You are on page 1of 28

LAPORAN PENDAHULUAN

MENINGITISENSEFALITIS TB

Untuk memenuhi laporan profesi di Departemen Medical


Ruang 27 RSSA Malang

ADELITA DWI APRILIA


135070201111005

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
LAPORAN PENDAHULUAN
I. Definisi
Meningitis adalah radang umum pada arakhnoid dan piamater yang dapat terjadi
secara akut dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak.
Meningoensefalitis tuberkulosis adalah peradangan pada meningen dan otak yang
disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis (TB). Penderita dengan
meningoensefalitis dapat menunjukkan kombinasi gejala meningitis dan ensefalitis.

II. Etiologi
Infeksi TB pada system saraf pusat disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Seperti semua jenis infeksi TB, infeksi SSP dimulai dari inhalasi
partikel yang infektif. Dalam droplet penderita TB mengandung sejumlah bakteri TB
yag dapat mencapai alveoli dan bereplikasi dalam makrofag (Scheld, 2004). Sekitar
2-4 minggu akan dibentuk respon imun. Kumpulan bakteri yang diserang, limfosit,
dan sel-sel yang mengelilinginya membentuk suatu focus perkejuan. Fokus ini akan
diresorpsi oleh makrofag disekitarnya dan meninggalkan bekas infeksi. Bila, focus
terlalu besar makan akan dibentuk kapsul fibrosa yang akan mengelilingi focus
tersebut, namun bakteri yang masih hidup didalamnya dapat mengalami reaktivasi
kembali. Jika pertahanan tubuh rendah, maka focus tersebut akan semakin membesar
karena terjadi proliferasi bakteri. Pada penderita dengan sistem imunitas yang lemah,
focus infeksi tersebut akan mudah ruptur dan menyebabkan TB ekstra paru dan dapat
menyerang meningen dan jaringan otak (Van de Berk, 2004).

III. Insidensi
Sebelum maraknya penggunaan antibiotika, ditemukan 1000 anak dengan TB akif di
New York sekitar pada tahun 1930. Hampir 15% diantaranya menderita meningitis
TB dan meninggal. Pada awal tahun 2003, menurut WHO terdapat sekitar 1/3
penduduk dunia menderita TB aktif dan 70.000 diantaranya menderita meningitis
(Balentine, 2010). WHO juga melaporkan 9,27 juta kasus baru dan 1,3 juta kasus
ME- TB yang berhubungan dengan HIV pada tahun 2007 (Sengoz, 2011).
IV. Manifestasi Klinis
Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke tengkuk
dan punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh mngejangnya
otot-otot ekstensor tengkuk. Kesadaran menurun , tanda kernig dan Brudzinki positif.
Gejala meningitis tidak selalu sama, tergantung dari usia penderita serta virus
apa yang menyebabkan. Gejala yang paling umum adalam demam tinggi, sakit
kepala, pilek, mual, muntah, kejang. Setelah itu penderita merasa sangat lelah, leher
terasa pegal dan kaku, gangguan kesadaran serta penglihatan menjadi kurang jelas.

Gejala meningitis meliputi:

1. Gejala Infeksi akut


 Panas
 Nafsu makan menurun
 Anak Lesu
2. Gejala kenaikan tekanan Intra Kranial
 Kesadaran menurun
 Kejang
 Ubun – ubun besar menonjol
3. Gejala rangsang meningeal
 Kaku kuduk
 Kernig
 Brudzinski
Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa dikelompokkan
dalam tiga stadium1:
1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
 Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu
 Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan
neurologis
Gejala: * demam (tidak terlalu tinggi)
* rasa lemah
* nafsu makan menurun (anorexia)
* nyeri perut
* sakit kepala
* tidur terganggu
* mual, muntah
* konstipasi
* apatis
* irritable1
 Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang
sering ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan
perubahan suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi,
apatis, mungkin saja tanpa disertai demam dan timbul kejang intermiten.4,7,9 .
 Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan
berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke
stadium III1.
2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
 Disebut juga fase meningitik, yang ditandai dengan memberatnya penyakit.
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak/meningen.1,4
 Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas
lengkung serebri.
 Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada
bayi.
 Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di
dasar otak  menyebabkan gangguan otak / batang otak1,3.
 Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan
kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema
ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan
fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul
disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi akibat infark
bilateral atau edema otak yang berat1,3.
 Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala
utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak
yang lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya
makin menurun.
 Gejala:
* Akibat rangsang meningen : sakit kepala berat dan muntah (keluhan utama)5
* Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak:
- disorientasi
- bingung
- kejang
- tremor
- hemibalismus / hemikorea
- hemiparesis / quadriparesis
- penurunan kesadaran
* Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial:
Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
Tanda: - strabismus - diplopia
- ptosis - reaksi pupil lambat
- gangguan penglihatan kabur

