Professional Documents
Culture Documents
1651042003
PBSI A
“Aku paham, Upe. Ini semua untuk Latuwo, bukan untuk orang lain. Untuk anak kita. “ Daeng
Sallo kembali membangkitkan rasa rindu pada kedua anaknya. (Paelori, hlm. 7).
Indoupe hanya mengangguk lemah tanpa berani melihat wajah suaminya menegang dengan
tatapan kosong.
“ Mengapa aku yang dituduh?” suara Daeng Sallo seolah diperdengarkan kepada angin yang ada
disekelilingnya.
“Entahlah, Daeng. Kata mereka kita selalu menghalangi niatnya untuk menangkap torisalo,
penunggu sungai itu,
“ Indoupe berucap dengan hati-hati dan selembut mungkin. (Paelori, hlm. 9).
“Jalanmi Daeng ” Aku mengajak pak supir yang berdiri di sisi mobil.
“Belumpi penuh Kareng” jawabnya disertai dengan senyum. Aku menoleh. Masih kurang tiga
orang. Biasanya mobil meninggalkan terminal jika penumpang sudah penuh.
“Saya pi yang bayar untuk empat orang Daeng”. Aku sudah tidak sabaran. Bayangan ibu, ayah,
saudara dan segenap kawan kecilku telah terlintas di depan mata. (Rahim, hlm. 19).
Ternyata tidak demikian. Mereka justru membantuku dan memberi makanan buat adikku. Kami
ikut mereka menyeberang sungai untuk menyelematkan diri, tapi Isak tidak kuat lagi, dia
meninggal di tengah jalan. Kembali air mata Yohanna tumpah mengenang tragedi yang
memilukan itu.
Saya satu-satunya Nasrani di kelompok itu. Mereka ternyata baik-baik, tidak seperti yang sering
dituduhkan sebagian orang. Saya diperlakukan dengan baik, bukan seperti musuh. Di situlah
saya mulai berpikir bahwa Islam benar-benar agama yang damai. (Rahim, hlm. 48).
“Dari mana dik?” tanyanya dengan sopan disertai dengan senyum yang ramah.
“Sekolah,” jawabku sekenanya.
Setelah itu, diam. Ia juga tidak berbicara banyak. (2)Tapi dalam diam, setiap sekali matanya
membentur bola mataku pasti ia tersenyum ramah. Ramah sekali. (Paelori, hlm. 56).
Kutipan di atas menggambarkan perbincangan yang sopan antara Daeng Sallo dan Indo
Upe. percakapan tersebut sangat relefan dengan nilai sipakatu adalah sifat memanusiakan
manusia. Daeng Sallo dan Indo Upe menggunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai
antara suami istri seperti bagaimana mestinya. Di sisi lain, menggambarkan betapa sopannya
Indoupe berbicara dengan suaminya Daeng Sallo. Kepada seorang sopir yang belum dikenalnya.
Ini sangat menampakkan rasa sipakatau. sifat memanusiakan manusia tidak melihat manusia dari
segi jabatan, pangkat dan status sosial.
Cerita Yohanna kepada seorang sahabatnya ketika Yohanna diperlakukan dengan baik
oleh umat islam meskipun dia seorang nasrani. Ini membuktikan nilai siapakatau manusia tidak
meliha dari segi budaya, ras, dan agama.
Percakapan yang sangat sopan dan ramah, kutipan diatas tersebut menggambarkan nilai
siapakau yang yang mengedepankan nilai kesopanan dan keramahan ketika sedang berbicara
tanpa memandang dari segi apa pun.
2. Sipakainge (watak)
Sipakainge', merupakan sifat saling mengingatkan. Hal yang tak dapat di pungkiri dari
manusia yaitu, memiliki kekurangan. Karena tentunya manusia tidaklah sempurna, walaupun
manusia adalah ciptaan-Nya yang paling sempurna di muka bumi ini.
Sipakainge sangat erat hubungannya dengan watak yaitu sifat batin manusia yang
mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya seperti: tabiat, budi pekerti. Hal tersebut dapat
dilihat dari petikan cerpen sebagai berikut :
(1)“Jangan ganggu..., Jangan ganggu dia! Anakku tidak bersalah. Dia tidak bersalah...! Daeng
Sallo berteriak dengan mata tajam menancap satu-persatu orang di sekelilingnya. (Paelori, hlm.
12)
(1)“Torisalo yang kamu musuhi itu adalah anakku. Adalah darah dagingku. (2)Jika kamu
membunuhnya, berarti kamu juga telah membunuhku...!!!” suara Daeng Sallo semakin meninggi
dengan matanya tetap jalang meneliti orang-perorang yang mengelilinya. (Paelori, hlm. 12).
“Aku pernah bertemu dengan Karaeng Labakang. Beliau menanyakan kamu. (1)Jalan-jalanlah ke
rumahnya nanti. Putri bungsunya sudah mengajar di pesantren. (Rahim, hlm. 18).
(1)“Tolong Pak, larang mereka meninggalkan tempat”.Pinta Nurul pada seorang pedagang yang
memakai peci putih
(2)“Mari bapak-bapak kita hadapi mereka”. Ajak Nurul kepada para pedagang yang berani
tinggal di tempatnya. (Rahim, hlm.50).
(1)“coba Bapak pikir, seandainya yang berjualan di tempat ini adaalah orang tua atau saudara
Bapak, (2) apakah bapak tega untuk melakukan tindakan seperti ini?” Nurul menatap petugas
yang bertubuh tinggi di depannya. Sama sekali tidak gentar menghadapinya. (Rahim, hlm. 51).
(1)“Dia telah mengambil uang dengan meminjam kepada warga di sini. Hampir seluruh warga
telah diutangi. Dan kini dia sudah kabur entah ke mana,” jelas pemuda itu, yang juga katanya ia
termasuk korbannya. (Paelori, hlm. 62).
“ Sabar, Pak Faisal.” Pak Kepala mencoba menenagkan Pak Faisal. (Rahim, hlm. 92).
(1)“Astagfirullah. Daeng tidak perlu marah seperti itu. Istigfar, Daeng. Kan baru saja selesai
shalat, masa marah-marah seperti itu.
(2)Daeng kecewa ? Daeng menyesal menyumbangkan tanah untuk sekolah ini?” suara Bu
Abidah menahan kekecewaan. Wajahnya keras dan pucat, menutupi kelembutan yang selama ini
selalu melekat di sana. (Rahim, hlm. 94).
3. Sipakalebbi (Kekeluargaan)
Sipakalebbi, sifat yang dilarang melihat manusia dengan segala kekurangannya. Seperti
mengingat kebaikan orang dan melupakan keburukannya. Manusia memiliki naluri yang senang
dipuji, jadi saling memuji dapat menjernihkan suasana dan mengeratkan tali silaturahmi.
Sipakalebbi tidak dipisahkan dalam bingkai kekeluargaan, karena kekeluargaan adalah
aspek yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik langsung maupun dalam
bentuk kelembagaan (keluarga dan masyarakat). Hal tersebut dapat dilihat dari petikan cerpen
sebagai berikut :
Latuwo kan paling suka daging burung belibis. .. Mumpung aku masih hidup. Kalau bukan aku,
siapa lagi yang akan mengangkap belibis untuk anak kita ?” Daeng Sallo bercerita dengan nada
sendu bercampur. Kadang-kadang berhenti sejenak. Meluruskan punggungnya yang sudah mulai
sakit ketika duduk lama. (Paelori, hlm. 7).
“Bukan anakku, bukan!” Daeng Sallo membela anaknya. (Paelori, hlm. 13).
“Ini oleh-oleh untukmu”
Bune gembira sekali dengan pemberianku. Wajahnya menyiratkan keceriaan.
“Terima kasih Karaeng” katanya sambil mendekap pemberianku. (Rahim, hlm. 22).
“Esse kan ? Siniko dulu” Wanita hamil itu memanggilnya dengan logam Makassar. Terpancar
senyum di wajahnya, Nurul bertambah bingung. Nurul berusaha untuk tersenyum, tapi senyum
itu tidak tulus. … “Jangan-jangan wanita itu ...ah... tidak jadi. Kita tidak boleh menuduh orang
tanpa bukti “ pikirnya. (Rahim, hlm. 45).
Nurul melirik jam tangan. Hari sudah siang, dia belum berbelanja. Dia pamit pada Yohana. …
Sekali lagi dia merangkul sahabat lamanya. Tanpa sepengetahuan …Yohana, Nurul memasukkan
selembar lima puluh ribu rupiah ke dalaam sakunya. (Rahim, hlm. 50).
