Professional Documents
Culture Documents
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ii
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Pola Sebaran dan
Perkembangan Area Upwelling di Bagian Selatan Selat Makassar” adalah karya
saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
pada bagian akhir tesis ini.
ABSTRACT
RINGKASAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
vii
PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, atas segala rahmat, berkah
dan karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis yang berjudul
“Analisis Pola Sebaran dan Perkembangan Area Upwelling di bagian selatan
Perairan Selat Makassar”.
Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada
Mayor Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Segala upaya telah dilakukan demi tersusunnya tesis ini namun mengingat
keterbatasan kemampuan yang penulis miliki, maka penyusunan tesis ini tentulah
tidak dapat mencapai titik kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat
diharapkan guna perbaikan lebih lanjut.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis persembahkan tesis ini,
walaupun disajikan dalam bentuk yang sederhana namun penulis berharap semoga
tesis ini dapat diterima dan bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
x
1. Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing atas
bimbingan dan saran yang diberikan selama masa penelitian dan penulisan
tesis ini.
2. Dr.Ir.Jonson Lumban Gaol, M.Si sebagai penguji tamu atas masukan dan
sarannya bagi perbaikan tesis ini.
3. Pimpinan dan Staff Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional
(LAPAN) Stasiun Parepare Sulawesi Selatan yang telah membantu dan
memberikan kemudahan selama pengambilan data.
4. Kedua orang tua, Ayahanda Yasin Inaku dan Ibunda Tuti Nusa atas segala
doa, kasih sayang, dan motivasi yang tak pernah putus hingga detik ini.
5. Beloved sister, Mulyati Inaku beserta kakak ipar Suharto Hasan untuk
cinta, doa, dan motivasinya. Buat dua malaikat kecil Nailah Ayesha Hasan
dan Syauqi Raihan Hasan yang selalu memberi warna indah dalam hidup.
6. Adinda tersayang, Awaluddin Inaku untuk hiburan, doa, dan motivasinya.
7. Risma Marwan beserta keluarga yang telah banyak membantu selama
pengambilan data di Kota Parepare.
8. Dr. Nurjannah Nurdin, S.T, M.Si, kakak sekaligus guru buat penulis atas
segala motivasi dan bimbingannya selama penulis menjalankan studi.
9. Gulam Arafat, teman dan sahabat terbaik yang telah begitu banyak
membantu sejak awal hingga terselesaikannya tesis ini.
10. Iswara Crew (Rina, Weni, 3 Ratih, Uci, Ulfa, Julia, Meta, Fia, Hesti,
Wulan, Jay, Dinda) untuk semua yang telah diberi dan dibagi selama di
tanah perantauan.
11. Keluarga yang senantiasa hangat hingga saat ini, Bapak Mohammad Noor
dan Ibu Siti Zaenab B. atas segala doa dan dukungannya. Tak lupa, buat
Habil Noor, untuk semua kesabaran, pengertian, doa, dan dukungan yang
diberikan, terima kasih telah menjadi penopang terbaik hingga kini.
xi
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Dili pada tanggal 02 Mei 1987, sebagai anak kedua dari tiga
bersaudara pasangan Bapak Yasin Inaku dan Ibu Tuti Nusa. Pendidikan sekolah
dasar diselesaikan di SDN 35 Kota Utara Gorontalo tahun 1998. Selanjutnya
penulis melanjutkan sekolah ke MTS Al-Huda Gorontalo dan lulus tahun 2001.
Pendidikan sekolah menengah atas ditempuh hingga tahun 2004 di SMU Insan
Cendekia Gorontalo. Melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun
2004, penulis kemudian melanjutkan pendidikan Strata-1 di Jurusan Ilmu
Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin dan
lulus pada tahun 2008.