Gambar 3. Kaku Kuduk (Nuchal Rigidity) Pada Penderita Meningitis

3. Stadium III (koma / fase paralitik)1


 Terjadi percepatan penyakit, berlandsung selama ± 2-3 minggu
 Gangguan fungsi otak semakin jelas.
 Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi
oleh eksudat yang mengalami organisasi.
 Gejala: * pernapasan irregular
* demam tinggi
* edema papil
* hiperglikemia
* kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk,
stupor, koma, otot ekstensor menjadi kaku dan spasme,
opistotonus, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali.
* nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
* hiperpireksia
* akhirnya, pasien dapat meninggal.
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan
yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien
meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebit berlangsung selama 1 minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan
terlambat atau tidak adekuat

V. Patofisiologi
Mycobaterium Tuberculosis masuk tubuh
Tersering melalui inhalasi
Jarang pada kulit, saluran cerna
Multiplikasi
Infeksi paru / fokus infeksi lain
Penyebaran hematogen
Meningens
Membentuk tuberkel
Bakteri M.Tuberculosis tidak aktif / dormain
Bila daya tahan tubuh menurun
Rupture tuberkel meningen
Pelepasan Bakteri ke ruang subarachnoid dan encephalon
MENINGOENSEFALITIS TUBERKULOSA

Eksudat purulent menyebar ke Aktivitas makrofag dan virus Mengikuti cairan darah sistemi
dasar otak dan medulla spinalis
Pelepasan zat pirogen endogen Penyebaran infeksi sistemik
Kerusakan Spinalis
Merangsang kerja berlebihan Sepsis
CO2 Meningkat dari PGE2 di hipothalamus
Resiko Tinggi Infeksi
Instabil termoregulasi
Permeabilitas vaskuler pada
serebri
Suhu tubuh meningkat
Permeabilitas vaskuler pada
serebri Hipertermia

Transudasi cairan

Edema serebri

Volume tekanan otak TIK meningkat

Vasospasme pembuluh Nyeri kepala


darah arteri
Sirkulasi terhenti

Gangguan perfusi Kesadaran menurun Penumpukan sekret Ketidakefektifan


jaringan otak bersihan jalan napasa

VI.Pemeriksaan Penunjang
2.8.1 Anamnesis
Dapat ditemukan riwayat kontak dengan pasien TB, malaise, anoreksia,
demam, nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental, penurunan
kesadaran, kejang, kelumpuhan saraf kranial, hemiparese, atau gangguan neurologis
lain (Meiti F, 2011).

2.8.2 Pemeriksaan fisik


Sering ditemukan tanda klinis berupa kaku kuduk (40-80%), kebingungan (10-
30%), penurunan kesadaran (30-60%), parese saraf kranial (30-50%), hemiparese
(10-20%), paraparese (5-10%), dan kejang (50% pada anak-anak dan 5% pada
dewasa) (Twaithes G et al, 2009).