“kemarin saya dapat telegram dari adik, dia diminta dikirimi uang untuk biaya pengobatan itu.”
Tuturnya tanpa aku minta, tatkala aku sempat terdiam bebererapa jenak.
… Aku agak terenyuh dengan penuturannya. … Naluri kemanusiaanku tak membantah
sedikitpun. Aku menganngguk. (Paelori, hlm. 59).
… “kalau Daeng ikhlas, tidak ada tapi-tapian. Aku sudah senang kita dapat menyumbangkan
tanah ini untuk anak-anak di sini. Itu sudah cukup . tak usah diungkit-ungkit lagi. Nanti hilang
pahalanya…. Bukan begitu yang sering Daeng nasihatkan kepada murid-murid kita dulu ?”.
(Rahim, hlm.97-98).
Kutipan di atas memperlihatkan nilai sipakalebbi yang merupakan sifat yang tidak
melihat manusia dari kekurangannya dan terlihat jelas dari kutipan tersebut, ketika Daeng Sallo
sangat memperjuangkan dan ingin membahagiakan anaknya walaupun anaknya yang
diyakininya itu adalah seekor buaya. Daeng Sallo rela mati membela seekor buaya yang diyakini
bahwa buaya itu adalah darah dagingnya yang pada saat itu akan dibunuh warga.
Hal yang serupa terlihat ketika seorang karaeng yang memberikan oleh-oleh kepada Bune
yang hanya orang biasa. Sama halnya dengan Nurul sangat menghargai orang lain walaupun
orang itu belum dikenalnya. Nurul pun sangat peduli dengan sahabat lamanya Yohana, walaupun
Yohana sekarang hanyalah orang miskin, bersedia menolong orang lain yang sedang kesusahan
walaupun orang itu belum tertalu dikenalnya. Keiklasan Ibu Subaedah telah menyumbangkan
tanahnya untuk anak-anak digunakan sebagai sekolah walau pada akhirnya dia harus terusir dari
tanahnya sendiri karena pembangunan sekolah.
Lokalitas (locality) sebagai konsep umum berkaitan dengan tempat atau wilayah tertentu yang
terbatas atau dibatasi oleh wilayah lain. Lokalitas mengasumsikan adanya sejumlah garis
pembatas yang bersifat permanen, tegas, dan mutlak yang mengelilingi satu wilayah atau ruang
tertentu. Dalam konsep politik, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan dan penguasaan
wilayah, lokalitas dengan sejumlah garis pembatas yang dimilikinya itu, diandaikan pula seperti
berhadapan dengan kepungan garis pembatas lain sebagai simbol atau representasi kekuasaan
lain dalam posisi yang bisa bersifat arbitrer atau bisa juga dalam posisi yang saling mengancam.
Dalam konteks budaya, lokalitas bergerak dinamis, licin, dan lentur, meski kerap lokalitas
budaya diandaikan tidak dapat dilepaskan dari komunitas kultural yang mendiaminya, termasuk
di dalamnya persoalan etnisitas. Secara metaforis, ia merupakan sebuah wilayah yang
masyarakatnya secara mandiri dan arbitrer bertindak sebagai pelaku dan pendukung kebudayaan
tertentu. Atau komunitas itu mengklaim sebagai warga yang mendiami wilayah tertentu, merasa
sebagai pemilik—pendukung kebudayaan tertentu, dan bergerak dalam sebuah komunitas
dengan sejumlah sentimen, emosi, harapan, dan pandangan hidup yang direpresentasikan melalui
kesamaan bahasa dan perilaku dalam tata kehidupan sehari-hari.1
Ada garis imajinatif yang seolah-olah menjadi penanda untuk pembatas –relatif—berdasarkan
garis keturunan, genealogi, atau lingkaran kehidupan sosio-kultural. Oleh karena itu, lokalitas
budaya, lantaran sifatnya yang dinamis, licin, dan lentur, dapat ditarik ke belakang yang
menyentuh tradisi dan kearifan masyarakat dalam menyikapi masa lalu, ke depan yang
mengungkapkan harapan-harapan ideal yang hendak dicapai sebagai tujuan, ke sekitarnya dalam
konteks kekinian, berkaitan dengan kondisi dan berbagai fenomena yang sedang terjadi dalam
masyarakat, atau bahkan ke segala arah yang menerabas lokalitas budaya yang lain.
Dalam hal itulah, lokalitas budaya tidak bisa direduksi dengan melakukan pembatasan melalui
garis geografi atau politik. Bagaimanapun, lokalitas budaya tidak akan pernah sejalan dengan
lokalitas dalam pengertian politik pemerintahan yang melihatnya sebagai persoalan kedaerahan
dengan batas kewilayahan yang diasumsikan bersifat permanen, tegas, dan mutlak. Maka dalam
pengertian politik itu, lokalitas budaya dimaknai sebagai budaya lokal yang lalu diperlakukan
sebagai budaya daerah.
Dari sanalah dimulainya problem kebudayaan (Indonesia) yang bergulir dengan lahirnya usaha
membuat dikotomi kebudayaan lokal (: etnik) dan kebudayaan nasional. Kebudayaan lokal yang
dibenturkan dengan kebudayaan nasional berakibat terjadinya marjinalisasi sejumlah kebudayaan
etnik yang lantaran berbagai faktor, secara sepihak ditempatkan sebagai bukan termasuk
kebudayaan nasional. Dalam hal ini, ada hegemoni dan penafikan terhadap dinamika kebudayaan
lokal yang secara salah kaprah dicap sebagai kebudayaan daerah. Dengan demikian, dikotomi
pusat—daerah mengisyaratkan bahwa pusat mengatasi daerah. Tak ada kesejajaran di sana.
Relasinya hegemonik, sebab yang ada adalah kecenderungan budaya yang satu melakukan
hegemoni terhadap yang lain, dan hubungannya berlaku secara vertikal, tidak horisontal.
Pandangan dikotomis semacam itu cenderung diskriminatif karena menempatkan yang satu
(pusat) seolah-olah lebih penting daripada yang lainnya (daerah).
Sastra sesungguhnya merupakan produk budaya. Ia lahir dari kegelisahan kultural seorang
pengarang. Secara sosiologis, pengarang adalah anggota masyarakat, makhluk sosial yang sangat
dipengaruhi lingkungan sosial budaya masyarakatnya. Maka, ketika ia memutuskan hendak
mengungkapkan kegelisahannya sebagai tanggapan evaluatif atas segala problem yang terjadi
dalam komunitas budayanya, representasinya terakumulasi dalam teks sastra. Dengan demikian,
teks sastra sebenarnya dapat digunakan menjadi semacam pintu masuk untuk memahami
kebudayaan sebuah komunitas.
Lokalitas dalam sastra (teks) mestinya diperlakukan bukan sekadar latar an sich, melainkan
sebuah wilayah kultural yang membawa pembacanya pada medan tafsir tentang situasi sosio-
kultural yang mendekam di belakang teks. Di sana lokalitas bukan abstraksi tentang ruang atau
wilayah dalam teks yang beku, melainkan ruang kultural yang menyimpan sebuah potret sosial,
bahkan juga ideologi yang direpresentasikan melalui interaksi tokoh-tokohnya dan dinamika
kultural yang mengungkapkan dan menyimpan nilai-nilai tentang manusia dalam kehidupan
berkebudayaan. Lokalitas –menyitir pandangan Melani Budianta—adalah “proses pembumian
yang tidak pernah berhenti bergeser, berpindah, dan berubah.” Jika demikian, lokalitas dalam
sastra, dapat dikatakan sebagai proses pemaknaan atas teks yang tersurat atau tersirat. Di sinilah
imajinasi pembaca sangat menentukan proses pemaknaannya. Maka, tidak terhindarkan, makna
teks, jadinya akan terus menggelinding, membengkak, dan memancarkan banyak hal yang dapat
dicantelkan dengan realitas masa lalu, masa kini, atau masa depan yang mungkin bakal terjadi.3
Begitulah, lokalitas dalam sastra semestinya dimaknai sebagai ruang kultural yang dinamis dan
tak pernah berhenti pada makna tertentu ketika ia melekat pada teks. Teks sastra pada gilirannya
menjelma medan tafsir yang bermuara pada ruang imajinasi pembaca. Bukankah sastra dalam
proses pemaknaan pembaca adalah teks yang akan terus menggelindingkan hiruk-pikuk
penafsiran. Oleh karena itu, pemahaman lokalitas dalam (teks) sastra sebagai ruang budaya akan
menempatkan makna teks ke dalam wilayah medan tafsir yang lebih luas lantaran bisa ditarik,
dipadankan, dan dicantelkan dengan realitas kehidupan. Makna teks pada akhirnya tidak berhenti
pada makna tekstual, tetapi terus berkeliaran mengembangkan maknanya secara kontekstual.