Sejak tahun 2008 penulis sempat terlibat dan aktif membantu sebagai
asisten di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis
Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Pada tahun 2009, penulis
menempuh program Magister pada program studi Teknologi Kelautan di Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan minat Penginderaan Jauh dan
Sistem Informasi Geografis Kelautan. Untuk menyelesaikan studi, penulis
melaksanakan penelitian dan penulisan tesis dengan judul “Analisis Pola Sebaran
dan Perkembangan Area Upwelling di Bagian Selatan Perairan Selat Makassar”
xii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................. xii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvi
1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar belakang .......................................................................... 1
1.2. Perunusan Masalah ................................................................... 2
1.3. Kerangka Pmikiran ................................................................... 3
1.4. Tujuan Penelitian ..................................................................... 4
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................... 4
DAFTAR TABEL
Halaman
DAFTAR GAMBAR
Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 PENDAHULUAN
analisis data penginderaan jauh dengan memanfaatkan data sebaran SPL dan
klorofil-a melalui citra MODIS Level 1 yang merupakan data harian dan memiliki
resolusi spasial 1 km. Data tersebut kemudian dihubungkan dengan data
pendukung berupa data meteorologi dan osenografi bagian selatan perairan Selat
Makassar. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan satelit
dianggap tepat karena dapat menjangkau perairan yang luas secara sinoptik.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Suhu
Salah satu parameter yang mencirikan massa air di lautan ialah suhu. Suhu
adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang (heat) yang
terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber bahang utama adalah sinar
matahari. Pada umumnya perairan yang banyak menerima bahang dari matahari
adalah daerah yang terletak pada lintang rendah dan akan semakin berkurang bila
letaknya semakin mendekati kutub (Weyl, 1970).
Pada lapisan permukaan penyebaran suhu ditentukan oleh banyak faktor,
diantaranya ialah jumlah bahang yang diterima oleh masing-masing tempat, arus-
arus lautan yang membawa bahang dari khatulistiwa ke arah kutub-kutub serta
pengaruh meteorologi seperti angin, penguapan, hujan dan lain-lain. Pada
hakekatnya di daerah tropis terdapat amplitude suhu permukaan yang kecil. Oleh
karena itu, perubahan pada penyebaran suhu vertikal juga kecil, hanya di daerah-
daerah upwelling dapat ditemukan perbedaan yang cukup berarti (Illahude, 1999).
Menurut Ilahude (1999) berdasarkan lapisan kedalaman, penyebaran suhu di
lapisan bawah paras laut (subsurface layer) menunjukkan bahwa adanya pelapisan
yang terdiri atas:
a) Lapisan homogen
Pada daerah tropis, pengadukan ini dapat mencapai kedalaman 50-100 m
dengan suhu berkisar 26-30°C dan gradien tidak lebih dari 0,03°C /m. Lapisan
ini sangat dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Pada Musim Timur,
lapisan ini dapat mencapai 30-40 m dan bertambah dalam pada saat musim
barat, yaitu mencapai 70-90 m sehingga mempengaruhi sirkulasi vertikal dari
perairan.
b) Lapisan termoklin
Lapisan termoklin dapat dibagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan termoklin atas
(main thermocline) dan termoklin bawah (secondary thermocline). Suhu pada
lapisan termoklin atas lebih cepat menurun dibandingkan dengan lapisan
termoklin bawah, yaitu 27°C pada 100 m menjadi 8°C pada kedalaman 300 m
atau rata-rata penurunan suhu dapat mencapai 9,5°C /100 m, sedangkan pada
6
termoklin bawah suhu masih terus turun dari 8°C pada 300 m menjadi 4°C
pada kedalaman 600 m atau rata-rata penurunan mencapai 1,3°C /100 m.
c) Lapisan dalam
Pada lapisan ini suhu turun menjadi sangat lambat dengan gradien suhu hanya
mencapai 0,05°C /100 m, lapisan ini dapat mencapai kedalaman 2500 m. Pada
daerah tropis kisaran suhu di lapisan ini antara 2-4°C.
d) Lapisan dasar
Di lapisan ini suhu biasanya tak berubah lagi hingga ke dasar perairan. Pada
samudera-samudera lepas berarti dari kejelukan 3000 m sampai
5000 m.
Kondisi suhu permukaan umumnya dipengaruhi oleh arus permukaan,
penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan
intensitas radiasi matahari. Proses penyinaran dan pemanasan matahari pada
musim barat lebih banyak berada di belahan bumi selatan sehingga suhu berkisar
antara 29-30oC dan di bagian khatulistiwa suhu berkisar antara 27-28oC. Pada
musim Timur, suhu perairan Indonesia bagian utara akan naik menjadi 28-30oC
dan suhu permukaan di perairan sebelah selatan akan turun menjadi 27-28oC
(Wyrtki, 1961).
Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena
mendapat radiasi siang hari. Karena pengaruh angin maka lapisan teratas antara
50–70 m terjadi pengadukan, sehingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat
(sekitar 280C) yang homogen. Oleh sebab itu lapisan ini sering disebut lapisan
homogen. Namun, karena adanya pengaruh arus dan pasang surut, lapisan ini bisa
menjadi lebih tebal lagi. Di perairan dangkal lapisan homogen bisa mencapai
kedalaman hingga ke dasar. Lapisan permukaan laut yang hangat terpisah dari
lapisan dalam yang dingin oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat
disebut termoklin atau lapisan diskontinuitas suhu. Suhu pada lapisan permukaan
adalah seragam karena percampuran oleh angin dan gelombang sehingga lapisan
ini dikenal sebagai lapisan percampuran (mixed layer).
Illahude (1999) mengemukakan bahwa Suhu Permukaan Laut (SPL) di Selat
Makassar selama musim timur berkisar 28,2-28,7oC dan pada musim barat naik
sebesar 0,8oC dengan suhu sekitar 29,4oC. Lapisan termoklin utama ditemukan
7
pada 60-300 m dengan suhu menurun dari 27,0oC hingga 10,0oC dengan gradien
mencapai 0,7oC/m.
2.2. Klorofil-a
Istilah klorofil berasal dari bahasa Yunani yaitu Chloros artinya hijau dan
phyllos artinya daun. Ini diperkenalkan tahun 1818, dimana pigmen tersebut
diekstrak dari tumbuhan dengan menggunakan pelarut organik. Hans Fischer
peneliti klorofil yang memperoleh nobel prize winner pada tahun 1915 berasal
dari Technishe Hochschule, Munich Germany.
Klorofil adalah pigmen pemberi warna hijau pada tumbuhan, alga dan
bakteri fotosintetik. Senyawa ini yang berperan dalam proses fotosintesis
tumbuhan dengan menyerap dan mengubah energi cahaya menjadi energi kimia.
Klorofil-a berkaitan erat dengan produktifitas yang ditunjukkan dengan
besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan
pelagis. Menurut Valiela (1984), produktifitas primer perairan pantai melebihi
60% dari produktifitas yang ada di laut.
Laju produktifitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin muson.
Hal ini berhubungan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh. Dari sebaran
konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a
tertinggi dijumpai pada muson tenggara, dimana pada saat tersebut terjadi
upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian timur.
Sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada muson barat laut. Pada saat ini di
perairan Indonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai
konsantrasi nutrien di perairan lebih kecil. Nontji (2005) menyatakan bahwa
konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia rata-rata 0,19 mg/m3 selama musim
barat sedangkan 0,21 mg/m3 selama musim timur. Fitoplankton sebagai tumbuhan
yang mengandung pigmen klorofil mampu melaksanakan reaksi fotosintesis
dimana air dan karbondioksida dengan adanya sinar surya dan garam-garam hara
dan menghasilkan senyawa seperti karbohidrat. Karena adanya kemampuan untuk
membentuk zat organik dari zat anorganik maka fitoplankton disebut sebagai
produsen primer. Oleh karena itu kandungan korofil-a dalam perairan merupakan
salah satu indikator tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton atau tingkat
kesuburan suatu perairan (Yamaji, 1966).
8
Gambar 2. Sirkulasi Massa Air (the great conveyor belt) (W. Broecker 1997).
dimana pada musim ini angin bertiup tidak menentu. Pada setiap awal periode
musim ini, pengaruh angin musim sebelumnya masih kuat (Nontji, 2005).
Pergantian angin muson dari muson barat ke muson timur menimbulkan
berbagai macam pengaruh terhadap sifat perairan Selat Makassar. Selama angin
muson barat berhembus, curah hujan akan meningkat yang berakibat menurunnya
nilai salinitas perairan. Sebaliknya pada muson timur, terjadi peningkatan salinitas
akibat penguapan yang besar, ditambah dengan masuknya massa air yang
bersalinitas tinggi dari Samudra Pasifik melalui Laut Sulawesi dan masuk ke
perairan Selat Makassar (Wyrtki, 1961).