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium rutin : tidak khas, dapat ditemukan leukosit yang meningkat,
normal, atau menurun, diff count bergeser ke kiri, kadang-kadang ditemukan
hiponatremia akibat SIADH (Meiti F, 2011).
2. Analisa CSF :
a. Jumlah lekosit 100-500/L, biasanya predominan limfosit
b. Protein 100-500 mg/dl
c. Glukosa < 45 mg/dl
d. Warna jernih atau xantochrom
e. Terdapat peningkatan tekanan pada LP, 40-75% pada anak dan 50% pada
dewasa (Meiti F, 2011) (Marra,2004).
2. Mikrobiologi : ditemukan M.tuberculosis pada kultur CSS merupakan gold
standard, tetapi sangat sulit, lebih dari 90% hasilnya negative (Meiti F, 2011).
3. CSF PCR (Polymerase Chain Reaction) spesifik tetapi tidak sensitive (Marra
CM, 2004).
4. Pada pemeriksaan foto rontgen thoraks ditemukan tuberkulosis aktif pada paru
dan dapat sembuh sampai 50% pada dewasa dan 90% pada anak-anak (Meiti
F, 2011).
5. Hasil tes PPD tuberkulin negatif pada 10-15% anak dan 50% pada dewasa
(Meiti F, 2011).
6. CT Scan kepala : Dapat ditemukan kelainan pada pemeriksaan CT scan
seperti hidrosefalus, penyangatan meningeal, lesi massa (tuberkuloma,
tuberculous abscess), dan infark. Semua pasien dengan kecurigaan meningitis
TB sebaiknya dilakukan pemeriksaan neuroimaging, idealnya dilakukan
sebelum dilakukan LP (Marra CM, 2004) (Ganiem AR, 2010).
7. Funduskopi : Dapat terlihat adanya tuberkel pada khoroid, dan edema papil
yang menandakan adanya peninggian tekanan intracranial (Meiti F, 2011).
Tabel 2 Kriteria diagnosis untuk klasifikasi diagnosis meningitis TB

Berdasarkan tabel di atas, diagnosis kemungkinan meningitis TB


(probable) adalah apabila didapatkan skor antara 10 sampai 12. Diagnosis
mungkin bisa meningitis TB (possible) jika skor di atas 6 di bawah 10
(Principi N dan Esposito S, 2012).
2.9 Diagnosis Banding
Tabel 3 : Diagnosis banding Meningoensefalitis TB ( Stark JR, 2010).
Tabel 4 : Algoritme diagnosis Meningoensefalitis TB (Fauci et al, 2008).

VIII.Penatalaksanaan

Table 100-3. Initial Antimicrobial Therapy by Age for Presumed Bacterial Meningitis
Age Recommended Treatment Alternative Treatments
Newborns (0-28 days) Cefotaxime or ceftriaxone plus Gentamicin plus
ampicillin with or without ampicillin
gentamicin
Ceftazidime plus
ampicillin
Infants and toddlers (1 Ceftriaxone or cefotaxime plus Cefotaxime or
mo-4 yr) vancomycin ceftriaxone plus
rifampin
Children and Ceftriaxone or cefotaxime plus Ampicillin plus
adolescents (5-13 yr) vancomycin chloramphenicol
and adults

Penatalaksanaan
1. Perawatan umum
a. Penderita dirawat di rumah sakit.
b. Mula – mula cairan diberikan secara infus dalam jumlah yang cukup dan
jangan berlebihan.
c. Bila gelisah diberi sedativa seperti Fenobarbital atau penenang.
d. Nyeri kepala diatasi dengan analgetika.
e. Panas diturunkan dengan :
Kompres es
Paracetamol
Asam salisilat
Pada anak dosisnya 10 mg/kg BB tiap 4 jam secara oral
f. Kejang diatasi dengan :
Diazepam
Dewasa : dosisnya 10 – 20 mg IV
Anak : dosisnya 0,5 mg/kg BB IV
Fenobarbital
Dewasa : dosisnya 6 – 120 mg/hari secara oral
Anak : dosisnya 5 – 6 mg/kg BB/hari secara oral
Difenil hidantoin
Dewasa : dosisnya 300 mg/hari secara oral
Anak : dosisnya 5 – 9 mg/kg BB/hari secara oral
g. Sumber infeksi yang menimbulkan meningitis purulenta diberantas
dengan obat – obatan atau dengan operasi
h. Kenaikan tekanan intra kranial diatasi dengan :
Manitol
Dosisnya 1 – 1,5 mg/kg BB secara IV dalam 30 – 60 menit dan
dapat diulangi 2 kali dengan jarak 4 jam
Kortikosteroid
Biasanya dipakai deksametason secara IV dengan dosis pertama 10
mg lalu diulangi dengan 4 mg setiap 6 jam. Kortikosteroid masih
menimbulkan pertentangan. Ada yang setuju untuk memakainya
tetapi ada juga yang mengatakan tidak ada gunanya.
Pernafasan diusahakan sebaik mungkin dengan membersihkan
jalan nafas.
i. Bila ada hidrosefalus obstruktif dilakukan operasi pemasangan pirau
(shunting).
j. Efusi subdural pada anak dikeluarkan 25 – 30 cc setiap hari selama 2 – 3
minggu, bila gagal dilakukan operasi.
k. Fisiotherapi diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.