Dalam banyak pandangan pengamat sastra Indonesia, kesusastraan Indonesia yang sejatinya
merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan yang melahirkannya, seolah-olah wujud
begitu saja, tanpa proses, tanpa pergulatan budaya pengarangnya. Sepertinya, sastra Indonesia
dibawa para malaikat dari langit dan kemudian jatuh seketika di ruang pembaca. Seolah-olah
lagi, sastra Indonesia datang dari tiada menjadi ada, dari situasi kosong, tanpa apa pun, tiba-tiba
lahir dan mengada. Akibatnya, sastra Indonesia dimaknai tanpa ada usaha untuk memahami
berbagai masalah sosio-kultural yang melatarbelakanginya dan penyelusupan ideologi yang
melatardepaninya. Oleh karena itu, sastra Indonesia seperti telah tercerabut dari akar budaya dan
problem ideologi, ketika ia diposisikan sebagai teks an sich.
Pencerabutan sastra Indonesia dari akar budayanya itu terjadi juga ketika tiba-tiba ada pemisahan
yang tegas antara sastra Indonesia lama dan sastra Indonesia modern.4 Demikian juga hubungan
sastra daerah5 dan sastra Indonesia seolah-olah sudah menjadi produk budaya yang berada dalam
dua kutub yang berjauhan. Keduanya seperti berjalan sendiri-sendiri dan seolah-olah tidak saling
mengenal, tidak saling mempengaruhi.
Secara temporal, lokalitas dalam sastra sesungguhnya dihadirkan oleh momen dan peristiwa
tertentu. Muhammad Yamin, misalnya, dalam dua puisi awalnya,6 menyebut Sumatera—Andalas
mula-mula sebagai tanah Melayu yang bahasanya digunakan sebagai lingua franca penduduk
Nusantara. Sumatera ditempatkan sebagai titik berangkat tradisi yang melahirkannya. “Di mana
Sumatera, di situ bangsa/Di mana perca, di sana bahasa// (“Bahasa, Bangsa”). Dalam puisi
“Tanah Air”, Sumatera lebih tegas lagi dikatakan sebagai Tanah Air: “Itulah tanah, tanah
airku/Sumatera namanya tumpah darahku//
Sumatera sebagai lokalitas budaya, bagi Yamin tidak berhenti pada tanah Melayu. Juga
kemudian disadari bukan sekadar tempat kelahiran: tumpah darahku. Dalam konteks itu, Tanah
Air yang pada awalnya dimaknai sebagai tempat kelahiran yang tidak lain adalah Sumatera,
memperoleh perluasan makna. Tumpah darahku dan Tanah Airku sebagai tempat kelahiran,
tidak lagi jatuh pada Sumatera, melainkan Indonesia. Puisinya yang berjudul “Indonesia,
Tumpah darahku”7 menunjukkan gagasan Yamin tentang lokalitas budaya yang melingkupi:
wilayah, bangsa, dan bahasa.8
Demikianlah, pemaknaan lokalitas dalam sastra tidak dapat berhenti hanya pada teks, hanya pada
makna tekstual. Di belakangnya bertaburan kekayaan makna lain yang tidak hanya menuntut
pembaca mengisi ruang kosong yang ditinggalkan teks, melainkan juga menuntut pembaca
memahami kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra.
Pertama, lokalitas Minangkabau dengan Datuk Meringgih dan tradisionalismenya adalah musuh
ideologi yang harus diperangi. Tetapi di sana, ada juga pihak lain yang harus dibela: ninik-
mamak, kultur leluhur, tanah kelahiran, dan idealisme anak muda Minang. Maka, Datuk
Meringgih, dengan sejumlah sisi negatifnya, juga mempunyai alat legitimasi: membela ninik-
mamak, kultur leluhur, dan tanah kelahiran. Datuk Meringgih tampil dalam dua kutub yang
saling berlawanan: tradisionalisme—patriotisme. Ia menjadi sosok tokoh penindas, curang-licik,
serakah, dan brengsek yang menunjukkan segala sisi negatif bagi kemanusiaan.
Sementara itu, sistem pajak (belasting) yang dapat dimaknai sebagai penghancuran otoritas
ninik-mamak, pencemaran kultur leluhur, dan pencaplokan tanah kelahiran, adalah alat
legitimasi tindakan patriotisme sang Datuk Meringgih. Maka, tersirat ia tampil sebagai
pahlawan.
Kedua, lokalitas Jakarta (Batavia) dengan Samsulbahri dan modernismenya, juga musuh
ideologis yang harus diperangi. Jakarta dengan Stovia-nya, memang menawarkan sisi positif
modernisme melalui dunia pendidikan. Tetapi di sisi yang lain, Jakarta sebagai pusat kekuasaan
kolonial, memproduksi politik kolonial yang diskriminatif, menciptakan pengkhianatan pada
tanah leluhur.
Bahwa Datuk Meringgih dan Samsulbahri pada akhirnya tewas, itulah bentuk kompromi yang
menggiring pembaca melakukan introspeksi. Pembelaan dengan memberi kemenangan pada
tradisionalisme Datuk Meringgih, sama buruknya dengan pembelaan pada Samsulbahri yang
tercerabut dari akar budaya leluhur, jadi pengkhianat, lalu datang ke tanah kelahiran justru untuk
membunuhi sanak-saudaranya sendiri. Bahwa kematian Samsuhbahri diusung sebagai pahlawan,
itu juga bentuk kompromi dengan syarat dan aturan main yang ditetapkan Balai Pustaka.
Lokalitas dalam Salah Asuhan pada dasarnya juga merepresentasikan perang ideologi yang
semacam itu. Minangkabau—Jakarta, Rafiah—Hanafi—Corrie adalah simbolisasi dua kutub
ideologi. Minangkabau—Rafiah adalah dunia adat yang dalam hal-hal tertentu bermakna negatif.
Ia hidup dengan segala kesederhaan, keterbelakangan, dan kebodohannya, meski pada akhirnya
tampil sebagai korban dan sekaligus juga pemenang. Batavia—Corrie adalah modernisme yang
dalam beberapa hal, justru berdampak negatif ketika gaya hidup modern (: Barat) menjadi
ukuran. Maka, Batavia tempat yang subur bagi pemuasan gaya hidup modern Corrie, tetapi tidak
untuk Hanafi. Keadaannya lebih buruk lagi bagi Hanafi. Ia membuang kultur leluhur dan hidup
di kota yang dijalaninya setengah hati. Hanafi tertolak di tanah kelahirannya dan mati sebagai
pecundang.9
Sejak Balai Pustaka berdiri dan memainkan peranannya sebagai agen ideologi kolonial, lokalitas
Minangkabau yang pada awalnya diposisikan dalam tarik-menarik tradisionalisme dan
modernisme, seperti sengaja diperluas menjadi stereotipe tentang Timur yang kemudian
dibenturkan dengan stereotipe Barat. Lokalitas dalam sastra yang terbit pada zaman itu lalu
ditandai dengan ciri-ciri umum yang memperlihatkan potret etnik yang eksotik, tradisional,
komunal, dan karikaturis.10 Ciri umum itu tentu saja berlainan dengan stereotipe Barat yang
lumrah, modern, individual, kompleks, dan berperadaban dan berkebudayaan tinggi dengan
berbagai teknologinya
Pada zaman Jepang (1942—1945), konsep lokalitas bisa ditarik—ulur sesuai tuntutan ideologi
pemerintah pendudukan Jepang. Lokalitas Jawa dengan ikon Borobudur, misalnya, bisa
ditempatkan sebagai milik Indonesia, cermin kemajuan peradaban Asia Tenggara, menjadi
kebanggaan bangsa Asia, awal kebangkitan kembali bangsa-bangsa di Asia—Afrika (: Mesir).
