul menatap petugas
yang bertubuh tinggi di depannya. Sama sekali tidak gentar menghadapinya. (Rahim, hlm. 51).

(1)“Dia telah mengambil uang dengan meminjam kepada warga di sini. Hampir seluruh warga
telah diutangi. Dan kini dia sudah kabur entah ke mana,” jelas pemuda itu, yang juga katanya ia
termasuk korbannya. (Paelori, hlm. 62).
“ Sabar, Pak Faisal.” Pak Kepala mencoba menenagkan Pak Faisal. (Rahim, hlm. 92).

(1)“Astagfirullah. Daeng tidak perlu marah seperti itu. Istigfar, Daeng. Kan baru saja selesai
shalat, masa marah-marah seperti itu.
(2)Daeng kecewa ? Daeng menyesal menyumbangkan tanah untuk sekolah ini?” suara Bu
Abidah menahan kekecewaan. Wajahnya keras dan pucat, menutupi kelembutan yang selama ini
selalu melekat di sana. (Rahim, hlm. 94).

Kutipan menggambarkan jiwa sipakainge, terlihat ketika Daeng Sallo mengingatkan


kepada penduduk agar tidak membunuh torisalo yang dianggap anaknya. Seperti yang telah
diketahui bahwa sipakainge adalah bagaimana sifat yang saling mengingatkan. Hal ini terlihat
ketika Daeng Sallo mengingatkan dan meyakinkan warga penduduk bahwa Torisalo itu adalah
anaknya. Nilai sipakainge pun merupakan sifat saling mengingatkan dan terlihat jelas dari
sebuah saran atau mengingatkan, seperti ketika Nurul mencoba mengingatkan para pedagang
agar tetap bertahan dan mengajak para pedagang untuk melawan para petugas yang ingin
menghancurkan dagangan para pedagang dan mencoba mengadakan pengrusakan tempat para
pedagang.
Di sisi lain, terlihat pemuda itu mencoba mengingatkan agar tidak langsung percaya
sama orang lain walaupun kelihatannya baik dan sangat sopan karena tidak menutup
kemungkinan orang itu adalah penipu dan sengaja bersembunyi di balik kesederhanaannya.
Sipakatau pun terlihat ketika Ibu Abidah mengingatkan suaminya Pak Faisal agar tetap sabar dan
iklas atas cobaan yang dihadapinya.

3. Sipakalebbi (Kekeluargaan)
Sipakalebbi, sifat yang dilarang melihat manusia dengan segala kekurangannya. Seperti
mengingat kebaikan orang dan melupakan keburukannya. Manusia memiliki naluri yang senang
dipuji, jadi saling memuji dapat menjernihkan suasana dan mengeratkan tali silaturahmi.
Sipakalebbi tidak dipisahkan dalam bingkai kekeluargaan, karena kekeluargaan adalah
aspek yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik langsung maupun dalam
bentuk kelembagaan (keluarga dan masyarakat). Hal tersebut dapat dilihat dari petikan cerpen
sebagai berikut :
Latuwo kan paling suka daging burung belibis. .. Mumpung aku masih hidup. Kalau bukan aku,
siapa lagi yang akan mengangkap belibis untuk anak kita ?” Daeng Sallo bercerita dengan nada
sendu bercampur. Kadang-kadang berhenti sejenak. Meluruskan punggungnya yang sudah mulai
sakit ketika duduk lama. (Paelori, hlm. 7).

“Bukan anakku, bukan!” Daeng Sallo membela anaknya. (Paelori, hlm. 13).
“Ini oleh-oleh untukmu”
Bune gembira sekali dengan pemberianku. Wajahnya menyiratkan keceriaan.
“Terima kasih Karaeng” katanya sambil mendekap pemberianku. (Rahim, hlm. 22).

“Esse kan ? Siniko dulu” Wanita hamil itu memanggilnya dengan logam Makassar. Terpancar
senyum di wajahnya, Nurul bertambah bingung. Nurul berusaha untuk tersenyum, tapi senyum
itu tidak tulus. … “Jangan-jangan wanita itu ...ah... tidak jadi. Kita tidak boleh menuduh orang
tanpa bukti “ pikirnya. (Rahim, hlm. 45).

Nurul melirik jam tangan. Hari sudah siang, dia belum berbelanja. Dia pamit pada Yohana. …
Sekali lagi dia merangkul sahabat lamanya. Tanpa sepengetahuan …Yohana, Nurul memasukkan
selembar lima puluh ribu rupiah ke dalaam sakunya. (Rahim, hlm. 50).

“kemarin saya dapat telegram dari adik, dia diminta dikirimi uang untuk biaya pengobatan itu.”
Tuturnya tanpa aku minta, tatkala aku sempat terdiam bebererapa jenak.
… Aku agak terenyuh dengan penuturannya. … Naluri kemanusiaanku tak membantah
sedikitpun. Aku menganngguk. (Paelori, hlm. 59).
… “kalau Daeng ikhlas, tidak ada tapi-tapian. Aku sudah senang kita dapat menyumbangkan
tanah ini untuk anak-anak di sini. Itu sudah cukup . tak usah diungkit-ungkit lagi. Nanti hilang
pahalanya…. Bukan begitu yang sering Daeng nasihatkan kepada murid-murid kita dulu ?”.
(Rahim, hlm.97-98).
Kutipan di atas memperlihatkan nilai sipakalebbi yang merupakan sifat yang tidak
melihat manusia dari kekurangannya dan terlihat jelas dari kutipan tersebut, ketika Daeng Sallo
sangat memperjuangkan dan ingin membahagiakan anaknya walaupun anaknya yang
diyakininya itu adalah seekor buaya. Daeng Sallo rela mati membela seekor buaya yang diyakini
bahwa buaya itu adalah darah dagingnya yang pada saat itu akan dibunuh warga.
Hal yang serupa terlihat ketika seorang karaeng yang memberikan oleh-oleh kepada Bune
yang hanya orang biasa. Sama halnya dengan Nurul sangat menghargai orang lain walaupun
orang itu belum dikenalnya. Nurul pun sangat peduli dengan sahabat lamanya Yohana, walaupun
Yohana sekarang hanyalah orang miskin, bersedia menolong orang lain yang sedang kesusahan
walaupun orang itu belum tertalu dikenalnya. Keiklasan Ibu Subaedah telah menyumbangkan
tanahnya untuk anak-anak digunakan sebagai sekolah walau pada akhirnya dia harus terusir dari
tanahnya sendiri karena pembangunan sekolah.

