You are on page 1of 7

Perspektif Teori Sosiohistoris; Perkembangan dan Siklus

Slamet Widodo

Perkembangan dan Siklus; Semua Berawal dari “Organisme”


Perkembangan masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses
evolusi. suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat. Pemikiran ini
sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah
berkembang dengan pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu
bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan Augus Comte. Keduanya memiliki
pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk
perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut
pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan”
masyarakat.
Pemikiran Spencer sangat dipengaruhi oleh ahli biologi pencetus ide evolusi
sebagai proses seleksi alam, Charles Darwin, dengan menunjukkan bahwa perubahan
sosial juga adalah proses seleksi. Masyarakat berkembang dengan paradigma
Darwinian: ada proses seleksi di dalam masyarakat kita atas individu-individunya.
Spencer menganalogikan masyarakat sebagai layaknya perkembangan mahkluk hidup.
Manusia dan masyarakat termasuk didalamnya kebudayaan mengalami perkembangan
secara bertahap. Mula-mula berasal dari bentuk yang sederhana kemudian
berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks menuju tahap akhir yang sempurna.
Menurut Spencer, suatu organisme akan bertambah sempurna apabila
bertambah kompleks dan terjadi diferensiasi antar organ-organnya. Kesempurnaan
organisme dicirikan oleh kompleksitas, differensiasi dan integrasi. Perkembangan
masyarakat pada dasarnya berarti pertambahan diferensiasi dan integrasi, pembagian
kerja dan perubahan dari keadaan homogen menjadi heterogen. Spencer berusaha
meyakinkan bahwa masyarakat tanpa diferensiasi pada tahap pra industri secara
intern justru tidak stabil yang disebabkan oleh pertentangan di antara mereka sendiri.
Pada masyarakat industri yang telah terdiferensiasi dengan mantap akan terjadi suatu
stabilitas menuju kehidupan yang damai. Masyarakat industri ditandai dengan
meningkatnya perlindungan atas hak individu, berkurangnya kekuasaan pemerintah,
berakhirnya peperangan antar negara, terhapusnya batas-batas negara dan
terwujudnya masyarakat global.
Seperti halnya Spencer, pemikiran Comte sangat dipengaruhi oleh pemikiran
ilmu alam. Pemikiran Comte yang dikenal dengan aliran positivisme, memandang
bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi yang pada masing-masing
tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte
menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan
antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang berdifat progresif. Sebagaimana
Spencer yang menggunakan analogi perkembangan mahkluk hidup, Comte

1
menyatakan bahwa dengan adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi
semakin kompleks, terdeferiansi dan terspesialisasi.
Membahas tentang perubahan sosial, Comte membaginya dalam dua konsep
yaitu social statics (bangunan struktural) dan social dynamics (dinamika struktural).
Bangunan struktural merupakan struktur yang berlaku pada suatu masa tertentu.
Bahasan utamanya mengenai struktur sosial yang ada di masyarakat yang melandasi
dan menunjang kestabilan masyarakat. Sedangkan dinamika struktural merupakan
hal-hal yang berubah dari satu waktu ke waktu yang lain. Perubahan pada bangunan
struktural maupun dinamika struktural merupakan bagian yang saling terkait dan
tidak dapat dipisahkan.
Berbeda dengan Spencer dan Comte yang menggunakan konsepsi optimisme,
Oswald Spengler cenderung ke arah pesimisme. Menurut Spengler, kehidupan
manusia pada dasarnya merupakan suatu rangkaian yang tidak pernah berakhir
dengan pasang surut. seperti halnya kehidupan organisme yang mempunyai suatu
siklus mulai dari kelahiran, masa anak-anak, dewasa, masa tua dan kematian.
Perkembangan pada masyarakat merupakan siklus yang terus akan berulang dan tidak
berarti kumulatif.
Perkembangan vs Siklus