Selain tingkat salinitas, perubahan pada arus permukaanpun terjadi, hal ini
dipengaruhi dengan adanya angin muson. Selama muson timur, massa air dari
Laut Flores bertemu dengan air yang keluar dari Selat Makassar dan mengalir
bersama ke Laut Jawa. Pada muson barat, massa air dari Laut Jawa bertemu
dengan massa air yang keluar dari Selat Makassar dan mengalir bersama ke arah
Laut Flores.
Variabilitas musiman maupun tahunan diakibatkan oleh arah angin yang
berubah mengikuti sistem muson Australia-Asia (Australasia). Transpor
maksimum pada berbagai lokasi seperti Selat Makassar, Selat Lombok, Selat
Ombai, Laut Sawu dan dari Laut Banda ke Samudera India terjadi pada saat
bertiupnya angin muson tenggara antara Juli–September dan minimum saat
muson barat laut antara November–Februari (Meyers et al., 1995; Gordon et al.,
1999; Hautala et al., 2001).
Pada Gambar 3 sistem arus lintas Indonesia menunjukkan adanya aliran
massa air yang mengalir sepanjang tahun dari arah utara ke selatan perairan Selat
Makassar dan juga arus permukaan yang mengalir dari laut Jawa masuk ke Selat
Makassar dan sebagian ke Laut Flores.
12
2.4 Upwelling
Upwelling didefinisikan sebagai fenomena naiknya massa air yang dingin
dan berat serta kaya zat hara dari lapisan yang lebih dalam ke lapisan atas atau
menuju permukaan. Massa air yang berasal dari lapisan dalam akan menggantikan
kekosongan tempat aliran lapisan permukaan air yang menjauhi pantai (Hutabarat
dan Evans, 1985).
Laut dikenal memiliki stratifikasi massa air secara vertikal yaitu air di
lapisan dalam mempunyai suhu lebih rendah dan zat hara lebih tinggi
dibandingkan di permukaan. Peristiwa upwelling menyebabkan suhu lebih rendah
dan zat hara menjadi lebih tinggi di permukaan. Di daerah upwelling, lapisan
termoklin akan naik, bahkan mungkin mencapai permukaan dan terjadi anomali
suhu rendah di permukaan dibanding sekitarnya (Smith, 1968).
Upwelling yang terjadi di laut lepas sering dijumpai di sepanjang
khatulistiwa dimana angin pasat bertiup sepanjang tahun, menyebabkan daerah
divergen berkembang begitu kuat, sehingga lapisan termoklin bergerak vertikal ke
permukaan. Keadaan pada daerah divergen tersebut menimbulkan “kekosongan”
pada lapisan permukaan yang diisi oleh massa air dari lapisan di bawahnya
(Barnes and Hughes, 1988).
13
Kedua, ketika terjadi proses upwelling, dimana upwelling itu sendiri terjadi
karena adanya angin yang berhembus terus menerus dengan kecepatan cukup
besar dan dalam waktu yang cukup lama. Bila angin bertiup ke suatu arah sejajar
dengan garis pantai atau benua, garis pantai berada di sebelah kiri dari angin
untuk Belahan Bumi Utara atau di sebelah kanan dari angin untuk Belahan Bumi
Selatan, maka akibat gaya coriolis (gaya yang timbul akibat perputaran bumi pada
porosnya) massa air yang bergerak sejajar dengan garis pantai akan dibelokkan
arahnya menjauhi garis pantai dengan arah tegak lurus angin ke laut lepas. Angin
menyebabkan air laut menjauhi pantai. Peristiwa tersebut menyebabkan
terbentuknya “ruang kosong” di daerah pantai yang kemudian diisi oleh massa air
di bawahnya dengan cara bergerak vertikal ke permukaan (Wyrtki, 1961).
14
Selain dua kejadian di atas, upwelling juga dapat terjadi bila arus dalam
(deep current) membentur penghalang di dasar laut (mid-ridge ocean) yang
kemudian arus tersebut dibelokkan ke atas menuju permukaan (Barnes dan
Hughes, 1988).