Nasionalisme dalam Sastra Indonesia

Oleh: Dad Murniah


Pendahuluan Nasionalisme adalah an awareness of membership in a nation together with a desire
to achieve, maintain, and perpetuate the identity, prosperity, and power of the natio.(Suatu kesadaran
sebagai bangsa yang disertai oleh hasrat untuk memelihara, melestarikan dan mengajukan identitas,
integritas, serta ketang-guhan bangsa) (Mustafa Rejai,1991). Hal ini dapat dimaknai bahwa nasionalisme
adalah sikap atau perilaku yang diwujudkan atau diaktualisasikan dalam bentuk tindakan untuk
memelihara dan melestarikan identitas dan terus berjuang untuk memajukan bangsa dan negara, dengan
membasmi setiap kendala yang menghalangi di jalan kemajuan. Nasionalisme merupakan sebuah
penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling tidak dalam seratus
tahun terakhir. Tak ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang lepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa
nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda sama sekali. Berakhirnya perang dingin dan semakin
merebaknya gagasan dan budaya globalisme (internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga sekarang,
khususnya dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat
akseleratif, tidak dengan serta-merta membawa lagu kematian bagi nasionalisme. Fenomena nasionalisme
telah eksis sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis. Dalam sudut pandang ini, nasionalisme
dilihat sebagai konsep yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut
sebagai ethnie (Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi
memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme. Makna Nasionalisme yang kita yakini bermakna, antara
lain yaitu: 1) Suatu proses pembentukan, atau pertumbuhan bangsa-bangsa. 2) Suatu sentimen atau
kesadaran memiliki bangsa bersangkutan. 3) Suatu bahasa dan simbolisme bangsa. 4) Suatu gerakan
sosial dan politik demi bangsa bersangkutan. 5) Suatu doktrin dan/atau ideologi bangsa, baik yang umum
maupun yang khusus. Yang pertama adalah proses pembentukan bangsa-bangsa itu sangat umum. Proses
ini sendiri mencakup serangkaian proses yang lebih khusus dan acapkali membentuk objek nasionalisme
dalam pengertian lain yang lebih sempit. Yang kedua adalah kesadaran atau sentimen nasional, perlu
dibedakan dengan seksama dari ketiga penggunaan lainnya. Gerakan nasionalisme tidak akan dimulai
dengan aksi protes, deklarasi atau perlawanan bersenjata, melainkan dengan tampilnya masyarakat sastra,
riset sejarah, festival musik dan jurnal budaya. Bahasa dan simbolisme nasionalisme layak mendapatkan
perhatian lebih. Perlengkapan simbol-simbol nasional hanya dimaksudkan untuk mengekspresikan,
mewakili, dan memperkuat batas-batas bangsa, serta menyatukan anggota-anggotanya melalui suatu citra
yang sama mengenai kenangan. Gerakan nasionalis, tentu saja simbolisme nasional tidak dapat diceraikan
dari ideologi nasio-nalisme yang memberikan dorongan dan arah bagi simbol maupun gerakan. Bentuk
budaya bangsa dari kaum nasionalis tersebut adalah bangsa yang anggota-anggotanya sadar akan kesatuan
budaya dan sejarah nasional mereka. Mereka juga mengabdikan diri untuk menggali individualitas
nasional mereka melalui pendidikan dan institusi-institusi nasional. Selama beberapa tahun ini, sikap atau
tindakan seperti itu hampir tidak kita lakukan, dan pada akhirnya hal tersebut memudarkan rasa
kebanggaan kita terhadap apa yang selama ini kita agungkan, yaitu nasionalisme. Memudarnya rasa
kebanggaan bagi bangsa selama beberapa tahun belakangan ini, sesungguhnya disulut oleh menguatnya
sentimen kedaerahan dan semangat primordialisme pascakrisis. Sikap yang disebabkan oleh kekecewaan
sebagian besar anggota dan kelompok masyarakat terhadap nilai-nilai seperti keadilan dan peri-
kemanusiaan dan musyawarah yang sering hanya menjadi retorika kosong. Pemberantasan korupsi
terhadap para koruptor, penegakan hukum, dan keadilan yang sebenarnya sebagai sarana strategis untuk
membangkitkan semangat cinta tanah air dalam diri anak-anak bangsa hanya dijadikan alat untuk
melegitimasi sebuah kedudukan dan ini membuat generasi muda menjadi ti-dak berpendirian dan ragu
terhadap bangsa dan negaranya sendiri. Kita juga merasakan bahwa ada kecenderungan yang muncul
yang menampilkan bahwa semangat solidaritas dan kebersamaan pun terasa semakin hilang sejak
beberapa dekade terakhir. Boleh jadi, penyebab dari memudarnya rasa nasionalisme ini juga disebabkan
oleh karena paradigma tentang bangsa dan nasionalisme yang kita anut, berjalan di tempat. Padahal,
perkembangan nasional dan global menuntut paradigma yang disesuaikan dari waktu ke waktu, sesuai
dengan keadaan bangsa dan negara yang berdaulat. Dari dalam itulah lahir kesadaran berbangsa dan
bernegara yang pada hakikatnya merupakan kesadaran politik yang normatif dan merupakan landasan
suatu ideologi yang disebut nasionalisme. Dalam arti, nasionalisme sebagai suatu paham yang mengakui
kebenaran pikiran bahwa setiap bangsa-demi kejayaannya-seharusnya bersatu bulat dalam suatu
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari nasionalisme inilah lahirnya ide dan usaha perjuangan untuk
merealisasi negara bangsa. Di Indonesia, ide dan usaha seperti ini berkembang kuat pada tahun 1930-an
dan memuncak pada tahun 1940an. Persoalan nasionalisme di Indonesia merupakan realitas yang menjadi
lahan inspirasi subur bagi penciptaan karya sastra. Bahkan identitas kenasionalan karya sastra cukup
menentukan kelahiran sejarah sastra Indonesia. Ini berarti, nasionalisme bukan saja hadir sebagai sumber
inspirasi belaka, namun sekaligus hadir sebagai penanda eksistensi terhadap keindonesiaan sebuah karya
sastra. Ajip Rosidi menegaskan, bahwa kesadaran kebangsaan itulah yang menjadi penanda adanya
kesusastraan Indonesia. Kesadaran kebangsaan ini sebenarnya merupakan persoalan politis. Hal itu juga
menunjukkan bahwa persoalan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari persoalan politik. Sedangkan A.
Teeuw mengatakan, bahwa suatu ciri khusus perkembangan kesusastraan itu sebagian sejalan dengan
gerakan nasionalis yang dapat kita lihat dari penggunaan bahasa secara efektif dalam pergerakan
nasionalis. Hal tersebut mengakibatkan sastra sebagai seni, yang menggunakan media bahasa, benar-
benar memiliki peran politis dan budaya yang amat besar. Ideologi nasionalisme menjadi isu penting bagi
para sastrawan Indonesia sebenarnya muncul lebih dahulu sebelum keindonesiaan itu sendiri dirumuskan.
Cita-cita bangsa yang berdaulat jauh lebih dahulu muncul dibandingkan persoalan batas-batas
kewilayahan. Karya-karya Muhammad Yamin, Sutan Takdir Alisjahbana, Pramudya Ananta Toer, bahkan
Chairil Anwar, dan Amir Hamzah menunjukkan hal itu. Makalah ini ingin menunjukkan bagaimana
persoalan nasionalisme sebagai ideologi akan selalu menjadi sumber ide yang menarik bagi terciptanya
karya sastra. Selama nasionalisme menjadi paradigma yang terbuka dan membuka peluang untuk selalu
ditafsir dan dikaji, maka para sastrawan akan selalu menarik untuk mengangkatnya dalam karya sastra.
Jadi, akan terlihat hubungan antara sejarah sastra dan sejarah kebangsaan. Bagaimana sastrawan bekerja
dan memaknai perannya dalam keperluan membangun gagasan kesadaran nasionalisme. Apakah dapat
kita lihat kondisi sastrawan sekarang dibandingkan dengan sastrawan pendahulunya yang mengikuti
kelahiran negara Indonesia. Bagaimana perbedaan tersebut itu dihadirkan baik dalam pengungkapan atau
kesadaran tindakan. Tentu saja, sebagai sastrawan cara ungkap mereka mengenai nasionalisme berbeda
dengan para sejarawan, negarawan, atau politikus. 2. Nasionalisme dalam Sastra Indonesia Kesusastraan
Indonesia memang sering dibayangkan sebagai tangan-tangan tak terlihat dalam mendorong proses
pemersatuan daerah, mulai dari kampung-kampung, puak, suku-suku di Nusantara sampai menjadi satu
bentuk negara yang menggambarkan keindonesiaan. Sastra ibarat sihir yang terus-menerus memberikan
semangat magis bagi revolusi fisik. Ada semacam kepercayaan bahwa revolusi pra-Indonesia tidak akan
terwujud jika an sich diperjuangkan lewat konfrontasi bersenjata atau diplomasi internasional. Kebutuhan
terhadap legitimasi geografi mutlak dilakukan lewat kata-kata yang berpretensi sloganistik, menghasut,
memberikan impresi secara intens bagi penduduk di Nusantara, yang secara ideologis akan mengeraskan
betapa pentingnya berkumpul dalam sebuah rumah besar yang teduh bernama Indonesia. Puisi atau prosa
(cerpen, novel, atau drama) karya para sastrawan kita menunjukkan hal itu. Kemunculan sastra pada masa
kolonialisme tidak mungkin lahir begitu saja. Kesusastraan Indonesia sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari kebudayaan yang melahirkannya seolah wujud begitu saja, tanpa proses, tanpa pergulatan
budaya pengarangnya. Penegasan itu adalah sebuah bentuk pembenaran terhadap kajian sosiologi sastra
yang mencoba mengaitkan karya sastra, pengarang, dan situasi sosial dan budaya yang melingkupinya.
Tentunya kajian ini semakin memudahkan untuk menggambarkan bagaimana semangat nasionalisme
telah digenggam sastra sejak zaman kolonial serta masa prakemerdekaan. Beberapa karya yang dilahirkan
pada masa kolonialisme abad ke-19 memang belum bicara nasionalisme Indonesia. Meskipun demikian,
kebanyakan karya tersebut sudah bicara lokalistik, sebuah konsep nasionalisme yang lebih kecil-sama
seperti primordialisme. Seperti pada cerpen Tjerita Langkara dari Orang Isi Negeri Jang Soeloeng di
Poelaoe Djawa yang bercerita tentang perjalanan seorang Raja Rum (Romawi) menuju pulau Jawa yang
dianggap negeri sepi sesuai keinginan raja. Dalam perjalanannya itu prajurit Raja Rum tidak dengan
mudah menaklukkan Jawa yang amat besar dan dihuni raksasa, setan, dan jin. Hal itu menunjukkan
bahwa pengarang (tidak disebutkan) sudah memiliki kesadaran akan rasa cintanya terhadap tanah
kelahirannya, Pulau Jawa. Pengarang seolah menegaskan bahwa sebagaimana kolonialisme, itu selalu
mendapat perlawanan dari penghuni asli. Namun karena keterbatasan imajinasi, pengarang lebih
memberikan kemenangan pada Raja Rum, sehingga Raja Rum akhirnya mampu menguasai Jawa. Hal
yang sama dengan kondisi kolonialisme Indonesia selama tiga setengah abad oleh Belanda. Sebuah
kondisi yang menggambarkan superioritas penguasa dan ketidakberdayaan orang yang mendiami
kepulauan nusantara (Indonesia ketika itu). Bahasa yang kemudian disebut sebagai bahasa Indonesia itu
pun baru digunakan setidaknya dalam karya sastra berbentuk syair dalam Sair Kadatangan Sri Naharaja
Siam di Betawi yang terbit pada 1870. Syair tanpa nama pengarang itu diketahui waktunya Rabu, 5 April
1870 (kutika rebo ada harinya/Lima april ada tanggalnya). Seperti terlihat pada judul, syair ini
menceritakan sambutan yang meriah pihak pemerintah Hindia Belanda terhadap kedatangan Raja Siam
(Thailand). Di kiri-kanan jalan dipasang bendera Belanda dan bendera Thailand. Kelompok Drum Band
dikerahkan. Masing-masing ruas jalan dijaga oleh tentara Belanda sampai-sampai penduduk tidak bisa
melihat rombongan Raja yang melewati jalan. Apalagi menggunakan jalanan seperti biasanya. Meriahnya
sambutan menggambarkan situasi pesta pora di tengah-tengah kemiskinan yang membelit penduduk
Inlander. Sebuah satir metaforis yang menarik dilontarkan dalam syair ini ketika rakyat sudah sia-sia
untuk bisa menonton dari dekat. “Siapa saja yang tidak bisa melihat dari dekat, sebaiknya “berdiri nonton
la dari jauh / sebab hati nyang punya mau / tinggal berdiri seperti kayu.” (Saifur Rohman, 2002).
Terbentuknya syair tersebut karena tekanan pihak kolonialis kepada rakyat Indonesia. Bagaimana
eksistensi yang tertindas tersebut akan memunculkan perlawanan dari rasa tertekan. “Begitu adanya
nyang orang kecil / sana sini berdiri terpencil / mau menonton tidak berhasil / mala di larang tida
dipanggil.” Pengarang menambahkan lagi identitas itu dengan mengatakan: “Orang kecil dan nyang
terhina / Suda di pikir tida berguna / Apa lagi orang slam dan cina / di pegat sini di pegat sana.” Karya-
karya tersebut merupakan mozaik yang akan menjadi fondasi sebuah ideologi yang berlandaskan pada
rasa ketertindasan. Nasionalisme mulai muncul di benak sastrawan pada masa itu. Hal tersebut dijelaskan
oleh Maman S. Mahayana yang menunjukkan, bahwa di akhir abad 19 telah ada beberapa majalah sastra
yang memuat karya sastra berupa hikayat, cerita, dongeng, syair, pantun dan lain-lain seperti yang ditulis
dalam subjudul sebuah majalah Sahabat Baik, 1880 di Betawi. Selain majalah itu disebutkan sebelumnya
juga sudah ada yakni Bianglala, 1868 dan Selompret Melajoe, 1860-1910 di Semarang. Kemudian pada
awal abad ke-20 semakin banyak muncul majalah sastra seperti Pewarta Prijaji (Semarang,1900), Bintang
Hindia (Bandung, 1903), Poetri Hindia (Bogor, 1908), Boktok (Surabaya,1913). Kita lihat pula, misalnya,
bagaimana karya-karya sastra pra-Indonesia seperti novel Salah Asuhan (Abdoel Moeis), Siti Nurbaya
(Marah Rusli), Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis), Keluarga Gerilya (Pramudya Ananta Toer), dan
cerpen-cerpen Idrus menjadi komparasi kritis bagaimana idealnya bangunan rumah Indonesia kelak.
Seandainya hamparan wacana mengenai perlawanan kaum muda terhadap tradisi asal tidak ditulis dalam
hamparan karya sastra, dan menyentuh hati pembaca untuk dijadikan bagian dari wacana bersama, bukan
tidak mungkin ajakan untuk menyatukan diri dalam Sumpah Pemuda akan beroleh hasil yang lain sama
sekali. Pakar asing yang menganalisis masalah nasionalisme adalah Keith Foulcher (1991). Dia meneliti
sastra zaman Pujangga Baru (1933-1941). Fokus kajian Foulcher pada usaha sastrawan dalam mencari
bentuk nasio-nalisme yang ideal pada masa-masa tersebut yang direpresentasikan dalam karya-karya
Pujangga Baru. Ahmad Sahal (1994) membicarakan nasionalisme sebagai satu sikap perlawanan terhadap
narasi nasionalisme yang lebih mapan (kolonial). Kajian Sahal difokuskan terhadap karya Pramudya
Ananta Toer, yaitu Rumah Kaca. Hilmar Farid (1994) juga pernah menulis masalah nasionalisme dalam
sastra Indonesia. Akan tetapi, fokus kajian Farid lebih pada proses-proses peranan penciptaan bahasa
sebagai salah satu pengikat nasionalisme Indonesia. Di samping itu, pendekatan Farid dalam tulisan
tersebut lebih berat pada pendekatan sejarah. Fa-ruk (1994) pun menulis masalah nasionalisme sebagai
respons terhadap tulisan Foulcher. Tidak berbeda dengan Foulcher, Faruk mengkaji data-data sastra pada
masa Pujangga Baru. Beberapa tulisan tersebut, tidak secara khusus mengeksplorasi masalah identitas
tokoh-tokoh dalam karya sastra dan kaitannya dengan ma-salah nasionalitas. Masih tentang nasionalisme,
Aprinus Salam menunjukkan bagaimana sejumlah tokoh uta-ma dalam novel-novel Balai Pustaka, dalam
prosesnya, menjadi orang asing di rumah sendiri. Tokoh utama dalam Siti Nurbaya, Salah Asuhan,
Samsul Bahri atau Hanafi, menjadi tidak betah dan kurang cocok di ling-kungan dan adat istiadat
setempat (asalnya). Memang, yang perlu diperhatikan adalah perasaan tidak kerasan itu setelah sebagian
dari tokoh-tokoh dalam cerita itu mengenal atau ke luar dari desanya, dan di kemudian hari, melihat dan
mencoba memosisikan kembali dirinya di rumah dan kampungnya. Berikut dikutipkan tiga hal perihal
Hanafi dalam Salah Asuhan. "Pada Hanafi sudah nyata tak ada keteguhan hati di dalam agamanya, sedang
bangsanya sendiri pun sudah dibelakanginya." (h. 52) "Hanafi menyumpahi dirinya, karena ia dilahirkan
sebagai Bumiputra!" (h. 53.) "Bukanlah ia seketika sudah memuliakan bangsanya dan meninggikan
derajat Bumiputra, tetapi ia tak suka memberi kepada siapapun juga di luar kaum bangsa itu, buat
menghinakannya dengan tidak memberi alasan" (h. 57) “Anak itu lama di rantau orang, disangkanya
mudah saja ia mengubah adat kita.” (h. 71). Pertanyaan yang segera muncul ke permukaan adalah, di
mana Hanafi? Proses apa yang menyebabkan seseorang tergusur dari rumahnya, dari dalam dirinya
sendiri atau dari luar, atau dari luar kemudian menjadi dalam dirinya sendiri? Seseorang menjadi orang
luar ketika ia tidak diterima oleh wacana dominan tentang konsep rumah dalam suatu tempat tertentu.
Proses-proses yang menyebabkan seorang menjadi orang dalam dan orang luar, adalah proses-proses
konsolidasi yang dilakukan oleh institusi-institusi tertentu (kelas atau kelompok-kelompok kepentingan),
berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai tertentu, ataupun pengetahuan tertentu, atau bahkan seperti
partai-partai atau lembaga-lembaga tertentu, sehingga seseorang menjadi tersubjeksi oleh proses
konsolidasi tersebut. Dalam hal tersebut, Aprinus Salam menunjukkan bagaimana terjadi proses tawar-
menawar, apakah ia harus kembali menjadi orang dalam, atau tetap di luar. Tawar-menawar itu demikian
keras dan mungkin sulit dipertemukan. Jika Hanafi orang luar sesuatu, tentu seharusnya ia orang dalam
sesuatu yang lain. Sementara itu, ternyata ia juga tidak atau belum diterima menjadi orang dalamnya
orang luar itu. Di sinilah problematikanya, Hanafi berada dalam serba perbatasan, ia menjadi sesuatu
yang ambivalen. Ia tidak atau belum masuk ke satu sisi tertentu. Sebagai contoh, dikutipkan teks berikut
dari Siti Nurbaya: "Seorang dari anak muda ini, ialah seorang anak laki-laki, yang umurnya kira-kira 18
tahun. Pakaiannya baju jas tutup putih dan celana pendek hitam, ….. . Topinya topi rumput putih, yang
biasa dipakai bangsa Belanda." (h. 9). "Jika dipandang dari jauh, tentulah akan disangka, anak muda ini
seorang anak Belanda, yang hendak pulang dari sekolah. Tetapi jika dilihat dari dekat, nyatalah ia bukan
bangsa Eropa; karena kulitnya kuning sebagai kulit langsat, rambut dan matanya hitam sebagai dawat."(h.
9). "Teman anak muda ini, ialah seorang anak perempuan yang umurnya kira-kira 15 tahun. Pakaian gadis
ini pun sebagai pakaian anak Belanda." (h. 9). "Menurut bangun tubuh, warna kulit dan perhiasan gadis
ini, nyatalah ia bangsa anak negeri di sana; anak orang kaya atau orang yang berpangkat tinggi." (h.10).
Akan tetapi, jika berangkat dari kemungkinan ideologi pengarang, tampaknya Abdul Moeis melalui karya
Siti Nurbaya berpihak pada adat-istiadat dan kampung halamannya. Mungkin pembaca juga “digiring”
untuk tidak menyukai orang seperti Hanafi. Seseorang yang pandangan dan gaya hidupnya sudah