2. Pemberian Antibiotika.
Antibiotika spektrum luas harus diberikan secepat mungkin tanpa menunggu
hasil biakan. Baru setelah ada hasil biakan diganti dengan antibiotika yang sesuai.
Pada terapi meningitis diperlukan antibiotika yang jauh lebih besar daripada
konsentrasi bakterisidal minimal, oleh karena :
Dengan menembusnya organisme ke dalam ruang sub araknoid berarti
daya tahan host telah menurun.
Keadaan likuor serebrospinalis tidak menguntungkan bagi leukosit dan
fagositosis tidak efektif.
Pada awal perjalanan meningitis purulenta konsentrasi antibodi dan
komplemen dalam likuor rendah.
Pemberian antibiotika dianjurkan secara intravena yang mempunyai spektrum
luas baik terhadap kuman gram positif, gram negatif dan anaerob serta dapat
melewati sawar darah otak (blood brain barier). Selanjutnya antibiotika diberikan
berdasarkan hasil test sensitivitas menurut jenis bakteri.
Antibiotika yang sering dipakai untuk meningitis purulenta adalah :
a. Ampisilin
Diberikan secara intravena
Dosis : Neonatus : 50 – 100 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Umur 1 – 2 bulan : 100 – 200 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
Umur > 2 bulan : 300 – 400 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
Dewasa : 8 – 12 gram/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
b. Gentamisin
Diberikan secara intravena
Dosis : Prematur : 5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Neonatus : 7,5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
Bayi dan dewasa : 5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
c. Kloramfenikol
Diberikan secara intravena
Dosis : Prematur : 25 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Bayi genap bulan : 50 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Anak : 100 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.

Dewasa : 4 – 8 gram/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
d. Sefalosporin
Diberikan secara intravena
Sefotaksim
Dosis : Prematur & neonatus : 50 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Bayi & anak : 50 – 200 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2–4 kali
pemberian.
Dewasa : 2 gram tiap 4 – 6 jam.
Bila fungsi ginjal jelek, dosis diturunkan.
Sefuroksim
Dosis : Anak : 200 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
 Dewasa : 2 gram tiap 6 jam

IX.Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Anamnesa
1. Identitas:
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, alamat, tanggal masuk
rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis. Identitas
ini digunakan untuk membedakan klien satu dengan yang lain. Jenis kelamin,
umur dan alamat dapat mempercepat atau memperberat keadaan penyakit
infeksi. Meningoensefalitis dapat terjadi pada semua kelompok umur.
2. Keluhan utama:
Panas badan meningkat, kejang, kesadaran menurun.
3. Riwayat penyakit sekarang:
Mula-mula pasien gelisah , muntah-muntah , panas badan meningkat, sakit
kepala.
4. Riwayat penyakit dahulu:
Klien sebelumnya menderita batuk , pilek kurang lebih 1-4 hari, pernah
menderita penyakit Herpes, penyakit infeksi pada hidung, telinga dan
tenggorokan.
5. Riwayat kesehatan keluarga:
Keluarga ada yang menderita penyakit yang disebabkan oleh virus contoh:
Herpes dan lain-lain. Bakteri contoh: Staphylococcus Aureus, Streptococcus ,
E. Coli , dan lain-lain.
Pemeriksaan fisik

B1 (Breathing) : Perubahan-perubahan akibat peningkatan tekanan intra


cranial menyebabakan kompresi pada batang otak yang
menyebabkan pernafasan tidak teratur. Apabila tekanan
intrakranial sampai pada batas fatal akan terjadi
paralisa otot pernafasan.
B2 (Blood) : Adanya kompresi pada pusat vasomotor menyebabkan
terjadi iskemik pada daerah tersebut, hal ini akan
merangsaang vasokonstriktor dan menyebabkan
tekanan darah meningkat. Tekanan pada pusat
vasomotor menyebabkan meningkatnya transmitter
rangsang parasimpatis ke jantung.
B3 (Brain) : Kesadaran menurun. Gangguan tingkat kesadaran dapat
disebabkan oleh gangguan metabolisme dan difusi
serebral yang berkaitan dengan kegagalan neural akibat
prosses peradangan otak.
B4 (Bladder) : Biasanya pada pasien meningo ensefalitis kebiasaan
miksi dengan frekuensi normal.
B5 (Bowel) : Penderita akan merasa mual dan muntah karena
peningkatan tekanan intrakranial yang menstimulasi
hipotalamus anterior dan nervus vagus sehingga
meningkatkan sekresi asam lambung.
B6 (Bone) : Hemiplegi
 Pola aktifitas : Aktifitas tirah baring, pola istirahat terganggu dengan
dan istirahat adanya kejang / konvulsif