Upwelling pesisir adalah tipe upwelling yang paling umum diamati. Hal ini
disebabkan oleh gesekan angin (kekuatan angin mendorong di permukaan air)
dalam kombinasi dengan efek rotasi bumi (efek Coriolis). Kedua kekuatan
menghasilkan transportasi air permukaan di arah lepas pantai. Penyimpangan air
permukaan jauh bentuk pantai menyebabkan air permukaan lebih dingin daripada
air bawah permukaan. Kekuatan upwelling tergantung pada karakteristik seperti
kecepatan angin, durasi, fetch, dan arah. Arah angin sangat penting dalam
menentukan apakah upwelling pesisir akan terjadi (Conway, 1997).
15
Menurut Wyrtki (1961), upwelling dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Tipe stationer, yaitu bila upwelling terjadi sepanjang tahun meskipun dengan
intensitas yang bervariasi, misalnya upwelling di pantai Peru.
2. Tipe periodic, yaitu bila upwelling yang terjadi hanya selama satu musim saja,
contohnya upwelling di Selat Makassar bagian selatan (Illahude, 1971).
3. Tipe berganti, yaitu upwelling dan sinking terjadi bergantian dalam satu tahun.
Pada satu musim (misalnya musim timur di Indonesia) terjadi upwelling dan
musim berikutnya (musim barat) terjadi sinking. Tipe seperti ini terjadi di Laut
Banda dan laut Arafura.
Menurut Diposaptono (2010), upwelling di bagian selatan perairan Selat
Makassar terjadi pada waktu musim tenggara (Juni – September). Pada saat terjadi
upwelling, salintas permukaan mencapai 34% dan suhu berkisar antara 26,4oC–
27,8oC, kadar plankton dan unsur-unsur fosfat, nitrat dan silikat naik dengan
mencolok, sehingga tingkat produktivitas tinggi.
seperti radiasi cahaya matahari atau panjang gelombang dari visible dan near
sampai middle infrared, panas atau dari distribusi spasial energi panas yang
dipantulkan permukaan bumi (thermal), serta refleksi gelombang mikro (Susilo,
1997).
Data yang merupakan produk MODIS untuk perairan mencakup tiga hal
yakni warna perairan, suhu permukaan laut (SPL), dan produktifitas primer
perairan melalui pendeteksian kandungan klorofil. Seluruh produk tersebut sangat
berguna untuk membantu penelitian mengenai sirkulasi lautan, biologi laut, dan
kimia laut termasuk siklus karbon di perairan.
3 METODE PENELITIAN
Konstanta (c1, c2, c3, danc4) dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut :
Ekstraksi data SPL dilakukan dengan menggunakan kanal 31 dan 32 pada Modis
dengan menerapkan algoritma OC3M O’Reilly et al. (2000):
Ca = 100.283-2.753R+1.457R2+0.659R3-1.403R4, R = log10(Rrs443>Rrs488/Rrs551)
Dimana: Ca = Konsentrasi klorofil-a (mg/m3)
R = Rasio reflektansi
Rrs = Remote sensing reflectance
Data Satelit
Klorofil-a SPL
Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan
tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan dengan
baik pola sebaran SPL baik secara spasial maupun temporal. Analisis citra
dilakukan pada beberapa hari yang terpilih dari setiap bulannya.
Berdasarkan hasil olahan citra satelit MODIS level 1 terlihat bahwa pola
sebaran SPL secara spasial di Perairan Selat Makassar menunjukkan pola
penyebaran yang berbeda. Namun, walaupun pola tiap bulannya berbeda tapi
secara umum, variabilitas suhu di Perairan Selat Makassar tidak terlalu berbeda
jauh atau nilai yang terlihat relatif homogen. Kisaran suhu yang terlihat berkisar
antara 26-31ºC.
Gambar 9. Pola sebaran SPL secara spasial pada Musim Barat tahun 2010
24
Gambar 10. Pola sebaran SPL secara spasial pada Musim Peralihan I tahun 2010
Memasuki awal periode musim timur yaitu bulan Mei mulai terlihat adanya
gejala penurunan suhu di bagian selatan Selat Makassar. Penurunan ini pun
semakin terlihat pada bulan Juni dan Juli yang mengindikasikan adanya gejala
permulaan upwelling. Pada bulan Juli-Agustus fenomena ini semakin terlihat jelas
dengan pola penyebaran suhu yang terstratifikasi dengan jelas secara horizontal di
bagian selatan Selat Makassar (Gambar 11).