kebelanda-belandaan, bangsa penjajah. Di sini Abdul Moeis bermaksud membangun sikap nasionalisme
dan antikolonial. Hanya, proses konsolidasi yang memenangkan pertarungan itu bukan atas nama bangsa,
tetapi konsolidasi atas nama agama (Islam). Aprinus Salam juga memberikan contoh bagaimana Sutan
Takdir Alisjahbana mencoba melihat situasi yang menggambarkan sikap keberpihakan pada orang luar
seperti diceritakannya secara panjang lebar dalam Layar Terkembang. Takdir tampaknya tidak berangkat
atas nama agama, tetapi lebih atas nama rasionalisme (tentu karena ia berkenalan dan berkat konstruksi
“pendidikan modernnya”). Diceritakan dalam novel itu, Tuti yang progresif, rasional, emansipatif, efektif,
sesuatu yang berlawanan dengan sifat-sifat Maria. Jika kita bandingkan dengan novel lain yaitu Belenggu
karya Armyn Pane, maka kita melihat Layar Terkembang yang rasional kebarat-baratan (dari sudut
pandang yang menolaknya) dan Belenggu menjadi lebih menarik, karena, siapa yang menjadi orang luar
(asing) (Tini?) atau siapa menjadi orang dalam (Yah?) menjadi tidak jelas batas-batasnya. Dalam banyak
hal Tono memiliki kenangan dan impian terhadap kemungkinan pilihannya kepada Yah, sesuatu yang
dianggap lebih dan atau atas nama tradisi(-onalisme). Akan tetapi, karena Yah (tradisionalisme) juga
belum dapat didefinisikan secara cukup jelas, maka tidak heran jika akhir cerita mengambang. Ciri-ciri
wacana yang mengangkat batas-batas itu, sesungguhnya belum bergeser jauh hingga ke novel-novel
1970-an. Cerpen Umar Kayam, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan menawarkan ilustrasi yang penting.
Di ketinggian sebuah hotel di kota besar Amerika, yang dibayangkan Marno adalah sebuah tempat di
desanya. Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela,
mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya
di desa. Walaupun Marno sudah cukup lama di AS dan menimba ilmu di sana, Marno tidak akan pernah
menjadi orang Amerika (lahir batin) karena sejarah sosial-psikologisnya dibesarkan di desa (Jawa). Jane
dan Marno berselisih paham tentang sesuatu yang dilihat secara berbeda karena latar belakang kultural
dan psikologis mereka berbeda. Akan tetapi, apakah Marno masih bisa disebut Jawa, atau bahkan
mewakili prototipe orang Indonesia? Dengan semangat yang berbeda, Nh. Dini dalam Pada Sebuah Kapal
(1973), menggambarkan tokoh-tokohnya sebagai orang yang selalu merindukan tanah air, membanggakan
dirinya sebagai orang Indonesia (Jawa), walaupun dalam praktik kesehariannya, Sri, tokoh novel itu, tidak
dapat sepenuhnya disebut sebagai orang Indonesia Jawa. Hal tersebut tampak dari cara Sri melihat bangsa
dan budaya (Jawa), dan bagaimana ia hidup seperti orang Eropa (Prancis). Demikianlah, persoalan
nasionalisme di Indonesia merupakan lahan inspirasi yang subur bagi penciptaan karya sastra. Bahkan,
identitas kenasionalan karya sastra merupakan isu yang panas dalam menentukan kelahiran sejarah sastra
Indonesia. Ini berarti, nasionalisme bukan saja hadir sebagai sumber inspirasi belaka, namun sekaligus
hadir sebagai penanda eksistensi terhadap keindonesiaan sebuah karya sastra. Oleh karena itu, tak
berlebihan ketika Ajip Rosidi mengatakan, bahwa kesadaran kebangsaan itulah yang menjadi penanda
kesusastraan Indonesia. Kesadaran kebangsaan ini sebenarnya merupakan persoalan politis. Hal itu juga
menunjukkan bahwa persoalan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari persoalan politik. A. Teeuw
juga berpendapat, bahwa suatu ciri khusus perkembangan kesusastraan itu sebagian sejalan dengan
gerakan nasionalis. Karena bahasa bisa sangat efektif dalam pergerakan nasionalis, maka sastra sebagai
seni yang menggunakan media bahasa benar-benar memiliki peran politis dan budaya yang amat besar.
Ideologi nasionalisme menjadi isu penting bagi para sastrawan Indonesia sebenarnya telah muncul lebih
dulu sebelum keindonesiaan itu sendiri dirumuskan. Cita-cita bangsa yang berdaulat jauh lebih dahulu
muncul dibandingkan persoalan batas-batas kewilayahan. Muhamad Yamin di tahun 1921, melalui
puisinya: Bahasa, Bangsa merindukan tanah airnya : "di mana Sumatra, di situ bangsa/di mana perca, di
sana bahasa Andalasku sayang, jana benjana‘" Dalam puisi tersebut, Yamin mengidentifikasi tanah airnya
masih terbatas pada daerah kelahirannya saja. Bangunan imajinasi sebuah bangsa pada diri Yamin adalah
masih terbatas pada kedaerahan saja. Namun delapan tahun setelah Yamin menulis puisi itu, rasa
nasionalisme dan identifikasinya terhadap tanah air telah bergeser lebih luas, tak lagi sebatas Sumatra,
tapi meluas keseluruh nusa, sebagaimana ia ungkapan dalam puisinya "Indonesia, Tumpah Darahku".
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 makin mengukuhkan persolan nasionalisme dalam konstelasi sastra
Indonesia. Majalah Poedjangga Baroe dengan penuh kesadaran meneriakkan bahwa kesusastraan
Indonesia mempunyai tanggung jawab dan kewajiban luhur yaitu menjelmakan semangat baru bangsa
Indonesia. Dengan kesadaran akan semangat nasionalisme, majalah Poedjangga Baroe bersemboyankan
“pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”.
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, harus diakui, merupakan
realisasi nasionalisme Indonesia. Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dimulai pada titik ini.
Persoalan nasionalisme dalam sastra Indonesia berkembang tak hanya mempersoalkan persoalan identitas
kebangsaan saja, namun bergeser pada persoalan revolusi untuk mempertahankan kemerdekan dari
kolonialisme. Pada periodisasi ini, bermunculan karya-karya sastra yang berlatar perang revolusi
mempertahankan kemerdekaan. Di Tepi Kali Bekasi dan Keluarga Gerilya karya Pramudya Ananta Toer
tak hanya sekadar berkisah pada kepedihan-kepedihan akibat perang saja, namun juga menggambarkan
gelora perjuangan fisik bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Dalam novelnya yang berikut
yaitu Arus Balik (1995), Pramudya Ananta Toer menampilkan bagaimana nasionalisme itu hadir dalam
setiap hati bangsa Indonesia pada masa itu. Tokoh yang digambarkan Pramudya merupakan sosok yang
menyampaikan sebuah pesan tersirat. Tokoh Wiranggaleng sebenarnya mengajak kita untuk kembali
memiliki watak pesisir, yang senantiasa dahaga akan asinnya air samudera, menyadarkan kita, bahwa,
bumi kita sebenarnya adalah lautan bukan daratan Jawa semata. Semangat bahari pada tokoh
Wiranggaleng, sebenarnya tidak jauh beda dengan pandangan kolektif penggarangnya, Pramoedya
Ananta Toer. Setelah mendengar petuah-petuah dan cerita dari Rama Cluring, dan melihat sendiri
kegagahan Raden Pati Unus dalam menghalau Perangi (Portugis), Wiranggaleng kemudian menjadi sadar
bahwa bumi atau tanah air bangsa kita bukan hanya daratan saja, melainkan juga samudera yang
mengelilinginya. Jika dibandingkan dengan luas lautan, daratan kita bukan apa-apa. Wiranggaleng
bersama kekasihnya Idayu, akhirnya memilih untuk menetap di pesisir Tuban dan untuk ikut serta
mempertahankan tanah Tuban dari Portugis. Suatu ketika, Wiranggaleng beserta pasukannya membantu
pasukan Pati Unus untuk merebut Malaka dari tangan Portugis, namun upaya yang mereka lakukan gagal.
Bahkan Portugis berhasil mengekspansi kerajaan-kerajaan kecil di tanah Jawa. Portugis berhasil
menguasai mereka, karena melihat kerajaan-kerajaan di Jawa terjebak dalam nasionalisme sempit, lebih
mementingkan angkatan darat dan saling berebut tanah kekuasaan. Seandainya Pati Unus tidak digantikan
saudaranya Sultan Trenggono, mungkin kekuatan angkatan laut dalam mempertahankan kerajaan-
kerajaan di Jawa akan lebih kuat. Pati Unus memang mencita-citakan agar kita bersatu, seperti halnya
Patih Gajah Mada, karena dengan semangat nasionalisme kita bisa mengalahkan Portugis saat itu. Karya
lain adalah Royan Revolusi (karya Ramadhan KH), Jalan Tak Ada Ujung, Tak Ada Esok (karya Mochtar
Lubis), dan Pulang (Toha Mohtar) menampakkan napas yang sama. Sedangkan pada genre puisi, Chairil
Anwar lewat sajak-sajaknya, misalnya "Aku", "Persetujuan dengan Bung Karno", "Kerawang Bekasi",
"Diponegoro" dengan lantang meneriakkan semangat patriotisme. Demikian juga sajak-sajak sastrawan
lain seperti Toto Sudarto Bachtiar, Rendra, Subagyo Sastrowardoyo menggambarkan semangat yang
sama. 3. Penutup Menurut John Hutchinson (1987), nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena
budaya daripada fenomena politik karena dia berakar pada etnisitas dan budaya pramodern. Kalaupun
nasionalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik, hal tersebut bersifat superfisial karena
gerakan-gerakan politik nasionalis pada akhirnya dilandasi oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi
krisis identitas kebudayaan. Pada sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana
mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan
kesamaan budaya. Pemahaman komprehensif tentang nasionalisme sebagai produk modernitas hanya
dapat dilakukan dengan juga melihat apa yang terjadi pada masyarakat di lapisan paling bawah ketika
asumsi, harapan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat pada umumnya terhadap ideologi nasionalisme
memungkinkan ideologi tersebut meresap dan berakar secara kuat (Eric Hobsbawm, 1990). Nasionalisme
hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang
menjadi referensi identitas sosial. Memang, persoalan nasionalisme sebagai ideologi akan selalu menjadi
sumber ide yang menarik bagi terciptanya karya sastra. Selama nasionalisme menjadi paradigma yang
terbuka, yang membuka peluang untuk selalu ditafsir dan dikaji, maka para sastrawan akan selalu menarik
untuk mengangkatnya dalam karya sastra. Tentu saja, sebagai sastrawan cara ungkap mereka mengenai
nasionalisme berbeda dengan para sejarawan, negarawan, atau politikus. Dan pemikiran mereka berikut
cara ungkapnya akan menjadi pembanding yang menarik, bahkan bisa sebagai wacana tandingan bagi
arus-arus pemikiran yang berkait dengan persoalan nasionalisme. Membaca Arus Balik (1995) karya
Pramudya Ananta Toer, misalnya, berarti juga melihat bayangan bangsa kita sendiri. Sekarang
Nasionalisme mulai luntur dan digantikan nasionalisme-nasionalisme daerah yang hanya mementingkan
pribadi semata. Dulu, nenek moyang kita adalah para pelaut yang hebat, memiliki rasa nasionalisme yang
tinggi untuk mempertahankan keseluruhan tanah Ibu Pertiwi kita. Mereka sadar, ancaman para
ekspansionaris dari laut, lebih berbahaya dan penting, dari sekedar berperang untuk merebutkan tanah
kekuasaan. Dengan memudarnya nasionalisme, yang terutama disebabkan oleh begitu tingginya
ketidakadilan; korupsi yang merajalela dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang tidak
diselesaikan secara tuntas lewat jalur hukum, dan lain-lain, maka musuh bangsa yang paling utama
sekarang ini adalah bukan penjajah, bukan sikap ekspansif atau sikap agresor negara tetangga, melainkan
birokrasi yang korup, ketidakadilan dan/atau ketidakmerataan ekonomi dan politik, kemiskinan,
kekuasaan yang sewenang-wenang, dan sebagainya. Pemberantasan korupsi yang hanya retorika belaka,
pelanggaran HAM yang tidak diselesaikan lewat jalur hukum hingga tuntas, ketidakadilan antara pusat
dan daerah dan sebagainya harus segera diperhatikan secara serius. Sosiolog Talcott Parsons dalam buku
Social System menyatakan, jika suatu masyarakat ingin tetap eksis dan lestari, ada empat paradigma
fungsi (function paradigm) yang harus terus dilaksanakan oleh masyarakat bersangkutan: Pertama, pattern
maintenance, yaitu kemampuan memelihara sistem nilai budaya yang dianut karena budaya adalah
endapan perilaku manusia. Budaya masyarakat itu akan berubah karena terjadi transformasi nilai dari
masyarakat terdahulu ke masyarakat kemudian, tetapi dengan tetap memelihara nilai-nilai yang
dianggapnya luhur, karena tanpa hal itu akan terbentuk masyarakat baru yang lain. Kedua, kemampuan
masyarakat beradaptasi, karena dunia berubah dengan cepat. Sejarah membuktikan banyak peradaban
masyarakat yang telah hilang karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dunia. Masyarakat yang
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan serta memanfaatkan peluang yang timbul akan unggul.
Ketiga, adanya fungsi integrasi dari unsur-unsur masyarakat yang beraneka ragam secara terus-menerus
sehingga terbentuk kekuatan sentripetal yang kian menyatukan masyarakat itu. setiap masyarakat bangsa,
lebih-lebih yang sangat heterogen seperti bangsa kita, senantiasa memiliki entropi bangsa, yaitu unsur-
unsur dalam negara yang oleh dinamika internalnya berkembang secara desduktrif, menghancurkan
negaranya sendiri. sama seperti sel-sel yang membentuk tubuh kita yang dapat berubah menjadi kanker
yang dapat membinasakan tubuhnya sendiri. berkembangnya secara ekstrem dan sempit etnosentrisme,
primordialisme dan fanatisme golongan, merosotnya pluralisme dan toleransi, serta merosotnya
kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan berbagai friksi secara santun adalah bentuk-bentuk entropi
bangsa yang dapat mencerai-beraikan bangsa yang heterogen ini. Keempat, masyarakat perlu memiliki
goal attainment atau tujuan bersama yang dari masa ke masa bertransformasi karena terus diperbaiki oleh
dinamika masyarakatnya dan oleh para pemimpinnya. Jika negara kebangsaan Indonesia terbentuk oleh
kesamaan sejarah masa lalu, maka ke depan perlu dimantapkan oleh kesamaan cita-cita, pandangan,
harapan, dan tujuan tentang masa depannya. Nasionalisme kita sekarang bukan lagi berkaitan dengan
penjajah, atau terutama terhadap perilaku ekspansif atau agresor-negara tetangga, melainkan harus
dikaitkan dengan keinginan untuk memerangi semua bentuk penyelewengan, ketidakadilan, perlakuan
yang melanggar HAM dan lain-lain. Artinya, nasionalisme saat ini adalah usaha untuk mempertahankan
eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran akibat korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Perilaku
korup, menggelapkan uang negara, memanfaatkan segala fasilitas dalam lingkup kekuasaannya demi
memperkaya diri, berperilaku sewenang-wenang dalam menjalankan roda kekuasaan, tidak menghormati
harkat dan martabat orang lain, gemar menerima dan menyogok uang pelicin, uang semir, uang kopi dan
sebagainya, adalah perilaku antinasionalisme yang harus diberantas. Catatan kita ke depan adalah
bagaimana menumbuhkan semangat nasionalisme -cinta tanah air dalam diri anak-anak bangsa. Harus
kita bangkitkan semangat untuk berperilaku jujur, berdisiplin, tidak korup dan berani untuk melawan
segala bentuk ketidakadilan, kesewenang-wenangan kekuasaan dan lain-lain, di samping semangat dan
keterampilan fisik seperti militer untuk menghadapi setiap kekuatan yang mengganggu kedaulatan negara
Indonesia. Kita dapat melihat sebagai contoh karya novel di tahun yang kondisi kehidupan bukan dalam
masa kolonialisme, antara lain karya Es Ito. Seperti dalam Rahasia Meede dan Negara Kelima yang
mengaitkan fakta-fakta sejarah yang menarik tentang bangsa ini. Selain itu gambaran realita kehidupan
metropolitan yang telah diracuni oleh Barat sehingga melupakan kearifan dan kebesaran bangsanya
sendiri cukup membuat sindiran yang bagus dan membuat buku ini mewakili pemikiran rasa nasionalime,
terutama bagi para generasi muda yang tanpa sadar telah diracuni oleh-pikiran-pikiran Barat. Penggunaan
latar sejarah yang rumit dan memasukkannya dalam cerita ini menjadi daya tarik tersendiri. Meskipun
terkadang fakta-fakta sejarah yang ada dihubungkan menjadi sebuah teori konspirasi yang terkesan
mengada-ada menjadi sesuatu yang tampak masuk akal. Penggunaan latar sejarah sebagai pembentuk
misteri mirip dengan cerita dalam Da Vinci Code dan National Treasure yang untuk memecahkan sebuah
misteri, harus menyelami sejarah bangsa sendiri (yang selama ini sering dianggap tidak penting). Cerita
pada novel pertama Rahasia Medee menceritakan tentang pembunuhan berantai yang terhubung dengan
gerakan radikal Anarki Nusantara serta perburuan Harta Karun VOC. Sedang dalam buku kedua yang
berjudul Negara Kelima menceritakan tentang pembunuhan berantai yang berhubungan dengan teori
keberadaan Atlantis. serangkaian aksi teror yang diduga digalang oleh Kelompok Patriotik Radikal
(KePaRad) mengacaukan sejumlah situs pemerintah, sistem perbankan, dan sistem keamanan di beberapa
pusat keramaian. Keinginan mereka dengan jelas dapat diketahui dari pesan yang mereka tinggalkan
dalam setiap aksinya: Bubarkan Indonesia, Bebaskan Nusantara, dan Bentuk Negara Kelima.
Pembunuhan putri seorang perwira menengah Polda Metro Jaya menjadi titik awal untuk membongkar
siapa tokoh KePaRad ini sebenarnya. Tapi tidak hanya itu yang terbongkar. Konspirasi di balik tembok
lembaga kepolisian pun turut terancam dengan ditumbalkannya seorang inspektur bernama Timur
Mangkuto. Pelarian sang inspektur menyajikan teka-teki tanpa akhir. Setiap kali misteri lama terbongkar,
misteri baru bermula. Seiring dengan itu, teka-teki mengenai Atlantis dan kaitannya dengan kejayaan
Nusantara pada masa lalu secara perlahan ikut terkuak. Namun, benarkah Indonesia akan berakhir demi
terbentuknya Negara Kelima? Novel-novel ini berisi aksi, konspirasi, persahabatan, pengkhianatan,
nasionalisme, dan sindiran-sindiran sosial yang sangat menarik. Semangat nasionalisme lebih ditonjolkan
daripada pemikiran-pemikiran materialisme yang mengagungkan Barat serta mengkerdilkan Timur
seperti yang ada dalam buku-buku Barat. Mengacu pada karya novel yang ada tersebut, nasionalisme
masih dituangkan pemikirannya oleh sastrawan Indonesia dengan gayanya. Ide-ide mengeni nasionalisme
muncul bukan berlandaskan kolonialisme sebuah negara asing, namun kolonialisme yang dilakukan oleh
manusia sebangsanya dan ini yang dicoba perangi melalui karya sastra. Sastra dapat menyuarakan
ideologi yang diyakini pengarangnya. Ideologi yang muncul dalam teks sastra, tak hanya berupa sikap
pandangan ideologis pengarangnya, namun bisa pula melalui teks sastranya tersebut pengarang
memunculkan berbagai tafsiran bahkan menawarkan wacana tandingan atas sebuah ideologi. Dalam
situasi demikian, pengarang akan memunculkan berbagai tawaran sebagai bentuk counter-ideology
terhadap sebuah ideologi tertentu.. Ideologi merupakan hal yang sangat subjektif. Ideologi yang diyakini
seorang sastrawan, secara otomatis dan bawah sadar akan menjadi kekuatan internal yang membangunkan
kesadaran kritis dalam merespons dunia sekelilingnya.