Perbandingan Perkembangan Siklus

Landasan Pemikiran Perkembangan organisme Perkembangan organisme

Sifat perubahan Kumulatif Siklus pasang surut

Konsepsi Optimisme Pesimisme

Kedua teori besar ini pada akhirnya mempunyai banyak “turunan”. Teori
perkembangan yang diawali oleh Spencer dan Comte melahirkan pemikiran Marx.
Sedangkan teori siklus melahirkan pemikiran Vilfredo Pareto dan Max Weber.
Perjuangan kelas yang digambarkan oleh Marx merupakan suatu bentuk
perkembangan yang akan berakhir pada kemenangan kelas proletar yang selanjutnya
akan mwujudkan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat oleh Marx
digambarkan sebagai bentuk linear yang mengacu kepada hubungan moda produksi.
Berawal dari bentuk masyarakat primitif (primitive communism) kemudian berakhir pada
masyarakat modern tanpa kelas (scientific communism). Tahap yang harus dilewati antara
lain, tahap masyarakat feodal dan tahap masyarakat borjuis.
Marx menggambarkan bahwa dunia masih pada tahap masyarakat borjuis
sehingga untuk mencapai tahap “kesempurnaan” perkembangan perlu dilakukan
revolusi oleh kaum proletar. Revolusi ini kan mampu merebut semua faktor produksi
dan pada akhirnya mampu menumbangkan kaum borjuis sehingga akan terwujud
masyarakat tanpa kelas.
Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman; Sejarah Diferensiasi Sosial di
Jawa 1830 - 1980

2
Catatan perjalanan pembangunan pertanian di Indonesia telah banyak diulas
oleh para peneliti. Salah satunya hasil penelitian Frans Hüsken yang dilaksanan pada
tahun 1974. Penelitian yang mengulas tentang perubahan sosial di masyarakat
pedesaan Jawa sebagai akibat kebijakan pembangunan pertanian yang diambil oleh
pemerintah. Penelitian ini dilakukan di Desa Gondosari, Kawedanan Tayu,
Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kekhususan dan keunikan dari penelitian ini terletak
pada isinya yang tidak saja merekam pengalaman perubahan sosial (revolusi) tersebut,
namun juga menggali studi dalam perspektif sejarah yang lebih jauh ke belakang.
Penelitian ini berhasil mengungkap fenomena perubahan politik, sosial dan ekonomi
melintasi tiga zaman, yaitu penjajahan Belanda, Jepang hingga masa pemerintahan
orde lama dan orde baru.
Daerah pedesaan Tayu sebelum 1850 berkembang sering dengan masuknya
imperialisme gula oleh Belanda. Sebelum masuk imperialisme gula tersebut, wilayah
ini tidak memiliki arti dan peran yang penting dalam perekonomian. Sebuah laporan
yang dilakukan oleh Du Bus pada tahun 1825 mencoba membandingkan mengenai
pertanian Jawa dan pertanian Eropa. Gambaran yang disampaikan oleh Du Bus pada
waktu itu tentang pertanian Jawa adalah sebuah pertanian yang tidak berkembang
atau mandek. Bagi Du Bus, pertanian Jawa sudah tidak dapat berkembang karena
tatanan sosial masyarakat pedesaan Jawa dan sifat kebersamaan sosial ekonomi yang
berlaku. Menurutnya, petani Jawa merupakan petani padi yang terlibat dalam berbagai
macam upeti dan kerja suka rela kepada kaum pejabat pribumi, sehingga petani Jawa
menjadi petani yang pasif dan diliputi oleh sifat apatis. Penduduk pedesaan Jawa
hampir seluruhnya merupakan petani kecil yang hanya memiliki secuil tanah. Hasil
pertanian yang diperoleh sebatas untuk menutupi kebutuhan sehari-hari secara
minimal. Secara ekonomi, mereka tidak berani mengambil resiko dalam pemilihan
komoditas, sehingga dari masa ke masa mereka tetap mengusahakan tanaman padi.
Kebijakan yang harus diambil untuk mengatasi kemandekan tersebut adalah
dengan kebijaksanaan politik liberal sehingga mampu merangsang pertumbuhan
perekonomian pemerintah kolonial melalui bantuan dari luar. Politik ini diwujudkan
dalam bentuk perubahan struktur kepemilikan tanah yang semula komunal menjadi
perorangan, mengundang investasi asing serta menyediakan tanah untuk diusahakan
oleh orang Eropa.
Gagasan Du Bus dibantah oleh Van den Bosch, yang tidak melihat adanya
keuntungan bagi pemerintah kolonial apabila melakukan politik liberal tersebut.
Bosch kemudian mengusulkan kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel). Keberhasilan
Bosch pada saat bertugas di Suriname membuat Raja Willem I menghargai
pendapatnya, hingga pada tahun 1830, Bosch menggantikan kedudukan Du Bus.
Akhirnya kebijakan tanam paksa menjadi landasan kebijakan kolonial Belanda
sesudah tahun 1830. Bersamaan dengan masuknya ekonomi kapitalis, timbul pula
gejala komersialisasi yang meluas cepat di daerah pedesaan. Dampak lebih lanjut
adalah terjadinya diferensiasi sosial sebagai akibat konversi penggunaan dan
konsentrasi penguasaan tanah di tangan petani lapisan atas serta pemilik modal.
Semakin jelas terjadinya pelapisan sosial, bahkan menuju pada kesenjangan sosial
yang semakin melebar. Kesenjangan sosial yang cukup lebar ini kemudian
dimanfaatkan untuk kepentingan perlawanan politik.

