You are on page 1of 11

PROPOSAL

PENGARUH EDUKASI KELUARGA TERHADAP TINGKAT

KEKAMBUHAN KLIEN SKIEZORENIA DI PUSKESMAS

KECAMATAN KEBON JERUK JAKART BARAT

DI SUSUN OLEH :

OMAN

20170303045

PEROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULITAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNUVERSITAS ESA UNGGUL

2018
BAB I

PENDAHULUAN

pada bab 1 ini menjelaskan tentang latar belakang penelitia, identifikasi masa-
lah, masalah penelitian, tujuan umum, tujuan khusus,mamfat penelitian dan keba-
ruan (Novelty).

1. Latar Belakang

Gangguan jiwa adalah gangguan secara psikologis atau perilaku yang terjadi
pada seseorang, umumnya terkait dengan gangguan afektif, perilaku, kognitif dan per-
septual. Lebih dari sepertiga orang di banyak negara pernah mengalami gangguan
kesehatan jiwa dalam perjalanan hidup mereka. Penyebab yang sering disampaikan
adalah stres subjektif atau biopsikososial (Insel dan Wang, 2010). Secara garis besar
penyebab gangguan jiwa dibagi menjadi tiga, yaitu faktor organobiologi, psikoedukatif
dan sosiodemografi. (Maramis, 2007). Faktor sosiodemografi meliputi umur, jenis ke-
lamin, kepadatan penduduk, pendididkan, status perkawinan, pekerjaan, ekonomi
keluarga dan persepsi peringkat sosial. (Maramis, 2007).

Gangguan jiwa sangat berbahaya walaupun tidak langsung menyebabkan ke-


matian namun akan menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi individu dan beban
yang berat bagi keluarga. Meskipun bukan penyebab utama kematian, gangguan jiwa
merupakan penyebab utama disabilitas pada kelompok usia paling produktif yakni an-
tara 15 – 44 tahun. (Yosep, 2010).Dampak sosialnya sangat serius berupa penolakan,
pengucilan dan diskriminasi. Begitu pula dampak ekonomi berupa hilangnya hari
produktif untuk mencari naf kah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat
serta tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung keluarga maupun masyarakat
(Yosep, 2010). Gangguan jiwa juga mengakibatkan beban dana sosial untuk kesehatan
masyarakat meningkat Saat ini, posisinya berada di urutan kedua setelah penyakit
kardiovaskular. Gangguan jiwa bisa berupa gangguan jiwa ringan seperti depresi
sampai gangguan jiwa berat seperti schizofrenia (Kompas, 2011).
Schizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibat-
kan perilaku psikotik, pemikiran konkrit dan sosialisasi yang saling berhubungan (Stu-
art, 2009). Schizofrenia merupakan gangguan mental yang sangat berat yang ditandai
dengan gejala-gejala positif yaitu bertambahnya kemunculan tingkah laku dalam kadar
yang berlebihan dan menunjukkan penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pem-
bicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi, serta adanya
gejala negatif yaitu penurunan suatu tingkah laku yang juga berarti penyimpangan dari
fungsi psikologis yang normal seperti avolition (menurunnya minat dan dorongan),
berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya isi pembicaraan, afek yang datar serta
terganggunya relasi personal (Maslim, 2008).

Skizofrenia merupakan gangguan mental yang berat dan biasanya dimulai pada
usia remaja akhir atau dewasa awal, dimana penderita akan mengalami gangguan dalam
proses berfikir, emosi, bahasa, perilaku, persepsi dan kesadaran yang akan berdampak
pada individu, keluarga, serta masyarakat. Skizofrenia akan memunculkan gejala posi-
tif dan gejala negatif (WHO,2016). Gejala tersebut menyebabkan klien dianggap se-
bagai orang yang aneh dan dipandang lebih negatif dibandingkan dengan gangguan
mental lainnya. Sehingga, klien sering mendapatkan berbagai stigma dan diskriminasi
oleh banyak pihak (Kemenkes, 2014).

Klien dengan skizofrenia juga sering mengalami kekambuhan, dengan preva-


lensi kejadian yang cukup tinggi. Tahun pertama setelah didiagnosis skizofrenia
sebanyak 60-70% klien yang tidak mendapat terapi medikasi. 40% klien yang hanya
mendapat medikasi (Goff et al, 2010). Prevalensi pada tahun ketiga sebanyak 50%
yang Sudan terapi medikasi dan prevalensi pada tahun kelima adalah sebanyak 82%
(Wa, et al, 2015). Kekambuhan dapat terjadi karena berbagai penyebab,namun yang
paling berpengaruh adalah kegagalan proses pengobatan dan kurangnya dukungan dari
caregiver (Emsley et al., 2013; Sariah, et al, 2014; Ulia, 2016).