Dengan demikian, Sakura, Angkor Wat, Tembok Besar Cina atau piramida Mesir, sengaja
digunakan sebagai pintu masuk untuk menumbuhkan rasa percaya diri bangsa Asia dan
kebangkitan bangsa-bangsa Asia dan Afrika dalam menentang kolonialisme (Barat). Lokalitas
digunakan sebagai alat menggugah sentimen ras sesama bangsa Asia. Jika pada zaman
sebelumnya dunia Timur digambarkan sebagai stereotipe tradisional, terbelakang, tidak
berbudaya, irasional, dan mirip barang rongsokan, maka pada zaman Jepang, stereotipe itu
dibongkar dan dicitrakan sebaliknya. Citra bangsa Barat –kecuali Jerman dan Italia yang menjadi
sekutu Jepang—kerap digambarkan sebagai bangsa yang serakah yang pada akhirnya menjadi
pecundang.
Lokalitas dalam sastra pada akhirnya tidak dapat dipatok sebatas makna tekstual. Teks sekadar
bertugas memberi isyarat pada pembaca akan adanya simpul-simpul makna yang mendekam dan
bersembunyi di luar teks. Ketika makna itu diterjemahkan pembaca, seketika itu pula simpul-
simpul tadi memberi sinyal lain yang memungkinkan saklar imajinasi pembaca bergentayangan
memasuki medan tafsir dan mengungkap kekayaan dan kompleksitas sosio-budaya yang
melingkari, membentuk, mempengaruhi, dan menciptakan visi budaya dalam diri sastrawan
bersangkutan. Dengan demikian, lokalitas dalam sastra, lebih merupakan ruang imajinatif
pembaca yang titik berangkatnya bersumber pada teks, pada makna tekstual.
Bagaimana kita menyimpulkan persoalan lokalitas dalam teks di atas? Bukankah ketika kita
mengikuti deretan kalimat dalam teks itu, tanpa sadar, saklar imajinasi kita menyala seketika dan
kemudian bergentayangan mencari cantelannya pada makna di luar teks? Tidak dapat lain, pintu
masuknya memang teks. Dan yang menghidupkan teks itu memperoleh lokalitasnya, tidak lain,
karena pembaca juga mempunyai persediaan referensi tentang lokalitas berdasarkan pemahaman
dan pengalamannya sendiri. Bukankah teks itu hidup lataran imajinasi pembaca menghidupinya.
ha ha
Bagaimana kita menemukan lokalitas dalam puisi itu ketika sinyal dan simpul-simpul maknanya
tidak kita temukan atau seola-olah tidak ada di sana. Kembali, persoalan lokalitas dalam sastra
tidak berhenti pada teks. Dalam hal ini, salah satu tugas utama pembaca adalah menelusuri,
melacak dan mencari makna di luar teks. Pencarian dan pelacakan itu memang pada akhirnya
bermuara pada latar belakang sosio-kultural yang melingkari diri pengarang. Cantelan teks
dengan konteks menjadi niscaya ketika kita hendak menguak kekayaan maknanya. Lokalitas
menjadi ruang sosio-kultural yang harus diterjemahkan berdasarkan pemahaman tiga kode: kode
bahasa, kode sastra, kode budaya.
Ketika kita mencoba menerjemahkan makna puisi itu secara tekstual, seketika itu pula kegagalan
membayangi kita dalam usaha mengungkapkan kekayaan makna yang mendekam di belakang
teks. Meskipun begitu, ketika kita menemukan makna yang berada di belakang teks, problem
lokalitas tetaplah mesti ditempatkan dalam medan tafsir yang terus menggelindingkan maknanya
sampai entah ke mana. Sutardji Calzoum Bachri secara kultural menyerap dan merevitalisasi
mantra, pantun, gurindam, dan tradisi sosial—budaya Melayu. Tetapi ketika ia berada di level
sastra Indonesia, lokalitas Melayu serta-merta berhadapan dengan lokalitas budaya lain dan
diizinkan menerobos wilayah dalam wacana keindonesiaan. Tetapi, ketika Melayu ditempatkan
dalam wilayah regional, lokalitas Melayu seketika bisa menerabas lokalitas budaya yang lain
hingga melewati batas politik wilayah negara Asia Tenggara. Lokalitas dalam sastra menjadi
begitu lentur, fleksibel, licin, dinamis, dan tidak menyediakan sebuah tempat pemberhentian
terakhir. Dalam ruang imajinasi pembaca, memang tersedia terminal. Tetapi ia bukan sebagai
tempat pemberhentian terakhir, tetapi sebagai titik pemberangkatan berikutnya menuju makna
teks yang tidak pernah berhenti menggelinding, dan oleh karena itu juga tidak pernah selesai
dirumuskan.
Lokalitas dalam konteks global pada akhirnya juga dapat diperlakukan begitu licin, lentur,
dinamis yang dalam bahasa Melani Budianta, tidak pernah berhenti bergeser, berpindah, dan
berubah. Dengan demikian, dikotomi lokalitas—globalitas adalah konsepsi yang secara spasial
bersifat relatif lantaran tidak dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang sudah selesai. Ia berada
dalam ruang dinamis yang secara terus-menerus dapat diperluas atau dipersempit, bergantung
pada keluasan wawasan pembaca dan kecerdasannya memainkan ruang imajinasi ketika ia
memasuki dan berada dalam medan tafsir.
Salah satu problem besar pemahaman sastra Indonesia –sebagaimana yang tampak dalam
pengajaran sastra Indonesia di sekolah dan berdasarkan pengamatan sejumlah besar skripsi atau
tesis di berbagai institusi sastra—adalah kemalasan mencari dan menemukan cantelan teks
dengan konteks sosio-budaya. Padahal, sastra Indonesia menyajikan begitu banyak problem itu.
Belum lagi jika dikaitkan dengan perubahan politik sekarang yang memberi ruang pemerintah
daerah mengurus dan mengembangkan dirinya (otonomi daerah). Oleh karena itu, keyakinan
bahwa teks sudah menyediakan segalanya dan pemaknaannya cukup sampai pada makna
tekstual, mesti dimaknai sebagai salah satu halte yang memungkinkan pembaca melanjutkan
perjalanannya sampai entah ke mana.
Demikianlah, lokalitas dalam sastra tidak lain adalah isyarat dan simpul makna teks yang
mempunyai kualitas untuk menghidupkan saklar imajinasi pembaca memasuki medan tafsir yang
tidak pernah selesai. Tanpa kualitas itu, lokalitas dalam sastra akan terjerembab pada
ketersesatan
Piaget menjelaskan bahwa ide tentang strukturalisme berkembang dari tiga hal yaitu: totality,
transformation, dan autoréglage. Totality artinya bahwa struktur harus dinilai sebagai satu
kesatuan, satu totalitas. Suatu struktur merupakan gabungan dari unsur-unsur pembentuk yang
memiliki hubungan dan saling terikat Transformation berarti bahwa suatu struktur menjadi unsur
dari struktur yang lebih besar. Atau dengan kata lain, suatu struktur selalu di dalam proses
bertransformasi. Autoréglage artinya bahwa secara kodrati sebuah struktur terlindungi dari
deviasi sehingga menjadikan suatu struktur dapat terus berkembang menjadi struktur yang lebih
kompleks (Piaget, 1995: 3 – 12).
Di dalam ranah sastra, penerapan tiga hal tersebut juga dikatakan oleh Kenney (1966: 5) dengan
kalimat “[yang dimaksud dengan] analisis terhadap karya sastra adalah kegiatan mengidentifikasi
elemen-elemen penyusun karya tersebut, dan lalu menjelaskan hubungan antarelemen sebagai
suatu kesatuan. Bentuk final dari analisis adalah sebuah simpulan bahwa suatu karya sastra
merupakan kesatuan yang padu dan kompleks”. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa ide
tentang strukturalisme di dalam analisis karya sastra merujuk pada identifikasi unsur-unsur yang
membentuk totalitas. Untuk lebih jelasnya, secara garis besar pendekatan struktural dapat
dirumuskan sebagai berikut (Atmazaki, 1993: 124):
1. Karya sastra mempunyai struktur, yaitu suatu kesatuan yang bulat dan bersistem.
2. Setiap unsur di dalam karya sastra saling berkaitan dan fungsional atau saling berkaitan
3. Nilai keseluruhan karya sastra dibentuk atas nilai unsur-unsurnya.
4. Unsur-unsur di dalam suatu karya sastra tidak mempunyai makna sendiri-sendiri, namun
unsur-unsur tersebut secara bersama-sama membentuk makna menyeluruh. Atau dengan
kata lain, makna unsur suatu karya sastra bukanlah makna karya sastra, namun hanya
makna unsur itu sendiri.