 Makan dan : Mual muntah, disertai dengan kesulitan menelan,


minum sehingga membutuhkan bantuan NGT dalam
pemenuhan nutrisi
 Neurosensori : Terjadi kerusakan pada nervus kranialis, yang
terkadang menyebabkan perubahan persepsi sensori.
Kaku kuduk (+), pemeriksaan kernig sign (+),
Burdinzki (+)
 Integritas ego : Perubahan status mental dari letargi sampai koma

 Kenyamanan : Terdapat nyeri kepala karena peningkatan TIK akibat


edema serebri
 Keamanan : Perubahan dalam fungsi mental, tonus otot yang tak
terkoordinasi sehingga diperlukan pengaman disamping
tempat tidur sampai restrain pada ekstremitas

6. Diagnosa keperawatan

 Gangguan perfusi jaringan b/d edema serebral.


 Gangguan rasa nyaman nyeri b/d proses inflamasi
 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kesulitan
menelan
 Resiko infeksi b/d penyebaran infeksi sistemik
 Resiko cidera b/d disfungsi motorik : kejang
 Hipertermi b/d peningkatan laju metabolisme
 Resiko gangguan integritas kulit b/d tirah baring
INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Gangguan perfusi jaringan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Mandiri
1. Monitoring tanda-tanda vital 1. Sebagai acuan dasar
b/d edema serebral. selama 3x24 jam, perfusi jaringan serebral
2. Monitoring tingkat kesadaran
dalam pemberian
menjadi adekuat dengan kriteria hasil: 3. Tinggikan kepala di tempat
1. Tanda vital dalam batas normal intervensi lebih lanjut
tidur 15-30 derajat.
TD : 120/80 mmHg 2. Penurunan tingkat
N : 60-100 x/menit
kesadaran pasien akan
S : 36,5-37,5 0 C
Kolaborasi
RR : 20-22 x/menit memerlukan tindakan
2. Menunjukkan peningkatan 1. Berikan cairan iv (larutan
yang intensif
kesadaran yang berarti hipertonik, elektrolit ). 3. Peningkatan aliran vena
2. Berikan obat : steroid, dari kepala akan
clorpomazin, asetaminofen menurunkan TIK