Laporan organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) pada


2010 tentang Global Burden Disease menyebut, kini telah ter- jadi perubahan jenis
penyakit yang menimbulkan beban bagi negara secara global. Sebelumnya, WHO me-
nyebut kasus kematian ibu dan anak pa- ling besar membebani negara, tetapi kini
bergeser ke penyakit kronis, termasuk penyakit jiwa berat, misalnya skizofrenia. Pen-
derita gangguan psikis dengan diagnosis skizofrenia tahun 2010 kurang lebih 24 juta
jiwa di seluruh dunia. Dari jumlah 24 juta jiwa tersebut 1.928.663 juta jiwa tercatat ber-
ada di Indonesia, dengan kasus skizofrenia. Dalam laporan tersebut terdapat dalam
pengkajian data di Indonesia dengan kasus skizofrenia mencapai 2,5% dari total
penduduk Indonesia.

Sebagai Pendiri Rumah Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI),


mengemukakan bahwa dari 34 provinsi di Indonesia, hingga kini masih 7 provinsi yang
be- lum memiliki rumah sakit jiwa. Jumlah psikiater- nya juga minim, dengan per-
bandingan 1 banding 400 ribu. Bagus utomo (2018). Penanganan atau proses pemulihan
pa- sien dengan gangguan jiwa, salah satunya skizof- renia di Indonesia masih buruk.
Bagus utomo (2018). Proses penanga- nan Orang Dengan Skizofrenia (ODS) memerlu-
kan penanganan yang lama, mulai dari perawatan di rumah sakit, pemberian obat, sam-
pai dukungan sosial, keluarga dan masyarakat. Misalnya, se- orang pasien sudah
mendapatkan obat dengan baik, proses pemulihan di rumah sakit berjalan ba- gus, tetapi
pada saat di rumah tidak didukung ke- luarga dan lingkungan, maka bisa jadi pasien
akan mengalami kekambuhan, Oleh sebab itu, proses pemulihan penyakit ini tahunan.
Oleh karena pro- sesnya lama, maka butuh ketekunan dan kesabaran dari keluarga. Ba-
gus utomo (2018).

Kurangnya kesadaran masyarakat akan penyakit ini mungkin berhubungan


dengan penatalaksanaan dan fasilitas perawatan yang kurang memadai. Onset yang tim-
bul pertama kali pada skizofrenia sering ditemukan pada usia remaja atau dewasa muda,
perjalanan penyakit yang kronik dan tidak sembuh. (Sinaga, 2007). Hal ini menyebab-
kan penderita sering dianggap menjadi beban dan kurang berguna bagi masyarakat.
Beban ekonomi dan penderitaan yang harus ditanggung oleh penderita skizofrenia tern-
yata sangat besar. Ini dapat dilihat dari data yang ada bahwa 8% pasien dengan skizof-
renia tidak bekerja, 50% melakukan usaha bunuh diri, 10% berhasil melakukan bunuh
diri, belum lagi besarnya biaya yang harus dikeluarkan baik secara langsung untuk
membeli obat-obatan dan biaya perawatan, maupun secara tidak langsung seperti
hilangnya pendapatan pasien, waktu yang diberikan oleh care-givers untuk penderita,
serta penderitaan yang dialami oleh pasien dan pihak keluarga (Sinaga, 2007).
Keluarga yang anggotanya menderita skizofrenia cenderung tertutup dan eng-
gan diwawancarai oleh orang asing. Arif (2006). Sepertinya hal ini disebabkan oleh
stigma, rasa malu dan penyalahan dari lingkungan sosial yang dialami keluarga. Ke-
hadiran skizofrenia dalam keluarga mereka sungguh menimbulkan aib yang besar. Hal
ini tidak terbatas pada keluarga dengan status sosial-ekonomi-pendidikan yang rendah
saja, namun juga dialami oleh keluarga kalangan atas. Biasanya keluarga yang memiliki
anggota keluarga yang menderita skizofrenia akan menyerahkan sepenuhnya perawa-
tan dan pengobatan kepada pihak rumah sakit jiwa karena mereka kurang mengetahui
bagaiman cara merawat penderita skizofrenia dan mereka berkeyakinan bahwa dengan
menjalani perawatan di rumah sakit jiwa maka pasien akan mendapat perawatan dan
pengobatan yang tepat sehingga kemungkinan untuk pulih sangat besar. Arif (2006)