LOKALITAS DALAM SASTRA INDONESIA


Oleh Sawali Tuhusetya
Dipublikasikan Sabtu, 11 Desember 2010
Maman S Mahayana

Lokalitas (locality) sebagai konsep umum berkaitan dengan tempat atau wilayah tertentu yang
terbatas atau dibatasi oleh wilayah lain. Lokalitas mengasumsikan adanya sejumlah garis
pembatas yang bersifat permanen, tegas, dan mutlak yang mengelilingi satu wilayah atau ruang
tertentu. Dalam konsep politik, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan dan penguasaan
wilayah, lokalitas dengan sejumlah garis pembatas yang dimilikinya itu, diandaikan pula seperti
berhadapan dengan kepungan garis pembatas lain sebagai simbol atau representasi kekuasaan
lain dalam posisi yang bisa bersifat arbitrer atau bisa juga dalam posisi yang saling mengancam.

Dalam konteks budaya, lokalitas bergerak dinamis, licin, dan lentur, meski kerap lokalitas
budaya diandaikan tidak dapat dilepaskan dari komunitas kultural yang mendiaminya, termasuk
di dalamnya persoalan etnisitas. Secara metaforis, ia merupakan sebuah wilayah yang
masyarakatnya secara mandiri dan arbitrer bertindak sebagai pelaku dan pendukung kebudayaan
tertentu. Atau komunitas itu mengklaim sebagai warga yang mendiami wilayah tertentu, merasa
sebagai pemilik—pendukung kebudayaan tertentu, dan bergerak dalam sebuah komunitas
dengan sejumlah sentimen, emosi, harapan, dan pandangan hidup yang direpresentasikan melalui
kesamaan bahasa dan perilaku dalam tata kehidupan sehari-hari.1

Ada garis imajinatif yang seolah-olah menjadi penanda untuk pembatas –relatif—berdasarkan
garis keturunan, genealogi, atau lingkaran kehidupan sosio-kultural. Oleh karena itu, lokalitas
budaya, lantaran sifatnya yang dinamis, licin, dan lentur, dapat ditarik ke belakang yang
menyentuh tradisi dan kearifan masyarakat dalam menyikapi masa lalu, ke depan yang
mengungkapkan harapan-harapan ideal yang hendak dicapai sebagai tujuan, ke sekitarnya dalam
konteks kekinian, berkaitan dengan kondisi dan berbagai fenomena yang sedang terjadi dalam
masyarakat, atau bahkan ke segala arah yang menerabas lokalitas budaya yang lain.

Dalam hal itulah, lokalitas budaya tidak bisa direduksi dengan melakukan pembatasan melalui
garis geografi atau politik. Bagaimanapun, lokalitas budaya tidak akan pernah sejalan dengan
lokalitas dalam pengertian politik pemerintahan yang melihatnya sebagai persoalan kedaerahan
dengan batas kewilayahan yang diasumsikan bersifat permanen, tegas, dan mutlak. Maka dalam
pengertian politik itu, lokalitas budaya dimaknai sebagai budaya lokal yang lalu diperlakukan
sebagai budaya daerah.

Dari sanalah dimulainya problem kebudayaan (Indonesia) yang bergulir dengan lahirnya usaha
membuat dikotomi kebudayaan lokal (: etnik) dan kebudayaan nasional. Kebudayaan lokal yang
dibenturkan dengan kebudayaan nasional berakibat terjadinya marjinalisasi sejumlah kebudayaan
etnik yang lantaran berbagai faktor, secara sepihak ditempatkan sebagai bukan termasuk
kebudayaan nasional. Dalam hal ini, ada hegemoni dan penafikan terhadap dinamika kebudayaan
lokal yang secara salah kaprah dicap sebagai kebudayaan daerah. Dengan demikian, dikotomi
pusat—daerah mengisyaratkan bahwa pusat mengatasi daerah. Tak ada kesejajaran di sana.
Relasinya hegemonik, sebab yang ada adalah kecenderungan budaya yang satu melakukan
hegemoni terhadap yang lain, dan hubungannya berlaku secara vertikal, tidak horisontal.
Pandangan dikotomis semacam itu cenderung diskriminatif karena menempatkan yang satu
(pusat) seolah-olah lebih penting daripada yang lainnya (daerah).
Sastra sesungguhnya merupakan produk budaya. Ia lahir dari kegelisahan kultural seorang
pengarang. Secara sosiologis, pengarang adalah anggota masyarakat, makhluk sosial yang sangat
dipengaruhi lingkungan sosial budaya masyarakatnya. Maka, ketika ia memutuskan hendak
mengungkapkan kegelisahannya sebagai tanggapan evaluatif atas segala problem yang terjadi
dalam komunitas budayanya, representasinya terakumulasi dalam teks sastra. Dengan demikian,
teks sastra sebenarnya dapat digunakan menjadi semacam pintu masuk untuk memahami
kebudayaan sebuah komunitas.

Lokalitas dalam sastra (teks) mestinya diperlakukan bukan sekadar latar an sich, melainkan
sebuah wilayah kultural yang membawa pembacanya pada medan tafsir tentang situasi sosio-
kultural yang mendekam di belakang teks. Di sana lokalitas bukan abstraksi tentang ruang atau
wilayah dalam teks yang beku, melainkan ruang kultural yang menyimpan sebuah potret sosial,
bahkan juga ideologi yang direpresentasikan melalui interaksi tokoh-tokohnya dan dinamika
kultural yang mengungkapkan dan menyimpan nilai-nilai tentang manusia dalam kehidupan
berkebudayaan. Lokalitas –menyitir pandangan Melani Budianta—adalah “proses pembumian
yang tidak pernah berhenti bergeser, berpindah, dan berubah.” Jika demikian, lokalitas dalam
sastra, dapat dikatakan sebagai proses pemaknaan atas teks yang tersurat atau tersirat. Di sinilah
imajinasi pembaca sangat menentukan proses pemaknaannya. Maka, tidak terhindarkan, makna
teks, jadinya akan terus menggelinding, membengkak, dan memancarkan banyak hal yang dapat
dicantelkan dengan realitas masa lalu, masa kini, atau masa depan yang mungkin bakal terjadi.3

Begitulah, lokalitas dalam sastra semestinya dimaknai sebagai ruang kultural yang dinamis dan
tak pernah berhenti pada makna tertentu ketika ia melekat pada teks. Teks sastra pada gilirannya
menjelma medan tafsir yang bermuara pada ruang imajinasi pembaca. Bukankah sastra dalam
proses pemaknaan pembaca adalah teks yang akan terus menggelindingkan hiruk-pikuk
penafsiran. Oleh karena itu, pemahaman lokalitas dalam (teks) sastra sebagai ruang budaya akan
menempatkan makna teks ke dalam wilayah medan tafsir yang lebih luas lantaran bisa ditarik,
dipadankan, dan dicantelkan dengan realitas kehidupan. Makna teks pada akhirnya tidak berhenti
pada makna tekstual, tetapi terus berkeliaran mengembangkan maknanya secara kontekstual.