3
Perkembangan kemudian adalah diferensiasi sosial yang terjadi, sebagai gejala
sosiologi sejak kapitalisme liberal menyusup ke dalam masyarakat desa. Pertentangan
antar lapisan sosial dan pertentangan ekonomi serta politik semakin tajam.
Pertentangan ini terjadi sebagai dampak dari penguasaan atas tanah dan tenaga kerja.
Perebutan yang terjadi mengenai penguasaan atas aset tanah dan tenaga kerja tidak
dapat lepas dari perkembangan dan kemunduran industri gula di daerah tersebut.
Kesulitan masyarakat semakin menjadi-jadi setelah krisis ekonomi melanda
dunia pada tahun 1930-an. Kesejahteraan penduduk di Tayu dan Desa Gondosari
semakin merosot setelah pada tahun 1932 pabrik gula tidak menyewa lahan pertanian
lagi, bahkan pada tahun 1933 pabrik gula memecat semua pekerja tetap.
Kesengsaraan belum berakhir seiring dengan pecahnya perang dunia ke-2 dan
masuknya pendudukan Jepang pada tahun 1942. Kebijakan tanam paksa ternyata
diwarisi oleh pemerintahan kolonial Jepang, bahkan seperempat hingga sepertiga
hasil panen disita oleh pemerintah kolonial Jepang untuk memenuhi logistik perang.
Era kemerdekaan juga tidak dengan serta merta dapat meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Diferensiasi sosial tetap terjadi sebagai akibat komersialisasi dan
akumulasi penguasaan tanah, modernisasi pertanian dan pertikaian politik lokal
sebagai pencerminan dari proses-proses di tingkat nasional. Struktur sosial di
pedesaan tidak berubah, elit desa sebagai lapisan atas yang menguasai tanah tetap
dominan. Lapisan bawah semakin bertambah karena pertambahan penduduk dan
ketertarikan penduduk untuk bekerja sebagai buruh tani di industri gula.
Peralihan kepemimpinan pada rezim orde baru yang didukung oleh negara-
negara barat merubah pula model pembangunan nasional bangsa kita, termasuk di
dalamnya pembangunan pertanian. Kebijaksanaan pembangunan pertanian
menggunakan pendekatan modernisasi dan intensifikasi dengan tujuan untuk
meningkatkan produksi. Pada era ini pula keberhasilan semu pembangunan pertanian
menampakkan hasilnya. Pada tahun 1985, Indonesia berhasil mewujudkan
swasembada pangan terutama beras.
Dibalik keberhasilan tersebut, struktur sosial masyarakat pedesaan tetap tidak
berubah. Diferensiasi tetap terjadi bahkan dengan jurang pemisah yang jauh lebih
lebar antara petani kaya dengan petani miskin, antara tuan tanah dengan buruh tani.
Pembangunan pertanian hanya menyentuh petani besar yang menguasai tanah dalam
jumlah besar, sedangkan petani kecil dan buruh tani justru terlempar dari sektor
pertanian. Selain bertahan dengan “keterbatasannya”, petani kecil dan buruh tani
terpaksa melakukan migrasi di daerah perkotaan sehingga memunculkan masalah
baru dalam pembangunan nasional.
Madura dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam
Penelitian ini dilaksanakan di sebuah desa di pantai selatan Madura, yang
diberi nama samaran Desa Parindu. Desa Parindu termasuk dalam wilayah
Kabupaten Sumenep, satu diantara empat kabupaten yang ada di Madura. Sebagian
besar penduduk setempat berdagang komoditi pertanian, terutama tembakau dengan
daerah pemasaran Jawa. Tembakau ini diperoleh dari daerah timur Madura.
Hubungan dagang yang dijalin oleh penduduk Desa Parindu ternyata sangat luas,
tidak terbatas pada daerah di sekitar Madura namun hingga para pengusaha di Jawa.