Pada periode bulan September-Oktober (Musim Peralihan II) sebaran SPL
menunjukkan bahwa indikasi adanya upwelling mulai melemah yang ditandai
dengan menurunnya luasan daerah upwelling dan naiknya SPL di bagian selatan
Selat Makassar jika dibandingkan dengan periode musim sebelumnya yaitu
Musim Timur.
25
Gambar 11. Pola sebaran SPL secara spasial pada Musim Timur tahun 2010
Gambar 12. Pola sebaran SPL secara spasial pada Musim Peralihan II tahun 2010
Nilai SPL pada periode bulan Mei-Agustus (musim timur) berkisar antara
26.5-31.2oC. Kisaran suhu paling rendah yang mencapai hingga 26.5oC tersebut
ditemukan di bagian selatan Selat Makassar tepatnya di bagian selatan Pulau
Sulawesi. Rendahnya kisaran nilai ini jika dibandingkan dengan bulan-bulan
sebelumnya menunjukkan adanya fenomena upwelling. Menurut Yahya (2000)
bahwa sebaran SPL di Selat Makassar rata-rata berkisar antara 24-30.34°C,
dengan suhu tertinggi ditemukan pada musim peralihan barat-timur, suhu perairan
mengalami penurunan selama musim timur, kemudian meningkat kembali
memasuki musim peralihan timur-barat.
100% 100%
80% 28.28.4 80% 28.28.4
60% 27.5-27.9 60% 27.5-27.9
40% 27-27.4
40% 27-27.4
26.5-26.9
20% 26.5-26.9 20%
0% 0%
Agustus
Juni
Juni
Agustus
Oktober
Oktober
Juli
Juli
September
September
(a) (b)
Gambar 13. Persentase Tingkat Penyebaran SPL pada Beberapa Bulan
Tahun (a) 2009 dan (b) 2010
27
Gambar 14. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial pada Musim Barat
II tahun 2010
Gambar 15. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial pada Musim
Peralihan I Tahun 2010
29
Gambar 16. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial pada Musim Timur
tahun 2010
Gambar 17. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial pada Musim
Peralihan II Tahun 2010
31
Data klorofil-a dari satelit MODIS dipetakan pada bagian selatan Selat
Makassar sehingga diperoleh pola sebaran konsentrasi klorofil-a periode Januari-
Desember 2009 dan 2010. Tingkat konsentrasi klorofil-a yang ditemukan untuk
keseluruhan bulan berada pada kisaran 0.76-1.38 mg/m3.
100% 100%
80% 1.15-1.2 80% 1.15-1.2
60% 1.0-1.15 60% 1.0-1.15
40% 0.9-1.0 40% 0.9-1.0
20% 0.8-0.9 20% 0.8-0.9
0% 0%
Juli
Juli
Juni
Agustus
Juni
Agustus
September
September
(a) (b)
Berdasarkan hasil analisis pola penyebaran SPL dan klorofil-a untuk tahun
2009 dan 2010 diketahui bahwa terbentuknya SPL rata-rata dimulai pada bulan
Juni. Menurunnya SPL ini diikuti kemudian dengan meningkatnya konsentrasi
klorofil-a yang menyebar di perairan bagian selatan Selat Makassar. Terbentuknya
SPL untuk tahun 2010 dimulai pada minggu kedua bulan Juni kemudian
memuncak pada minggu kedua Agustus dan berakhir di minggu kedua bulan
Oktober. Terbentuknya SPL di minggu kedua bulan Juni ini diikuti dengan
meningkatnya konsentrasi klorofil-a pada minggu keempat bulan Juni yang
kemudian memuncak pada minggu keempat bulan Agustus dan berakhir di
minggu keempat bulan September.
Gambar 19. Fluktuasi Upwelling : (a) Awal, (b) Maksimal, (c) Akhir
33
Fenomena yang terjadi di tahun 2010 tidak jauh berbeda dengan yang
ditemui di tahun 2009. Terbentuknya SPL di tahun 2009 dimulai pada minggu
pertama bulan Juni yang kemudian memuncak di minggu kedua bulan Agustus
dan berakhir di minggu ketiga bulan Oktober. Terbentuknya SPL di minggu
pertama bulan Juni ini diikuti pula dengan meningkatnya konsentrasi klorofil-a
pada minggu ketiga bulan Juni yang kemudian meningkat di minggu ketiga bulan
Agustus dan berakhir pada minggu ketiga bulan September.