Berdasar sejarahnya, sebenarnya pendekatan struktural pada karya sastra pada awalnya dimulai
oleh Aristoteles (Teeuw, 1984: 120) lewat bukunya Poetika. Aristoteles menyatakan bahwa
suatu karya sastra haruslah dilihat dari kebagusan konstruksi antara order (tata urut sehingga
konsistensi terjaga dan konsekuensi sebab-akibat menjadi masuk akal), amplitude atau
complexity (kekompleksan ruang lingkup yang memungkinkan sebab-akibat mendapat tempat
dan dapat dirunut), unity (kepaduan sehingga plot menjadi jelas), dan coherence (koherensi yang
berarti bahwa suatu karya sastra menyusun plot dalam pilahan kejadian-kejadian yang relevan
dalam penghubungan sebab-akibat) (Teeuw, 1984: 121).
Kritik struktural, atau dulu awalnya disebut kritik formalis, menitikberatkan pada analisis unsur
internal pada suatu karya sastra. Kritik struktural bersikeras bahwa suatu karya sastra bersifat
mandiri dalam artian bahwa kehidupan penulis, latar sosial penciptaan, pandangan filosofis
seorang penulis merupakan hal yang tidak relevan di dalam kritik. Tindak kritik struktural
hanyalah pembacaan rapat atau close reading dalam membongkar dan memaparkan keterkaitan
semua unsur yang ada di dalam suatu karya di dalam mengkonstruksikan suatu totalitas (Teeuw,
1984: 135; Guerin et al, 1979: 76). Kritikus struktural percaya bahwa nilai objektivitas suatu
kritik dapat diperoleh dengan cara yang demikian.
Berbicara mengenai kritik struktural, buku Structuralist Poetics dari Jonathan Culler (1975)
mungkin termasuk rujukan yang komprehensif di dalam memahami kaidah kritik struktural. Saat
kita tadi merujuk tentang bagaimana close reading itu dilakukan maka Culler menyarankan
istilah poetika kaum struktural. Poetika kaum struktural bukanlah suatu kesatuan organis yang
menjadi standar nilai namun lebih kurang adalah sebagai suatu hipotesis teknik pembacaan
intens (Culler, 1975: 263) yang dengannya seorang pembaca bakal berpartisipasi ke dalam teks
dengan baik secara intens sehingga pada produk finalnya akan mampu menyingkap apa yang ada
di balik teks dengan cara sistematis (Culler, 1975: 259).
Culler mengajukan suatu hipotesis operasi pembacaan intens dalam konteks kritik strukturalis
terhadap sajak dan novel. Ia menyatakan bahwa pembacaan intens kaum strukturalis terhadap
sajak beroperasi pada: (1) distance dan deixis, (2) organic wholes, (3) theme dan epiphany, (4)
resistance dan recuperation (1975: 164 – 188) sedangkan pada novel, pembacaan berfokus pada:
(1) lisibilité dan illisibilité, (2) narrative contracts, (3) codes, (4) plot, (5) theme dan symbol, (6)
character (1975: 189 – 238).
Pada pembacaan intens terhadap sajak, deixis adalah fitur-fitur orientasional bahasa yang berkait
dengan situasi ujaran semisal: “aku”, “kau”, dan subjek lain yang terlibat di dalam teks, kata
tertentu yang bisa merujukkan pada konteks di luar teks, kata keterangan waktu yang
merujukkan pada waktu tertentu, kata kerja yang sengaja tanpa prefiks dll.. Karena menurut
strukturalis sajak adalah dunia yang otonom, maka dapatlah dikatakan bahwa sajak tidaklah
secara kontekstual eksplisit, atau malah tidak sama sekali, terkait dengan waktu tertentu
sebagaimana berita surat kabar atau fragmen biografi dan tidak pula secara interpersonal terkait
dengan orang-perorang (Culler, 1975: 165). Dengan istilah lain, konstruksi citraan kita akan
dunia yang dibentuk oleh sajak yang kita baca adalah sebenarnya suatu bentuk tafsir tersendiri,
dan tergantung dari pengalaman subjektif, yang disulut oleh pem-bacatafsir-an bahasa. Untuk
pemahaman lebih lanjut mengenai deixis dapat dibaca pada tulisan saya pada halaman lain
dengan judul ‘Pragmatik dan Lingkupnya’.
Sedangkan distance merujuk pada selalu adanya jarak antara pembaca dan penyair. Di satu sisi,
pembaca strukturalis berusaha menekankan akan independensi sebuah teks sehingga dapat
menciptakan figur persona fiktif, karena operasionalisasi mengarahkan pembaca strukturalis
untuk berlaku demikian, namun mustahil lepas dari bayang-bayang eksistensi penyair. Proses
demikian adalah disebut naturalisasi, saat di mana terjadi tarik ulur jarak antara pembaca dan
bayang-bayang pencipta saat pembacaan suatu teks menghasilkan dunia yang unik (Henri
Meschonnic dalam Culler, 1975: 170).
Organic wholes dapat diartikan sebagai ekspektasi pembaca yang secara alami bakal
menganggap dan lalu mengoperasikan setiap bagian dari teks sebagai bagian integral dari
keseluruhan teks. Ekpektasi akan totalitas atau koherensi suatu teks selalu terjadi di dalam setiap
pembacaan. Dan dengan demikian maka pemaknaan akan beroperasi sepanjang batasan yang
diekspektasikan menuju kerucut tematis sebagaimana telah dimunculkan di dalam kajian oleh
Jakobson, Greimas, Todorov, dan juga Barthes (Culler, 1975: 171 – 172). Bahkan secara ironis
dikatakan pula oleh Culler bahwa:
It is at least a plausible hypothesis that the reader will not feel satisfied with and interpretation
unless it [the interpretation] organizes a text to one of these formal models of unity (1975: 174).
Theme dan epiphany merujuk kepada konvensi atau ekspektasi pembaca terhadap suatu teks.
Pembaca selalu, tanpa disadarinya, membaca teks sajak dengan memiliki asumsi bahwa teks
sajak tersebut baik sedikit atau banyak, baik sederhana maupun kompleks, memiliki potensi
keindahan sebagai sajak. Oleh sebab itulah pembacaan sajak lebih merupakan suatu proses
pencarian letak estetika sajak atau memakai istilah Culler “to grant it[s] significance and
importance” sehingga secara tidak sadar lalu melembagakan teks tersebut sebagai sajak (1975:
175). Lalu terjadilah apa yang disebut dengan epiphany (atau kurang lebih dapat diterjemahkan
sebagai “momen tercerahkan”) sehingga signifikansi tematis menjadi terproduksi (Culler, 1975:
177 – 178). Hal ini misalnya dapatlah diambil contoh pada kasus pembacaan terhadap sajak
Robert Frost “The Road not Taken”. Oleh sebab pembaca menganggap bahwa teks “The Road
not Taken” adalah sajak, maka peristiwa pemilihan jalan bercabang di sebuah hutan dapatlah
memproduksi signifikansi tematis akan simbolisasi pilihan dalam hidup yang berimplikasi pada
perbedaan jalan hidup seterusnya.
Resistance dan recuperation merupakan hal terakhir yang dibahas Culler di dalam bukunya,
Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics, and the Study of Literature, sebagai bagian dari
poetika sajak. Resistance merujuk kepada kemampuan sajak di dalam memperlambat kejelasan
makna yang diproduksi lewat permainan gaya bahasa dan format penulisan (Culler, 1975: 179).
Saat di mana seorang pembaca mulai memahami kekaburan ini, maka ia mengalami
recuperation (vraisamblable) atau penyadaran dari dunia yang sebelumnya kabur dan mungkin
ambigu. Hal ini juga berlaku pada permainan tipografi semisal dalam sajak Sutardji Calzoum
Bachri “Tragedi Winka Sihka” yang berbentuk huruf Z bakal mungkin ditafsir oleh kaum
strukturalis sebagai esensi sajak tersebut. Bahwa sajak tersebut berakhir (“Z” adalah huruf
terakhir) di tempat tidur (“Z” adalah simbol komikal universal dengkur orang tidur). Demikian
disebabkan bahwa kaum strukturalis tidak melihat kekacauan tipografi sajak “Tragedi Winka dan
Sihka” tersebut sebagai tidak bermakna namun merupakan petunjuk untuk menyusun ulang
konteks pembacaan.