Keluarga adalah perkumpulan dua atu lebih individu yang diktat bleh hubungan
darah, perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu
sama lain (mubarok, 2009). Keluarga di pandang sebagai suatu sistem, makagangguan
jiwa pada satu anggota keluargga akan mngganggu semua sistem, atau keadan keluarga.
Bahwa tetap pentingny peran keluarga pada persistia terjadinya gangguan jiwa dan
peroses penyesuayan kembali setelah selesai perogram perawatan. Oleh karna itu
keterlibatan keluarga dalam perawatan sangat menguntungkan peroses pemulihan
pasien (Yosep, 2009). Terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian
obat dan rehabilitas medis, namun diperlukan peran keluarga dan masarakat guna res-
osialisasi dan pencegahan kekambuhan.

penyembuhan pada pasien gangguan jiwa harus dilakukan secara holistik dan
melibatkan anggota keluarga. Keluarga pasien perlu mempunyai sikap yang positif un-
tuk mencegah kekambuhan pada pasien skizofrenia. Wirawan (2006). Keluarga perlu
memberikan dukungan (support ) kepada pasien untuk meningkatkan motivasi dan
tanggung jawab dalam melaksanakan perawatan secara mandiri. Wirawan (2006)
Keluarga perlu mempunyai sikap menerima pasien, memberikan respon positif kepada
pasien, menghargai pasien sebagai anggota keluarga, dan menumbuhkan sikap
tanggung jawab pada pasien. Sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh anggota
keluarga terhadap pasien akan berpengaruh terhadap kekambuhan pasien ( Keliat, 1996
). Dukungan keluarga sangat penting untuk membantu pasien bersosialisasi kembali,
menciptakan kondisi lingkungan suportif, menghargai pasien secara pribadi, dan mem-
bantu pemecahan masalah pasien (Gilang, 2001).
Edukasi kesehatan jiwa pada keluarga adalah memberikan edukasi dan penyulu-
han kesehatan jiwa pada keluarga dalam rangka meningkatkan keshatan jiwa pada
keluarga. Mencega penyakit dan mengenali gangguan jiwa secara dini dan upaya pen-
gobatanya (Suliswati,2005). Dengan adanya pengetahun keluarga secar kognitif mau-
pun pisikomotor tentng cara merawat dapat meningkatkan kemampuan keuarga dan
data menjadi sumber koping bagi kelien skizofrania dalam memperbaiki kondisinya
menjadi lebih baik sehingga memudahkan klien untuk kembali kelingkungan masyara-
kat. Adapun tujuan dari edukasi ini adalah untuk merubah perilaku yang merugikan
atau yang tidak sesuai dengan norma ke tingkah laku yang menguntungkan kesehatan
atau norma yang sesuai dengan kesehatan (Notoatmodji, 2012).

Berdasarkan latar belakang di atas masalah gangguan jiwa di dunia memang


sudah menjadi masalah yang sangat serius dan menjadi masalah kesehatab global. Hasil
data yang diperoleh peneliti pada survei awal melalui wawancara langsung dengan
Dokter penanggung jawab kejiwaan serta seorang perawat yang memegang program
jiwa Puskesmas Kecamatan Kebon Jeruk Jakarta Barat, didapatkan masalah gangguan
jiwa dengan skizofrenia pada bulan Oktober 2018 sebanyak 122 pasien. Berdasarkan
uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut dengan
mengambil judul pengaruh edukasi terhadap tingkat kekambuhan klien skizofrenia di
Puskesmas Kecamatan Kebon Jeruk Jakarta Barat. pentingnya edukasi untuk menge-
tahui pentingnya tentang bagaimana cara merawat skizofrenia yang diderita oleh ang-
gota keluarga tersebut, maka dari itu peneliti tertarik untuk melakuan penelitian tentang
‘’pengaruh edukasi keluarga terhadap tingkat kekambuhan pasien skizofrenia di pusk-
esmas kecamatan kebon jeruk Jakarta barat 2018.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti menyusun rumusan masalah sebagai beri-


kut:‘Pengaruh edukasih keluarga tehadap tingkat kekambuhan pasien skiezofrenia di
daerah puskesma penjaringan’