Pada saat kejadian upwelling memuncak yaitu di bulan Agustus, pola
penyebaran upwelling terlihat jelas mengarah ke arah barat daya Pulau Sulawesi.
Menurut Rosyadi (2011), penyebaran ini menyebar ke barat daya Pulau Sulawesi
sekitar 330 km. Secara lebih rinci, pola penyebaran ini kemudian dianalisis
perkembangannya tiap bulan sejak terbentuk sampai berakhirnya SPL dan
klorofil-a tersebut untuk mengetahui luasan penyebaran SPL dan klorofil-a yang
kemudian diestimasi sebagai daerah penyebaran upwelling.
Setelah dilakukan analisis pola penyebaran SPL dan klorofil secara bulanan
untuk mengestimasi luasan daerah yang diindikasikan terjadi upwelling,
selanjutnya dilakukan analisis pola penyebaran secara mingguan di bulan Agustus
(Gambar 20 dan 21). Bulan Agustus menjadi bulan yang dipilih karena
berdasarkan analisis variabilitas SPL dan klorofil-a baik secara spasial maupun
temporal diketahui bahwa bulan Agustus merupakan bulan dimana tingkat
penyebaran SPL dan klorofil-a memuncak.
0 0
I II III IV I II III IV
Gambar 20. Estimasi luasan penyebaran SPL dan klorofil-a mingguan bulan
Agustus tahun 2009
34
Gambar 21. Estimasi luasan penyebaran SPL dan klorofil-a mingguan bulan
Agustus tahun 2010
Gambar 22. Pola sebaran SPL dan klorofil-a bulan Agustus 2010
35
Berdasarkan hasil analisis pada sebaran nilai SPL terlihat bahwa secara
umum, kejadian upwelling pada tahun 2009 dan 2010 yang terjadi di bagian
selatan perairan Selat Makassar dimulai pada bulan Juni dan mencapai puncaknya
pada bulan Agustus. Minggu pertama bulan Agustus memperlihatkan fenomena
meluasnya suhu permukaan laut dengan tingkat yang rendah yang
mengindikasikan semakin memuncak dan meluasnya daerah sebaran upwelling.
Indikasinya terjadinya upwelling pada periode Mei-Agustus (Musim Timur)
didukung pula dengan berubahnya lapisan termoklin (Gambar 23).
Data profil suhu menegak bagian selatan perairan selat Makassar
menunjukkan bahwa lapisan termoklin pada Musim Barat dimulai pada
kedalaman 42 m dengan penurunan suhu mulai dari 28oC, sedangkan untuk
Musim Timur data profil suhu pada lokasi upwelling menunjukkan bahwa lapisan
termoklin di bagian selatan Selat Makassar dimulai pada kedalaman 17 m dengan
36
penurunan suhu mulai dari 27oC dan titik non upwelling dimulai pada kedalaman
33 m dengan penurunan suhu mulai 28 oC. Berdasarkan hasil pengukuran ini
terlihat bahwa lapisan termoklin mengalami perubahan atau kenaikan saat musim
timur (Juni-Agustus) pada titik upwelling, hal ini secara langsung menunjukkan
bahwa pada musim timur terjadi penaikan massa air yang menyebabkan
berubahnya lapisan termoklin. Terjadinya penaikan massa air ini menunjukkan
terjadinya upwelling di Selat Makassar dimana upwelling tersebut menyebabkan
terangkatnya massa air dari lapisan dalam ke lapisan atas.
(a)
(b)
Gambar 23. Profil suhu menegak (a) Bulan Desember (Musim Barat) (b) Bulan
Agustus (Musim Timur) (Sumber:World Ocean Database, 2005)
37
Data curah hujan yang dipilih adalah data curah hujan lokal untuk wilayah
Makassar, Sulawesi Selatan. Makassar merupakan daerah yang dipilih karena
wilayah ini merupakan wilayah yang paling dekat dengan lokasi yang diteliti
dengan asumsi bahwa curah hujan daerah terdekat lebih besar mempengaruhi
dibandingkan dengan daerah atau wilayah lain di sekitar Selat Makassar.