Seperti sudah disebutkan sebelumnya, pembacaan novel berdasarkan poetika novel merujuk
kepada 6 hal yaitu: lisibilité dan illisibilité, narrative contracts, codes, plot, theme dan symbol,
dan character. Ekpektasi dari kaum strukturalis ketika membaca novel adalah adanya keterkaitan
antara plot, tema, dan karakter. Lisibilité dan illisibilité terkait dengan koherensi dan kelogisan
kait antara plot, tema, dan karakter yang disadari pembaca ada di dalam sebuah novel sebagai
menantang untuk penafsiran dunia di dalam novel berpijak kepada dunia sebenarnya. Ambil
contoh misalkan “Khotbah di atas Bukit” karya Kuntowijoyo dianalisis, maka bisa jadi muncul
analisis sebagai berikut: bahwa Barman (metatesis dari brahman, pandita), seorang karakter yang
sudah tua, akhirnya mendapat pencerahan dan tidak mempedulikan lagi Popi (permainan kata
dari istilah “pop”, “populer”, disukai banyak orang, kesenangan), seorang karakter yang masih
muda. Barman lalu menjadi seorang yang dianggap suci dan akhirnya beroleh pengikut
meskipun akhirnya pengikutnya kecewa karena khotbah Barman di atas bukit tidak menyiratkan
pesan yang jelas.
Barman ditafsirkan sebagai metatesis dari brahman karena mirip kata dan usia Barman yang
sudah tua. Tua dianggap sebagai fase tercerahkan di dalam hidup seseorang. Sedangkan Popi
ditafsirkan sebagai pop adalah karena ia sesuatu yang ditinggalkan oleh seorang pandit:
kesenangan hidup. Klimaks dicapai pada momen khotbah di atas bukit adalah sebagaimana
menjadi keberterimaan umum. Sedangkan inti dari cerita adalah ‘pencerahan tidaklah bisa
gampang ditransfer ke orang lain’ sebagaimana pengikut Barman merasa tidak mendapatkan
apa-apa sepeninggal Barman.
Narrative contracts atau dapat diterjemahkan sebagai kontrak-kontrak naratif adalah unsur dari
struktur novel yang menunjukkan terpenuhinya kontrak-kontrak tersebut. Kontrak-kontrak
naratif meliputi tiga hal yaitu: (1) deduksi dan keterkaitan model bagaimanakah yang
ditampilkan narator di dalam novel (Culler, 1975: 195), (2) bagaimanakah narator membentuk
dunia suatu novel yang bisa dibayangkan oleh pembaca (Culler, 1975: 196-197), (3)
bagaimanakah posisi narator di dalam membawa pembaca memperoleh makna (Culler, 1975:
200 – 201).
Unsur ketiga adalah codes. Codes adalah hal-hal di dalam novel yang berkait dengan latar
budaya, pemahaman sebab-akibat, pengetahuan fitur-fitur semantis, pembacaan simbolis dan
tematis (Culler, 1975: 202 – 203). Kemudian unsur keempat yang masuk hitungan adalah plot.
Plot dapat diartikan sebagai “susunan peristiwa berdasarkan kaitan sebab akibat” (Kenney, 1966:
13).
Theme dan Symbol di dalam rumusan Culler mengenai poetika strukturalis merupakan dua hal
yang saling terkait. Ia sebagaimana mengikut pendapat Barthes percaya bahwa kondensasi
simbolis muncul karena adanya oposisi tematis (Culler, 1975: 225). “The Old Man and The Sea”
karya Hemingway, sebagai contoh, dapatlah dikatakan sebagai simbol bahwa kehidupan adalah
misteri karena kisah pergulatan di dalamnya menampilkan oposisi tematis kehidupan Santiago
antara beruntung/apes, jagoan/pecundang, manusia/alam. Dan unsur yang terakhir adalah
character. Karakter menurut Steinmann dan Willen adalah “persona fiktif yang digambarkan
atau dihidupkan di dalam karya sastra rekaan (1967: 697). Kaum strukturalis menganalisis
karakter-karakter yang ada di dalam novel sebagai bagian yang penting. Meskipun demikian,
Culler menyoroti kaum strukturalis sebagai tidak utuh di dalam analisis sebuah karakter. Ia
menilai bahwa kaum strukturalis hanya menghakimi sebuah karakter berdasarkan definisi
pemodelan kultural (Culler, 1975: 237). Saat seorang pembaca strukturalis menahbiskan sebuah
karakter sebagai penjahat, sebenarnya atribut-atribut mengenai penjahat yang didefinisikan oleh
pemodelan kultural pembaca-lah yang bermain. Namun bagaimanapun hal ini tidak bisa
dihindari mengingat penjabaran sebuah karakter di dalam novel tidaklah bisa detil dan juga
adanya kebutuhan cerita untuk mempunyai karakter jahat dan juga karakter baik.
Selain model yang diajukan oleh Culler di atas, ada model lain yang sering dipakai di dalam
analisis struktural. Model tersebut disebut dengan explication du text atau juga populer disebut
sebagai model formalis Perancis. Mengenai prosedurnya dapat dibaca dari buku Kritik Sastra:
Sebuah Pengantar dari André Hardjana (1994). Di dalam bukunya tersebut Hardjana
memasukkannya di dalam satu bab tersendiri beserta pemaparan yang komprehensif mengenai
prosedur model analisis explication du text.
A. Pendahuluan
Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang demikian itu, menumbuhkan semangat untuk
mengkaji sebab musababnya dan mencari pemecahannya. Penelitian dan seminar mengenai
masalah itu telah berkali-kali yang diselenggarakan oleh berbagai instansi, baik pemerintah
maupun swasta. Ujungnya adalah persamaaan persepsi terhadap pentingnya menggalakkan
pendidikan karakter.
B. Pembahasan
Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi
pekerti. Karakter dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu perangai atau perbuatan yang selalu
dilakukan atau kebiasaan. Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Pritchard (1988: 467) mendefisikan
karakter sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan hidup individu yang bersifat menetap
dan cenderung positif.
Karakter sebagai akhlak dapat bersifat positif atau negatif. Dalam pandangan agama terdapat
akhlakul karimah (ahlak yang mulia) dan akhlakul madmumah (akhlak tercela). Dalam akhlakul
karimah tercakup 22 sifat terpuji, yaitu (1) sederhana, (2) rendah hati, (3) giat bekerja, (4) jujur,
(5) memenuhi janji, (6) terpercaya, (7) konsisten/istiqomah, (8) berkemauan keras, (9) suka
berterima kasih, (10) satria, (11) tabah, (12) lemah lembut, (13) ramah dan simpatik, (14) malu,
(15) bersaudara, (16) belas kasih, (17) suka menolong, (18) menjaga kehormatan, (19) menjauhi
syubhat, (20) pasrah kepada Allah, (21) berkorban untuk orang lain, (22)
payayang. Sementara itu, lawan dari sifat-sifat terpuni itu termasuk akhlakul madmumah,
seperti boros, sombong, malas.
Menurut Zulhan (2010: 2-5) karakter ada dua yaitu karakter positif baik (sehat) dan karakter
buruk (tidak sehat). Tergolong karakter sehat yaitu (1) afiliasi tinggi: mudah menerima orang
lain sebagai sahabat, toleran, mudah berkerja sama, (2) power tinggi: cenderung menguasai
teman-temannya dalam arti positif (pemimpin); (3) achieve: selalu termotivasi untuk berprestasi
(4) asserte: lugas, tegas, tidak banyak bicara, (5) adventure: suka petualangan, suka mencoba hal
baru. Sementara itu, karakter kurang sehat yaitu (1) nakal: suka membuat ulah, memancing
kemarahan, (2) tidak teratur, tidak teliti, tidak cermat, meskipun kadang tidak disadari, (3)
provokator: cenderung membuat ulah, mencari gara-gara, ingin mencari perhatian, (4) penguasa:
cenderung menguasai teman-teman, mengintimidasi, (5) pembangkang: bangga kalau berbeda
dengan orang lain, tidak ingin melakukan hal yang sama dengan orang lain, cenderung
membangkang.
Pendidikan karakter sebaiknya diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan yang holistik
menggunakan metode knowing the good, feeling the good, acting the good. Pengetahuan
tentang kebaikan (knowing the good) mudah diberikan karena bersifat kognitif. Setelah knowing
the good perlu ditumbuhkan perasaan senang atau cinta terhadap kebaikan (feeling the good).