Dalam banyak pandangan pengamat sastra Indonesia, kesusastraan Indonesia yang sejatinya
merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan yang melahirkannya, seolah-olah wujud
begitu saja, tanpa proses, tanpa pergulatan budaya pengarangnya. Sepertinya, sastra Indonesia
dibawa para malaikat dari langit dan kemudian jatuh seketika di ruang pembaca. Seolah-olah
lagi, sastra Indonesia datang dari tiada menjadi ada, dari situasi kosong, tanpa apa pun, tiba-tiba
lahir dan mengada. Akibatnya, sastra Indonesia dimaknai tanpa ada usaha untuk memahami
berbagai masalah sosio-kultural yang melatarbelakanginya dan penyelusupan ideologi yang
melatardepaninya. Oleh karena itu, sastra Indonesia seperti telah tercerabut dari akar budaya dan
problem ideologi, ketika ia diposisikan sebagai teks an sich.

Pencerabutan sastra Indonesia dari akar budayanya itu terjadi juga ketika tiba-tiba ada pemisahan
yang tegas antara sastra Indonesia lama dan sastra Indonesia modern.4 Demikian juga hubungan
sastra daerah5 dan sastra Indonesia seolah-olah sudah menjadi produk budaya yang berada dalam
dua kutub yang berjauhan. Keduanya seperti berjalan sendiri-sendiri dan seolah-olah tidak saling
mengenal, tidak saling mempengaruhi.

Secara temporal, lokalitas dalam sastra sesungguhnya dihadirkan oleh momen dan peristiwa
tertentu. Muhammad Yamin, misalnya, dalam dua puisi awalnya,6 menyebut Sumatera—Andalas
mula-mula sebagai tanah Melayu yang bahasanya digunakan sebagai lingua franca penduduk
Nusantara. Sumatera ditempatkan sebagai titik berangkat tradisi yang melahirkannya. “Di mana
Sumatera, di situ bangsa/Di mana perca, di sana bahasa// (“Bahasa, Bangsa”). Dalam puisi
“Tanah Air”, Sumatera lebih tegas lagi dikatakan sebagai Tanah Air: “Itulah tanah, tanah
airku/Sumatera namanya tumpah darahku//

Sumatera sebagai lokalitas budaya, bagi Yamin tidak berhenti pada tanah Melayu. Juga
kemudian disadari bukan sekadar tempat kelahiran: tumpah darahku. Dalam konteks itu, Tanah
Air yang pada awalnya dimaknai sebagai tempat kelahiran yang tidak lain adalah Sumatera,
memperoleh perluasan makna. Tumpah darahku dan Tanah Airku sebagai tempat kelahiran,
tidak lagi jatuh pada Sumatera, melainkan Indonesia. Puisinya yang berjudul “Indonesia,
Tumpah darahku”7 menunjukkan gagasan Yamin tentang lokalitas budaya yang melingkupi:
wilayah, bangsa, dan bahasa.8

Demikianlah, pemaknaan lokalitas dalam sastra tidak dapat berhenti hanya pada teks, hanya pada
makna tekstual. Di belakangnya bertaburan kekayaan makna lain yang tidak hanya menuntut
pembaca mengisi ruang kosong yang ditinggalkan teks, melainkan juga menuntut pembaca
memahami kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra.

Pertama, lokalitas Minangkabau dengan Datuk Meringgih dan tradisionalismenya adalah musuh
ideologi yang harus diperangi. Tetapi di sana, ada juga pihak lain yang harus dibela: ninik-
mamak, kultur leluhur, tanah kelahiran, dan idealisme anak muda Minang. Maka, Datuk
Meringgih, dengan sejumlah sisi negatifnya, juga mempunyai alat legitimasi: membela ninik-
mamak, kultur leluhur, dan tanah kelahiran. Datuk Meringgih tampil dalam dua kutub yang
saling berlawanan: tradisionalisme—patriotisme. Ia menjadi sosok tokoh penindas, curang-licik,
serakah, dan brengsek yang menunjukkan segala sisi negatif bagi kemanusiaan.

Sementara itu, sistem pajak (belasting) yang dapat dimaknai sebagai penghancuran otoritas
ninik-mamak, pencemaran kultur leluhur, dan pencaplokan tanah kelahiran, adalah alat
legitimasi tindakan patriotisme sang Datuk Meringgih. Maka, tersirat ia tampil sebagai
pahlawan.

Kedua, lokalitas Jakarta (Batavia) dengan Samsulbahri dan modernismenya, juga musuh
ideologis yang harus diperangi. Jakarta dengan Stovia-nya, memang menawarkan sisi positif
modernisme melalui dunia pendidikan. Tetapi di sisi yang lain, Jakarta sebagai pusat kekuasaan
kolonial, memproduksi politik kolonial yang diskriminatif, menciptakan pengkhianatan pada
tanah leluhur.

Bahwa Datuk Meringgih dan Samsulbahri pada akhirnya tewas, itulah bentuk kompromi yang
menggiring pembaca melakukan introspeksi. Pembelaan dengan memberi kemenangan pada
tradisionalisme Datuk Meringgih, sama buruknya dengan pembelaan pada Samsulbahri yang
tercerabut dari akar budaya leluhur, jadi pengkhianat, lalu datang ke tanah kelahiran justru untuk
membunuhi sanak-saudaranya sendiri. Bahwa kematian Samsuhbahri diusung sebagai pahlawan,
itu juga bentuk kompromi dengan syarat dan aturan main yang ditetapkan Balai Pustaka.

Lokalitas dalam Salah Asuhan pada dasarnya juga merepresentasikan perang ideologi yang
semacam itu. Minangkabau—Jakarta, Rafiah—Hanafi—Corrie adalah simbolisasi dua kutub
ideologi. Minangkabau—Rafiah adalah dunia adat yang dalam hal-hal tertentu bermakna negatif.
Ia hidup dengan segala kesederhaan, keterbelakangan, dan kebodohannya, meski pada akhirnya
tampil sebagai korban dan sekaligus juga pemenang. Batavia—Corrie adalah modernisme yang
dalam beberapa hal, justru berdampak negatif ketika gaya hidup modern (: Barat) menjadi
ukuran. Maka, Batavia tempat yang subur bagi pemuasan gaya hidup modern Corrie, tetapi tidak
untuk Hanafi. Keadaannya lebih buruk lagi bagi Hanafi. Ia membuang kultur leluhur dan hidup
di kota yang dijalaninya setengah hati. Hanafi tertolak di tanah kelahirannya dan mati sebagai
pecundang.9

Sejak Balai Pustaka berdiri dan memainkan peranannya sebagai agen ideologi kolonial, lokalitas
Minangkabau yang pada awalnya diposisikan dalam tarik-menarik tradisionalisme dan
modernisme, seperti sengaja diperluas menjadi stereotipe tentang Timur yang kemudian
dibenturkan dengan stereotipe Barat. Lokalitas dalam sastra yang terbit pada zaman itu lalu
ditandai dengan ciri-ciri umum yang memperlihatkan potret etnik yang eksotik, tradisional,
komunal, dan karikaturis.10 Ciri umum itu tentu saja berlainan dengan stereotipe Barat yang
lumrah, modern, individual, kompleks, dan berperadaban dan berkebudayaan tinggi dengan
berbagai teknologinya

Pada zaman Jepang (1942—1945), konsep lokalitas bisa ditarik—ulur sesuai tuntutan ideologi
pemerintah pendudukan Jepang. Lokalitas Jawa dengan ikon Borobudur, misalnya, bisa
ditempatkan sebagai milik Indonesia, cermin kemajuan peradaban Asia Tenggara, menjadi
kebanggaan bangsa Asia, awal kebangkitan kembali bangsa-bangsa di Asia—Afrika (: Mesir).
Dengan demikian, Sakura, Angkor Wat, Tembok Besar Cina atau piramida Mesir, sengaja
digunakan sebagai pintu masuk untuk menumbuhkan rasa percaya diri bangsa Asia dan
kebangkitan bangsa-bangsa Asia dan Afrika dalam menentang kolonialisme (Barat). Lokalitas
digunakan sebagai alat menggugah sentimen ras sesama bangsa Asia. Jika pada zaman
sebelumnya dunia Timur digambarkan sebagai stereotipe tradisional, terbelakang, tidak
berbudaya, irasional, dan mirip barang rongsokan, maka pada zaman Jepang, stereotipe itu
dibongkar dan dicitrakan sebaliknya. Citra bangsa Barat –kecuali Jerman dan Italia yang menjadi
sekutu Jepang—kerap digambarkan sebagai bangsa yang serakah yang pada akhirnya menjadi
pecundang.

Lokalitas dalam sastra pada akhirnya tidak dapat dipatok sebatas makna tekstual. Teks sekadar
bertugas memberi isyarat pada pembaca akan adanya simpul-simpul makna yang mendekam dan
bersembunyi di luar teks. Ketika makna itu diterjemahkan pembaca, seketika itu pula simpul-
simpul tadi memberi sinyal lain yang memungkinkan saklar imajinasi pembaca bergentayangan
memasuki medan tafsir dan mengungkap kekayaan dan kompleksitas sosio-budaya yang
melingkari, membentuk, mempengaruhi, dan menciptakan visi budaya dalam diri sastrawan
bersangkutan. Dengan demikian, lokalitas dalam sastra, lebih merupakan ruang imajinatif
pembaca yang titik berangkatnya bersumber pada teks, pada makna tekstual.

Perhatikan teks berikut ini:

Aston kelihatan kaget. Ia melangkah menerobos kesibukan … Orang-orang


mengikutinya…. Sebuah komidi puter dengan ributnya memanggil anak-anak kampung
dengan lagu-lagu dangdut. Seorang pedagang kain dengan aksen orang awak sibuk
berteriak-teriak mengatasi suara mesin parutan kelapa, menarik perhatian ibu-ibu yang
mondar-mandir mencari bumbu dapur. Sebuah truk kecil yang biasa mengangkut es, ribut
mengklakson untuk mencari parkiran menggeser tukang-tukang becak yang tak mau
minggir kalau tidak dicolek secara pribadi oleh kenek. Dari arah yang lain, masuk mobil
penjual jamu dengan badut kate. Jalan yang menampung dua arus kendaraan … itu agak
kalang kabut, sebagaimana biasanya. Sepasang suami—istri muda dengan tenang
mendorong kereta bayi, anaknya yang baru berusia beberapa bulan menggeliat-geliat. Di
pinggang bapak muda itu ada walkman. Di atas atap dua buah rumah, terlihat beberapa
anak mengayun-ayunkan burung merpati, memangil merpati yang baru saja diterbangkan.
Dan sebuah kapal terbang melintas dekat sekali, tapi tak ada yang mengacuhkan. (Putu
Wijaya, Pol, Jakarta: Grafiti, 1987, hlm. 10—11).

Bagaimana kita menyimpulkan persoalan lokalitas dalam teks di atas? Bukankah ketika kita
mengikuti deretan kalimat dalam teks itu, tanpa sadar, saklar imajinasi kita menyala seketika dan
kemudian bergentayangan mencari cantelannya pada makna di luar teks? Tidak dapat lain, pintu
masuknya memang teks. Dan yang menghidupkan teks itu memperoleh lokalitasnya, tidak lain,
karena pembaca juga mempunyai persediaan referensi tentang lokalitas berdasarkan pemahaman
dan pengalamannya sendiri. Bukankah teks itu hidup lataran imajinasi pembaca menghidupinya.

Perhatikan juga puisi Sutardji Calzoum Bachri berikut ini:


LUKA

ha ha

Bagaimana kita menemukan lokalitas dalam puisi itu ketika sinyal dan simpul-simpul maknanya
tidak kita temukan atau seola-olah tidak ada di sana. Kembali, persoalan lokalitas dalam sastra
tidak berhenti pada teks. Dalam hal ini, salah satu tugas utama pembaca adalah menelusuri,
melacak dan mencari makna di luar teks. Pencarian dan pelacakan itu memang pada akhirnya
bermuara pada latar belakang sosio-kultural yang melingkari diri pengarang. Cantelan teks
dengan konteks menjadi niscaya ketika kita hendak menguak kekayaan maknanya. Lokalitas
menjadi ruang sosio-kultural yang harus diterjemahkan berdasarkan pemahaman tiga kode: kode
bahasa, kode sastra, kode budaya.

Ketika kita mencoba menerjemahkan makna puisi itu secara tekstual, seketika itu pula kegagalan
membayangi kita dalam usaha mengungkapkan kekayaan makna yang mendekam di belakang
teks. Meskipun begitu, ketika kita menemukan makna yang berada di belakang teks, problem
lokalitas tetaplah mesti ditempatkan dalam medan tafsir yang terus menggelindingkan maknanya
sampai entah ke mana. Sutardji Calzoum Bachri secara kultural menyerap dan merevitalisasi
mantra, pantun, gurindam, dan tradisi sosial—budaya Melayu. Tetapi ketika ia berada di level
sastra Indonesia, lokalitas Melayu serta-merta berhadapan dengan lokalitas budaya lain dan
diizinkan menerobos wilayah dalam wacana keindonesiaan. Tetapi, ketika Melayu ditempatkan
dalam wilayah regional, lokalitas Melayu seketika bisa menerabas lokalitas budaya yang lain
hingga melewati batas politik wilayah negara Asia Tenggara. Lokalitas dalam sastra menjadi
begitu lentur, fleksibel, licin, dinamis, dan tidak menyediakan sebuah tempat pemberhentian
terakhir. Dalam ruang imajinasi pembaca, memang tersedia terminal. Tetapi ia bukan sebagai
tempat pemberhentian terakhir, tetapi sebagai titik pemberangkatan berikutnya menuju makna
teks yang tidak pernah berhenti menggelinding, dan oleh karena itu juga tidak pernah selesai
dirumuskan.