4
Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799, Madura menjadi bagian negara
kolonial Hindia Belanda. Pemerintah kolonial memutuskan untuk mempertahankan
sistem pemerintahan tidak langsung di Madura. Berbeda dengan para bupati di Jawa
yang mengalami pemerintahan langsung di sebagian besar Jawa. Para bupati di Jawa
ditunkan statusnya menjadi pegawai kolonial, sedangkan penguasa Madura tetap
memiliki otonomi dalam pemerintahan.
Pada awal abad 19, para bupati di Madura berhasil memperluas kemandirian
mereka. Setiap tahun Pulau Madura menyumbangkan sejumlah besar calon serdadu
untuk tentara kolonial. Pada tahun 1831 di setiap kabupaten didirikan korps-korps
militer yang disebut barisan. Korps militer ini dilatih oleh para instruktur Eropa
untuk memerangi huru-hara di seluruh nusantara. Akibat “budi baik” para bupati ini,
pemerintah kolonial semakin “memanjakan” para bupati, bahkan bupati
mendapatkan kebebasan untuk mendapatkan penghasilan dari rakyat. Fenomena ini
menyebabkan bupati menjadi penguasa yang lalin dan cenderung “menghisap”
rakyat. Pemerintah kolonial akhirnya menyadari bahwa perilaku para bupati sudah
sangat keterlaluan sehingga secara berangsur-angsur mengurangi wewenang bupati
tersebut.
Secara umum Desa Parindu dibagi menjadi dua wilayah sesuai dengan tipe
ekologinya. Wilayah pesisir merupakan daerah pemukiman yang menggantungkan
hidupnya dari sektor perikanan laut. Selain wilayah pesisir, Desa Parindu juga
mempunyai wilayah dataran yang agak jauh dari pantai. Daerah ini dikenal dengan
daerah udik. Sebagaimana wilayah Madura umumnya, daerah udik merupakan wilayah
lahan kering sehingga pertanian yang berkembang merupakan pertanian lahan kering
atau tegalan. Komoditas yang paling dominan adalah kelapa dan siwalan. Desa
Parindu pun dikenal sebagai desa penghasil gula kelapa atau gula aren. Bertambahnya
penduduk dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan timbulnya gejala
migrasi.
Temuan penting dalam penelitian ini yang menarik untuk diulas adalah
dinamika pengusahaan komoditas tembakau. Penyebarluasan tanaman tembakau
komersial di Madura sangat ditentukan oleh perkembangan agraris di Jawa.
Penerapan sistem tanam paksa maupun introduksi kapitalisme perkebunan secara
tidak langsung memberikan arti penting bagi budidaya tembakau di Madura.
Penanaman tembakau di Jawa dimulai sejak abad 17. tembakau diperkenalkan oleh
orang-orang Portugis dan terbatas ditanam di sekitar pantai yang sering dikunjungi
oleh orang-orang Eropa. Perkembangan tanaman tembakau menjadi pesat dan
menyebar ke berbagai penjuru Jawa. Pada abad 18, tembakau termasuk dalam
komoditas penting. Tembakau menjadi barang dagangan nomor dua setelah beras.
Dari berbagai macam tanaman perkebunan yang diperkenalkan orang Eropa kepada
petani Jawa, tembakau menempati urutan paling tinggi sebagai tanaman yang paling
disukai oleh petani Jawa. Penanaman tembakau di Madura sebelum tahun 1800-an
tidak terdapat keterangan yang berarti, mungkin karena pengusahaannya masih dalam
skala terbatas. Pada tahun 1832, tembakau termasuk dalam salah satu komoditas
sistem tanam paksa. Namun di Madura tembakau masih merupakan tanaman rakyat
yang bebas. Perdagangan tembakau dikuasai oleh orang Jawa dan Cina.