1.3. Tujuan Penulisan

1.3.1. Tujuan Umum :

Mengetahui pengaruh edukasi keliarga terhadap tingkat kekambuhan


pasen skiezofrenia
1.3.2. Tujuan khusus

a. Teridentifikasi karateristik klien (usia, jenis kelamin, pendidikan,


pekerjan, setatus perkawinan, riwayat kejiwan, dan frekuensi
keluarga di rumah

b. Mengetahui tingkat kekambuhan pada pasien skiezofernia.

c. Mengetahui kemampuan keluarga dalam merawat pasien gangguan


jiwa.

d. Mengetahui hubungan antara edukasih dengan tingkat kekambuhan

1.4. manfaat penelitian

a. Bagi peraktek keperawatan.

Hasil penelitian ini di harapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi


perawat jiwa tentang keefektifan tentang pengaruh edukasi keluarga terhadap
tingkat kekambuhan pasen jiwa skiezifernia.

b. Bagi ilmu pengetahuan keperawatan.

Hail penelitian ini di harapkan data memberikan manfaat bagi perkembagan


ilmu keprawatan dalam meningkatkan kemampuan edukasi keluarga dalam
tingkat kekambuhan klien skiezifernia.

c. Bagi peneliti.

Diharapkan menjadi Dakar serta pembelajaran bagi peneliti untuk lebih me-
mahami struktur pendekatan edukasi keluarga yg efektif terhadap kekam-
buhan klien skiezifernia.

1.5. kebaruan (Novelty)

a. Hasil penelitian oleh Hasmila Sari (2014) Xiang et al (1994) ter-


hadap 69 keluarga dengan schizofrenia dan 8 keluarga dengan
psikosis afektif di 3 kota yang berbeda di China yang diikuti selama
4 bulan, yang dibagi secara acak menjadi 2 kelompok yaitu ke-
lompok intervensi mendapat psikoedukasi keluarga dan obat se-
dangkan kelompok kontrol hanya mendapat obat. Kelompok inter-
vensi mengikuti workshop periodik, kunjungan rumah, diskusi an-
tara tenaga kesehatan dan keluarga, berbagai informasi terkini, dan
terdapat sesi supervisi bulanan dari dokter setempat. Kelompok ter-
sebut menunjukkan perubahan positif yang signifikan yang tidak
ditemukan pada kelompok kontrol yang hanya mendapat medikasi
lengkap. Perubahan tersebut berupa penurunan pengabaian ter-
hadap pasien, perbaikan status mental, peningkatan fungsi kerja,
dan penurunan gangguan prilaku pada pasien.

b. Penelitian Ulia (2016) yang dilakukan pada klien skizofrenia di


kota Sungai Penuh, yang menyatakan bahwa faktor yang paling
dominan yang menyebabkan kekambuhan klien adalah faktor pen-
gobatan dan dukungan caregiver. Angka kekambuhan yang
ditemukan dalam penelitian ini adalah sebanyak 56,2% klien ski-
zofrenia mengalami kekambuhan dengan frekuansi yang tinggi.
Kekambuhan ini disebabkan karena sebanyak 76,6% klien skizof-
renia tidak patuh terhadap pengobatan dan> 60% klien tidak
mendapatkan dukungan dari caregiver. Oleh sebab itu dukungan
dari caregiver sangat diperlukan untuk mencegah kekambuhan
klien skizofrenia.

c. Hasil penelitian Diny Rezki Amelia dan Zainul Anwar (2013)


Ketidaktahuan keluarga bahwa setelah UM keluar dari rumah sakit
jiwa harus tetap minum obat dan UM yang merasa sudah sembuh
dan tidak perlu minum obat, menyebabkan UM berhenti dan tidak
lagi meminum obat yang dapat membantu kesembuhannya, se-
hingga UM sering melihat bayangan yang membuat dia tanpa sadar
mengamuk dan menyebabkan dia mengalami relaps untuk pertama
kali. Pengawasan dari keluarga UM dalam mengkonsumsi obat-
obatan anti psikotik membuat UM rentan mengalami relaps atau
kambuh atas gangguan skizofrenia yang dia alami. Keluarga me-
mang mengusahakan menebus obat UM saat rawat jalan namun
tidak ada yang mengawasi UM untuk selalu meminum obatnya
sebanyak tiga kali sehari. UM sengaja tidak meminum obatnya
pada pagi dan siang hari karena efek obat mengganggu peker-
jaannya. Karena sengaja tidak teratur minum obat, maka hal ini
menjadi faktor penyebab UM mengalami relaps kedua.