Lokalitas dalam konteks global pada akhirnya juga dapat diperlakukan begitu licin, lentur,
dinamis yang dalam bahasa Melani Budianta, tidak pernah berhenti bergeser, berpindah, dan
berubah. Dengan demikian, dikotomi lokalitas—globalitas adalah konsepsi yang secara spasial
bersifat relatif lantaran tidak dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang sudah selesai. Ia berada
dalam ruang dinamis yang secara terus-menerus dapat diperluas atau dipersempit, bergantung
pada keluasan wawasan pembaca dan kecerdasannya memainkan ruang imajinasi ketika ia
memasuki dan berada dalam medan tafsir.

Salah satu problem besar pemahaman sastra Indonesia –sebagaimana yang tampak dalam
pengajaran sastra Indonesia di sekolah dan berdasarkan pengamatan sejumlah besar skripsi atau
tesis di berbagai institusi sastra—adalah kemalasan mencari dan menemukan cantelan teks
dengan konteks sosio-budaya. Padahal, sastra Indonesia menyajikan begitu banyak problem itu.
Belum lagi jika dikaitkan dengan perubahan politik sekarang yang memberi ruang pemerintah
daerah mengurus dan mengembangkan dirinya (otonomi daerah). Oleh karena itu, keyakinan
bahwa teks sudah menyediakan segalanya dan pemaknaannya cukup sampai pada makna
tekstual, mesti dimaknai sebagai salah satu halte yang memungkinkan pembaca melanjutkan
perjalanannya sampai entah ke mana.

Demikianlah, lokalitas dalam sastra tidak lain adalah isyarat dan simpul makna teks yang
mempunyai kualitas untuk menghidupkan saklar imajinasi pembaca memasuki medan tafsir yang
tidak pernah selesai. Tanpa kualitas itu, lokalitas dalam sastra akan terjerembab pada
ketersesatan

Sastra dan struktur


Oleh: Dipa Nugraha
Posted on 18 March 2011

Piaget menjelaskan bahwa ide tentang strukturalisme berkembang dari tiga hal yaitu: totality,
transformation, dan autoréglage. Totality artinya bahwa struktur harus dinilai sebagai satu
kesatuan, satu totalitas. Suatu struktur merupakan gabungan dari unsur-unsur pembentuk yang
memiliki hubungan dan saling terikat Transformation berarti bahwa suatu struktur menjadi unsur
dari struktur yang lebih besar. Atau dengan kata lain, suatu struktur selalu di dalam proses
bertransformasi. Autoréglage artinya bahwa secara kodrati sebuah struktur terlindungi dari
deviasi sehingga menjadikan suatu struktur dapat terus berkembang menjadi struktur yang lebih
kompleks (Piaget, 1995: 3 – 12).
Di dalam ranah sastra, penerapan tiga hal tersebut juga dikatakan oleh Kenney (1966: 5) dengan
kalimat “[yang dimaksud dengan] analisis terhadap karya sastra adalah kegiatan mengidentifikasi
elemen-elemen penyusun karya tersebut, dan lalu menjelaskan hubungan antarelemen sebagai
suatu kesatuan. Bentuk final dari analisis adalah sebuah simpulan bahwa suatu karya sastra
merupakan kesatuan yang padu dan kompleks”. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa ide
tentang strukturalisme di dalam analisis karya sastra merujuk pada identifikasi unsur-unsur yang
membentuk totalitas. Untuk lebih jelasnya, secara garis besar pendekatan struktural dapat
dirumuskan sebagai berikut (Atmazaki, 1993: 124):

1. Karya sastra mempunyai struktur, yaitu suatu kesatuan yang bulat dan bersistem.
2. Setiap unsur di dalam karya sastra saling berkaitan dan fungsional atau saling berkaitan
3. Nilai keseluruhan karya sastra dibentuk atas nilai unsur-unsurnya.
4. Unsur-unsur di dalam suatu karya sastra tidak mempunyai makna sendiri-sendiri, namun
unsur-unsur tersebut secara bersama-sama membentuk makna menyeluruh. Atau dengan
kata lain, makna unsur suatu karya sastra bukanlah makna karya sastra, namun hanya
makna unsur itu sendiri.

Berdasar sejarahnya, sebenarnya pendekatan struktural pada karya sastra pada awalnya dimulai
oleh Aristoteles (Teeuw, 1984: 120) lewat bukunya Poetika. Aristoteles menyatakan bahwa
suatu karya sastra haruslah dilihat dari kebagusan konstruksi antara order (tata urut sehingga
konsistensi terjaga dan konsekuensi sebab-akibat menjadi masuk akal), amplitude atau
complexity (kekompleksan ruang lingkup yang memungkinkan sebab-akibat mendapat tempat
dan dapat dirunut), unity (kepaduan sehingga plot menjadi jelas), dan coherence (koherensi yang
berarti bahwa suatu karya sastra menyusun plot dalam pilahan kejadian-kejadian yang relevan
dalam penghubungan sebab-akibat) (Teeuw, 1984: 121).

Kritik struktural, atau dulu awalnya disebut kritik formalis, menitikberatkan pada analisis unsur
internal pada suatu karya sastra. Kritik struktural bersikeras bahwa suatu karya sastra bersifat
mandiri dalam artian bahwa kehidupan penulis, latar sosial penciptaan, pandangan filosofis
seorang penulis merupakan hal yang tidak relevan di dalam kritik. Tindak kritik struktural
hanyalah pembacaan rapat atau close reading dalam membongkar dan memaparkan keterkaitan
semua unsur yang ada di dalam suatu karya di dalam mengkonstruksikan suatu totalitas (Teeuw,
1984: 135; Guerin et al, 1979: 76). Kritikus struktural percaya bahwa nilai objektivitas suatu
kritik dapat diperoleh dengan cara yang demikian.

Berbicara mengenai kritik struktural, buku Structuralist Poetics dari Jonathan Culler (1975)
mungkin termasuk rujukan yang komprehensif di dalam memahami kaidah kritik struktural. Saat
kita tadi merujuk tentang bagaimana close reading itu dilakukan maka Culler menyarankan
istilah poetika kaum struktural. Poetika kaum struktural bukanlah suatu kesatuan organis yang
menjadi standar nilai namun lebih kurang adalah sebagai suatu hipotesis teknik pembacaan
intens (Culler, 1975: 263) yang dengannya seorang pembaca bakal berpartisipasi ke dalam teks
dengan baik secara intens sehingga pada produk finalnya akan mampu menyingkap apa yang ada
di balik teks dengan cara sistematis (Culler, 1975: 259).

Culler mengajukan suatu hipotesis operasi pembacaan intens dalam konteks kritik strukturalis
terhadap sajak dan novel. Ia menyatakan bahwa pembacaan intens kaum strukturalis terhadap
sajak beroperasi pada: (1) distance dan deixis, (2) organic wholes, (3) theme dan epiphany, (4)
resistance dan recuperation (1975: 164 – 188) sedangkan pada novel, pembacaan berfokus pada:
(1) lisibilité dan illisibilité, (2) narrative contracts, (3) codes, (4) plot, (5) theme dan symbol, (6)
character (1975: 189 – 238).

Pada pembacaan intens terhadap sajak, deixis adalah fitur-fitur orientasional bahasa yang berkait
dengan situasi ujaran semisal: “aku”, “kau”, dan subjek lain yang terlibat di dalam teks, kata
tertentu yang bisa merujukkan pada konteks di luar teks, kata keterangan waktu yang
merujukkan pada waktu tertentu, kata kerja yang sengaja tanpa prefiks dll.. Karena menurut
strukturalis sajak adalah dunia yang otonom, maka dapatlah dikatakan bahwa sajak tidaklah
secara kontekstual eksplisit, atau malah tidak sama sekali, terkait dengan waktu tertentu
sebagaimana berita surat kabar atau fragmen biografi dan tidak pula secara interpersonal terkait
dengan orang-perorang (Culler, 1975: 165). Dengan istilah lain, konstruksi citraan kita akan
dunia yang dibentuk oleh sajak yang kita baca adalah sebenarnya suatu bentuk tafsir tersendiri,
dan tergantung dari pengalaman subjektif, yang disulut oleh pem-bacatafsir-an bahasa. Untuk
pemahaman lebih lanjut mengenai deixis dapat dibaca pada tulisan saya pada halaman lain
dengan judul ‘Pragmatik dan Lingkupnya’.
Sedangkan distance merujuk pada selalu adanya jarak antara pembaca dan penyair. Di satu sisi,
pembaca strukturalis berusaha menekankan akan independensi sebuah teks sehingga dapat
menciptakan figur persona fiktif, karena operasionalisasi mengarahkan pembaca strukturalis
untuk berlaku demikian, namun mustahil lepas dari bayang-bayang eksistensi penyair. Proses
demikian adalah disebut naturalisasi, saat di mana terjadi tarik ulur jarak antara pembaca dan
bayang-bayang pencipta saat pembacaan suatu teks menghasilkan dunia yang unik (Henri
Meschonnic dalam Culler, 1975: 170).

Organic wholes dapat diartikan sebagai ekspektasi pembaca yang secara alami bakal
menganggap dan lalu mengoperasikan setiap bagian dari teks sebagai bagian integral dari
keseluruhan teks. Ekpektasi akan totalitas atau koherensi suatu teks selalu terjadi di dalam setiap
pembacaan. Dan dengan demikian maka pemaknaan akan beroperasi sepanjang batasan yang
diekspektasikan menuju kerucut tematis sebagaimana telah dimunculkan di dalam kajian oleh
Jakobson, Greimas, Todorov, dan juga Barthes (Culler, 1975: 171 – 172). Bahkan secara ironis
dikatakan pula oleh Culler bahwa:

It is at least a plausible hypothesis that the reader will not feel satisfied with and interpretation
unless it [the interpretation] organizes a text to one of these formal models of unity (1975: 174).

Theme dan epiphany merujuk kepada konvensi atau ekspektasi pembaca terhadap suatu teks.
Pembaca selalu, tanpa disadarinya, membaca teks sajak dengan memiliki asumsi bahwa teks
sajak tersebut baik sedikit atau banyak, baik sederhana maupun kompleks, memiliki potensi
keindahan sebagai sajak. Oleh sebab itulah pembacaan sajak lebih merupakan suatu proses
pencarian letak estetika sajak atau memakai istilah Culler “to grant it[s] significance and
importance” sehingga secara tidak sadar lalu melembagakan teks tersebut sebagai sajak (1975:
175). Lalu terjadilah apa yang disebut dengan epiphany (atau kurang lebih dapat diterjemahkan
sebagai “momen tercerahkan”) sehingga signifikansi tematis menjadi terproduksi (Culler, 1975:
177 – 178). Hal ini misalnya dapatlah diambil contoh pada kasus pembacaan terhadap sajak
Robert Frost “The Road not Taken”. Oleh sebab pembaca menganggap bahwa teks “The Road
not Taken” adalah sajak, maka peristiwa pemilihan jalan bercabang di sebuah hutan dapatlah
memproduksi signifikansi tematis akan simbolisasi pilihan dalam hidup yang berimplikasi pada
perbedaan jalan hidup seterusnya.
Resistance dan recuperation merupakan hal terakhir yang dibahas Culler di dalam bukunya,
Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics, and the Study of Literature, sebagai bagian dari
poetika sajak. Resistance merujuk kepada kemampuan sajak di dalam memperlambat kejelasan
makna yang diproduksi lewat permainan gaya bahasa dan format penulisan (Culler, 1975: 179).
Saat di mana seorang pembaca mulai memahami kekaburan ini, maka ia mengalami
recuperation (vraisamblable) atau penyadaran dari dunia yang sebelumnya kabur dan mungkin
ambigu. Hal ini juga berlaku pada permainan tipografi semisal dalam sajak Sutardji Calzoum
Bachri “Tragedi Winka Sihka” yang berbentuk huruf Z bakal mungkin ditafsir oleh kaum
strukturalis sebagai esensi sajak tersebut. Bahwa sajak tersebut berakhir (“Z” adalah huruf
terakhir) di tempat tidur (“Z” adalah simbol komikal universal dengkur orang tidur). Demikian
disebabkan bahwa kaum strukturalis tidak melihat kekacauan tipografi sajak “Tragedi Winka dan
Sihka” tersebut sebagai tidak bermakna namun merupakan petunjuk untuk menyusun ulang
konteks pembacaan.

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, pembacaan novel berdasarkan poetika novel merujuk
kepada 6 hal yaitu: lisibilité dan illisibilité, narrative contracts, codes, plot, theme dan symbol,
dan character. Ekpektasi dari kaum strukturalis ketika membaca novel adalah adanya keterkaitan
antara plot, tema, dan karakter. Lisibilité dan illisibilité terkait dengan koherensi dan kelogisan
kait antara plot, tema, dan karakter yang disadari pembaca ada di dalam sebuah novel sebagai
menantang untuk penafsiran dunia di dalam novel berpijak kepada dunia sebenarnya. Ambil
contoh misalkan “Khotbah di atas Bukit” karya Kuntowijoyo dianalisis, maka bisa jadi muncul
analisis sebagai berikut: bahwa Barman (metatesis dari brahman, pandita), seorang karakter yang
sudah tua, akhirnya mendapat pencerahan dan tidak mempedulikan lagi Popi (permainan kata
dari istilah “pop”, “populer”, disukai banyak orang, kesenangan), seorang karakter yang masih
muda. Barman lalu menjadi seorang yang dianggap suci dan akhirnya beroleh pengikut
meskipun akhirnya pengikutnya kecewa karena khotbah Barman di atas bukit tidak menyiratkan
pesan yang jelas.