5
Keterbatasan ekologi Madura menyebabkan sistem tanam paksa tidak masuk
ke Madura. Bahkan ketika imperialisme gula hadir, Madura menjadi daerah yang tidak
tersentuh. Begitu halnya dengan komoditas tembakau. Seiring meningkatnya jumlah
perkebunan tembakau yang dikelola oleh pemerintah kolonial, banyak tenaga kerja
yang dibutuhkan. Pengalaman dalam penanaman tembakau skala kecil yang dimiliki
oleh orang Madura, menyebabkan dalam waktu singkat mereka mendapatkan
pekerjaan di perkebunan tembakau Jawa.
Pengalaman yang diperoleh selama menjadi buruh migran di Jawa
dipraktekkan di Madura. Walaupun pemerintah kolonial telah melakukan
“penelitian” yang hasilnya adalah tidak merekomendasikan pengembangan tembakau
di Madura, kegiatan penanaman tembakau secara “modern” ini ternyata berhasil.
Sejak saat itu pula perkembangan tembakau di Madura dapat sedemikian pesatnya.
Penyebarluasan tanaman tembakau menimbulkan pergeseran dalam hubungan
kepemilikan tanah dan juga hubungan kerja. Bentuk penyewaan tanah dan bagi hasil
mengalami peningkatan yang sangat berarti. Demikian pula dengan pertambahan
jumlah buruh tani atau petani tanpa tanah.

Perubahan Sosial di Masyarakat Jawa


Periode Parindu Gondosari
Pemerintah kolonial • Tidak tersentuh sistem tanam • Munculnya sistem tanam paksa
Belanda paksa akibat keterbatasan (imperialisme gula).
ekologis. • Diferensiasi sosial muncul
• Tembakau menjadi komoditas antara lapisan petani kaya dan
yang berkembang di Jawa, petani miskin, tuan tanah
banyak penduduk Madura dengan buruh tani.
dipekerjakan pada perkebunan • Pada tahun 1930, krisis
tembakau. ekonomi melanda dunia. Pabrik
• Tahun 1861 muncul gula mengalami kebangkrutan,
perusahaan partikelir yang tahun 1932 pabrik gula tidak
mencoba komoditas tembakau menyewa lahan pertanian lagi,
secara intensif dan berhasil. bahkan pada tahun 1933 pabrik
gula memecat semua pekerja
tetap.
Pemerintah kolonial • Penanaman tembakau • Sistem tanam paksa dengan
Jepang mengalami kemunduran. Petani komoditas tanaman pangan,
hanya diperbolehkan menanam hingga sepertiga hasil panen
tanaman pangan. dirampas oleh pemerintah
kolonial Jepang untuk logistik
perang.
Orde Lama • Tahun 1950-an penanaman • Tahun 1952 pabrik gula
tembakau mengalami beroperasi kembali.
peningkatan kembali. British • Tahun 1956 pabrik gula
American Tobbaco mulai berhenti beroperasi sebagai
melirik Madura. akibat aksi buruh dan petani
yang berafiliasi ke PKI.
• Pada tahun 1957 pabrik gula

6
Periode Parindu Gondosari
diambil alih oleh pemerintah
(militer), namun pengelolaannya
tidak efisien sehingga tidak
mampu membayar sewa lahan
kepada petani. Petani beralih
mengusahakan komoditas padi.
• Tahun 1960 terjadi krisis
ekonomi dan politik.
Ketegangan terjadi antara
simpatisan PKI, NU dan PNI.
• Tahun 1965 terjadi
pembantaian besar-besaran
terhadap simpatisan PKI oleh
pemuda NU.
Orde Baru • Penanaman tembakau semakin • Revolusi hijau, semakin
intensif dan berkembang luas di memperlebar diferensiasi sosial.
Madura seiring revolusi hijau. Hanya petani kaya yang mampu
mengakses pembangunan
pertanian ala orde baru.

Daftar Rujukan

Etzioni, A. & Halevy, Eva Etzioni- (eds). 1973. Social Changes: Sources, Patterns and
Consequences. Basic Books, New York.
Harper, Charles L. 1989. Exploring Social Change. Prentice Hall. New Jersey.
Hüsken, Frans. 1998. Masyarakat Desa dalam perubahan Zaman; Sejarah Diferensiasi
Sosial di Jawa 1830 – 1980. Grasindo. Jakarta.

Jonge, Huub de. 1989. Madura dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan
Ekonomi dan Islam. Gramedia. Jakarta
Slattery, Martin. 2003. Key Ideas in Sociology. Nelson Thornes Ltd. Cheltenham.

You might also like