Berdasarkan analisis data curah hujan untuk rata-rata setiap bulannya terlihat
bahwa pada bulan Desember-Februari (Musim Barat) curah hujan (mm) berkisar
antara 533-734 mm, bulan Maret-April (Musim Peralihan I) berkisar antara 235-
391 mm, bulan Mei-Agustus (Musim Timur) berkisar antara 15-127 mm, dan
bulan September-November (Musim Peralihan II) berkisar antara 32-273 mm.
Pada umumnya jumlah curah hujan maksimum terjadi pada Musim Barat yaitu
pada bulan Januari dan jumlah curah hujan minimum terjadi pada musim timur
yaitu pada bulan Agustus (Gambar 24). Hal tersebut sesuai dengan Wyrtki (1961)
bahwa adanya fluktuasi jumlah curah hujan bulanan diakibatkan karena adanya
perbedaan pola angin yang terjadi di Indonesia. Pada Musim Barat, angin
membawa banyak uap air karena angin berasal dari Samudera Pasifik sehingga
menyebabkan curah hujan menjadi tinggi sedangkan pada Musim Timur angin
membawa sedikit uap air karena angin berasal dari daratan Australia sehingga
curah hujan menjadi rendah.
Jumlah Total Rata-rata Curah Hujan (mm) Jumlah Rata-rata Hari Hujan
800
700
600
500
400
300
200
100 27 26 23 20 17 8 4 2 4 7 24 25
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des
(Musim Peralihan I) pola pergerakan angin berasal dari utara (Maret) dan dari
timur (April) dengan kecepatan rata-rata 2.08 m/s dan maksimum 3.5 m/s.
Gambar 29. Hubungan pola pergerakan angin dengan penurunan SPL dan
peningkatan konsentrasi klorofil-a.
42
Pola pergerakan angin mulai berubah sejak bulan April namun tingkat
kecepatan yang ada masih rendah yaitu 3.25 m/s seperti bulan sebelumnya
sehingga belum cukup kuat untuk mendukung terjadinya Ekman Transport.
Kecepatan angin mulai terlihat meningkat pada bulan Mei yaitu mencapai 6.39
m/s, kecepatan angin yang kuat di bulan Mei ini yang kemudian menyebabkan
terdorongnya massa air di bagian permukaan yang kemudian diikuti dengan
naiknya massa air dari bagian dalam hingga mencapai ke permukaan. Proses ini
berlanjut secara terus menerus dan mulai nampak jelas fenomenanya di minggu
kedua bulan Juni yang ditandai dengan penurunan SPL dan diikuti dengan
peningkatan konsentrasi klorofil-a pada minggu keempat bulan Juni (Gambar 29).
43
5.1 Simpulan
Simpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini yaitu pola penyebaran
upwelling pada musim timur dimulai pada bulan Juni untuk setiap tahun 2009 dan
2010 dan memuncak di bulan Agustus serta berakhir pada bulan Oktober. Selain
itu, berdasarkan pola distribusi spasial SPL dan konsentrasi klorofil-a di selatan
perairan Selat Makassar pada musim timur, diketahui bahwa pola penyebarannya
bergerak ke arah barat daya dengan total estimasi luasan sekitar ± 46000 km2.
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Afdal dan S.H. Riyono. 2004. Sebaran Klorofil-a Kaitannya dengan Kondisi
Hidrologi di Selat Makassar. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 36 :
69-82.
Barnes, R. S. K. And R.N. Hughes. 1988. An introduction to Marine Ecology. 2nd
Edition. Blokwell Scientific Publication. 35p.
Broecker, W. S. 1991. The Great Conveyor Belt. Oceanography., 4, 79–89.
[1.2,2.1,4.7].
Conway, E.D. 1997. An Introduction to Satellite Image Interpretation. The Johns
Hopkins University. Baltimore and London. 242 hlm.
Lanjutan
49
Lanjutan
51
Lanjutan
52
Lanjutan
53
Lanjutan
54
Lanjutan
55
Lanjutan
57
Lanjutan
58
Lanjutan
59
Lanjutan
60
Lanjutan
61
Lanjutan
63
Lanjutan
64
Lanjutan
65
Lanjutan
66
Lanjutan
67
Lanjutan
69
Lanjutan
70
Lanjutan
71
Lanjutan
72
Lanjutan