1. Meminimalkan fluktuasi
dalam aliran vaskuler dan
TIK.
2. Menurunkan
permeabilitas kapiler
untuk membatasi edema
serebral, mengatasi
kelainan postur tubuh
atau menggigil yang
dapat meningkatkan TIK,
menurunkan konsumsi
oksigen dan resiko
kejang
Gangguan rasa nyaman nyeri Setelah dilakukan tindakan keperawatan Mandiri
1. Monitoring tanda-tanda vital 1. Sebagai acuan dasar
b/d proses inflamasi selama 3x24 jam, nyeri dapat berkurang
2. Kaji skala nyeri dengan
dalam pemberian
ataupun hilang dengan kriteria hasil:
teknik PQRST
1. Tanda vital dalam batas normal intervensi lebih lanjut
4. Ajarkan pada pasien terkait
TD : 120/80 mmHg 2. Mengetahui tingkat atau
N : 60-100 x/menit dengan teknik distraksi nyeri
skala nyeri yang
S : 36,5-37,5 0 C
(nafas dalam, berbincang-
dirasakan oleh pasien
RR : 20-22 x/menit
bincang dengan pasien) 3. Merupakan teknik non
2. Pasien mampu mengatasi nyeri 5. Berikan lingkungan yang
farmakologis dalam
3. Skala nyeri berkurang
kondusif
4. Pasien menunjukkan ekspresi wajah menurunkan rasa nyeri
Kolaborasi 4. Keramaian atau suasana
tidak menahan nyeri
1. Memberikan terapi analgetik gaduh akan menambah
2. Menganjurkan penggunaan
ketidaknyamanan yang
TENS
dirasakan pasien
1. Merupakan terapi secara
farmakologis dalam
penurun sensasi nyeri
2. TENS mampu
memblokir sensasi nyeri
yang dirasa pada pusat
nyeri di otak
Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Mandiri 1. Sebagai acuan dasar
1. Monitoring BB, TB, Lila
kurang dari kebutuhan tubuh selama 3x24 jam, intake nutrisi tubuh dalam pemberian
2. Kaji intake output makanan
b/d kesulitan menelan menjadi adekuat dengan kriteria hasil: intervensi terkait dengan
dan cairan
1. BB dan Lila dalam batas normal
3. Anjurkan penggunaan NGT pemenuhan nutrisi
2. Hasil pemeriksaan Hb dan albumin
bila pasien kesulitan menelan
dalam batas normal
(Hb : 13,0 mg/dl dan albumin ) atau mengalami mual muntah
yang tak terkontrol 2. Mengetahui intake
4. Monitoring kadar Hb maupun
maupun output makanan
kadar albumin
dan cairan pasien
3. Merupakan alternatif
Kolaborasi pemberian nutrisi pada
pasien dengan gangguan
1. Mengkonsultasikan menelan maupun
dengan ahli gizi terkait keadaan mual muntah tak
diit yang sesuai nutrisi terkontrol
4. Kekurangan albumin
pasien
akan meningkatkan
resiko infeksi, dan kadar
Hb yang rendah akan
meminimalkan
pendistribusian O2 oleh
oksihemoglobin
1. Merupakan intervensi
khusus dalam rencana
pemberian diit yang tepat
pada pasien, dan
mengetahui kandungan
maupun takaran nutrisi
yang tepat pada pasien.
Resiko infeksi b/d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Mandiri
1. Monitoring tanda-tanda vit
penyebaran infeksi sistemik selama 3x24 jam, tidak didapatkan tanda- 1. Sebagai acuan dasar
tanda infeksi kriteria hasil: 2. Beri tindakan isolasi sebagai dalam pemberian
1. Tanda vital dalam batas normal
pencegahan intervensi lebih lanjut
TD : 120/80 mmHg
3. Pertahankan teknik aseptik
N : 60-100 x/menit bila didapatkan suhu
S : 36,5-37,5 0 C dan teknik cuci tangan yang tubuh yang meningkat
RR : 20-22 x/menit tepat saat sebelum melakukan sebagai respon tubuh
2. Tidak terdapat tanda-tanda infeksi tindakan pada pasien, sesudah terhadap antigen yang
(Rubor, Tumor, Kalor, Dolor,
melakukan tindakan pada masuk
Fungsiolesa) 2. Pada fase awal
pasien. Setelah kontak dengan
3. Hasil pemeriksaan leukosit dalam
meningitis, isolasi
cairan maupun lingkungan
batas normal
mungkin diperlukan
pasien
4. Monitoring kadar leukosit sampai organisme
diketahui / dosis
Kolaborasi :
antibiotik yang cocok
telah diberikan untuk
1. Berikan terapi antibiotik iv:
menurunkan resiko
penisilin G, ampisilin,
penyebaran pada orang
klorampenikol, gentamisin
lain
3. Menurunkan resiko
pasien terkena infeksi
sekunder, dan
mengontrol penyebaran
infeksi
4. Leukositosis merupakan
tanda bahwa sedang
terjadi reaksi pertahanan
imunitas dalam tubuh
1. Obat yang dipilih
tergantung pada tipe
infeksi dan sensitivitas
individu
Resiko cidera b/d disfungsi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Mandiri
1. Pertahankan penghalang
motorik : kejang selama 3x24 jam, resiko cidera dapat
tempat tidur tetap terpasang.
diminimalisir dengan kriteria hasil: 1. Melindungi pasien bila
1. Tidak ditemukan cidera tubuh saat
terjadi kejang
kejang berlangsung 2. Berikan posisi tirah baring
3. Pasang restrain pada
2. Menurunkan resiko
ekstremitas atas maupun
terjatuh / trauma ketika
bawah
terjadi vertigo, sinkop,
Kolaborasi
atau ataksia
1. Berikan obat : venitoin,
diasepam, venobarbital.
3. Memberikan pertahanan
tambahan pada resiko
jatuh pada pasien
1. Merupakan indikasi
untuk penanganan dan
pencegahan kejang
secara farmakologis