d. Hasil analisis mzriska (2017) .bivariat dengan uji chi square


didapat nilai p= 0,006, artinya ada hubungan yang signifikan antara
dukungan informasional dengan kekambuhan pasien skizofrenia di
Rumah Sakit Jiwa Prof Dr Muhammad Ildrem Medan.

e. Hasil analisis Rosdiana (2018) Berdasarkan hasil wawancara yang


telah dilakukan penulis, keluarga penderita tidak menge- tahui, me-
mahami dan mengenal gejala-gejala dan pengertian gangguan
jiwa/skizofrenia, dan juga tidak mengetahui penyebab anaknya
mengalami skizofrenia seperti yang diungkapkan informan

f. Hasil analisis Eti Setiati (2017) Sebagian besar pasien skizofrenia


laki-laki (63,49%), lebih dari 34 tahun (63,49%), memiliki penda-
patan keluarga kurang dari UMR (71,43%), bekerja atau memiliki
aktivitas (69,84%), berpendidikan rendah (52,38%), status ekonomi
kurang dari UMR (71,43%), sedikit dukungan sosial (63,49%),
sedikit dukungan emosional (72,22%), sedikit dukungan instru-
mental (71,43%), sedikit dukungan informasi (76,19%), puas ter-
hadap dukungan sosial (51,59%), puas terhadap dukungan emo-
sional (51,59%), puas terhadap dukungan instrumental (57,94),
puas terhadap dukungan informasi (60,32%), taat pengobatan
(53,17), dan yang kekambuhan atau rawat inap ulang (67,46%).

g. Hasil analisis Siti Vitalia Islami (2018) Jika dilihat dari segi latar
belakang keluarga, subjek SM lahir dari keluarga yang
berkecukupan tidak nampak adanya resiko skizofrenia dikeluar-
ganya. Kedua orang tuanya tidak memiliki riwayat skizofrenia, na-
mun setelah didalami kenyataannya keluarga dari bapaknya mem-
iliki riwayat depresi akibat perceraian yaitu neneknya, saudara tiri
satu ibu dari bapaknya juga menderita skizofrenia selain itu saudara
nenek dan sepupu sepupunya banyak yang mengalami skizofrenia.
Walaupun kedua orang tua subjek tidak mengalami skizofrenia na-
mun bapak sujek membawa gen resesif yang memungkinkan anak-
anaknya mengalami skizofrenia sebesar 7%.

h. Analysis results Caitlin A. Brown (2017) The model including


BPRS and the indirect effect of family cohesion exhibited good fit,
2(8) 15.214, p .06. There were no significant differences between
treatment groups in baseline BPRS (CIT-S: M 53.51; PSY-ED: M
52.39; p .56) or family cohesion scores (PSY-ED: M 5.80; CIT-
S: M 5.96; p .53). The standard PSY-ED treatment did not
change BPRS scores over time ( 0.141, p .823). However, there
was a Time Treatment interaction, such that patients in the CIT-
S group displayed a significant decrease in BPRS scores over time
( 1.91, p .04, d 0.63). A pattern also emerged for family
cohesion: while families in the PSY-ED group did not exhibit sig-
nificant increases in average family cohesion from baseline to mid-
point, families in the CIT-S group displayed an increase of roughly
1 point on the FES cohesion scale (p .025, d 0.88). We did not
observe a significant indirect effect of treatment on BPRS via fam-
ily cohesion, as evidenced by the nonsignificant regression of ran-
dom slope of the outcome (BPRS) on the latent- change score of
the average family cohesion (a b 0.29, p .35). An examination
of the variance components revealed a ran- dom effect of BPRS at
baseline ( 2 117.31, p .001), as well as random variability in
change in BPRS over time ( 2 6.69, p .009) and at individual
time points ( 2 111.32, p .001). Table 4 contains results and
indices of model fit,

i. Hasil analysis Stefani Virlia Wijaya (2014) Sebelum psikoedukasi,


keluarga juga tidak tahu bahwa kekambuhan salah satunya bisa
disebabkan karena tidak rutin minum obat dan kontrol ke dokter
secara rutin. Awalnya keluarga merasa bahwa obat hanya diper-
lukan jika penyakit YW kambuh karena biaya yang dikeluarkan un-
tuk obat cukup mahal.

You might also like