Barman ditafsirkan sebagai metatesis dari brahman karena mirip kata dan usia Barman yang
sudah tua. Tua dianggap sebagai fase tercerahkan di dalam hidup seseorang. Sedangkan Popi
ditafsirkan sebagai pop adalah karena ia sesuatu yang ditinggalkan oleh seorang pandit:
kesenangan hidup. Klimaks dicapai pada momen khotbah di atas bukit adalah sebagaimana
menjadi keberterimaan umum. Sedangkan inti dari cerita adalah ‘pencerahan tidaklah bisa
gampang ditransfer ke orang lain’ sebagaimana pengikut Barman merasa tidak mendapatkan
apa-apa sepeninggal Barman.

Narrative contracts atau dapat diterjemahkan sebagai kontrak-kontrak naratif adalah unsur dari
struktur novel yang menunjukkan terpenuhinya kontrak-kontrak tersebut. Kontrak-kontrak
naratif meliputi tiga hal yaitu: (1) deduksi dan keterkaitan model bagaimanakah yang
ditampilkan narator di dalam novel (Culler, 1975: 195), (2) bagaimanakah narator membentuk
dunia suatu novel yang bisa dibayangkan oleh pembaca (Culler, 1975: 196-197), (3)
bagaimanakah posisi narator di dalam membawa pembaca memperoleh makna (Culler, 1975:
200 – 201).

Unsur ketiga adalah codes. Codes adalah hal-hal di dalam novel yang berkait dengan latar
budaya, pemahaman sebab-akibat, pengetahuan fitur-fitur semantis, pembacaan simbolis dan
tematis (Culler, 1975: 202 – 203). Kemudian unsur keempat yang masuk hitungan adalah plot.
Plot dapat diartikan sebagai “susunan peristiwa berdasarkan kaitan sebab akibat” (Kenney, 1966:
13).

Theme dan Symbol di dalam rumusan Culler mengenai poetika strukturalis merupakan dua hal
yang saling terkait. Ia sebagaimana mengikut pendapat Barthes percaya bahwa kondensasi
simbolis muncul karena adanya oposisi tematis (Culler, 1975: 225). “The Old Man and The Sea”
karya Hemingway, sebagai contoh, dapatlah dikatakan sebagai simbol bahwa kehidupan adalah
misteri karena kisah pergulatan di dalamnya menampilkan oposisi tematis kehidupan Santiago
antara beruntung/apes, jagoan/pecundang, manusia/alam. Dan unsur yang terakhir adalah
character. Karakter menurut Steinmann dan Willen adalah “persona fiktif yang digambarkan
atau dihidupkan di dalam karya sastra rekaan (1967: 697). Kaum strukturalis menganalisis
karakter-karakter yang ada di dalam novel sebagai bagian yang penting. Meskipun demikian,
Culler menyoroti kaum strukturalis sebagai tidak utuh di dalam analisis sebuah karakter. Ia
menilai bahwa kaum strukturalis hanya menghakimi sebuah karakter berdasarkan definisi
pemodelan kultural (Culler, 1975: 237). Saat seorang pembaca strukturalis menahbiskan sebuah
karakter sebagai penjahat, sebenarnya atribut-atribut mengenai penjahat yang didefinisikan oleh
pemodelan kultural pembaca-lah yang bermain. Namun bagaimanapun hal ini tidak bisa
dihindari mengingat penjabaran sebuah karakter di dalam novel tidaklah bisa detil dan juga
adanya kebutuhan cerita untuk mempunyai karakter jahat dan juga karakter baik.

Selain model yang diajukan oleh Culler di atas, ada model lain yang sering dipakai di dalam
analisis struktural. Model tersebut disebut dengan explication du text atau juga populer disebut
sebagai model formalis Perancis. Mengenai prosedurnya dapat dibaca dari buku Kritik Sastra:
Sebuah Pengantar dari André Hardjana (1994). Di dalam bukunya tersebut Hardjana
memasukkannya di dalam satu bab tersendiri beserta pemaparan yang komprehensif mengenai
prosedur model analisis explication du text.

Peran Sastra dalam Pembentukan Karakter Bangsa


Oleh: Prof. Dr. Haryadi, M.Pd.
Yogyakarta, 13 Juni 2011

A. Pendahuluan

Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Perkelahian, pembunuhan, kesenjangan


sosial, ketidakadilan, perampokan, korupsi, pelecehan seksual, penipuan, fitnah terjadi di mana-
mana. Hal itu dapat diketahui lewat berbagai media cetak atau elektronik, seperti surat kabar,
televisi atau internet. Bahkan, tidak jarang kondisi seperti itu dapat disaksikan secara langsung
di tengah masyarakat.

Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang demikian itu, menumbuhkan semangat untuk
mengkaji sebab musababnya dan mencari pemecahannya. Penelitian dan seminar mengenai
masalah itu telah berkali-kali yang diselenggarakan oleh berbagai instansi, baik pemerintah
maupun swasta. Ujungnya adalah persamaaan persepsi terhadap pentingnya menggalakkan
pendidikan karakter.

Respon masyarakat terhadap pendidikan karakter berbeda-beda. Di kalangan kelompok


pendidik muncul pendapat tentang perlunya pendidikan budi pekerti, sedangkan agamawan
memandang perlunya penguatan pendidikan agama. Mereka yang berkecimpung di bidang
politik mengusulkan revitalisasi pendidikan Pancasila. Dalam hal ini, Kemendiknas telah
merespon berbagai pendapat itu dengan membentuk Tim Pengembang Pendidikan Karakter.
Selanjutnya, para guru tertutama guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai ujung tombak
pendidikan di Indonesia ingin menyumbangkan pemikiran tentang ”Peran Sastra dalam
Pembentukan Bangsa Karakter”. Topik ini memunculkan permasalahan (1) Apakah pendidikan
karakter itu?; (2) Bagaimana menanamkan pendidikan karakter di kalangan anak didik?; (3)
Adakah relevansi antara sastra dan pendidikan karakter?; (4) Bagaimana memberdayakan sastra
dalam pembentukan karakter bangsa ?.

B. Pembahasan

1. Apakah pendidikan karakter itu?

Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi
pekerti. Karakter dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu perangai atau perbuatan yang selalu
dilakukan atau kebiasaan. Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Pritchard (1988: 467) mendefisikan
karakter sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan hidup individu yang bersifat menetap
dan cenderung positif.

Karakter sebagai akhlak dapat bersifat positif atau negatif. Dalam pandangan agama terdapat
akhlakul karimah (ahlak yang mulia) dan akhlakul madmumah (akhlak tercela). Dalam akhlakul
karimah tercakup 22 sifat terpuji, yaitu (1) sederhana, (2) rendah hati, (3) giat bekerja, (4) jujur,
(5) memenuhi janji, (6) terpercaya, (7) konsisten/istiqomah, (8) berkemauan keras, (9) suka
berterima kasih, (10) satria, (11) tabah, (12) lemah lembut, (13) ramah dan simpatik, (14) malu,
(15) bersaudara, (16) belas kasih, (17) suka menolong, (18) menjaga kehormatan, (19) menjauhi
syubhat, (20) pasrah kepada Allah, (21) berkorban untuk orang lain, (22)
payayang. Sementara itu, lawan dari sifat-sifat terpuni itu termasuk akhlakul madmumah,
seperti boros, sombong, malas.

Menurut Zulhan (2010: 2-5) karakter ada dua yaitu karakter positif baik (sehat) dan karakter
buruk (tidak sehat). Tergolong karakter sehat yaitu (1) afiliasi tinggi: mudah menerima orang
lain sebagai sahabat, toleran, mudah berkerja sama, (2) power tinggi: cenderung menguasai
teman-temannya dalam arti positif (pemimpin); (3) achieve: selalu termotivasi untuk berprestasi
(4) asserte: lugas, tegas, tidak banyak bicara, (5) adventure: suka petualangan, suka mencoba hal
baru. Sementara itu, karakter kurang sehat yaitu (1) nakal: suka membuat ulah, memancing
kemarahan, (2) tidak teratur, tidak teliti, tidak cermat, meskipun kadang tidak disadari, (3)
provokator: cenderung membuat ulah, mencari gara-gara, ingin mencari perhatian, (4) penguasa:
cenderung menguasai teman-teman, mengintimidasi, (5) pembangkang: bangga kalau berbeda
dengan orang lain, tidak ingin melakukan hal yang sama dengan orang lain, cenderung
membangkang.

Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional (2011:10) telah merumuskan materi


pendidikan karakter yang mencakup aspek-aspek sebagai berikut: (1) religius, (2) jujur, (3)
toleran, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu,
(10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat atau
komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial,
tanggung jawab. Sementara itu, Suyanto (2009) berpendapat ada sembilan pilar karakter yang
berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu (1) cinta kepada Tuhan dan segenap ciptaannya, (2)
kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran/amanah, diplomatis, (3) hormat dan santun, (5)
dermawan, suka menolong dan gotong royong/kerja sama, (6) percaya diri dan pekerja keras (7)
kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

2. Bagaimana menanamkan pendidikan karakter di kalangan pendidik?

Pendidikan karakter sebaiknya diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan yang holistik
menggunakan metode knowing the good, feeling the good, acting the good. Pengetahuan
tentang kebaikan (knowing the good) mudah diberikan karena bersifat kognitif. Setelah knowing
the good perlu ditumbuhkan perasaan senang atau cinta terhadap kebaikan (feeling the good).
Selanjutnya, feeling the good diharapkan menjadi mesin penggerak sehingga seseorang secara
suka reka melakukan perbuatan yang baik (acting the good). Penanaman dengan model seperti
itu, akan mengantarkan seseorang kepada kebiasaan berlaku baik.

Akan tetapi, dalam penanaman pendidikan karakter yang utama adalah keteladanan. Orang tua
memberikan contoh perilaku yang positif kepada anak-anaknya, guru memberi
contoh kepada anak didiknya. Sementara itu, para pemimpin memberikan teladan karakter yang
baik kepada masyarakat.

Masalah keteladanan ternyata dilakukan oleh para nabi, terutama Nabi Muhammad dalam
menanamkan akhlak mulia kepada umatnya. Dalam hal ini, Allah menyatakan bahwa
”Sungguh pada pribadi Nabi Muhammad terdapat teladan yang baik (uswatun hasanah)”. Nabi-
nabi yang lain seperti Nabi Ayub memiliki keteladan dalam ketabahannya menanggung berbagai
penderitaan, Nabi Isa dikenal dengan kesederhanannya, Nabi Musa dikenal dengan
kebeberaniannya.

Ada empat karakter yang dimiliki oleh para nabi, yaitu (1) sidik: selalu berkata yang benar; (2)
amanat dapat dipercaya, (3) tablig: selalu menyampaikan tidak pernah menyembunyikan; (4)
fatonah cerdas. Salah satu karakter yang sejak kecil melekat pada pribadi Muhammad adalah
amanat (dapat dipercaya). Oleh karenanya, masyarakat Arab memberikan gelar al amin (dapat
dipercaya) jauh sebelum beliau menjadi nabi.

Penanaman pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan berbagai strategi. Strategi
yang dapat dilakukan antara lain (1) memasukkan pendidikan karakter ke dalam semua mata
pelajaran di sekolah, (2) membuat slogan-slogan atau yel-yel yang dapat menumbuhkan
kebiasaan semua masyarakat sekolah untuk bertingkah laku yang baik,(3) membiasakan perlaku
yang positif di kalangan warga sekolah, dan (4) melakukan pemantauan secara kontinyu,
(5) memberikan hadiah (reward) kepada warga sekolah yang selalu berkarakter baik.

3. Adakah relevansi sastra dan pendidikan karakter?

Sastra secara etimologis berasal dari kata sas dan tra. Akar kata sas- berarti mendidik, mengajar,
memberikan instruksi, sedangkan akhiran –tra menunjuk pada alat. Jadi, sastra secara etimologis
berarti alat untuk mendidik, alat untuk mengajar, dan alat untuk memberi petunjuk. Oleh karena
itu, sastra pada masa lampau bersifat edukatif (mendidik).

Banyak hal yang dapat diperoleh dari sastra. Tjokrowinoto (Haryadi, 1994) memperkenalkan
istilah ”pancaguna” untuk menjelaskan manfaat sastra lama, yaitu (1) mempertebal pendidikan
agama dan budi pekerti, (2) meningkatkan rasa cinta tanah air, (3) memahami pengorbanan
pahlawan bangsa, (4) menambah pengetahuan sejarah, (5) mawan diri dan menghibur. Haryadi
(1994) mengemukakan sembilan manfaat yang dapat diambil dari sastra lama, yaitu (1) dapat
perperan sebagai hiburan dan media pendidikan, (2) isinya dapat menumbuhkan kecintaan,
kebanggaan berbangsa dan hormat pada leluhur, (3) isinya dapat memperluas wawasan tentang
kepercayaan, adat-istiadat, dan peradaban bangsa, (4) pergelarannya dapat menumbuhkan rasa
persatuan dan kesatuan, (5) proses penciptaannya menumbuhkan jiwa kreatif, responsif, dan
dinamis, (6) sumber inspirasi bagi penciptaan bentuk seni yang lain, (7) proses penciptaannya
merupakan contoh tentang cara kerja yang tekun, profesional, dan rendah hati, (8) pergelarannya
memberikan teladan kerja sama yang kompak dan harmonis, (9) pengaruh asing yang ada di
dalamnya memberi gambaran tentang tata pergaulan dan pandangan hidup yang luas.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa sastra sangat relevan dengan pendidikan karakter. Karya
sastra sarat dengan nilai-nilai pendidikan akhlak seperti dikehendaki dalam pendidikan
karakter. Cerita rakyat ”Bawang Putih Bawang Merah” mengandung nilai pendidikan tentang
kemanusiaan. Cerita binatang ”Pelanduk Jenaka” mengandung pendidikan tentang harga diri,
sikap kritis, dan protes sosial. Sementara itu, bentuk puisi seperti pepatah, pantun, dan bidal
penuh dengan nilai pendidikan.