Hipertermi b/d peningkatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Mandiri 2. Sebagai acuan dasar
1. Monitoring tanda-tanda vital
laju metabolisme selama 3x24 jam, suhu tubuh dalam batas dalam pemberian
normal dengan kriteria hasil: intervensi lebih lanjut
1. Tanda vital dalam batas normal
bila didapatkan suhu
TD : 120/80 mmHg
N : 60-100 x/menit tubuh yang meningkat
S : 36,5-37,5 0 C
sebagai respon
RR : 20-22 x/menit
peningkatan laju
2. Tidak ada reaksi konvulsi / kejang 2. Observasi adanya reaksi
metabolisme
kejang 3. Konvulsi / kejang
3. Anjurkan penggunaan
merupakan respon
pakaian tipis
lanjutan dari peningkatan
4. Berikan kompres air dingin
laju metabolisme yang
saat terjadi hipertermia
signifikan
Kolaborasi
1. Berikan terapi antipiretik 4. Pakaian yang tipis
sesuai indikasi mampu menyerap
keringat sebagai hasil
metabolisme tubuh
5. Bertujuan menurunkan
suhu tubuh yang tinggi

1. Merupakan terapi secara


farmakologis dalam
rangka menurunkan suhu
tubuh yang tinggi

Resiko gangguan integritas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Mandiri


1. Monitoring sirkulasi kulit
kulit b/d tirah baring selama 3x24 jam, integritas kulit baik, 1. Sirkulasi darah yang baik
punggung (sekaligus menilai
dengan kriteria hasil: merupakan indikasi
1. Tidak ada lesi maupun nekrosis adakah lesi atau tidak)
bahwa perfusi jaringan
2. Berikan posisi miring kiri
pada kulit punggung
pada daerah punggung
2. Sirkulasi darah pada punggung miring kanan
baik
lancar
3. Keutuhan kulit terjaga baik
kelembaban maupun tekstur 2. Mencegah terjadinya
3. Berikan massase punggung
dan baby oil setelah luka dekubitus akibat
memandikan pasien penekanan pembuluh
4. Berikan pakaian yang longgar
darah sekitar punggung
5. Berikan stik laken atau kain
3. Memberikan rasa
sebagai alas tirah baring
nyaman dan
memperlancar sirkulasi
darah di daerah
punggung
4. Mencegah penekanan
pakaian yang ketat pada
sirkulasi darah daerah
punggung pasien
5. Memberikan
kenyamanan pada pasien
dari rasa panas akibat
pemberian perlak di
bawah punggung
DAFTAR PUSTAKA

Balentine, J. Encephalitis and Meningitis. 2010. Available in :


http://www.emedicine.com

Be NA, Kim KS, Bishai WR, Jain SK. Pathogenesis of Central Nervous System
Tuberculosis. J Current Molecular Medicine 2009; 9:94-99

Fauci, Anthony S. Kasper, Dennis L. Longo, Dan L. Braunwald, Hauser, Eugene


Stephen L. Jameson, J. Larry. Loscalzo, Joseph. Chapter 158 Tuberculosis in:
Harrison principle of internal medicine 17th edition. USA: Mc Graw Hill. 2008

Garcia-Monco, JC. 2005. CNS Tuberculosis and Mycobacteriosis. in: Principles


of Neurologic Infectious Diseases. Roos KL (Ed). USA. p.195-213

Ganiem, AR. 2010. Kapan Mencurigai Suatu Meningitis. Dalam: Neurology in


Daily Practice. Bagian/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD.
Bandung. Hal. 7-29

Kumar V., Cotran R.S., Robbins S.L. 2007. Robbins Basic Pathology, 7 th Ed.
EGC, 2007.

Mansjoer, A. Meningitis Tuberkulosis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Edisi


ketiga. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta :
2000. h.11

Marra, CM. 2004. Infections of The Central Nervous System. In: Manual of
Neurologic Therapeutics 7th ed. Samuels MA (Ed). USA. p.524-527

Meiti F. 2011. Meningitis Tuberkulosis. Dalam: Infeksi Pada Sistim Saraf,


Kelompok Studi Neuro Infeksi. Airlangga University Press, Surabaya

You might also like