Selanjutnya, feeling the good diharapkan menjadi mesin penggerak sehingga seseorang secara
suka reka melakukan perbuatan yang baik (acting the good). Penanaman dengan model seperti
itu, akan mengantarkan seseorang kepada kebiasaan berlaku baik.
Akan tetapi, dalam penanaman pendidikan karakter yang utama adalah keteladanan. Orang tua
memberikan contoh perilaku yang positif kepada anak-anaknya, guru memberi
contoh kepada anak didiknya. Sementara itu, para pemimpin memberikan teladan karakter yang
baik kepada masyarakat.
Masalah keteladanan ternyata dilakukan oleh para nabi, terutama Nabi Muhammad dalam
menanamkan akhlak mulia kepada umatnya. Dalam hal ini, Allah menyatakan bahwa
”Sungguh pada pribadi Nabi Muhammad terdapat teladan yang baik (uswatun hasanah)”. Nabi-
nabi yang lain seperti Nabi Ayub memiliki keteladan dalam ketabahannya menanggung berbagai
penderitaan, Nabi Isa dikenal dengan kesederhanannya, Nabi Musa dikenal dengan
kebeberaniannya.
Ada empat karakter yang dimiliki oleh para nabi, yaitu (1) sidik: selalu berkata yang benar; (2)
amanat dapat dipercaya, (3) tablig: selalu menyampaikan tidak pernah menyembunyikan; (4)
fatonah cerdas. Salah satu karakter yang sejak kecil melekat pada pribadi Muhammad adalah
amanat (dapat dipercaya). Oleh karenanya, masyarakat Arab memberikan gelar al amin (dapat
dipercaya) jauh sebelum beliau menjadi nabi.
Penanaman pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan berbagai strategi. Strategi
yang dapat dilakukan antara lain (1) memasukkan pendidikan karakter ke dalam semua mata
pelajaran di sekolah, (2) membuat slogan-slogan atau yel-yel yang dapat menumbuhkan
kebiasaan semua masyarakat sekolah untuk bertingkah laku yang baik,(3) membiasakan perlaku
yang positif di kalangan warga sekolah, dan (4) melakukan pemantauan secara kontinyu,
(5) memberikan hadiah (reward) kepada warga sekolah yang selalu berkarakter baik.
Sastra secara etimologis berasal dari kata sas dan tra. Akar kata sas- berarti mendidik, mengajar,
memberikan instruksi, sedangkan akhiran –tra menunjuk pada alat. Jadi, sastra secara etimologis
berarti alat untuk mendidik, alat untuk mengajar, dan alat untuk memberi petunjuk. Oleh karena
itu, sastra pada masa lampau bersifat edukatif (mendidik).
Banyak hal yang dapat diperoleh dari sastra. Tjokrowinoto (Haryadi, 1994) memperkenalkan
istilah ”pancaguna” untuk menjelaskan manfaat sastra lama, yaitu (1) mempertebal pendidikan
agama dan budi pekerti, (2) meningkatkan rasa cinta tanah air, (3) memahami pengorbanan
pahlawan bangsa, (4) menambah pengetahuan sejarah, (5) mawan diri dan menghibur. Haryadi
(1994) mengemukakan sembilan manfaat yang dapat diambil dari sastra lama, yaitu (1) dapat
perperan sebagai hiburan dan media pendidikan, (2) isinya dapat menumbuhkan kecintaan,
kebanggaan berbangsa dan hormat pada leluhur, (3) isinya dapat memperluas wawasan tentang
kepercayaan, adat-istiadat, dan peradaban bangsa, (4) pergelarannya dapat menumbuhkan rasa
persatuan dan kesatuan, (5) proses penciptaannya menumbuhkan jiwa kreatif, responsif, dan
dinamis, (6) sumber inspirasi bagi penciptaan bentuk seni yang lain, (7) proses penciptaannya
merupakan contoh tentang cara kerja yang tekun, profesional, dan rendah hati, (8) pergelarannya
memberikan teladan kerja sama yang kompak dan harmonis, (9) pengaruh asing yang ada di
dalamnya memberi gambaran tentang tata pergaulan dan pandangan hidup yang luas.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa sastra sangat relevan dengan pendidikan karakter. Karya
sastra sarat dengan nilai-nilai pendidikan akhlak seperti dikehendaki dalam pendidikan
karakter. Cerita rakyat ”Bawang Putih Bawang Merah” mengandung nilai pendidikan tentang
kemanusiaan. Cerita binatang ”Pelanduk Jenaka” mengandung pendidikan tentang harga diri,
sikap kritis, dan protes sosial. Sementara itu, bentuk puisi seperti pepatah, pantun, dan bidal
penuh dengan nilai pendidikan.
Sastra dapat dilihat dari berbagai aspek. Dari aspek isi, jelas bahwa karya sastra sebagai karya
imajinatif tidak lepas dari realitas. Karya sastra merupakan cermin zaman. Berbagai hal yang
terjadi pada suatu waktu, baik positif maupun negatif direspon oleh pengarang. Dalam proses
penciptaannya, pengarang akan melihat fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat
itu secara kritis, kemudian mereka mengungkapkannya dalam bentuk yang imajinatif.
Fungsi sastra adalah dulce et utile, artinya indah dan bermanfaat. Dari aspek gubahan, sastra
disusun dalam bentuk, yang apik dan menarik sehingga membuat orang senang membaca,
mendengar, melihat, dan menikmatinya. Sementara itu, dari aspek isi ternyata karya sastra sangat
bermanfaat. Di dalamnya terdapat nilai-nilai pendidikan moral yang berguna untuk
menanamkan pendidikan karakter.
Pembelajaran sastra diarahkan pada tumbuhnya sikap apresiatif terhadap karya sastra, yaitu sikap
menghargai karya sastra. Dalam pembelajaran sastra ditanamkan tentang pengetahuan karya
sastra (kognitif), ditumbuhkan kecintaan terhadap karya sastra (afektif) , dan dilatih keterampilan
menghasilkan karya sastra (psikomotor). Kegiatan apresiatif sastra dilakukan melalui kegiatan
(1) reseptif seperti membaca dan mendengarkan karya sastra, menonton pementasan karya
sastra, (2) produktif, seperti mengarang, bercerita, dan mementaskan karya sastra, (3)
dokumentatif, misalnya mengumpulkan puisi, cerpen, membuat kliping tentang infomasi
kegiatan sastra.
Pada kegiatan apresiasi sastra pikiran, perasaan, dan kemampuan motorik dilatih dan
dikembangkan. Melalui kegiatan semacam itu pikiran menjadi kritis, perasaan menjadi peka dan
halus, memampuan motorik terlatih. Semua itu merupakan modal dasar yang sangat berarti
dalam pengembangan pendidikan karakter.
Ketika seseorang membaca, mendengarkan, atau menonton pikiran dan perasaan diasah. Mereka
harus memahami karya karya sastra secara kritis dan komprehensif, menangkap tema dan
amanat yang terdapat di dalamnya dan memanfaatkannya. Bersamaan dengan kerja pikiran itu,
kepekaan perasaan diasah sehingga condong pada tokoh protogonis dengan karakternya yang
baik dan menolak tokoh antagonis yang berkarakter jahat.
Dokumentasi sebagai bagian dari kegiatan apresiasi sastra sangat besar sumbangannya terhadap
pendidikan karakter. Tidak semua siswa ternyata mampu dan mau mendokumentasikan karyanya
dan mengkliping karya orang lain. Pembuatan dokumentasi dan kliping memerlukan ketekuman
dan kecermatan. Mereka harus banyak membaca, kemudian memilih bacaan yang pantas
didokumentaikan dan dikliping. Pembuat dokumentasi dan kliping pada umumnya
adalah manusia-manusia yang berpikir masa depan.
C. Kesimpulan
Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai media
yang memberitakan tentang keborokan moral. Untuk mengatasi hal itu muncul pemikiran untuk
memperkuat pendidikan karakter yang dapat dilakukan melalui berbagai media, termasuk sastra.
Sastra secara etimologis berarti alat untuk mendidik, sehingga bersifat didaktis. Hal ini sesuai
dengan fungsi sastra yaitu dulce et ulite (nikmat dan bermanfaat). Kebermanfaatannya diketahui
karena sastra di dalamnya terkandung amanat yaitu nilai moral yang bersesuaian dengan
pendidikan karakter. Banyak karya sastra lama dan modern yang mengandung pendidikan
karakter, seperti kemanusiaan, harga diri, kritis, kerja keras, hemat.
Peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa tidak hanya didasarkan pada nilai yang
terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif pun sarat dengan
pendidikan karakter. Kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton karya sastra pada
hakikatnya menanamkan karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Pada saat yang
bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan sehingga pembaca cenderung cinta kepada
kebaikan dan membela kebenaran.
Pada kegiatan menulis karya sastra, dikembangkan karakter tekun, cermat, taat, dan kejujuran.
Sementara itu, pada kegiatan dokumentatif dikembangkan karakter ketelitian, dan berpikir ke
depan (visioner).
Pada masa lampau cerita yang dituturkan orang tua atau guru, dan pepatah yang ditempel di
dinding sekolah mampu menjadi media pendidikan moral. Mengingat akan hal itu, kita
berharap sastra dan pengajaran apresiasi sastra, baik di sekolah maupun di masyarakat pada
kini dapat perperan dalam pembentukan karakter bangsa.
Membangun Karakter Melalui Sastra
Oleh Fakhriyansyah
Pendidikan di Indonesia dewasa ini menekankan lebih dari segi aspek kognitif dibandingkan
aspek psikomotor dan afektif. Sebenarnya aspek yang lainnya itu merupakan salah satu
penunjang untuk keberhasilan dan kesuksesan peserta didik. Apabila ketiga aspek tersebut dapat
berjalan secara beriringan, maka peserta didik akan menjadi siswa yang berkarakter dan mampu
bersaing dengan sehat.
Ketidak seimbangan inilah menumbuhkan kesadaran bagi banyak orang bahwa keunggulan,
keberhasilan dan kesuksesan seseorang bukan semata-mata ditentukan atau diukur dengan
kecerdasan intelektual atau IQ. Bila ada sebuah pengujian atau tes IQ, dan orang tersebut
mendapatkan hasil yang tinggi belum tentu menjamin aspek psikomotor dan afektif orang
tersebut juga baik. Namun yang dibutuhkan dalam kehidupan bukan hanya kecerdasan dalam
menciptakan sesuatu, tetapi juga kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.
Saat ini melalui kurikulum 2013, semuanya berubah drastis. Kesemuanya ditekankan pada
penilaian sikap, keterampilan dan pengetahuan. Bukannya seperti yang dijelaskan diatas,
pendidikan yang diatur dalam sistem pendidikan Indonesia yang menekankan aspek pengetahuan
semata. Sehingga penilaian tentang sikap atau yang dikenal sebagai karakter/budi pekerti
terabaikan.
Membangun karakter dapat dilakukan dengan berbagai cara. Bukan hanya melalui penjelasan
tentang definisi umum karakter/budi pekerti semata, tetapi melalui pelbagai cara yang dilakukan,
salah satunya melalui SASTRA. Tak jarang kita melihat bahwa banyak orang yang terharu dan
bahkan meneteskan air mata saat membaca novel, puisi dan karya sastra lainnya. Disini tampak
bahwa karya sastra juga mampu menumbuhkan karakter pribadi. Yaitu melalui karya sastra kita
dapat mengasah perasaan, berempati, lebih menghargai orang lain, memperhalus perasaan dan
membuat diri kita menjadi lebih dewasa.
Karya sastra banyak mengemukakan permasalahan yang sangat bermanfaat bagi perkembangan
psikologi atau jiwa peserta didik. Maka semakin banyak siswa yang membaca sastra, semakin
kayalah siswa akan pengalaman batin sehingga akan terbentuk pribadi yang lebih arif dalam
menghadapi problema kehidupan. Bukan berarti buku pelajaran ditinggalkan dan dilupakan.
Karena buku pelajaran merupakan bagian terpenting dan vital dalam proses pembelajaran.
Sedangkan buku-buku penunjang lainnya termasuk buku karya sastra (novel, antologi puisi dsb)
hanyalah sebagai pembentuk pribadi.
Hal inilah yang dihadapi guru Bahasa dan Sastra Indonesia untuk menekankan budaya gemar
membaca terutama tugas utama pengelola pustaka atau pustakawan sekolah untuk menyuguhkan
bahan bacaan yang bermanfaat dan berguna untuk membentuk kebiasaan gemar membaca
dikalangan sekolah. Pembelajaran sastra harus berorientasi pada kegiatan pengalaman bersastra
bukan pada pengembangan teori-teori sastra. Inilah “PR” bagi guru Bahasa Indonesia (termasuk
saya) yang harus (mampu) memberikan contoh dan memberikan pembelajaran (baik praktik
maupun teori) terhadap pendalaman materi sastra. Karena banyak guru Bahasa Indonesia yang
hanya mampu di bidang tertentu dan tunak dalam kepiawaiannya dalam kebahasaan dan
dibandingkan sastra-nya.
Kendala dalam kecintaan peserta didik terhadap membaca terutama membaca buku-buku sastra
yakni belum tersedianya buku-buku dan referensi tentang sastra. Terutama yang paling
menyedihkan yakni minat siswa untuk menggauli sastra masih minim. Keinginan “menggauli”
sastra tersebut tenggelam akan kehadiran tetamu baru mereka seperti game online, chatting,
facebook, twitter dan lain sebagainya. Sastra semakin diketepikan eksistensinya di kalangan
pelajar. Seharusnya di era canggih seperti sekarang kehadiran internet dapat dimanfaatkan untuk
mengakses sastra.
Apresisasi sastra di kalangan pelajar seolah hanya sekedar paham dan mengenal jenis-jenis karya
sastra. Namun untuk berkenalan lebih dekat mungkin masih belum mau. Menurut Aminuddin
(1978) menjelaskan bahwa apresiasi sastra merupakan kegiatan untuk menggauli karya sastra
secara sungguh-sungguh dapat menimbulkan kepekaan perasaan, daya pikir, dapat memetik
nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang terkandung dalam sastra. Dari pendapat itu, dapat
disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi sastra dapat tumbuh bila siswa terlibat dan akrab
bersahabat dengan sastra juga akan memberikan implikasi yang mampu merumuskan
karakternya.
Banyak sekali poin-poin karakter yang sebenarnya berad di rahim sastra itu sendiri. Bahkan
dalam sebuah pembelajaran, peserta didik diminta untuk menemukan unsur ekstrinsik (unsur
pembangun di luar sebuah karya sastra). Yakni peserta didik harus mencari nilai-nilai yang
berkaitan dengan cerita tersebut. Namun harus melakukan proses membaca. Nah, inilah
tantangan kita sebagai seorang guru Bahasa Indonesia yang mampu membangkitkan gairah
gemar membaca terhadap peserta didik. Nilai moral yang terkandung di dalam suatu karya sastra
harus ditentukan oleh peserta didik itu. Harapannya, setelah ditentukan seyogianya nilai-nilai
moral itu membalik kepada pribadi peserta didik tersebut. Bak kata pepatah “Buang yang keruh,
ambil yang jernih.” Maknanya adalah mengambil hal yang baik (positif) untuk dijadikan sebagai
bekal kehidupan, dan buang hal yang tidak baik (negatif) untuk dijadikan pelajaran.
Pendidikan karakter yang tengah digiatkan membuat dunia pendidikan gencar untuk
menanamkan nilai-nilai karakter dan budaya bangsa yang sejatinya telah ditanamkan oleh
leluhur bangsa ini. Nah, melalui karya sastra inilah karakter dan budaya bangsa perlu dijadikan
sebagai patokan dan identitas bangsa yang mampu membangun akhlak generasi dan menciptakan
generasi penerus bangsa yang berbudi pekerti luhur, kompetitif dan berakhlak mulia.
Pembentukan watak dan moralitas/akhlak siswa bukan hanya kewajiban guru agama atau
pendidikan kewarganegaraan semata, melainkan kewajiban kita semua. Terlebih kita melihat
generasi sekarang, yang kehilangan karakter dan generasi yang mengalami degradasi moralitas.
Maka sepatutnyalah kita berjuang untuk membentuk generasi yang berkarakter. Generasi yang
memiliki sence of crisis yang sangat tinggi. Kelak bila hal ini tercapai makan tidak akan ada lagi
pelajar yang tawuran, serta tindak amoralitas lainnya. Anomali akan tujuan hidup sebagai
seorang pelajar tidak akan terjadi dengan kepekaan sosial yang tinggi serta kesantunan dan nilai
religius yang sudah berbentuk, tertanam serta tercermin dalam pribadi siswa itu