4. Bagaimana peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa?

Sastra dapat dilihat dari berbagai aspek. Dari aspek isi, jelas bahwa karya sastra sebagai karya
imajinatif tidak lepas dari realitas. Karya sastra merupakan cermin zaman. Berbagai hal yang
terjadi pada suatu waktu, baik positif maupun negatif direspon oleh pengarang. Dalam proses
penciptaannya, pengarang akan melihat fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat
itu secara kritis, kemudian mereka mengungkapkannya dalam bentuk yang imajinatif.

Fungsi sastra adalah dulce et utile, artinya indah dan bermanfaat. Dari aspek gubahan, sastra
disusun dalam bentuk, yang apik dan menarik sehingga membuat orang senang membaca,
mendengar, melihat, dan menikmatinya. Sementara itu, dari aspek isi ternyata karya sastra sangat
bermanfaat. Di dalamnya terdapat nilai-nilai pendidikan moral yang berguna untuk
menanamkan pendidikan karakter.
Pembelajaran sastra diarahkan pada tumbuhnya sikap apresiatif terhadap karya sastra, yaitu sikap
menghargai karya sastra. Dalam pembelajaran sastra ditanamkan tentang pengetahuan karya
sastra (kognitif), ditumbuhkan kecintaan terhadap karya sastra (afektif) , dan dilatih keterampilan
menghasilkan karya sastra (psikomotor). Kegiatan apresiatif sastra dilakukan melalui kegiatan
(1) reseptif seperti membaca dan mendengarkan karya sastra, menonton pementasan karya
sastra, (2) produktif, seperti mengarang, bercerita, dan mementaskan karya sastra, (3)
dokumentatif, misalnya mengumpulkan puisi, cerpen, membuat kliping tentang infomasi
kegiatan sastra.

Pada kegiatan apresiasi sastra pikiran, perasaan, dan kemampuan motorik dilatih dan
dikembangkan. Melalui kegiatan semacam itu pikiran menjadi kritis, perasaan menjadi peka dan
halus, memampuan motorik terlatih. Semua itu merupakan modal dasar yang sangat berarti
dalam pengembangan pendidikan karakter.

Ketika seseorang membaca, mendengarkan, atau menonton pikiran dan perasaan diasah. Mereka
harus memahami karya karya sastra secara kritis dan komprehensif, menangkap tema dan
amanat yang terdapat di dalamnya dan memanfaatkannya. Bersamaan dengan kerja pikiran itu,
kepekaan perasaan diasah sehingga condong pada tokoh protogonis dengan karakternya yang
baik dan menolak tokoh antagonis yang berkarakter jahat.

Ketika seseorang menciptakan karya sastra, pikiran kritisnya dikembangkan, imajinasinya


dituntun ke arah yang positif sebab ia sadar karya sastra harus indah dan bermanfaat. Penulis
akan menuangkan imajinasinya sesuai dengan kaidah genre sastra yang dipilihnya. Ia akan
memilih diksi, menyusun dalam bentuk kalimat, menggunakan gaya bahasa yang tepat, dan
sebagainya. Sementara itu, pada benak pengarang terbersit keinginan untuk menyampaikan
amanat, menanamkan nilai-nilai moral, baik melalui karakter tokoh, perilaku tokoh, ataupun
dialog. Dalam penulisan karya sastra orisinalitas sangat diutamakan. Pengarang berusaha akan
berusaha menghindari penjiplakan apalagi plariarisme. Dengan demikian, nilai-nilai kejujuran
sangat dihargai dalam karang- mengarang.

Dokumentasi sebagai bagian dari kegiatan apresiasi sastra sangat besar sumbangannya terhadap
pendidikan karakter. Tidak semua siswa ternyata mampu dan mau mendokumentasikan karyanya
dan mengkliping karya orang lain. Pembuatan dokumentasi dan kliping memerlukan ketekuman
dan kecermatan. Mereka harus banyak membaca, kemudian memilih bacaan yang pantas
didokumentaikan dan dikliping. Pembuat dokumentasi dan kliping pada umumnya
adalah manusia-manusia yang berpikir masa depan.

C. Kesimpulan

Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai media
yang memberitakan tentang keborokan moral. Untuk mengatasi hal itu muncul pemikiran untuk
memperkuat pendidikan karakter yang dapat dilakukan melalui berbagai media, termasuk sastra.

Sastra secara etimologis berarti alat untuk mendidik, sehingga bersifat didaktis. Hal ini sesuai
dengan fungsi sastra yaitu dulce et ulite (nikmat dan bermanfaat). Kebermanfaatannya diketahui
karena sastra di dalamnya terkandung amanat yaitu nilai moral yang bersesuaian dengan
pendidikan karakter. Banyak karya sastra lama dan modern yang mengandung pendidikan
karakter, seperti kemanusiaan, harga diri, kritis, kerja keras, hemat.

Peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa tidak hanya didasarkan pada nilai yang
terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif pun sarat dengan
pendidikan karakter. Kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton karya sastra pada
hakikatnya menanamkan karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Pada saat yang
bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan sehingga pembaca cenderung cinta kepada
kebaikan dan membela kebenaran.

Pada kegiatan menulis karya sastra, dikembangkan karakter tekun, cermat, taat, dan kejujuran.
Sementara itu, pada kegiatan dokumentatif dikembangkan karakter ketelitian, dan berpikir ke
depan (visioner).

Pada masa lampau cerita yang dituturkan orang tua atau guru, dan pepatah yang ditempel di
dinding sekolah mampu menjadi media pendidikan moral. Mengingat akan hal itu, kita
berharap sastra dan pengajaran apresiasi sastra, baik di sekolah maupun di masyarakat pada
kini dapat perperan dalam pembentukan karakter bangsa.
Membangun Karakter Melalui Sastra
Oleh Fakhriyansyah

Pendidikan di Indonesia dewasa ini menekankan lebih dari segi aspek kognitif dibandingkan
aspek psikomotor dan afektif. Sebenarnya aspek yang lainnya itu merupakan salah satu
penunjang untuk keberhasilan dan kesuksesan peserta didik. Apabila ketiga aspek tersebut dapat
berjalan secara beriringan, maka peserta didik akan menjadi siswa yang berkarakter dan mampu
bersaing dengan sehat.

Ketidak seimbangan inilah menumbuhkan kesadaran bagi banyak orang bahwa keunggulan,
keberhasilan dan kesuksesan seseorang bukan semata-mata ditentukan atau diukur dengan
kecerdasan intelektual atau IQ. Bila ada sebuah pengujian atau tes IQ, dan orang tersebut
mendapatkan hasil yang tinggi belum tentu menjamin aspek psikomotor dan afektif orang
tersebut juga baik. Namun yang dibutuhkan dalam kehidupan bukan hanya kecerdasan dalam
menciptakan sesuatu, tetapi juga kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.

Saat ini melalui kurikulum 2013, semuanya berubah drastis. Kesemuanya ditekankan pada
penilaian sikap, keterampilan dan pengetahuan. Bukannya seperti yang dijelaskan diatas,
pendidikan yang diatur dalam sistem pendidikan Indonesia yang menekankan aspek pengetahuan
semata. Sehingga penilaian tentang sikap atau yang dikenal sebagai karakter/budi pekerti
terabaikan.

Membangun karakter dapat dilakukan dengan berbagai cara. Bukan hanya melalui penjelasan
tentang definisi umum karakter/budi pekerti semata, tetapi melalui pelbagai cara yang dilakukan,
salah satunya melalui SASTRA. Tak jarang kita melihat bahwa banyak orang yang terharu dan
bahkan meneteskan air mata saat membaca novel, puisi dan karya sastra lainnya. Disini tampak
bahwa karya sastra juga mampu menumbuhkan karakter pribadi. Yaitu melalui karya sastra kita
dapat mengasah perasaan, berempati, lebih menghargai orang lain, memperhalus perasaan dan
membuat diri kita menjadi lebih dewasa.

Karya sastra banyak mengemukakan permasalahan yang sangat bermanfaat bagi perkembangan
psikologi atau jiwa peserta didik. Maka semakin banyak siswa yang membaca sastra, semakin
kayalah siswa akan pengalaman batin sehingga akan terbentuk pribadi yang lebih arif dalam
menghadapi problema kehidupan. Bukan berarti buku pelajaran ditinggalkan dan dilupakan.
Karena buku pelajaran merupakan bagian terpenting dan vital dalam proses pembelajaran.
Sedangkan buku-buku penunjang lainnya termasuk buku karya sastra (novel, antologi puisi dsb)
hanyalah sebagai pembentuk pribadi.

Hal inilah yang dihadapi guru Bahasa dan Sastra Indonesia untuk menekankan budaya gemar
membaca terutama tugas utama pengelola pustaka atau pustakawan sekolah untuk menyuguhkan
bahan bacaan yang bermanfaat dan berguna untuk membentuk kebiasaan gemar membaca
dikalangan sekolah. Pembelajaran sastra harus berorientasi pada kegiatan pengalaman bersastra
bukan pada pengembangan teori-teori sastra. Inilah “PR” bagi guru Bahasa Indonesia (termasuk
saya) yang harus (mampu) memberikan contoh dan memberikan pembelajaran (baik praktik
maupun teori) terhadap pendalaman materi sastra. Karena banyak guru Bahasa Indonesia yang
hanya mampu di bidang tertentu dan tunak dalam kepiawaiannya dalam kebahasaan dan
dibandingkan sastra-nya.

Kendala dalam kecintaan peserta didik terhadap membaca terutama membaca buku-buku sastra
yakni belum tersedianya buku-buku dan referensi tentang sastra. Terutama yang paling
menyedihkan yakni minat siswa untuk menggauli sastra masih minim. Keinginan “menggauli”
sastra tersebut tenggelam akan kehadiran tetamu baru mereka seperti game online, chatting,
facebook, twitter dan lain sebagainya. Sastra semakin diketepikan eksistensinya di kalangan
pelajar. Seharusnya di era canggih seperti sekarang kehadiran internet dapat dimanfaatkan untuk
mengakses sastra.

Apresisasi sastra di kalangan pelajar seolah hanya sekedar paham dan mengenal jenis-jenis karya
sastra. Namun untuk berkenalan lebih dekat mungkin masih belum mau. Menurut Aminuddin
(1978) menjelaskan bahwa apresiasi sastra merupakan kegiatan untuk menggauli karya sastra
secara sungguh-sungguh dapat menimbulkan kepekaan perasaan, daya pikir, dapat memetik
nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang terkandung dalam sastra. Dari pendapat itu, dapat
disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi sastra dapat tumbuh bila siswa terlibat dan akrab
bersahabat dengan sastra juga akan memberikan implikasi yang mampu merumuskan
karakternya.
Banyak sekali poin-poin karakter yang sebenarnya berad di rahim sastra itu sendiri. Bahkan
dalam sebuah pembelajaran, peserta didik diminta untuk menemukan unsur ekstrinsik (unsur
pembangun di luar sebuah karya sastra). Yakni peserta didik harus mencari nilai-nilai yang
berkaitan dengan cerita tersebut. Namun harus melakukan proses membaca. Nah, inilah
tantangan kita sebagai seorang guru Bahasa Indonesia yang mampu membangkitkan gairah
gemar membaca terhadap peserta didik. Nilai moral yang terkandung di dalam suatu karya sastra
harus ditentukan oleh peserta didik itu. Harapannya, setelah ditentukan seyogianya nilai-nilai
moral itu membalik kepada pribadi peserta didik tersebut. Bak kata pepatah “Buang yang keruh,
ambil yang jernih.” Maknanya adalah mengambil hal yang baik (positif) untuk dijadikan sebagai
bekal kehidupan, dan buang hal yang tidak baik (negatif) untuk dijadikan pelajaran.

Jika hendak mengenal orang berbangsa


Lihat kepada budi dan bahasa

Jika hendak mengenal orang yang mulia


Lihatlah pada kelakuan dia

Jika hendak mengenal orang yang baik perangai


Lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai
(Gurindam 12, Pasal 5, Raja Ali Haji)

Pendidikan karakter yang tengah digiatkan membuat dunia pendidikan gencar untuk
menanamkan nilai-nilai karakter dan budaya bangsa yang sejatinya telah ditanamkan oleh
leluhur bangsa ini. Nah, melalui karya sastra inilah karakter dan budaya bangsa perlu dijadikan
sebagai patokan dan identitas bangsa yang mampu membangun akhlak generasi dan menciptakan
generasi penerus bangsa yang berbudi pekerti luhur, kompetitif dan berakhlak mulia.
Pembentukan watak dan moralitas/akhlak siswa bukan hanya kewajiban guru agama atau
pendidikan kewarganegaraan semata, melainkan kewajiban kita semua. Terlebih kita melihat
generasi sekarang, yang kehilangan karakter dan generasi yang mengalami degradasi moralitas.

Maka sepatutnyalah kita berjuang untuk membentuk generasi yang berkarakter. Generasi yang
memiliki sence of crisis yang sangat tinggi. Kelak bila hal ini tercapai makan tidak akan ada lagi
pelajar yang tawuran, serta tindak amoralitas lainnya. Anomali akan tujuan hidup sebagai
seorang pelajar tidak akan terjadi dengan kepekaan sosial yang tinggi serta kesantunan dan nilai
religius yang sudah berbentuk, tertanam serta tercermin dalam pribadi siswa itu

You might also like